1 Mengenal Rezim Hukum WTO dan Rezim Hu
1. World Trade Organization (WTO)
Asal mula berdirinya WTO terjadi ketika muncul keinginan mengatur ekonomi global setelah Perang Dunia Kedua. Perwakilan dari kelompok Sekutu melakukan pertemuan di Bretton Woods di New Hampshire pada tahun 1944 untuk merancang cetak biru bagi perekonomian global paska perang. Patut diakui bahwa ketidakstabilan ekonomi selama terjadinya Depersi Besar (the Great Depression) secara global pada tahun 1930-an telah menyebabkan kesengsaraan umat manusia yang teramat memilukan dan menjadi faktor yang
berkontribusi terhadap munculnya Perang. 1 Konferensi Bretton Woods
* Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy. Tulisan ini adalah bagian dari sepuluh Bagian dalam buku Blame It on WTO: A Human Critique karya Sarah Joseph yang diterbitkan oleh Oxford University Press.
mempertimbangkan tiga pilar untuk menstabilkan dan memperkuat ekonomi global yang baru, terdiri dari Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan
Reconstruction and Development/IBRD), Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), dan Organisasi Perdagangan Internasional (the International Trade Organisation/ITO).
(the
International Bank
for
IBRD bertugas memberi pembiayaan untuk rekonstruksi ke banyak negara yang hancur karena perang. IRBD selanjutnya berkembang menjadi salah satu dari lima lembaga di bawah the World Bank Group, dengan misinya saat ini berubah menjadi penyedia finansial dalam membiayai pembangunan dan memerangi kemiskinan di negara-negara berkembang. Secara umum, Grup Bank Dunia sekarang ini mempromosikan program reformasi ekonomi mikro, kebanyakan di negara-negara berkembang, dengan cara menyediakan pembiayaan, misalnya pembiayaan untuk proyek-proyek pembangunan infrastruktur (contohnya: pembangunan waduk, jaringan pipa), dan gerakan anti korupsi dan reformasi tata kelola pemerintahan.
Regulasi IMF telah dan, sekarang dibuat untuk mendorong stabilitas ekonomi makro dalam nilai tukar global dan neraca perdagangan. Organisasi ini menyediakan pinjaman jangka pendek bagi negara-negara yang mengalami krisis ekonomi untuk menstabilkan perekonomiannya kembali guna mencegah dampaknya terhadap ekonomi global.
ITO dimaksudkan untuk mengawasi aturan main perdagangan internasional dan mempromosikan perdagangan bebas antar negara, dalam rangka untuk menjaga terulangnya kebijakan proteksionis masing-masing negara yang berkontribusi pada terjadinya Great Depression. Selanjutnya, pembinaan hubungan perdagangan internasional dapat diprediksi, penegakan aturan main perdagangan dunia yang diterapkan diharapkan mampu membantu mendorong hubungan internasional yang damai. Piagam Havana (Havana Charter) sendiri telah menginisiasi pendirian ITO tetapi kandas pada tahun 1948. Sejak saat itu, ITO kandas yang sebagian besar disebabkan oleh
penolakan Amerika Serikat untuk meratifikasi Piagam Havana. 2
1 James Harrison, The Human Rights Impact of the World Trade Organisation (Hart, Oxford, 2007) 9.
2 Amrita Narlikar, The World Trade Organization: A Very Short Introduction (Oxford University Press, New York, 2005) 11; David Kinley, Civilising Globalisation (Cambridge
University Press, Cambridge, 2009) 39 –40.
Salah satu perjanjian perdagangan, the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1947, tidak mampu memerankan diri lagi sebagai perjanjian yang relatif adil di antara negara-negara anggota. GATT sendiri membuat sistem dimana Negara-Pihak harus berkomitmen untuk 'terikat' tarif terkait barang impor.
Perberlakuan prinsip tarrif binding (pengenaan tarif bea masuk komoditi impor oleh suatu negara) diberlakukan sebagai payung hukum mengingat pengenaan tarif barang impor oleh suatu negara tidak bisa dihindari. Setiap negara memiliki seperangkat aturan terkait tarrif binding yang berbeda-beda, yang disepakati secara Konsesi, dan diterapkan ke semua produk impor dari negara-negara lain sesuai dengan prinsip Most Favoured Nation (MFN) sebagaimana dalam Pasal I. Prinsip MFN mensyaratkan Negara-Pihak untuk memperlakukan setiap barang yang masuk dari setiap negara partisipan WTO
lainnya sama. 3 Perlakuan Nasional National Treatment/NT yang bersifat komplementer dalam Pasal III, mewajibkan Negara-Pihak dalam
memperlakukan barang impor sama seperti dengan barang sendiri setelah barang impor tersebut sah memasuki pangsa pasar negara pertisipan (misalnya, setelah barang impor tersebut telah memenuhi tarif bea impor atau persyaratan lintas-batas lainnya). Prinsip utama ketiga adalah transparansi (transparency) yang disyaratkan kepada negara partisipan dalam membuat
regulasi perdagangannya. 4 Pasal XI melarang pembatasan kuantitatif, seperti pemberlakuan batas kuota impor dan ekspor. Pengecualian pemberlakuan
batasan ini diperbolehkan GATT, khususnya disinggung dalam Pasal XX, jika sejauh dalam rangka untuk melindungi seperangkat nilai-nilai sosial. GATT juga memiliki sistem penyelesaian sengketa. Sengketa diselesaikan melalui lembaga Panel GATT. Keputusan Panel tersebut harus disetujui dengan suara bulat. Artinya, Negara-Pihak bisa saja kalah dan [berkeharusan] mengadopsi
sekumpulan rekomendasi Panel GATT tersebut. 5 Dengan runtuhnya ITO, keanggotaan GATT berubah menjadi forum untuk
menegosiasikan lebih lanjut terkait aturan-aturan perdagangan bebas. Aturan-
3 MFN tunduk pada pengecualian seperti serikat kepabeanan (misalnya Uni Eropa) dan zona perdagangan bebas (Lihat Pasal XXIV GATT).
4 Caroline Dommen, Raising Human Rights Concerns in the World Trade Organization: Actors, Processes and Possible Strategies
Human Rights Quarterly 1, 11. 5 Vázquez mencatat bahwa terdapat ketentuan yang lebih baik dalam sistem GATT meski
ada ada juga kelemahan yang cukup jelas sebelum adanya WTO, lihat dalam Carlos Manuel Vázquez, Trade Sanctions and Human Rights—Past, Present and Future
Journal of International Economic Law 797, 807 –8.
aturan ini dikembangkan melalui berbagai Putaran (Round) negosiasi, yang berpuncak pada Putaran Uruguay (Uruguay Round: 1986-1994) yang menjadi cikal bakal berdirinya lembaga WTO. Dalam Marrakesh Agreement disepakati pendirian WTO pada tahun 1994 yang mengubah GATT dari forum negosiasi provisional yang diselenggarakan bersama berdasar perjanjian multilateral ke lembaga WTO, sebagai organisasi internasionalnya. Pada saat penulisan buku
ini, ada 153 negara anggota WTO. Lembaga ini berbasis di Jenewa, Swiss. 6 Putaran Uruguay menyepakati serangkaian Perjanjian yang akan dipantau
dan diawasi oleh WTO. Setiap Negara peserta GATT akan menjadi Anggota WTO, dan diminta mematuhi semua Perjanjian WTO sebagai upaya satu-
satunya tanpa syarat. 7 Persetujuan Anggota juga diartikan setuju untuk diminta mendaftar ke dalam seluruh paket aturan, seringkali paket aturan berisi konten
kewajiban-kewajiban tambahan. 8 Perjanjian-perjanjian dalam WTO secara signifikan memperluas mandat dan
pengaruhnya lebih luas dibanding pendahulunya GATT. GATT hanya berfokus pada perdagangan barang dan sebagian besar memfokuskan diri pada satu
masalah yang menghambat perdagangan, tarif bea masuk. 9 Skema tarif di bawah Perjanjian WTO lebih komprehensif dibanding skemanya di bawah
GATT dalam hal jumlah dan jenis barang yang tercakup. Misalnya, perdagangan barang pertanian sekarang tercakup dalam the Agreement on
Agriculture (AoA), sementara perdagangan tekstil dan pakaian diatur di bawah the Agreement on Textiles and Clothing (ATC). 10 Selain itu, WTO juga
memfokuskan diri pada hambatan bersifat non-tarif. Misalnya, the Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) menyangkut
6 Tulisan berikut ini tentang WTO diadaptasi dari tulisan Sarah Joseph, Trade to Live or Live to Trade: The World Trade Organization, Development, and Poverty in Mashood Baderin and Robert McCorquodale (ed), Economic, Social and Cultural Rights in Action
(Oxford University Press, Oxford, 2007) 389 –416. 7 Ada dua kesepakatan secara plurilateral, yang hanya mengikat negara-negara yang
sukarela meratifikasinya, mengenai penerbangan komersil dan non komersil; dua berikutnya terkait pengadaan daging sapi dan produk susu yang sekarang telah berakhir. Ada juga beberapa fleksibilitas dalam perjian plurilateral yang umum dalam WTO, seperti kemampuan negara untuk memilih langkah liberalisasi di bawah ketentuan the General Agreement on Trade in Services.
Beberapa traktat dalam WTO secara eksplisit juga memungkinkan adanya provisional asalkan pihak lainnya menyetujui. Penulis tidak menguasai setiap ketersediaan hal tersebut dalam traktat WTO.
8 Lihat Bagian 5, teks dalam catatan kaki 89 –100. 9 Beberapa regulasi terkait hambatan non-tarif diterapkan secara plurilateral
10 Perjanjian ini kadaluarsa per 1 Januari 2005. Tekstil dan pakaian sekarang menurut ketentuan GATT 1994.
langkah-langkah domestik yang dirancang untuk melindungi keberlangsungan kehidupan manusia, hewan atau hayati, ataupun kesehatan. The Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT) menyangkut ketentuan mandat untuk negara domestik mengenai berbagai hal, termasuk di antaranya pemberian label, kemasan, proses produksi, dan karakteristik produk lainnya. SPS dan TBT mengatur sejauh mana standar-standar tersebut akan membatasi perdagangan
internasional.. 11 Regulasi investasi Asing sendiri diatur di bawah the Agreement on Trade Related Aspects of Investment Measures (TRIMs). Aturan dalam GATT
sendiri juga dipertahankan, termasuk di antaranya prinsip-prinsip kunci MFN dan NT, dan prinsip-prinsip dan regulasi diperluas dan telah diklarifikasi dalam GATT 1994, dan Perjanjian tentang Pemeriksaan Pra-Pengapalan (Pre- Shipment Inspection), Ketentuan Asal (Rules of Origin), dan Prosedur Perizinan
Impor. Perjanjian tentang pelaksanaan Pasal VI (tentang anti-dumping) 12 dan Perjanjian Subsidi dan Tindakan Balasan terhadap Subsidi (Subsidies and
Countervailing Measures/SCM Agreement) menyediakan sarana bagi setiap anggota untuk bisa melawan praktek-praktek perdagangan tidak adil tertentu. Sedangkan Perjanjian Pengamanan (the Agreement on Safeguards) memberi beberapa kapasitas bagi Negara-Pihak guna mengambil tindakan terhadap melonjakannya impor yang tak terduga untuk melindungi industri rumahan.
Selanjutnya, yuridiksi WTO telah bergerak ke luar isu-isu perdagangan barang. Persetujuan Umum tentang Perdagangan Jasa (The General Agreement on Trade in Services/GATS) mengadopsi prinsip-prinsip yang sama dan hanya mengecualikan prinsip-prinsip GATT berkaitan dengan perdagangan internasional dalam jasa. Namun, aturannya lebih longgar dibanding dalam GATT, misalnya Anggota diperkenankan menciptakan layanan jasa yang mana mengikuti aturan NT dalam GATS dan kewajiban akan dibukanya akses pasar. Terakhir, Anggota WTO juga diharuskan untuk melindungi hak kekayaan intelektual (HaKI) di bawah ketentuan the Agreement on Trade-Related Intellectual Property Rights (TRIPs).
WTO juga memiliki mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, dilakukan berdasarkan the Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (populer disebut: Dispute Settlement Understanding/DSU). Dispute Settlement Body (DSB, lembaga yang dipercaya
11 Lihat Bagian 4, Bab 4. 12 Dumping arises where goods are exported at a lower price than its normal value:
States may take remedial measures if dumping harms competing local industries.
menjalankan mandat dari DSU) terdiri dari seluruh negara anggota WTO. Langkah pertama dalam proses penyelesaian sengketa adalah menggelar konsultasi antara pihak-pihak yang bersengketa. Jika konsultasi mengarah jalan buntu, DSB biasanya akan merujuknya ke Panel WTO, yang akan memutuskannya menurut hukum WTO. Banding terhadap Keputusan Panel dapat diajukan ketika belum pernah ada pembahasan isu-isu hukum dan
penafsiran hukumnya oleh Appellate Body. 13 Sebagaimana disebutkan di atas, keputusan Panel GATT hanya bisa ditegakkan jika didukung oleh semua
Anggota GATT. Sebaliknya, DSB bisa mengadopsi Putusan Panel atau Appellate Body, kecuali keputusan tersebut ditolak secara konsensus; terjadinya penolakan secara konsensus sendiri tidak mungkin terjadi mengingat pihak yang menang tidak mungkin memberikan suaranya guna melawan
kemenangan sendiri. Jika pihak Anggota yang kalah dianggap gagal melaksanakan keputusan in cracht secara memuaskan dalam jangka waktu tertentu, DSB biasanya akan mengambil langkah-langkah pembalasan perdagangan (trade measures) melalui pihak negara-partisipan yang dibenarkan guna membalas pihak negara yang salah. Sesuatu yang bernilai komersial secara signifikan harus dibayar oleh pihak yang gagal mematuhi Keputusan DSB. Sistem penyelesaian sengketa sendiri diartikan sebagai komitmen dari Anggota WTO yang kredibel, sebagai konsekuensinya
pemberian status non-compliance. 14 Seperti GATT, WTO juga merupakan forum bagi para anggota untuk
merundingkan kesepakatan provisional lebih lanjut tentang perdagangan bebas. Provisi baru bisa disepakati melalui konsensus, meski kadang juga
ditempuh dengan cara suara mayoritas. 15 Semua lembaga dalam WTO terbuka bagi setiap perwakilan semua anggota. Konferensi Tingkat Menteri (KTM),
lembaga tertinggi dalam WTO, secara resmi melakukan pertemuan untuk melakukan negosiasi setiap dua tahun sekali. Sedangkan Dewan Jendral (General Council) bertugas mengawasi jalannya manajemen organisasi sehari- hari, dan juga bertindak sebagai anggota DSB. Dewan Jendral mengadakan pertemuan dengan Trade Policy Review Body yang menjalankan the Trade Policy Review Mechanism (TPRM), yang bertugas mengkaji kebijakan perdagangan masing-masing negara anggota secara berkala akan meninjau
13 Tidak ada ketentuan banding menurut regulasi GATT yang lama. 14 Martin Wolf, Why Globalisation Works (Yale Nota Bene, London, 2005) 91. 15 Marrakesh Agreement Establishing the WTO (1994), 1867 UNTS, Pasal IX.
dalam hal transparansi dan efeknya terhadap sistem perdagangan internasional. Hal yang dijalankan TPRM sendiri bukanlah lembaga hukum
sehingga temuannya tidak 16 dianggap pelanggaran , walau temuannya dapat memunculkan kritik terhadap kebijakan dan rekomendasi untuk dilakukannya
reformasi. Terdapat juga beberapa lembaga/badan khusus di WTO , yang memfokuskan diri pada topik-topik dalam perdagangan yang berbeda-beda, misalnya Dewan TRIPs, Dewan Perdagangan Jasa, dan Dewan Perdagangan Barang, dan Komite-Komite yang bekerja di bawah naungan Dewan-Dewan tersebut, serta Komite-Komite yang menangani isu-isu lebih luas seperti Komite Perdagangan dan Lingkungan, Komite Perdagangan dan Pembangunan. Tapi, tidak ada Komite Perdagangan dan Hak Asasi Manusia. Pihak-pihak tersebut mengerjakan berbagai hal lainnya seperti aksesi anggota
baru. 17 WTO ditopang oleh kantor sekretariat, dipimpin oleh seorang Direktur
Jenderal, yang menyediakan dukungan administratif dan teknis kelembagaan WTO dan semua negara anggotanya. Direktur Jenderalnya saat ini adalah
Pascal Lamy, mantan Komisioner Eropa untuk Perdagangan. 18 Ia tidak memiliki kewenangan berinisiatif secara otonom, karena semua kebijakan dan
keputusan dibuat oleh anggota WTO. 19 Saat ini putaran perundingan dalam WTO, sejauh ini dirasa gagal dalam
menghasilkan berbagai kemanfaatan. Sebuah babak baru dimaksudkan untuk digulirkan pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) di Seattle pada tahun 1999, namun pertemuan tersebut mandek di tengah merebaknya berbagai tuduhan di dalam dan di luar ruang sidang perundingan, di jalan-jalan juga penuh dengan para demonstran anti globalisasi. Dua tahun berikutnya, para negara anggota setuju untuk melakukan putaran perundingan berikutnya setelah KTM di Doha pada tahun 2001, yang disebut Doha Development Round. Namun, putaran yang digadang-gadang juga kandas, dengan bukti perjanjian yang ada dalam Puratan perundingan itu sulit disepakati ketika diadakan KTM di Cancun pada 2003, Hong Kong pada akhir 2005 dan juga di dalam pertemuan
16 Dommen, Loc.cit n 4, 9. 17 Lihat secara umum WTO, Understanding the WTO
Chapter : The Organization <http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/utw_chap7_e .pdf> diakses pada 18
September 2010. 18 Lamy menjabat Direktur-Jenderal pada 2005, dan terpilih lagi untuk kedua kalinya oleh
Dewan Umum secara konsensus untuk masa jabatan 4 tahun, yang dimulai sejak 2009. 19 Dommen, Loc.cit n 4, 9. Hal ini bukan dimaksudkan mengatakan bahwa dia tidak memiliki pengaruh: lihat Bagian 3, teks dalam catatan 80 –86.
di tingkat yang lebih rendah yang digagas berikutnya sampai hari ini. KTM sendiri diharapkan bisa diadakan setiap dua tahun sekali, dan ada kesenjangan rentang empat tahun antara KTM Hong Kong dan KTM Jenewa pada tahun 2009. KTM Jenewa sendiri pada akhirnya hanya menghasilkan himbauan, yang mudah ditebak, bagi para negara anggota untuk berupaya mewujudkan hasil kesepakatan dalam Putaran Doha. Pada dasarnya, KTM adalah latihan
berumah tangga'. 20
1.1 Raison d’être WTO
Dampak dari globalisasi perdagangan, setidaknya dampaknya bagi belahan dunia yang berkembang dan wilayah perkotaan di banyak negara berkembang, sebagaimana digambarkan oleh Martin Wolf:
Kita bisa membeli makanan yang diproduksi di seluruh dunia, yang, lantas dikapalkan, diproses, didistribusikan dan dijual melalui mata rantai panjang para grosir dan pengecer untuk memuaskan selera kita yang bervariasi. Makanan akan sangat aman sekali [menurut standar historis]. Seseorang dapat membeli pakaian yang dibuat oleh pekerja dari Cina, India, Italia atau Meksiko, dengan berbagai macam jenis kain dan model yang berbeda. Untuk transportasi pribadi, seseorang dapat memilih dari berbagai jenis mobil; untuk hiburan, orang bisa memilih berbagai macam pemutar DVD dan televisi layar datar; untuk bekerja, bersantai atau asisten kerja pribadi, orang bisa membeli komputer pribadi. Sekelompok investor saling bersaing, desainer, produsen, dan distributor mencoba untuk memenuhi semua tuntutan ini dan banyak hal lainnya. Sejumlah perantara mengambil untung dari kehidupan keluarga dan menyuplai kebutuhannya, mengajak mereka untuk menggunakannya secara
konsumtif. 21
Wolf menambahkan bahwa barang-barang tersebut juga dapat dipesan melalui saluran telepon atau layanan jaringan internet yang disediakan oleh investor Asing atau pemasok luar negeri, dan pengadaan barang seperti ini adalah paling inovatif, atau adanya pengalihan lisensi, akan memberi keuntungan dari adanya mekanisme perlindungan atas kekayaan intelektual global.
Dasar pemikiran yang mendasari adanya WTO adalah untuk menanggulangi hambatan perdagangan antar negara, sehingga akan meningkatkan perdagangan bebas global. Seperti disebutkan di atas, salah satu alasan di balik
20 Lihat International Centre for Trade and Sustainable Development, WTO Ministerial Lifts Hopes for Doha, but Scepticism Ling ers
Bridges Weekly Trade News Digest, <http://ictsd .org/i/news/bridgesweekly/65367/> diakses pada 18 September 2010. 21 Wolf, Loc.cite n 14, 45.
penciptaan perdagangan bebas adalah penciptaan hubungan perdagangan antar negara sepanjang melalui prosedur damai dan otoritatif dalam menyelesaikan sengketa akan mempromosikan hubungan internasional ke tingkat yang lebih harmonis. Setelah semua itu, sejarahnya dipenuhi dengan sengketa perdagangan yang meningkat menjadi perang perdagangan .
Selanjutnya, teori keunggulan komparatif, bisa dibilang pemahaman paling mendominasi dalam ekonomi , termasuk dalam situs WTO sendiri, 22 menjadi
dasar intelektual utama bagi argumen yang mendukung kemanfaatan dari adanya perdagangan bebas. Singkatnya, teori ini menyatakan bahwa negara harus mengkonsentrasikan diri pada produksi apa yang terbaik baginya untuk diproduksi. Karena untuk melakukan sebaliknya menghasilkan inefisiensi dan pembengkakan biaya. Negara harus memproduksi dan mengekspor barang- barang tersebut, dan mengimpor barang-barang dibutuhkan. Praktek semacam ini, ditambah dengan adanya penghapusan hambatan impor dan ekspor, menghasilkan efisiensi ekonomi yang lebih besar, baik di tingkat domestik ataupun global. Dengan adanya semua negara memproduksi apa yang terbaik baginya untuk diproduksi, konsumen dapat mengakses barang dengan harga bersaing sementara industri dipaksa untuk berinovasi dan menjadi lebih efisien untuk survive di pasar global yang kompetitif.
Teori keunggulan komparatif akan dibahas lebih lanjut dalam Bagian 5. Untuk saat ini, perlu digarisbawahi bahwa meningkatnya kekayaan global ke tingkat lebih besar adalah hal terpuji dari sudut pandang HAM. Karena, peningkatan kekayaan yang angka lebih besar akan mampu memfasilitasi pengentasan kemiskinan. Beberapa pihak menggolongkan kemiskinan sebagai
pelanggaran HAM itu sendiri. 23 Setidaknya, pelanggaran HAM sering muncul bersamaan dengan terjadinya kemiskinan. 24 Pembukaan Perjanjian Marrakesh
(Marakesh Agreement) juga menggemakan kembali gagasan WTO bahwasanya perdagangan bebas harus menciptakan sarana untuk tujuan yang diinginkan dan bukan tujuan itu sendiri: perdagangan harus dilakukan dengan maksud u ntuk meningkatkan standar hidup dan menjamin adanya pemenuhan lapangan pekerjaan , ketika dimungkinkan untuk mengoptimalkan sumber
22 WTO, Understanding the WTO: The Case for Open Trade tanpa tanggal) <http://www.wto.org/english/thewto_e/whatise/tife/fact3_e.htm>
diakses pada 18 September 2010.
23 Lihat, misalnya , Thomas Pogge, Recognized and Violated: the Human Rights of the Global Poor
Leiden Journal of International Law 717.
24 Lihat Bagian 5, Bab 1.
daya di dunia ini sesuai dengan adanya tujuan pembangunan yang berkelanjutan . Kesan pertama, misi WTO tampaknya benar-benar kompatibel dengan promosinya, perlindungan dan pemenuhan HAM. 25 Permasalah ini,
tentu saja, adalah subyek buku ini.
2. Rezim HAM internasional
2.1 Standar-standar PBB
Sebelum terjadi Perang Dunia Kedua, sebagian besar konseptualisasi HAM tidak dikenal dalam hukum internasional. Pengecualian ada pada elemen- elemennya memang ada, misalnya prinsip-prinsip awal hukum humaniter
(hukum konflik bersenjata) dan perlindungan tertentu untuk pihak asing. 26 Akan tetapi, perlakuan suatu negara terhadap warga negaranya sendiri secara
umum diakui sebagai masalah kedaulatan yang tidak menjadi concern dunia internasional. Lanskap hukum sendiri berubah paska Perang Dunia Kedua, terjadinya konflik ditandai munculnya pelanggaran HAM berat benar-benar menyayat hati nurani masyarakat internasional. Sama halnya konferensi Bretton Woods yang diadakan guna menanggulangi bencana ekonomi yang mendahului terjadinya perang dan diperlukannya langkah rekonstruktif paska perang, langkah-langkah ini juga menegaskan bahwa sistem hukum internasional paska terjadinya perang tidak lagi abai terhadap tindakan tak berperikemanusiaan yang dilakukan oleh negara terhadap warga negaranya sendiri.
Pemajuan dan dukungan terhadap penghormatan HAM dan kebebasan fundamental secara eksplisit diakui sebagai tujuan dari adanya organisasi internasional yang dibentuk, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), demi menjaga perdamaian dan keamanan internasional setelah perang sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 (3) dari Piagam PBB 1945. Berdasarkan Pasal 55 dan 56, negara anggota PBB harus berkomitmen untuk bekerjasama dan secara sendiri- sendiri untuk menciptakan stabilitas keamanan dan kesejahteraan di seluruh dunia, termasuk mempromosikan penghormatan universal, dan kepatuhan, terhadap HAM dan kebebasan fundamental bagi semua tanpa membedakan
25 Frank Garcia, The Global Market and Human Rights: Trading away the Human Rights Principle
Brooklyn Journal of International Law 51, 59. Lihat juga Adam McBeth, International Economic Actors and Human Rights (Routledge, Oxford, 2010) 87 –8. 26 Lihat juga Louis B Sohn, The new international law: protection of the rights of individuals rather than States
American University Law Review 1, 2–9.
ras, jenis kelamin, bahasa, ataupun agama . Dengan demikian, sejak 1945, jelas sudah bahwa HAM tidak lagi bisa dianggap sebagai masalah dalam negeri suatu negara yang bisa disembunyikan dibalik tabir kedaulatan.
HAM dan kebebasan fundamental tidak tercantum dalam Piagam PBB. Lembaga PBB mengesahkan sejumlah norma HAM tersebut dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights/UDHR). Tidak ada satupun negara, baik pada tahun 1948 atau pada saat bergabung
PBB, mencela keberadaan UDHR. 27 UDHR sendiri ditegaskan kembali dalam Deklarasi Wina dan Program Aksi (the Vienna Declaration and Programme of
Action/VDPA), 28 diadopsi setelah penyelenggaraan Konferensi Dunia tentang HAM pada 1993, dan menjadi kunci arah program kebijakan HAM suatu negara
terkait pembangunan nilai-nilai HAM global. UDHR sendiri bukanlah sebagai instrumen yang mengikat secara hukum. Akan tetapi, dapat dikatakan bahwa norma di dalamnya merupakan kristalisasi hukum kebiasaan internasional. 29 Selain itu, dapat dikatakan juga bahwa UHDR mendefinisikan hak asasi manusia lebih lanjut dalam ketentuan norma berkaitan HAM dalam Piagam PBB, sebagaimana dalam Pasal 1 (3), 55 dan 56, yang diakui sebagai norma-
norma internasional yang harus dipatuhi. 30 Pada tahun 1966, sebagian besar norma-norma dalam UDHR 31 dikonkretkan ke dalam dua traktat, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya/Ekosob (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik/Sipol (International Covenant On Civil And Political Rights/ICCPR). Tiga dokumen yang secara kolektif sering disebut The International Bill of Rights . Protokol Opsional dalam ICCPR diadopsi pada 1966, mengatur tata cara mempetisikan hak-hak pribadi ketika terjadi pelanggaran ICCPR dalam menggugat negara yang telah meratifikasi Protokol.
Sebenarnya, traktat HAM PBB pertama kali diadopsi beberapa bulan sebelum lahirnya beberapa traktat: Konvensi Internasional tentang
27 Delapan negara abstain ketika Dewan Umum PBB mengadopsi Deklarasi Universal HAM, yaitu: Byelorussia, Cekoslovakia, Polandia, Ukraina, Uni Soviet, Yugoslavia, Saudi
Arabia, dan Afrika Selatan. 28 Deklarasi Wina dan Program Aksi (1993), dokumen PBB. A/CONF.157/23, para 2. 29 Lihat, misalnya, Sohn, Loc. Cit, n 26, 15 –17.
30 Ibid, 16. 31 Hak-hak tertentu yang bersifat terpisah-pisah (diskrit) terkecualikan, seperti hak untuk
mencari dan mendapat suaka (Pasal 14) dan hak atas kemilikan Certain discrete rights are excluded, such as the right to seek and enjoy asylum (Pasal 14).
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 (the International Convention on the Elimination of all Forms of Racial Discrimination
1965/CERD). Menyusul berikutnya traktat yang diadopsi PBB adalah Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan 1979 (the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW), Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Pengkuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia 1984 (the Convention against Torture and other Cruel, Inhuman and Degrading Treatment or Punishment/CAT), Konvensi tentang Hak-hak Anak 1989 (the Convention on the Rights of the Child/CRC), Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 1990 (the International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families), Konvensi tentang Hak- hak Penyandang Disabilitas 2006 (the Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CPRD) dan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa 2006 (the International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance/Disappearances Convention).
Selain itu juga terdapat beberapa deklarasi penting menyangkut HAM, berisi hak-hak yang belum disinggung dalam Konvensi-Konvensi di atas, misalnya Deklarasi Hak atas Pembangunan 1986 dan Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat 2007 (the Declarations of the Rights of Indigenous Peoples/DRIP). Selain itu, banyak dari traktat di atas dilengkapi dengan Protokol Opsional, baik untuk menambahi hak-hak subtantif lebih lanjut dari masing-masing traktat
induknya, 32 atau menyediakan mekanisme tata cara baru dalam mengontrol negara dalam mempertanggungjawabkan kewajibannya terhadap traktat yang
telah ditandatangani. 33
2.2 Lembaga HAM PBB dan mesin penegaknya
Sejumlah lembaga PBB memiliki tanggung jawab atas penegakan HAM. Lembaga intergovermental yang menaunginya adalah Dewan HAM PBB.
32 Lihat, misalnya, Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (diadopsi 25 Mei 2000,
diberlakukan pada 18 Januari 2002), 2171 UNTS 227. 33 Lihat, misalnya, Prtokol Opsional CEDAW (diadopsi 6 Oktober 1999, diberlakukan 22
Desember 2000), 2131 UNTS 83, yang menyediakan tata cara menggugat untuk individu untuk atas dugaan adanya HAM di bawah ketentuan CEDAW.
Dewan juga mempunyai tanggung jawab terhadap penegakan HAM secara luas, termasuk penetapan standar dan pemajuannya. 34 Dewan juga memiliki
wewenang untuk melakukan investigasi kondisi HAM dalam wilayah tertentu (misalnya, kondisi HAM atau situasi HAM di negara tertentu) melalui badan- badan ahli yang ditunjuk. Dewan juga mengkaji kinerja kemajuan HAM semua negara secara periodik di bawah mekanisme Tinjauan Periodik Universal (Universal Periodic Review). Ujungnya, setiap permasalahan HAM diselesaikan melalui Resolusi. Sebagai contoh, resolusi juga dapat untuk mendukung pengimplementasian prinsip-prinsip HAM baru atau yang baru saja diusulkan, atau untuk mengutuk catatan buruk HAM suatu negara. Dewan sendiri merupakan lembaga politik yang terdiri dari 47 negara anggota, yang dipilih oleh anggota PBB lainnya untuk masa tiga tahun.
Lembaga-lembaga traktat PBB didirikan guna memantau dan mengawasi pelaksanaan masing-masing traktat. Misalnya, Komite HAM (Human Rights Commite/HRC) yang didirikan berdasarkan amanat Pasal 28 Kovenan Sipol untuk menjalankan berbagai hal dalam Kovenan tersebut. Lembaga-lembaga traktat terdiri dari para ahli HAM yang independen. Mereka sendiri bukanlah
hakim , jadi temuan mereka tidak mengikat secara hukum. Akan tetapi, penafsiran mereka atas Kovenan memiliki kekuatan persuasif cukup kuat, karena hanya mereka yang merepresentasikan penafsir dokumen yang
otoritatif dan mengikat secara hukum. 35 Lembaga-lembaga traktat ini bertindak sebagai kepanjangan tangan lembaga HAM PBB yang bersifat kuasi-
yudisial (berkebalikan dengan kepanjangan tangannya di ranah politik, yang diwakili oleh Dewan HAM).
Lembaga-lembaga traktat tadi memiliki ragam fungsi. Untuk tujuan penulisan buku ini, fungsi penting mereka adalah: bahwasanya lembaga- lembaga tersebut melahirkan yurisprudensi hukum dan interpretasi HAM yang otoritatif. Interpretasi tersebut muncul ketika mengeluarkan keputusan dalam menanggapi pengaduan dari pihak tertentu (misalnya, pengaduan dari HRC melalui ketentuan Protokol Opsional dalam Kovenan Ekosob). Interpretasi tersebut juga bisa m uncul melalui laporan prosedural , saat masing-masing
34 Lembaga ini memiliki banyak sebutan, seperti Special Rapporteurs, Special Representatives, Independent Experts, atau (dalam kasus menegahi pertentangan antara
kelompok dan invidui) Working Group. 35 See, eg, Human Rights Committee, General Comment No : The Obligations of States
Parties under the Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights , dokumen PBB. CCPR/C/GC/33 (5 November 2008) paras 11–15.
lembaga traktat tadi mengkaji seluruh catatan rekam jejak negara-pihak yang terikat traktat dan mengkaji permasalahan-permasalahan dalam kesimpulan akhir pengamatan terhadap negara bersangkutan. Kesimpulan akhir pengamatan berfungsi sebagai rapor HAM bagi negara dan juga dapat menjadi indikator signifikan terhadap arti dari HAM secara relevan. Ujungnya, semua badan yang menjalankan traktat tadi merilis Komentar U mum , yang membahas permasalahan terkait dari setiap negara partisipan berkaitan Konvensi tertentu. Kebanyakan Komentar Umum berisi interpretasi hukum secara luas menyangkut hak-hak tertentu dalam Kovenan tertentu, Komentar
Umum menjadi rujukan setiap permasalahan yang memiliki kemiripan terkait pelaksanaan traktat tertentu. 36
Segala hal yang berkaitan kedua piagam (Piagam PBB dan Piagam HAM) dan semua traktat yang telah disebutkan di atas ditopang oleh Kantor Komisaris Tinggi HAM, sebuah birokrasi kepanjangan tangan HAM PBB. 37
Titik lemah, atau kekurangan, sistem HAM internasional terletak pada penegakan. Tidak ada lembaga supranasional, selain Dewan Keamanan PBB 38
dan Mahkamah Internasional (MPI), 39 yang berwenang membuat keputusan yang mengikat secara hukum berkaitan HAM. Dewan Keamanan dan MI
sendiri jarang menangani masalah-masalah HAM, meski ada peningkatan jumlah kasus HAM sebelum Mahkamah Internasional dibentuk dalam
36 Contohnya, lembaga traktat menerbitkan Komentar Umum tentang pedoman pelaporan, metode melakukan penandatanganan traktat, dan pembatalannya.
37 Sarah Joseph dan Joanna Kyriakakis, United Nations and Human Rights in Sarah Joseph and Adam McBeth (eds), Research Handbook on International Human Rights Law (Edward
Elgar, Cheltenham, 2010) 18 –20. 38 Dewan Keamanan PBB adalah salah satu lembaga utama PBB. Memiliki tanggung jawab
utama menurut ketentuan Piagam dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional. kekuasaannya meliputi pembentukan operasi tim penjaga perdamaian, dan otorisasi sanksi internasional dan tindakan militer. Resolusinya di bawah ketentuan Bab VII Pasal 25 Piagam mengikat seluruh anggota PBB. Ada 15 negara sebagai anggota Dewan Keamanan; 10 di antara terpilih untuk masa dua tahun dan lima (China, Prancis, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat) adalah anggota tetap yang memiliki hak untuk memveto setiap Resolusi Dewan Keamanan selain resolusi prosedural.
39 Didirikan pada bulan Juni 1945; wilayah kerja dan kekuasaannya diatur dalam Statuta ICJ, yang ikut dilampirkan dalam Piagam PBB. Peran Mahkamah adalah untuk menyelesaikan
sengketa hukum yang diajukan kepada Mahkamah oleh negara sesuai dengan hukum internasional, dan untuk mengeluarkan pertimbangan hukum (legal opinion) berkaitan perihal hukum dimaksud yang diajukan oleh organ PBB yang berwenang dan badan-badan khusus. Pengadilan terdiri dari 15 hakim, yang dipilih untuk masa jabatan sembilan tahun oleh Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan.
beberapa tahun terakhir. 40 Penegakan hukum terhadap negara yang membandel sebagian besar dilakukan melalui proses pelabelan dan dengan
cara membuat malu [negara bersangkutan di masyarakat internasional]. Rasa malu sendiri dapat mendorong perubahan perilaku negara bersangkutan, 41 ini
jelas sebuah ukuran penegakan hukum yang lemah dibanding dengan konsekuensi sanksi yang bersifat ekonomi yang terjadi jika ada ketidakpatuhan
terhadap suatu putusan badan penyelesai sengketa di WTO. 42 Catatan sikap kepatuhan negara terhadap aturan badan-badan HAM PBB, misalnya
kepatuhan terhadap lembaga-lembaga yang menjalankan Konvensi, tampaknya pucat pasi jika dikomparasikan dengan catatan tingkat kepatuhan anggota WTO terhadap putusan badan penyelesai sengketanya.
2.3 Sistem perlindungan HAM regional
Terdapat pula sistem perlindungan HAM secara regional. Sistem HAM yang paling sukses, menyangkut hal kepatuhan dan reputasinya, berada di bawah naungan Dewan Eropa. Konvensi Eropa tentang HAM 1951 (The European Convention on Human Rights/ECHR) dan protokol yang sebagian besar melindungi hak-hak sipil dan politik, ditegakkan oleh Pengadilan HAM Eropa. Piagam Sosial Eropa 1961 (the European Social Charter) melingkupi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dan di bawah pengawasan Komite kuasi-yudisial Eropa tentang Hak Sosial. Terdapat pula traktat HAM berkaitan masalah tunggal seperti Konvensi Eropa Menentang Penyiksaan 1987, yang juga di bawah pengawasan oleh lembaga kuasi-yudisial.
Sistem serupa juga terdapat di benua Amerika dan Afrika, yang mana sistem di benua pertama berdasarkan Konvensi Amerika tentang HAM 1969 dan yang terakhir berdasarkan the African Charter of Human and Pe oples’ Rights 1981 (disebut pula Piaga Banjul). Ada juga traktat yang secara terpisah menangani hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya dan isu-isu HAM lainnya. Sebuah sistem regional baru juga muncul di bawah naungan Liga Arab, yang mulai berlaku mulai 2008, yaitu Piagam tentang HAM yang disahkan pada 2004. Sistem HAM regional lebih siap dalam hal penegakan hukumnya, sebagai sebuah keputusan
40 Lihat, secara umum , Sandesh Sivakumaran, The International Court of Justice and Human Rights dalam Joseph and McBeth (ed), Loc. Cit, n 37, 299–325.
41 Lihat Joseph dan Kyriakakis, Loc. Cit, n 37, 26 –8. 42 Lihat Philip Alston, Resisting the Merger and Acquisition of Human Rights by Trade Law: A Reply to Petersmann
European Journal of International Law 815, 833; Vázquez, above n 5, 803 –4.
pengadilan regional yang mengikat secara hukum. Hambatan dalam penegakan memang tetap ada, karena negara sering memilih membayar ganti rugi kepada individu-individu yang dirugikan ketimbang melakukan langkah- langkah perubahan sistematis yang diperlukan guna menghindari terjadinya pelanggaran HAM di masa mendatang. Selain itu, tidak semua kawasan dilindungi oleh traktat HAM regional, misalnya tidak adanya sistem
perlindungan HAM di Asia atau Oseania. 43 Perkembangan lain mengenai perlindungan HAM regional adalah jangkauan
pengadilan HAM-nya, seperti Pengadilan Eropa di bawah naungan Uni Eropa, 44 atau the ECOWAS Community Court of Justice yang didirikan oleh
Komunitas warga keturunan Eropa yang mendiami negara-negara di Afrika bagian barat, 45 telah mempelopori penegakan norma-norma HAM. Kondisi
seperti ini cukup menarik, khususnya untuk tujuan penulisan buku ini mengingat asal mula berdirinya Uni Eropa dan ECOWAS sebagai rezim perdagangan bebas.
2.4 Kovenan Sipol dan Kovenan Ekosob
Yang menjadi instrumen dasar dalam penulisan buku ini adalah dua traktat tersebut: Kovenan Sipol dan Kovenan Ekosob, meski nantinya juga akan mengikutkan beberapa referensi instrumen lainnya, terutama UDHR dan Deklarasi Hak atas Pembangunan. Kovenan-kovenan tersebut adalah yang paling relevan dengan penulisan buku ini karena lingkupnya global (sebagai lawan regional), dan luasnya cakupan hak (sebagai lawannya adalah instrumen yang lebih sempit cakupannya, yang lebih spesifik tentang kepemilikan haknya, seperti CEDAW, CRC dan CPRD, atau dalam lingkup hak yang dicakup, seperti CAT dan Konvensi penghilangan paksa).
43 ASEAN mendirikan Komisi HAM ASEAN untuk mempromosikan HAM di seluruh ASEAN pada akhir 2009. Tidak akan dilakukan perbandingan antara Komisi HAM ASEANdengan
sistem regional yang lebih mapan akan dibahas dalam bagian ini. Terlalu dini untuk menilai kemungkinan dampaknya terhadap perlindungan HAM di regional ASEAN. Lihat Yuval Ginbar, Human Rights in ASEAN—Setting Sail or Treading Water?
Human Rights Law Review 504. 44 Lihat, misalnya, Kadi and Al Barakaat International Foundation v Council of the European
Union (ECJ Grand Chamber, 3 September 2008) Cases C-4 02/05 and C-4 15/05 P. 45 Lihat, misalnya, Mme Hadijatou Mani Koraou v The Republic of Niger (2008)
ECW/CCJ/JUD/06/08 (ECOWAS Community Court of Justice). Lihat juga Helen Duffy, Hadijatou Mani Koroua v Niger: Slavery Unveiled by the ECOWAS Court
Human Rights Law Review 151.
UDHR sendiri tidak mengatur hak-hak secara hirarkis, dan pada awalnya hal ini dimaksudkan agar adanya traktat turunan tidak akan membagi-bagi berbagai hak-hak dalam UDHR. Namun, politik Perang Dingin, maupun karena perbedaan sudut pandang yang mendasar berkaitan hak-hak Sipol di satu sisi dan hak-hak Ekosob di sisi lain, telah melahirkan keputusan untuk
membagi hak-hak dalam UDHR ke dalam dua Kovenan. 46 Meski begitu, preambule setiap Kovenan menyatakan kedua Kovenan yang berisi hak-hak
tersebut saling bertautan satu sama lain dan tak terpisahkan. Dua Kovenan terbukti secara formal kesetaraan kedudukan fungsinya dengan diberlakukan- nya kedua Kovenan pada tahun 1977, dan keduanya memiliki jumlah anggota negara partisipan yang hampir berimbang pada September 2010. Sama pentingnya dan saling ketergantungan kedua Kovenan yang menegaskan hak- hak ini dimantapkan kembali dalam VDPA 1993 .
ICCPR melindungi hak-hak sipil dan politik. 47 Beranggotakan 166 negara peserta per September 2010. Pihak yang absen adalah RRC, yang mana telah
menandatangani namun tidak/belum meratifikasi Kovenan Sipol. 48 Hak-hak Sipol sendiri dapat dikategorikan meliputi (1) hak atas perlindungan fisik dan
kebebasan berkeyakinan, dan kebebasan memilih; (2) hak atas perlakuan yang adil; dan (3) hak untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses politik. 49
Kategori 1 meliputi hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya, kebebasan bergerak dan hak atas perlindungan privasi. Kebebasan berkeyakinan berhubungan dengan hak-hak seperti dalam kebebasan beragama, berkeyakinan dan berpikir. Kategori 2 meliputi keadilan dalam arti prosedural secara sempit seperti hak untuk mendapatkan pengadilan yang fair, dan dalam arti secara lebih luas seperti hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum dan bebas dari diskriminasi. Kategori 3 jelas meliputi hak untuk memilih dan dipilih, dan juga termasuk hak akan
46 Lihat, misalnya, Dominic McGoldrick, The Human Rights Committee: Its Role in the Development of the International Covenant on Civil and Political Rights, edisi ke-2 (Oxford
University Press, New York, 1994) para 1.16. 47 Tulisan berikutnya adalah tulisan yang diadaptasi dari Sarah Joseph, Civil and political
rights dalam Mashood Baderin dan Manisuli Ssenyonjo, International Human Rights Law: Six Decades after the UDHR (Ashgate, Surrey, 2010) 89 –106.
48 Setelah terjadi serah terima kedaulatan atas Hong Kong dan Macau, RRC sepakat bahwa ICCPR akan terus berlaku bagi wilayah-wilayah tersebut, sebagaimana wilayah tersebut di
bawah hukum kolonial sebelumnya, Inggris dan Portugal. Lihat, misalnya, Kuok Koi v Portugal, UN doc. CCPR/C/73/D/925/2000 (8 Februari 2002) (Komite HAM PBB).
49 Lihat juga Scott Davidson, Introduction dalam Alex Conte, Scott Davidson, dan Richard Burchill, Defining Civil and Political Rights: The Jurisprudence of the United Nations Human
Rights Committee (Aldershot, Ashgate, 2004) 2.
pentingnya mendapatkan proses politik yang sehat, seperti kebebasan berkumpul dan berserikat. Ketiga kategori hak ini saling tumpang tindih. Misalnya, kebebasan berekspresi yang bisa dimasukan ke dalam semua kategori. Hal ini diperlukan guna melindungi keyakinan seseorang serta memastikan keyakinannya bisa diekspresikannya sesuai ide-idenya, dan adanya kemauan untuk menerima gagasan-gagasan orang lain. Kebebasan berekspresi juga terkait dengan perlakuan yang adil: seseorang tidak dapat diperlakukan secara adil dan setara jika kebutuhan dan keinginan orang lain tidak dipenuhi, atau jika orang lain tidak dapat mendapat akses informasi dan mengekspresikan ide-ide yang sesuai keyakinannya. Muaranya, kebebasan berekspresi berfungsi penting dalam sistem politik, yang akan menghadirkan kebebasan komunikasi antara yang dipilih dan orang-orang yang mereka wakili, dan dalam konteks civil society adalah untuk memastikan akuntabilitas pemerintahan.
Kebanyakan hak-hak Sipol diperbolehkan adanya kualifikasi limitatif. Sangat sedikit hak dalam ICCPR berlaku secara mutlak. 50 Contohnya, hak kebebasan
berekspresi dalam Pasal 19 (2), hak ini bukan berarti memperbolehkan pengekspresian setiap pandangan di setiap saat dalam forum apapun, meski di sisi lain pihak negara yang melakukan limitasi hak dalam ICCPR berkewajiban melakukan beban pembuktian ketika menetapkan batasan-batasan dalam hak
Sipol agar bisa dibenarkan. 51 Kebanyakan hak-hak dalam ICCPR dapat dibatasi melalui langkah-langkah proporsional yang reasonably demi mencapai titik
tujuan melalui legitimasi hukum. Kovenan Ekosob ditujukan memproteksi hak-hak Ekosob, dan
beranggotakan 160 negara. Negara yang absen adalah Amerika Serikat, yang mana telah ikut menandatanganinya akan tetapi belum/tidak meratifikasi Kovenan Ekosob. Hak ekonomi adalah hak-hak yang berkaitan dengan perburuhan dan pekerjaan tertuang dalam Artikel 6 hingga 8 Kovenan
50 Contoh hak bersifat absolut adalah hak untuk bebas dari penyiksaan dan perilaku tidak manusiawi lainnya (Pasal 7) dan bebas dari perbudakan dan penghambaan (Pasal 8).
51 Hak-hak dalam Pasal 19(2) dibatasi dalam Pasal 19(3) yang menyatakan : Pelaksanaan hak yang diatur dalam paragraf 2 Pasal ini disertai dengan tugas dan tanggung jawab khusus.
Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hanya dapat dilakukan sejauh yang disediakan oleh ketentuan hukum dan yang diperlukan: (a) Menghormati hak atau nama baik orang lain; (B) Untuk perlindungan keamanan nasional atau ketertiban umum (ordre public), atau kesehatan atau moral umum .
Ekosob, 52 serta kemanfaatan yang diperoleh dari perburuhan dan jaring pengaman sosial bagi mereka yang tidak bisa bekerja tertuang dalam Pasal 9
(hak atas jaminan sosial). Hak sosial tersebut dibutuhkan untuk diterapkan secara memadai di dalam masyarakat seperti dalam hak untuk membentuk keluarga (Pasal 10), hak atas standar hidup yang layak (Pasal 11), hak atas kesehatan (Pasal 12) dan hak atas pendidikan (Pasal 13 dan 14). Pasal 15 mencakup hak-hak kultural/kebudayaan, termasuk di dalam-nya hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat danmanfaat dari ilmu
pengetahuan. Sekali lagi, perbedaan antara tiga kategori tidak ada batas, dan ini memang sering. 53
PBB berkomitmen untuk kesetaraan secara formal dari adanya dua set hak- hak tersebut. Selanjutnya, kedua Kovenan sendiri memiliki keanggotaan negara yang hampir sama. Dan tentu saja, hak-hak ini saling bergantung satu sama lain dan saling memperkuat. Hak untuk hidup (Pasal 6 Kovenan Sipol) terkait erat dengan hak atas kesehatan (Pasal 12 Kovenan Ekosob. Hak atas pendidikan (Pasal 13 dan 14 Kovenan Ekosob) membantu untuk memberantas buta aksara, faktor kunci yang mengantarkan kepada kebebasan berekspresi (Pasal 19 Kovenan Sipol). Hak untuk membentuk serikat pekerja (Pasal 8 Kovenan Ekosob) adalah sub-komponen kebebasan berserikat (Pasal 22 Kovenan Sipol). Hak untuk hidup keluarga termaktub dalam Pasal 17 dan 23 Kovenan Sipol, dan Pasal 10 Kovenan Ekosob.