Informasi Radio Yang Kalah Cepat Dari Ko

Informasi Radio Y ang K alah Cepat Dari K oran
Oleh :
I Nengah Muliarta (HP. 081338576547)
Praktisi Penyiaran Bali dan
K onsultan Bali Broadcast A cademia (BBA )
Radio memiliki keunggulan dari segi kecepatan menyampaikan informasi atau kejadian,
dibandingkan media lainnya. Reporter radio dapat secara langsung melaporkan kejadian melalui
kegiatan live report pandangan mata. Berbeda dengan koran yang beritanya baru dapat dibaca
esok paginya. J ika dilihat dari segi biaya operasional siaran juga lebih murah dibandingkan
dengan media TV yang memerlukan biaya tinggi dan perlu satu tim untuk melakukan siaran
langsung. Bila dibandingkan dengan media online, radio masih lebih cepat dalam penyampain
informasi karena informasi atau berita yang disampaikan langsung diterima oleh
pendengar/masyarakat tanpa terlebih dahulu harus mengakses media online.
K enyataanya di lapangan masih ada penyiar radio yang membaca berita koran untuk
memberikan informasi bagi pendengarnya. J ika informasinya berupa headline berita tentu tidak
masalah, namun membaca berita koran secara utuh tentu sangat lucu. Memang secara aturan
tidak ada larangan bagi penyiar radio untuk membaca berita koran sebagai bahan siaran. Namun
menjadi lucu, karena radio sebagai lembaga penyiaran yang mengandalkan kecepatan informasi
malah mengambil informasi dari koran. Bila dilihat, radio yang menyajikan berita koran menjadi
sangat telat informasi hingga 2 hari. Harusnya informasi kejadian detik ini disiarkan detik ini
juga tetapi baru disiarkan setelah diberitakan oleh koran. T entu akan lebih baik bila

memanfaatkan informasi dari media online yang memberitakan informasi kejadia beberapa jam
setelah kejadian.
Terdapat beberapa alasan penyiar radio membaca berita koran, diantaranya : karena
adanya kerjasama dengan pihak media koran, karena masih satu group dengan media koran
hingga tidak memiliki reporter. Bila dikupas maka alasan penyiaran berita koran karena adanya
kerjasama, tentu tidak ada masalah. Namun strategi kerjasamanya yang terbalik dan cenderung
menguntungkan media koran. K oran mendapatkan keuntungan karena berita yang diterbitkan
dipromosikan oleh radio. Sedangkan radio hanya mendapatkan berita basi, karena berita yang
disiarkan dan diambil dari koran sudah dibaca oleh pelanggan koran tersebut. Seharusnya
kerjasama yang dilakukan adalah pihak radio meminta wartawan media koran yang diajak
kerjasama untuk memberikan laporan lapangan saat melakukan peliputan di lapangan. Dengan
laporan lapangan maka radio akan mendapatkan berita secara cepat, tanpa menunggu koran terbit
esok harinya. Siaran radio juga akan semakin menarik dengan adanya informasi yang aktual dan
cepat langsung dari lokasi kejadian.
Radio menyiarkan berita koran karena masih berada dalam satu group/ kelompok media
yang sama menjadi alasan berikutnya. Mempromosikan media dalam satu group tentu tidak ada
salahnya dan justru meringankan biaya promosi. Permasalahanya adalah pengelolaan informasi
dalam satu kelompok media yang terbalik. Pengelola media group tidak melihat mana media
yang mengutamakan kecepatan informasi dan mana yang mengutamakan data dan fakta yang
rinci atau detail. Seharusnya wartawan dari media cetak memberikan laporan terlebih dahulu ke

media radio agar radio mendapatkan informasi terbaru. K oordinasi ini tentunya lebih mudah
dilakukan dalam satu kelompok media. Satu sisi radio menyiarkan informasi terbaru secara
cepat, disisi lain media cetak mendapatkan promosi gratis.

A lasan berikutnya, radio menyiarkan berita koran karena tidak memiliki reporter dan
karena bukan radio berita. Tentu alasan seperti ini terlalu dibuat-buat. Sebagai sebuah media,
radio memiliki fungsi sebagai sumber informasi bagi pendengarnya. Radio sebagai media juga
seharusnya memiliki susunan redaksi, termasuk reporter di dalamnya. Bagaimana sebuah stasiun
radio disebut sebagai sebuah media jika tidak memiliki redaksi? A papun format dan segmentasi
radio tentu memiliki persentase siaran berita dan informasi. Sekecil apapun persentasi siaran
berita dan informasi yang ada pada sebuah media radio akan lebih baik jika memproduksi materi
informasi dan berita sendiri. Mengingat penyajian berita atau informasi akan menunjukkan sikap
dan kebijakan redaksi media radio terhadap suatu permasalahan yang berkembang di masyarakat.
Pengelola radio perlu kembali melihat proposal pengajuan ijin atau perpanjangan ijin yang
diajukan dan diserahkan ke K omisi Penyiaran Indonesia (K PI). Mengingat dalam proposal
tersebut tercantum persentase siaran berita atau informasi yang akan disiarkan. A pa yang
diajukan dan ditulis dalam proposal pengajuan ijin tersebut adalah komitmen dan harus
dilaksanakan. J ika tidak dilaksanakan, maka sama saja dengan melanggar komitmen sendiri dan
K PI berhak melakukan pencabutan rekomendasi kelayakan ijin.
Dalam menyiarkan berita koran, penyiar juga cenderung melakukan kesalahan yang

cukup fatal. Pada beberapa kasus penyiar sering membaca langsung berita koran tanpa
melakukan perubahan. Padahal penulisan berita cetak (koran/online) menggunakan gaya bahasa
tulisan, sedangkan gaya penulisan radio menggunakan gaya bertutur. Prinsipnya di radio adalah
menulis untuk telingan, sehingga menggunakan gaya bertutur dengan kalimat aktif dan singkat.
Maka tidak jarang penyiar ngos-ngosan ketika membacakan berita koran di radio. Hal tersebut
terjadi karena kalimat dalam berita koran cenderung panjang dan menggunakan kalimat
bertingkat.
K etika penyiar membacakan berita yang diambil dari koran, entah disengaja atau tidak
sering lupa menyebutkan sumber berita. L upa menyebutkan sumber berita memang seperti
masalah sepele, namun dampaknya cukup besar. Dengan tidak menyebutkan sumber berita maka
secara tidak langsung berarti mengklaim hasil karya orang lain. Tanpa menyebutkan sumber
berita juga dapat diartikan melakukan Plagiarisme (penjiplakan). T entunya hal ini secara
jurnalistik melanggar kode etik jurnalistik. Menyebutkan sumber berita bukan hanya berarti
menghormati hasil karya orang lain, tetapi juga sebagai langkah antisipasi jika berita yang dikutif
ternyata berita salah atau bahkan berita hoax.
Beberapa radio di daerah memang sangat jarang yang memiliki redaksi pemberitaan,
apalagi reporter. Sehingga menyiarkan atau mengambil berita dari koran menjadi hal yang
lumrah. Belum lagi penyiar radio di daerah sebagian besar merupakan pegawai honorer yang di
bayar berdasarkan jam siaran. Sebagai pekerja honor penyiar juga hanya berpikir pekerjaanya
adalah siaran semata. Padahal seharusnya sebagai sebuah industri, radio sepatutnya

memberdayakan SDM yang dimiliki dan tidak hanya menjadikan penyiar sebagai pekerja
honorer. Semestinya radio mencari SDM penyiar yang bias bekerja secara penuh. K etika
memiliki penyiar yang mampu bekerja secara penuh, maka setelah siaran seorang penyiar dapat
melakukan tugas peliputan atau jurnalistik. Dengan adanya SDM penyiar yang memiliki
kemampuan jurnalistik radio akan mampu menyajika informasi dan berita secara cepat dan
aktual.
Ditengah perkembangan media sosial, kecepatan penyajian informasi di media radio
semakin tersisih dan ditinggalkan pendengarnya. Media sosial memberikan informasi yang lebih
cepat dan lengkap dengan foto pendukung, terlepas dari kekurang akuratan data informasi yang
disampaikan dalam media sosial. Pada beberapa kasus, seorang penyiar yang berada di lokasi

kejadian lebih cepat menyebarkan informasi melalui media sosial, daripada melaporkan kejadian
yang ditemui di lapangan ke radio tempatnya bekerja. Memang tidak semua penyiar menyadari
bahwa pekerjaan penyiar yang ditekuni merupakan bagian dari kegiatan jurnalistik. A kibatnya
ketika dilapangan menemukan sebuah peristiwa bernilai berita, seorang penyiar akan cenderung
lebih mendahulukan untuk menyampaikan informasi melalui media sosial daripada melaporkan
informasi tersebut ke radio tempatnya bekerja.