ASEAN Human Rights Body Akankah Efektif

ASEAN Human Rights Body: Akankah Efektif?
Beberapa Catatan Awal dari Perspektif Indonesia *
Arie Afriansyah **
Abstrak
On 21 November 2007, there was a very important moment when ASEAN’s leaders concluded a charter,
ASEAN Charter (the Charter). The Charter is not only provides legal basis for ASEAN’s legal personality
but also provides other new legal norms for its member states. One of the new legal norms which need to be
discussed is the establishment of ASEAN’s Human Rights Body (the Body). This obligation is stipulated in
Article 14 of the Charter where it stresses the commitment of member states in human rights protection.
However, the establishment of the Body is an interesting phenomenon because of many pessimistic opinions
about ASEAN’s capability in protecting human rights due to its notorious reputation over this matter. This
article tries to examine the development of the Body’s establishment within the human rights mechanism in
ASEAN. As the initial hypotheses, it can be argued that this Body will not be effective as long as some areas
of concern are not well settled such as standards of human rights values in ASEAN states, National Human
Rights Institutions’ cooperation, and the procedure of exhaustion of local remedies in the Terms of
Reference as the “article of association” of the Body.

Latar Belakang Masalah
Pada tanggal 21 November 2007, terjadi sebuah peristiwa yang sangat penting dalam perkembangan sejarah
di Asia Tenggara ketika para pemimpin ASEAN menyepakati dan menandatangani sebuah Piagam ASEAN
(selanjutnya disebut Piagam). Piagam ini tidak hanya memberikan dasar hukum untuk status hukum ASEAN

akan tetapi juga memberikan norma-norma hukum baru lainnya bagi Negara anggotanya. Salah satu norma
hukum baru tersebut adalah mandat didirikannya sebuah Badan Hak Asasi Manusia (HAM) ASEAN
(selanjutnya disebut Badan HAM ASEAN). Mandat ini terdapat dalam Pasal 14 Piagam dimana pasal
tersebut menekankan akan komitmen Negara anggota ASEAN dalam usahanya melindungi HAM. Akan
tetapi, pendirian Badan HAM ASEAN ini menjadi begitu fenomenal karena begitu banyak pendapat yang
pesimis akan kemampuan ASEAN dalam memberikan perlindungan terhadap HAM jika melihat reputasi
yang buruk dari ASEAN akan hal ini.
Perpindahan individu yang melewati batas wilayah Negara di kawasan ini telah terjadi karena banyaknya
pelanggaran terhadap HAM antara lain perdagangan manusia, pengungsi dan pencari suaka yang bergerak
dalam mencari perlindungan dari penganiayaan atau pencarian atas kehidupan ekonomi yang lebih baik di
Negara ASEAN yang lebih makmur dimana mereka seringkali dilanggar HAMnya sebagai buruh migran.
Permasalahan yang terakhir disebutkan merupakan permasalahan yang sangat erat berhubungan dengan
pengalaman yang dialami oleh buruh migran Indonesia di Malaysia atau Singapura.
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa meskipun adanya semangat yang tinggi atas perlindungan HAM
di ASEAN, Piagam memiliki kekuatan yang sangat lemah dalam menghentikan pelanggaran serius terhadap
HAM dikarenakan oleh kebijakan ASEAN “non intervensi” dalam hubungannya satu dengan lainnya. Salah
satu contoh terbaru akan hal tersebut adalah situasi di Myanmar. Pelanggaran yang serius terhadap HAM
yang terus berlanjut di Myanmar telah menunjukkan bagaimana ASEAN tidak dapat melakukan apapun
untuk menghentikan pelanggaran tersebut meskipun Myanmar adalah anggota dari ASEAN. 1 Terlebih lagi,
Piagam yang memiliki nilai-nilai perlindungan HAM akan kehilangan kredibilitasnya sejak awal prosesnya

ketika Negara yang melakukan pelanggaran HAM menandatangani dan mungkin meratifikasinya.
*

Makalah yang disampaikan pada Seminar Internasional “SEBUMI”: Internasionalisasi Rumpun Melayu Menuju
Kegemilangan Bersama. Kerjasama Universitas Indonesia dan Universiti Kebangsaan Malaysia, 24-25 Juni 2008, Kampus UI,
Depok, Jawa Barat, Indonesia.
**
Dosen pada Bidang Studi Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
1
Lihat Mann Bunyanunda, “Burma, ASEAN, and Human Rights: The Decade of Constructive Engagement, 1991-2001”
(2002) 2 Stanford Journal of East Asian Affairs 118-135.

1

Terhadap hal-hal tersebut diatas adalah kenyataan yang sangat sulit dibantah keberadaannya. Akan tetapi
perlu juga untuk diingat bahwa ASEAN telah melakukan berbagai langkah-langkah atau usaha-usaha untuk
mempromosikan HAM di kawasannya melalui mekanisme ASEAN. Usaha-usaha tersebut untuk
mempromosikan HAM pertama kali secara signifikan terdapat dalam the 2004 Vientiane Action Programme
dengan menempatkan perlindungan HAM sebagai salah satu kerjasama ASEAN yang diimplementasikan
pada program jangka menengah dalam pembentukan Komunitas ASEAN (ASEAN community). Pada

perkembangan terakhir di dalam Piagam, HAM menempati posisi prioritas ketika terdapat mandat untuk
pendirian sebuah Badan HAM ASEAN.
Hal tersebut diatas dapat dikatakan sebagai komitmen yang sangat tinggi dari para Negara anggota ASEAN
untuk mengakui dan mempromosikan nilai-nilai universal HAM. Piagam diharapkan menjadi dasar hukum
bagi ASEAN sebagai organisasi internasional yang dianggap sebagai konstitusinya. Oleh karena itu, HAM
telah dianggap sebagai norma tertinggi di ASEAN dan Negara anggotanya harus mematuhinya. Selain itu,
perlu dicatat bahwa Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand telah memiliki Badan HAM Nasional yang
independen (national human rights institutions/NHRIs) sebelum diadopsinya Piagam. 2 Hal ini menunjukkan
bahwa promosi HAM dikawasan ASEAN lebih baik daripada apa yang diperkirakan oleh beberapa
pengamat.
Meskipun adanya kepercayaan positif seperti yang telah disebutkan diatas, masih banyak tantangan yang
harus dihadapi ASEAN dalam usahanya mendirikan Badan HAM ASEAN. Dan bahkan apabila Badan
HAM ASEAN ini telah didirikan, apakah dapat dipastikan efektifitasnya sebagai pelindung HAM di
kawasan ini. Dalam permasalahan itulah, makalah ini akan mempelajari perkembangan dari pendirian Badan
HAM ASEAN dalam mekanisme HAM ASEAN. Dalam perjalanannnya, dapat diperkirakan bahwa Badan
HAM ASEAN ini tidak akan efektif apabila beberapa pertimbangan atau permasalahan tidak diselesaikan
dengan baik. Hal tersebut antara lain mengenai standar nilai-nilai HAM di ASEAN, praktek prinsip “nonintervensi”, kerjasama Badan HAM nasional, dan prosedur “exhaustion of local remedies” dalam Terms of
Reference sebagai anggaran dasar Badan HAM ASEAN.
Pembahasan
Sejarah ASEAN

The Association of South East Asian Nations (ASEAN) adalah organisasi regional yang pada awalnya
didirikan oleh Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand pada tanggal 8 Agustus 1967 dengan
sebuah Deklarasi, Deklarasi Bangkok. ASEAN pada saat itu dirancang sebagai alat untuk usaha bersama
komunitas Asia Tenggara untuk bangkit dari era penjajahan mengatasi permasalahan ekonomi, buta huruf
dan kemiskinan. 3
ASEAN pada saat ini berumur lebih dari 40 tahun dan pada periode tersebut ASEAN telah beroperasi tanpa
adanya suatu dasar hukum yang formal. Oleh karena itu, banyak pengamat menyatakan bahwa ASEAN
bukanlah sebuah organisasi internasional yang memiliki kapasitas hukum secara internasional. Hal ini dapat
dilihat pada dokumen pendirian ASEAN hanyalah sebuah Deklarasi singkat dimana tidak memiliki kriteria
keanggotaan dan hanya menyatakan lokasinya serta prinsip-prinsip umum dalam berinteraksi diantara
sesama Negara anggota. 4 Selama waktu tersebut itu juga, ASEAN telah membuat beberapa perjanjian 5 yang
mengikat terhadap Negara anggotanya. Akan tetapi meskipun perjanjian tersebut mengikat, ASEAN tidak
memiliki institusi pusat untuk melaksanakan dan mengawasi kepatuhan akan perjanjian-perjanjian tersebut.
2

Hal ini dapat dilihat dari keanggotaan institusi-institusi tersebut pada the National Human Rights Institutions Forum di
Kawasan Asia Pacifik. Tersedia di http://www.asiapacificforum.net/members/apf-member-categories, diakses 20 Februari 2008.
3
Philippe Sands and Pierre Klein, Bowett’s of International Institutions, (fifth edition, 2001) 229.
4

The ASEAN Declaration (Bangkok Declaration), Bangkok, 8 August 1967. Tersedia di http://www.aseansec.org/1212.
htm, diakses 20 Februari 2008.
5
The Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia, The Southeast Asia Nuclear Weapons-Free Zone treaty, The
agreement on the ASEAN Free Trade Area dan The agreement on trans-boundary haze pollution.

2

Terlebih lagi, ASEAN tidak memiliki mekanisme yang baik dan berwenang untuk mengatasi sengketa
diantara Negara anggota.6
Sekretariat ASEAN sebagai organ eksekutifnya, tetap memiliki kekuatan yang lemah meskipun telah ada
reformasi penguatan atas wewenangnya di tahun 1992. 7 Meskipun telah diberikan mandat untuk mengambil
inisiatif, kekuatan dari Sekretaris Jenderal (Sekjen) ASEAN terlalu terbatas untuk melaksanakannya secara
efektif. Oleh karenanya, Sekjen ASEAN tidak memiliki wewenang untuk mendesak Negara anggotanya
untuk mematuhi perjanjian-perjanjian dalam ASEAN. Terlebih lagi dalam hubungan keluar, ASEAN tidak
memiliki kewenangan terpusat untuk bertindak atas nama asosiasi dan menyepakati perjanjian dengan
organisasi internasional lainnya dan Negara. 8 Oleh karena itu, ASEAN tidak memiliki status hukum dalam
hukum internasional.
ASEAN Way
Dalam perjalanannya, ada suatu hal yang perlu dicatat dalam hubungan antara anggota ASEAN yaitu

“ASEAN Way” yang mana termasuk prinsip non-intervensi terhadap urusan domestik Negara lain. ASEAN
way mendorong Negara anggota untuk mencari pendekatan informal melalui konsultasi dan diskusi yang
panjang. Perasaan atau posisi baik (comfort level) dari Negara anggota merupakan hal yang penting
didahului dalam diplomasi multilateral dan menjalankan dialog sesama Negara anggota tanpa saling
mengkritisi di depan publik. 9
Dalam hal mencapai keputusan untuk organisasi biasanya dicapai melalui konsensus dan bagi isu-isu yang
tidak bisa disepakati secara konsensus maka hal tersebut dikesampingkan. Proses penentuan keputusan ini
melibatkan baik pemimpin eksekutif dan politik. Meskipun proses ini terlihat sebagai mekanisme yang tidak
mapan, proses ini sangat sering dilakukan oleh anggota ASEAN dan biasanya dicapai suatu konsiliasi yang
membuat anggota ASEAN mempunyai pandangan yang sama atas hal yang penting terhadap kawasannya.
Proses ini perlu dilihat bahwa mekanisme seperti ini telah mendapatkan penerimaan yang positif dari Negara
anggota. “ASEAN Way” telah membuat ASEAN memberikan kedamaian diantara anggota, meningkatkan
stabilitas regional dan memainkan peran yang membangun dalam kemampuan ekonomi daripada kekuatan
militer. Konflik dan sengketa yang tidak dapat dihindari dapat diatasi yang diselesaikan baik dengan jalur
hukum atau diplomatik yang merupakan jalur-jalur non kekerasan. 10 Kekurangan-kekurangan inilah yang
menjadi penyebab utama mengapa ASEAN begitu lambat tidak hanya dalam menyetujui perjanjian tetapi
lambat dalam pelaksanaannnya.
Akan tetapi, dalam beberapa tahun belakangan ini, Negara anggota telah mengubah posisi mereka dari
kepatuhan yang kuat terhadap “ASEAN Way”. 11 Hal ini dimulai pada saat Pemerintahan Thailand
mengajukan sebuah pendekatan yang dikatakan sebagai “flexible engagement” di tahun 1998 dan hal ini

merupakan titik awal dari modifikasi atas diplomasi ASEAN. Melalui Menteri Luar negeri pada saat itu,
Thailand mengusulkan agar ASEAN mengadopsi sebuah kebijakan keterlibatan yang fleksibel yang
melibatkan pembahasan antara Negara anggota atas permasalahan domestiknya. Melalui cara ini,
permasalahan domestik yang mempengaruhi Negara anggota lain dapat diangkat dan dibahas di tingkat

6

Rudolfo C. Severino, Framing the ASEAN Charter. An ISEAS Perspective, Institute of Southeast Asian Studies (2005)

6.
7

Protocol Amending the Agreement on the Establishing of the ASEAN Secretariat, 22 Juli 1992. Tersedia di
http://www.aseansec.org/1198.htm, diakses 20 Februari 2008.
8
Agreements with third parties outside ASEAN always concluded together by member states’ leaders and not by the
Secretary General of ASEAN on behalf of them.
9
David B. H. Denoon and Evelyn Colbert, “Challenges for the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)”
(1999) 71(4) Pacific Affairs 506.

10
See Timo Kivimäki, “The Long Peace of ASEAN” (2001) 38(1) Journal of Peace Research 5-25.
11
See Hiro Katsumata, “Why is ASEAN Diplomacy Changing? From “Non-Interference” to “Open and Frank
Discussions””, Asian Survey, Vol. 44, No. 2, April 2004, 237-254.

3

ASEAN tanpa harus dipandang sebagai campur tangan atas kedaulatan domestik. Sayangnya, usulan ini
tidak didukung oleh sebagian besar Negara anggota kecuali Filipina. 12
Saat ini, ASEAN memiliki kerangka dengan yang disebut sebagai “retreats”, dimana permasalahan yang
menyangkut kekhawatiran bersama dapat dibahas secara terbuka. Para menteri telah membahas secara
terbuka terhadap permasalahan menyangkut keamanan kawasan, kerjasama antar dan intra organisasi serta
arah masa depan dari ASEAN. Dalam Pertemuan Menteri ASEAN pada tahun 2002, para Menteri Luar
Negeri “reaffirmed the usefulness of informal, open and frank dialogue … to address issues of common
concern to the region.” 13 Atas kenyataan hal itulah dapat dinyatakan bahwa perilaku diplomatik ASEAN
yang telah dilakukan selama ini telah dimodifikasi dengan adanya interpretasi atas prinsip non-intervensi
secara lebih fleksibel. 14
Perkembangan Mekanisme HAM di ASEAN
Pembentukan sebuah mekanisme HAM di ASEAN dapat dilihat kembali pada Joint Communiqué ke 26

ASEAN’s Ministerial Summit di Singapura pada bulan Juli 1993. Gagasan ini diikuti dengan pendirian
Kelompok Kerja untuk Mekanisme HAM ASEAN (Working Group for ASEAN Human Rights Mechanism)
pada tahun 1996. Peristiwa ini kemudian juga diikuti oleh pendirian Komisi HAM Nasional (National
Human Rights Institution/NHRI) di empat Negara anggota ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, dan
Thailand.
Berdasarkan berbagai pertimbangan filosofi dan kondisi praktis, Negara anggota ASEAN merasakan
perlunya sebuah dokumen hukum sebagai anggaran dasar organisasi. Keinginan bersama ini dimasukkan
kedalam 2004 Vientiane Action Programme. Kesepuluh Negara anggota berharap bahwa Piagam dapat
menciptakan ASEAN sebagai entitas hukum. Dengan mendefinisikan secara jelas tujuan-tujuan dari
organisasi, maka akan mempermudah bagi ASEAN untuk mencapai tujuannya tersebut. Pada ASEAN
Summit tahun 2007, di Cebu, Filipina, diadopsi juga “ASEAN Declaration on the Protection and Promotion
of the Rights of Migrant Workers” sebagai salah satu persetujuan yang penting untuk meningkatkan
perlindungan terhadap buruh migrant.
Berkaitan dengan HAM, secara signifikan, ASEAN telah mengadopsi beberapa dokumen seperti:
1. Jakarta Declaration on the Elimination of Violence against Women in ASEAN Region (Jakarta, 13 Juni
2004).
2. ASEAN Declaration against Trafficking in Persons Particularly Women and Children (Vientiane, 29
November 2004).
3. Vientiane Action Programme [VAP] (29 November 2004).
4. Declaration on the Establishment of the ASEAN Charter – 11th ASEAN Summit (Desember 2005).

5. ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers (Cebu, 13
January 2007).
Selain dukumen-dokumen tersebut diatas, komitmen atas perlindungan HAM kembali ditekankan pada
perkembangan akhir yaitu mimpi dari seluruh anggota ASEAN yaitu Piagam ASEAN. Dalam Piagam ini,
terdapat sebuah mandat untuk pendirian sebuah ASEAN Human Rights Body yang bertujuan untuk
memajukan dan melindungi HAM serta kekebasan yang fundamental di kawasan ASEAN. Badan HAM ini
akan beroperasi berdasarkan Terms of Reference (TOR) yang akan ditentukan oleh pertemuan Menteri Luar
Negeri ASEAN (ASEAN Foreign Ministers Meeting). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ketentuan ini
telah memperkuat komitmen dari Negara anggota ASEAN dalam kerjasama mereka dalam hal perlindungan
HAM.

12

Id, 238.
ASEAN, “Joint Communiqué, the 35th ASEAN Ministerial Meeting”, Bandar Seri Begawan, Brunei, July 29-30, 2002.
14
Katsumata, above n 9 and see Rizal Sukma, “The Future of ASEAN: Towards a Security Community”. Paper at a
seminar on “ASEAN Cooperation: Challenges and Prospects in the Current International Situation”, New York, 3 June 2003.
Available at http://www.indonesiamission-ny.org/issuebaru/Mission/asean/paper_rizalsukma.PDF, accessed at 20 February 2008.
13


4

Severino menyatakan bahwa Piagam dapat membantu untuk memastikan perjanjian dalam kerangka ASEAN
dapat dipatuhi dan dilaksanakan oleh Negara anggota. Dia juga menyatakan bahwa Piagam akan membuat
organ-organ ASEAN lebih efektif dengan membuat fungsi dan tanggungjawabnya secara lebih jelas.
Terlebih lagi, Piagam akan memperkuat Sekjen dan Sekretariat dengan meningkatkan statusnya, memperluas
kemandiriannya dan memperlebar wewenangnya. 15
Seperti yang dicantumkan dalam Piagam, Piagam akan mulai berlaku dalam 30 hari setelah semua Negara
anggota telah meratifikasi. 16 Jika semua Negara anggota telah meratifikasi Piagam maka dapat dikatakan
bahwa hal tersebut akan menjadikan ASEAN sebuah entitas hukum baik untuk hubungan internal maupun
eksternalnya. 17 Akan tetapi, hingga saat ini dari sepuluh Negara anggota hanya enam Negara yang telah
meratifikasi piagam yaitu Singapura, Brunei, Thailand, Laos, Cambodia dan Vietnam.

Sebuah Catatan Awal
Untuk kesekian kalinya, dimasukannya ketentuan HAM didalam Piagam merupakan pencapaian yang sangat
penting dalam sejarah ASEAN. Usaha yang sangat besar ini baru bisa direalisasikan setelah adanya TOR
yang akan dibuat oleh para menteri luar negeri ASEAN. Sebelum komunitas ASEAN merayakan pendirian
sebuah Badan HAM ini, ada beberapa faktor yang perlu untuk diperhatikan atau dipertimbangkan oleh
ASEAN untuk menjadikan Badan tersebut efektif dilaksanakan. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Nilai-nilai HAM di ASEAN Secara Umum
Tidak dapat disangkal bahwa pada kenyataannya tingkat perkembangan HAM di kawasan ASEAN
berbeda-beda di setiap Negara anggotanya. Oleh karena itu, akan menjadi sangat sulit untuk
menyamaratakan kondisi HAM di ASEAN tanpa memperhatikan situasi atau perkembangan HAM di
setiap Negara anggota dalam rangka merancang TOR untuk Badan HAM ASEAN ini. Sebagai parameter
perbedaan ini adalah hanya terdapat empat Negara ASEAN yang telah memiliki NHRIs sebagai sebuah
badan nasional yang berfungsi sebagai pengawasan dan perlindungan HAM dibandingkan enam Negara
anggota lainnya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa semua Negara anggota telah mengakui nilai-nilai HAM yang
universal akan tetapi mereka berbeda pendekatan dalam mengimplementasikannya. Beberapa Negara
menekankan pada hak ekonomi sebagai prioritas utama untuk melaksanakan HAM. Beberapa Negara
lainnya menekankan pada hak politiknya. Dan sebagian lagi menekankan keduanya. Apabila melihat
perkembangan di Eropa, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan nilai-nilai HAM disana menjadi tidak terlalu
berbeda dikarenakan tingkat perkembangan budaya HAM Eropa hampir selalu sama tingkatannya dalam
sejarah peradabannya.
Dari kondisi seperti ini, ASEAN perlu untuk meningkatkan kesadaran akan HAM dan mengembangkan
HAM sebagai suatu budaya hingga tingkat yang sama dan tentunya tetap memperhatikan situasi dan
kondisi disetiap Negara anggota. Usaha ini dapat dilakukan oleh Negara-negara anggota (pemerintah
nasional) dengan mensosialisasikan nilai-nilai HAM dengan segala cara komunikasi khususnya melalui
jalur-jalur pendidikan formal dan informal. Usaha masif ini perlu dilakukan secara konsisten tanpa
adanya batasan waktu sehingga terciptanya pelembagaan nilai-nilai HAM di masyarakat Negara anggota
ASEAN. Melalui slogan ASEAN “sharing values” dimana setiap Negara mempraktekkan dan berbagi

15

Severino, above n 6, 28.
Article 47 para. 4 ASEAN Charter.
17
See Locknie Hsu, “Towards an ASEAN Charter. Some Thoughts from the Legal Perspective” in Severino, above n 6,

16

45-51.

5

nilai-nilai HAM kepada satu dengan yang lain maka diharapkan akan terciptanya sebuah nilai-nilai
bersama yang dapat dilaksanakan sebagai sebuah hirarki nilai di komunitas ASEAN. 18
Berkaitan dengan nilai-nilai HAM, beberapa kalangan mungkin akan berpendapat bahwa saat sekarang
inilah waktunya ASEAN mengakui akan nilai-nilai HAM sendiri yang mana dapat dikristalisasikan
menjadi Konvensi HAM ASEAM (ASEAN Human Rights Convention). 19 Konvensi semacam ini
diharapkan seperti konvensi HAM regional lainnya seperti di Eropa, Afrika dan Amerika. Konvensi yang
khusus ini akan mengikat Negara anggota seperti layaknya hukum positif nasional apabila diratifikasi
sehingga dapat dilaksanakan secara efektif. Pendukung dari konsep ini menyatakan bahwa konvensi
HAM ASEAN tidak seharusnya menyalin dari konvensi HAM yang sudah ada akan tetapi harus digali
dari nilai-nilai lokal yang terdapat dalam komunitas ASEAN sebagai kekuatan internal untuk melindungi
HAM. Konvensi ini diharapkan menjadi mesin utama atau pemimpin dalam meningkatkan perlindungan
HAM tidak hanya di kawasan ASEAN tetapi Asia.
Gagasan yang sangat baik ini harus disambut dengan penuh pengakuan. Akan tetapi, sedikitnya terdapat
tiga hal yang perlu diingat dalam melaksanakan ide ini. Pertama, harus dicatat bahwa sebagian besar
Negara anggota ASEAN adalah pihak dari beberapa konvensi dari International Bill of Rights. Atas
kondisi ini, konvensi HAM ASEAN sudah seharusnya tidak bertentangan atau berniat untuk
menggantikan kewajiban internasional yang ada saat ini. Kedua, untuk mendapatkan persetujuan atas
konvensi HAM sangat diperlukan suatu proses dalam waktu yang sangat lama. Langkah yang ideal adalah
dan ini yang paling mungkin dilakukan adalah dengan mendesak adanya suatu deklarasi. Dengan adanya
deklarasi ini akan menunjukkan pengakuan HAM ASEAN yang diharapkan diikuti oleh konferensikonferensi untuk membuat suatu konvensi. Terakhir, ketika konvensi HAM itu pada akhirnya tercapai,
konvensi ini sudah seharusnya tidak memiliki efek tandingan terhadap instrumen HAM internasional
tetapi memperkuatnya.
2. Kerjasama Komisi HAM Nasional Negara ASEAN
Suatu hal yang sangat jelas adalah perlindungan HAM merupakan domain utama dari otoritas nasional
Negara anggota ASEAN. Oleh karena itu pendirian institusi komisi HAM nasional sebagai otoritas
pengawasan dan perlindungan HAM menjadi sesuatu hal yang sangat penting untuk direalisasikan. Atas
usaha ini, Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand adalah Negara-negara yang mempunyai tanggung
jawab untuk membantu mewujudkan hal tersebut. Dengan telah berdirinya institusi HAM nasional,
Negara-negara tersebut seharusnya bekerjasama dengan saling bertukar pengalaman atas praktek-praktek
terbaik (best practices) mereka tidak hanya untuk kebaikan sendiri tetapi untuk Negara anggota lainnya
sebagai petunjuk mendirikan komisi HAM nasionalnya masing-masing.
3. Terms of Reference
Sebagai instrumen utama dari Badan HAM, TOR seharusnya mencakup sedikitnya ada tiga elemen yang
harus ada. Pertama, TOR seharusnya secara berhati-hati menentukan nama dari Badan ini apakah sebagai
Dewan (Council) atau Komisi (Commission). Penentuan akan nama ini tentunya akan terdapat perbedaan
pada beroperasinya Badan HAM ini. Meskipun kedua nama tersebut akan memiliki fungsi yang sama,
komposisi keanggotaannyalah yang akan dipengaruhi. Apabila yang dipilih adalah Dewan maka institusi
ini akan terdiri dari wakil seluruh Negara anggota ASEAN dimana integritas dan kenetralan dari anggota
dapat dipertanyakan. Di lain pihak, jika nama Komisi yang akan dipilih maka keanggotaannya tidak harus
terdiri dari 10 anggota karena keanggotaan komisi berdasarkan jejak pribadi sehingga mereka memiliki

18

See Herman Joseph S. Kraft, “Human Rights, ASEAN and Constructivism: Revisiting the “Asian Values” Discourse”
(2001) 22(45) Philippine Political Science Journal 33-54 and Karen Engle, “Culture and Human Rights: The Asian Values Debate
in Context” (2000) 32 International Law and Politics 291-333.
19
See Saneh Chamarik “ASEAN Human Rights: Prospects for Convergence”, Concluding remarks at the 3rd Workshop
on the ASEAN Regional Mechanism on Human Rights, Bangkok, 27-29 May 2003. Available at http://www.nhrc.or.th/ASEAN
%20Human%20Rights.pdf, accessed at 20 February 2008.

6

integritas dan imparsialitas yang sangat baik. Selain itu, jumlah anggota yang kurang dari 10 sepertinya
akan membuat kerja komisi ini menjadi lebih efektif.
Kedua, hal yang sangat penting untuk ditentukan adalah yurisdiksi dari Badan HAM ini terhadap segala
pengaduan atas pelanggaran HAM yang terjadi. Tujuan dari penentuan ini adalah untuk mempersempit
penafsiran yang luas dari pelanggaran HAM yang perlu dilaporkan kepada Badan ini. Hal ini mengingat
kewajiban utama perlindungan HAM adalah otoritas domestik Negara anggota. Oleh karena itu, hal ini
akan sangat berkaitan dengan penentuan mekanisme exhaustion of local remedies atau pemenuhan proses
hukum nasional. Dapat dikatakan bahwa mekanisme ini menjadi suatu hal yang paling penting dalam
proses perlindungan HAM.
Setelah berevolusi menjadi hukum kebiasaan internasional, 20 exhaustion of local remedies harus
dinyatakan secara jelas karena untuk mengingat tingginya kebudayaan Negara-negara ASEAN untuk
menyelesaikan masalah domestik mereka didalam yurusdiksi nasionalnya masing-masing. Akan menjadi
sangat sulit bagi Negara anggota ASEAN untuk menyerahkan masalah domestik mereka ke tingkat
regional. Oleh karena itu, dalam merancang TOR, exhaustion of local remedies harus diprioritaskan
dalam usaha perlindungan HAM. Dengan usaha ini, diharapkan TOR yang tercipta akan lebih diterima
dengan baik dari Negara anggota ASEAN khususnya bagi mereka yang dituduh melakukan pelanggaran
HAM. Hal ini perlu diingat kaitannya dengan permasalahan yang timbul dari lambannya ratifikasi Piagam
ASEAN sehingga tertunda keberlakuannya.
Terakhir, perlu juga ditentukan langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan apabila upaya hukum dari
otoritas nasional dianggap oleh Badan belum memenuhi perlindungan HAM. Selain itu, penting jyga
ditentukan bagaimana prosedur bagi individu yang terlanggar HAMnya oleh Negara anggota ASEAN
untuk melaporkan dan apakah hak melapor dari individu itu bisa disampaikan secara langsung kepada
HAM atau tidak seperti yang terdapat dalam sistem Eropa.
4. Permasalahan Ratifikasi Piagam ASEAN
Sesuai tujuan yang terdapat dalam pembukaan, Piagam ini akan memberikan kejelasan yang lebih akan
keberadaan ASEAN sebagai organisasi internasional yang berdasarkan hukum sehingga memiliki
kapasitas hukum untuk melakukan hubungan internasional. Semua kerjasama dimasa yang akan datang
baik didalam ataupun dengan pihak luar ASEAN akan berdasarkan perjanjian hukum bukan berdasarkan
kompromi politik. Oleh karena itu, seperti yang dimandatkan oleh Piagam, TOR untuk Badan HAM akan
memberikan anggotanya untuk bertindak berdasarkan kewenangannya tanpa adanya intervensi dari
Negara anggota manapun.
Akan tetapi, semua harapan yang disebutkan diatas akan menjadi sia-sia apabila Piagam tidak diratifikasi
oleh semua Negara anggota karena hal tersebut merupakan syarat utama untuk dapat berlakunya Piagam.
Meskipun TOR telah selesai dan siap untuk diadopsi oleh pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN,
Badan HAM ASEAN tidak akan pernah terwujud karena keengganan Negara anggota untuk meratifikasi
Piagam.
Sebuah catatan khusus bagi Indonesia bahwa Indonesia tidak seharusnya ragu dalam meratifikasi Piagam
karena tidak ada kerugian sama sekali bagi kepentingan nasional Indonesia. Sebaliknya, hal tersebut akan
memberikan Indonesia dan ASEAN suatu kapasitas hukum dan posisi tawar yang lebih apabila ASEAN
dan Indonesia berhubungan dengan Negara lain atau organisasi internasional lainnya seperti Uni Eropa,
Organisasi Negara Amerika dan Uni Afrika. Selain itu, hal yang terpenting adalah dengan meratifikasi
Piagam akan berarti perwujudan dari pengakuan atas nilai-nilai HAM yang universal.

20

Interhandel Case (Switzerland v. United States of America), 1959 ICJ Reports 27.

7

Kesimpulan
Pemajuan dan perlindungan HAM adalah hal yang penting tidak hanya bagi kawasan Asia Tenggara tetapi
juga bagi seluruh kawasan di dunia ini. ASEAN, sekali lagi, telah menunjukkan kepada dunia internasional
bahwa organisasi ini tengah mencoba untuk melaksanakan nilai-nilai HAM universal di dalam kawasannya
dengan memasukkan mandat pendirian Badan HAM ASEAN didalam Piagamnya. Akan tetapi, komitmen
yang sangat baik ini untuk melindungi HAM akan tetap menjadi langkah yang sia-sia kecuali hal tersebut
diikuti oleh tindakan-tindakan nyata dalam waktu yang tepat.
Banyak sekali pertimbangan yang harus diperhatikan dalam usahanya merancang sebuah TOR untuk Badan
HAM ini yang akan disetujui oleh pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN. Pertama, harus selalu diingat
bahwa perkembangan HAM diantara Negara anggota ASEAN sangatlah berbeda satu sama lain. Oleh karena
itu, kerjasama diantara Negara yang telah memiliki institusi HAM nasional atas pertukaran pengalaman
terbaiknya (best practices) menjadi sangat penting. Pertukaran pengalaman ini dapat dibagi kepada Negara
lain untuk meningkatkan standard HAM dan mendorong didirikannya institusi HAM nasional.
Kedua, pembuatan TOR Badan HAM ASEAN akan menentukan sejauh mana komitmen ASEAN untuk
merealisasikan perlindungan HAM. Ketiga, sangatlah penting untuk ditentukan di dalam TOR mengenai
kewenangan Badan HAM dan prosedur pelaporan pelanggaran HAM kepada Badan HAM terutama terkait
dengan pelaksanaan exhaustion of local remedies. Keempat, perlu untuk ditentukan nama dari Badan HAM
ini apakah Dewan (Council) ataukah Komisi (Commission) dimana hal ini akan berpengaruh pada
keanggotaan dan kualitasnya. Kelima, Sudah saatnya bagi Negara anggota ASEAN yang belum meratifikasi
Piagam untuk segera melakukannya karena hal ini jelas sekali memperlihatkan sejauh mana komitmen
Negara untuk kebaikan kawasan ini.
Ahirnya, sebagai bagian dari ASEAN yang memiliki prinsip people-to-people oriented, adalah tanggung
jawab kita bersama untuk mendukung dan mencoba mewujuskan tujuan-tujuan dari Piagam menjadi nyata.
Suatu hal yang bijak apabila kita mengatakan bahwa memulai untuk memajukan dan melindungi HAM
adalah lebih baik daripada tetap terdiam ketika terjadi pelanggaran HAM di “our own backyard”.

8

DAFTAR REFERENSI
Buku
Philippe Sands and Pierre Klein, Bowett’s of International Institutions, fifth edition, Sweet & Maxwell,
London, 2001.
Rudolfo C. Severino, Framing the ASEAN Charter. An ISEAS Perspective, Institute of Southeast Asian
Studies, Utopia Press Pte Ltd, Singapore, 2005.
Locknie Hsu, “Towards an ASEAN Charter. Some Thoughts from the Legal Perspective” in Rudolfo C.
Severino, Framing the ASEAN Charter. An ISEAS Perspective, Institute of Southeast Asian Studies,
Utopia Press Pte Ltd, Singapore, 2005.
Artikel Jurnal
Denoon, David B. H., and Evelyn Colbert, “Challenges for the Association of Southeast Asian Nations
(ASEAN)” 71(4) Pacific Affairs 1999.
Bunyanunda, Mann, “Burma, ASEAN, and Human Rights: The Decade of Constructive Engagement, 19912001” 2 Stanford Journal of East Asian Affairs 2002.
Katsumata, Hiro, “Why is ASEAN Diplomacy Changing? From “Non-Interference” to “Open and Frank
Discussions””, 44(2) Asian Survey 2004.
Kivimäki, Timo, “The Long Peace of ASEAN” 38(1) Journal of Peace Research 2001.
Kraft, Herman Joseph S., “Human Rights, ASEAN and Constructivism: Revisiting the “Asian Values”
Discourse” 22(45) Philippine Political Science Journal 2001.
Engle, Karen, “Culture and Human Rights: The Asian Values Debate in Context” 32 International Law and
Politics 2000.
Konvensi / Persetujuan Internasional / Keputusan Internasional
The ASEAN Declaration (Bangkok Declaration), Bangkok, 8 August 1967. Tersedia di http://www.asean
sec.org/1212.htm, diakses 20 Februari 2008.
Protocol Amending the Agreement on the Establishing of the ASEAN Secretariat, 22 July 1992. Tersedia di
http://www.aseansec.org/1198.htm, diakses 20 Februari 2008.
Interhandel Case (Switzerland v. United States of America), 1959 ICJ Reports 27.
Internet
The National Human Rights Institutions Forum in Asia Pacific Region. Tersedia di http://www.asia
pacificforum.net/members/apf-member-categories, diakses 20 Februari 2008.
Rizal Sukma, “The Future of ASEAN: Towards a Security Community”. Paper at a seminar on “ASEAN
Cooperation: Challenges and Prospects in the Current International Situation”, New York, 3 Juni
2003. Tersedia di http://www.indonesiamissionny.org/issuebaru/Mission/asean/paper_rizalsukma
.PDF, diakses 20 Februari 2008.
Saneh Chamarik “ASEAN Human Rights: Prospects for Convergence”, Concluding remarks at the 3rd
Workshop on the ASEAN Regional Mechanism on Human Rights, Bangkok, 27-29 Mei 2003.
Tersedia di http://www.nhrc.or.th/ASEAN%20Human %20Rights.pdf, diakses 20 Februari 2008.

9

Dokumen yang terkait

ALOKASI WAKTU KYAI DALAM MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA DI YAYASAN KYAI SYARIFUDDIN LUMAJANG (Working Hours of Moeslem Foundation Head In Improving The Quality Of Human Resources In Kyai Syarifuddin Foundation Lumajang)

1 46 7

REPRESENTASI LAKI-­LAKI DALAM IKLAN DI TELEVISI(Studi Semiotik pada Iklan L­Men dan Gatsby Body Lotions)

0 16 3

ANALISIS YURIDIS TENTANG PEMBANGUNAN INDUSTRI PARIWISATA SEBAGAI SEKTOR PRIORITAS DALAM RANGKA ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC)

0 14 121

ASEAN REGIONAL FORUM (ARF) SEBAGAI MEKANISME DIPLOMASI PREVENTIF DALAM PROSES PENYELESAIAN KONFLIK LAUT CINA SELATAN (LCS)

0 9 115

Audit Manajemen untuk Menilai Efektivitas Sumber Daya Manusia di PT. PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Situbondo Management Audit for Evalluate The Effectiveness of Human Resources Function in PT. PLN (Persero) Situbondo Area services And Networks

1 12 9

DAMPAK KRISIS KEUANGAN SUBPRIME MORTGAGE AMERIKA SERIKAT TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN ASEAN

0 12 21

Gambaran Perilaku Orang Tua/Pengasuh Dalam Memberikan Makanan Bergizi Kepada Anak Terinfeksi Human Immunodeficiency Virus Di Yayasan Tegak Tegar Wilayah Jakarta Timur Tahun 2013

0 31 145

Peningkatan Kepuasaan Kerja Karyawan Melalui Penilaian Prestasi kerja Dan Promosi Karyawan Pada PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. Bandung (Studi Kasus Pada Human Capital Center)

0 18 1

Sistem Informasi Pengolahan Data Magang pada Departemen Human Resource Pt. Telkom Divisi Regional III Bandung

12 67 61

KESIAPAN UMKM DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015 (Studi Pada UMKM Di Sentra Industri Keripik Jl. Pagar Alam Kota Bandar Lampung)

9 69 86