Jurnal Keskap Vol. 14 No 1 Januari 2016.

MODEL PENGELOLAAN SAMPAH ANORGANIK DI SMP N 8 MEDAN
DAN SMP N 3 MEDAN
EFENDI AUGUS
MUJAHIDDIN
Dosen IKS FISIP UMSU

ABSTRACT
Pertumbuhan sampah di Kota Medan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pada
tahun 2011 ke tahun 2012 terjadi peningkatan produksi sampah sebesar 270,3306 ton.
KUPTD Kebersihan Kota Medan memprediksi volume sampah pada tahun 2014 meningkat
menjadi 2.000 ton perhari. Jika persoalan pertumbuhan sampah ini tidak segera di atasi
dengan baik maka akan berdampak pada munculnya banyak persoalan baru. Pada proses
inilah pendidikan dalam bentuk pelatihan pengelolaan sampah dianggap menjadi penting
khususnya bagi mereka generasi muda yang berada di Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana model pengelolaan sampah
anorganik di SMP N 3 Medan dan SMP N 8 Medan? Metode penelitian yang digunakan
adalah metode kualitatif dengan model analisis intraktif sebagaimana yang diajukan oleh
Miles dan Huberman. Sedangkan narasumber atau informant dalam penelitian ini adalah
perwakilan siswa dari setiap kelas yang berjumlah sebanyak 10 orang dan ditambah 2 guru
yang membidangi pengelolaan lingkungan hidup di sekolah. Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah dengan cara FDG dan observasi langsung pada lokasi penelitian. Hasil

penelitian menunjukan bahwa pengelolaan sampah anorganik di SMP N 8 Medan dan SMP N
3 Medan belum terlalu maksimal meski sudah dilakukan pelatihan pengelolaan sampah
anorganik dan manajemen bank sampah di dua sekolah tersebut. Bank Sampah di dua sekolah
ini belum dapat berjalan maksimal karena partisipasi masih minim.
Kata Kunci: Sampah Anorganik, Sekolah Menegah Pertama dan Bank Sampah

PENDAHULUAN
Permasalahan sampah dalam beberapa tahun belakangan ini telah menjadi persoalan
serius khsusunya di Kota Medan. Persoalan sampah kemudian sering dikaitkan dengan
persoalan bertambahnya jumlah penduduk kota dan juga tingkat konsumsi masyarakat
perkotaan yang terus melonjak dan selalu berakibat pada meningkatnya produksi sampah dari
tahun ke tahun. Sampah sering dikatakan sebagai sisa dari satu materi barang yang tidak
diinginkan lagi oleh manusia. Baik dalam skala individu atau rumah tangga. Hal ini yang
kemudian menjadikan manusia atau masyarakat sebagai penghasil (produsen) sampah.

Sampa-sampah hasil produksi manusia biasanya bersifat organik (teruraikan) dan bersifat
anorganik (tidak terurai). Sampah-sampah ini kemudian selalu berakhir pada tempat-tempat
sampah. Baik di setiap rumah tangga, pasar, pusat perbelanjaan, perkantoran, institusi
pendidikan, industri, rumah sakit dan lain sebagainya. Sampah-sampah itu, kemudian
diangkut oleh para pekerja Dinas Kebersihan untuk dipindahkan ke Tempat Pembuangan

Sampah Akhir (TPA).
Di Kota Medan sebagai ibu kota provinsi yang masuk ke dalam katagori kota
metropolitan, sebenarnya juga mengalami persoalan dalam penanganan masalah sampah.
Persoalan sampah yang ada di Kota Medan perlu mendapatkan perhatian yang lebih intensif
dan serius. Hal ini mengingat volume sampah di Kota Medan sudah cukup besar, dan
diperkirakan akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang diperoleh dari
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Medan, terlihat volume sampah yang di hasilkan
masyarakat kota medan dari tahun ke tahun semakin meningkat (Lihat Tabel 1).
Tabel 1: Jumlah sampah Di Kota Medan 2008-2012.
Tahun

2008

2009

2010

2011

2012


587,25

615,1

1 292,99

1 270,3344

1 540 665

Rata-rata
produksi
sampah
perhari (ton)
Sumber Data : Medan Dalam Angka 2009, 2010, 2011, 2012 (BPS Kota Medan)

Dari di atas (Tabel 1) tampak frekwensi peningkatan sampah dari tahun-ketahun. Pada
tahun 2008 ke 2009 terjadi peningkatan produksi sampah sebesar 33,85 ton. Sedangkan dari
tahun 2009 ke tahun 2010 terjadi peningkatan sebesar 677,89 ton. Namun, antara tahun 2010

ke 2011 yang terjadi adalah penurunan produksi sampah sebesar 22,6556 ton. Sedangkan

pada tahun 2011 ke tahun 2012 kembali terjadi peningkatan produksi sampah sebesar
270,3306 ton.
Di satu sisi pemerintah Kota Medan masih menggunakan sistem open dumping
(pembuangan terbuka) dalam penanganan sampah di Kota Medan. Bentuk pembuangan akhir
sampah dengan sistem open dumping dapat dikatagorikan sebagai jenis pembuangan akhir
sampah yang paling sederhana dan murah. Dalam UU No 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah, pasal 44 ayat 2 menyatakan bahwa pemerintah daerah harus menutup
tempat pembuangan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka (open
dumping) paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini.
Undang-undang ini sudah genap berusia 5 (lima) tahun pada tahun 2013 kemarin.
Faktanya masih banyak pemerintah daerah yang belum melakukan penutupan terhadap TPA
dengan model terbuka (open dumping) ini dan menggantikannya dengan model Sanitary
Landfill atau Control Landfill. Alasan utamanya adalah keterbatasan pada sumber daya
manusia dan dana. Kondisi ini diakui langsung oleh Direktorat Penyehatan Lingkungan
Pemukiman (PLP) Kementrian PU. Kementrian PU mengakui sebagian besar TPA masih
dioprasikan secara open dumping, bahkan disebutkan 90 persen TPA masih melakukan
praktik open dumping, dengan alasan keterbatasan SDM dan dana (Indonesia Solid Waste
Newsletter; Edisi 2 Maret 2013, Hlm 2).

Untuk itu, dalam upaya mengurai permasalahan yang dihasilkan dari sampah,
setidaknya dapat dilakukan dengan merubah cara pandangan masyarakat terhadap sampah
agar tidak lagi takut, benci dan jijik. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 UU No 18 Tahun 2008
Tentang Pengelolaan Sampah. Dijelaskan bahwa pengelolaan sampah bertujuan untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah
sebagai sumber daya. Sampah sebagai sumber daya dapat dipahami sebagai upaya
pemanfaatan sampah kembali agar dapat menjadi satu materi (barang) yang berguna. Dalam

banyak hasil penelitian telah ditemukan banyak manfaat yang bisa dihasilkan dari sampah
sebagai satu sumber daya yang dapat diolah dan dimanfaatkan kembali. Misalnya saja;
sampah organik yang dihasilkan oleh rumah tangga dapat dijadikan sebagai pupuk kompos.
Bahkan terdapat satu hasil penelitian menyatakan bahwa sampah organik layak dijadikan
sebagai bahan baku produk obat anti-nyamuk. Sedangkan sampah anorganik biasanya diolah
kembali untuk dijadikan aksesoris –khusus pada sampah jenis plastik, dapat dicincang
kembali dan kemudian dilebur menjadi biji plastik untuk dijadikan sebagai bahan baku dalam
pembuatan barang-barang yang berasal dari plastik.
Meski hasil penelitian dan penemuan tentang manfaat sampah telah banyak
diungkapkan, namun dalam kenyataan sehari-hari, masih banyak sampah yang terabaikan dan
dilihat sebagai satu materi yang sudah tidak memiliki kegunaan. Pada proses inilah
pendidikan dalam bentuk pelatihan pengelolaan sampah dianggap menjadi penting khususnya

bagi mereka generasi muda yang berada di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hasil dari
pelatihan ini nantinya diharapkan memunculkan generasi yang peduli terhadap sampah
dengan mampu memanfaatkan sampah sebagai potensi ekonomi dengan membentuk bank
sampah di sekolah mereka. Sebab sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah harusnya
dapat membentuk insan-insan yang bersikap dan berperilaku peduli terhadap kondisi
lingkungan. Namun pada faktanya, masih banyak sekolah yang belum mampu untuk
mengajarkan pendidikan kebersihan terhadap setiap siswa yang ada di lingkungan sekolah.
Hal ini tentunya sudah menjadi fenomena umum. Apalagi banyak sekolah-sekolah di
Kota Medan belum memiliki tempat sampah yang terpilah-pilah termasuk sekolah SMP N 8
Medan dan SMP N 3 Medan. Di sekolah ini sampah-sampah organik masih banyak yang
bercampur dengan sampah-sampah anorganik bahkan dengan sampah yang berbentuk pecah
belah. Sampah-sampah tersebut juga masih terabaikan dan tidak jarang berserakan pada
halaman dan sudut-sudut lorong sekolah. Sedangkan sampah-sampah yang berada di tong-

tong sampah pasti akan selalu bermuara ke TPA. Jika hal ini terus terjadi tentu akan
menambah beban lingkungan khususnya untuk TPA dengan model open dumping.
Oleh karenanya, anak-anak sekolah yang pada umumnya berusia 12 hingga 14 tahun
dan masih belum mengerti manfaat sampah yang terkadung pada sampah harus mendapatkan
pelatihan pengelolaan sampah dengan pendekatan 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle). Dari
hasil ini nantinya diharapkan akan terbentuk satu manajemen bank sampah yang siap untuk

merubah nilai sampah dari yang tidak ekonomis menjadi memiliki nilai ekonomis. Sehingga
setiap siswa nantinya dapat memiliki tabungan sampah yang bernilai ekonomi dan dapat
membantu kebutuhan harian mereka selama mengejam pendidikan di sekolah tersebut. Atas
dasar latar belakang masalah tersebut maka kami tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul model pengelolaan sampah anorganik di SMP N 8 dan SMP N 3 Medan.

PERUMUSAN MASALAH
Penelitian ini hanya akan melihat model pengelolaan sampah anorganik di SMP
Negeri 8 Medan dan SMP Negeri 3 Medan. Untuk melihat model pengelolaan tersebut akan
diajukan rumusan masalah penelitian yaitu sebagai berikut;
 Bagaimana model pengelolaan sampah di SMP N 8 Medan dan SMP N 3 Medan?

LANDASAN TEORITIS
Pendukung unsur penelitian yang besar peranannya adalah teori karena dengan unsur
konsep teori peneliti mencoba menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang
menjadi pusat perhatiannya. Berikut beberapa landasan teoritis yang dianggap penting untuk
dicantumkan dalam penelitian ini.

a. Sampah Anorganik
Menurut kamus Istilah Lingkungan, sampah adalah bahan yang tidak mempunyai nilai

atau tidak berharga untuk maksud biasa atau utama. (Suwerda, 2012). Menurut UndangUndang No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, sampah diartikan sebagai sisa
kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Sementara Sasmita
(2009) mengutip pendapat Hadiwiyonto mendefenisikan sampah sebagai sisa-sisa bahan yang
mengalami perlakukan-perlakuan, baik karena telah diambil bagian utamanya, atau karena
pengolahan, atau karena sudah tidak ada manfaatnya, yang ditinjau dari segi sosial ekonomis
tidak ada harganya, yang dari segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau
gangguan kelestarian.
Pengertian sampah (Refuse) yang sederhana dapat dilihat dari defenisi yang diberikan
oleh Azwar yaitu sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang
harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan manusia (termasuk
kegiatan industri), tetapi yang bukan biologis (karena kotoran manusia tidak termasuk di
dalamnya) dan umumnya bersifat padat. (Simanungsong: 2003).
Sedangkan penggolongan sampah dapat dibagi ke dalam empat kelompok yaitu; (1)
human excreta yang merupakan bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia,
meliputi tinja (faeces) dan air kencing (urine). (2) Sawage yang merupakan sampah yang
dibuang oleh pabrik maupun rumah tangga. (3) Refuse yang merupakan bahan dari sisa
proses industry atau hasil sampingan kegiatan rumah tangga. (4) Industrial waste yang
merupakan bahan-bahan buangan dari sisa proses industri (Apriadji, Sasmita: 2009).
Berbeda dengan Apriadji dan Sasmita, Suwerda (2012) membagi jenis sampah
menjadi dua jenis. Pertama, sampah anorganik; yaitu sampah yang tidak dapat didegradasi

atau diuraikan secara sempurna melalui proses biologi baik secara aerob maupun secara
anaerob. Sampah anorganik ada yang dapat diolah dan digunakan kembali karena memiliki

nilai ekonomi, seperti plastik, kertas bekas, kain perca, styrofoam. Namun demikian sampah
anorganik ada juga yang tidak dapat diolah sehingga tidak memiliki nilai secara ekonomi
seperti kertas karbon, pampers, pembalut dan lain-lain. Kedua, sampah organik yaitu sampah
yang dapat didegradasi atau diuraikan secara sempurna melalui proses biologi baik secara
aerob maupun secara anaerob. Beberapa contoh yang termasuk sampah organik adalah
berasal dari sampah dapur, sisa-sisa hewan, sampah dari pertanian dan perkebunan.
Jenis-jenis dan karakteristik sampah tersebut juga dapat menjadi rujukan untuk
membedakan dan mengkelompokan tingkat pendapatan satu kota dengan kota lainnya. Hal
ini dikarenakan adanya keterkaitan antara pendapatan ekonomi terhadap jenis dan jumlah
sampah yang ada. Zuska (2008) menjelaskan; “makin banyak orang dan makin banyak
kegiatannya, maka akan banyak pula sampah yang dihasilkannya. Namun perlu
digarisbawahi, bahwa timbulan sampah di negara kaya (berekonomi maju) meski
penduduknya tak selalu lebih banyak dari penduduk di negara miskin jumlah selalu lebih
besar.”
Bagi Zuska (2008) faktor perkambangan ekonomi dalam hal ini, dapat mempengaruhi
besarnya jumlah timbulan sampah. Sebagaimana yang ia kutip dari Word Bank yang
menghubungkan komposisi sampah kota-kota di dunia dengan pendapatan penduduknya.

Slamet dalam Sasmita (2009) menyatakan bahwa secara kuantitas maupun kualitas,
sampah dipengaruhi oleh berbagai kegitan dan taraf hidup masyarakat, antara lain:
1. Jumlah Penduduk: Semakin banyak penduduk, semakin banyak pula sampah yang
dihasilkan
2. Keadaan sosial-ekonomi: semakin tinggi keadaan sosial ekonomi masyarakat,
semakin banyak pula jumlah per kapita sampah yang dibuang.

3. Kemanjuan teknologi: kemajuan teknologi akan menambah jumlah maupun kualitas
sampah, karena pemakaian bahan baku semakin beragam, cara pengepakan produk
dan produk manufaktur yang semakin beragam.
Kondisi jumlah penduduk dan kondisi sosial-ekonomi dalam hal ini pendapatan
masyarakat memang sangat mempengaruhi perkembangan sampah secara kualitas dan
kuantitas. Sampah-sampah dengan jenis anorganik seperti kertas, plastik, kaca dan logam
lebih banyak ditemui di kota-kota dengan pendapatan penduduk yang tinggi. Sedangkan
untuk kota-kota dengan pendapatan menengah ke bawah cenderung lebih banyak
menghasilkan sampah organik. Dengan demikian dapat dikatakan kota dengan penghasilan
menengah kebawah yang lebih banyak menghasilkan unsur sampah organik memerlukan
aktivitas pengumpulan sampah yang lebih sering dibandingkan dengan kota-kota yang
menghasilkan sampah-sampah anorganik lebih banyak.
b. Konsep pengolaan sampah

Permadi (2011) mencatat terdapat beberapa konsep tentang pengelolaan sampah yang
berbeda dalam penggunaannya, antara negara-negara atau daerah. Beberapa yang
paling umum adalah:
Hirarki sampah
Hirarki limbah merujuk kepada “3M” mengurangi sampah, menggunakan
kembali sampah, dan daur ulang, yang mengklasifikasikan strategi pengelolaan
sampah sesuai dengan keinginan dari segi minimalisasi sampah
Perpanjangan

tanggungjawab

penghasil

sampah/Extended

Producer

Responsibility (EPR).
EPR adalah suatu strategi yang dirancang untuk mempromosikan integrasi semua
biaya yang berkaitan dengan produk-produk mereka di seluruh siklus hidup ke
dalam pasar harga produk. Tanggung jawab produser diperpanjang dimaksudkan

untuk menentukan akuntabilitas atas seluruh lifecycle produk dan kemasan
diperkenalkan ke pasar.

Prinsip pengotor membayar
Prinsip pengotor membayar adalah prinsip di mana pihak pencemar membayar
dampak akibatnya kelingkungan. Sehubungan dengan pengelolaan limbah, ini
umumnya merujuk kepada penghasil sampah untuk membayar sesuai dari
pembuangan.
c. Jenis Pengelolaan Sampah
Ada beberapa jenis pengelolaan sampah, Suwerda (2012) membagi pengelolaan
sampah yang dilakukan oleh masyarakat saat ini menjadi empat jenis, antara lain:
1) Pengelolaan sampah rumah tangga dengan sistem tradisional
Adalah Sistem pengelolaan sampah yang banyak dilakukan oleh warga terutama di
pedesaan, di mana sampah dikumpulkan, kemudian dilakukan pembuangan atau
pemusnahaan.
2) Pengelolaan sampah rumah tangga dengan sistem kumpul-nngkut-buang
Adalah sistem pengelolaan sampah di mana sampah yang dihasilkan dari rumah
tangga, dikumpulkan di TPS, kemudian diangkut/diambil petugas, untuk
selanjutnya dilakukan pembuangan di TPA sampah (WALHI, dikutip Suwerda,
2012)
3) Pengelolaan sampah dengan sistem mandiri dan produktif
Adalah sistem pengelolaan sampah yang melibatkan peran serta masyarakat untuk
bersama-sama mengelola sampah. Upaya-upaya pengelolaan sampah dengan
menggerakkan partisipasi masyarakat untuk berperan aktif dalam mengelola
sampah telah banyak dilakukan saat ini. Di wilayah daerah Istimewa Yogyakarta

beberapa

wilayah

mengembangkan

sistem

pengelolaan

sampah

berbasis

masyarakat, seperti di Kampung Sukunan Sleman, Perumahan Minomartani,
Perumahan Tirtasani, Kampung Jetak Sleman, Metes II Sedayu dan lain-lain.
(Suwerda, 2012).
4) Pengelolaan sampah dengan tabungan sampah di bank sampah
Adalah suatu tempat di mana terjadi kegiatan pelayanan terhadap penabung
sampah yang dilakukan oleh teller bank sampah. Ruangan bank sampah dibagi
dalam tiga ruangan/loker tempat menyimpan sampah yang ditabung, sebelum
diambil oleh pengepul/pihak ketiga. (Suwerda, 2012).
Penabung dalam hal ini adalah seluruh warga baik secara individual maupuun
kelompok, menjadi anggota penabung sampah yang dibuktikan dengan adanya
kepemilikan nomer rekening dan buku tabungan sampah, serta berhak atas hasil
tabungan sampahnya. (Suwerda, 2012).

d. Bank Sampah
Dilihat dari pengertiannya, Bank Sampah adalah satu sistem pengelolaan sampah
kering secara kolektif yang mendorong masyarakat untuk berperan serta aktif di dalamnya.
Sistem ini akan menampung, memilah, dan menyalurkan sampah bernilai ekonomi pada
pasar sehingga masyarakat mendapatkan keuntungan ekonomi dari menabung sampah. Jadi
semua kegiatan dalam sistem bank sampah dilakukan dari, oleh dan untuk masyarakat
(Utami, 2013).
Di bank sampah, sistem yang diterapkan adalah sistem mengelola sampah dan
menampung, kemudian memilah dan mendistribusikan sampah ke fasilitas pengolahan
sampah yang lain atau kepada pihak yang membutuhkan. Ini adalah satu wujud dari usaha
pengelolaan sampah dengan menerapkan prinsip 3-R (Reduce, Reuse, Recycle) yang

diterapkan oleh bank sampah. Di sini nilai guna barang yang sudah menjadi sampah dapat
ditingkatkan, yang sebelumnya tidak berguna menjadi barang berguna. Selain itu, usaha
penampungan dan pengolahan sampah dengan mendistribusikan ke fasilitas pengolahan
sampah yang lain atau kepada pihak yang membutuhkan juga bisa membantu pengurangan
intensitas pembuangan sampah ke TPS atau TPA.
Di bank sampah, sebelum sampah disetorkan oleh nasabah sampah harus dipilah. Hal
ini sengaja disyaratkan agar dapat mendorong masyarakat untuk memisahkan dan
mengkelompokkan sampah yang ada di rumah mereka masing-masing. Misalnya,
berdasarkan jenis material; plastik, kertas, kaca dan metal. Perilaku memilah sampah ini akan
menciptakan budaya baru agar masyarakat mau memilah sampah. Dengan demikian sistem
ini dapat dijadikan sebagai alat rekayasa sosial. Sehingga terbentuk satu tatanan atau sistem
pengelolaan sampah yang lebih baik di masyarakat. Kini, menurut Kementerian Lingkungan
Hidup, sudah ada 1.195 bank sampah telah dibangun di 55 kota di seluruh Indonesia. Selain
itu, ada pula bank sampah yang digagas oleh perusahan atau lembaga swadaya masyarakat
(Utami, 2013).
Untuk dapat mendirikan bank sampah menurut Utami (2013) harus melewati lima
tahap yaitu; pertama; tahap sosialisasi awal yang dilakukan untuk memberikan pengenalan
dan pengetahuan dasar mengenai bank sampah. Beberapa hal yang penting disampaikan pada
tahap sosialisasi awal ini adalah pengertian bank sampah, bank sampah sebagai program
nasional, dan alur pengelolaan sampah serta sistem bagi hasil dalam bank sampah. Kedua;
tahap pelatihan teknis. Pada tahap ini masyarakat diberikan penjelasan tentang standarisasi
sistem bank sampah, mekanisme kerja bank sampah dan keuntungan sistem bank sampah.
Ketiga: Tahap Pelaksanaan Sistem Bank Sampah. Tahap ini Bank sampah sudah
dioprasionalkan berdasarkan hari yang telah disepakati. Di mana setiap nasabah nantinya
membawa sampah yang telah dipilah untuk kemudian ditimbang dan ditabung di bank

sampah. Keempat: Tahap Pemantauan dan Evaluasi. Pada tahap ini organisasi masyarakat
harus terus melakukan pendampingan selama sistem terus berjalan. Sehingga bisa membantu
warga untuk lebih cepat mengatasi masalah. Evaluasi ini bertujuan untuk perbaikan mutu dan
kualitas bank sampah secara terus menerus. Dan kelima: Tahap adalah tahap pengembangan.
Pada tahap ini bank sampah sudah mulai dikembangkan menjadi unit simpan pinjam, unit
usaha sembako, koprasi dan pinjaman modal usaha. Pengembangan bank sampah ini
kemudian dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat atau nasabah.
Hadirnya bank sampah dibeberapa kota di Indonesia diharapkan mampu untuk
memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat. Suwerda (2012) mencatat terdapat empat
manfaat yang bisa diharapkan dari hadirnya bank sampah sebagai satu model pengelolaan
sampah. Bank sampah – bank sampah yang ada kemudian diharapkan dapat bermanfaat bagi;
pertama, kesehatan lingkungan. Kedua, sosial ekonomi masyarakat. Ketiga, aspek pendidikan
dan keempat, bagi pemerintah.
Untuk kesehatan lingkungan, hadirnya bank sampah diharapkan mampu untuk
menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat, mengurangi kebiasaan membakar sampah
dan menimbun sampah. Sedangkan untuk aspek sosial ekonomi, bank sampah diharapkan
dapat menambah penghasilan keluarga dari tabungan sampah, dan juga dapat membangun
hubungan relasi sosial yang baik antar masyarakat. Untuk aspek pendidikan, kehadiran bank
sampah diharapkan dapat mengubah kebiasan masyarakat dalam mengelola sampah yang
dihasilkannya. Dengan adanya bank sampah masyarakat diharapkan sudah mampu untuk
memilah sampah sejak dari rumah sebelum ditabung ke bank sampah. Selain itu, dengan
adanya tabungan sampah diharapkan juga dapat menanamkan arti penting menabung bagi
masyarakat. Terakhir, kehadiran bank sampah diharapkan dapat bermanfaat untuk pemerintah
khususnya dalam usaha pengelolaan sampah. Bank sampah dapat dijadikan sebagai satu
alternatif untuk pengelolaan sampah.

e. Pendidikan Formal
Pendidikan formal merupakan pendidikan di sekolah yang diperoleh secara teratur,
sistematis, bertingkat dan mengikuti syarat-syarat yang jelas. Sebagai lembaga pendidikan
formal sekolah lahir dan berkembang secara efektif dan efesien dari dan oleh serta untuk
masyarakat dan merupakan perangkat lembaga yang berkewajiban memberikan pelayanan
kepada

generasi

muda

dalam

mendidik

warga

masyarakat.

(https://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_formal)

Sekolah Menengah Pertama (SMP) juga merupakan bagian dari pendidikan formal
yang didapatkan oleh masyarakat setelah lulus dari pendidikan dasar atau sederjat. Sekolah
Menengah Pertama (SMP) ditempuh dalam waktu tiga tahun, mulai dari kelas 7 sampai kelas
9. Pada tahun ajaran 1994/1995 hingga 2003/2004 sekolah ini pernah disebut sebagai Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Pelajar Sekolah Menengah Pertama umumnya berusia 1315 tahun. (https://id.wikipedia.org/wiki/Sekolah_menengah_pertama).
Kondisi sampah di sekolah-sekolah menengah pertama pada umumnya hampir sama.
Sampah-sampah yang ada di sekolah pada umumnya belum dipilah secara maksimal sesuai
dengan jenisnya. Apalagi sampah-sampah tersebut secara umum masih saja dibuang langsung
ke tempat pembuangan sampah. Sampah belum dikelola secara maksimal dan dimanfaatkan
untuk kebutuhan siswa.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan studi kasus
kolektif, yang artinya peneliti akan mempelajari kasus secara bersamaan, agar dapat meneliti
fenomena, populasi atau kondisi umum. Hal ini dikerenakan untuk melakukan penelitian
tentang model pengelolaan sampah anorganik di SMP 8 Medan dan SMP 3 Medan, maka

harus dilihat bagaimana model pengeloaan sampah yang dilakukan oleh kedua sekolah
menengah pertama tersebut.
SUBJEK PENELITIAN
Dalam penelitian ini, istilah yang digunakan untuk subjek penelitian adalah Informant
dan Key Informant. Hal ini mengacu pada apa yang dituliskan oleh Idrus (2009) tentang
karakteristik penelitian kualitatif. Idrus menjelaskan pada penelitian kualitatif sasaran
penelitian berlaku (disebut) sebagai Subjek penelitian. Dalam menentukan informant, Asumsi
yang dikedepankan adalah bahwa seorang informant adalah seseorang yang dianggap paling
tahu tentang dirinya dan tentang objek penelitian yang akan diteliti oleh si peneliti. Sehingga
peneliti dapat menggali objek yang diteliti pada informannya (Idrus, 2009).
Oleh karenanya, pada penelitian ini, Informant dan key informan yang diwawancarai
akan diambil secara purposive yaitu berdasarkan pertimbangan dan tujuan tertentu.
Sebagaimana dijelaskan oleh Sugiyono (2010), purposive sampling adalah teknik
pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini,
misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau
mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi objek/situasi
sosial yang diteliti.
Total Informant pada penelitian ini berjumlah 10 (sepuluh) orang yang dibagi atas 5
orang siswa SMP 8 Medan dan 5 orang siswa SMP 3 Medan. Sedangkan untuk Key
Informant pada penelitian ini berjumlah 2 (dua) orang yang terdiri atas guru yang membina
lingkungan hidup di sekolah.
TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan dua cara yaitu: pertama, data skunder
dikumpulkan dari berbagai buku-buku, jurnal, laporan penelitian dan blog. Kedua, data

primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam, Fokus Discusion Group (FDG) dan juga
observasi partisipasiaktif yang dilakukan oleh peneliti.

ANALISIS DATA
Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis dengan pendekatan kualitatif model
interaktif sebagaimana yang diajukan oleh Miles dan Huberman, yang terdiri dari tiga hal
utama yaitu: Reduksi data, Penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi, sebagai
suatu hal yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data
dalam bentuk yang sejajar, untuk membangun wawasan umum yang disebut analisis (Idrus,
2009).

LOKASI PENELITIAN
Penelitian ini akan mengambil lokasi di Sekolah Menengah Pertama Negeri 8 Medan
jalan H. Bahrum Jamil/Turi No. 96 Medan. Dan Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Medan
Jalan Pelajar No. 69 Medan.
PEMBAHASAN
Pada umumnya pengelolaan sampah di dua sekolah ini masih menggunakan model
pengelolaan sampah yang sangat umum dilakukan oleh sekolah-sekolah lainnya. Meski di
kedua sekolah ini telah berdiri Manajemen Bank Sampah. Namun sebelum berdirinya
Manajemen Bank Sampah Sekolah, model pengelolaan sampah di dua sekolah ini masih
menggunakan model kumpul-angkut-buang. Padahal komposisi sampah di dua SMP Negeri
ini lebih banyak didominasi oleh sampah jenis anorganik yaitu sampah kertas dan plastik.
Sampah-sampah kertas kebanyakan dihasilkan dari proses belajar mengajar seperti
sisa kerta buku yang sobek dan tidak terpakai lagi. Sedangkan sampah plastik banyak

dihasilkan dari proses belanja jajanan di kantin sekolah dan jajanan dari pedagang kaki lima
di luar sekolah. Setiap harinya sampah-sampah tersebut berserakan di halam sekolah. Sangat
sedikit sekali siswa-siswi yang peduli untuk membuang sampah mereka di tong-tong sampah.
Sampah-sampah yang berserakan di halaman sekolah tersebut baru dapat
dikumpulkan di tempat pembuangan sampah sementara (TPS) sekolah setelah disapu oleh
petugas kebersihan sepulang anak-anak sekolah. Sedangkan sampah di kelas dikumpulkan
setelah disapu oleh petugas piket kebersihan kelas yang bergantian setiap harinya. Jika
dikumpulakn secara akumulatif setiap harinya sampah di kedua sekolah ini dapat terkumpul
lebih kurang sebanyak 8 sampai 10 tong sampah (dengan ukuran tong 100 liter air atau 520 x
520 x 610 mm). Sedangkan sampah organik sangat minim sekali, hanya dari sisa produksi
kantin dan setip harinya hanya terkumpul sekitar lebih kurang satu tong sampah dengan
ukuran yang sama.
Begitupun, pada dasarnya sampah-sampah tersebut tidak terpilah secara maksimal.
Baik antar sampah anorganik (kertas dan plastik) ataupun antara sampah anorganik dan
sampah organik. Hal ini disebabkan oleh minimnya pengetahuan siswa terkait jenis-jenis
sampah dan manfaat dari usaha memilah sampah. Dampaknya adalah sampah yang
diproduksi oleh siswa dan siswi sekolah harus berakhir pada TPS Sekolah sebelum di angkut
Dinas Kebersihan Kota Medan ke TPA Terjun. (Lihat Gambar 1.)

Sumber sampah

Kelas

Kantin/Pedagang Kaki Lima

Tong Sampah Kelas

Lapangan Sekolah

Gambar 1 : Bagan Model
Pengelolaan Sampah
Sebelum berdirinya Bank
Sampah Sekolah

Tong Sampah Sekolah

TPS Sekolah

TPA

Namun setelah bank sampah berdiri di dua sekolah ini model pengelolaan sampah
anorganik secara perlahan mulai berubah. Sebelumnya model pengelolaan sampah hanya
berorientasi pada mekanisme kumpul-angkut-buang seperti yang ditujukan pada gambar 1,
kini sampah secara perlahan sudah mulai ditabung untuk kepentingan siswa atau kelas.
Berdirinya bank sampah di SMP N 8 dan SMP N 3 Medan dilatar belakangi oleh pelatihan
yang sudah dibuat oleh dua orang dosen IKS FISIP UMSU.
Pelatihan tersebut merupakan bagian daripada pengabdian masyarakat yang
dilaksanakan oleh kedua dosen tersebut. Hasilnya, selain berdirinya manajemen bank
sampah, pengetahuan siswa terkait manfaat pengelolaan sampah mulai bertambah.
Pengetahuan tersebut kemudian berdampak pada partisipasi siswa untuk ikut serta membuka
tabungan di Bank Sampah Sekolah. Sampah-sampah yang dibawa siswa untuk ditabung ratarata berasal dari rumah. Sedangkan tabungan sampah untuk kelas berasal dari sampahsampah yang ada di kelas masing-masing.

Meski jumlah tabungan sampah yang dihasilkan tidak terlalu banyak namun beberapa
siswa mengaku manfaat yang dihasilkan dari tabungan sampah ini adalah dapat membantu
untuk menambah uang saku. Sedangkan beberapa perwakilan kelas mengatakan manfaat
yang dihasilkan dari tabungan sampah kelas dapat dijadikan tambahan bagi uang kas kelas.
Selain itu, intensitas siswa untuk membuang sampah sembarangan juga sudah mulai
berkurang di mana mereka secara bersama-sama sudah memilih untuk membuang sampah di
tong sampah yang telah tersedia di dalam kelas.
Sampah-sampah yang ditabung di bank sampah sekolah kemudian dijual oleh
pengurus bank sampah ke pihak pengepul atau ke bank sampah terdekat. Sehingga hasil
penjualan tersebut dapat disalurkan untuk tabungan anggota dan sisanya untuk kas bank
sampah sendiri.
Sampah Sekolah

Sampah Kelas

Sampah Individu
Bank
Sampah
Sekolah

Tabungan Kelas

Tabungan Pribadi
Jual

Pengepul

Bank Sampah Mitra

Gambar 2 : Bagan Model
Pengelolaan Sampah Setelah
berdirinya Bank Sampah
Sekolah

Sedangkan pengelolaan saampah anorganik yang bersifat daur ulang sampah belum
dapat berjalan secara maksimal. Sampah-sampah anorganik jarang sekali diolah menjadi
barang kreasi untuk dijual atau dipergunakan kembali. Hal ini disebabkan minimnya waktu
yang dimiliki pengurus dan siswa untuk mendaur ulang sampah. Faktor lainnya

juga

didorong dengan minimnya skill daur ulang yang dimiliki oleh pengurus bank sampah
sekolah. Sehingga sampah-sampah anorganik yang diproduksi oleh siswa di sekolah hanya

dijual ke pihak pengepul dan bank sampah mitra untuk selanjutnya dikelola menjadi barang
berguna. Selain itu, perlu juga untuk diketahui, meskipun bank sampah sekolah telah berdiri,
partisipasi siswa untuk menabung sampah secara individu masihlah sangat minim dan
karenanya model tabungan sampah hanya mengandalkan model tabungan kelas.

KESIMPULAN
Setelah melakukan analisis data dan pembahasan maka kesimpulan dari penelitian ini
adalah ada dua model pengelolaan sampah anorganik di SMP N 8 Medan dan SMP N 3
Medan. Model pertama, pengelolaan sampah anorganik masih menggunakan model kumpulangkut-buang dari tong sampah, TPS Sekolah dan TPA Terjun. Sedangkan model kedua,
pengelolaan sampah anorganik sudah melalui bank sampah sekolah. Di mana sampah yang
ada di kelas dan atau sampah individu sudah dikumpulkan untuk ditabung di bank sampah.
Hasil tabungan tersebut biasanya digunakan siswa untuk keperluannya sehari-hari termasuk
jajan sekolah.
Begitupun pengelolaan sampah dengan menggunakan bank sampah belum berjalan
secara maksimal. Sebab sampah-sampah yang ada di bank sampah belum diolah menjadi
barang-barang yang siap pakai atau berguna. Selama ini sampah-sampah yang ada di bank
sampah langsung dijual ke pengepul atau ke bank sampah mitra terdekat. Uang hasil
penjualan sampah tersebut digunakan untuk tabungan siswa dan sisa keuntungannya untuk
dimasukkan ke dalam kas bank sampah.

DAFTAR PUSTAKA
BPS Kota Medan. (2009, 2010, 2011, 2012). Medan Dalam Angka. Medan: BPS Kota
Medan.
Idrus, Muhammad. (2009). Metode Penelitian Ilmu Sosial; Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif. (Edisi Kedua). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Permadi, A. Guruh. (2011). Menyulap Sampah Jadi Rupiah; Kita Sukses Meraup Uang
Tanpa Modal. Surabaya: Mumtaz Media.
Sasmita, Wulan Tri Eka. (2009). Evaluasi Program Pengelolaan Sampah Berbasis
Masyarakat; Studi Kasus Pengelolaan Sampah Terpadu Gerakan Peduli Lingkungan
(GPL) Perumahan Pondok Pekayon Indah, Kelurahan Pekayon Jaya Bekasi Selatan.
Skripsi. Bogor: Departement Sains Komunikasi Dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Simangungsong, Rahidun. (2003). Analisis Partisipasi Masyarakat Terhadap Program
Kebersihan Sampah Di Kota Pematang Siantar. Tesis. Medan: Program Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara.
Suwerda, Bambang. (2012). Bank Sampah; Kajian Teori dan Penerapan). Yogyakarta:
Pustaka Rihama.
Utami, Eka. (2013). Buku Panduan Sistem Bank Sampah & 10 Kisah Sukses. Jakarta:
Yayasan Unilever Indonesia.
Zuska, Fikarwin. (2008). Relasi Kuasa Antar Pelaku Dalam Kehidupan Sehari-hari; Studi
Kasus di Kancah Pengelolaan Sampah Kota. Medan: Fisip USU Press.

Perundang-Undangan:
Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2008: Tentang Pengelolaan Sampah.

Sumber Majalah & Web;
Indonesia Solid Waste Newsletter; Edisi 2 Maret 2013, Hlm 2
https://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_formal
https://id.wikipedia.org/wiki/Sekolah_menengah_pertama