Matha'ul anwar dalam konstelansi politik nasional pasca orde baru

(1)

MATHLA’UL ANWAR DALAM KONSTELASI POLITIK

NASIONAL PASCA ORDE BARU

Disusun Oleh : IIN SOLIHIN

NIM: 105033201130

Program Studi Ilmu Politik

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta

1430 H / 2010 M


(2)

(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 01 Desember 2010

Iin Solihin


(5)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

DAFTAR ISI... iv

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

Bab 1 : Pendahuluan A. Latar belakang ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tinjauan Pustaka... 6

D. Tujuan Penelitian... 7

E. Metode Penelitian ... 8

F.Sistematika Penulisan ... 10

Bab II: Sekilas Tentang Mathla’ul Anwar A. Sekilas Berdirinya Mathla’ul Anwar... 12

B. Sifat-Sifat Tujuan Mathla’ul Anwar... 16

C. Pengertian Khittah Mathla’ul Anwar ... 19

1. Fungsi dan Tugas Organisasi Mathla’ul Anwar... 19

2. Landasan Operasional Organisasi Mathla’ul Anwar ... 20

D. Tokoh-Tokoh Pendiri Mathla’ul Anwar... 24


(6)

Bab III: Mathla’ul Anwar Dan Partisipasi Politik

A. Pengertian Dan Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik ... 29

B. Langkah-Langkah Perjuangan Mathla’ul Anwar... 35

1. Bidang Politik... 35

2. Bidang Pendidikan ... 41

C. Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar ... 48

1. Di Era Orde Lama ... 48

2. Di Era Orde Baru... 52

Bab IV: Mathla’ul Anwar Dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru A. Realitas Politik Mathla’ul Anwar Pasca Orde Baru ... 65

B. Hubungan Mathla’ul Anwar Dengan Partai Politik ... 74

C. Partisipasi Mathla’ul Anwar Dalam Politik Pasca Orde Baru... 80

D. Masa Depan Mathla’ul Anwar, Antara Peluang dan Tantangan... 87

Bab V: Penutup A. Kesimpulan... 91

B. Saran ... 92

C. Dafatar Pustaka... 94

Lampiran


(7)

ABSTRAK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS ILMU POLITIK DAN ILMU SOSIAL

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

Iin Solihin, 97 halaman, 56 Daftar Pustaka, 105033201130

Mathla’ul Anwar Dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru

Skripsi ini memfokuskan perhatian pada partisipasi politik organisasi Mathla’ul Anwar (MA 1916) dalam konstelasi politik nasional pasca Orde Baru sebagai salahsatu organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang kultural (pendidikan, dakwah dan sosial). Pemilihan MA pada kajian ini karena ia dianggap sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar di Provinsi Banten dan terbesar ketiga di Indonesia setelah NU (1926) dan Muhammadiyah (1912). Sebagai organisasi gerakan kultural diawal pendiriannya pada perjalanannya dalam rangka mengisi setelah kemerdekaan untuk membangun permasalahn keumatan, kenegaraan dan kebangsaan mengalami degradasi dari awal sebagai gerakan dalam bidang kultural menuju gerakan politis yang terbawa oleh arus

euphoria masa Orde Baru (Orba) yang melakukan strategi hegemoni

kekuasaannya dengan memberlakukan Asas Pancasila sebagai satu-satunya Asas untuk seluruh organisasi. Kemudian, pada perkembangannya menyebabkan perpecahan dinternal organisasi MA dengan hilangnya independensi dan puncaknya mengadopsi sistem komando dibawah Orde Baru dan Golkar dengan menjadi onderbouw dari partai politik yang dinilai telah keluar dari Khitthah

(1916) organisasi MA.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan melakukan survei untuk mendapatkan data primer, yaitu dengan jalan interview atau wawancara secara langsung dan mendalam, dengan pendekatan penelitian kualitatif dan pengumpulan dokumen lainnya (library research) untuk mendapatkan data skunder, yakni mengadakan studi kepustakaan melalui penelitian terhadap buku-buku, majalah dan lain sebagainya yang ada relevansinya dengan pembahasan tema penelitian.

Skripsi ini berkesimpulan; Pertama, MA merupakan organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang kultural dan bukan sebagai organisasi politik. Karena itu, partisipasi politiknya dalam konstelasi politik nasional dimasa Orde Baru telah menyimpang dari tujuan awalnya sebagai gerakan kultural yang berdampak buruk terhadap eksistensi organisasi. Kedua, organisasi MA di masa reformasi telah kehilangan daya tariknya dalam merespon permasalahan keumatan, kenegaraan dan kebangsaan. Selain itu, terjadinya demoralisasi para elit keagamaan yang terjebak dalam pragmatisme politik yang menyebabkan adanya dualisme antara kepentingan kultural dan kepentingan politis.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis berhasil menyelesaikan salah satu kewajiban akademik yang merupakan prasyarat dalam rangka meraih gelar Sarjana Sosial di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ucapan terimakasih tak lupa penulis haturkan kepada berbagai pihak yang ikut memberikan kontribusi dalam penyelesaian skripsi “Mathla’ul Anwar Dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru”. Adapun ucapan terimaksasih penulis haturkan sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta..

2. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendi, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayarullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Hendro Prasetyo, MA selaku Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayarullah Jakarta.

4. Ibu Dra. Wiwi Sajaroh, MA dan M. Zaki Mubarak M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Prodi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Dr. Sirojuddin Ali, MA selaku Dosen Pembimbing atas dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukan dan bimbingan selama proses penulisan skripsi.


(9)

6. Seluruh dosen dan staff pengajar pada Program Studi Ilmu Politik yang telah sangat banyak memberikan sumbangan ilmiah selama penulis menempuh proses perkuliahan.

7. Seluruh jajaran, staff dan petugas di Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Universitas Mathla’ul Anwar (UNMA) Cikaliung, Menes Pandeglang Banten.

8. Ucapan terimakasih dengan segala kerendahan hati tak lupa penulis ucapkan kepada kedua orang tua H. Sanusi, Hj. Saiyah yang telah melahirkan, membimbing sehingga penulis bisa menduduki bangku perguruan tinggi. Kepada kakak dan teteh, Arniah, Salmah, Sukron Ma’mun, Suherman.

9. Ucapan terimakasih penulis kepada mamang Drs. Sonhaji Ujaji yang telah memberikan inspirasi penulis untuk mengkaji terhadap organisasi Mathla’ul Anwar (MA), Herdi Sahrasad yang telah memberikan motivasi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skrispi.

10.Ucapan terimakasih kepada para narasumber yang telah banyak memberikan informasi dan masukan dalam proses penelitian skripsi, Dr. Asep Saepudin Jahar,Mhd, Mohammad Zen, MA, Ali Nurdin, MA, Drs. Herman Fauzi, Mohammad Idjen, Drs. H.A. Shihabuddin, MM, KH. Sadeli Karim, Lc, KH. Abdul Wahid Sahari, MA, Drs, Anang Ainul Yaqin, H. Lili Nahriri, MA, Aas Syatibi, SH.


(10)

11.Kepada seluruh teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat, Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) Jakarta, Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Ikatan Mahasiswa Mathla’ul Anwar (DPP HIMMA), Lingkar Studi Islam dan Kebudayaan (LSIK) Ciputat, koran online Rimanews.com, koran online Bantenpress.com, Forum Kajian Benoa Air Nusantara Jakarta, Forum Studi Jala Sutra Jakarta, Forum Kajian INCA Ciputat.

12.Ucapan terimakasih dan penghargaan secara tulus tak lupa penulis sampaikan kepada teman-teman sepermainan dan seperjuangan di Cipuat. Umar Hamdani, Teteh Bety, Duha Hediyansyah, Fahrurazzi, Ahyanuddin, Syahid, Mohammad Asrori Mulky, Mulyani, Ucu, Fikriyah, Zaenab, Melly, Guruh Tajul Arsy, TB. Hamid, Andi Rahman, Iyan Sopyan Hamid, Sukardi, Buluk, Asep. Serta seseorang yang saat ini belum bisa disebutkan.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Deliar Noer, sejarah munculnya berbagai organisasi masyarakat (ormas) di Indonesia adalah sebagai respon terhadap kondisi yang telah menjadi

atmosfir di belantara bumi Nusantara. Kondisi bangsa yang memprihatinkan di

tengah tekanan kaum imprealis, dengan sendirinya memunculkan jiwa patriotisme dan semangat memperjuangkan hak dan martabat kaum pribumi. Guliran semangat kejuangan ini, pada akhirnya melahirkan gerakan modernisasi di kalangan bangsa Indonesia.1

Ormas-ormas keagamaan seperti Mathla’ul Anwar (kemudian disingkat MA), merupakan cerminan suatu gerakan modernisasi Islam untuk menumbuhkan semangat kejuangan dan mempercepat proses pencerahan pemikiran di kalangan umat, agar memiliki kepekaan dan keluasan wawasan sehingga kondisi bangsa tidak direlakan untuk dieksploitasi oleh kaum imprealis.

Semangat awal ormas-ormas yang ada di Indonesia yang dikategorikan sebagai gerakan modernisasi, setelah bergulirnya kemerdekaan dalam rangka mengisi dan membangun bangsa mengalami degradasi, dari orientasi awal pada gerakan kultur menuju gerakan politis. Sebagaimana fenomena yang terjadi pada MA sebagai organisasi masyarakat terbesar ketiga di Indonesia setelah NU dan Muhammadiyah.

1

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indoneseia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1995), h. 121


(12)

Pada perjalananya, MA terbawa arus euphoria Orde Baru (Orba) yang melakukan strategi hegemoni kekuasaannya atas segala bentuk institusi yang ada di Indonesia. Strategi hegemoni ini terlihat ketika Rezim Orba memaksakan kepada seluruh institusi yang ada untuk menerima Asas Tunggal Pancasila. Institusi apapun yang tidak menerima Pancasila sebagai Asas Tunggal secara sepihak oleh Rezim Orba dibubarkan dan dikucilkan dari tata dinamika konstelasi kehidupan nasional pada saat itu. MA pada masa Orba, tidak saja menerima Asas Tunggal tersebut, akan tetapi lebih jauh membuat statemen bahwa secara politis aspirasi warga MA diberikan dukungannya kepada Golkar sebagai partai Orba yang berkuasa. Dengan memulai gerakan politiknya pasca Muktamar XIV tahun 1985 di Jakarta, dengan jargonnya yang berani menerima Pancasila sebagai Asas organisasi dan menyatakan berafiliasi dengan partai politik.2

Menurut Didin Nurul Rosidin, bahwa keputusan Muktamar XIV (1985) merupakan keputusan paling menghebohkan dalam sejarah MA terkait dengan penerimaan Asas Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi yang sesuai dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang organisasi kemasyarakatan yang berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kebijakan politik organisasi ini berdampak terjadinya perpecahan di internal sebagai akibat dari keputusan menjadi onderbouw dari partai politik telah keluar dari Khitthah (1916)

2

Syibli Sarjaya, dkk., Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 56-57


(13)

organisasi.3 Bagaimanapun Mathla’ul Anwar merupakan organisasi masyarakat terbesar di Provinsi Banten. Sebagai sebuah organisasi yang independent

(mandiri) dan pada awalnya tidak berafiliasi politik praktis. Tentunya karena adanya intervensi dan intimidasi oleh pemerintah Orde Baru dan militer terhadap organisasi masyarakat (ormas) telah menghilangkan kemandirian organisasi dan menodai demokrasi dengan kata lain, MA telah mengadopsi budaya politik internal Partai Golkar yang menggunakan sistem komando (top-down) dengan menggunakan strategi merekrut beberapa tokoh MA menjadi pengurus dan kader di Partai Golkar.

Dengan adanya pergeseran orientasi MA dari murni gerakan kultural ke arah gerakan politik, maka konsentrasi MA tidak lagi diarahkan semata untuk kepentingan rekonstruksi gerakan kultural ummat, akan tetapi gerakan-gerakan yang digulirkan terbingkai oleh kepentingan politik. Pada peta percaturan politik Orde Baru (Orba), hampir tidak ada ormas yang berani melakukan alienasi

terhadap partai yang berkuasa pada waktu itu, yaitu Partai Golkar. Dengan adanya format politik yang diciptakan oleh Golkar, maka ormas manapun yang rela menjadi subordinasi partai Golkar akan terjamin kelangsungan (sustainability) dan kemudahan untuk mencari akses dalam rangka menjalankan aktivitas organisasinya.

MA pada awal berdirinya merupakan kelompok pengajian lokal di Menes, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Jawa Barat (kini Provinsi Banten) dan pada perkembangan dan gerakannya di manifestasikan pada reformasi sosial religius,

3

Didin Nurul Rosidin, Quo Vadis Mathla’ul Anwar, Makalah disampaikan pada Rakernas Mathla’ul Anwar di Batam, 7-9 Juli 2007. Selanjutnya lihat. M. Irsjad Djuwaeli, Sejarah


(14)

pendidikan, dakwah dan budaya, dengan melakukan pembaharuan (modernisasi)

dan pemurnian (furifikasi) ajaran agama Islam. Gerakan Ormas MA sebagai gerakan kultural, yang mana kondisi ummat yang diinginkan adalah ummat yang melakukan pembaharuan di bidang kultur kehidupan. Semangat pembaharuan di bidang kultur, pada gilirannya membuahkan sebuah tatanan kehidupan penguatan masyarakat sipil (civil society). Kuatnya masyarakat sipil, secara langsung mempengaruhi tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga masyarakat bangsa dapat keluar dari belenggu penjajahan kaum imprealis, maupun kekuasaan sebuah rezim yang tidak memihak terhadap kepentingan rakyat.

Perkembangan sebuah organisasi masyarakat seperti MA pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakat itu sendiri. Sebab, ormas dibentuk dan kiprahnya ditengah masyarakat. Maju mundurnya sebuah ormas sangat tergantung pada dukungan masyarakat. Jika dukungan masyarakat kuat, maka majulah ia. Sebaliknya, sulit bagi ormas untuk berkembang tanpa dukungan yang mantap dari masyarakat. Karena itu, memprediksi keadaaan sebuah ormas dimasa mendatang pada dasarnya adalah memprediksi dan menganalisa kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi pada masyarakat masa depan.4

Munculnya euphoria reformasi dengan berakhirnya rezim Orde Baru (1998), berimplikasi terhadap perubahan paradigma berbagai institusi atau ormas di Indonesia seperti Mathla’ul Anwar (MA) sebagai salah satu “pendukung” rezim

4

M. Irsjad Djuwaeli, Membawa Mathla’ul Anwar Ke Abad XXI (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 1


(15)

Orde Baru dengan mengubah cara pandang terhadap tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dengan mendukung pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Selanjutnya, terjadinya perpindahan Rezim Orba ke Rezim Reformasi eksistensi Orba dihujat dan diinjak-injak, maka secara tidak langsung keberadaan ormas-ormas yang merupakan subordinasi dari rezim Orba (termasuk di dalamnya MA) akan terkena dampak langsung kebencian, gunjingan dan dikucilkan sehingga pada akhirnya bukan tidak mungkin ditinggalkan. Maka euphoria

reformasi diikuti oleh berbagai institusi-institusi, ormas-ormas ke-Islaman baik formal maupun non formal untuk melakukan perubahan paradigma baru terhadap perjalanan organisasinya yang lebih baik ke depan. Hal ini dilakukan bukan hanya sebagai strategi “cuci tangan” terhadap dosa-dosa Orde Baru, tetapi sebagai

evaluatif dari ormas MA demi kemajuan dalam menghadapi tantangan institusi

agar tetap sejalan dengan asas perjuangan.

Perubahan paradigma MA, dengan berbenah dan menata diri agar tidak ketinggalan gerbong reformasi, MA melakukan perubahan-perubahan yang

responsif terhadap permasalahan bangsa dengan mengarah pada substansi

didirikannya organisasi ini, agar tidak menyalahi Khitthah (1916) awalnya. Dengan adanya perubahan iklim politik secara nasional, maka, MA melakukan

evaluasi terhadap partisipasi politik Mathla’ul Anwar (MA) di tengah kancah


(16)

Berdasarkan latar belakang inilah penulis ingin mengadakan penelitian tentang permasalahan-permasalahan di atas dengan judul: “Mathla’ul Anwar Dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru”.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Agar pembahasan permasalahan dalam skripsi ini tidak melebar, maka permasalahannya dibatasi pada peran dan bentuk partisipasi politik MA dalam politik praktis yang tekait dengan dukungan terhadap salah satu kekuatan politik tertentu. Dan untuk memudahkan mengidentifikasi persoalan, maka penelitian difokuskan pada bentuk-bentuk peran politik yang telah dilakukan MA dalam kurun waktu pasca Orde Baru (1998).

Untuk itu, maka muncul beberapa pertanyaan yang cukup fundamental sebagai rumusan masalah menyangkut eksistensi MA, yaitu;

1. Bagaimana bentuk kontribusi politik MA dalam politik praktis?

2. Apakah peran politik yang telah dilakukan oleh MA itu sejalan dengan

Khitthah MA?

3. Bagaimana bentuk partisipasi politik MA dalam konstelasi kehidupan nasional?

C. Tinjauan Pustaka

Sebelum penulis berniat untuk menyusun skripsi yang berjudul “Mathla’ul Anwar Dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru”, penulis telah melakukan tinjauan pustaka sebagai upaya preventif agar penulisan karya ilmiah


(17)

ini tidak sia-sia karena satu kelalaian sederhana. Dikarenakan sudah ada materi yang dibahas sehingga judul yang diajukan harus benar-benar selektif dan korektif.

Hasil penelusuran penulis, dan sejauh yang penulis ketahui ada dua orang yang sudah lebih dulu membahas mengenai Mathla’ul Anwar, yaitu:

Pertama. Aas Syatibi dengan judul skripsinya: Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar di Indonesia. Pada Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Jinayah Siyasah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, lulus tahun 2006. Di dalamnya membahas secara deskriptif tentang partisipasi politik Mathla’ul Anwar dalam Pemilu di Indonesia.

Kedua. Didin Nurul Rosidin dengan judul disertasinya: Dari Kampung Ke Kota Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar Dari Tahun 1916-1998. Disertasi pada Leiden University (tidak di publikasikan) lulus tahun 2007. Di dalamnya membahas terhadap peran dan kontribusi Mathla’ul Anwar baik Dakwah, Pendidikan dan Sosial (ekonomi) di Indonesia

Berdasarkan hal itu, Penulis melihat belum ada yang membahas secara spesifik tentang peran Mathla’ul Anwar dalam konstelasi politik nasional pasca Orde Baru. Untuk menambah khazanah, referensi atau pun literatur merupakan salah satu alasan penulis kenapa pembahasan tema ini perlu dikaji.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk;


(18)

2. Mengetahui bentuk dan kontribusi partisipasi politik MA dalam konstelasi politik nasional pasca Orde Baru (1998).

3. Bagaimana semestinya peran politik MA dalam politik praktis ke depan yang sesuai dengan kondisi dan situasi bangsa.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tiga instumen pengumpulan data:

1. Wawancara

Wawancara adalah suatu kegiatan komunikasi langsung dengan tujuan mendapatkan informasi. Selain itu, wawancara untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh dan memperoleh informasi yang penting. Menurut Denzin, wawancara dilakukan dengan tatap muka dimana seseorang memperoleh informasi dari yang lain.5

Penelitian dilakukan pada lokasi tertentu yang bersentuhan langsung dengan mayoritas komunitas MA. Sampai saat ini pusat MA terletak di Menes Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Di Menes inilah para tokoh dan putra-putri pendiri MA dan bahkan sebagian orang yang mengabdi kepada perjalanan MA masih dapat dijadikan kunci informasi untuk menggali secara mendalam tentang permasalahan terhadap peran politik MA pasca Orde Baru (1998), tidak menyentuh aspek-aspek lainnya yang dilakukan oleh MA dalam menjalankan visi dan misinya. Dalam hal ini peneliti akan melibatkan beberapa komponen

5

James A. Black dan Dean J. Champion, Metodologi Dan Masalah Penelitian Sosial (Bandung: PT Refika Aditama, 2001, Cet: 3), h. 306


(19)

masyarakat MA yaitu: tokoh MA terutama sebagai pendiri organisasi, pengurus MA, pengurus perguruan MA dan orang-orang yang memiliki perhatian terhadap organisasi ini.

2. Observasi

Observasi dalam suatu penelitian berarti pengamatan yang dilakukan secara langsung terhadap gejala yang terjadi dengan objek yang diteliti. Teknik ini memungkinkan peneliti melakukan penarikan kesimpulan terhadap makna dan sudut pandang responden, kejadian, peristiwa atau proses yang diamati. Lewat teknik ini peneliti akan melihat sendiri pemahaman yang tidak terucapkan, langsung dan sudut pandang narasumber atau responden yang mungkin tidak didapati dari wawancara.6

3. Penelitian Kepustakaan

Penelitian kepustakaan (Library research), yaitu penelitian dengan menelaah buku-buku, dokumen-dokumen, majalah, surat kabar, artikel yang relevan dan bahan-bahan lainya yang terkait dengan MA.

Adapun analisi data dalam penelitian ini, menggunakan analisis data berkelanjutan, artinya data dimulai dengan penetapan masalah, pengumpulan data dan setelah data terkumpul. Menurut Mills dan Huberman, tahap analisis data seperti ini secara umum dimulai sejak pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan pengambilan kesimpulan.7 Metode ini dilakukan untuk mengetahui kekurangan data yang harus dikumpulkan dan mentode mana yang harus dipakai. Sedangkan teknik pengambilan dalam penelitian ini menggunakan teknik

6

A. Chaedar Alweilah, Pokoknya Kualitatif, Dasar-Dasar Merancang dan

Melaksanakan Penelitian (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002), h. 155

7


(20)

sampling dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informan atau responden yang dianggap mengetahui informasi

Kemudian dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku

“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)”, CeQDa, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Sistematika Penulisan

Penulisan Skripsi ini terdiri dari lima bab dan masing-masing terbagi ke dalam sub-sub yang tersusun secara sistematis. Adapun bab-bab tersebut tersusun sebagai berikut:

Bab Pendahulun: Bab ini menjelaskan tentang kerangka pembahasan dan gambaran isi skripsi ini secara keseluruhan. Bab ini terdiri dari penjelasan latar belakang masalah, batasan rumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II: Sekilas tentang Mathla’ul Anwar, bab ini akan menjelaskan terhadap sejarah berdirinya Mathla’ul Anwar tahun 1916 di Menes, Kabupaten Pandeglang sebagai salah satu organisasi masyarakat (Ormas) terbesar di Provinsi Banten dan untuk tingkat nasional terbesar ketiga setelah NU (1926) dan Muhammadiyah (1912). Selanjutnya akan di bahas tentang sifat-sifat tujuan dan pengertian Khittah Mathala’ul Anwar, berikut dengan penjelasan terhadap fungsi dan tugas organisasi Mathla’ul Anwar, landasan operasional organisasi Mathla’ul Anwar dan terakhir akan perkenalkan tokoh-tokoh pendiri Mathla’ul Anwar serta peranannya dalam membangun sebuah organisasi mayarakat.


(21)

Bab III: Partisipasi Mathla’ul Anwar dalam ranah politik, bab ini akan menjelaskan tentang pengertian dan bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai salah satu aspek demokrasi dan dilajutkan dengan membahas langkah-langkah perjuangan Mathla’ul Anwar baik dibidang pendidikan maupun dalam ranah politik yang dimaksudkan berupa kegiatan baik individu maupun kelompok. Terakhir tentang partisipasi politik Mathla’ul Anwar di Era Orde Lama dan Orde Baru.

Bab IV: Bab ini merupkan isi substansi penelitian yang telah didapatkan dari penelitian pustaka dan lapangan. Dengan mengulas seputar realitas politik Mathl’ul Anwar terhadap konstalasi politik nasional pasca Orde Baru, dan hubungan MA dan partai politik, terakhir menelusuri sejauhmana partisipasi Mathla’ul Anwar dalam politik nasional pasca Orde Baru sebagai evaluatif terhadap perjalanan organisasi.

Bab V: Bab ini merupakan kesimpulan dari penelitian ini, yang berisi komentar penulis dalam bentuk analisa kritis, komentar, masukan dan harapan terhadap bahasan yang telah dikupas dari penulisan skripsi ini.


(22)

BAB II

SEKILAS TENTANG MATHLA’UL ANWAR

A. Sekilas Berdirinya Mathla’ul Anwar Tahun 1916 Di Menes

Mathla’ul Anwar (MA) merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan (ormas) terbesar ketiga setelah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang masih eksis hingga kini, MA secara kuantitas sudah tersebar di 26 pengurus wilayah dan 215 pengurus daerah.di Indonesia.8 Kelahiran MA, seperti juga ormas-ormas lain pada awal abad ke-20, telah menandai perjuangan kebangkitan nasional. Karena itu, semangat pendidikan, dakwah dan sosial yang dibangun pada periode tersebut menekankan semangat pembebasan atau rasa kemerdekaan, yang saat itu dibawah penindasan kolonialisasi Belanda dengan segala dampak politiknya.

Organisasi kemasyarakatan (Ormas) atau keagamaan Mathla’ul Anwar (bahasa Arab, yang artinya tempat munculnya cahaya) sejak didirikannya pada tahun 1334 H atau 10 Juli tahun 1916 oleh sepuluh tokoh ulama lokal diantaranya adalah Kiyai Moh Tb Soleh, Kiyai Moh Yasin (1860-1937), Kiyai Tegal, Kiyai Mas Abdurrahman bin Mas Jamal (1868-1943), KH Abdul Mu’ti, KH Soleman Cibinglu, KH Daud, KH Rusydi, E. Danawi, KH Mustaghfiri di Menes-Pandeglang bagian selatan Banten.9

Tujuan didirikannya MA adalah membebaskan umat dari segala bentuk penindasan, kebodohan dan kemiskinan. Pada abad ke-19, kondisi masyarakat

8

Wawancara Pribadi dengan Ketua PBMA KH. Ahmad Sadeli Karim. Menes, 7 Agustus 2010.

9

M. Irsjad Djuwaeli, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 10 12


(23)

Banten Selatan dan khususnya Menes-Ujung Kulon merupakan masyarakat dengan tingkat buta huruf yang cukup tinggi. Dimana masyarakat Banten khususnya dari segi pendidikan dan sosial (ekonomi) memang sangat memprihatinkan, sekolah–sekolah yang dibangun oleh penjajah Belanda tidak disiapkan untuk pribumi, hanya golongan tertentu yang bisa masuk disekolah tersebut (politik etis Belanda).10 Selain itu, rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat (Menes-Ujung Kulon) terhadap pendidikan juga ajaran Islam, salah satunya disebabkan proses Islamisasi yang dilakukan di zaman Kesultanan Banten Selatan belum terbukti dalam mengamalkan ajaran agama Islam secara benar, karena proses dakwah tidak berlangsung secara gencar, konsep pengembangan Islam pada zaman Kerajaan atau Kesultanan Banten hanya gencar dilakukan ke daerah-daerah yang menyetorkan upeti (pajak).11 Karena itu Kesultanan atau Kerajaan justeru lebih tertarik dalam memperluas kekuasaan teritorialnya dengan cara menundukan kerajaan-kerajaan yang belum masuk Islam dibandingkan dengan upaya mengintensifkan dakwahnya.12

Hal itu terbukti, dengan masih rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat Menes terhadap ajaran agama Islam yang menyebabkan adanya penyimpangan-penyimpangan akidah seperti adanya TBC (takhayul, bid’ah dan khurafat) dan percaya kepada benda-benda keramat (animisme) lainnya yang diyakini akan

10

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, Cet I ), h. 157

11

Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen, Ciputat, 17 Mei 2010. 12

Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 63, 69


(24)

mendatangkan hal yang dianggap positif bagi masyarakat Menes terhadap segala macam kejahatan dan kenaasan.13

Kemudian, kondisi masyarakat di daerah Menes diperparah dengan situasi penuh kekacauan dan kerusuhan, dimana para jawara14 atau bandit sosial15 yang mempunyai ilmu-ilmu hitam pada saat itu telah menguasai daerah Menes seringkali membuat kekacauan, kemaksiatan, perjudian, pelacuran, pencurian, perampokan dan menindas masyarakat dan akhirnya mematikan kehidupan ruh keagamaan.16

Atas keprihatinan tersebut, para ulama atau kyai meresponnya dengan mengadakan musyawarah yang bertempat di Kampung Kananga-Menes, dipimpin oleh KH. Entol Mohammad Yasin dan KH. Tb. Mohammad Soleh serta ulama-ulama lainnya di sekitar Menes. Akhirnya musyawarah tersebut mengambil keputusan untuk mendirikan pendidikan formal yaitu berbentuk madrasah sebagai bentuk perjuangan untuk membawa umat keluar dari keterpurukan.

Pendirian madrasah atau pendidikan formal selain untuk memberikan kesempatan belajar bagi masyarakat Menes, juga karena gagalnya sistem pendidikan Islam lama (pesantren) untuk menarik minat anak muda sebagai generasi penerus untuk masuk pesantren. Sehingga, pesantren tidak mampu untuk “mencetak” calon-calon pemimpin umat yang sadar akan tantangan zaman. Faktor

13

Wawancara Pribadi dengan Asep Saepudin Jahar, Ciputat, 17 Mei 2010. 14

Jawara menurut orang Banten adalah istilah orang-orang yang mempunyai ilmu kesaktian.

15

Bandit sosial Istilah lain Jawara, yaitu suatu golongan sosial yang terdiri dari orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan seringkali melakukan tindakan kriminal. Lihat. Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, Cet I), h. 83. Selanjutnya lihat. Mohammad Hudaeri, ed., Tasbih dan Golok Kedudukan, Peran dan

Jaringan Kiyai dan Jawara di Banten (Serang: Biro Humas Setda Provinsi Banten, 2007), h. 13

16

Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006), h. 25


(25)

lainnya adalah intensifnya gerakan pemerintah kolonial Belanda dalam mendirikan sekolah-sekolah rakyat di pedesaan dengan materi umum sebagai objek pelajarannya yang dinilai oleh para Kiyai Menes akan menghilangkan syariat Islam. Kedua faktor inilah yang diantaranya memainkan peranan penting dalam proses penerimaan sistem pendidikan madrasah oleh para Kiyai.17

Namun, rencana pendirian madrasah terhambat oleh ketidaktahuan dan keterbatasan keilmuan para ulama dalam mengelola sistem pendidikan modern (kurikulum madrasah). Kemudian, KH. Entol Mohammad Yasin dan ulama lainnya berinisiatif mengundang seorang pemuda bernama KH. Mas Abdurahman yang sedang menuntut ilmu di Mekkah selama 10 tahun pada seorang guru besar yang berasal dari Banten Syeh Mohammad Nawawi Al-Bantani. Tujuan diundangnya KH. Mas Abdurrahman untuk merumuskan dan mengelola sistem pendidikan modern (madarasah) yang akan dibangun di Menes.

Pada tahun 1910 M, KH. Mas Abdurahman (42 tahun) datang di Menes, kemudian segera bergabung dengan para ulama lainnya untuk membantu mengintensifkan kembali gerakan dakwahnya dengan membentuk pengajian-pengajian diberbagai tempat di Banten. Kemudian pada perkembangannya mereka mendirikan lembaga pendidikan yang kemudian diberi nama Mathla’ul Anwar (tempat terbitnya cahaya) yang berdiri pada tanggal 09 Agustus 1916/10 Syawal

17

Didin Nurul Rosidin, Quo Vadis Mathla’ul Anwar, Makalah disampaikan pada Rakernas Mathla’ul Anwar di Batam, 7-9 Juli 2007, h. 2-3. Menurut Karel A. Steenbrink bahwa, faktor pertumbuhan gerakan Islam di Indonesia melalui pendirian madrasah, pertama, faktor keinginan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah, kedua, semangat nasionalisme melawan penguasa kolonial Belanda, ketiga, untuk memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya dan politik, keempat, faktor untuk melakukan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT Grasindo, 2001), h. 196


(26)

1334 H tahun 1916 M. Lembaga pendidikan MA untuk sementara beroperasi di sebuah rumah KH. Mustahgfiri di Menes yang dijadikan tempat belajar dan mengajar. 18

Setelah beberapa bulan madrasah dioperasikannya, situasi kehidupan masyarakatpun mulai pulih dari kekacauan, dan masyarakat merespon sangat baik dengan banyaknya para orang tua mengirim anak-anaknya sekolah di madrasah. Kemudian, untuk mendukung kemajuan lembaga pendidikan MA, Ki Demang Entol Djasudin seorang tokoh priyayi desa Menes menghibahkan tanahnya untuk membangun gedung dengan biaya atau dana diperoleh dari bantuan swadaya masyarakat dan donasi. Sehingga pada akhirnya, gedung pertama madrasah tahun 1920 terbangun berukuran seluas 1000 m2 (20 m x 50 m) yang dilengkapi dengan fasilitas seperti papan tulis, meja, kursi dan lain sebagainya, walaupun siswa-siswinya saat itu tidak menggunakan seragam khusus, karena mereka masih menggunakan sarung, tetapi tidak mengurangi atau menggangu proses pendidikan. Gedung madrasah inilah kemudian menjadi pusat kegiatan pendidikan Islam dengan nama Mathla’ul Anwar Pusat mulai dari TK sampai Madrasah Aliyah yang terletak di Jl. Raya Labuan-Menes, Pandeglang Banten.

B. Sifat-Sifat Tujuan MA

Organisasi MA ini bersifat keagamaan, independen, berakidah Islam menurut ahlussunah waljamah, dan berasaskan Pancasila. Tujuan MA adalah:

18

Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 8


(27)

1. Terwujudnya masyarakat Indonesia yang Pancasilais, bertakwa kepada Allah SWT, sehat jasmani dan rohani, berilmu pengetahuan, cakap dan terampil, serta berkepribadian Indonesia

2. Menumbuhkan nilai-nilai ajaran Islam pada lembaga-lembaga pendidikan, pengajaran dan kebudayaan

3. Membentuk keluarga dan masyarakat yang bahagia dan sejahtera. Untuk mencapai tujuan tersebut, MA melakukan usaha-usaha

4. Mendirikan, membina, dan mengelola lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran serta melaksanakan dakwah

5. Mendidik, memupuk, dan menyalurkan bakat para pelajar, mahasiswa, dan pemuda agar dapat menjadi insan yang mandiri dan terampil

6. Membina dan menyantuni anak-anak yatim piatu, fakir miskin, orang-orang jompo, dan orang cacat

7. Membentuk, menjaga kesehatan dan kesejahteraan masyarakat

8. Mengadakan penelitian dan pengembangan terhadap ilmu-ilmu pengetahuan 9. Membangun kerja sama dengan badan-badan, lembaga-lembaga dan

organisasi kemasyarakatan yang sejenis

10. Mengadakan usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dan perundang-perundangan yang berlaku. Organisasi MA meliputi bidang organisasi/kaderisasi, bidang pendidikan, penelitian dan pengembangan, bidang ekonomi/keuangan, bidang sosial/kesejahteraan, bidang penerangan/dakwah, bidang pemuda, olah raga dan kesenian, bidang


(28)

pembinaan muslimah, bidang pembinaan hukum dan pembelaan, serta bidang hubungan luar negeri.

Struktur organisasi MA terdiri atas: pengurus tingkat pusat, tingkat wilayah, tingkat daerah, tingkat cabang, tingkat ranting serta badan-badan otonom. Organisasi tingkat pusat terdiri atas:

1. Dewan Pembina, yang meliputi ketua, wakil ketua, sekretaris, .wakil sekretaris dan beberapa orang anggota

2. Majelis Fatwa, yang meliputi ketua, wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, dan 45 anggota (ulama pusat dan daerah)

3. Pengurus Besar, yang terdiri atas ketua umum, ketua-ketua, sekretaris jenderal, wakil-wakil sekretaris, bendahara umum, bendahara-bendahara, dan ketua-ketua departemen serta biro. Sedangkan keuangan organisasi diperoleh dari iuran anggota, sumbangan yang tidak mengikat, zakat, infak, sedekah, wakaf, dan hadiah; dan usaha-usaha yang sah dan halal. Untuk lancarnya kegiatan pada masing-masing tingkat kepengurusan, biaya yang dipergunakan diambil dari kas masing-masing yang diperoleh dari bantuan-bantuan dan kerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintah, swasta, perorangan, dan usaha-usaha lain yang dibenarkan oleh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).19

19

Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1994, Cet: 2), h. 204-205


(29)

C. Pengertian dan Khittah Mathla’ul Anwar

Pengertian yang dapat ditarik dari Khittah Mathla’ul Anwar merupakan petunjuk atau pegangan yang dijadikan oleh organisasi Mathla’ul Anwar dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai sebuah organisasi Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial.20

1. Fungsi dan Tugas Organisasi Mathla’ul Anwar

a. Bidang Pendidikan

MA memiliki tujuan untuk mencetak generasi Muslim yang menyadari akan tanggung jawabnya sebagai khalifah Allah di muka bumi untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya dalam rangka ibadah kepada Allah SWT. Karenanya Mathla’ul Anwar mendidik putra putrinya dengan:

1) Menanamkan dan memantapkan aqidah Islamiyah yang disyariatkan yang benar

2) Membiasakan ibadah-ibadah yang disyariatkan

3) Membekali pengetahuan ke-Islaman serta berbagai disiplin ilmu dan skill yang berguna sesuai dengan tuntutan zaman

4) Menanamkan kesadaran agar dapat hidup mandiri membangun lingkungan dan masyarakat serta membentengi diri dan lingkungannya dari pengaruh budaya negatif (yang bertentangan dengan ajaran Islam)

b. Bidang Dakwah

Mathla’ul Anwar sebagai organisasi Islam menjalankan tugasnya dalam bidang dakwah yang menjalankan “amar ma’ruf nahi mungkar” dengan

20

Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 8 53


(30)

memperhatikan kondisi dan sasaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan dakwah itu sendiri.

c. Bidang Sosial

Mathla’ul Anwar sebagai organisasi Islam yang bergerak dalam bidang sosial dengan berbagai usaha dan cara yang Islami agar masyarakat terhindar dari kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan.

2. Landasan Opersional Organisasi Mathla’ul Anwar

a. Memahami Kandungan ayat-ayat al Qur’an dan Hadits sebagai berikut:

1) Dalam bidang pendidikan

Mathla’ul Anwar sebagai organisasi Islam mempunyai kewajiban untuk mendidik dan mencerdaskan kehidupan keumatan, kebangsaan dan kenegaran.

Æì

sùötƒ

ª

!$# t⎦⎪Ï%©!$#

(

#θãΖtΒ#u™

öΝä3ΖÏΒ t⎦⎪Ï%©!$#uρ

(

#θè?ρé& zΟù=Ïèø9$#

;

M≈y_u‘yŠ

4

ª

!$#uρ $yϑÎ/ tβθè=yϑ÷ès?

×

Î7yz ∩⊇⊇∪

Artinya:

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat dan

Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS: Almujadalah:

11)

$tΒuρ šχ%x. tβθãΖÏΒ÷σßϑø9$#

(

#ρãÏΨuŠÏ9

Zπ©ù!$Ÿ2

4

Ÿωöθn=sù

t

xtΡ ⎯ÏΒ Èe≅ä. 7πs%öÏù öΝåκ÷]ÏiΒ ×πxÍ←!$sÛ

(

#θßγ¤)xtGuŠÏj9

’Îû

Ç⎯ƒÏe$!$#

(

#ρâ‘É‹ΨãŠÏ9uρ

óΟßγtΒöθs% #sŒÎ)

(

#þθãèy_u‘ öΝÍκös9Î) óΟßγ¯=yès9 šχρâ‘x‹øts†

∩⊇⊄⊄∪

Artinya:

“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah

kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (QS:

Attaubah: 122)


(31)

Organisasi Mathla’ul Anwar mempunyai tugas dan kewajiban untuk mendidik umat sebagai dakwah “amar ma’ruf nahi mungkar” yang sesuai dengan tujuan berdirinya MA untuk membangun kehidupan umat Islam.

⎯ä3tFø9uρ

öΝä3ΨÏiΒ ×π¨Βé& tβθããô‰tƒ

’n<Î)

Î

ösƒø:$# tβρããΒù'tƒuρ Å∃ρã÷èpRùQ$$Î/

tβöθyγ÷Ζtƒuρ Ç⎯tã

Ì

s3Ψßϑø9$#

4

y7Íׯ≈s9'ρé&uρ ãΝèδ

šχθßsÎ=øßϑø9$# ∩⊇⊃⊆∪

Artinya:

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah

yang mungkar. Mereka adalah orang-orang yang beruntung”. (QS: Ali

Imran: 104)

3) Dalam bidang sosial

a) Taat kepada para pemimpin yang beriman setelah taat kepada Allah dan Rasulnya

Mathla’ul Anwar memiliki tujuan untuk mendidik dan membimbing umat untuk mematuhi perintah dan menjauhi larangan Allah SWT, Nabi dan Rasul, serta para pemimpin.

$pκš‰r'¯≈tƒ t⎦⎪Ï%©!$#

(

#þθãΨtΒ#u™

(

#θãè‹ÏÛr&

©

!$#

(

#θãè‹ÏÛr&uρ tΑθß™§9$#

’Í<'ρé&uρ

Í

ö∆F{$# óΟä3ΖÏΒ

(

βÎ*sù

÷Λä⎢ôãt“≈uΖs?

’Îû

&™ó©x« çνρ–Šãsù

’n<Î)

«

!$# ÉΑθß™§9$#uρ

βÎ)

÷Λä⎢Ψä. tβθãΖÏΒ÷σè?

«

!$$Î/ ÏΘöθu‹ø9$#uρ

Ì

ÅzFψ$#

4

y7Ï9≡sŒ

×

öyz ß⎯|¡ômr&uρ ¸ξƒÍρù's?

∩∈®∪

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasul (Nya) dan Ulul Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an dan) dan RasulNya (As Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. (QS: An-Nisa: 59)


(32)

Mathla’ul Anwar memiliki kewajiban untuk menciptakan dan menjaga kesatuan serta persatuan kehidupan keumatan, kebangsaan, kenegaraan.

(

#

θßϑÅ

Á

t

G

ô

ã

$

#

u

ρ

È≅ö

7

p

t

¿

2

«

!

$

#

$

Y

è

‹Ïϑ

y

_

Ÿ

ω

u

ρ

(

#

θè%§

x

s

?

4

∩⊇⊃⊂∪

Artinya:

“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”. (QS: Ali Imran: 103)

c) Tidak hidup bergolong-golongan dan memilah-milah dinul Islam

Mathla’ul Anwar sebagai organisasi keagamaan memiliki kewajiban untuk menjaga persatuan dan kesatuan kehidupan umat Islam.

Ÿωuρ

(

#θçΡθä3s?

š∅ÏΒ t⎦⎫Å2Îô³ßϑø9$# z⎯ÏΒ

š⎥⎪Ï%©!$#

(

#θè%§sù öΝßγuΖƒÏŠ

(

#θçΡ%Ÿ2uρ $Yèu‹Ï©

(

‘≅ä.

¥

>÷“Ïm $yϑÎ/

öΝÍκö‰y‰s9 tβθãmÌsù ∩⊂⊄∪

Artinya:

“Janganlah kamu menjadi orang-orang yang musyrikin, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang

ada pada golongan mereka”. (QS: Ar-Rum: 31-32)

d) Tolong menolong dalam kebajikan dan takwa

Mathla’ul Anwar memiliki tujuan untuk mecerdaskan dan mensejahterakan kehidupan umat Islam.

(

#θçΡuρ$yès?uρ

’n?tã

Îh

É9ø9$# 3“uθø)−G9$#uρ

(

Ÿωuρ

(

#θçΡuρ$yès?

’n?tã

ÉΟøOM}$# Èβ≡uρô‰ãèø9$#uρ

4

(

#θà)¨?$#uρ

© !$# ( ¨βÎ) © !$# ß

‰ƒÏ‰x©

É

>$s)Ïèø9$# ∩⊄∪

Artinya:

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwalan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran’. (QS: Al-Maidah: 2)


(33)

(34)

(35)

1891. Setelah selesai pendidikan pesantren, dia kembali ke kampungnya, dan kemudian menikahi seorang gadis bernama Sofrah. Dari pernikahan pertamanya dia dikarunia delapan orang anak yang terdiri atas satu anak perempuan dan tujuh anak laki-laki. Kemudian menikah lagi untuk kedua kalinya (berpoligami) dengan Artafiah dari Kampung Baru (Menes). Dari isteri keduanya dikarunia lima anak yakni tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan.21

Tahun 1902, Tb. Mohammad Soleh menunaikan ibadah haji ke Makkah dan sepulang dari sana, kemudian tahun1906 dia mendirikan pesantren di Kananga-Menes. Di tahun pertama, ia telah mempunyai 25 santri yang berasal dari penduduk sekitar. Jumlah santri bertambah dua kali lipat, dan pada akhirnya menjadi pondok pesantren terbesar di antara pesantren-pesantren di Pandeglang. Kiyai sepuh Kananga-Menes Tb. Mohammad Soleh berpulang kerahmatullah sebelum menyaksikan cita-cita besarnya terwujud mendirikan lembaga pendidikan MA yang diresmikan pada tanggal 09 Agustus tahun 1916 M.

a. KH. Mohammad Entol Yasin

KH. Mohammad Entol Yasin bin Demang Darwis lahir tahun 1860 di Simanying-Menes, Yasin merupakan salah satu keluarga ningrat yang cukup kaya, ayahnya Demang Darwis menjabat sebagai kepala Desa di Menes. Pendidikan dasar tentang agama, Yasin memperoleh dari beberapa orang guru agama yang diundang langsung kerumahnya. Selain itu, dia melanjutkan pendidikan agama di dua pesantren, yakni di Karamulya dan Soreang tahun 1875-1884. Sedangkan pendidikan formal atau umum pada sekolah Pemerintahan Belanda di Menes.

21

Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,” (Disertasi Leiden University: Fakulty of Humanity, 2007), h.18-19


(36)

Yasin selain dikenal sebagai intelektual juga aktivis Sarekat Dagang Islam (SDI)22 yang cukup terkenal dimasyarakat karena kedermawanannya, karena telah membantu penderitaan rakyat, sehingga dengan kebaikannya itu masyarakat menyebutnya dengan kiayi. Ketika pada umur 17 tahun, ia bahkan membiayai pendidikan dan memberikan pakaian untuk fakir miskin sebanyak 20 anak di Tegalwangi. Kemudian pada umur 24 tahun, ia mampu mengubah prilaku para Jawara yang terkenal sebagai pembuat onar di Menes menjadi orang baik, yaitu dengan cara memberikan mereka sebidang tanah untuk tempat tinggal. Dengan latar pendidikan agama dan formal, Yasin telah memberikan kontribusi yang cukup besar baik diawal maupun setelah pendirian organisasi Mathla’ul Anwar. Mohammad Entol Yasin wafat sekitar tahun 1937-1938 pada usia 77 tahun.

b. KH. Mas Abdurrahman

Tokoh terakhir adalah KH. Mas Abdurrahman bin Mas Jamal lahir sekitar tahun 1875-1882 di Kampung Janaka dekat kaki gunung Haseupan. Ayahnya (Mas Jamal) merupakan keturunan dua tokoh legendaris muslim lokal yang pertama masuk Islam di Banten yaitu Ki Jong dan Ki Jon. Karena garis keturunannya itu Abdurrahman bergelar Mas pada namanya. Seperti umumnya guru agama Islam lainnya di Banten, Mas Abdurrahman memperoleh pendidikan Islam dibawah bimbingan Mas Jamal. Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikan pesantren di Kiyai Shohib Kadu Pinang. Kemudian, ia selanjutnya meneruskan kembali di pesantren Kiyai Ma’mun untuk memperdalam ilmu seni baca

22

Keterlibatan Yasin di SDI memilih dunia pendidikan sebagai strategi untuk membangun masyarakat. Sedangkan Samanhudi memilih peningkatan ekonomi. Lihat, M. Irsjad Djuwaeli, Membawa Mathla’ul Anwar Ke Abad XXI (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 15-16


(37)

Qur’an (qiro’a). Kemudian, ia berangkat ke ke Jawa Tengah sekitar tahun 1927 untuk memperdalam ilmu tentang al-Qur’an di pesantren Kiyai Afif di Sarang, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Sedangkan pendidikan sufi dan

tarekat dia dapat Kiyai Tb. Bachri.

Tahun 1930, ayahnya (Mas Jamal) berpulang kerahmatullah ketika melaksanakan ibadah Haji di Makkah. Dua tahun setelah Mas Jamal berpulang kerahmatullah, Abdurrahman berangkat ke Makkah untuk mengenang ayahnya dan meneruskan pendidikan tentang beragam ilmu ke-Islaman. Ketika di Makkah itulah, Abdurrahman berkenalan dengan beberapa tokoh agama Islam, seperti tokoh pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan dan Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Asy’ari.

Kemudian tahun 1930, Abdurrahman kembali ke Menes dan menikahi Enong salah satu anak perempuan Tb. Sholeh. Namun pernikahannya yang pertama tidak berjalan lama karena isterinya berpulang kerahatullah ketika ia melaksanakan ibadah Haji. Kemudian menikah kembali dengan tiga istri (berpoligami) yakni, Menot Aminah, Ijot Khodijah dan Enjoh. Dari ketiga istrinya ia dikaruniai lima belas orang anak.

Diantara para pendiri Mathla’ul Anwar, Abdurrahman merupakan tokoh yang berpengaruh dalam merumuskan konsep pendidikan madrasah dan memanjukan organisasi Mathla’ul Anwar (MA) selama hidupnya. Buah pikirannya itu ditulisnya dalam beberapa karya tulis seperti, Kitab Al-Jawa’is Fi ’Ahkam Al-Jana’iz, melalui Kitab-Kitab yang berisi tentang etika dan tatacara mengurusi jenazah, Ilm al Tajwid, yakni kitab yang mempelajari tentang aturan


(38)

baca Qur’an, Al-Takhfifi, metode mudah belajar bahasa Arab, Nahwu Al

Jamaliyyah, kitab yang mempelajari tentang tata bahasa Arab, seperti

Al-Ajrumiyya yang tersebar luas dipergunakan sebagai rujukan dasar tata bahasa

Arab di Indonesia, Miftah Bab Alsalam, kitab tentang hukum Islam, dan Fi Arkan Al Iman Wal Islam, yaitu kitab tentang Tauhid. Kitab-Kitab tersebut ditulis dalam menggunakan bahasa Jawi dan pengantarnnya bahasa Sunda. Kecuali Al Jawa’iz

Fi Ahkam Al Jana’iz, dan buku-buku itu dipersiapkan sebagai rujukan utama

pelajaran agama Islam di madrasah-madrasah Mathla’ul Anwar. Abdurrahman berpulang kerahmatullah pada usia 68 tahun pada tahun 1943.

Selain tiga tokoh-tokoh diatas, beberapa ulama lain yang terlibat dan berjasa dalam pendirian Mathla’ul Anwar diantaranya adalah, K. Tegal, KH. Abdul Mu’ti, Soleman Cibinglu, KH. Daud, KH, Rusydi, E, Danawi dan terakhir KH. Mustghfiri.23

23

Ada beberapa catatan perbedaan dalam jumlah orang yang terlibat dalam pendirian MA. Secara umum ada yang mengatakan bahwa jumlah pendiri MA berjumlah 10 orang nama yang disebutkan, sedangkan nama Tb. Tirtawinata dan Kiyai Muhammad Nur tidak dicantumkan sehingga berjumlah 12 orang. Lihat. Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,” h. 158


(39)

BAB III

PARTISIPASI MATHLA’UL ANWAR DALAM RANAH POLITIK

A. Pengertian Partisipasi Politik

Ditengah-tengah masyarakat modern seluruh komponen masyarakat ikut terlibat dalam proses politik yang merupakan salah satu aspek penting dalam demokrasi. Partisipasi politik berasal dari dua kata, yaitu partisipasi dan politik. Menurut bahasa partisipasi adalah pengambilan bagian (didalamnya) atau peran serta bergabung.24Secara umum, partisipasi politik dapat dikatakan sebagai penentuan sikap seseorang atau kelompok dalam kegiatan untuk pencapaian tujuan organisasi, serta berperan dalam setiap pertanggungjawaban bersama dalam kehidupan politik.

Menurut Miriam Budiarjo, partisipasi politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dan juga turut serta dalam pembentukan kebijakan umum. Secara riil bentuk-bentuk kegiatan ini mencakup kegiatan memilih pada pemilihan umum, menjadi anggota partai politik, duduk di lembaga politik, berkampanye, menghadiri kelompok diskusi yang membahas persoalan politik dan sebagainya.25

Senada dengan Miriam Budiarjo, Michael Rush dan Philif Althoff, menyatakan bahwa partisipasi politik adalah usaha warga negara secara terorganisir dalam proses pemilihan para pemimpin dan mempengaruhi jalannya

24

Pius A. Partanto dan Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), h. 572

25

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cet: 27, 2005), h. 161


(40)

kebijakan umum. Hal tersebut sebagaimana menurut Rafael Raga Maran dalam

Pengantar Sosiologi Politik bahwa yang dilakukan berdasarkan kesadaran akan

tanggung jawab terhadap kehidupan bersama sebagai warga negara.26

Sementara Harbert McClosky dalam International Encyclopedia of the

Sosial Sciences seperti yang dikutip oleh Miriam Budiarjo, menyatakan:

“Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela masyarakat untuk terlibat dalam setiap pengambilan kebijakan seperti dalam proses pemilihan penguasa, baik secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum”. Sedangkan menurut Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam Handbook of Political Science, menyatakan: “Partisipasi politik adalah keterlibatan langsung seseorang atau pribadi warga negara dalam setiap kegiatan untuk tujuan mempengaruhi dan menyeseleksi pejabat-pejabat Negara dalam memutuskan setiap kebijakan”.

Menurut Samuel Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choise: political Participation in Developing Countries, menyatakan: “Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individu atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau Ilegal, efektif atau tidak efektif”.27 Sedangkan Samuel Huntington dan Joan M. Nelsondalam Partisipasi

26

Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet: I 2001), h. 147

27

Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik (Jakarta: Yayasasn Obor Indonesia, 1998), h. 2-3


(41)

Politik di Negara Berkembang membagi partisipasi masyarakat kedalam berbagai bentuk28

1. Elektoral activity, adalah segala bentuk kegiatan yang dilakukan melalui kampanye salah satu partai politik dalam pemilu dan memberikan suara serta ikut mengawasi berlangsungnya proses pemilu.

2. Lobbying, yaitu aktivitas seseorang atau kelompok dalam melakukan

pendekatan pada pejabat pemerintah atau elit politik untuk tujuan mempengaruhi dan mendukung terhadap kegiatan mereka.

3. Organizational Activity, adalah partisipasi warga negara dalam berbagai kegiatan organisasi politik dan sosial dengan menduduki sebuah jabatan sebagai pemimpin, anggota maupu simpatisan.

4. Contacting, yaitu kegiatan warga negara dalam mempengaruhi elit politik dengan cara mendatangi dan menghubungi lewat telepon kepada pejabat pemerintah maupun elit politik lainnya.

5. Violence, adalah sebuah usaha yang dilakukan melalui cara-cara kekerasan atau intimidasi dan pengrusakan dalam proses mempengaruhi elit politik. Dari beberapa definisi diatas, partisipasi politik dapat disimpulkan sebagai bentuk sikap dan keterlibatan setiap individu dalam situasi dan kondisi organisasinya, kemudian mendorong individu tersebut untuk berperan serta dalam pencapaian tujuan organisasi serta ambil bagian dalam setiap tanggung jawab bersama.29 Hal tersebut dilakukan berdasarkan kesadaran terhadap bentuk tanggung jawab dalam kehidupan bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu

28

Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 8

29


(42)

negara. Bagaimanapun, keputusan politik yang diambil oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat berhak untuk ikut serta dalam mempengaruhi setiap keputusan politik. Karena keterlibatan warga negara dalam keputusan politik akan menentukan baik buruknya setiap keputusan untuk kehidupan individu maupun masyarakat itu sendiri.30

B. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Sebagaimana di tulis di atas bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga negara dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksaan kebijakan umum maupun ikut serta dalam menentukan pemimpin pemerintahan. Kegiatan tersebut seperti antara lain, mengajukan tuntutan, kritikan, koreksi, melaksanakan kebijakan umum dengan cara melaksanakan atau menentang. Kemudian untuk merealisasikan berbagai bentuk-bentuk partisipasi politik, maka masyarakat dan negara memanifestasikan bentuk partisipasi politik melalui pembentukan sebuah organisasi masyarakat (ormas), kelompok kepentingan, partai politik, lembaga perwakilan rakyat baik tingkat pusat maupun daerah.

Selanjutnya Jeffry M. Paige, membagi partisipasi politik menjadi empat tipe yaitu, partisipasi politik aktif, fasif, apatis dan militan.31 Partisipasi politik aktif adalah apabila tingkat kesadaran politik dan kepercayaan politiknya tinggi. Masyarakat dengan tingkat partisipasi aktif bisa mempengaruhi penentuan pejabat publik dan kebijakan yang dikeluarkannya. Mereka bisa

30

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia, Cet: 3, 1999), h. 140-141

31

Jeffry M. Paige, Political Orientation and Riot Participation, dalam American Sosiological, Review, Oktober, 1991, h. 810-820


(43)

berpartisipasi dalam pembuatan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pada setiap kebijakan publik. Pola partisipasi seperti ini tumbuh dengan baik dalam Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi, tingkat kehidupan ekonomi cukup, akses informasi bisa diperoleh dengan cepat. Biasanya pola ini berkembang dengan baik pada masyarakat perkotaan.

Partisipasi politik pasif adalah partisipasi dengan tingkat kesadaran politik rendah dan pada saat yang bersamaan tingkat kepercayaan politik tinggi. Pola partisipasi seperti ini mendominasi pada masyarakat yang tingkat pendidikan renadah, tingkat ekonomi yang serba kekurangan, dan akses informasi yang sulit. Biasanya pola partisipasi model ini berkembang di masyarakat pedesaan. Dalam menentukan pilihan politik dan sikap terhadap setiap kebijakan yang

berkaitan dengan hajat bersama, masyarakat mempercayakan kepada tokoh masyarakat atau kepala desa. Masyarakat menganggap dirinya tidak punya kemampuanapapun dalam menentukan kepentingan bersama. Mereka sepenuhnya percaya pada orang yang memiliki kharisma dan ketokohan, seperti :kiyai dan jawara, serta pada orang yang memiliki kekuasaan struktural, seperti kepala desa, camat, bupati dan lainnya. Partisipasi politik apatis (masa bodoh) adalah partisipasi politik dengan tingkat kesadaran dan kepercayaan politik yang rendah. Pola partisipasi seperti ini terjadi pada masyarakat yang tidak menyadari terhadap hak dan kewajibannya untuk melakukan penilaian pada kebijakan pemerintah. Walaupun mereka sadar, tetapi mereka lebih memilih diam dan mengabaikan dengan masalah-masalah yang menyakut kepentingan publik. Sedangkan partisipasi politik militan adalah pola partisipasi politik dengan tingkat


(44)

kesadaran politik tinggi dan pada saat yang bersamaan tingkat kepercayaan politik yang rendah. Partisipasi politik militan ini biasanya terjadi pada masyarakat dengan melakukan seperti demonstrasi dan aksi-aksi menentang kebijakan publik dengan cara merusak fasilitas umum, menganggu keamanan, melakukan kerusuhan atau kekacauan.

Sedangkan Wasburn, membagi bentuk partisipasi politik kedalam dua kategori yakni konvesional dan nonkonvesional. Partisipasi konvesional sebagai bentuk yang sudah umum dilakukan pada negara-negara maju. Sedangkan di negara-negara berkembang cenderung menggunakan partisipasi yang berbeda karena tidak berjalannya sistem politik. Sehingga, menyebabkan Inputnya sulit berkembang dikompensasikan kedalam bentuk-bentuk kegiatan partisipasi yang tidak biasa dilakukan di negara-negara dengan sistem politik yang bekerja dengan baik.

Gambar 1.32

Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Konvesional Nonkonvesional

Pemberian Suara (voting, Pemilu) Pengajuan Petisi

Diskusi Politik Berdemonstrasi

Kegiatan Kampanye Mogok

Bergabung dengan Partai Politik Tindakan Kekerasan Politik Terhadap Harta Benda (Perusakan, pemboman, penjarahan, pembakaran)

Membentuk dan/atau berbagung dalam Kelompok Kepentingan

Tindakan Kekerasan Politik terhadap Manusia (penculikan, pembunuhan, terror)

Komunikasi Individual/Kelompok dengan Pejabat Politik dan Birokrasi

Perang Gerilya dan revolusi Kudeta

32

Toto Pribadi dkk,. Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Universitas Terbuka, Cet: 1, 2006), h. 36


(45)

B. Langkah-Langkah Perjuangan Mathla’ul Anwar 1. Bidang Politik

Sebelum penulis membahas tentang peran atau partisipasi politik MA, terlebih dahulu akan dibahas tentang hubungan antara Islam dan politik di Indonesia. Keterlibatan Islam dalam politik, telah dimulai ketika adanya penjajahan kolonialisme Barat yang hegemonik secara politik, militer, ekonomi, dan budaya. Islam dijadikan sebagai kekuatan politik oleh para pemimpin-pemimpin Muslim Nusantara dalam menghadapi penjajah Portugis dan Belanda pada abad ke-13 dan 14 Masehi.33

Dalam konteks ini, Islam berfungsi sebagai lambang pemersatu dan sekaligus sebagai ideologi politik, sehingga menimbulkan kekuatan luar biasa yang memiliki kekayaan doktrinal dan pengalaman politik yang direkonstruksi menjadi keyakinan politik seperti gerakan Sabilillah, Perang Jihad, Pemberontakan Petani Banten Tahun 1888 dan sebagainya. Maka dibawah pimpinan orang-orang Islam memperoleh kekuatan untuk melawan penjajahan Belanda. Fenomena distingsi "Islam politik" dan "Islam kultural" mencapai puncaknya ketika pada masa pasca runtuhnya kesultanan Banten oleh kolonialisme Belanda pada tahun 1813 oleh Gubernur Herman William Daendels.34

Menurut Irsyad Djuwaeli, MA sebagai salah satu organisasi keagamaan yang memiliki kepentingan untuk memajukan bangsa dan

33

Pramono U. Tanthowi, Kebangkitan Politik Kaum Santri, Islam dan Demokrasi di

Indonesia, 1990-2000 (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2005), h. 16

34

M. Irsjad Djuwaeli, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 15


(46)

organisasinya, berusaha mencoba masuk ke wilayah kebijakan dan politik. Selanjutnya menyatakan diri secara teoritis ada dua peluang atau pintu masuk bagi MA untuk menentukan arah perkembangannya di masyarakat. Pertama, adalah pada tingkat kultural (pendidikan, dakwah dan sosial). Tingkat ini secara formal dilakukan oleh MA sejak kelahirannya tahun 1916, namun secara out put yang dihasilkan perlu dievaluasi. Kedua, adalah pada tingkat struktural, dimana MA dapat berperan dengan turut berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan, sehingga MA akan menjadi penentu kecenderungan(trend maker) masyarakat.35

Keterlibatan MA dalam politik cenderung untuk menggabungkan diri dengan kekuatan politik yang ada. Hampir bersamaan dengan pendirian MA, para pendirinya seperti KH. Entol Yasin dan KH. Mas Abdurrahman telah menjadi tokoh utama Sarekat Islam (SI)36 di wilayah Banten. Dalam fatwanya, KH. Mas Abdurrahman memberikan dukungan kepada SI sebagai salah satu wujud dari ibadah ke Allah SWT.37

Pada tanggal 01 September 1926, terjadi pemberontakan rakyat Menes dan Labuan melawan pemerintahan kolonial Belanda. Keterlibatan tokoh-tokoh MA seperti K. Abdulhadi Bangko dan Khusen Cisaat dalam peristiwa pemberontakan melawan Pemerintah kolonial Belanda, menyebabkan mereka

35

Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 4 36

Sarekat Islam (SI) bermula dari sebuah organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI), yang didirikan oleh Samanhudi di Solo pada tahun 1911 pada perkembangnya menjadi organisasi politik nasional pertama di Indonesia sebagai satu-satunya kekuatan pemersatu bagi seluruh elemen bangsa dalam membawa aspirasi ke-Islaman dan kebangsaan. Lihat. Bahtiar Effendy,

Islam dan Negara, Trasformasi Pemikiran dan praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta:

Paramadina, 1998, cet: 1), h. 63. Selanjutnya lihat. Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan, Pergeseran

Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 63.

37


(47)

(K. Abdulhadi Bangko dan Khusen Cisaat) ditangkap dan kemudian dibuang ke Boven Digul, Tanah Merah dan Irian.38 Sedangkan KH. Tb. Mohammad Soleh (tahun 1916) diterbunuh dalam peristiwa pemberontakan tersebut untuk memperjuangkan terhadap adanya ketidakadilan dalam bidang ekonomi, politik dan lain sebagainya.39

MA dinilai menjadi salah satu organisasi yang dianggap berbahaya oleh Pemerintah kolonial Belanda semakin dicurigai perkembangannya, terlebih KH. Mas Abdurrahman dan KH. Entol Yasin sebagai tokoh MA dan pengurus SDI atau Sarekat Islam (SI) bagian Banten untuk memperjuangkan umat Islam melawan kolonial Belanda. Kemudian KH. Entol Yasin dan tokoh MA lainnya pasca peristiwa tanggal 01 September tahun 1926 menyebabkan mereka selalu diawasi oleh PID (Polisi Rahasia Kolonial Belanda) dalam setiap aktivitasnya dalam membangun MA. Kemudian, akibat adanya perpecahan di tubuh SI40 pada tahun 1921 dan berdirinya Partai Komunis

38

Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 11

39

Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 68. Menurut Chalwani Michrob dan A. Mudjahid Chudari, bahwa karakter para ulama di Banten dikenal berwatak keras dan suka memberontak, bahkan banyak dari para ulama-ulamanya menilai kepemimpinan dalam Sarekat Islam (SI) kurang berani dan tegas dalam melakukan pemberontakan melawan Belanda, hal tersebut dimanfaatkan oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan cara infiltrasi keanggotaan ganda untuk mengajak para ulama bergabung dengan PKI, sehingga banyak tokoh-tokoh agama seperti K. Abdulhadi Bangko dan Khusen Cisaat (tokoh MA) di Banten disamping sebagai anggota SI juga menjadi pengurus PKI. M. Irsjad Djuwaeli, Membawa Mathla’ul Anwar Ke Abad XXI (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 18

40

Konflik diinternal SI terjadi pada kongres Luar Biasa Central Sarekat Islam pada tanggal 6-10 Oktober tahun 1921 di Surabaya. Akibat peristiwa tersebut Sarekat Islam pecah menjadi 2 aliran, yaitu: Sarekat Islam Merah (SI Merah) yang dipimpin Semaoen yang berasaskan sosial-komunis dan berpusat di Semarang dan Sarekat Islam Putih (SI Putih) yang dipimpin Agus Salim, Cokroaminoto dan Abdoel Moeis yang berasaskan kebangsaan dan keagamaan dan berpusat di Yogyakarta. Peristiwa tersebut terjadi akibat pengaruh dari paham sosialis revolusioner yang di bawa H.J.F.M. Sneevliet, seorang sosialis Belanda yang datang ke Indonesia pada tahun 1913. Kemudian pada tahun 1914 Sneevliet bersama rekan-rekannya yaitu J..A. Bransteder, H.W. Dekker dan P. Bergsma mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) di


(48)

Indonesia (PKI) tahun 1924 menjadi semakin tidak kondusif terhadap aktifitas politik, sehingga mendorong Kyai Entol Yasin dan Kyai Mas Abdurrahman untuk mengalihkan aktifitas politiknya pada NU.

Pengawasan yang menimbulkan kecurigaan pemerintah kolonial Belanda yang ketat di Menes dan Labuan, menyebabkan para tokoh MA menjadi kendala untuk melakukan pembinaan keagamaan di masyarakat. Di bawah pengawasan pemerintah kolonial Belanda, tokoh-tokoh MA melakukan aktivitasnya secara sembunyi-sembunyi dalam melakukan pembinaan kehidupan masyarakat disekitar daerah Menes. Kemudian, untuk membantu mengintensifkan perjuangannya dalam pembinaan umat, para tokoh MA dibantu oleh para kader-kader dan lulusan atau alumni madrasah MA Pusat (Menes) yang dikirim ke berbagai daerah seperti Kabupaten Lebak, Serang, Bogor, Karawang dan Karesidenan Lampung.

Tahun 1926, KH. Mas Abdurrahman dan KH. Entol Yasin menghadiri sebuah rapat akbar NU di Jawa Tengah, dengan tujuan untuk bekerja sama dalam melakukan pembinaan kehidupan masyarakat. Selanjutnya, pada tahun 1936 akhirnya MA mengadakan musyawarah terbatas sebagai bentuk komitmen dan evaluasi dalam perjuangan dengan membentuk konsulat-konsulat MA yang membawahi kepengurusan di tingkat Kabupaten dan di tingkat Kecamatan. Para konsulat dan sub konsulat tersebut mengadakan kongres (Muktamar) MA ke-I tahun 1937 di Menes, pertemuan tersebut sebagai evaluasi tahunan bagi setiap pengurus mulai dari tingkat bawah Surabaya. Lihat Dewi Yuliati,. Semaoen: Pers Bumiputera dan Radikalisasi Sarekat Islam


(49)

sampai atas yang dihadiri oleh setiap utusan cabang, yang kemudian dilanjutkan dengan pemilihan ketua umum terpilih adalah KH. Entol Yasin dan wakil ketua adalah KH. Abdul Muthi’, sedangkan ketua bidang pendidikan adalah KH. Mas Abdurrahman.

Pada tahun 1938 ketua umum KH. Entol Yasin berpulang kerahmatullah, yang seharusnya tahun tersebut diadakan Muktamar MA ke-II di Menes, kemudian jabatan ketua umum dijabat oleh wakil ketua umum yaitu KH. Abdul Muthi’. Selanjutnya tahun 1939 MA dapat melaksanakan Muktamar ke-III di Menes dengan agenda salah satunya adalah pemilihan ketua umum yang berhasil memilih dan menetapkan KH. Uwes Abu Bakar sebagai ketua umum Pengurus Besar Mathlaul Anwar (PBMA).41

Kemudian, muktamar dengan berjalannya waktu, diadakan setiap tahun umumnya tidak banyak yang dibicarakan dan dihasilkan. Terlebih dihadapkan pada situasi yang cukup sulit, sehingga diawal kepemimpinan KH. Uwes Abu Bakar tidak banyak pula hasil yang diperoleh. Tahun 1940 dan 1941 MA mengadakan Muktamar ke-1V dan V di Menes dengan terpilih kembali KH. Uwes Abu Bakar menjadi ketua umum untuk periode berikutnya.

Tahun 1942, dengan meletusnya perang di Asia Timur dan masuknya Jepang untuk menghadapi Belanda dan menduduki Indonesia. MA pada saat itu berkonsentrasi untuk melakukan konsolidasi terhadap pengembangan dan penguatan solidaritas umat Islam. Setelah itu para tokoh MA berpartisipasi membuat barisan kesiapsiagaan dan aktif melakukan berbagai forum pertemuan

41


(50)

untuk mempercepat terciptanya kemerdekaan bangsa Indonesia. Kesibukan tokoh-tokoh MA diberbagai kegiatan sosial dan politik menyebabkan tidak bisa melaksanakan Muktamar ke-IV di Menes pada waktunya. Baru tahun 1943, dibawah kekuasaan Jepang, MA dapat melaksanakan Muktamar ke-VI di Menes. Bagaimanapun, saat itu MA merupakan satu-satunya organisasi keagamaan yang mampu melaksanakan Muktamar di bawah kontrol dan kekuasaan dan pendudukan Jepang.

KH. Mas Abdurrahman termasuk salah satu tokoh organisasi keagamaan yang cukup tegas menentang para pegawai pemerintah Jepang yang berusaha memaksakan memberi hormat Sei kierei kepada Kaisar Tenno Heika dalam berbagai persitiwa publik maupun ditempat kerja pada pagi hari.42 Hal senada juga datang dari pendiri NU yakni KH. Hasjim Asy’ari yang menentang upacara penghormatan kepada Kaisar, sehingga menyebabkannya ditangkap dan dipenjara selama empat bulan.43

Kemudian, MA sebelum di jaman pemerintahan Jepang bersama-sama organisasi lainnya bergabung dalam pembentukan MIAI (Masjlis Islam A’la Indonesia) sebagai wadah untuk memobilisasi kaum muslim pada tahun 1935.44 Kemudian, MIAI pada kongres umat Islam Indonesia dirubah lagi menjadi menjadi Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) secara resmi berdiri pada

42

Banyak tokoh ulama yang menentang dipenjarakan dan mati terbunuh. KH. Mas Abdurrahman sedang sakit parah dan tidak tampil dipublik diwaktu dilakukan operasi penangkapan oleh pemerintah Jepang. Lihat: M. Irsjad Djuwaeli, Sejarahdan Khittah Mathla’ul

Anwar, h. 16

43

Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim, Pencarian dan Pergulatan PERSIS di

Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957) (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, Cet: 1,

2004), h. 108-109. Selanjutnya lihat. Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti), h. 25

44


(51)

tanggal 07-08 November tahun 1945 di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta sebagai satu-satunya partai politik Islam. Selain itu, Masyumi merupakan wadah untuk memobilisasi organisasi-organisasi muslim dan bertujuan untuk memperkuat persatuan semua organisasi Islam dalam membantu Dai Nippon untuk kepentingan Asia Timur Raya

2. Bidang Pendidikan

Mathla’ul Anwar (MA) sejak pertama kali didirikan tahun 1916 memfokuskan gerakannya dalam bidang pendidikan Islam yang diwujudkan melalui madrasah berpusat di Menes, dengan maksud untuk membentuk manusia muslim yang berakhlak mulia serta menjalankan syariat Islam. Namun, pada perkembangannya menjadi organisasi sosial kemasyarakatan yang tidak hanya terbatas menyelenggarakan pendidikan formal, tetapi juga pendidikan nonformal baik dakwah maupun sosial.45

Adanya kesadaran terhadap pentingnya mobilisasi umat untuk terbebas dari keterpurukan akibat kolonialisme, maka para pendiri MA yang merupakan Kiyai lokal Menes telah sepakat untuk menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Sistem madrasah yang berbasis kelas sebagai alternatif terbaik bagi lembaga pendidikan yang akan dibangun. Model pendidikan modern merupakan hal yang baru bagi komunitas Muslim Nusantara. Hal ini mengingat model tersebut baru diperkenalkan pada dekade kedua abad ke-20

45

Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, Cet: 2, 1994), h. 204


(52)

ketika sekolah/madrasah sejenis didirikan di beberapa tempat seperti sekolah Adabiyah di Padang serta Manba’ul Ulum di Solo.46

Aplikasi model pendidikan Islam ini merupakan terobosan sekaligus keberanian yang luar biasa karena masyarakat Muslim saat itu telah lama diyakinkan bahwa model-model seperti pangajian di musholla, langgar, surau dan pesantren47 merupakan model pendidikan yang paling sesuai dengan ajaran agama Islam. Terkait dengan MA, tentunya patut dicatat secara khusus, yang justru pengelola model pendidikan lama tersebut. Hal ini tidak lepas dari sikap terbuka mereka akan gagasan-gagasan baru yang lebih tepat seperti terlihat dari pernyataan salah seorang tokoh pendiri, KH. Muhammad Sholeh menyatakan bahwa, dirinya bukan hanya tidak mampu mengelola lembaga pendidikan tersebut tetapi juga tidak mengenalnya dengan baik. Oleh karena itu, lembaga ini harus diserahkan kepada seseorang (Mas Abdurrahman) yang mengetahui dan mampu mengelola lembaga pendidikan baru tersebut.

Menurut Zamakhsyari Dhofier, bahwa pesantren pada perkembangannya dari sistem tradisional ke sistem modern, maka proses transformasi pendidikan pesantren menjadi tiga pola: pertama, pola tradisional, kedua, pola transisional,

ketiga, pola modern. Trasformasi ini terjadi karena ada di antara pesantren

46

Didin Nurul Rosidin, Quo Vadis Mathla’ul Anwar, Makalah disampaikan pada Rakernas Mathla’ul Anwar di Batam, 7-9 Juli 2007, h. 2-3. Selanjutnya lihat. M. C. Ricklefs,

Sejarah Indonesia Modern !912- 2008 (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, Cet: II, 2009), h.

366-367 47

Pesantren berasal dari kata santri yang diawali dengan kata pe dan diakhiri kata an, yang berarti tempat tinggal para santri. Pengertian ini menggambarkan bahwa, pesantren dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar menyediakan asrama untuk tempat tinggal para santrinya. Namun bukan berarti setiap lembaga pendidikan yang menyediakan asrama bagi peserta didiknya dapat dikategorikan sebagai pesantren. Lihat. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren


(53)

tradisional yang cenderung mengadaptasi sistem modern, sementara yang lainnya tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional.48

Tekad untuk melakukan perubahan pada umat lewat modernisasi sistem pendidikan Islam pada MA selanjutnya disebarkan pula ke wilayah lain di luar Menes bahkan di seluruh daerah Banten. Para aktifis dan tokoh pendidikan MA di Menes bekerjasama dengan warga lokal atau migran asal Banten mendirikan madrasah-madrasah modern sekaligus menjadikannya sebagai cabang madrasah pusat MA. Hanya dalam jangka 20 tahun, MA telah memiliki lebih dari 40 madrasah cabang yang tersebar di wilayah Banten, Bogor dan Lampung. Seperti halnya Hayatul Qulub di Majalengka, gerakan pembaharuan pendidikan ini memfokuskan pada masyarakat dan wilayah pendesaan sehingga gerakan ini termasuk pada kategori gerakan berbasis desa. Tujuan MA terhadap gerakan berbasis desa pada dasarnya untuk memberikan akses atau kesempatan yang sebanyak-banyaknya bagi seluruh warga negara untuk mengenyam pendidikan. Sehingga dengan demikian, MA membuka sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah formal maupun informal.49

Tahun 1929, MA telah berhasil mendirikan sekolah khusus wanita yang dipimpin oleh Ny. Hj. Zaenab (Putri sulung KH. Mohammad Entol Yasin). Tentunya adanya madrasah khusus wanita MA membuktikan komitmennya bahwa pendidikan sangat penting. Sebagai pelajaran tambahan bagi para guru wanita dan pria, maka pada setiap hari kamis dilangsungkan studi umum di masjid Soreang Menes dibawah bimbingan KH. Mas Abdurrahman.

48

Abuddin Nata, ed., Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga

Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT Grasindo, 2001), h. 129-130

49


(1)

melahirkan pemimpin-pemimpin muslim yang siap menghadapi tantangan jaman.121

Maka, keterlibatan organisasi keagamaan dalam bidang politik praktis yang diperankan baik secara organisasi maupun oleh para elit keagamaan (ormas) selain telah menyalahi atau mengkhianati Khittah dan AD/ART sebagai pondasi dari visi dan misi didirikannya organisasi keagaman untuk menciptakan kesejahteraan dan mencerdaskan masyarakat secara umum yang bersifat independent yang berdiri diatas semua golongan. Secara umum, tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi keagamaan adalah untuk mencapai tujuan yang bersifat makro yang meliputi: faktor ekonomi, politik, hukum, budaya, ekologi (lingkungan) dan faktor Sosial.

B. Saran-Saran

Dalam penghujung tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa buah saran, yaitu:

Pertama, MA sebagai organisasi keagamaan kultural terbesar di Banten dan ketiga di Indonesia setelah NU dan Muhammadiyah. Secara kuantitas tidak dikenal oleh masyarakat secara umum, MA dimasa depan tidak hanya memfokuskan gerakannya diwilayah pedesaan atau pinggiran, tetapi juga harus diperkotaan untuk mendapatkan dan meningkatkan akses atau jaringan serta segala informasi.

121

Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,” (Disertasi Leiden University: T.pn., 2007), h.3-4


(2)

Kedua, MA dimasa depan tidak hanya bergerak dalam bidang kultural dan juga sekaligus peran struktural yang terorganisir. Peran struktural, sebagai strategi untuk berpartisipasi dalam setiap proses pengambilan kebijakan-kebijakan untuk menjadi trend maker (penentu kecenderungan) dalam merespon terhadap permasalahan keumatan, kenegaraan dan kebangsaan

Ketiga, MA harus lebih meningkatkan komunikasi antar Pengurus Pusat (PBMA), Daerah, Provinsi dan konstituen untuk memperkuat institution building.

Selain itu, MA sebagai organisasi nasional, diawal pendiriannya hingga dewasa ini, adanya primodialisme atau dominasi dari masyarakat Banten dalam perebutan jabatan atau kursi baik posisi Ketua Umum PBMA, Dewan Pengurus Pusat dan Dewan Majlis Fatwa. kedepan, MA seharus dapat mengayomi dan mengedepankan integritas dan kapasitas seorang pigur atau ketokohan dari berbagai latar belakang kedaerahan dan kesukuan.

Kelima, MA harus meningkatkan kualitas pendidikan (madrasah), dakwah dan sosial (ekonomi) untuk mencetak generasi muda MA yang sesuai dengan Imtak (iman dan takwa) dan iptek (informasi dan teknologi).

Demikian penutup dari skripsi ini. Semoga dapat memberikan manfaat. Amien


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qu’ran dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2000

Azra, Azyumardi Reposisi Hubungan Agama dan Negara Merajut Hubungan Antarumat., ed. Idris Thaha. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2002 Alweilah, A. Chaedar Pokoknya Kualitatif, Dasar-Dasar Merancang dan

Melaksanakan Penelitian Jakarta: Pustaka Jaya, 2002

Black, James A. dan Champion, Dean J Metodologi Dan Masalah Penelitian Sosial Bandung: PT Refika Aditama, 2001

Badudu, J.S. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996 Budiarjo, Miriam. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Yayasasn Obor

Indonesia, 1998

. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005

Dhofier, Zamakhsyari Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai

Jakarta: LP3S, 1985

Djuwaeli, M. Irsyad. Membawa Mathla’ul Anwar Ke Abad XXI. Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996

. Sejarah dan Khitthah Mathla’ul Anwar. Jakarta: Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, 1996

Ecip, Sinansari. NU Khittah dan Godaan Politik. Bandung: Mizan, 1994

Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara, Trasformasi Pemikiran dan praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998

Federspiel, Howard M. Labirin Ideologi Muslim, Pencarian dan Pergulatan PERSIS di Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957). Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004

Gaffar, Afan. Merangsang Partisipasi Politik Rakyat Dalam Demitologisasi Politik Indonesia Mengusung Elitisme dalam Orde Baru. Jakarta: Cidesindo, 1998

Hudaeri, Mohammad, ed.. Tasbih dan Golok Kedudukan, Peran dan Jaringan Kiyai dan Jawara di Banten. Serang: Biro Humas Setda Provinsi Banten, 2007


(4)

Huntington, Samuel P dan Nelson, Joan. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta, 1990

Islam, Ensiklopedi. Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1994 Kartodirdjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya,

1984

Kazhim, Musa dan Hamzah, Alfian Lima Partai Islam Dalam Timbangan, Analis dan Prospek. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999

Liddle, R. William. Islam, Politik dan Modernisasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997

Maran, Rafael Raga. Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001 Nata, Abuddin. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga

Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Grasindo, 2001

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam Di Indoneseia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1995

. Islam Pancasila dan Asas Tunggal. Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983

Paige, Jeffry M. Political Orientation and Riot Participation. dalam American Sosiological, Review, Oktober, 1991

Pribadi, Toto dkk. Sistem Politik Indonesia Jakarta: Universitas Terbuka, 2006 Partanto, Pius A. dan Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola,

1994

Rahardjo, Dawam (ed.). Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1985 Rahman, Arifin. Sistem Politik Indonesia. Surabaya: SIC, 2002

Rahmena, Ali. Para Perintis Zaman Baru Islam. Bandung: Mizan, 1996

Saleh, Fauzan. Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2004

Suprayogo, Imam Metodologi Penelitian Soaial Agama Bandung: Rosda, 2002 Sarjaya, Syibli. dkk. Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar. Jakarta: PB Mathla’ul


(5)

. Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar. Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia, 1999

Tanthowi, Pramono U. Kebangkitan Politik Kaum Santri, Islam dan Demokrasi di Indonesia, 1990-2000. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2005 Yulianto, Arif. Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orde Baru Ditengah

Pusaran Demokrasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002

Yuliati, Dewi Semaoen: Pers Bumiputera dan Radikalisasi Sarekat Islam Semarang. Semarang: Bendera, 2000

Artikel Koran, Makalah, Jurnal, Skripsi, Disertasi dan Websate:

Abidin, Jaenal. ”Irsyad Siap Berhenti Pimpin MA,” artikel diakses pada 08 Agustus 2010 dari http://mediabanten.com/berita-517-irsyad-siap-ber henti-pim pin -ma.html

Azra, Azyumardi. “Islam: Politik dan Kultural,” artikel diakses pada 12 Agustus dari http:// www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28-artikel/834-islam-politik-dan-kultural-.pdf

Djuwaeli, M. Irsyad. Laporan Pertanggung Jawaban Pengurus Besar Mathla’ul Anwar Periode 2005-2010, Makalah disampaikan pada Acara Muktamar MA ke-XVIII dan HUT MA ke-94 di Anyer-Serang Banten, 16-19 Juli 2010, h. 1

Effendy, Bahtiar. “Tokoh Agama Tak Lagi Didengar,” artikel diakses pada 12 Agustus dari http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=47286 Hanafi, Haniah. ”Transformasi Peran Ulama Dalam Pergerakan Politik,”

Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat Vol. VIII, No. 1, Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006

Hasan, Amirul ”Pengaruh Media Terhadap Tingkat Partisipasi Politik Studi Kasus Partisipasi Politik Masyarakat Ciputat Pada Pilkada Provinsi Banten Tahun 2006,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2007

Rosidin, Didin Nurul. Quo Vadis Mathla’ul Anwar, Makalah disampaikan pada Rakernas Mathla’ul Anwar di Batam, 7-9 Juli 2007.


(6)

. “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,” Disertasi Leiden University: Fakulty of Humanity, 2007

Royhatudin, Aat. ”Keterlibatan Jawara Dalam Pembentukan Provinsi Banten,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004

Solihin, Iin. “Jelang Muktamar ke-18 Mathla’ul Anwar Kembali ke Khittah 1916,” Kabar Banten, 14 Juli 2010, h. 8.

Syatibi, Aas. ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” Skripsi S1 Fakultas Syari’ah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006 Wirman, Hardi Putra. “Menakar Peran Politik Organisasi Sosial Keagamaan di

Sumatera Barat Pasca Orde Baru Studi Kasus Muhammadiyah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah,” artikel diakses pada 10 September 2010 dari http://dualmode.depag.go.id/acis09/file/dokumen/ Hardi Putra Wirma n.pdf

Zen, Mohammad. ”Diusir dari Sidang Mathla’ul Anwar,” artikel diakses pada 13 September 2010 dari http :// majalah .tempointeraktif .com/id/arsip /2004 /06/21/SRT/mbm.20040621 SRT92296.id.html

"Muktamar Mathla’ul Anwar Jadi Momentum," Radar Bamten, 18 Juli 2010

“Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Provinsi Banten Tahun 2006 Regenerasi Sebuah Hegemoni Banten Institut,” artikel diakses pada tanggal 11 September 2010 dari http:// w ww .g oog le .co .id / se ar ch ?hl =id& cli ent=firefox-a&ie=UTF-8&q= laporan +akhir+pil kada + ba n t en. pdf&lr= “Spirit Ulama Harus Dihidupkan,” Radar Banten, 18 Juli 2010, h. 1.

“Tutut, Siapa Capres Yang Bakal Kau Contreng,” artikel diakses pada 13 September 2010 dari http://www.indonesia-monitor.com/main /index.php? option=com_content &task=view&id=1494&Itemid=33

”Mathla’ul Anwar Tidak Menjadi Bagian Partai Politik,” artikel diakses pada 08 Agustus 2010 dari http:// banten. antara news.com/berita/13395/mathlaul-anwar-tidak-menjadi-bagian-partai-politik