Makalah Pencucian Uang tentang Denda Adm
SEJARAH PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG No. 8 TAHUN 2010 TENTANG
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
KHUSUSNYA TERKAIT DENGAN PENGATURAN SANKSI ADMINISTRATIF
OLEH:
HARRY WITJAKSONO
(Ketua Pansus RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Tahun 2010 )
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Selamat Pagi dan Salam Sejahtera bagi kita semua.
Yth.
Bapak Wakil Menteri Keuangan Republik Indonesia
Bapak Gubernur Bank Indonesia (BI)
Bapak Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Bapak Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
Bapak/ibu/Sdr. Pimpinan Bank Pemerintah/Swasta
Bapak/ibu/Sdr. Narasumber
Bapak/Ibu/Sdr. Moderator
Bapak/Ibu/Sdr. Peserta Diseminasi
Perkenankanlah saya menyampaikan secara singkat tentang sejarah pembahasan
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang (TPPU)
Latar belakang lahirnya Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan TPPU
1. Tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas
sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendisendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1
2. Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang memerlukan
landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan
hukum serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana;
3. Penelusuran Harta Kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya oleh lembaga
keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Lembaga keuangan memiliki peranan penting khususnya dalam menerapkan prinsip
mengenali Pengguna Jasa dan melaporkan Transaksi tertentu kepada otoritas
(financial intelligence unit) sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya disampaikan
kepada penyidik;
4. Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan
standar internasional yang menjadi ukuran bagi setiap Negara dalam pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan
terorisme yang dikenal dengan Revised 40 Recommendations dan 9 Special
Recommendations (Revised 40+9) FATF, antara lain mengenai perluasan Pihak
Pelapor (reporting parties) yang mencakup pedagang permata dan perhiasan/ logam
mulia dan pedagang kendaraan bermotor. Dalam mencegah dan memberantas
tindak pidana pencucian uang perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional
melalui forum bilateral atau multilateral agar intensitas tindak pidana yang
menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar dapat
diminimalisasi;
5. Upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang dirasakan belum optimal,
anatara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada Undang-Undang No.
15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003
ternyata masih memberikan ruang
timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya
pemberian
sanksi,
belum
dimanfaatkannya
pergeseran
beban
pembuktian,
keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya,
serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana Undang-Undang
ini.
2
Undang-Undang ini pada tahun 2010 diajukan oleh Pemerintah yang pada periode
DPR RI sebelumnya juga diajukan oleh Pemerintah namun tidak selesai
dibahas.Pada periode 2010 pembahasan RUU tersebut dibahas oleh sebuah Pansus
yang ditetapkan oleh BAMUS dan disahkan dalam sidang Paripurna. Keanggotaan
Pansus terdiri dari lintas Komisi yaitu sebagian besar Anggota Komisi III (Bidang
Hukum dan HAM) dan Komisi XI (Bidang Keuangan dan Perbankan). Hal ini sejalan
dengan keputusan Badan Musyawarah (BAMUS) DPR RI tanggal 25 Februari 2010.
Pansus mulai membahas RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU
mulai pada bulan Mei 2010 dan secara intensif melakukan rapat-rapat baik dalam
forum Panitia Kerja (Panja), Tim Perumus (Timus), maupun Tim Sinkronisasi (Timsin)
pada bulan Juni hingga awal September 2010. Pembahasan RUU tersebut ditingkat
Pansus berlangsung dengan terlebih dahulu melakukan rapat dengar pendapat
dengan pihak-pihak Penegak Hukum antara lain: Kepolisian Republik Indonesia,
Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan
Narkotika Nasional (BNN), Mahkamah Agung, Advokat, Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM), Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai,
Perbankan, Akademisi dan para narasumber lainnya yang cukup penting dan
berkompeten. Pansus juga melakukan kunjungan kerja kebeberapa daerah guna
penyerapan aspirasi dan kunjungan ke negara Prancis dan Australia untuk melihat
pelaksanaan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang di
kedua Negara tersebut.
Karena Undang-Undang Pencegahan dan pemberantasan TPPU ini di inisiasi oleh
Pemerintah maka pihak Dewan melalui Fraksi-Fraksi yang ada mengajukan Daftar
Isian Masalah (DIM) yang merupakan pokok-pokok pembahasan dalam Rapat Panja.
Setelah disepakati hal-hal yang substansi maka pembahasan dilanjutkan ditingkat
Tim Perumus (TIMUS) dan diselesaikan ditingkat Tim Sinkronisasi (TIMSIN) untuk
mensikronkan dengan undang-undang yang lainnya.
Akhirnya setelah melalui proses pembahasan yang cukup alot dan mendalam maka
pada hari Selasa, Tanggal 5 Oktober 2010 hasil pembahsan RUU tersebut yang
telah selesai dilaporkan disidang Paripurna untuk dimintakan persetujuannya dari
seluruh anggota dewan. Setelah disetujui oleh Paripurna maka Undang-Undang
3
tersebut diserahkan oleh DPR RI kepada Presiden untuk ditanda tangani dan dimuat
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164.
Anggota Pansus berjumlah 30 orang terdiri dari 9 Fraksi dengan susunan Pimpinan
Pansus Sebagai berikut:
Ketua
: H. Harry Witjaksono, SH (Partai Demokrat)
Wakil Ketua : Edison Betaubun, SH, MH (Partai Golkar)
Wakil Ketua : H. Irsal Yunus, SE, MM (Partai PDI-Perjuangan)
Wakil Ketua : H. Andi Anzhar Cakra Wijaya, SH (Partai PAN)
Pokok-pokok Materi Yang Diatur
Beberapa pokok materi yang diatur dalam Undang-Undang ini antara lain mengenai:
1. Redefenisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang;
Pada Undang-Undang sebelumnya defenisi pencucian uang adalah “Perbuatan
menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau
perbuatan lainnya atas Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana dengan maksud menyembunyikan, atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta
kekayaan yang sah”. (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana dirubah oleh Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2002) Sementara pada Undang-Undang ini, “Pencucian uang adalah segala
perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini”. (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana Pencucian Uang). Dapat
dilihat bahwa perubahan baru ini memperlebar definisi yang ada sehingga mampu
menaungi perkembangan pencucian uang yang kian pesat.
2. Penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang;
Perluasan dan penambahan sanksi serta dilengkapinya undur-unsur tindak
pidana pada Undang-Undang baru ini, dapat dilihat pada pemberian sanksi per4
jenis tindak pidana serta unsur-unsur yang diperluas agar dapat mencakupi
perkembangan tindak pidana pencucian ini (Pasal 3 sampai pasal 10 UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang).
3. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana untuki pelaku TPPU;
Pengaturan baru mengenai penjatuhan sanksi pidana untuk pelaku TPPU diatur
dalam pasal 3, pasal 4, pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9 dan pasal
10.
4. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi Administratif untuk Pihak Pelapor;
Pengaturan untuk mengatur sanksi administratif diatur dalam pasal 23, pasal 24,
pasal 25, pasal 26, pasal 27, pasal 28, pasal 29 dan pasal 30.
5. Pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa;
Hal ini tercermin dari munculnya penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa
(Know Your Custemer Rule) (Pasal 18 tentang penerapan Prinsip Mengenali
Pengguna
Jasa
Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
2010
tentang
Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang). Pada
pengaturan sebelunya hanya berupa ketentuan Identitas Nasabah yang jelas
pada setiap tingkat transaksi pada Penyedia Jasa Keuangan.( Pasal 17 UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan
terdapat dalam pasal 19 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang)
6. Perluasan Pihak Pelapor;
Pada Undang-Undang baru ini pihak pelapor meliputi 2 (dua) kategori yakni
Penyedia Jasa Keuangan dan Penyedia Barang, dan/atau Jasa Lain.
Sementara pada Undang-Undang sebelumnya hanya terdiri dari Penyedia Jasa
Keuangan. (pasal 17 undang-undang no. 8 Tahun 2010 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang)
7. Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa
lainnya;
Jenis laporan yang dilakukan pada Undang-Undang baru ini meliputi dua jenis
yaitu oleh Penyedia Jasa Keuangan dan Penyedia barang dan/atau Jasa.( pasal
5
23 Undang-Undang nomor 8 tahun 2010) Sementara pada Undang-Undang
sebelumnya hanya terdiri dari Penyedia Jasa Keuangan. (pasal 13 UndangUndang nomor 15 tahun 2002 sebagaimana dirubah oleh Undang-Undang
nomor 25 tahun 2003) Hal ini juga diikuti dengan ketentuan baru transaksi yang
dikecualikan untuk dilaporkan yakni: transaksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa
Keuangan dengan Pemerintah dan Bank Sentral, transaksi untuk membayar gaji
atau pensiun, dan transaksi lain yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau atas
permintaan Penyedia Jasa Keuangan yang disetujui oleh PPATK sementara pada
Undang-Undang sebelumnya meliputi: transaksi antar bank,transaksi dengan
pemerintah, transaksi dengan bank sentral, pembayaran gaji, pensiun, dan
transaksi lainnya yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau atas permintaan
Penyedia Jasa Keuangan yang disetujui oleh PPATK.
8. Penataan mengenai Pengawasan Kapatuhan;
Bila pada Undang-Undang sebelumnya tidak didapati sanksi bagi pihak pelapor
terkait pelaporan transaksi mencurigakan, maka pada Undang-Undang baru ini
terdapat ketentuan tersebut, yakni pada Bagian Keempat, Pengawasan
Kepatutan di BAB IV mengenai Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan,
Ketentuan pasal 31 hingga 34, Undang-Undang nomor 8 tahun 2010 .
Bahwa instansi yang berwenang melakukan pengawasan kepatuhan atas
kewajiban pihak pelapor adalah Lembaga Pengawas dan Pengatur dan/atau
PPATK.
9. Pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda transaksi;
Pemberian kewenangan pada pihak pelapor untuk menunda transaksi merupakan
ketentuan baru yang tidak terdapat pada Undang-Undang sebelumnya. Ketentuan
ini memberikan kewenangan pihak pelapor untuk menunda transaksi selama
maksimal 5 (lima) hari berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang baru ini,
dan harus melaporkan pada PPATK dalam kurun waktu maksimal 1x24 jam
terhitung penundaan transaksi tersebut dilakukan.(pasal 6 ayat 5)
10. Perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan
uang tunai dan instrumen pembayaran lain kedalam atau ke luar daerah pabean;
6
Pada undang-undang baru ini dilakukan perluasan direktorat jenderal Bea dan
Cukai untuk meminta informasi mengenai pembawaan uang tunai dalam mata
uang rupiah dan/atau mata uang asing, dan/atau dalam bentuk instrumen lain
yang senilai paling sedikit 100.000.000 (seratus juta rupiah). Serta ketantuan
denda (administratif) sebesar 10% apabila orang yang membawa tersebut tidak
melaporkan ataupun melaporkan tidak dengan jumlah sebenarnya pada Bea dan
Cuakai. (pasal 34, pasal 35 dan pasal36 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian
Uang)
11. Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik
dugaan tindak pidana pencucian uang;
dimana diatur bahwa Penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh
penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan
peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang
Pencegahan dan pemberantasan TPPU. Adapun “penyidik tindak pidana asal”
yang disepakati dalam undang-undang ini adalah pejabat dari instansi yang oleh
undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Penyidik tindak pidana asal
dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan
bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang saat
melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya. (pasal 74
Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
2010
tentang
Pencegahan
dan
Pemberantasan Tidak Pidana Pencucian Uang)
12. Perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan
PPATK ;
Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
tindak pidana pencucian uang, mengatur bahwa dalam hal ditemukan adanya
indikasi tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lain, PPATK
menyerahkan Hasil Pemeriksaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia
7
dan Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi dan
tembusannya
disampaikan
kepada
penyidik
lain
sesuai
kewenangannya
berdasarkan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU ini.
13. Penataan kembali kelembagaan PPATK;
Kelembagaan PPATK kembali disusun ulang oleh undang-undang baru ini,
struktur serta “konsistensi”-nya sebagai lembaga independen kembali dikukuhkan
dengan kehadiran Pasal 37 ayat (1) yang menyatakan “PPATK dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari
campur tangan dan pengaruh kekuasaan manapun” serta pembenahan
struktur organisasi dan keuangan pada undang-undang ini. Namun tidak dapat
dipungkiri “nafas” independensi tersebut seolah-olah ditahan oleh ketentuan
Pasal 53 yang menyatakan kepala dan wakil kepala PPATK diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden. Karena dalam khasana teoritis suatu lembaga
negara yang dikonstruksikan independen, pimpinan lembaga negara tersebut
tidak dapat semena-mena diberhentikan ataupun diangkat oleh satu cabang
keuasaan
(dalam
hal
ini
Presiden)
namun
melalui
proses cheks
and
balances oleh cabang kekuasaan lain (dalam hal ini DPR/Parlemen) serta proses
tersebut haruslah dikukuhkan dalam Undang-Undang yang terkait.
14. Penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan
sementara Transaksi;
Penambahan beberapa kewenangan baru pada PPATK termasuk ketentuan
mengenai penghentian sementara transaksi yang mencurigakan oleh lembaga ini
dapat ditemui dalam undang-undang baru ini.( pasal 41 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana
Pencucian Uang)
15. Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana pencucian uang;
Hukum acara pada pemeriksaan tindak pidana pencucian uang ini dilakukan
secara lebih komprehensif, hal ini dapat dilihat pada ketentuan baru dari Pasal 68
sampai dengan Pasal 82 Undang-Undang baru ini dengan ketentuan Pasal 30
pasal 31, pasal 32, pasal 33, pasal 34, pasal 35, pasal 36, pasal 37 dan Pasal
8
38 undang-undang nomor 15 tahun 2002 Jo Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2003.
16. Pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana.
Pengaturan yang lebih rigid mengenai penyitaan harta kekayaan yang bersal dari
tindak pidana dalam kasus pencucian uang (pasal 2 Undang-undang No. 8
Tahun 2010)
Sehubungan dengan acara Diseminasi ini yang pada dasarnya berfokus pada
penerapan denda administratif bagi pihak pelapor yang tidak melakukan
kewajibannya untuk menyampaikan dan melaporkan. Hal mana memang sudah
diamanahkan oleh Undang-Undang. Undang-Undang (pasal 31) menetapkan
instansi yang berwenang melakukan pengawasan kepatuhan atas kewajiban
pelaporan bagi pihak pelapor dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur
dan/atau PPATK. Pada saat pembahasan Undang-Undang tersebut belum lahir
Otoritas Jasa Keuangan. Sebagaimana diketahui setelah lahirnya undang-undang
Pencegahan dan pemberantasan TPPU OJK terbentuk. Menurut saya PPATK
dapat bertindak sebagai pihak yang berwenang menerapkan denda administrasi
terhadap pihak pelapor karena PPATK melakukan tugas secara rutin melakukan
pengawasan transaksi keuangan yang mencurigakan dan pada proses berikutnya
PPATK dapat merekomendasikan pencabutan izin usaha pelapor pada pihak
yang berwenang apabila ada indikasi kuat tindak pidana.
Demikianlah penyampaian pendapat saya tentang Sejarah Penyusunan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang khususnya Terkait Dengan Pengaturan Sanksi
Administratif.
Terima kasih.
Wassallamuallaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Jakarta, 24 November 2014
9
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
KHUSUSNYA TERKAIT DENGAN PENGATURAN SANKSI ADMINISTRATIF
OLEH:
HARRY WITJAKSONO
(Ketua Pansus RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Tahun 2010 )
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Selamat Pagi dan Salam Sejahtera bagi kita semua.
Yth.
Bapak Wakil Menteri Keuangan Republik Indonesia
Bapak Gubernur Bank Indonesia (BI)
Bapak Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Bapak Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
Bapak/ibu/Sdr. Pimpinan Bank Pemerintah/Swasta
Bapak/ibu/Sdr. Narasumber
Bapak/Ibu/Sdr. Moderator
Bapak/Ibu/Sdr. Peserta Diseminasi
Perkenankanlah saya menyampaikan secara singkat tentang sejarah pembahasan
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang (TPPU)
Latar belakang lahirnya Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan TPPU
1. Tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas
sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendisendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1
2. Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang memerlukan
landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan
hukum serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana;
3. Penelusuran Harta Kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya oleh lembaga
keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Lembaga keuangan memiliki peranan penting khususnya dalam menerapkan prinsip
mengenali Pengguna Jasa dan melaporkan Transaksi tertentu kepada otoritas
(financial intelligence unit) sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya disampaikan
kepada penyidik;
4. Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan
standar internasional yang menjadi ukuran bagi setiap Negara dalam pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan
terorisme yang dikenal dengan Revised 40 Recommendations dan 9 Special
Recommendations (Revised 40+9) FATF, antara lain mengenai perluasan Pihak
Pelapor (reporting parties) yang mencakup pedagang permata dan perhiasan/ logam
mulia dan pedagang kendaraan bermotor. Dalam mencegah dan memberantas
tindak pidana pencucian uang perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional
melalui forum bilateral atau multilateral agar intensitas tindak pidana yang
menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar dapat
diminimalisasi;
5. Upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang dirasakan belum optimal,
anatara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada Undang-Undang No.
15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003
ternyata masih memberikan ruang
timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya
pemberian
sanksi,
belum
dimanfaatkannya
pergeseran
beban
pembuktian,
keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya,
serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana Undang-Undang
ini.
2
Undang-Undang ini pada tahun 2010 diajukan oleh Pemerintah yang pada periode
DPR RI sebelumnya juga diajukan oleh Pemerintah namun tidak selesai
dibahas.Pada periode 2010 pembahasan RUU tersebut dibahas oleh sebuah Pansus
yang ditetapkan oleh BAMUS dan disahkan dalam sidang Paripurna. Keanggotaan
Pansus terdiri dari lintas Komisi yaitu sebagian besar Anggota Komisi III (Bidang
Hukum dan HAM) dan Komisi XI (Bidang Keuangan dan Perbankan). Hal ini sejalan
dengan keputusan Badan Musyawarah (BAMUS) DPR RI tanggal 25 Februari 2010.
Pansus mulai membahas RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU
mulai pada bulan Mei 2010 dan secara intensif melakukan rapat-rapat baik dalam
forum Panitia Kerja (Panja), Tim Perumus (Timus), maupun Tim Sinkronisasi (Timsin)
pada bulan Juni hingga awal September 2010. Pembahasan RUU tersebut ditingkat
Pansus berlangsung dengan terlebih dahulu melakukan rapat dengar pendapat
dengan pihak-pihak Penegak Hukum antara lain: Kepolisian Republik Indonesia,
Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan
Narkotika Nasional (BNN), Mahkamah Agung, Advokat, Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM), Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai,
Perbankan, Akademisi dan para narasumber lainnya yang cukup penting dan
berkompeten. Pansus juga melakukan kunjungan kerja kebeberapa daerah guna
penyerapan aspirasi dan kunjungan ke negara Prancis dan Australia untuk melihat
pelaksanaan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang di
kedua Negara tersebut.
Karena Undang-Undang Pencegahan dan pemberantasan TPPU ini di inisiasi oleh
Pemerintah maka pihak Dewan melalui Fraksi-Fraksi yang ada mengajukan Daftar
Isian Masalah (DIM) yang merupakan pokok-pokok pembahasan dalam Rapat Panja.
Setelah disepakati hal-hal yang substansi maka pembahasan dilanjutkan ditingkat
Tim Perumus (TIMUS) dan diselesaikan ditingkat Tim Sinkronisasi (TIMSIN) untuk
mensikronkan dengan undang-undang yang lainnya.
Akhirnya setelah melalui proses pembahasan yang cukup alot dan mendalam maka
pada hari Selasa, Tanggal 5 Oktober 2010 hasil pembahsan RUU tersebut yang
telah selesai dilaporkan disidang Paripurna untuk dimintakan persetujuannya dari
seluruh anggota dewan. Setelah disetujui oleh Paripurna maka Undang-Undang
3
tersebut diserahkan oleh DPR RI kepada Presiden untuk ditanda tangani dan dimuat
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164.
Anggota Pansus berjumlah 30 orang terdiri dari 9 Fraksi dengan susunan Pimpinan
Pansus Sebagai berikut:
Ketua
: H. Harry Witjaksono, SH (Partai Demokrat)
Wakil Ketua : Edison Betaubun, SH, MH (Partai Golkar)
Wakil Ketua : H. Irsal Yunus, SE, MM (Partai PDI-Perjuangan)
Wakil Ketua : H. Andi Anzhar Cakra Wijaya, SH (Partai PAN)
Pokok-pokok Materi Yang Diatur
Beberapa pokok materi yang diatur dalam Undang-Undang ini antara lain mengenai:
1. Redefenisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang;
Pada Undang-Undang sebelumnya defenisi pencucian uang adalah “Perbuatan
menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau
perbuatan lainnya atas Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana dengan maksud menyembunyikan, atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta
kekayaan yang sah”. (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana dirubah oleh Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2002) Sementara pada Undang-Undang ini, “Pencucian uang adalah segala
perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini”. (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana Pencucian Uang). Dapat
dilihat bahwa perubahan baru ini memperlebar definisi yang ada sehingga mampu
menaungi perkembangan pencucian uang yang kian pesat.
2. Penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang;
Perluasan dan penambahan sanksi serta dilengkapinya undur-unsur tindak
pidana pada Undang-Undang baru ini, dapat dilihat pada pemberian sanksi per4
jenis tindak pidana serta unsur-unsur yang diperluas agar dapat mencakupi
perkembangan tindak pidana pencucian ini (Pasal 3 sampai pasal 10 UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang).
3. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana untuki pelaku TPPU;
Pengaturan baru mengenai penjatuhan sanksi pidana untuk pelaku TPPU diatur
dalam pasal 3, pasal 4, pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9 dan pasal
10.
4. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi Administratif untuk Pihak Pelapor;
Pengaturan untuk mengatur sanksi administratif diatur dalam pasal 23, pasal 24,
pasal 25, pasal 26, pasal 27, pasal 28, pasal 29 dan pasal 30.
5. Pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa;
Hal ini tercermin dari munculnya penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa
(Know Your Custemer Rule) (Pasal 18 tentang penerapan Prinsip Mengenali
Pengguna
Jasa
Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
2010
tentang
Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang). Pada
pengaturan sebelunya hanya berupa ketentuan Identitas Nasabah yang jelas
pada setiap tingkat transaksi pada Penyedia Jasa Keuangan.( Pasal 17 UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan
terdapat dalam pasal 19 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang)
6. Perluasan Pihak Pelapor;
Pada Undang-Undang baru ini pihak pelapor meliputi 2 (dua) kategori yakni
Penyedia Jasa Keuangan dan Penyedia Barang, dan/atau Jasa Lain.
Sementara pada Undang-Undang sebelumnya hanya terdiri dari Penyedia Jasa
Keuangan. (pasal 17 undang-undang no. 8 Tahun 2010 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang)
7. Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa
lainnya;
Jenis laporan yang dilakukan pada Undang-Undang baru ini meliputi dua jenis
yaitu oleh Penyedia Jasa Keuangan dan Penyedia barang dan/atau Jasa.( pasal
5
23 Undang-Undang nomor 8 tahun 2010) Sementara pada Undang-Undang
sebelumnya hanya terdiri dari Penyedia Jasa Keuangan. (pasal 13 UndangUndang nomor 15 tahun 2002 sebagaimana dirubah oleh Undang-Undang
nomor 25 tahun 2003) Hal ini juga diikuti dengan ketentuan baru transaksi yang
dikecualikan untuk dilaporkan yakni: transaksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa
Keuangan dengan Pemerintah dan Bank Sentral, transaksi untuk membayar gaji
atau pensiun, dan transaksi lain yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau atas
permintaan Penyedia Jasa Keuangan yang disetujui oleh PPATK sementara pada
Undang-Undang sebelumnya meliputi: transaksi antar bank,transaksi dengan
pemerintah, transaksi dengan bank sentral, pembayaran gaji, pensiun, dan
transaksi lainnya yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau atas permintaan
Penyedia Jasa Keuangan yang disetujui oleh PPATK.
8. Penataan mengenai Pengawasan Kapatuhan;
Bila pada Undang-Undang sebelumnya tidak didapati sanksi bagi pihak pelapor
terkait pelaporan transaksi mencurigakan, maka pada Undang-Undang baru ini
terdapat ketentuan tersebut, yakni pada Bagian Keempat, Pengawasan
Kepatutan di BAB IV mengenai Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan,
Ketentuan pasal 31 hingga 34, Undang-Undang nomor 8 tahun 2010 .
Bahwa instansi yang berwenang melakukan pengawasan kepatuhan atas
kewajiban pihak pelapor adalah Lembaga Pengawas dan Pengatur dan/atau
PPATK.
9. Pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda transaksi;
Pemberian kewenangan pada pihak pelapor untuk menunda transaksi merupakan
ketentuan baru yang tidak terdapat pada Undang-Undang sebelumnya. Ketentuan
ini memberikan kewenangan pihak pelapor untuk menunda transaksi selama
maksimal 5 (lima) hari berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang baru ini,
dan harus melaporkan pada PPATK dalam kurun waktu maksimal 1x24 jam
terhitung penundaan transaksi tersebut dilakukan.(pasal 6 ayat 5)
10. Perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan
uang tunai dan instrumen pembayaran lain kedalam atau ke luar daerah pabean;
6
Pada undang-undang baru ini dilakukan perluasan direktorat jenderal Bea dan
Cukai untuk meminta informasi mengenai pembawaan uang tunai dalam mata
uang rupiah dan/atau mata uang asing, dan/atau dalam bentuk instrumen lain
yang senilai paling sedikit 100.000.000 (seratus juta rupiah). Serta ketantuan
denda (administratif) sebesar 10% apabila orang yang membawa tersebut tidak
melaporkan ataupun melaporkan tidak dengan jumlah sebenarnya pada Bea dan
Cuakai. (pasal 34, pasal 35 dan pasal36 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian
Uang)
11. Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik
dugaan tindak pidana pencucian uang;
dimana diatur bahwa Penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh
penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan
peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang
Pencegahan dan pemberantasan TPPU. Adapun “penyidik tindak pidana asal”
yang disepakati dalam undang-undang ini adalah pejabat dari instansi yang oleh
undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Penyidik tindak pidana asal
dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan
bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang saat
melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya. (pasal 74
Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
2010
tentang
Pencegahan
dan
Pemberantasan Tidak Pidana Pencucian Uang)
12. Perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan
PPATK ;
Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
tindak pidana pencucian uang, mengatur bahwa dalam hal ditemukan adanya
indikasi tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lain, PPATK
menyerahkan Hasil Pemeriksaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia
7
dan Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi dan
tembusannya
disampaikan
kepada
penyidik
lain
sesuai
kewenangannya
berdasarkan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU ini.
13. Penataan kembali kelembagaan PPATK;
Kelembagaan PPATK kembali disusun ulang oleh undang-undang baru ini,
struktur serta “konsistensi”-nya sebagai lembaga independen kembali dikukuhkan
dengan kehadiran Pasal 37 ayat (1) yang menyatakan “PPATK dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari
campur tangan dan pengaruh kekuasaan manapun” serta pembenahan
struktur organisasi dan keuangan pada undang-undang ini. Namun tidak dapat
dipungkiri “nafas” independensi tersebut seolah-olah ditahan oleh ketentuan
Pasal 53 yang menyatakan kepala dan wakil kepala PPATK diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden. Karena dalam khasana teoritis suatu lembaga
negara yang dikonstruksikan independen, pimpinan lembaga negara tersebut
tidak dapat semena-mena diberhentikan ataupun diangkat oleh satu cabang
keuasaan
(dalam
hal
ini
Presiden)
namun
melalui
proses cheks
and
balances oleh cabang kekuasaan lain (dalam hal ini DPR/Parlemen) serta proses
tersebut haruslah dikukuhkan dalam Undang-Undang yang terkait.
14. Penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan
sementara Transaksi;
Penambahan beberapa kewenangan baru pada PPATK termasuk ketentuan
mengenai penghentian sementara transaksi yang mencurigakan oleh lembaga ini
dapat ditemui dalam undang-undang baru ini.( pasal 41 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana
Pencucian Uang)
15. Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana pencucian uang;
Hukum acara pada pemeriksaan tindak pidana pencucian uang ini dilakukan
secara lebih komprehensif, hal ini dapat dilihat pada ketentuan baru dari Pasal 68
sampai dengan Pasal 82 Undang-Undang baru ini dengan ketentuan Pasal 30
pasal 31, pasal 32, pasal 33, pasal 34, pasal 35, pasal 36, pasal 37 dan Pasal
8
38 undang-undang nomor 15 tahun 2002 Jo Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2003.
16. Pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana.
Pengaturan yang lebih rigid mengenai penyitaan harta kekayaan yang bersal dari
tindak pidana dalam kasus pencucian uang (pasal 2 Undang-undang No. 8
Tahun 2010)
Sehubungan dengan acara Diseminasi ini yang pada dasarnya berfokus pada
penerapan denda administratif bagi pihak pelapor yang tidak melakukan
kewajibannya untuk menyampaikan dan melaporkan. Hal mana memang sudah
diamanahkan oleh Undang-Undang. Undang-Undang (pasal 31) menetapkan
instansi yang berwenang melakukan pengawasan kepatuhan atas kewajiban
pelaporan bagi pihak pelapor dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur
dan/atau PPATK. Pada saat pembahasan Undang-Undang tersebut belum lahir
Otoritas Jasa Keuangan. Sebagaimana diketahui setelah lahirnya undang-undang
Pencegahan dan pemberantasan TPPU OJK terbentuk. Menurut saya PPATK
dapat bertindak sebagai pihak yang berwenang menerapkan denda administrasi
terhadap pihak pelapor karena PPATK melakukan tugas secara rutin melakukan
pengawasan transaksi keuangan yang mencurigakan dan pada proses berikutnya
PPATK dapat merekomendasikan pencabutan izin usaha pelapor pada pihak
yang berwenang apabila ada indikasi kuat tindak pidana.
Demikianlah penyampaian pendapat saya tentang Sejarah Penyusunan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang khususnya Terkait Dengan Pengaturan Sanksi
Administratif.
Terima kasih.
Wassallamuallaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Jakarta, 24 November 2014
9