Public Private Partnership PPP Pada Sist
Imas Qurhothul Ainiyah
1306383155
Tugas Administrasi Perkotaan – Public Private Partnership
Public Private Partnership (PPP) Pada Sistem Kelistrikan Jawa – Bali
Studi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Rajamandala
Public Private Partnership (PPP) merupakan kontrak kerjasama antara pemerintah
dengan pihak swasta untuk menyediakan fasilitas atau infrastruktur publik (ESCAP, 2011: 1).
Beberapa ketentuan umum pada public private partnership (PPP) yaitu pihak swasta
bertanggungjawab melaksanakan fungsi pemerintah dalam menyediakan layanan untuk
jangka waktu tertentu, pihak swasta dapat menerima kompensasi atas penyediaan layanan,
pihak swasta bertanggungjawa atas risiko yang ditimbulkan dan pihak swasta dapat
mengelola fasilitas umum seperti lahan dan sumber daya yang tersedia. Pada
pelaksanaannya, public private partnership (PPP) dikategorikan menjadi beberapa bentuk
(Asian Development Bank, 2012: 2) yaitu sebagai berikut:
a. Service Contract yaitu kerjasama antara pemerintah dan pihak swasta untuk
melaksanakan tugas tertentu yang dilaksankan dalam jangka waktu 1-3 tahun dan disertai
dengan pemberian kompensasi.
b. Management Contract yaitu upaya penyerahan pengadaan dan pengelolaan suatu
infrastruktur atau jasa kepada pihak swasta dalam jangka waktu 3-8 tahun dan dengan
kompensasi tetap.
c. Lease Contract ialah kontrak dimana pihak swasta dapat menggunakan suatu fasilitas
umum, mengelola, mengoperasikan, dan memelihara dengan menerima pembayaran dari
para pengguna fasilitas serta menanggung resiko operasional. Jangka waktu kontrak sewa
antara 5-20 tahun.
d. Kontrak Konsensi, pada umumnya memiliki masa berlaku antara 20 sampai 35 tahun
dimana pihak swasta memiliki kewenangan penuh untuk mengakomodasi pembangunan
dan pengembangan infrastruktur bagi pertumbuhan usaha.
e. Build Operate Transfer/ BOT yaitu bentuk kerjasama antara instansi pemerintah dan
pihak swasta dalam waktu 10 sampai 30 tahun untuk membangun, mengembangkan serta
melakukan operasi dan pemeliharaan suatu proyek infrastruktur. Kontrak BOT ditandai
dengan adanya transfer asset dari pihak swasta kepada instansi pemerintah ketika masa
kontrak berakhir.
Di Indonesia, konsep public private partnership (PPP) telah digunakan oleh
pemerintah untuk mengembangkan dan memelihara berbagai fasilitas-fasilitas publik. Dasar
hukum dari pelaksanaan public private partnership (PPP), yaitu Peraturan Presiden No 67
Tahun 2005 tentang kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan
infrastruktur. Tujuan utama dari kerjasama pemerintah dan pihak swasta yaitu meningkatkan
kuantitas dan kualitas urban services, meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan
fasilitas publik, mencukupi kebutuhan pendanaan dalam pengembangan fasilitas-fasilitas
umum dan menyediakan infrastruktur publik dengan harga yang dapat dijangkau oleh
masyarakat.
Pada pasal 4 Peraturan Presiden No 67 Tahun 2005, disebutkan bahwa jenis-jenis
infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan pihak swasta antara lain infrastruktur
transportasi, infrastruktur jalan, infrastruktur pengairan, infrastruktur air minum,
infrastruktur pengelolaan air limbah, infrastruktur telekomunikasi, infrastruktur minyak dan
gas bumi serta infrastruktur ketenagalistrikan. Pada setiap usulan kerjasama proyek antara
pemerintah dan pihak swasta dalam pengembangan dan pemeliharaan infrastruktur publik
mensyaratkan adanya pra studi kelayakan, rencana bentuk kerjasama, rencana pembiayaan
proyek dan sumber dana proyek serta rencana penawaran kerjasama yang meliputi jadwal,
proses dan cara penilaian. Salah satu proyek public private partnership (PPP) yang dilakukan
oleh lembaga Negara di Indonesia, yaitu kerjasama pembangunan dan pengembangan proyek
infrastruktur ketenagalistrikan antara PT. PLN Persero dengan PT. Rajamandala Electric
Power (PT. REP).
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Rajamandala
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Rajamandala merupakan bagian dari proyek
dan upaya PLN untuk meningkatkan layanan listrik bagi masyarakat (EBTKE, 2014). Proyek
ini memiliki tujuan utama berupa peningkatan kapasitas pasokan listrik pada sistem
kelistrikan Jawa – Bali serta meningkatkan kontribusi penggunaan energi terbarukan untuk
pembangkit listrik. Proyek PLTA Rajamandala akan dibangun di sungai Citarum, desa Cihea
Kecamatan Haurwangi Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pelaksanaan proyek Pembangkit
Listrik Tenaga Air (PLTA) Rajamandala diawali dengan penandatanganan Perjanjian Jual
Beli Tenaga Listrik (Power Purchase Agreement/ PPA) antara PT. PLN Persero dengan PT.
Rajamandala Electric Power (PT. REP) pada 20 Agustus 2013 (Dwiyanto, 2014). PT.
Rajamandala Electric Power merupakan anak perusahaan PT. Indonesia Power dan Kansai
Electric Power Inc. PT. Indonesia Power merupakan anak usaha PT. PLN Persero yang
bergerak dalam pengembangan dan pengoperasian pembangkit listrik. Sedangkan, Kansai
Electric Power Inc. merupakan perusahaan pembangkit listrik kedua terbesar di Jepang dan
telah berpengalaman dalam pembangunan dan pengoperasian PLTA. Masa kontrak perjanjian
ini berlaku untuk 30 tahun masa operasi dengan skema BOOT (Bulit Own Operate Transfer)
dimana setelah masa kontrak berakhir PLTA Rajamandala akan diserahkan kepada PT. PLN
Persero (Dwiyanto, 2014).
Skema pembiayaan proyek yang digunakan yaitu International Project Financing
melalui sindikasi Japanese Bank for International Cooperation (JBIC) dan Mizuho Bank
Tokyo sebagai lender dengan masa pinjaman yang panjang yaitu 19 tahun dan kemudian
dirangkum dalam Berita Acara Efektifitas (Dwiyanto, 2014). Berkas berita acara efektifitas
tersebut berisi persyaratan penutupan pembiayaan untuk mendanai pembangunan proyek
PLTA Rajamandala. Penandatanganan berita acara efektifitas pembiayaan tersebut dilakukan
di Jakarta pada tanggal 19 Agustus 2014 yang ditandai dengan penarikan pinjaman yang
pertama (first drawdown) pada tanggal 18 Agustus 2014.
Pelaksanaan skema pinjaman pembiyaan proyek PLTA Rajamandala tidak memperoleh
Jaminan Kelayakan Usaha (JKU) dari Pemerintah Indonesia (EBTKE, 2014). Namun, PT.
Rajamandala Electric Power menggunakan jaminan yang diterbitkan oleh Multilateral
Investment Guarantee Agency (MIGA). MIGA merupakan salah satu badan milik World
Bank yang berpusat di Washington DC untuk memberikan fasilitas asuransi investasi bagi
pendanaan proyek PLTA Rajamandala. Menurut Direktur Utama PLN, Nur Pamudji,
penggunaan skema pembiayaan tanpa JKU dari Pemerintah Indonesia dapat mendorong
upaya pembangunan pembangkit di Indonesia. Hal ini disebabkan karena ada perbaikan
tingkat kepercayaan lender terhadap bisnis ketenagalistrikan di Indonesia. Skema ini juga
mengurangi peran pemerintah secara langsung dalam proyek ketenagalistrikan sehingga
pembangunan kelistrikan dapat berjalan lebih cepat.
Biaya yang diperlukan untuk membangun PLTA Rajamandala sekitar USD 150 juta
(Dwiyanto, 2014). Lender berperan dalam membiayai 75 persen proyek dan sebesar 25
persen dibiayai dari ekuitas pemegang saham. Adapun ekuitas pemegang saham pada proyek
ini yaitu PT. Indonesia Power yang membiayai 51 persen dan Kansai Electric Power Inc.
membiayai 49 persen. Harga jual tenaga listrik PLTA Rajamandala yang disepakati ialah
8,6616 cent USD per kWh.
Kegiatan konstruksi PLTA Rajamandala mulai dilaksanakan pada September 2014 dan
akan berlangsung selama 33 bulan dengan menyerap tenaga kerja lokal sekitar 1200 orang
(Dwiyanto, 2014). Konstruksi dilaksanakan dengan pola full turnkey dimana kontraktor
utama akan bertanggungjawab terhadap seluruh pembangunan Pembangkit dan Saluran
Transmisi Tegangan Tinggi sepanjang 8 km. Konstruksi proyek ini berpedoman pada
peraturan perizinan dan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dari setiap unsur
pembangunan PLTA Rajamandala. PLTA Rajamandala dijadwalkan mulai beroperasi secara
komersial pada Mei 2017. Pola pengoperasiannya mengikuti pola operasi PLTA Saguling
yaitu dengan memanfaatkan air keluaran dari PLTA Saguling untuk menghasilkan energi
listrik (Dwiyanto, 2014). Kapasitas energi listrik yang dapat dihasilkan pada proyek ini ratarata sebesar 181 Giga Watt hour (GWh) per tahun atau setara dengan produksi listrik yang
dihasilkan oleh 70 juta liter BBM. Energi listrik tersebut akan disalurkan ke Sistem Jawa –
Bali melalui jaringan transmisi 150 kV Cianjur – Cigereleng.
Analisis Public Private Partnership (PPP) Proyek PLTA Rajamandala
Proyek PLTA Rajamandala merupakan salah satu bentuk public private partnership
untuk menyediakan pasokan energi listrik pada sistem kelistrikan Jawa – Bali yang dilakukan
oleh PT. PLN Persero dengan PT. Rajamandala Electric Power. Kerjasama antara PT. PLN
Persero dengan PT. Rajamandala Electric Power termasuk dalam jenis proyek infrastruktur
ketenagalistrikan yaitu dimana pengembang bertanggungjawab terhadap seluruh
pembangunan Pembangkit dan Saluran Transmisi Tegangan Tinggi. Sedangkan bentuk
public private partnership (PPP) yang digunakan ialah BOOT (Bulit Own Operate Transfer)
dengan masa kontrak perjanjian selama 30 tahun. Kemudian setelah masa kontrak berakhir,
PLTA Rajamandala akan diserahkan kepada PT. PLN Persero. Rencana pembiayaan proyek
menggunakan skema International Project Financing dengan melakukan pinjaman dana
kepada sindikasi Japanese Bank for International Cooperation (JBIC) dan Mizuho Bank
Tokyo sebesar 75% dari total dana proyek. Sedangkan sebesar 25% dana proyek dibiayai oleh
PT. Indonesia Power dan Kansai Electric Power Inc. yang merupakan induk perusahaan dari
PT. Rajamandala Electric Power. Pembangunan proyek PLTA Rajamandala dilaksankan
selama 33 bulan dengan jumlah pekerja 1200 orang dan dijadwalkan mulai beroperasi pada
Mei 2017. Energi listrik yang dihasilakn sebesar 181 Giga Watt hour (GWh) per tahun
dengan harga penjualan 8,6616 cent USD per kWh. Dengan demikian, pembangunan proyek
PLTA Rajamandala merupakan langkah yang diambil oleh PT. PLN Persero untuk
meningkatkan kuantitas dan kualitas pasokan listrik bagi wilayah Jawa – Bali melalui
kerjasama pemerintah dan swasta atau public private partnership (PPP).
Sumber:
Asian Development Bank. 2012. Public Private Partnership Operational Plan 2012-2020Realizing The Vision For Strategy 2020: The Transformational Role Of Public
Private Partnership In Asian Development Bank. Philipines.
Economic And Social Commission For Asia And The Pacific (ESCAP). 2011. A Guidebook
On: Public Private Partnershipin Infrastructure. Bangkok.
Peraturan Presiden No 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha
Dalam Penyediaan Infrastruktur.
Dwiyanto, Bambang. 2014. PLN Tandatangani Kontrak Pembelian Listrik PLTA
Rajamandala 47 MW. http://www.pln.co.id/pln-tandatangani-kontrak-pembelianlistrik-plta-rajamandala-47-mw/. Diakses pada 23 April 2016
Dwiyanto, Bambang. 2014. Penandatanganan Dokumen Dalam Rangka Pencapaian
Financing Date Proyek IPP PLTA Rajamandala 1x47 Mw.
http://www.pln.co.id/penandatanganan-dokumen-dalam-rangka-pencapaian-finan
cing-date-proyek-ipp-plta-rajamandala-1x47-mw/. Diakses pada 23 April 2016
Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan Dan Konservasi Energy (EBTKE), Kementerian
Energi Dan Sumber Daya Mineral. 2014. Dokumen Pendanaan PLTA Rajamandala
Diteken. http://ebtke.esdm.go.id/post/2014/08/21/653/dokumen.pendanaan.plta.raja
mandala.diteken. Diakses pada 23 April 2016
1306383155
Tugas Administrasi Perkotaan – Public Private Partnership
Public Private Partnership (PPP) Pada Sistem Kelistrikan Jawa – Bali
Studi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Rajamandala
Public Private Partnership (PPP) merupakan kontrak kerjasama antara pemerintah
dengan pihak swasta untuk menyediakan fasilitas atau infrastruktur publik (ESCAP, 2011: 1).
Beberapa ketentuan umum pada public private partnership (PPP) yaitu pihak swasta
bertanggungjawab melaksanakan fungsi pemerintah dalam menyediakan layanan untuk
jangka waktu tertentu, pihak swasta dapat menerima kompensasi atas penyediaan layanan,
pihak swasta bertanggungjawa atas risiko yang ditimbulkan dan pihak swasta dapat
mengelola fasilitas umum seperti lahan dan sumber daya yang tersedia. Pada
pelaksanaannya, public private partnership (PPP) dikategorikan menjadi beberapa bentuk
(Asian Development Bank, 2012: 2) yaitu sebagai berikut:
a. Service Contract yaitu kerjasama antara pemerintah dan pihak swasta untuk
melaksanakan tugas tertentu yang dilaksankan dalam jangka waktu 1-3 tahun dan disertai
dengan pemberian kompensasi.
b. Management Contract yaitu upaya penyerahan pengadaan dan pengelolaan suatu
infrastruktur atau jasa kepada pihak swasta dalam jangka waktu 3-8 tahun dan dengan
kompensasi tetap.
c. Lease Contract ialah kontrak dimana pihak swasta dapat menggunakan suatu fasilitas
umum, mengelola, mengoperasikan, dan memelihara dengan menerima pembayaran dari
para pengguna fasilitas serta menanggung resiko operasional. Jangka waktu kontrak sewa
antara 5-20 tahun.
d. Kontrak Konsensi, pada umumnya memiliki masa berlaku antara 20 sampai 35 tahun
dimana pihak swasta memiliki kewenangan penuh untuk mengakomodasi pembangunan
dan pengembangan infrastruktur bagi pertumbuhan usaha.
e. Build Operate Transfer/ BOT yaitu bentuk kerjasama antara instansi pemerintah dan
pihak swasta dalam waktu 10 sampai 30 tahun untuk membangun, mengembangkan serta
melakukan operasi dan pemeliharaan suatu proyek infrastruktur. Kontrak BOT ditandai
dengan adanya transfer asset dari pihak swasta kepada instansi pemerintah ketika masa
kontrak berakhir.
Di Indonesia, konsep public private partnership (PPP) telah digunakan oleh
pemerintah untuk mengembangkan dan memelihara berbagai fasilitas-fasilitas publik. Dasar
hukum dari pelaksanaan public private partnership (PPP), yaitu Peraturan Presiden No 67
Tahun 2005 tentang kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan
infrastruktur. Tujuan utama dari kerjasama pemerintah dan pihak swasta yaitu meningkatkan
kuantitas dan kualitas urban services, meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan
fasilitas publik, mencukupi kebutuhan pendanaan dalam pengembangan fasilitas-fasilitas
umum dan menyediakan infrastruktur publik dengan harga yang dapat dijangkau oleh
masyarakat.
Pada pasal 4 Peraturan Presiden No 67 Tahun 2005, disebutkan bahwa jenis-jenis
infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan pihak swasta antara lain infrastruktur
transportasi, infrastruktur jalan, infrastruktur pengairan, infrastruktur air minum,
infrastruktur pengelolaan air limbah, infrastruktur telekomunikasi, infrastruktur minyak dan
gas bumi serta infrastruktur ketenagalistrikan. Pada setiap usulan kerjasama proyek antara
pemerintah dan pihak swasta dalam pengembangan dan pemeliharaan infrastruktur publik
mensyaratkan adanya pra studi kelayakan, rencana bentuk kerjasama, rencana pembiayaan
proyek dan sumber dana proyek serta rencana penawaran kerjasama yang meliputi jadwal,
proses dan cara penilaian. Salah satu proyek public private partnership (PPP) yang dilakukan
oleh lembaga Negara di Indonesia, yaitu kerjasama pembangunan dan pengembangan proyek
infrastruktur ketenagalistrikan antara PT. PLN Persero dengan PT. Rajamandala Electric
Power (PT. REP).
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Rajamandala
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Rajamandala merupakan bagian dari proyek
dan upaya PLN untuk meningkatkan layanan listrik bagi masyarakat (EBTKE, 2014). Proyek
ini memiliki tujuan utama berupa peningkatan kapasitas pasokan listrik pada sistem
kelistrikan Jawa – Bali serta meningkatkan kontribusi penggunaan energi terbarukan untuk
pembangkit listrik. Proyek PLTA Rajamandala akan dibangun di sungai Citarum, desa Cihea
Kecamatan Haurwangi Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pelaksanaan proyek Pembangkit
Listrik Tenaga Air (PLTA) Rajamandala diawali dengan penandatanganan Perjanjian Jual
Beli Tenaga Listrik (Power Purchase Agreement/ PPA) antara PT. PLN Persero dengan PT.
Rajamandala Electric Power (PT. REP) pada 20 Agustus 2013 (Dwiyanto, 2014). PT.
Rajamandala Electric Power merupakan anak perusahaan PT. Indonesia Power dan Kansai
Electric Power Inc. PT. Indonesia Power merupakan anak usaha PT. PLN Persero yang
bergerak dalam pengembangan dan pengoperasian pembangkit listrik. Sedangkan, Kansai
Electric Power Inc. merupakan perusahaan pembangkit listrik kedua terbesar di Jepang dan
telah berpengalaman dalam pembangunan dan pengoperasian PLTA. Masa kontrak perjanjian
ini berlaku untuk 30 tahun masa operasi dengan skema BOOT (Bulit Own Operate Transfer)
dimana setelah masa kontrak berakhir PLTA Rajamandala akan diserahkan kepada PT. PLN
Persero (Dwiyanto, 2014).
Skema pembiayaan proyek yang digunakan yaitu International Project Financing
melalui sindikasi Japanese Bank for International Cooperation (JBIC) dan Mizuho Bank
Tokyo sebagai lender dengan masa pinjaman yang panjang yaitu 19 tahun dan kemudian
dirangkum dalam Berita Acara Efektifitas (Dwiyanto, 2014). Berkas berita acara efektifitas
tersebut berisi persyaratan penutupan pembiayaan untuk mendanai pembangunan proyek
PLTA Rajamandala. Penandatanganan berita acara efektifitas pembiayaan tersebut dilakukan
di Jakarta pada tanggal 19 Agustus 2014 yang ditandai dengan penarikan pinjaman yang
pertama (first drawdown) pada tanggal 18 Agustus 2014.
Pelaksanaan skema pinjaman pembiyaan proyek PLTA Rajamandala tidak memperoleh
Jaminan Kelayakan Usaha (JKU) dari Pemerintah Indonesia (EBTKE, 2014). Namun, PT.
Rajamandala Electric Power menggunakan jaminan yang diterbitkan oleh Multilateral
Investment Guarantee Agency (MIGA). MIGA merupakan salah satu badan milik World
Bank yang berpusat di Washington DC untuk memberikan fasilitas asuransi investasi bagi
pendanaan proyek PLTA Rajamandala. Menurut Direktur Utama PLN, Nur Pamudji,
penggunaan skema pembiayaan tanpa JKU dari Pemerintah Indonesia dapat mendorong
upaya pembangunan pembangkit di Indonesia. Hal ini disebabkan karena ada perbaikan
tingkat kepercayaan lender terhadap bisnis ketenagalistrikan di Indonesia. Skema ini juga
mengurangi peran pemerintah secara langsung dalam proyek ketenagalistrikan sehingga
pembangunan kelistrikan dapat berjalan lebih cepat.
Biaya yang diperlukan untuk membangun PLTA Rajamandala sekitar USD 150 juta
(Dwiyanto, 2014). Lender berperan dalam membiayai 75 persen proyek dan sebesar 25
persen dibiayai dari ekuitas pemegang saham. Adapun ekuitas pemegang saham pada proyek
ini yaitu PT. Indonesia Power yang membiayai 51 persen dan Kansai Electric Power Inc.
membiayai 49 persen. Harga jual tenaga listrik PLTA Rajamandala yang disepakati ialah
8,6616 cent USD per kWh.
Kegiatan konstruksi PLTA Rajamandala mulai dilaksanakan pada September 2014 dan
akan berlangsung selama 33 bulan dengan menyerap tenaga kerja lokal sekitar 1200 orang
(Dwiyanto, 2014). Konstruksi dilaksanakan dengan pola full turnkey dimana kontraktor
utama akan bertanggungjawab terhadap seluruh pembangunan Pembangkit dan Saluran
Transmisi Tegangan Tinggi sepanjang 8 km. Konstruksi proyek ini berpedoman pada
peraturan perizinan dan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dari setiap unsur
pembangunan PLTA Rajamandala. PLTA Rajamandala dijadwalkan mulai beroperasi secara
komersial pada Mei 2017. Pola pengoperasiannya mengikuti pola operasi PLTA Saguling
yaitu dengan memanfaatkan air keluaran dari PLTA Saguling untuk menghasilkan energi
listrik (Dwiyanto, 2014). Kapasitas energi listrik yang dapat dihasilkan pada proyek ini ratarata sebesar 181 Giga Watt hour (GWh) per tahun atau setara dengan produksi listrik yang
dihasilkan oleh 70 juta liter BBM. Energi listrik tersebut akan disalurkan ke Sistem Jawa –
Bali melalui jaringan transmisi 150 kV Cianjur – Cigereleng.
Analisis Public Private Partnership (PPP) Proyek PLTA Rajamandala
Proyek PLTA Rajamandala merupakan salah satu bentuk public private partnership
untuk menyediakan pasokan energi listrik pada sistem kelistrikan Jawa – Bali yang dilakukan
oleh PT. PLN Persero dengan PT. Rajamandala Electric Power. Kerjasama antara PT. PLN
Persero dengan PT. Rajamandala Electric Power termasuk dalam jenis proyek infrastruktur
ketenagalistrikan yaitu dimana pengembang bertanggungjawab terhadap seluruh
pembangunan Pembangkit dan Saluran Transmisi Tegangan Tinggi. Sedangkan bentuk
public private partnership (PPP) yang digunakan ialah BOOT (Bulit Own Operate Transfer)
dengan masa kontrak perjanjian selama 30 tahun. Kemudian setelah masa kontrak berakhir,
PLTA Rajamandala akan diserahkan kepada PT. PLN Persero. Rencana pembiayaan proyek
menggunakan skema International Project Financing dengan melakukan pinjaman dana
kepada sindikasi Japanese Bank for International Cooperation (JBIC) dan Mizuho Bank
Tokyo sebesar 75% dari total dana proyek. Sedangkan sebesar 25% dana proyek dibiayai oleh
PT. Indonesia Power dan Kansai Electric Power Inc. yang merupakan induk perusahaan dari
PT. Rajamandala Electric Power. Pembangunan proyek PLTA Rajamandala dilaksankan
selama 33 bulan dengan jumlah pekerja 1200 orang dan dijadwalkan mulai beroperasi pada
Mei 2017. Energi listrik yang dihasilakn sebesar 181 Giga Watt hour (GWh) per tahun
dengan harga penjualan 8,6616 cent USD per kWh. Dengan demikian, pembangunan proyek
PLTA Rajamandala merupakan langkah yang diambil oleh PT. PLN Persero untuk
meningkatkan kuantitas dan kualitas pasokan listrik bagi wilayah Jawa – Bali melalui
kerjasama pemerintah dan swasta atau public private partnership (PPP).
Sumber:
Asian Development Bank. 2012. Public Private Partnership Operational Plan 2012-2020Realizing The Vision For Strategy 2020: The Transformational Role Of Public
Private Partnership In Asian Development Bank. Philipines.
Economic And Social Commission For Asia And The Pacific (ESCAP). 2011. A Guidebook
On: Public Private Partnershipin Infrastructure. Bangkok.
Peraturan Presiden No 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha
Dalam Penyediaan Infrastruktur.
Dwiyanto, Bambang. 2014. PLN Tandatangani Kontrak Pembelian Listrik PLTA
Rajamandala 47 MW. http://www.pln.co.id/pln-tandatangani-kontrak-pembelianlistrik-plta-rajamandala-47-mw/. Diakses pada 23 April 2016
Dwiyanto, Bambang. 2014. Penandatanganan Dokumen Dalam Rangka Pencapaian
Financing Date Proyek IPP PLTA Rajamandala 1x47 Mw.
http://www.pln.co.id/penandatanganan-dokumen-dalam-rangka-pencapaian-finan
cing-date-proyek-ipp-plta-rajamandala-1x47-mw/. Diakses pada 23 April 2016
Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan Dan Konservasi Energy (EBTKE), Kementerian
Energi Dan Sumber Daya Mineral. 2014. Dokumen Pendanaan PLTA Rajamandala
Diteken. http://ebtke.esdm.go.id/post/2014/08/21/653/dokumen.pendanaan.plta.raja
mandala.diteken. Diakses pada 23 April 2016