Variasi baru bahasa Inggris Konsep corre

Magister Ilmu Linguistik
Pengajaran Bahasa

Jumat, 03 Januari 2014

TUGAS AKHIR
PENGUKURAN DAN EVALUASI
Dosen Pengampu: Sisilia Halimi Setiawati, S.S., M.A., Ph.D

Karin Sari Saputra
1206188616
“Variasi baru bahasa Inggris: Konsep ‘correctness’ bagi pengetesan tata
bahasa, kosakata, dan keempat kemahiran berbahasa dalam berbagai
perspektif terutama terkait dengan konteks Indonesia”
Munculnya variasi baru Bahasa Inggris
Sejalan dengan Jenkins (2006) yang menyatakan bahwa bahasa Inggris saat ini
tidak lagi terbatas pada dikotomi untuk American English (AE) atau British
English (BE) saja, namun pada faktanya bahasa Inggris telah menjadi bahasa
global atau bahasa internasional. Oleh karena itu, kecenderungan yang terjadi
adalah komunikasi berbahasa yang dilakukan frekuensinya lebih banyak antara
sesama non-penutur jati. Pernyataan tersebut didukung oleh Harding (2012)

bersumber pada British Council, menunjukkan bahwa saat ini bahasa Inggris
digunakan oleh 25% populasi dunia. Lebih jelasnya, ketika bahasa Inggris sudah
banyak digunakan dengan proporsi jumlah negara yang berada pada inner circle,
outer circle, dan expanding circle terus bertambah sehingga memunculkan jenis
bahasa Inggris yang mengacu pada aksen dan kekhasannya sendiri dan
selanjutnya disebut variasi. Dalam daripada itu, sebagai akibat dari persebaran
bahasa Inggris yang berimplikasi pada sejauh mana pemerolehan bahasa terhadap
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya | Universitas Indonesia 1

Magister Ilmu Linguistik
Pengajaran Bahasa

Jumat, 03 Januari 2014

bahasa target dapat dikatakan atau dinilai berhasil, para guru sedapat mungkin
agar dapat memerhatikan konsep variasi bahasa Inggris yang muncul. Terkait
dengan isu ini---pemajaan terhadap variasi baru bahasa Inggris dan
keberterimaannya---Caine (2008) mengutip Morrison & White (2005)
menjelaskan sejumlah metode pada area-area tertentu, yakni salah satunya
penilaian. Dikatakan apabila di penilaian “pre- dan pos-tes berfokus pada

peningkatan daripada kecakapan menyerupai penutur jati. Kompetensi inti pada
tata bahasa dan kosakata dikembangkan dengan sasaran kompetensi komunikatif,
bukan ujaran yang bebas dari kesalahan (error)” (hlm. 8). Kembali kepada variasi
baru bahasa Inggris yang kemudian secara umum menjadi label dari istilah WE
(world Englishes) (Kachru, 1985 dalam Kilickaya, 2009) dan oleh Hamid &
Baldauf Jr (2013) WE terutama sekali merujuk pada Outer Circle Englishes ketika
“bahasa Inggris telah melalui nativization, perspektif SLA mungkin tidak relevan
dengan bahasa Inggris yang dihasilkan oleh penutur dalam menanggapi realitas
sosial budaya lokal” (Bamgbose 1998; Tan 2005; Patil 2006; Guzman 2009)
(ibid.: 527). Mengenai makna WE dalam Kilickaya (2009) mengutip Bolton
(2004), menyajikan beberapa penafsiran seperti istilah umum yang mencakup
semua jenis bahasa Inggris, bahasa Inggris baru di negara-negara seperti Afrika
dan Asia. Namun, istilah WE yang digunakan, seperti Jenkins (2006) kemukakan,
meliputi bahasa Inggris baru di Afrika dan Asia yang dianggap sebagai Outer
Circle oleh Kachru (1985) (ibid.: 35).
Mengingat hadirnya variasi baru bahasa Inggris merupakan hal yang
penting agar para guru menyadari dan menentukan apakah memang bahasa yang
diproduksi merupakan termasuk ke dalam variasi, maka Hamp-Lyons & Wen-xia
(2001) mengutip Brown (1993: 59) meringkaskan tiga elemen utama yang
tergolong paradigma WE sebagai berikut.

 Sebuah keyakinan bahwa ada ‘model repertoar untuk bahasa Inggris’
 Sebuah keyakinan bahwa ‘inovasi lokal (dalam bahasa Inggris) memiliki basis
pragmatis
 Sebuah keyakinan bahwa ‘bahasa Inggris kini menjadi milik semua orang’
(hlm. 2)

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya | Universitas Indonesia 2

Magister Ilmu Linguistik
Pengajaran Bahasa

Jumat, 03 Januari 2014

Seperti yang dapat kita lihat, bahasa Inggris merupakan bahasa komunikasi
yang menjadi pilihan untuk digunakan kepada orang-orang dengan latar belakang
bahasa yang berbeda. Hal itulah yang memunculkan tidak hanya label bahasa
Inggris sebagai bahasa internasional, tetapi juga bahasa Inggris sebagai ‘lingua
franca’. Artinya, pernyataan tersebut menyiratkan bahwa kesadaran seharusnya
dapat tercipta dan strategi komunikasi lintas budaya dapat dipahami. Sependapat
dengan Kilickaya (2009) dalam kesimpulannya, ia menegaskan penting bagi guru

untuk mengembangkan toleransi yang lebih besar dari perbedaan dan
menyesuaikan harapan mereka sesuai dengan pengaturan. Mereka harus
diberitahu tentang variasi dan diberikan kesempatan untuk berkolaborasi dengan
guru lain di semua ketiga lingkaran tersebut. Namun, apa yang paling penting
tampaknya menjadi kejelasan penggunaan bahasa Inggris di berbagai negara atau
wilayah, bukan hanya dalam batas-batas nasional. Simplifikasinya, bagaimana hal
tersebut dapat dicapai, jawabannya yakni melalui sejumlah penerbit di seluruh
dunia, menyediakan perspektif WE dan ELF untuk buku-buku mereka, materi,
dan yang lebih penting untuk praktek-praktek pengukuran dan evaluasi bahasa
(ibid.: 37). Dengan demikian, akan semakin jelas asumsi dari ranah pengukuran
dan evaluasi bahasa untuk dapat memosisikan munculnya variasi bahasa Inggris
ke dalam sebuah tes, baik tes kemahiran atau pun tes kelas. Terakhir, pembedaan
atau bahkan bagaimana menyatukan persepsi perihal bahasa Inggris standar
dengan variasi baru dalam WE akan berimplikasi terhadap peran guru untuk
menyadari hal ini dan memastikan sikap yang tepat kepada pengambil tes.
Konsep ‘correctness’
Mengikuti apa yang dikatakan oleh Harding (2012) bahwa ‘correctness’
merupakan satu hal yang problematik. Sebab yang melandasi hal itu adalah
‘correctness’ dalam kaitannya dengan pemberian tes kepada pengambil tes.
Akibatnya (dalam konteks tertentu), para pembuat tes perlu memikirkan kembali

hal-hal berikut.
 Bagaimana mereka mendesain kriteria untuk penilaian berbicara dan menulis
 Bagaimana mereka membuat kunci jawaban untuk tes tata bahasa dan kosakata

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya | Universitas Indonesia 3

Magister Ilmu Linguistik
Pengajaran Bahasa

Jumat, 03 Januari 2014

 Bagaimana mereka melatih juru taksir untuk menyadari bentuk-bentuk mana
yang akan diterima
 Bagaimana mereka memilih input untuk tes membaca dan menyimak
Menariknya, ahli bahasa selama bertahun-tahun telah sengaja menghindari istilah
‘correctness’ dan ‘error’ dalam deskripsi bahasa ilmiah mereka. Salah satu isu
yang muncul dari pandangan ‘error’ ini adalah pertanyaan dalam menerapkan
istilah ‘correctness’ pada bahasa dengan cara yang baik bahkan di dalam kelas.
Masalahnya terletak pada gagasan ‘correctness’ itu sendiri seperti yang digunakan
pada umumnya. Tampaknya membutuhkan referensi ke beberapa kriteria yang

lebih solid dari ekspektasi sederhana tentang bentuk bahasa. Mengambil contoh
dengan merujuk pada American Heritage Dictionary dikutip oleh Newman (1996)
yang memberikan dua definisi untuk bentuk kata sifat dari ‘correct’, yakni
pertama ‘free from error or fault; true or accurate’. Definisi ini memberikan
pemahaman dari ‘correctness’ sebagai persesuaian dengan realitas. Ini mungkin
penting untuk dicatat bahwa ketika menerapkan ‘correct’ pada apa yang seseorang
katakan atau tulis bukan melalui gagasan ‘correct language’ (bahasa yang benar)
melainkan ‘correct statement’ (pernyataan yang benar). Penggunaan ‘correct’,
dalam hal ini, untuk mengevaluasi kontennya alih-alih dari bentuk pesannya.
Definisi kedua yang tertulis dalam American Heritage “conforming to
standards; proper: correct behavior,” tampaknya lebih dapat dicapai. Landasan
dari definisi ini merupakan hasil rujukan pada istilah ‘standards’, dalam arti
tertentu sebagai pengganti untuk kebenaran yang disebutkan dalam definisi
pertama karena istilah ‘standards’ ini jauh lebih absolut. Secara signifikan dapat
dikatakan bahwa ‘standard’ begitu berkaitan erat dengan ‘correctness’ dalam
bahasa dan bahasa yang ‘correct’, maka bisa dilihat sebagai bahasa yang dinilai
telah memenuhi beberapa jenis standar atau yang lainnya. Pengukuran dan
evaluasi dalam kaitannya dengan standar menyiratkan evaluasi dalam hal kualitas,
dan pengertian kualitas sangat sulit untuk membenarkan berkaitan dengan bahasa,
setidaknya ketika hal itu dilakukan tanpa memperhatikan makna. Memang

kekakuan yang terlibat dalam ‘correctness’ dapat dihilangkan dengan
menggantikannya pada gagasan yang lebih relativistik, yakni ‘appropriateness’

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya | Universitas Indonesia 4

Magister Ilmu Linguistik
Pengajaran Bahasa

Jumat, 03 Januari 2014

atau Jenkins (2006) menyebutnya dengan ‘intelligibility’. Memperjelas pernyataan
ini dengan mengutip Quirk (1962: 17-18) “bahasa Inggris bukanlah hak prerogatif
atau ‘kepemilikan’ dari Inggris ... Mengakui ini harus---sebagai konsekuensinya--melibatkan kami mempertanyakan kepatutan yang mengklaim bahwa bahasa
Inggris dari satu wilayah lebih ‘correct’ daripada bahasa Inggris yang lain. Tentu
saja, kita harus menyadari bahwa tidak ada satu pun bahasa Inggris yang ‘correct’,
dan tidak ada standar tunggal ‘correctness’ (Bolton, 2006)”
Korelasi antara ‘correctness’ bagi pengetesan tata bahasa, kosakata dan
keempat kemahiran berbahasa
Berlandaskan atas apa yang telah dikemukakan di atas, pada mulanya
‘correctness’ itu dipandang sebagai standar dari berbahasa dan tentu saja berlaku

ketika bahasa tersebut dilakukan tes, maka harus sesuai dengan standar bahasa
yang telah ditetapkan. Lowenberg (2000) menguraikan karakteristik dari standar
bahasa Inggris, di antaranya sebagai berikut.
 Bentuk-bentuk variasi linguitik yang digunakan secara teratur dalam berbicara
formal dan tertulis oleh pembicara yang telah menerima pendidikan tertinggi
yang tersedia di negara tersebut.
 Bahasa Inggris standar ialah model yang diterima untuk tulisan resmi,
berbicara di depan umum, dan untuk penggunaan pengantar di sekolah.
 Namun, bahasa Inggris standar hanya berbeda minimalnya di seluruh variasi,
pada dasarnya berbagi satu set besar norma-norma umum.
Untuk memetakan bahasa Inggris standar secara lebih jelas dalam ranah
pengukuran dan evaluasi, pada praktiknya negara-negara seperti Kanada,
Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan cenderung menggunakan British English
atau American English tes. Berikut ini pola yang ditunjukkan McArthur (1992)
dikutip oleh Davies (2009: 81-82):
 Australian English: tidak ada fitur sintaksis yang membedakan Standard
Australian English dari Standard British English.
 Canadian English: Canadian English berbeda gramatikal dari British English,
cenderung setuju dengan American English.


Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya | Universitas Indonesia 5

Magister Ilmu Linguistik
Pengajaran Bahasa

Jumat, 03 Januari 2014

 Irish English: Standard Anglo-Irish dekat dengan variasi Standard British
English.
 New Zealand English: Standard New Zealand English, untuk semua maksud
dan tujuannya sama dengan British English.
Seperti yang telah banyak disinggung sebelumnya terkait ‘correctnes’ dan
hadirnya variasi baru bahasa Inggris, maka secara tidak langsung, tentu saja
memengaruhi proses pengukuran dan evaluasi dari sebuh tes. Ambil contoh,
Cambridge ESOL sebagai salah satu pengembang tes internasional telah
membentuk praktik dan kebijakan untuk memungkinkan bagi sebuah kenyataan
bahwa komunikasi yang efektif dalam konteks internasional yang lebih luas
adalah mungkin meskipun adanya variasi bahasa Inggris (Taylor, 2002).
Namun, tetap saja terdapat perdebatan yang menyertainya karena kerap
kali justru menimbulkan salah persepsi. Ketika berbicara tentang pengukuran dan

evaluasi bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, maka menurut Canagarajah
(2006) akan timbul dua pertanyaan, yakni norma-norma manakah yang harus kita
terapkan? Dan bagaimana kita mendefinisikan kemahiran dalam bahasa Inggris?
(hlm. 229). Jawaban dari kedua pertanyaan tersebut ialah akan sangat bergantung
dari pilihan perspektif yang diambil, apakah dari perspektif standar bahasa Inggris
atau perspektif WE (World Englishes). Artinya, jika dilihat dari perspektif standar
bahasa Inggris akan mengacu pada variasi dikotomi American English (AE) dan
British English (BE), sedangkan WE menghasilkan variasi yang bersumber pada
kekhasan lokal negara penutur bersangkutan. Oleh karena itu, ditinjau dari definisi
kemahiran, baik standar bahasa Inggris dan WE memiliki pengertian yang
bertolak belakang. Jelasnya, pendukung kemahiran dari perspektif standar bahasa
Inggris adalah mengukurnya dari segi penutur jati, didefinisikan sebagai
pembicara monolingual dari lingkaran dalam (inner circle) masyarakat tutur
homogen yang secara tradisional mengklaim kepemilikan atas bahasa. Di lain
pihak, pendukung dari perspektif WE, kemahiran merupakan kemampuan untuk
terlibat dalam fungsi sosial dan kelembagaan yang bermakna dalam masyarakat
multibahasa sesuai dengan konvensi lokal.

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya | Universitas Indonesia 6


Magister Ilmu Linguistik
Pengajaran Bahasa

Jumat, 03 Januari 2014

Harding (2012) membahasnya dengan melihat bahasa Inggris sebagai
lingua franca yang kemudian menyatakan bahwa komunikasi bahasa Inggris
sebagai lingua franca yang berhasil memerlukan tipe-tipe kompetensi yang
berbeda seperti yang dijelaskan Canagarajah (2006: 233) berikut.
Dalam konteks di mana kita harus terus-menerus berpindah di
antara variasi dan komunitas yang berbeda, kemahiran menjadi
sesuatu hal yang kompleks. Untuk benar-benar mahir dalam bahasa
Inggris saat ini orang harus multidialektal. Ini tidak berarti bahwa
orang perlu keterampilan produksi di semua jenis bahasa Inggris.
Salah satu kebutuhannya kapasitas untuk bernegosiasi variasi yang
beragam untuk memfasilitasi komunikasi. Kompetensi pasif untuk
memahami variasi baru ini merupakan bagian dari multidialektal
ini ... Kemahiran berarti, maka, kemampuan untuk berpindah di
antara variasi yang berbeda dari bahasa Inggris dan masyarakat
tutur yang berbeda (ibid.).
Ketika Jenkins (2006) menyinggung bahwa sebaiknya pada praktik
terselenggaranya sebuah tes diharapkan untuk memerhatikan variasi-variasi
bahasa yang muncul. Untuk tes bahasa di kelas yang sifatnya cenderung tidak
berisiko tinggi tetap saja tidak beralasan untuk mengharapkan non-penutur jati
untuk menghasilkan konsistensi jenis bahasa Inggris yang lebih kaku daripada apa
yang khas atau diharapkan dari penutur jati. Abeywickrama (2013) berpendapat
bahwa melakukan tes saat ini kerap kali tidak merefleksikan situasi penggunaan
bahasa. Pada umumnya, variasi bahasa Inggris yang telah digunakan, tetap saja
merujuk pada variasi penutur jati. Tengok saja pada isu-isu tentang pengetesan
tata bahasa, kosakata dan keempat kemahiran berbahasa dari perspektif WE.
Selain standarisasi, mengutip argumen utama Kachru terhadap teori bahasa
internasional adalah bahwa lingkaran luar (outer circle) penutur bahasa Inggris
tidak berusaha untuk mengidentifikasikannya dengan penutur lingkaran dalam
(inner circle) atau penutur jati. Artinya, mereka tidak tertarik pada norma-norma
bahasa Inggris yang berbasis di lingkaran dalam (inner circle) seperti ‘requesting’
atau ‘complaining’. Dengan demikian, Kachru mengkritik upaya untuk label
bahasa Inggris yang di lingkaran luar (outer circle) menyimpang atau kurang
sempurna dan terfosilisasi karena pandangan-pandangan ini tidak
mempertimbangkan bahasa Inggris yang lokal (lingkaran luar) dan konteks sosial
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya | Universitas Indonesia 7

Magister Ilmu Linguistik
Pengajaran Bahasa

Jumat, 03 Januari 2014

budaya. Kachru pun menentang label ‘errors’ karena lagi-lagi ujaran-ujaran yang
dianggap sebagai ‘errors’ mungkin tidak berlaku untuk bahasa Inggris yang lokal
karena mungkin saja ujaran-ujaran tersebut berterima.
Pertanyaan yang lain muncul dari Hamp-Lyons & Wen-Xia (2001) ditujukan
kepada pengembang tes, yaitu: model bahasa Inggris seperti apa yang seharusnya
bernilai dan standar apa yang seharusnya digunakan dalam ujian dengan risiko
tinggi? Dari semua hal yang mendasari pertanyaan tersebut, maka setidaknya
dalam ranah pengukuran dan evaluasi dari segi pengembang tes dan pengambil tes
perlu meninjau kembali pengetesan standar bahasa Inggris yang sesuai.
Pengetesan tata bahasa, ambil contoh pada kalimat berikut. ‘There’s five cars in
my picture’ atau ‘I’ve got less cars in my picture’, menurut Jenkins (2006) apabila
diperhatikan oleh penguji, tidak akan mungkin mencapai titik temu persetujuan,
meskipun fakta bahwa keduanya ‘there are’ dan ‘fewer’ ditambah kata benda
jamak yang dapat dihitung jarang terjadi di pembicaraan informal penutur jati, dan
bahwa ‘errors’ umumnya terlewati tanpa disadari oleh penutur jati berbahasa
Inggris. Untuk memudahkan gambaran terintegrasi dari pengetesan tata bahasa,
kosakata dan keempat kemahiran berbahasa, maka dengan mengambil tes
internasional berskala besar yang menanggapi bahwa perubahan saat ini dalam
penyebaran bahasa Inggris secara global dapat dilihat pada pengiriman dan
kebijakan dari satu tes seperti: IELTS.
Taylor (2002) menunjukkan bahwa masing-masing dari keempat bagian
IELTS merefleksikan variasi-variasi bahasa Inggris untuk mewakili konten dan
fitur linguistik yang dalam konteks IELTS bermaksud tertuju pada, yaitu Inggris,
Australia dan Selandia Baru. Dalam kemahiran reseptif (menyimak dan
membaca), variasi-variasi dapat ditemukan di input, seperti spelling, lexis,
grammar, pronunciation, dan discourse. Sebagai kemahiran produksi, standar tes
didasarkan pada prinsip berikut (ibid. hlm. 20): “respons kandidat (pengambil tes)
untuk tugas-tugas yang diterima dalam variasi bahasa Inggris yang akan
memungkinkan si calon untuk dapat menjalankan fungsinya dalam jangkauan
terluas di konteks internasional”. Kembali pada apa yang melandasi istilah
‘correctness’ pada kemahiran reseptif (menyimak dan membaca) salah satunya
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya | Universitas Indonesia 8

Magister Ilmu Linguistik
Pengajaran Bahasa

Jumat, 03 Januari 2014

oleh Abeywickrama (2013) dalam penelitiannya terhadap asisten pengajaran yang
pada dasarnya ialah non-penutur jati kemudian mempertanyakan mengapa tidak
memberikan variasi input pada kemahiran menyimak. Hasilnya cukup di luar
dugaan karena tidak menunjukkan adanya pengaruh signifikan terhadap
pemahaman akan konten menyimak walaupun jika pada satu kondisi, misalnya,
dengan satu asisten pengajaran internasional berasal dari Korea dengan pengambil
tesnya juga orang Korea, didapati bahwa merasakan tidak ada yang istimewa atau
dapat memahaminya seketika. Lagipula, pada faktanya pengambil tes benar-benar
tidak bisa memastikan dengan lebih menyakinkan kalau input tersebut apakah
benar-benar dari non-penutur jati ataukah sekedar memilki aksen. Beralih pada
kemahiran produktif (berbicara dan menulis) dan juga salah satunya penelitian
kemahiran menulis (Hamp-Lyons & Wen-xia, 2001) yang menyoroti perihal para
juru taksir (raters) dalam melakukan penilaian. Juru taksir (raters) tersebut
meliputi penutur jati dan non-penutur jati (berasal dari tempat yang sama dengan
pengambil tes) bahwa hasil penelitian tersebut menghasilkan perbedaan penilaian
yang cukup bertolak belakang antara kedua kubu penilai ini. Pemberian nilai ini
dapat dikatakan bersebrangan dan beda persepsi. Namun, titik tengah yang dapat
diambil adalah adanya perhatian terhadap WE, kedua kubu penilai ini dapat
menyamakan persepsi pemberian penilaian kepada pengambil tes dengan cara
memelajari kecenderungan penulisan pengambil tes yang terpengaruh pada sosial
budaya lokal dan memberi batasan topik tulisan sehingga memunculkan
‘correctness’ yang ‘appropriateness’ atau ‘intelligible’. Lowenberg (2000) salah
satunya menjelaskan implikasi dari komponen berbahasa (tata bahasa dan
kosakata) terhadap pengetesan terkait WE. Pada salah satu uraiannya dalam
contoh berikut. ETS: ‘please fill out the enclosed form to tell us how you think
about our service’ (British: fill out, Malaysia: fill up). Elaborasi dari solusi
terhadap pernyataan tersebut, yakni asumsikan bahwa setiap konstruksi dapat
dianggap berterima dalam domain tertentu di seluruh dunia; identifikasikan bulir
yang problematik dan tulis kembali pengecoh; terakhir, kombinasi dari criterionreference, secara holistik---mencetak penilaian dengan format discrete poin saat
TOEIC.
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya | Universitas Indonesia 9

Magister Ilmu Linguistik
Pengajaran Bahasa

Jumat, 03 Januari 2014

Variasi baru Bahasa Inggris, ‘correctness’, dan pengetesan tata bahasa,
kosakata dan keempat kemahiran berbahasa dalam konteks Indonesia
Berbicara perihal variasi bahasa Inggris, ‘correctness’, dan pengetesan tata
bahasa, kosakata dan keempat kemahiran berbahasa dalam konteks Indonesia
menurut saya sangat menarik. Pertama, mari kita lihat dari status bahasa Inggris di
Indonesia yang termasuk sebagai bahasa asing atau dengan kata lain termasuk ke
dalam bisa saja outer/expanding circle. Seperti yang sudah disebutkan dan
dibahas pada bulir-bulir sebelumnya, maka bahasa Inggris di Indonesia juga
memunculkan variasi-variasinya sendiri, misalnya, dari segi aksen. Menurut saya
jika ingin meletakkan pengetesan sebagai perspektif yang adil (fair), maka harus
terjadi di antara keduanya baik di pihak pengembang tes dan pengambil tes.
Kembali kepada ‘kepemilikan’ bahasa Inggris yang telah menjadi bahasa global,
seyogianya tidak terpaku pada standar dikotomi American English (AE) atau
British English. Secara sifat dari pelaksanaan tes itu sendiri jika dikaitkan pada tes
kelas, maka yang terjadi adalah pemajaan bahasa Inggris yang dilakukan tentu
saja bahasa Inggris antar non-penutur jati. Dipandang dari kesahihan sebuah tes,
adanya variasi-variasi bahasa atau para ahli di atas menyebutnya WE (World
Englishes) perlu diadakannya akomodasi. Beralih pada tes kemahiran, katakanlah
juru taksir untuk pengukuran dan evaluasi bahasa Inggris di negara bersangkutan
menghadirkan penutur jati yang menilai, maka para pemangku kepentingan
tersebut diharapkan telah memiliki skemata atas kemampuan berbahasa Inggris
yang tetap membawa kekhasan lokal terhadap pengambil tes yang mengikuti tes
tersebut. Kecenderungan saat ini bahwa tes berada di era CLT (communicative
language testing) yang dapat dikatakan tes yang terselenggara mewakili sifat dari
kompetensi komunikatif sendiri, yakni tidak memisahkan kemahiran atau
komponen berbahasa ke dalam bagian-bagiannya secara terpisah, melainkan
terintegrasi dan mengacu pada konteks. Artinya, jika tes terselenggara meliputi
keempat kemahiran ditambah tata bahasa dan kosa kata, hemat saya adalah
dengan memperhatikan variasi-variasi yang muncul (WE) memberikan
keuntungan dengan jangkauan yang lebih luas.

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya | Universitas Indonesia 10

Magister Ilmu Linguistik
Pengajaran Bahasa

Jumat, 03 Januari 2014

Saya mengkonkretkannya dengan meninjau kembali apa yang digagas oleh
Jenkins (2006) kemudian direspons oleh Taylor (2006) dan ditanggapi lagi oleh
Jenkins (2006). Sebelumnya saya ingin perjelas dahulu situasi di Indonesia terkait
pengetesan kemahiran maupun tes kelas. Pada umumnya, pemangku kepentingan
institusi seperti sekolah telah menganggap bahwa standar bahasa Inggris hanya
dua itu saja, yaitu AE dan BE. Pilihannya hanya berada di antara dua itu. Para
guru kelas yang juga sekaligus sebagai penguji pada sebuah tes yang diadakan
tidak menyadari adanya variasi-variasi baru bahasa Inggris yang muncul pada
pengambil tes tersebut, yakni siswa-siswa mereka. Para siswa sebagai pengambil
tes tersebut cenderung lebih banyak mendapat penalti dari beberapa ‘errors’ yang
dilakukan walaupun pada kenyataannya hal itu masih berterima. Para guru yang
sebagai penilai atau penguji seakan mengesampingkan indikasi pemerolehan
bahasa target tanpa kesesuaian (appropriateness). Dari segi kemahiran reseptif
seperti membaca dan menyimak yang kemudian termasuk juga di dalamnya tata
bahasa dan kosakata tidak terlalu menunjukkan secara signifikan washback dari
hasil penilaian yang negatif. Penyebabnya adalah para siswa sudah terpajan pada
pola standar bahasa Inggris yang pada praktiknya karena reseptif, pengambil tes
tidak perlu memroduksi bahasa secara aktif seperti pada kemahiran berbicara dan
menulis. Dari sinilah poin pentingnya muncul, yaitu khususnya bagi penilai
(raters) dapat dengan mudah memberikan penilaian karena biasanya tes tersebut
berbentuk dalam pilihan ganda. Jika untuk menetapkan keadilannya (fairness)
dapat dilihat dari ketetapan yang hanya memiliki satu jawaban yang benar dan
tidak menimbulkan ambiguitas. Pengetesan kemahiran reseptif berbasis standar
bahasa Inggris akan mempunyai nilai lebih jika memerhatikan munculnya variasivariasi baru bahasa Inggris (WE). Singkat kata, pada kemahiran membaca teksteks yang digunakan sedapat mungkin mengakomodasi pengambil tes dengan
menyelaraskan pada konteks lokal dan pada kemahiran menyimak yang sekali
lagi, merujuk pada bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dan sadar akan
WE untuk memfokuskan pertanyaan pada hal-hal yang sangat umum bukan
pertanyaan spesifik yang kemungkinan besar hanya bisa terjawab oleh komunitas,
misal pada lingkaran dalam (inner circle).
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya | Universitas Indonesia 11

Magister Ilmu Linguistik
Pengajaran Bahasa

Jumat, 03 Januari 2014

Tentu akan berbeda bila sekarang membicarakan tentang pengetesan
kemahiran produktif, yakni berbicara dan menulis. Hasil pengetesan dari kedua
kemahiran tersebut akan memperlihatkan secara eksplisit sejauh mana
pemerolehan bahasa yang dicapai pengambil tes. Lebih jelasnya, hasil pengetesan
berbicara katakanlah dengan melakukan wawancara dan jika dalam tes kelas guru
yang secara langsung berinteraksi dengan pengambil tes dapat memahami misal
aksennya yang dalam perspektif WE merupakan variasi dan sejauh hal itu
‘intelligible’, tes tersebut memiliki ‘fairness’ di kedua belah pihak. Begitu pula
dengan pengetesan kemahiran menulis jika memosisikan pada tes kemahiran,
misalnya IELTS dengan tetap tidak terpaku pada dikotomi standar bahasa Inggris,
tetapi melibatkan perspektif WE maka dapat diakomodasi dengan batasan topik
yang diberikan dan memelajari akan kekhasan yang muncul dari variasi-variasi
baru bahasa Inggris yang sifatnya ‘intelligible’ dan ‘appropriateness’ (berlaku
juga untuk kemahiran berbicara). Dengan demikian, ketika Jenkins (2006) pada
ulasan pertama menjelaskan untuk tidak mengesampingkan variasi-variasi baru
bahasa Inggris dan untuk menjadi perhatian bagi para pengembang tes maupun
para penilai (raters) dengan harapan bisa memberikan akomodasi-akomodasi
kepada pengambil tes. Kemudian oleh Taylor (2006) mengingatkan bahwa tes
yang sesuai standar bahasa Inggris merupakan hasil dari sikap para pengambil tes
itu sendiri yang memang cenderung merujuk pada dikotomi standar bahasa
Inggris dan prosedur tes saat ini benar-benar memperhatikan apa yang dapat
dilakukan oleh pengambil tes bukan melihat kekurangan, kesalahan atau hal-hal
yang tidak bisa dilakukan oleh pengambil tes. Terakhir, Jenkins (2006)
menanggapi kembali bahwa apa yang dikatakan Taylor (2006) tentang sikap para
pengambil tes terhadap standar bahasa Inggris cenderung dikotomi hal itu karena
mereka tidak mempunyai pilihan. Dari awal mereka memang telah disodori pada
standar seperti itu, namun kembali pada kenyataan bahwa bahasa Inggris telah
menjadi bahasa internasional, maka sudah seharusnya kita perlu memikirkan
perspektif WE bukan malah menafikannya.
Daftar Acuan

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya | Universitas Indonesia 12

Magister Ilmu Linguistik
Pengajaran Bahasa

Jumat, 03 Januari 2014

Abeywickrama, P. (2013). Why not non-native varieties of English as listening
comprehension test input? RELC Journal, 44 (1), March 11, 2013 (59-74).
Bolton, K. (2006). World Englishes. In B. Kachru, Y. Kachru, & C. L. Nelson
(Eds.), The handbook of World Englishes (pp. 367–396). Oxford, England:
Blackwell.
Caine, T. M. (2008). Do you speak global? The spread of English and the
implications for English language teaching. Canadian Journal for New
Scholars in Education, Volume (1), July 2008 (1-11).
Canagarajah, S. (2006). Changing communicative needs, revised assessment
objectives: Testing English as an international language. Language
Assessment Quarterly, Volume 3 (3), 2006 (229-242).
Davies, A. (2009). Assesing world Englishes. Annual Review of Applied
Linguistics (2009) 29, 80-89. USA: Cambridge University Press.
Hamid, M. O. & Baldauf Jr, R. B. (2013). Second language errors of features of
world Englishes varieties? Viewing from L2 pedagogy. World Englishes,
Volume 32 (4), September 13, 2013 (526-544).
Hamp-Lyons, L. & Wen-xia, B. (2001). World Englishes: Issues in and from
academic writing assesment. In John Flowerdew & Matthew Peacock (eds.).
Research perspective on English for academic purposes, pp. 1-21.
Cambridge: Cambridge University Press.
Harding, L. (2012). Language testing, world englishes and English as a lingua
franca: The case for evidence-based change. (Invited presentation).
University of Copenhagen: CIP Symposium.
Jenkins, J. (2006). The spread of EIL: A testing time for testers. ELT Journal,
Volume 60 (1), January 2006 (42-50).
Jenkins, J. (2006). The times they are (very slowly) a-changin’. ELT Journal,
Volume 60 (1), January 2006 (61-62).
Kilickaya, F. (2009). World Englishes, English as an international language and
applied linguistics. CCSE Journal, Volume 2 (3), September 2009 (35-38).
Lowenberg, P. (2000). Non-native varieties and issues of fairness in testing
English as aworld language. In Anthony Kunnan (ed.). Fairness and

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya | Universitas Indonesia 13

Magister Ilmu Linguistik
Pengajaran Bahasa

Jumat, 03 Januari 2014

validation in language assessment. Cambridge: Cambridge University
Press.
Newman, M. (1996). Correctness and its conceptions: the meaning of language
form for basic writers. Journal of Writing, Volume 15 (1), 1996 (23-38).
Taylor, L. (2006). The changing landscape of English: Implications for language
assessment. ELT Journal, Volume 60 (1), January 2006 (51-60).
Taylor, L. (2002). Assessing learners’ English: Implications for language
assessment. ELT Journal, Volume 60 (1), 51-60.

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya | Universitas Indonesia 14