Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah. doc
PROPOSAL PENELITIAN
PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH UNTUK
MENINGKATKAN MUTU TENAGA PENDIDIK (STUDI MULITISITUS
DI SMA NEGERI 1 MALANG DAN SMA NEGERI 3 MALANG)
PROPOSAL TESIS
ABU HASAN SUYUTI
13710005
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2016
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A.
Konteks Penelitian.....................................................................................1
B.
Fokus Penelitian........................................................................................8
C.
Tujuan Penelitian.......................................................................................9
D.
Manfaat Penelitian.....................................................................................9
E.
Orisinalitas Penelitian..............................................................................10
F.
Batasan Istilah.............................................................................................15
G.
Sistematika Pembahasan.........................................................................15
BAB II KAJIAN PUSTAKA.................................................................................17
A.
Manajemen Berbasis Sekolah.................................................................17
1.
Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah............................................17
2.
Teori Tentang MBS..............................................................................19
3.
Karakteristik MBS...............................................................................21
4.
Ciri-ciri MBS.......................................................................................23
B.
Mutu Tenaga Pendidik.............................................................................25
1.
Pengertian Mutu Tenaga Pendidik.......................................................25
2.
Standar Mutu Tenaga Pendidik............................................................26
BAB III METODE PENELITIAN.........................................................................34
A.
Pendekatan dan Jenis Penelitian..............................................................34
B.
Kehadiran Peneliti...................................................................................36
C.
Latar Penelitian........................................................................................37
D.
Data dan Sumber Data Penelitian............................................................37
E.
Teknik Pengumpulan Data......................................................................38
F.
Teknik Analisis Data...................................................................................42
G.
Pengecekan Keabsahan Data...................................................................45
DAFTAR RUJUKAN............................................................................................48
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian
Penyelenggaraaan pendidikan di Indonesia yang pada mulanya
bersifat sentralistik, membuat proses penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia tidak merata yang mana sebagian besar SDM yang berkualitas
hanya dimiliki atau berada di wilayah perkotaan. Keadaan demikian
menjadikan pemerintah mengambil kebijakan dengan mengubah sistem
pendidikan nasional yang awalnya sentralistik menjadi sistem desentralisasi
untuk memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia secara merata dengan
mengeluarkan peraturan perundang-undangan yakni undang-undang No. 25
tahun 2000 tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional tahun 20002004.
Disisi lain, dalam undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan
bangsa1. Landasan normatif tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi ramburambu bagi pelaksanaan desentralisasi pendidikan. akan tetapi, perlu juga
adanya standarisasi dan pengendalian mutu secara nasional sebagai upaya
membentuk
kesatuan
“referensi” dalam mencapai
pendidikan
yang
berkualitas.
Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih
kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus
memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif guna
mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah. Dalam kerangka
inilah, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) tampil sebagai paradigma baru
manajemen pendidikan yang ditawarkan. Konsep MBS ini merupakan
pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesign pengelolaan sekolah
dengan memberikan kekuasaan sepenuhnya kepada kepala sekolah untuk
menata, mengatur dan mengelola sekolah serta meningkatkan partisipasi
1
Umiarso dan Imam Gojali, Manajemen, hlm. 395.
1
masyarakat.2
Dengan
adanya
MBS
ini
diharapkan
mampu
untuk
meningkatkan mutu pendidikan yang juga berorientasi pada proses
pelaksanaan pendidikan, bukan hanya berorientasi pada input yang selama ini
banyak terjadi pada sekolah di Indonesia.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) juga bertujuan untuk
meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian wewenang dan tanggung
jawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan
prinsip-prinsip pengelolaan sekolah yang baik, yaitu partisipasi, transparansi,
dan akuntabilitas. Kinerja sekolah meliputi peningkatan kualitas, efektivitas,
efisiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan.
Kualitas merupakan gambaran dan karakteristik menyeluruh dari
barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan
kebutuhan yang ditentukan.3 Dalam konteks pendidikan, kualitas meliputi
input, proses, dan output. Untuk output sekolah dapat dikategorikan menjadi
akademik seperti Nilai Ujian Akhir Nasional dan nonakademik seperti
kesenian dan olahraga. Mutu output sekolah dipengaruhi oleh kesiapan input
dan proses pendidikan. kuantitas input sekolah antara lain jumlah guru, modal
sekolah, bahan, dan energi. Kuantitas output sekolah antara lain terdiri atas
jumlah siswa yang lulus setiap tahun.
Sebagai contoh produktivitas, misalnya sebuah sekolah dapat
meluluskan siswa lebih banyak pada tahun ini daripada tahun sebelumnya
dengan input yang sama (jumlah guru, fasilitas, dsb), dapat dikatakan bahwa
tahun ini sekolah tersebut lebih produktif daripada tahun sebelumnya.
Efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauh mana tujuan dapat dicapai.
Dalam bentuk persamaan, efektivitas sama dengan hasil nyata dibagi hasil
yang diharapkan.4 Misalnya, Nilai Ujian Akhir Nasional (NUAN) ideal
adalah 60, namun NUAN yang diperoleh siswa hanya 45, maka
efektivitasnya adalah 45:60=75%.
Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu efisiensi internal
dan efisiensi eksternal. Efisienisi internal menunjukkan hubungan antara
2
Edi Setiawan, Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SMK Negeri 1
Bantul, (Yogyakarta: Jurnal Manajemen Pendidikan Edisi ke 1, 2016)
3
Rohiat, Manajemen Sekolah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hlm. 49.
4
Rohiat, Manajemen Sekolah, hlm. 49.
2
output sekolah dan input yang digunakan untuk menghasilkan output
sekolah5. Efisiensi internal sekolah biasanya diukur dengan biaya efektivitas.
Setiap penilaian biaya efektivitas selalu memerlukan dua hal, yaitu penilaian
ekonomi untuk mengukur biaya masukan (input) dan penilaian hasil
pembelajaran. Misalnya, jika dengan biaya yang sama, tetapi NUAN tahun
ini lebih baik daripada tahun sebelumnya , dapat disimpulkan bahwa tahun ini
sekolah tersebut lebih efisien secara internal daripada tahun lalu.
Efisiensi eksternal adalah hubungan antara biaya yang digunakan
untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif (individual, sosial,
ekonomi dan nonekonomi) yang didapat diluar sekolah setelah kurun waktu
yang cukup panjang.6 Untuk mengukur efisiensi eksternal, alat yang
digunakan adalah analisis biaya. Misalnya, SMP 1 dan SMP 2 menggunakan
biaya yang sama setiap tahunnya, tetapi lulusan SMP 1 mendapatkan upah
yang lebih besar daripada SMP 2 setelah mereka bekerja. Dengan hasil
tersebut, maka dapat disimpulkan SMP 1 lebih efisien secara eksternal
daripada SMP 2.
Merubah paradigma manajemen pendidikan dari sentralisasi menjadi
desentralisasi tentu bukan hal yang mudah. Perubahan sistem yang digunakan
membutuhkan adaptasi pada tiap-tiap lembaga pendidikan sesuai dengan
kondisi sosial culture lingkungan dan SDM yang ada. Jika sebelumnya
sekolah hanya menjalankan perintah dari pemerintah yang berkuasa, maka
pada saat ini sekolah diberi kebebasan dan wewenang dalam mengelola
lembaganya untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat serta
persaingan dalam era globalisasi. Apakah dengan dibebaskannya sekolah
dalam mengatur kebijakan mereka dapat meningkatkan kualitas pendidikan?
apakah
sekolah
dapat
meningkatkan
kualitas,
efektivitas,
efisiensi,
produktivitas, dan inovasi pendidikan dengan sistem baru tersebut?
Permasalahan yang muncul untuk meningkatkan kualitas pendidikan
bukan hanya terletak pada manajemen. SDM yang ada pada sebuah lembaga
juga menentukan bagaimana pendidikan dapat maju dan berkembang. Guru
5
Rohiat, Manajemen , hlm. 50.
Rohiat, Manajemen. hlm. 50.
6
3
sebagai seorang tenaga pendidik dituntut untuk profesional sehingga apa yang
menjadi visi dan misi sebuah lembaga pendidikan dapat terlaksana.
Menjadi seorang tenaga pendidik profesional yang bertujuan untuk
mencerdaskan bangsa bukan hal yang mudah. Hal ini bisa dibuktikan dengan
banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum guru pada anak
didiknya di sekolah. Kasus seperti ini tentu saja mengusik kesadaran kita
karena guru secara sosial menempati posisi yang sangat mulia di masyarakat.
Jangankan mencederai peserta didik, guru terlibat dalam jual-beli buku,
nyambi sebagai tukang ojek atau les privat pun – meski secara hukum tidak
dilarang – biasanya tetap dianggap kurang “etis” karena mencederai martabat
seorang guru. Karena itu, bagaimanapun posisi seorang guru dari segi
ekonomis kurang menjanjikan tapi secara sosial tetap terhormat.
Regulasi tentang rambu-rambu atau syarat untuk menjadi tenaga
pendidik sebenarnya sudah cukup jelas. Dalam pasal 40 ayat (2) UU
No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) misalnya,
dijelaskan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan wajib memberikan
teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kepercayaan yang
diberikan kepadanya. Demikian juga dalam PP 19/2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP) maupun PP 74/2008 bahwa seorang guru minimal
harus memiliki empat kompetensi dasar yaitu kompetensi pedagogik,
kepribadian, profesional, dan sosial. Ini berarti seorang guru tidak hanya
dituntut terampil dalam segi teknis-akademis semata tapi juga harus menjadi
pribadi yang hangat, menyenangkan dan berwibawa.
Tapi mengapa kekerasan terjadi? Tentu ada banyak faktor
penyebabnya. Salah satunya adalah rendahnya mutu guru. E Mulayasa
mengatakan, ada empat faktor yang menyebabkan rendahnya mutu guru. (1)
Masih banyak guru yang belum menekuni profesinya secara utuh disebabkan
rendahnya tingkat kesejahteraan; (2) belum adanya standar profesional guru
sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan adanya
pergurua tinggi swasta yang mencetak guru asal jadi, atau setengah jadi, tanpa
memperhitungkan outputnya kelak di lapangan; dan (4) kurangnya motivasi
4
guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk
meneliti sebagaimana doseni di perguruan tinggi.7
Dengan demikian penyebab rendahnya mutu tenaga pendidik
bersifat struktural dan kultural8. Secara struktural, akar penyebab sebagian
masalah rendahnya mutu guru adalah dampak dari kebijakan yang
menganggap pendidikan hanya sebagai “catatan kaki” dari ground design dan
paradigma pembangunan nasional kita selama ini. Sedangkan secara kultural,
peningkatan mutu guru berhadapan dengan budaya masyarakat yang
cenderung pragmatis dan instan.
Sejatinya upaya memberdayakan kinerja tenaga pendidik dan tenaga
kependidikan dalam kontek MBS adalah untuk meningkatkan kualitas tenaga
pendidik dan kependikan selain melalui koordinasi dan komunikasi.
Koordinasi yang dilakukan kepala sekolah dengan tenaga pendidik dan
masyarakat dapat secara vertikal, horisontal, fungsional dan diagonal.
Koordinasi juga dapat dilakukan secara internal dan eksternal dan secara terus
menerus sebagai langkah konsolidasi dalam memperkuat Kelembagaan
Pendidikan untuk mencapai suatu tujuan. Contohnya mengadakan pertemuan
informal dengan para pejabat, mengadakan rapat, baik rapat koordinasi antar
Kepala Sekolah, Sekolah dengan Guru, dengan komite maupun dengan orang
tua siswa.
Menjawab pertanyaan tersebut memerlukan sebuah telaah yang
mendalam. Terlepas dari sistem manajemen yang digunakan, Sekolah sebagai
sebuah lembaga pendidikan mempunyai tanggung jawab besar dalam
mencetak masa depan bangsa, dengan cara apapun dituntut untuk
berkembang dan melahirkan inovasi baru dalam dunia pendidikan serta
mencetak generasi yang lebih baik dan menjadikan Negara kita dapat berdiri
sejajar dengan Negara maju lainnya.
Untuk mengkaji lebih lanjut bagaimana peran Manajemen Berbasis
Sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan adalah dengan meneliti
secara langsung bagaimana penerapan MBS. SMA Negeri 1 Malang dan
7
E Mulayasa. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. (Bandung: Rosda Karya, 2008)
hlm. 10.
8
Fitriani. “Problema Peningkatan Guru di Indonesia”, Pendidikan Islam, 1, (Tb, Tt).
5
SMA Negeri 3 Malang merupakan dua lembaga pendidikan yang peneliti
pilih untuk meneliti bagaimana penerapan manajemen sekolah yang
penerapannya “dibebaskan” oleh pemerintah.
SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3 Malang merupakan dua
diantara sekolah favorit yang terdapat di kota Malang. Kemajuan yang
dicapai oleh kedua lembaga tersebut tidak lepas dari peran kepala sekolah
sebagai manajer dalam mengatur manajemen sehingga dapat menarik minat
masyarakat untuk menyekolahkan anak mereka di dua lembaga tersebut.
Begitu juga dengan kuailtas tenaga pendidik yang mereka miliki, hamper
semua tenaga pendidik yang ada mengenyam pendidikan strata 2 (S2).
Dibalik kesuksesan SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3
Malang dalam mengambil kepercayaan masyarakat sebagai lembaga yang
maju, selain terus meningkatkan kualitas tenaga pendidik juga melibatkan
masyarakat untuk mengambil bagian dalam memajukan kualitas mereka.
Bapak Basuki menuturkan “selain top-down, kami juga menerima masukan
dari masyarakat. Masyarakat kami wadahi dalam Ikatan Alumni (IKA) dan
komite sekolah. Jadi begitu ada permasalahan kami tidak serta merta
mengambil keputusan sepihak, tetapi kami juga melibatkan masyarakat dalam
mengambil keputusan. Sedangkan mengenai peningkatan mutu tenaga
pendidik, kami mempunyai beberapa strategi; pertama, peningkatan mutu
guru yang merupakan program pemerintah. Kedua, peningkatan mutu guru
yang berkaitan dengan lembaga. Ketiga, peningkatan mutu guru dengan
menggunakan media lintas lembaga”.9 Begitu juga dengan SMA Negeri 1
Malang, ketika peneliti menanyakan tentang peran masyarakat dalam
lembaga , Ibu Dewi Endahsari mengatakan “kalau ditanya mengenai peran
masyarakat, tentu masyarakat berperan besar dalam sekolah. Sebagai contoh,
biasanya ada pihak luar seperti kepolisian memberikan materi kepada siswa,
kadang dari kedokteran, dan kadang dari PMII. Masyarakat juga membantu
kami dalam menngkatkan kualitas tenaga pendidik, seperti memberikan
sumbangan kepada kami baik berupa materi maupun fikiran, dan ini kami
wadahi dalam komite. Sedangkan mengenai peningkatan mutu tenaga
9
Wawancara dengan bapak Drs. Basuki Agus Priyana Putra pada hari, kamis 07 Mei 2015
pukul 09.30 WIB.
6
pendidik, kami mempunyai dua strategi yaitu akademik dan non-akademik.
Jalur akademik contohnya seperti kami menyekolahkan guru yang dirasa
memang perlu untuk disekolahkan. Sedangkan jalur non-akademik seperti
adanya pelatihan membuat soal berbasis IT, membuat PTK, membuat media
pembelajaran, dan sebagainya”.10
Bertitik tolak dari uraian di atas, penulis terdorong untuk mengkaji
lebih dalam lagi kemudian diangkat menjadi tema dengan judul “Penerapan
Manajemen Berbasis Sekolah Untuk Meningkatkan Mutu Tenaga
Pendidik (Studi Multisitus di SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3
Malang)”.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan konteks penelitian di atas, supaya penelitian ini menjadi
lebih terarah dan mengkrucut, maka penulis akan memfokuskan penelitian ini
pada lingkup penerapan Manajemen Berbasis Sekolah dalam meningkatkan
mutu tenaga pendidik di SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3 Malang.
Untuk perinciannya terwakili dalam tiga poin di bawah ini.
1. Bagaimana konsep Manajemen Berbasis Sekolah dalam peningkatkan
mutu tenaga pendidik di SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3
Malang?
2. Bagaimana keterlibatan stakeholder dalam peningkatkan mutu tenaga
pendidik sebagai perwujudan dari manajemen berbasis sekolah di SMA
Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3 Malang?
3. Bagaimana dampak keterlibatan stakeholder dalam peningkatan mutu
tenaga pendidik di SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3 Malang?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan
sesuai dengan poin-poin yang ada pada fokus penelitian di atas, yaitu untuk
memahami secara mendalam mengenai dua poin di bawah ini.
10
Wawancara dengan Ibu Dewi Endahsari M. Pd, pada hari, kamis 07 Mei 2015 pukul
10.30 WIB.
7
1. Untuk menjelaskan konsep Manajemen Berbasis Sekolah dalam
meningkatkan mutu tenaga pendidik di SMA Negeri 1 Malang dan SMA
Negeri 3 Malang.
2. Untuk
mendeskripsikan
keterlibatan
masyarakat/stakeholder
dalam
peningkatan mutu tenaga pendidik sebagai perwujudan dari manajemen
berbasis sekolah di SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3 Malang.
3. Untuk mendeskripsikan dampak keterlibatan masyarakat/stakeholder
dalam peningkatan mutu tenaga pendidik di SMA Negeri 1 Malang dan
SMA Negeri 3 Malang.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para peneliti
dari dua sisi, yaitu pada tataran teoretis dan juga praktis. Penelitian ini pada
tataran teoretis diharapkan bisa menjadi tambahan pengetahuan dalam
pengembangan ilmu manajemen pendidikan Islam khususnya bidang
manajemen berbasis sekolah, hasil penelitian ini juga diharapkan bisa
menjadi rujukan bagi penelitian setelahnya terkait tema yang sama. Adapun
manfaat praktis yang dapat diharapkan dari hasil penelitian ini adalah;
1. Memberikan kontribusi pemikiran baru terhadap praktisi pendidikan
dalam bidang pengembangan manajemen berbasis sekolah,
2. Sebagai bahan pertimbangan pimpinan lembaga dan semua civitas
akademika SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3 Malang dalam
membuat kebijakan untuk mengembangkan mutu tenaga pendidik,
3. Memberikan kontribusi moril bagi para penanggung jawab dan SDM yang
ada sehingga mampu melakukan pekerjaannya secara lebih baik lagi, dan
4. Menjadi bahan analisis dan kajian lebih lanjut bagi para peneliti
selanjutnya dengan permasalahan yang bisa jadi sama namum objek
penelitian yang berbeda atau bahkan sebaliknya.
E. Orisinalitas Penelitian
Demi pendalaman pemahaman terhadap penelitian ini, diperlukan
adanya kajian terdahulu yang telah dilakukan oleh peneliti lain. Hal ini
8
diperlukan untuk mengetahui posisi penelitian yang akan peneliti lakukan,
sehingga terlihat perbedaan dan persamaannya dengan penelitian-penelitian
sebelumnya. Sejauh penelaahan peneliti mengenai penelitian yang menurut
peneliti memiliki kemiripan dan relevansi dengan penelitian yang akan
peneliti lakukan antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, Penelitian yang dilakukan oleh Tety Yuliana tentang
Kemampuan Kepala Sekolah dalam Implementasi MPMBS; Studi Kasus di
SMP Negeri 2 Brebes. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan
kepala sekolah SMP Negeri 2 Brebes dalam Implementasi MPMBS dengan
fokus penelitian; Sejauh manakah kemampuan kepala sekolah dalam
mengimplementasikan MPMBS. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif
field research.11
Kedua, Gatot Kuncoro melakukan penelitian tentang Peran Kepala
Sekolah dalam Implementasi MBS di MTs Negeri Piyungan Yogyakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan peran kepala
sekolah dalam implementasi MBS di MTs Negeri Piyungan Yogyakarta
dengan fokus penelitian, (1) Bagaimana implementasi MBS di MTs Negeri
Piyungan Yogyakarta, (2) Bagaimana peran kepala madrasah dalam
implementasi MBS di MTs Negeri Piyungan Yogyakarta, dan (3) Faktor apa
yang menjadi pendukung dan penghambat peran kepala madrasah dalam
implementasi MBS di MTs Negeri Piyungan Yogyakarta. Pendekatan
penelitian ini adalah kualitatif, dengan metode pengumpulan data observasi,
interview, dan dokumentasi. 12
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Susilawaty, Cut Zahri Harun
dan Khairuddin tentang Manajemen Berbasis Sekolah dalam Pengelolaan
Pembiayaan Sekolah di SD Negeri 4 Kota Banda Aceh. Penelitian ini
bertujuan untuk mengungkapkan dan menganalisa pengelolaan pembiayaan
pada SD Negeri 4 kota Banda Aceh. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
11
Tety Yuliana, Manajemen Pendidikan. Kemampuan Kepala Sekolah dalam Implementasi
MPMBS; Studi Kasus di SMP Negeri 2 Brebes, (Semarang: Tesis Pascasarjana Universitas Negeri
Semarang, 2013)
12
Gatot Kuncoro, Peran Kepala Sekolah dalam Implementasi MBS di MTs Negeri
Piyungan Yogyakarta, (Yogyakarta: Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008)
9
Perencanaan pembiayaan di SD Negeri 4 Banda Aceh disusun berdasarkan
pada rencana pengembangan sekolah dan merupakan bagian dari rencana
operasional tahunan. Pelaksanaan atau pemanfaatan anggaran diawali dengan
serangkaian kegiatan pemeriksaan dan persetujuan untuk memastikan bahwa
dana dibelanjakan sesuai rencana, dilakukan dengan memanfaatkan sumber
daya yang tersedia, dan dana tidak dihabiskan untuk kegiatan-kegiatan yang
tidak disetujui atau diberikan kepada pihak penerima tanpa persetujuan.
Pengevaluasian dilakukan setiap triwulan atau per semester. Dana yang
digunakan dipertanggungjawabkan kepada sumber dana baik pemerintah
kota, provinsi, pusat maupun orang tua/wali dan masyarakat.13
Terakhir, Jurnal yang ditulis oleh Nurdin Mansur tentang
Meningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang memiliki karakteristik
pemberdayaan dalam berbagai hal, seperti: (1) Penyusunan kelompok kecil.
(2) Pengalihan tanggung jawab. (3) Pimpinan oleh para partisipan. (4) Guru
sebagai fasilitator. (5) Proses bersifat demokratis dan hubungan kinerja yang
luwes. Segala sesuatu dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
dirundingkan bersama dalam kedudukan yang sederajat dan diputuskan
melalui jalan demokratis.Maka melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
diharapkan para kepala sekolah, guru dan personalia serta masyarakat mampu
melaksanakan pendidikan sesuai dengan kebutuhan, perkembangan zaman,
karakteristik lingkungan dan tuntutan dunia pendidikan global.14
Tabel di bawah memaparkan posisi penelitian ini dalam deretan
dengan penelitian maupun tulisan setema sebelumnya:
Tabel 1.1 State Of The Arts
No
Peneliti
dan
Tahun
Terbit
Tema dan
Tempat
Penelitian
1
2
3
Variabel
Penelitian
Pendeka
tan dan
Lingkup
Penelitian
Temuan Penelitian
4
5
6
13
Susilawaty, Cut Zahri Harun dan Khairuddin, Manajemen Berbasis Sekolah dalam
Pengelolaan Pembiayaan Sekolah di SD Negeri 4 Kota Banda Aceh, (Aceh: Jurnal Administrasi
Pendidikan Universitas Syiah Kuala Vol. 1, No. 2, 2012)
14
Nurdin Mansur, Meningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah, (Aceh: Jurnal Ilmiah Didaktika, Vol. XIV, No. 1, 2013)
10
1.
2.
3.
Tety
Yuliana
(2013)
Kemampuan
Kepala
Sekolah
dalam
Implementasi
MPMBS;
Studi Kasus
di SMP
Negeri 2
Brebes (Tesis)
Kemampuan
Kepala
Sekolah dan Kualitatif
Implementasi
MPMBS
Gatot
Kuncoro
(2008)
Peran Kepala
Sekolah
dalam
Implementasi
MBS di MTs
Negeri
Piyungan
Yogyakarta
(Tesis)
Peran Kepala
Sekolah dan
Kualitatif
Implementasi
MBS
Susilawaty Manajemen
, Cut Zahri Berbasis
Harun dan Sekolah
Khairuddi dalam
n (2012)
Pengelolaan
Pembiayaan
Sekolah di
SD Negeri 4
Kota Banda
Manajemen
Berbasis
Sekolah dan
Pengelolaan
Pembiayaan
11
Kualitatif
Implementasi
MPMBS, yang
dilaksanakan oleh
Kepala SMP Negeri 2
Brebes meliputi:
1). Proses Belajar
Mengajar;
2). Perencanaan
Program Sekolah;
3). Pengelolaan
Kurikulum;
4). Pengelolaan
Ketenagaan;
5). Pengelolaan
Peralatan dan
Perlengkapan;
6). Pengelolaan
Keuangan;
7). Pelayanan Siswa;
8) Hubungan Sekolah
Masyarakat;
9). Pengelolaan Iklim
Sekolah adalah cukup
memadai.
Implementasi MBS di
MTs. Negeri Piyungan
dapat dikategorikan
masih dalam periode
jangka pendek. Pada
tahap ini kepala
sekolah mengajak
seluruh staf dan
komite sekolah untuk
merumuskan visi dan
misi madrasah dan
bertanggung jawab
terhadap kemajuan
madarasah secara
bersama-sama.
Perencanaan
pembiayaan di SD
Negeri 4 Banda Aceh
disusun berdasarkan
pada rencana
pengembangan
sekolah dan
merupakan bagian dari
rencana operasional
Aceh (Jurnal)
4.
Nurdin
Mansur
(2013)
Meningkatan
Mutu
Pendidikan
Melalui
Penerapan
Manajemen
Berbasis
Sekolah
(Jurnal)
Mutu
Pendidikan
dan
Penerapan
Manajemen
Berbasis
Sekolah
Kualitatif
tahunan.
Pelaksanaan atau
pemanfaatan anggaran
diawali dengan
serangkaian kegiatan
pemeriksaan dan
persetujuan untuk
memastikan bahwa
dana dibelanjakan
sesuai rencana,
dilakukan dengan
memanfaatkan sumber
daya yang tersedia,
dan dana tidak
dihabiskan untuk
kegiatan-kegiatan
yang tidak disetujui
atau diberikan kepada
pihak penerima tanpa
persetujuan.
Pengevaluasian
dilakukan setiap
triwulan atau per
semester.
Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) yang
memiliki karakteristik
pemberdayaan dalam
berbagai hal, seperti:
(1) Penyusunan
kelompok kecil.
(2) Pengalihan
tanggung jawab.
(3) Pimpinan oleh para
partisipan.
(4) Guru sebagai
fasilitator.
(5) Proses bersifat
demokratis dan
hubungan kinerja yang
luwes.
Tabel 1.2 Posisi Penelitian
No
Peneliti
dan
Tahun
Tema dan
Tempat
Penelitian
Variabel
Penelitian
12
Pendekatan
Penelitian
Temuan Penelitian
Penelitia
n
5.
Abu
Hasan
Suyuti
(2016)
Penerapan
Manajemen
Berbasis
Sekolah Untuk
Meningkatkan
Mutu Tenaga
Pendidik
(Studi
Multisitus di
SMA Negeri 1
Malang dan
SMA Negeri 3
Malang)
(Tesis)
Manajemen
Berbasis
Sekolah dan
Mutu Tenaga
Pendidik
Kualitatif
1. Konsep
Manajemen
Berbasis Sekolah
dalam
peningkatkan
mutu tenaga
pendidik
2. Keterlibatan
Stakeholder
dalam
peningkatkan
mutu tenaga
pendidik
3. Dampak
keterlibatan
stakeholder
dalam
peningkatan
mutu tenaga
pendidik
Demikian beberapa hasil pelacakan terhadap berbagai kajian yang
bertema Manajemen Berbasis Sekolah. Dari sekian laporan hasil kajiankajian tersebut mayoritas mengungkap implementasi Manajemen Berbasis
Sekolah, namun sejauh ini tidak satupun dari kajian-kajian tersebut yang
mengungkap dan melakukan penelitian tentang Penerapan Manajemen
Berbasis Sekolah Untuk Meningkatkan Mutu Tenaga Pendidik (Studi
Multisitus di SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3 Malang). Jika dilihat
dari sisi Manajemen Pendidikan Islam (MPI), implementasi Manajemen
Berbasis Sekolah merupakan salah satu aspek penting dalam manajemen
pengelolaan lembaga pendidikan.
Ada beberapa alasan mengapa dalam penelitian ini difokuskan pada
Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah Untuk Meningkatkan Mutu Tenaga
Pendidik. Pertama, karena perubahan paradigma pendidikan dari manajemen
konvensional menuju MBS perlu dikaji labih lanjut terkait dengan sejauh
kualitas guru yang dihasilkan. Kedua, MBS sebagai sebuah sistem
manajemen pendidikan yang melibatkan peran serta masyarakat tentu
13
mempunyai dampak dari keterlibatan masyarakat itu sendiri. Peneliti
berusaha menemukan apa saja dampak dari sistem manajemen pendidikan
ini.
F.
Batasan Istilah
Supaya dalam penelitian ini tidak terjadi kerancuan, maka peneliti
perlu menjelaskan dan menegaskan arti beberapa istilah penting sebagai
berikut:
1. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah yang selanjutnya disebut
dengan MBS adalah penerapan bagaimana sekolah dalam hal ini adalah
SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3 Malang menerapkan sistem
manajemen yang berbasis pada sekolah sebagai penyelenggaranya.
2. Peningkatan Mutu Tenaga Pendidik adalah langkah yang dilakukan
lembaga pendidikan untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik dalam
hal ini adalah guru SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3 Malang.
3. Konsep MBS adalah representasi umum tentang manajemen berbasis
sekolah yang dipergunakan oleh sekolah untuk meningkatkan kualitas
tenaga pendidik.
4. Keterlibatan Stakeholder berasal dari dua kata yaitu keterlibatan dan
stakeholder. Stakeholder merupakan kelompok/individu yang dapat
mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan. Jadi
keterlibatan stakeholder adalah keterlibatan kelompok atau individu dalam
peningkatan mutu tenaga pendidik dalam mewujudkan manajemen
berbasis sekolah.
G. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini akan ditulis dalam enam bab, dan pada masing-masing
bab memuat beberapa sub bab yang disusun secara sistematis sesuai dengan
tema pokok dalam penelitian ini.
Bab Satu, Pendahuluan. Memuat sub bab, yaitu: Konteks Penelitian,
Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Orisinalitas
Penelitian, dan Difinisi Istlah. Secara keseluruhan isi Bab Satu berisi
14
gambaran umum tentang proses penelitian yang akan di lakukan dan
membahas tentang mengapa penelitian tersebut penting untuk dilakukan.
Bab Dua, Kajian Pustaka. Membahas tentang beberapa teori yang
berkaitan dengan Manajemen Berbasis Sekolah dan peningkatan mutu tenaga
pendidik. Telaah teori ini nantinya akan menjadi pijakan bagi peneliti dalam
menelaah upaya peningkatan mutu tenaga pendidik SMA Negeri 1 Malang
dan SMA Negeri 3 Malang.
BAB Tiga, Metode Penelitian. Pada bagian ini mengurai proses
penelitian yang akan dilakukan mulai dari sifat dan pendekatan penelitian,
sampai dengan strategi pengmbilan dan analisi data, kemudian dilanjutkan
dengan metode pelaporan atau penyajian data
Bab Empat. Paparan Data dan Hasil Penelitian. Pada bagain ini akan
diuran beberapa data yang ditemukan saat proses penelitian untuk
memberikan gambaran utuh (objektif) mengenai proses pengembangan mutu
yang dilakukan oleh kepala sekolah SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri
3 Malang.
Bab Lima. Pembahasan. Di Bab Lima ini peneliti akan melakukan
“telaah” atau kajian mendalam terhadap data yang ditemukan saat penelitian
untuk kemudian dirumuskan dalam sebuah model peningkatan mutu tenaga
pendidik yang dilakukan oleh SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3
Malang.
Bab Enam. Kesimpulan. Ia merupakan bagian terkhir dalam
penelitian ini. Karenanya, akan diurai beberapa poin-poin penting tentang
beberapa hal yang ditemukan oleh peneliti sejak awal penelitian ini
dirumuskan. Beberapa poin itu juga yang akan menjawab tiga fokus
penelitian yang telah peneliti cantumkan di awal penelitian ini.
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Manajemen Berbasis Sekolah
1. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah berasalah dari tiga kata yaitu,
manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen berasal dari kata to
manage yang berarti mengelola. Pengelolaan dilakukan melalui proses dan
dikelola berdasarkan urutan dan fungsi-fungsi manajemen itu sendiri.
Manajemen adalah melakukan pengelolaan sumberdaya yang dimiliki oleh
sekolah/organisasi yang dilakukan dengan sistematis dalam suatu proses. 15
Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah
adalah lembaga untuk belajar mengajar serta tempat untuk menerima dan
memberi pelajaran. Berdasarkan makna leksial tersebut maka MBS dapat
diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berdasarkan pada sekolah
itu sendiri dalam proses belajar atau mengajar.16
Di pandang dari asal-usul peristilahan, MBS merupakan
terjemahan langsung dari School Based Managemen (SBM). Istilah ini
pada mulanya muncul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an sebagai
suatu sistem alternatif untuk mereformasi pengelolaan sekolah. Reformasi
itu dirasa penting karena selama puluhan tahun sekolah tidak dapat
menunjukkan peningkatan yang berarti dalam memenuhi tuntutan
perubahan lingkungan sekolah17.
Dalam konteks manajemen pendidikan, manajemen berbasis
sekolah berbeda dengan manajemen pendidikan sebelumnya yang diatur
oleh pemerintah pusat secara rinci. Sebaliknya, manajemen pendidikan
model MBS ini berpusat pada sumber daya yang ada dalam sekolah
tersebut. Dengan demikian akan muncul paradigma baru yang semula
diatur oleh birokrasi di luar sekolah menjadi pengelolaan yang berbasis
pada potensi internal sekolah dengan memanfaatkan sumber daya yang
ada.
15
16
Rohiat. Manajemen. hlm 14
Nurkolis. Manajemen Berbasis Sekolah, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana, 2003), hlm.
1
17
Nurkolis. Manajemen, hlm. 2
16
MBS adalah suatu ide tentang pengambilan keputusan yang
diletakkan pada posisi yag paling dekat dengan kegiatan belajar mengajar,
yakni sekolah. Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang
lebih besar, di samping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap
tuntutan masyarakat juga merupakan sarana peningkatan efesiensi, mutu,
dan pemerataan pendidikan. Penekanan aspek tersebut sifatnya situasional
dan kondisional sesuai dengan masalah yang dihadapi dan politik yang
dianut.18
MBS didefinisikan sebagai desentralisasi otoritas pengambilan
keputusan pada tingkat sekolah yang pada umumnya menyangkut tiga
bidang, yaitu anggaran, kurikulum, dan personel. 19 Dalam sistem MBS
otoritas bisa ditransfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dari
pemerintah daerah ke pengawas sekolah, dari pengawas sekolah ke dewan
sekolah, dari dewan sekolah ke kepala sekolah, guru, administrator,
konselor, pengembang kurikulum, dan orang tua.
Dalam
pelaksanaannya,
kebijakan
dan
program
sekolah
ditetapkan oleh komite sekolah dan dewan pendidikan. Badan ini
merupakan lembaga yang ditetapkan berdasarkan musyawarah dari pejabat
daerah setempat, komisi pendidikan pada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD), pejabat pendidikan daerah, kepala sekolah, tenaga
kependidikan, perwakilan orang tua peserta didik, dan tokoh masyarakat.
Lembaga inilah yang menetapkan segala kebijakan sekolah berdasarkan
ketentuan-ketentuan tentang pendidikan yang berlaku. Selanjutnya, komite
sekolah perlu merumuskan dan menetapkan visi, misi, dan tujuan sekolah
dengan berbagai implikasinya terhadap program-program kegiatan
operasional untuk mencapai tujuan sekolah.
2. Teori Tentang MBS
Teori yang digunakan MBS dalam mengelola sekolah didasarkan
pada empat prinsip, yaitu prinsip ekuifinalitas, prinsip desentralisasi,
18
Mulyasa. Menajadi Kepala Sekolah Profesional, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2009), hlm. 34
19
Nurkolis, Manajemen, hlm. 7
17
prinsip sistem pengelolaan mandiri, dan Prinsip inisiatif sumber daya
manusia.20
1) Prinsip Ekuafinalitas
Prinsip ini didasarkan pada teori manajemen modern yang
berasumsi bahwa terdapat cara yang berbeda-beda untuk mencapai
suatu tujuan. MBS menekankan fleksibilitas sehingga sekolah harus
dikelola oleh warga sekolah menurut kondisi mereka masing-masing.
Karena kompleksnya kebutuhan sekolah saat ini dan adanya perbedaan
yang besar antara sekolah yang satu dengan sekolah lain, misalnya
perbedaan tingkat akademik siswa, perbedaan sumberdaya yang ada,
sekolah tidak dapat dijalankan dengan struktur yang standar di seluruh
kota, provinsi, apalagi negara.
Pendidikan sebagai entitas yang terbuka terhadap berbagai
pengaruh eksternal. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan
sekolah akan mendapatkan berbagai permasalahan yang kompleks
seperti halnya institusi lain. Pada zaman yang lingkungannya semakin
kompleks seperti saat ini sekolah akan semakin mendapatkan
tantangan permasalahan. Kenakalan remaja, penggunaan obat-obatan
terlarang oleh pelajar, tawuran antar pelajar, dan lain sebagainya.
Dengan munculnya permasalahan yang berbeda dalam tiap sekolah,
solusi dan pemecahan harus berbeda antara sekolah satu dengan
sekolah lain sesuai dengan permasalahan yang mereka hadapi dan
kondisi lingkungan. Walaupun sekolah berbeda mempunyai masalah
yang sama, cara penanganannya akan berlainan antara sekolah satu
dengan yang lain.
2)
Prinsip Desentralisasi
Prinsip desentralisasi dilandasi oleh teori dasar bahwa
pengelolaan sekolah dan aktivitas pengajaran tidak dapat dilepaskan
dari kesulitan dan permasalahan. Pendidikan adalah masalah yang
rumit dan kompleks sehingga memerlukan desentralisasi dalam
pelaksanaannya.
20
Yin Cheong Cheng. School Effectiveness & School based Management: A Mechanism for
Development. (Washington D.C: The Falmer Press, 1996), hlm. 44-45
18
Prinsip
ekuafinalitas
yang
dikemukakan
sebelumnya
mendorong adanya desentralisasi kekuasaan dengan mempersilahkan
sekolah memiliki ruang yang lebih luas untuk bergerak, berkembang,
dan bekerja menurut strategi-strategi unik mereka untuk menjalani
dan mengelola sekolah secara efektif.
Oleh karena itu sekolah harus diberi kekuasaan dan
tanggung jawab untuk memecahkan masalah secara efektif. Dengan
kata lain, tujuan dari prinsip desentralisasi adalah efesiensi dalam
pemecahan masalah, bukan menghindari masalah. Dengan sistem
manajemen sekolah yang mengacu pada MBS, maka sekolah harus
mampu menemukan masalah, memecahkannya tepat waktu dan
memberi sumbangan yang lebih besar terhadap efektifitas aktifitas
pengajaran
dan
pembelajaran.
Tanpa
adanya
desentralisasi
kewenangan kepada sekolah, maka sekolah tidak dapat memecahkan
masalahnya secara cepat, tepat, dan efisien.
3)
Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri
MBS tidak mengingkari bahwa sekolah perlu mencapai
tujuan-tujuan berdasarkan suatu kebijakan yang telah ditetapkan,
tetapi terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan dalam
mencapainya.
Sekolah
memiliki
otonomi
tertentu
untuk
mengembangkan tujuan pengajaran, strategi manajemen, distribusi
sumber
daya,
memecahkan
masalah,
dan
mencapai
tujuan
berdasarkan kondisi mereka masing-masing. Karena sekolah
dikelola secara mandiri maka mereka lebih memiliki inisiatif dan
tanggung jawab.
Prinsip ini berkaitan dengan dua prinsip sebelumnya, yaitu
prinsip ekuifinalitas dan prinsip desentralisasi. Ketika sekolah
menghadapi permasalahan maka harus diselesaikan dengan caranya
sendiri. Sekolah dapat menyelesaikan masalahnya bila telah terjadi
pelimpahan wewenang dan birokrasi di atasnya ke tingkat sekolah.
Dengan adanya kewenangan di tingkat sekolah itulah maka sekolah
dapat melakukan sistem pengelolaan mandiri.
19
4)
Prinsip Inisiatif
Sejalan dengan perkembangan pergerakan hubungan antar
manusia dan pergerakan ilmu perilaku pada manajemen modern,
orang mulai menaruh perhatian serius pada pengaruh penting factor
manusia pada efektifitas organisasi. Prinsip ini mengakui bahwa
manusia bukanlah sumber daya yang statis, melainkan dinamis. Oleh
karena itu, potensi sumber daya manusia harus selalu digali,
ditemukan, dan kemudian dikembangkan.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan tidak dapat lagi
menggunakan istilah staffing yang konotasinya hanya mengelola
manusia sebagai barang yang statis. Lembaga pendidikan harus
menggunakan pendekatan human resource development yang
memiliki konotasi dinamis dan menganggap serta memperlakukan
manusia di sekolah sebagai asset yang amat penting dan memiliki
potensi untuk terus dikembangkan.
3. Karakteristik MBS
Karakteristik MBS dapat diketahui antara lain dari bagaimana
sekolah
dapat
mengoptimalkan
kinerjanya,
proses
pembelajaran,
pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta
sistem administrasi secara keseluruhan. Mulyasa mengutip pendapat Saud
(2002) mengatakan bahwa karakteristik dasar MBS berdasarkan
pelaksanaannya di negara maju adalah pemberian otonomi yang luas
kepada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik yang
tinggi, kepemimpinan kepala sekolah yang demokratis dan profesional,
serta adanya team work yang tinggi dan profesional.21
a. Pemberian Otonomi Luas Kepada Sekolah
MBS memberikan otonomi luas kepada sekolah, disertai
seperangkat
tanggung
jawab.
Dengan
adanya
otonomi
yang
memberikan tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya dan
pengembangan strategi sesuai dengan kondisi setempat, sekolah lebih
dapat memberdayakan tenaga kependidikan agar lebih berkonsentrasi
21
Mulyasa, Menjadi, hlm. 36.
20
pada tugas utamanya mengajar. Sekolah diberikan wewenang yang
luas untuk mengembangkan kurikulum dan pembelajaran sesuai
dengan kondisi lingkungan, keadaan peserta didik, serta tuntutan
masyarakat. Untuk mendukung keberhasilan program tersebut, sekolah
memiliki kekuasaan dan kewenangan mengelola dan memanfaatkan
berbagai sumber daya yang tersedia di masyarakat dan lingkungan
sekitar. Selain itu, sekolah juga diberikan wewenang untuk menggali
dan mengelola sumber dana sesuai dengan prioritas kebutuhan.
Melalui otonomi yang luas, sekolah dapat meningkatkan kinerja tenaga
kependidikan dengan menawarkan partsipasi aktif mereka dalam
pengambilan
keputusan dan tanggung
jawab bersama
dalam
pelaksanaan keputusan yang diambil secara profesional.
b. Partisipasi Masyarakat dan Orang Tua
Dalam MBS masyarakat dan orang tua ikut berpartisipasi
mendukung program-program yang direncanakan sekolah. Orang tua
peserta didik dan masyarakat tidak hanya ikut membantu sekolah
dalam bantuan keuangan, tetapi melalui komite sekolah dan dewan
pendidikan merumuskan serta mengembangkan program-program
yang dapat meningkatkan kualiltas sekolah. Masyarakat dan orang tua
menjalin kerja sama untuk membantu sekolah sebagai nara sumber
berbagai kegiatan sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
c. Kepemimpinan Demokratis
Dalam MBS, pelaksanaan program-program sekolah didukung
oleh adanya kepemimpinan kepala sekolah yang demokratis dan
profesional. Kepala sekolah dan guru-guru sebagai tenaga pelaksana
inti program sekolah merupakan orang-orang yang memiliki
kemampuan dan integritas profesional. Kepala sekolah merupakan
manajer pendidikan yang direkrut oleh komite sekolah untuk
mengelola kegiatan sekolah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan.
Guru-guru yang direkrut oleh sekolah merupakan pendidik profesional
dalam
bidangnya
masing-masing,
sehingga
mereka
bekerja
berdasarkan pola kinerja profesional yang disepakati bersama untuk
21
memberi kemudahan dan mendukung keberhasilan pembelajaran
peserta didik. Dalam pengambilan keputusan, kepala sekolah
mengimplementasikan proses “bottom-up” secara demokratis sehingga
semua pihak memiliki tanggung jawab terhadap keputusan yang
diambil beserta pelaksanaannya.
d. Team-Work Kompak dan Transparan
Dalam MBS, keberhasilan program-program sekolah didukung
oleh kinerja team-work yang kompak dan transparan dari berbagai
pihak yang terlibat dalam pendidikan di sekolah. Dalam dewan
pendidikan dan komite sekolah misalnya, pihak-pihak yang terlibat
bekerja sama secara harmonis sesuai dengan posisinya masing-masing
untuk mewujudkan suatu “sekolah yang dapat dibanggakan” oleh
semua pihak. Dalam konsep MBS, kekuasaan yang dimiliki sekolah,
mencakup pengambilan keputusan tentang manajemen kurikulum dan
pembelajaran; rekrutmen dan manajemen tenaga kependidikan; serta
manajemen sekolah
4. Ciri-ciri MBS
Dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) peran serta
masyarakat sangat penting, tidak seperti manajemen sebelumnya yang
hanya terbatas memobilisasi sumbangan uang dan sejenisnya. Keterlibatan
masyarakat sangat menentukan setiap pengambilan keputusan. Misalnya,
untuk menggunakan buku pelengkap, sekolah dan masyarakat bersamasama mengadakan musyawarah. Tidak semata-mata mengandalkan buku
dari pusat yang sebenarnya merupakan pembunuhan potensi daerah.
Dalam pembelajaran atau kegiatan belajar mengajar, MBS
menekankan pada pembelajaran aktif, efektif dan menyenangkan. Dengan
demkian siswa betah berada di kelas karena guru berperan sebagai
fasilitator belajar siswa yang kreatif dan dinamik. Peran guru sebagai
fasilitator, diharapkan untuk menggunakan pendekatan dan strategi
pembelajaran atau manajemen kelas yang bervariasi, mengatur kelas
dalam suasana yang menyenagkan dan pada setiap pembelajaran selalu
22
berupaya untuk menyiapkan dan menggunakan alat peraga dan penunjang
pembelajaran lainnya sehingga pembelajaran benar-benar menyenangkan.
Dengan semangat belajar yang tinggi, serta mendapat dukungan
dari masyarakat dan orang tua siswa akan mengurangi bahkan
menghabiskan masalah putus sekolah. Masalah putus sekolah, bukan
hanya disebabkan faktor ekonomi, akan tetapi iklim belajar yang tidak
kondusif juga ikut andil dalam semakin tingginya angka putus sekolah.
Supriono mengutip pendapatnya S. Bellen mengatakan ciri MBS antara
lain22:
a. Ada upaya peningkatan peran serta BP3 dan masyarakat untuk
mendukung kinerja sekolah.
b. Program sekolah disusun dan dilaksanakan dengan mengutamakan
kepentingan proses belajar mengajar, bukan kepentingan administratif.
c. Menerapkan prinsip efektifitas dan efesiensi dalam penggunaan
sumber daya sekolah.
d. Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan,
kemampuan dan kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola
umum atau kebiasaan.
e. Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab kepada
masyarakat, selain kepada pemerintah atau yayasan.
f. Meningkatkan profesionalisme personil sekolah.
g. Meningkatkan kemandirian sekolah di segala bidang.
h. Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program
sekolah, pelaksanaan sampai dengan evaluasi.
i. Adanya eterbukaan dalam pengelolaan pendidikan sekolah, baik yang
menyangkut program, anggaran, ketenagaan, prestasi sampai dengan
pelaporan.
j. Pertanggung jawaban sekolah dilakukan baik terhadap pemerintah,
yayasan, maupun masyarakat.
22
Supriono S dan Achmad Sapari. Manajemen Berbasis Sekolah. (Anggota IKAPI Cabang
Jatim, 2001), hlm. 8.
23
B. Mutu Tenaga Pendidik
1. Pengertian Mutu Tenaga Pendidik
Mutu tenaga pendidik terdiri atas dua rangkaian kata yaitu
“mutu” dan “tenaga pendidik”. Menurut Syaiful Sagala, mutu berkenaan
dengan penilaian bagaimana suatu prodok memenuhi kreteria, standar atau
rujukan tertentu. Dalam dunia pendidikan, standar ini menurut Depdiknas
dapat dirumuskan melalui hasil belajar mata pelajaran skolastik yang dapat
diukur secara kuantitatif, dan pengamatan yang bersifat kualitatif,
kususnya untuk bidang-bidang pendidikan social. Rumusan mutu
pendidikan bersifat dinamis dan dapat ditelaah dari berbagai sudut
pandang. Kesepakatan tentang konsep mutu dikembalikan pada rumusan
acuan atau rujukan yang ada seperti kebijakan pendidikan, proses belajar
mengajar, kurikulum ,sarana prasarana , fasilitas pembelajaran dan tenaga
kependidikan
sesuai
dengan
kesepakatan
pihak-pihak
yang
berkepentingan.23
Tenaga pendidik atau yang biasa kita kenal dengan isilah guru
adalah sebuah profesi, sebagaimana profesi pada umumnya yang merujuk
pada pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan
kesetiaan. Guru merupakan sebuah profesi yang memerulukan keahlian
khusus sebagai guru. Jenis pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh
sembarang orang di luar bidang kependidikan. Suatu profesi umumnya
berkembang dari pekerjaan, kemudan berkembang semakin matang serta
ditunjang oleh tiga hal (keahlian, komitmen, dan keterampilan) yang
membentuk sebuah segitiga sama sisi yang di tengahnya terletak
profesionalisme, walaupun kenyataannya masih dilakukan oleh orang di
luar kependidikan atau orang yang tidak ditunjang oleh profesionalisme
yang matang. Karena itulah, jenis profesi ini paling mudah terkena
pencemaran.
Secara sederhana dan tanpa batasan pada hal-hal yang bersifat
spesifik, guru dapat didefinisikan sebagai pihak yang merupakan subjek
23
Saiful Sagala. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, (Bandung:
Alfabeta 2009) hlm.170
24
dari pelaksana pendidikan24. Sementara itu Singgih D Gunarsa
mendefinisikan guru sebagai orang yang membantu peserta didik untuk
mencapai tujuan yang hendak dicapai. 25 Secara leksial dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata
pencahariannya, profesinya) mengajar.26
Dalam konteks ini dapat disimpulkan bahwa guru adalah tenaga
profesional yang pekerjaan utamanya mengajar dan mendidik sebagai
bentuk pengabdian kepada komunitas belajar (learning community) atau
dalam lingkup lebih luas kepada masyarakat, bangsa, dan Negara. Dengan
kesimpulan ini, maka setiap aktivitas yang dilakukan seseorang dalam
konteks pendidikan akan terejawantahkan dalam bentuk sebagai fasilitator,
inisiator, mediator, maupun evaluator.
2. Standar Mutu Tenaga Pendidik
Dalam PP No 19 Tahun 2005 pasal 2 (1) bahwa: “Standar
Nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan,
tenaga pendidik dan kependidikan, sarana dan prasaranan, pengelolaan,
pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara
berencana dan berkala”.27
Standar pendidik dan tenaga kependidikan dalam SNP pasal 28
(1) bahwa: “Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan
kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.
Sedangkan
ayat
(2) menjelaskan bahwa:
“kualifikasi
akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal
yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan
ijazah
dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku”. Adapun pada ayat (3) menjelaskan
bahwa: “kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan
24
Amir Dien Indrakusuma, Ilmu Pendidikan; Sebuah Tinjauan Teoritis Filosofis,
(Surabaya: Usaha Nasional.Tt) hlm. 23.
25
Singgih D Gunarsa dan Yulia Singgih D Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 109.
26
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm.377.
27
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 19 Tahun 2005 Tentang Sistem Pendidikan
Nasion
PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH UNTUK
MENINGKATKAN MUTU TENAGA PENDIDIK (STUDI MULITISITUS
DI SMA NEGERI 1 MALANG DAN SMA NEGERI 3 MALANG)
PROPOSAL TESIS
ABU HASAN SUYUTI
13710005
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2016
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A.
Konteks Penelitian.....................................................................................1
B.
Fokus Penelitian........................................................................................8
C.
Tujuan Penelitian.......................................................................................9
D.
Manfaat Penelitian.....................................................................................9
E.
Orisinalitas Penelitian..............................................................................10
F.
Batasan Istilah.............................................................................................15
G.
Sistematika Pembahasan.........................................................................15
BAB II KAJIAN PUSTAKA.................................................................................17
A.
Manajemen Berbasis Sekolah.................................................................17
1.
Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah............................................17
2.
Teori Tentang MBS..............................................................................19
3.
Karakteristik MBS...............................................................................21
4.
Ciri-ciri MBS.......................................................................................23
B.
Mutu Tenaga Pendidik.............................................................................25
1.
Pengertian Mutu Tenaga Pendidik.......................................................25
2.
Standar Mutu Tenaga Pendidik............................................................26
BAB III METODE PENELITIAN.........................................................................34
A.
Pendekatan dan Jenis Penelitian..............................................................34
B.
Kehadiran Peneliti...................................................................................36
C.
Latar Penelitian........................................................................................37
D.
Data dan Sumber Data Penelitian............................................................37
E.
Teknik Pengumpulan Data......................................................................38
F.
Teknik Analisis Data...................................................................................42
G.
Pengecekan Keabsahan Data...................................................................45
DAFTAR RUJUKAN............................................................................................48
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian
Penyelenggaraaan pendidikan di Indonesia yang pada mulanya
bersifat sentralistik, membuat proses penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia tidak merata yang mana sebagian besar SDM yang berkualitas
hanya dimiliki atau berada di wilayah perkotaan. Keadaan demikian
menjadikan pemerintah mengambil kebijakan dengan mengubah sistem
pendidikan nasional yang awalnya sentralistik menjadi sistem desentralisasi
untuk memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia secara merata dengan
mengeluarkan peraturan perundang-undangan yakni undang-undang No. 25
tahun 2000 tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional tahun 20002004.
Disisi lain, dalam undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan
bangsa1. Landasan normatif tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi ramburambu bagi pelaksanaan desentralisasi pendidikan. akan tetapi, perlu juga
adanya standarisasi dan pengendalian mutu secara nasional sebagai upaya
membentuk
kesatuan
“referensi” dalam mencapai
pendidikan
yang
berkualitas.
Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih
kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus
memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif guna
mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah. Dalam kerangka
inilah, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) tampil sebagai paradigma baru
manajemen pendidikan yang ditawarkan. Konsep MBS ini merupakan
pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesign pengelolaan sekolah
dengan memberikan kekuasaan sepenuhnya kepada kepala sekolah untuk
menata, mengatur dan mengelola sekolah serta meningkatkan partisipasi
1
Umiarso dan Imam Gojali, Manajemen, hlm. 395.
1
masyarakat.2
Dengan
adanya
MBS
ini
diharapkan
mampu
untuk
meningkatkan mutu pendidikan yang juga berorientasi pada proses
pelaksanaan pendidikan, bukan hanya berorientasi pada input yang selama ini
banyak terjadi pada sekolah di Indonesia.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) juga bertujuan untuk
meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian wewenang dan tanggung
jawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan
prinsip-prinsip pengelolaan sekolah yang baik, yaitu partisipasi, transparansi,
dan akuntabilitas. Kinerja sekolah meliputi peningkatan kualitas, efektivitas,
efisiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan.
Kualitas merupakan gambaran dan karakteristik menyeluruh dari
barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan
kebutuhan yang ditentukan.3 Dalam konteks pendidikan, kualitas meliputi
input, proses, dan output. Untuk output sekolah dapat dikategorikan menjadi
akademik seperti Nilai Ujian Akhir Nasional dan nonakademik seperti
kesenian dan olahraga. Mutu output sekolah dipengaruhi oleh kesiapan input
dan proses pendidikan. kuantitas input sekolah antara lain jumlah guru, modal
sekolah, bahan, dan energi. Kuantitas output sekolah antara lain terdiri atas
jumlah siswa yang lulus setiap tahun.
Sebagai contoh produktivitas, misalnya sebuah sekolah dapat
meluluskan siswa lebih banyak pada tahun ini daripada tahun sebelumnya
dengan input yang sama (jumlah guru, fasilitas, dsb), dapat dikatakan bahwa
tahun ini sekolah tersebut lebih produktif daripada tahun sebelumnya.
Efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauh mana tujuan dapat dicapai.
Dalam bentuk persamaan, efektivitas sama dengan hasil nyata dibagi hasil
yang diharapkan.4 Misalnya, Nilai Ujian Akhir Nasional (NUAN) ideal
adalah 60, namun NUAN yang diperoleh siswa hanya 45, maka
efektivitasnya adalah 45:60=75%.
Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu efisiensi internal
dan efisiensi eksternal. Efisienisi internal menunjukkan hubungan antara
2
Edi Setiawan, Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SMK Negeri 1
Bantul, (Yogyakarta: Jurnal Manajemen Pendidikan Edisi ke 1, 2016)
3
Rohiat, Manajemen Sekolah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hlm. 49.
4
Rohiat, Manajemen Sekolah, hlm. 49.
2
output sekolah dan input yang digunakan untuk menghasilkan output
sekolah5. Efisiensi internal sekolah biasanya diukur dengan biaya efektivitas.
Setiap penilaian biaya efektivitas selalu memerlukan dua hal, yaitu penilaian
ekonomi untuk mengukur biaya masukan (input) dan penilaian hasil
pembelajaran. Misalnya, jika dengan biaya yang sama, tetapi NUAN tahun
ini lebih baik daripada tahun sebelumnya , dapat disimpulkan bahwa tahun ini
sekolah tersebut lebih efisien secara internal daripada tahun lalu.
Efisiensi eksternal adalah hubungan antara biaya yang digunakan
untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif (individual, sosial,
ekonomi dan nonekonomi) yang didapat diluar sekolah setelah kurun waktu
yang cukup panjang.6 Untuk mengukur efisiensi eksternal, alat yang
digunakan adalah analisis biaya. Misalnya, SMP 1 dan SMP 2 menggunakan
biaya yang sama setiap tahunnya, tetapi lulusan SMP 1 mendapatkan upah
yang lebih besar daripada SMP 2 setelah mereka bekerja. Dengan hasil
tersebut, maka dapat disimpulkan SMP 1 lebih efisien secara eksternal
daripada SMP 2.
Merubah paradigma manajemen pendidikan dari sentralisasi menjadi
desentralisasi tentu bukan hal yang mudah. Perubahan sistem yang digunakan
membutuhkan adaptasi pada tiap-tiap lembaga pendidikan sesuai dengan
kondisi sosial culture lingkungan dan SDM yang ada. Jika sebelumnya
sekolah hanya menjalankan perintah dari pemerintah yang berkuasa, maka
pada saat ini sekolah diberi kebebasan dan wewenang dalam mengelola
lembaganya untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat serta
persaingan dalam era globalisasi. Apakah dengan dibebaskannya sekolah
dalam mengatur kebijakan mereka dapat meningkatkan kualitas pendidikan?
apakah
sekolah
dapat
meningkatkan
kualitas,
efektivitas,
efisiensi,
produktivitas, dan inovasi pendidikan dengan sistem baru tersebut?
Permasalahan yang muncul untuk meningkatkan kualitas pendidikan
bukan hanya terletak pada manajemen. SDM yang ada pada sebuah lembaga
juga menentukan bagaimana pendidikan dapat maju dan berkembang. Guru
5
Rohiat, Manajemen , hlm. 50.
Rohiat, Manajemen. hlm. 50.
6
3
sebagai seorang tenaga pendidik dituntut untuk profesional sehingga apa yang
menjadi visi dan misi sebuah lembaga pendidikan dapat terlaksana.
Menjadi seorang tenaga pendidik profesional yang bertujuan untuk
mencerdaskan bangsa bukan hal yang mudah. Hal ini bisa dibuktikan dengan
banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum guru pada anak
didiknya di sekolah. Kasus seperti ini tentu saja mengusik kesadaran kita
karena guru secara sosial menempati posisi yang sangat mulia di masyarakat.
Jangankan mencederai peserta didik, guru terlibat dalam jual-beli buku,
nyambi sebagai tukang ojek atau les privat pun – meski secara hukum tidak
dilarang – biasanya tetap dianggap kurang “etis” karena mencederai martabat
seorang guru. Karena itu, bagaimanapun posisi seorang guru dari segi
ekonomis kurang menjanjikan tapi secara sosial tetap terhormat.
Regulasi tentang rambu-rambu atau syarat untuk menjadi tenaga
pendidik sebenarnya sudah cukup jelas. Dalam pasal 40 ayat (2) UU
No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) misalnya,
dijelaskan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan wajib memberikan
teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kepercayaan yang
diberikan kepadanya. Demikian juga dalam PP 19/2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP) maupun PP 74/2008 bahwa seorang guru minimal
harus memiliki empat kompetensi dasar yaitu kompetensi pedagogik,
kepribadian, profesional, dan sosial. Ini berarti seorang guru tidak hanya
dituntut terampil dalam segi teknis-akademis semata tapi juga harus menjadi
pribadi yang hangat, menyenangkan dan berwibawa.
Tapi mengapa kekerasan terjadi? Tentu ada banyak faktor
penyebabnya. Salah satunya adalah rendahnya mutu guru. E Mulayasa
mengatakan, ada empat faktor yang menyebabkan rendahnya mutu guru. (1)
Masih banyak guru yang belum menekuni profesinya secara utuh disebabkan
rendahnya tingkat kesejahteraan; (2) belum adanya standar profesional guru
sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan adanya
pergurua tinggi swasta yang mencetak guru asal jadi, atau setengah jadi, tanpa
memperhitungkan outputnya kelak di lapangan; dan (4) kurangnya motivasi
4
guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk
meneliti sebagaimana doseni di perguruan tinggi.7
Dengan demikian penyebab rendahnya mutu tenaga pendidik
bersifat struktural dan kultural8. Secara struktural, akar penyebab sebagian
masalah rendahnya mutu guru adalah dampak dari kebijakan yang
menganggap pendidikan hanya sebagai “catatan kaki” dari ground design dan
paradigma pembangunan nasional kita selama ini. Sedangkan secara kultural,
peningkatan mutu guru berhadapan dengan budaya masyarakat yang
cenderung pragmatis dan instan.
Sejatinya upaya memberdayakan kinerja tenaga pendidik dan tenaga
kependidikan dalam kontek MBS adalah untuk meningkatkan kualitas tenaga
pendidik dan kependikan selain melalui koordinasi dan komunikasi.
Koordinasi yang dilakukan kepala sekolah dengan tenaga pendidik dan
masyarakat dapat secara vertikal, horisontal, fungsional dan diagonal.
Koordinasi juga dapat dilakukan secara internal dan eksternal dan secara terus
menerus sebagai langkah konsolidasi dalam memperkuat Kelembagaan
Pendidikan untuk mencapai suatu tujuan. Contohnya mengadakan pertemuan
informal dengan para pejabat, mengadakan rapat, baik rapat koordinasi antar
Kepala Sekolah, Sekolah dengan Guru, dengan komite maupun dengan orang
tua siswa.
Menjawab pertanyaan tersebut memerlukan sebuah telaah yang
mendalam. Terlepas dari sistem manajemen yang digunakan, Sekolah sebagai
sebuah lembaga pendidikan mempunyai tanggung jawab besar dalam
mencetak masa depan bangsa, dengan cara apapun dituntut untuk
berkembang dan melahirkan inovasi baru dalam dunia pendidikan serta
mencetak generasi yang lebih baik dan menjadikan Negara kita dapat berdiri
sejajar dengan Negara maju lainnya.
Untuk mengkaji lebih lanjut bagaimana peran Manajemen Berbasis
Sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan adalah dengan meneliti
secara langsung bagaimana penerapan MBS. SMA Negeri 1 Malang dan
7
E Mulayasa. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. (Bandung: Rosda Karya, 2008)
hlm. 10.
8
Fitriani. “Problema Peningkatan Guru di Indonesia”, Pendidikan Islam, 1, (Tb, Tt).
5
SMA Negeri 3 Malang merupakan dua lembaga pendidikan yang peneliti
pilih untuk meneliti bagaimana penerapan manajemen sekolah yang
penerapannya “dibebaskan” oleh pemerintah.
SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3 Malang merupakan dua
diantara sekolah favorit yang terdapat di kota Malang. Kemajuan yang
dicapai oleh kedua lembaga tersebut tidak lepas dari peran kepala sekolah
sebagai manajer dalam mengatur manajemen sehingga dapat menarik minat
masyarakat untuk menyekolahkan anak mereka di dua lembaga tersebut.
Begitu juga dengan kuailtas tenaga pendidik yang mereka miliki, hamper
semua tenaga pendidik yang ada mengenyam pendidikan strata 2 (S2).
Dibalik kesuksesan SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3
Malang dalam mengambil kepercayaan masyarakat sebagai lembaga yang
maju, selain terus meningkatkan kualitas tenaga pendidik juga melibatkan
masyarakat untuk mengambil bagian dalam memajukan kualitas mereka.
Bapak Basuki menuturkan “selain top-down, kami juga menerima masukan
dari masyarakat. Masyarakat kami wadahi dalam Ikatan Alumni (IKA) dan
komite sekolah. Jadi begitu ada permasalahan kami tidak serta merta
mengambil keputusan sepihak, tetapi kami juga melibatkan masyarakat dalam
mengambil keputusan. Sedangkan mengenai peningkatan mutu tenaga
pendidik, kami mempunyai beberapa strategi; pertama, peningkatan mutu
guru yang merupakan program pemerintah. Kedua, peningkatan mutu guru
yang berkaitan dengan lembaga. Ketiga, peningkatan mutu guru dengan
menggunakan media lintas lembaga”.9 Begitu juga dengan SMA Negeri 1
Malang, ketika peneliti menanyakan tentang peran masyarakat dalam
lembaga , Ibu Dewi Endahsari mengatakan “kalau ditanya mengenai peran
masyarakat, tentu masyarakat berperan besar dalam sekolah. Sebagai contoh,
biasanya ada pihak luar seperti kepolisian memberikan materi kepada siswa,
kadang dari kedokteran, dan kadang dari PMII. Masyarakat juga membantu
kami dalam menngkatkan kualitas tenaga pendidik, seperti memberikan
sumbangan kepada kami baik berupa materi maupun fikiran, dan ini kami
wadahi dalam komite. Sedangkan mengenai peningkatan mutu tenaga
9
Wawancara dengan bapak Drs. Basuki Agus Priyana Putra pada hari, kamis 07 Mei 2015
pukul 09.30 WIB.
6
pendidik, kami mempunyai dua strategi yaitu akademik dan non-akademik.
Jalur akademik contohnya seperti kami menyekolahkan guru yang dirasa
memang perlu untuk disekolahkan. Sedangkan jalur non-akademik seperti
adanya pelatihan membuat soal berbasis IT, membuat PTK, membuat media
pembelajaran, dan sebagainya”.10
Bertitik tolak dari uraian di atas, penulis terdorong untuk mengkaji
lebih dalam lagi kemudian diangkat menjadi tema dengan judul “Penerapan
Manajemen Berbasis Sekolah Untuk Meningkatkan Mutu Tenaga
Pendidik (Studi Multisitus di SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3
Malang)”.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan konteks penelitian di atas, supaya penelitian ini menjadi
lebih terarah dan mengkrucut, maka penulis akan memfokuskan penelitian ini
pada lingkup penerapan Manajemen Berbasis Sekolah dalam meningkatkan
mutu tenaga pendidik di SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3 Malang.
Untuk perinciannya terwakili dalam tiga poin di bawah ini.
1. Bagaimana konsep Manajemen Berbasis Sekolah dalam peningkatkan
mutu tenaga pendidik di SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3
Malang?
2. Bagaimana keterlibatan stakeholder dalam peningkatkan mutu tenaga
pendidik sebagai perwujudan dari manajemen berbasis sekolah di SMA
Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3 Malang?
3. Bagaimana dampak keterlibatan stakeholder dalam peningkatan mutu
tenaga pendidik di SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3 Malang?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan
sesuai dengan poin-poin yang ada pada fokus penelitian di atas, yaitu untuk
memahami secara mendalam mengenai dua poin di bawah ini.
10
Wawancara dengan Ibu Dewi Endahsari M. Pd, pada hari, kamis 07 Mei 2015 pukul
10.30 WIB.
7
1. Untuk menjelaskan konsep Manajemen Berbasis Sekolah dalam
meningkatkan mutu tenaga pendidik di SMA Negeri 1 Malang dan SMA
Negeri 3 Malang.
2. Untuk
mendeskripsikan
keterlibatan
masyarakat/stakeholder
dalam
peningkatan mutu tenaga pendidik sebagai perwujudan dari manajemen
berbasis sekolah di SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3 Malang.
3. Untuk mendeskripsikan dampak keterlibatan masyarakat/stakeholder
dalam peningkatan mutu tenaga pendidik di SMA Negeri 1 Malang dan
SMA Negeri 3 Malang.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para peneliti
dari dua sisi, yaitu pada tataran teoretis dan juga praktis. Penelitian ini pada
tataran teoretis diharapkan bisa menjadi tambahan pengetahuan dalam
pengembangan ilmu manajemen pendidikan Islam khususnya bidang
manajemen berbasis sekolah, hasil penelitian ini juga diharapkan bisa
menjadi rujukan bagi penelitian setelahnya terkait tema yang sama. Adapun
manfaat praktis yang dapat diharapkan dari hasil penelitian ini adalah;
1. Memberikan kontribusi pemikiran baru terhadap praktisi pendidikan
dalam bidang pengembangan manajemen berbasis sekolah,
2. Sebagai bahan pertimbangan pimpinan lembaga dan semua civitas
akademika SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3 Malang dalam
membuat kebijakan untuk mengembangkan mutu tenaga pendidik,
3. Memberikan kontribusi moril bagi para penanggung jawab dan SDM yang
ada sehingga mampu melakukan pekerjaannya secara lebih baik lagi, dan
4. Menjadi bahan analisis dan kajian lebih lanjut bagi para peneliti
selanjutnya dengan permasalahan yang bisa jadi sama namum objek
penelitian yang berbeda atau bahkan sebaliknya.
E. Orisinalitas Penelitian
Demi pendalaman pemahaman terhadap penelitian ini, diperlukan
adanya kajian terdahulu yang telah dilakukan oleh peneliti lain. Hal ini
8
diperlukan untuk mengetahui posisi penelitian yang akan peneliti lakukan,
sehingga terlihat perbedaan dan persamaannya dengan penelitian-penelitian
sebelumnya. Sejauh penelaahan peneliti mengenai penelitian yang menurut
peneliti memiliki kemiripan dan relevansi dengan penelitian yang akan
peneliti lakukan antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, Penelitian yang dilakukan oleh Tety Yuliana tentang
Kemampuan Kepala Sekolah dalam Implementasi MPMBS; Studi Kasus di
SMP Negeri 2 Brebes. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan
kepala sekolah SMP Negeri 2 Brebes dalam Implementasi MPMBS dengan
fokus penelitian; Sejauh manakah kemampuan kepala sekolah dalam
mengimplementasikan MPMBS. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif
field research.11
Kedua, Gatot Kuncoro melakukan penelitian tentang Peran Kepala
Sekolah dalam Implementasi MBS di MTs Negeri Piyungan Yogyakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan peran kepala
sekolah dalam implementasi MBS di MTs Negeri Piyungan Yogyakarta
dengan fokus penelitian, (1) Bagaimana implementasi MBS di MTs Negeri
Piyungan Yogyakarta, (2) Bagaimana peran kepala madrasah dalam
implementasi MBS di MTs Negeri Piyungan Yogyakarta, dan (3) Faktor apa
yang menjadi pendukung dan penghambat peran kepala madrasah dalam
implementasi MBS di MTs Negeri Piyungan Yogyakarta. Pendekatan
penelitian ini adalah kualitatif, dengan metode pengumpulan data observasi,
interview, dan dokumentasi. 12
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Susilawaty, Cut Zahri Harun
dan Khairuddin tentang Manajemen Berbasis Sekolah dalam Pengelolaan
Pembiayaan Sekolah di SD Negeri 4 Kota Banda Aceh. Penelitian ini
bertujuan untuk mengungkapkan dan menganalisa pengelolaan pembiayaan
pada SD Negeri 4 kota Banda Aceh. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
11
Tety Yuliana, Manajemen Pendidikan. Kemampuan Kepala Sekolah dalam Implementasi
MPMBS; Studi Kasus di SMP Negeri 2 Brebes, (Semarang: Tesis Pascasarjana Universitas Negeri
Semarang, 2013)
12
Gatot Kuncoro, Peran Kepala Sekolah dalam Implementasi MBS di MTs Negeri
Piyungan Yogyakarta, (Yogyakarta: Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008)
9
Perencanaan pembiayaan di SD Negeri 4 Banda Aceh disusun berdasarkan
pada rencana pengembangan sekolah dan merupakan bagian dari rencana
operasional tahunan. Pelaksanaan atau pemanfaatan anggaran diawali dengan
serangkaian kegiatan pemeriksaan dan persetujuan untuk memastikan bahwa
dana dibelanjakan sesuai rencana, dilakukan dengan memanfaatkan sumber
daya yang tersedia, dan dana tidak dihabiskan untuk kegiatan-kegiatan yang
tidak disetujui atau diberikan kepada pihak penerima tanpa persetujuan.
Pengevaluasian dilakukan setiap triwulan atau per semester. Dana yang
digunakan dipertanggungjawabkan kepada sumber dana baik pemerintah
kota, provinsi, pusat maupun orang tua/wali dan masyarakat.13
Terakhir, Jurnal yang ditulis oleh Nurdin Mansur tentang
Meningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang memiliki karakteristik
pemberdayaan dalam berbagai hal, seperti: (1) Penyusunan kelompok kecil.
(2) Pengalihan tanggung jawab. (3) Pimpinan oleh para partisipan. (4) Guru
sebagai fasilitator. (5) Proses bersifat demokratis dan hubungan kinerja yang
luwes. Segala sesuatu dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
dirundingkan bersama dalam kedudukan yang sederajat dan diputuskan
melalui jalan demokratis.Maka melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
diharapkan para kepala sekolah, guru dan personalia serta masyarakat mampu
melaksanakan pendidikan sesuai dengan kebutuhan, perkembangan zaman,
karakteristik lingkungan dan tuntutan dunia pendidikan global.14
Tabel di bawah memaparkan posisi penelitian ini dalam deretan
dengan penelitian maupun tulisan setema sebelumnya:
Tabel 1.1 State Of The Arts
No
Peneliti
dan
Tahun
Terbit
Tema dan
Tempat
Penelitian
1
2
3
Variabel
Penelitian
Pendeka
tan dan
Lingkup
Penelitian
Temuan Penelitian
4
5
6
13
Susilawaty, Cut Zahri Harun dan Khairuddin, Manajemen Berbasis Sekolah dalam
Pengelolaan Pembiayaan Sekolah di SD Negeri 4 Kota Banda Aceh, (Aceh: Jurnal Administrasi
Pendidikan Universitas Syiah Kuala Vol. 1, No. 2, 2012)
14
Nurdin Mansur, Meningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah, (Aceh: Jurnal Ilmiah Didaktika, Vol. XIV, No. 1, 2013)
10
1.
2.
3.
Tety
Yuliana
(2013)
Kemampuan
Kepala
Sekolah
dalam
Implementasi
MPMBS;
Studi Kasus
di SMP
Negeri 2
Brebes (Tesis)
Kemampuan
Kepala
Sekolah dan Kualitatif
Implementasi
MPMBS
Gatot
Kuncoro
(2008)
Peran Kepala
Sekolah
dalam
Implementasi
MBS di MTs
Negeri
Piyungan
Yogyakarta
(Tesis)
Peran Kepala
Sekolah dan
Kualitatif
Implementasi
MBS
Susilawaty Manajemen
, Cut Zahri Berbasis
Harun dan Sekolah
Khairuddi dalam
n (2012)
Pengelolaan
Pembiayaan
Sekolah di
SD Negeri 4
Kota Banda
Manajemen
Berbasis
Sekolah dan
Pengelolaan
Pembiayaan
11
Kualitatif
Implementasi
MPMBS, yang
dilaksanakan oleh
Kepala SMP Negeri 2
Brebes meliputi:
1). Proses Belajar
Mengajar;
2). Perencanaan
Program Sekolah;
3). Pengelolaan
Kurikulum;
4). Pengelolaan
Ketenagaan;
5). Pengelolaan
Peralatan dan
Perlengkapan;
6). Pengelolaan
Keuangan;
7). Pelayanan Siswa;
8) Hubungan Sekolah
Masyarakat;
9). Pengelolaan Iklim
Sekolah adalah cukup
memadai.
Implementasi MBS di
MTs. Negeri Piyungan
dapat dikategorikan
masih dalam periode
jangka pendek. Pada
tahap ini kepala
sekolah mengajak
seluruh staf dan
komite sekolah untuk
merumuskan visi dan
misi madrasah dan
bertanggung jawab
terhadap kemajuan
madarasah secara
bersama-sama.
Perencanaan
pembiayaan di SD
Negeri 4 Banda Aceh
disusun berdasarkan
pada rencana
pengembangan
sekolah dan
merupakan bagian dari
rencana operasional
Aceh (Jurnal)
4.
Nurdin
Mansur
(2013)
Meningkatan
Mutu
Pendidikan
Melalui
Penerapan
Manajemen
Berbasis
Sekolah
(Jurnal)
Mutu
Pendidikan
dan
Penerapan
Manajemen
Berbasis
Sekolah
Kualitatif
tahunan.
Pelaksanaan atau
pemanfaatan anggaran
diawali dengan
serangkaian kegiatan
pemeriksaan dan
persetujuan untuk
memastikan bahwa
dana dibelanjakan
sesuai rencana,
dilakukan dengan
memanfaatkan sumber
daya yang tersedia,
dan dana tidak
dihabiskan untuk
kegiatan-kegiatan
yang tidak disetujui
atau diberikan kepada
pihak penerima tanpa
persetujuan.
Pengevaluasian
dilakukan setiap
triwulan atau per
semester.
Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) yang
memiliki karakteristik
pemberdayaan dalam
berbagai hal, seperti:
(1) Penyusunan
kelompok kecil.
(2) Pengalihan
tanggung jawab.
(3) Pimpinan oleh para
partisipan.
(4) Guru sebagai
fasilitator.
(5) Proses bersifat
demokratis dan
hubungan kinerja yang
luwes.
Tabel 1.2 Posisi Penelitian
No
Peneliti
dan
Tahun
Tema dan
Tempat
Penelitian
Variabel
Penelitian
12
Pendekatan
Penelitian
Temuan Penelitian
Penelitia
n
5.
Abu
Hasan
Suyuti
(2016)
Penerapan
Manajemen
Berbasis
Sekolah Untuk
Meningkatkan
Mutu Tenaga
Pendidik
(Studi
Multisitus di
SMA Negeri 1
Malang dan
SMA Negeri 3
Malang)
(Tesis)
Manajemen
Berbasis
Sekolah dan
Mutu Tenaga
Pendidik
Kualitatif
1. Konsep
Manajemen
Berbasis Sekolah
dalam
peningkatkan
mutu tenaga
pendidik
2. Keterlibatan
Stakeholder
dalam
peningkatkan
mutu tenaga
pendidik
3. Dampak
keterlibatan
stakeholder
dalam
peningkatan
mutu tenaga
pendidik
Demikian beberapa hasil pelacakan terhadap berbagai kajian yang
bertema Manajemen Berbasis Sekolah. Dari sekian laporan hasil kajiankajian tersebut mayoritas mengungkap implementasi Manajemen Berbasis
Sekolah, namun sejauh ini tidak satupun dari kajian-kajian tersebut yang
mengungkap dan melakukan penelitian tentang Penerapan Manajemen
Berbasis Sekolah Untuk Meningkatkan Mutu Tenaga Pendidik (Studi
Multisitus di SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3 Malang). Jika dilihat
dari sisi Manajemen Pendidikan Islam (MPI), implementasi Manajemen
Berbasis Sekolah merupakan salah satu aspek penting dalam manajemen
pengelolaan lembaga pendidikan.
Ada beberapa alasan mengapa dalam penelitian ini difokuskan pada
Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah Untuk Meningkatkan Mutu Tenaga
Pendidik. Pertama, karena perubahan paradigma pendidikan dari manajemen
konvensional menuju MBS perlu dikaji labih lanjut terkait dengan sejauh
kualitas guru yang dihasilkan. Kedua, MBS sebagai sebuah sistem
manajemen pendidikan yang melibatkan peran serta masyarakat tentu
13
mempunyai dampak dari keterlibatan masyarakat itu sendiri. Peneliti
berusaha menemukan apa saja dampak dari sistem manajemen pendidikan
ini.
F.
Batasan Istilah
Supaya dalam penelitian ini tidak terjadi kerancuan, maka peneliti
perlu menjelaskan dan menegaskan arti beberapa istilah penting sebagai
berikut:
1. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah yang selanjutnya disebut
dengan MBS adalah penerapan bagaimana sekolah dalam hal ini adalah
SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3 Malang menerapkan sistem
manajemen yang berbasis pada sekolah sebagai penyelenggaranya.
2. Peningkatan Mutu Tenaga Pendidik adalah langkah yang dilakukan
lembaga pendidikan untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik dalam
hal ini adalah guru SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3 Malang.
3. Konsep MBS adalah representasi umum tentang manajemen berbasis
sekolah yang dipergunakan oleh sekolah untuk meningkatkan kualitas
tenaga pendidik.
4. Keterlibatan Stakeholder berasal dari dua kata yaitu keterlibatan dan
stakeholder. Stakeholder merupakan kelompok/individu yang dapat
mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan. Jadi
keterlibatan stakeholder adalah keterlibatan kelompok atau individu dalam
peningkatan mutu tenaga pendidik dalam mewujudkan manajemen
berbasis sekolah.
G. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini akan ditulis dalam enam bab, dan pada masing-masing
bab memuat beberapa sub bab yang disusun secara sistematis sesuai dengan
tema pokok dalam penelitian ini.
Bab Satu, Pendahuluan. Memuat sub bab, yaitu: Konteks Penelitian,
Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Orisinalitas
Penelitian, dan Difinisi Istlah. Secara keseluruhan isi Bab Satu berisi
14
gambaran umum tentang proses penelitian yang akan di lakukan dan
membahas tentang mengapa penelitian tersebut penting untuk dilakukan.
Bab Dua, Kajian Pustaka. Membahas tentang beberapa teori yang
berkaitan dengan Manajemen Berbasis Sekolah dan peningkatan mutu tenaga
pendidik. Telaah teori ini nantinya akan menjadi pijakan bagi peneliti dalam
menelaah upaya peningkatan mutu tenaga pendidik SMA Negeri 1 Malang
dan SMA Negeri 3 Malang.
BAB Tiga, Metode Penelitian. Pada bagian ini mengurai proses
penelitian yang akan dilakukan mulai dari sifat dan pendekatan penelitian,
sampai dengan strategi pengmbilan dan analisi data, kemudian dilanjutkan
dengan metode pelaporan atau penyajian data
Bab Empat. Paparan Data dan Hasil Penelitian. Pada bagain ini akan
diuran beberapa data yang ditemukan saat proses penelitian untuk
memberikan gambaran utuh (objektif) mengenai proses pengembangan mutu
yang dilakukan oleh kepala sekolah SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri
3 Malang.
Bab Lima. Pembahasan. Di Bab Lima ini peneliti akan melakukan
“telaah” atau kajian mendalam terhadap data yang ditemukan saat penelitian
untuk kemudian dirumuskan dalam sebuah model peningkatan mutu tenaga
pendidik yang dilakukan oleh SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 3
Malang.
Bab Enam. Kesimpulan. Ia merupakan bagian terkhir dalam
penelitian ini. Karenanya, akan diurai beberapa poin-poin penting tentang
beberapa hal yang ditemukan oleh peneliti sejak awal penelitian ini
dirumuskan. Beberapa poin itu juga yang akan menjawab tiga fokus
penelitian yang telah peneliti cantumkan di awal penelitian ini.
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Manajemen Berbasis Sekolah
1. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah berasalah dari tiga kata yaitu,
manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen berasal dari kata to
manage yang berarti mengelola. Pengelolaan dilakukan melalui proses dan
dikelola berdasarkan urutan dan fungsi-fungsi manajemen itu sendiri.
Manajemen adalah melakukan pengelolaan sumberdaya yang dimiliki oleh
sekolah/organisasi yang dilakukan dengan sistematis dalam suatu proses. 15
Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah
adalah lembaga untuk belajar mengajar serta tempat untuk menerima dan
memberi pelajaran. Berdasarkan makna leksial tersebut maka MBS dapat
diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berdasarkan pada sekolah
itu sendiri dalam proses belajar atau mengajar.16
Di pandang dari asal-usul peristilahan, MBS merupakan
terjemahan langsung dari School Based Managemen (SBM). Istilah ini
pada mulanya muncul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an sebagai
suatu sistem alternatif untuk mereformasi pengelolaan sekolah. Reformasi
itu dirasa penting karena selama puluhan tahun sekolah tidak dapat
menunjukkan peningkatan yang berarti dalam memenuhi tuntutan
perubahan lingkungan sekolah17.
Dalam konteks manajemen pendidikan, manajemen berbasis
sekolah berbeda dengan manajemen pendidikan sebelumnya yang diatur
oleh pemerintah pusat secara rinci. Sebaliknya, manajemen pendidikan
model MBS ini berpusat pada sumber daya yang ada dalam sekolah
tersebut. Dengan demikian akan muncul paradigma baru yang semula
diatur oleh birokrasi di luar sekolah menjadi pengelolaan yang berbasis
pada potensi internal sekolah dengan memanfaatkan sumber daya yang
ada.
15
16
Rohiat. Manajemen. hlm 14
Nurkolis. Manajemen Berbasis Sekolah, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana, 2003), hlm.
1
17
Nurkolis. Manajemen, hlm. 2
16
MBS adalah suatu ide tentang pengambilan keputusan yang
diletakkan pada posisi yag paling dekat dengan kegiatan belajar mengajar,
yakni sekolah. Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang
lebih besar, di samping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap
tuntutan masyarakat juga merupakan sarana peningkatan efesiensi, mutu,
dan pemerataan pendidikan. Penekanan aspek tersebut sifatnya situasional
dan kondisional sesuai dengan masalah yang dihadapi dan politik yang
dianut.18
MBS didefinisikan sebagai desentralisasi otoritas pengambilan
keputusan pada tingkat sekolah yang pada umumnya menyangkut tiga
bidang, yaitu anggaran, kurikulum, dan personel. 19 Dalam sistem MBS
otoritas bisa ditransfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dari
pemerintah daerah ke pengawas sekolah, dari pengawas sekolah ke dewan
sekolah, dari dewan sekolah ke kepala sekolah, guru, administrator,
konselor, pengembang kurikulum, dan orang tua.
Dalam
pelaksanaannya,
kebijakan
dan
program
sekolah
ditetapkan oleh komite sekolah dan dewan pendidikan. Badan ini
merupakan lembaga yang ditetapkan berdasarkan musyawarah dari pejabat
daerah setempat, komisi pendidikan pada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD), pejabat pendidikan daerah, kepala sekolah, tenaga
kependidikan, perwakilan orang tua peserta didik, dan tokoh masyarakat.
Lembaga inilah yang menetapkan segala kebijakan sekolah berdasarkan
ketentuan-ketentuan tentang pendidikan yang berlaku. Selanjutnya, komite
sekolah perlu merumuskan dan menetapkan visi, misi, dan tujuan sekolah
dengan berbagai implikasinya terhadap program-program kegiatan
operasional untuk mencapai tujuan sekolah.
2. Teori Tentang MBS
Teori yang digunakan MBS dalam mengelola sekolah didasarkan
pada empat prinsip, yaitu prinsip ekuifinalitas, prinsip desentralisasi,
18
Mulyasa. Menajadi Kepala Sekolah Profesional, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2009), hlm. 34
19
Nurkolis, Manajemen, hlm. 7
17
prinsip sistem pengelolaan mandiri, dan Prinsip inisiatif sumber daya
manusia.20
1) Prinsip Ekuafinalitas
Prinsip ini didasarkan pada teori manajemen modern yang
berasumsi bahwa terdapat cara yang berbeda-beda untuk mencapai
suatu tujuan. MBS menekankan fleksibilitas sehingga sekolah harus
dikelola oleh warga sekolah menurut kondisi mereka masing-masing.
Karena kompleksnya kebutuhan sekolah saat ini dan adanya perbedaan
yang besar antara sekolah yang satu dengan sekolah lain, misalnya
perbedaan tingkat akademik siswa, perbedaan sumberdaya yang ada,
sekolah tidak dapat dijalankan dengan struktur yang standar di seluruh
kota, provinsi, apalagi negara.
Pendidikan sebagai entitas yang terbuka terhadap berbagai
pengaruh eksternal. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan
sekolah akan mendapatkan berbagai permasalahan yang kompleks
seperti halnya institusi lain. Pada zaman yang lingkungannya semakin
kompleks seperti saat ini sekolah akan semakin mendapatkan
tantangan permasalahan. Kenakalan remaja, penggunaan obat-obatan
terlarang oleh pelajar, tawuran antar pelajar, dan lain sebagainya.
Dengan munculnya permasalahan yang berbeda dalam tiap sekolah,
solusi dan pemecahan harus berbeda antara sekolah satu dengan
sekolah lain sesuai dengan permasalahan yang mereka hadapi dan
kondisi lingkungan. Walaupun sekolah berbeda mempunyai masalah
yang sama, cara penanganannya akan berlainan antara sekolah satu
dengan yang lain.
2)
Prinsip Desentralisasi
Prinsip desentralisasi dilandasi oleh teori dasar bahwa
pengelolaan sekolah dan aktivitas pengajaran tidak dapat dilepaskan
dari kesulitan dan permasalahan. Pendidikan adalah masalah yang
rumit dan kompleks sehingga memerlukan desentralisasi dalam
pelaksanaannya.
20
Yin Cheong Cheng. School Effectiveness & School based Management: A Mechanism for
Development. (Washington D.C: The Falmer Press, 1996), hlm. 44-45
18
Prinsip
ekuafinalitas
yang
dikemukakan
sebelumnya
mendorong adanya desentralisasi kekuasaan dengan mempersilahkan
sekolah memiliki ruang yang lebih luas untuk bergerak, berkembang,
dan bekerja menurut strategi-strategi unik mereka untuk menjalani
dan mengelola sekolah secara efektif.
Oleh karena itu sekolah harus diberi kekuasaan dan
tanggung jawab untuk memecahkan masalah secara efektif. Dengan
kata lain, tujuan dari prinsip desentralisasi adalah efesiensi dalam
pemecahan masalah, bukan menghindari masalah. Dengan sistem
manajemen sekolah yang mengacu pada MBS, maka sekolah harus
mampu menemukan masalah, memecahkannya tepat waktu dan
memberi sumbangan yang lebih besar terhadap efektifitas aktifitas
pengajaran
dan
pembelajaran.
Tanpa
adanya
desentralisasi
kewenangan kepada sekolah, maka sekolah tidak dapat memecahkan
masalahnya secara cepat, tepat, dan efisien.
3)
Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri
MBS tidak mengingkari bahwa sekolah perlu mencapai
tujuan-tujuan berdasarkan suatu kebijakan yang telah ditetapkan,
tetapi terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan dalam
mencapainya.
Sekolah
memiliki
otonomi
tertentu
untuk
mengembangkan tujuan pengajaran, strategi manajemen, distribusi
sumber
daya,
memecahkan
masalah,
dan
mencapai
tujuan
berdasarkan kondisi mereka masing-masing. Karena sekolah
dikelola secara mandiri maka mereka lebih memiliki inisiatif dan
tanggung jawab.
Prinsip ini berkaitan dengan dua prinsip sebelumnya, yaitu
prinsip ekuifinalitas dan prinsip desentralisasi. Ketika sekolah
menghadapi permasalahan maka harus diselesaikan dengan caranya
sendiri. Sekolah dapat menyelesaikan masalahnya bila telah terjadi
pelimpahan wewenang dan birokrasi di atasnya ke tingkat sekolah.
Dengan adanya kewenangan di tingkat sekolah itulah maka sekolah
dapat melakukan sistem pengelolaan mandiri.
19
4)
Prinsip Inisiatif
Sejalan dengan perkembangan pergerakan hubungan antar
manusia dan pergerakan ilmu perilaku pada manajemen modern,
orang mulai menaruh perhatian serius pada pengaruh penting factor
manusia pada efektifitas organisasi. Prinsip ini mengakui bahwa
manusia bukanlah sumber daya yang statis, melainkan dinamis. Oleh
karena itu, potensi sumber daya manusia harus selalu digali,
ditemukan, dan kemudian dikembangkan.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan tidak dapat lagi
menggunakan istilah staffing yang konotasinya hanya mengelola
manusia sebagai barang yang statis. Lembaga pendidikan harus
menggunakan pendekatan human resource development yang
memiliki konotasi dinamis dan menganggap serta memperlakukan
manusia di sekolah sebagai asset yang amat penting dan memiliki
potensi untuk terus dikembangkan.
3. Karakteristik MBS
Karakteristik MBS dapat diketahui antara lain dari bagaimana
sekolah
dapat
mengoptimalkan
kinerjanya,
proses
pembelajaran,
pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta
sistem administrasi secara keseluruhan. Mulyasa mengutip pendapat Saud
(2002) mengatakan bahwa karakteristik dasar MBS berdasarkan
pelaksanaannya di negara maju adalah pemberian otonomi yang luas
kepada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik yang
tinggi, kepemimpinan kepala sekolah yang demokratis dan profesional,
serta adanya team work yang tinggi dan profesional.21
a. Pemberian Otonomi Luas Kepada Sekolah
MBS memberikan otonomi luas kepada sekolah, disertai
seperangkat
tanggung
jawab.
Dengan
adanya
otonomi
yang
memberikan tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya dan
pengembangan strategi sesuai dengan kondisi setempat, sekolah lebih
dapat memberdayakan tenaga kependidikan agar lebih berkonsentrasi
21
Mulyasa, Menjadi, hlm. 36.
20
pada tugas utamanya mengajar. Sekolah diberikan wewenang yang
luas untuk mengembangkan kurikulum dan pembelajaran sesuai
dengan kondisi lingkungan, keadaan peserta didik, serta tuntutan
masyarakat. Untuk mendukung keberhasilan program tersebut, sekolah
memiliki kekuasaan dan kewenangan mengelola dan memanfaatkan
berbagai sumber daya yang tersedia di masyarakat dan lingkungan
sekitar. Selain itu, sekolah juga diberikan wewenang untuk menggali
dan mengelola sumber dana sesuai dengan prioritas kebutuhan.
Melalui otonomi yang luas, sekolah dapat meningkatkan kinerja tenaga
kependidikan dengan menawarkan partsipasi aktif mereka dalam
pengambilan
keputusan dan tanggung
jawab bersama
dalam
pelaksanaan keputusan yang diambil secara profesional.
b. Partisipasi Masyarakat dan Orang Tua
Dalam MBS masyarakat dan orang tua ikut berpartisipasi
mendukung program-program yang direncanakan sekolah. Orang tua
peserta didik dan masyarakat tidak hanya ikut membantu sekolah
dalam bantuan keuangan, tetapi melalui komite sekolah dan dewan
pendidikan merumuskan serta mengembangkan program-program
yang dapat meningkatkan kualiltas sekolah. Masyarakat dan orang tua
menjalin kerja sama untuk membantu sekolah sebagai nara sumber
berbagai kegiatan sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
c. Kepemimpinan Demokratis
Dalam MBS, pelaksanaan program-program sekolah didukung
oleh adanya kepemimpinan kepala sekolah yang demokratis dan
profesional. Kepala sekolah dan guru-guru sebagai tenaga pelaksana
inti program sekolah merupakan orang-orang yang memiliki
kemampuan dan integritas profesional. Kepala sekolah merupakan
manajer pendidikan yang direkrut oleh komite sekolah untuk
mengelola kegiatan sekolah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan.
Guru-guru yang direkrut oleh sekolah merupakan pendidik profesional
dalam
bidangnya
masing-masing,
sehingga
mereka
bekerja
berdasarkan pola kinerja profesional yang disepakati bersama untuk
21
memberi kemudahan dan mendukung keberhasilan pembelajaran
peserta didik. Dalam pengambilan keputusan, kepala sekolah
mengimplementasikan proses “bottom-up” secara demokratis sehingga
semua pihak memiliki tanggung jawab terhadap keputusan yang
diambil beserta pelaksanaannya.
d. Team-Work Kompak dan Transparan
Dalam MBS, keberhasilan program-program sekolah didukung
oleh kinerja team-work yang kompak dan transparan dari berbagai
pihak yang terlibat dalam pendidikan di sekolah. Dalam dewan
pendidikan dan komite sekolah misalnya, pihak-pihak yang terlibat
bekerja sama secara harmonis sesuai dengan posisinya masing-masing
untuk mewujudkan suatu “sekolah yang dapat dibanggakan” oleh
semua pihak. Dalam konsep MBS, kekuasaan yang dimiliki sekolah,
mencakup pengambilan keputusan tentang manajemen kurikulum dan
pembelajaran; rekrutmen dan manajemen tenaga kependidikan; serta
manajemen sekolah
4. Ciri-ciri MBS
Dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) peran serta
masyarakat sangat penting, tidak seperti manajemen sebelumnya yang
hanya terbatas memobilisasi sumbangan uang dan sejenisnya. Keterlibatan
masyarakat sangat menentukan setiap pengambilan keputusan. Misalnya,
untuk menggunakan buku pelengkap, sekolah dan masyarakat bersamasama mengadakan musyawarah. Tidak semata-mata mengandalkan buku
dari pusat yang sebenarnya merupakan pembunuhan potensi daerah.
Dalam pembelajaran atau kegiatan belajar mengajar, MBS
menekankan pada pembelajaran aktif, efektif dan menyenangkan. Dengan
demkian siswa betah berada di kelas karena guru berperan sebagai
fasilitator belajar siswa yang kreatif dan dinamik. Peran guru sebagai
fasilitator, diharapkan untuk menggunakan pendekatan dan strategi
pembelajaran atau manajemen kelas yang bervariasi, mengatur kelas
dalam suasana yang menyenagkan dan pada setiap pembelajaran selalu
22
berupaya untuk menyiapkan dan menggunakan alat peraga dan penunjang
pembelajaran lainnya sehingga pembelajaran benar-benar menyenangkan.
Dengan semangat belajar yang tinggi, serta mendapat dukungan
dari masyarakat dan orang tua siswa akan mengurangi bahkan
menghabiskan masalah putus sekolah. Masalah putus sekolah, bukan
hanya disebabkan faktor ekonomi, akan tetapi iklim belajar yang tidak
kondusif juga ikut andil dalam semakin tingginya angka putus sekolah.
Supriono mengutip pendapatnya S. Bellen mengatakan ciri MBS antara
lain22:
a. Ada upaya peningkatan peran serta BP3 dan masyarakat untuk
mendukung kinerja sekolah.
b. Program sekolah disusun dan dilaksanakan dengan mengutamakan
kepentingan proses belajar mengajar, bukan kepentingan administratif.
c. Menerapkan prinsip efektifitas dan efesiensi dalam penggunaan
sumber daya sekolah.
d. Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan,
kemampuan dan kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola
umum atau kebiasaan.
e. Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab kepada
masyarakat, selain kepada pemerintah atau yayasan.
f. Meningkatkan profesionalisme personil sekolah.
g. Meningkatkan kemandirian sekolah di segala bidang.
h. Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program
sekolah, pelaksanaan sampai dengan evaluasi.
i. Adanya eterbukaan dalam pengelolaan pendidikan sekolah, baik yang
menyangkut program, anggaran, ketenagaan, prestasi sampai dengan
pelaporan.
j. Pertanggung jawaban sekolah dilakukan baik terhadap pemerintah,
yayasan, maupun masyarakat.
22
Supriono S dan Achmad Sapari. Manajemen Berbasis Sekolah. (Anggota IKAPI Cabang
Jatim, 2001), hlm. 8.
23
B. Mutu Tenaga Pendidik
1. Pengertian Mutu Tenaga Pendidik
Mutu tenaga pendidik terdiri atas dua rangkaian kata yaitu
“mutu” dan “tenaga pendidik”. Menurut Syaiful Sagala, mutu berkenaan
dengan penilaian bagaimana suatu prodok memenuhi kreteria, standar atau
rujukan tertentu. Dalam dunia pendidikan, standar ini menurut Depdiknas
dapat dirumuskan melalui hasil belajar mata pelajaran skolastik yang dapat
diukur secara kuantitatif, dan pengamatan yang bersifat kualitatif,
kususnya untuk bidang-bidang pendidikan social. Rumusan mutu
pendidikan bersifat dinamis dan dapat ditelaah dari berbagai sudut
pandang. Kesepakatan tentang konsep mutu dikembalikan pada rumusan
acuan atau rujukan yang ada seperti kebijakan pendidikan, proses belajar
mengajar, kurikulum ,sarana prasarana , fasilitas pembelajaran dan tenaga
kependidikan
sesuai
dengan
kesepakatan
pihak-pihak
yang
berkepentingan.23
Tenaga pendidik atau yang biasa kita kenal dengan isilah guru
adalah sebuah profesi, sebagaimana profesi pada umumnya yang merujuk
pada pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan
kesetiaan. Guru merupakan sebuah profesi yang memerulukan keahlian
khusus sebagai guru. Jenis pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh
sembarang orang di luar bidang kependidikan. Suatu profesi umumnya
berkembang dari pekerjaan, kemudan berkembang semakin matang serta
ditunjang oleh tiga hal (keahlian, komitmen, dan keterampilan) yang
membentuk sebuah segitiga sama sisi yang di tengahnya terletak
profesionalisme, walaupun kenyataannya masih dilakukan oleh orang di
luar kependidikan atau orang yang tidak ditunjang oleh profesionalisme
yang matang. Karena itulah, jenis profesi ini paling mudah terkena
pencemaran.
Secara sederhana dan tanpa batasan pada hal-hal yang bersifat
spesifik, guru dapat didefinisikan sebagai pihak yang merupakan subjek
23
Saiful Sagala. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, (Bandung:
Alfabeta 2009) hlm.170
24
dari pelaksana pendidikan24. Sementara itu Singgih D Gunarsa
mendefinisikan guru sebagai orang yang membantu peserta didik untuk
mencapai tujuan yang hendak dicapai. 25 Secara leksial dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata
pencahariannya, profesinya) mengajar.26
Dalam konteks ini dapat disimpulkan bahwa guru adalah tenaga
profesional yang pekerjaan utamanya mengajar dan mendidik sebagai
bentuk pengabdian kepada komunitas belajar (learning community) atau
dalam lingkup lebih luas kepada masyarakat, bangsa, dan Negara. Dengan
kesimpulan ini, maka setiap aktivitas yang dilakukan seseorang dalam
konteks pendidikan akan terejawantahkan dalam bentuk sebagai fasilitator,
inisiator, mediator, maupun evaluator.
2. Standar Mutu Tenaga Pendidik
Dalam PP No 19 Tahun 2005 pasal 2 (1) bahwa: “Standar
Nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan,
tenaga pendidik dan kependidikan, sarana dan prasaranan, pengelolaan,
pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara
berencana dan berkala”.27
Standar pendidik dan tenaga kependidikan dalam SNP pasal 28
(1) bahwa: “Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan
kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.
Sedangkan
ayat
(2) menjelaskan bahwa:
“kualifikasi
akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal
yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan
ijazah
dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku”. Adapun pada ayat (3) menjelaskan
bahwa: “kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan
24
Amir Dien Indrakusuma, Ilmu Pendidikan; Sebuah Tinjauan Teoritis Filosofis,
(Surabaya: Usaha Nasional.Tt) hlm. 23.
25
Singgih D Gunarsa dan Yulia Singgih D Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 109.
26
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm.377.
27
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 19 Tahun 2005 Tentang Sistem Pendidikan
Nasion