Gambaran Perilaku Orang Tua/Pengasuh Dalam Memberikan Makanan Bergizi Kepada Anak Terinfeksi Human Immunodeficiency Virus Di Yayasan Tegak Tegar Wilayah Jakarta Timur Tahun 2013

(1)

TERINFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS DI

YAYASAN TEGAK TEGAR WILAYAH JAKARTA TIMUR

TAHUN 2013

Skripsi

FETY FATHIMAH

108101000020

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M


(2)

(3)

(4)

(5)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN GIZI

Skripsi Januari 2014

Fety Fathimah, NIM: 108101000020

Gambaran Perilaku Orang Tua/Pengasuh Dalam Memberikan

Makanan Bergizi Kepada Anak Terinfeksi Human Immunodeficiency

Virus Di Yayasan Tegak Tegar Wilayah Jakarta Timur Tahun 2013

xv + 114 halaman, 6 tabel, 5 bagan, 6 lampiran

kata kunci: gizi anak, HIV-AIDS, perilaku orang tua/pengasuh

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, hingga bulan Juli 2012 tercatat 5,2% kasus HIV-AIDS diderita oleh anak. Memburuknya status gizi merupakan resiko tertinggi dari penyakit HIV/AIDS. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada Februari 2013, 10 anak yang menjadi sampel memiliki asupan energi yang kurang dari asupan yang dianjurkan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang melandasi perilaku orang tua dalam upaya memberikan makanan bergizi kepada anak terinfeksi HIV-AIDS di Yayasan Tegak Tegar Wilayah Jakarta Timur menggunakan theory of planned behavior dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan selama bulan April – Oktober 2013 kepada 5 orang tua/pengasuh anak HIV-AIDS. Wawancara mendalam dan observasi digunakan dalam pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan di rumah responden penelitian.

Hasil penelitian menunjukan masih terdapat anak yang kebutuhan gizinya kurang terpenuhi. Perceive behavior control memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku orang tua/pengasuh. Terlihat rendahnya perceive behavior control dan niat orang tua/pengasuh mempengaruhi pemberian makanan bergizi anak meskipun sikap orang tua/pengasuh baik dan orang tua yakin bahwa orang disekitarnya akan mendukung perilaku mereka.

Daftar bacaan: (58)

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE PUBLIC HEALTH MAJOR


(6)

NUTRITION DEPARTMENT Undergraduate Thesis, Januari 2013 Fety Fathimah, NIM: 108101000020

Gambaran Perilaku Orang Tua/Pengasuh Dalam Memberikan

Makanan Bergizi Kepada Anak Terinfeksi Human Immunodeficiency

Virus Di Yayasan Tegak Tegar Wilayah Jakarta Timur Tahun 2013

xv + 114 pages, 6 table, 5 diagram, 8 attachment

keywords: child nutrition, HIV-AIDS, parent/caregiver behavior

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) is a collection of symptoms of diseases caused by the immune system by HIV (Human Immunodeficiency Virus). According to the Directorate General of Disease Control and Environmental Health, as of July 2012 reached 5.2% of HIV-AIDS cases suffered by children. The worsening of the nutritional status is the highest risk of HIV / AIDS. Based on a preliminary study conducted in February 2013, 10 children sampled had energy intake less than the recommended.

This study aims to determine the factors underlying the behavior of parents effort to provide nutritious food to children infected with HIV-AIDS in Yayasan Tegak Tegar East Jakarta. This study using theory of planned behavior and a qualitative approach. This research was conducted during April - October 2013 to 5 parent / nannys of child with HIV-AIDS. In-depth interviews and observations used in data collection. Data collection was conducted in the study respondents.

The results showed there is still a lack nutritional needs of children are met. Perceive behavior control has considerable influence on the behavior of the parents / nannys. Looks perceive control behavior and intentions of parents / nannys are low, that affect for child nutrition feeding despite the attitude of parents / nannys and both parents can be assured that the people around him will support their behavior.


(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

PERSONAL DATA

Nama : Fety Fathimah Al Mubarokah Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 13 Maret 1990 Umur : 24 Tahun

Status Menikah : Belum Menikah Agama : Islam

Alamat : Jl. H. Baping Rt. 004 RW. 09 No. 33 Ciracas, Jakarta Timur

Nomor Telepon/HP : 021-8412156/ 089613090377

PENDIDIKAN FORMAL

1994 – 1995 : TK Islam Bustanul Haq, Jakarta Timur 1995 – 2001 : SDN 07 Ciracas, Jakarta Timur

2001 – 2004 : MTS Darul Marhamah, Bogor

2004 – 2007 : SMA Islam PB. Soedirman, Jakarta Timur


(8)

KATA PENGANTAR

Haturan puji serta syukur tak habis tercurah kepada Rabb Semesta Alam, Allah SWT, dengan kasih dan sayang-Nya mencurahkan ilmu, kekuatan serta kesabaran sehinga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Allahumma Sholli ‘ala sayyidinaa Muhammad.

Skripsi berjudul “Gambaran Perilaku Orang Tua/Pengasuh Dalam Memberikan Makanan Bergizi Kepada Anak Terinfeksi Human Immunodeficiency Virus Di Yayasan Tegak Tegar Wilayah Jakarta Timur Tahun 2013” dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM).

Diatas ketidaksempurnaan penulis sebagai manusia, penulis menyadari banyak pihak yang mendoakan, mendukung, memotivasi dan membantu terselesaikannya skripsi ini. Untuk itu haturan terima kasih ingin penulis ucapkan kepada:

1. Mamah dan Apah tersayang, terkasih, tercinta yang selalu melantunkan doa untuk anak-anaknya dalam setiap simpuhnya. Terima kasih atas kesabarannya, dukungannya, nasihatnya, dan segalanya.

2. Teteh, Aa, Uvi, Ade, Abang atas dukungan, doa dan kontrolingnya. My little monster: Kaisah, Afiqah, Zabir untuk hiburan pelepas penat.

3. Bapak Prof. Dr. dr. M. K Tadjudin, Sp. And, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

4. Ibu Febrianti, M.Si, selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masayarakat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

5. Ibu Raihana Nadra Alkaff, M.MA, selaku pembimbing yang memberikan banyak masukan dan motivasi dalam mengerjakan skripsi ini.

6. Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS, yang juga banyak membimbing, mendukung, dan memotivasi saya untuk tidak kembali ‘menghilang’.

7. Ibu Minsarnawati, terima kasih untuk pelukan hangat dan dukungannya.

8. Seluruh dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syaruf Hidayatullah Jakarta untuk perjuangan membagi ilmunya yang sangat berharga.

9. Mba yanti, mba udur, mba jimmy untuk komunikasi dan persaudaraan yang baru dan baik.

10.Sahabat setia: Oki Namiral, kaka eva terima kasih banyak untuk support, curhatan, dukungan semua-semuanya dan ngga pernah bosennyanya.

11.Uni Reni dan Uda Fajri untuk tumpangan kos-nya, mba mega, mas ansor untuk pecutannya, mas ryan untuk laptop dan kemudahan akses inetnya, Dina Isnanda untuk printer, support, dan jalan-jalannya.


(9)

12.Mba Fit, Erni, ka takim untuk bimbingannya, Titi, Iin, Dita, Falih, Inggar, semua temen-temen Kesmas 2008 dan temen-temen PAMI yang turut mendoakan, kasih masukan dan mencoba membantu selama pengerjaan skripsi ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih kurang dari sempurna, sehingga sangat diharapkan saran dan masukannya untuk hasil yang lebih baik di masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak.

Jakarta, Januari 2014


(10)

LEMBAR PERNYATAAN ………. i

LEMBAR PERSETUJUAN ………. ii

ABSTRAK ………. iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………. vi

DAFTAR ISI ………. ix

DAFTAR TABEL ………. xiii

DAFTAR BAGAN ………. xiv

DAFTAR LAMPIRAN ………. xv

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

1.1 Latar Belakang ………. 1

1.2 Rumusan Masalah ………. 4

1.3 Pertanyaan Penelitian ………. 5

1.4 Tujuan ………. 5

1.4.1 Tujuan Umum ………. 5

1.4.2 Tujuan Khusus ………. 5

1.5 Manfaat Penelitian ………. 6

1.5.1 Manfaat Bagi Institusi ………. 6

1.5.2 Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya ……… 6

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ……… 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………... 8

2.1 Pengertian HIV-AIDS ………. 8

2.1.1 Pengertian HIV ………. 8

2.1.2 Pengertian AIDS ………. 9

2.2 HIV-AIDS pada Anak ………. 10

2.3 Gizi Anak ………. 11


(11)

2.4 Gizi Anak HIV-AIDS ………. 13

2.4.1 Kebutuhan Gizi Anak HIV dan Fungsi Zat Gizi untuk Anak HIV ………. 13

2.4.2 Masalah Gizi Pada Anak HIV ……… 16

2.5 Pengaruh Orang Tua/Pengasuh Terhadap Asupan Gizi Anak ………. 17

2.6 Perilaku Manusia ………. 18

2.7 Teori Perilaku ………. 19

2.7.1 Teori Perilaku Terencana (Theoy of Planned Behavior) ……… 21

2.7.1.1 Sikap ………. 26

2.7.1.1.1 Definisi Sikap ……….. 26

2.7.1.1.2 Anteseden Sikap ………. 27

2.7.1.2 Norma Subjektif ………. 28

2.7.1.2.1 Definisi Norma Subjektif ……….. 28

2.7.1.2.2 Anteseden Norma Subjektif ……….. 29

2.7.1.3 Persepsi Kontrol Perilaku ……….. 29

2.7.1.3.1Definisi Persepsi Atas Kontrol Perilaku ……….. 29

2.7.1.3.2 Anteseden Persepsi Atas Kontrol Perilaku ……….. 30

2.7.1.4 Niat ………. 31

2.7.1.4.1 Definisi Niat ……… 31

2.8 Penilaian Konsumsi Makan ……….. 32

2.9 Penilaian Kebutuhan Energi Pada Orang Sakit ………. 34

2.10 Kerangka Teori ………. 35

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ………... 37

3.1 Kerangka Konsep ………. 37

3.2 Definisi Istilah ………. 38

BAB IV METODELOGI PENELITIAN ………. 40

4.1 Desain Penelitian ……….. 40


(12)

4.3 Metode Pengumpulan data ………. 40

4.3.1 Wawancara Mendalam ………. 41

4.3.2 Observasi ………. 42

4.3.3 Telaah Dokuman ………. 42

4.4 Informan Penelitian ………. 43

4.4.1 Informan Utama ………. 43

4.4.2 Informan Pendukung ………. 43

4.5 Instrumen Penelitian ……….. 44

4.6 Pengolahan dan Analisis Data ………. 44

4.7 Validasi Data ………. 45

BAB V HASIL ………. 48

5.1 Gambaran Umum Yayasan Tegak Tegar ………. 48

5.1.1 Visi Yayasan Tegak Tegar ………. 48

5.1.2 Misi Yayasan Tegak Tegar ………. 48

5.1.3 Susunan Kepengurusan ………. 49

5.1.4 Program dan Kegiatan ………. 50

5.2 Karakteristik Informan ………. 50

5.2.1 Informan Utama 50 5.2.2 Informan Pendukkung 52 5.3 Gambaran Faktor Latar Belakang Orang Tua/Pengasuh Terhadap Pemberian Makanan Bergizi ……….. 53

5.4 Gambaran Sikap Orang tua/Pengasuh terhadap Pemberian Makanan Begizi ….………. 55

5.5 Gambaran Norma Subjektif Orang tua/Pengasuh terhadap Pemberian Makanan Begizi ……… 56

5.6 Gambaran Persepsi Atas Kontrol Perilaku Orang tua/Pengasuh terhadap Pemberian Makanan Begizi ……… 60

5.7 Gambaran Niat Orang tua/Pengasuh terhadap Pemberian Makanan Begizi ……… 64


(13)

5.8 Gambaran Perilaku Orang tua/Pengasuh terhadap Pemberian Makanan Begizi

……… 65

BAB VI PEMBAHASAN .………. 6.1 Sikap Orang Tua/Pengasuh terhadap Pemberian Makanan Begizi ………. 70

6.2 Norma Subjektif Orang Tua/Pengasuh terhadap Pemberian Makanan Begizi ……… 72

6.3 Persepsi Atas Kontrol Perilaku Orang Tua/Pengasuh terhadap Pemberian Makanan Begizi ……… 77

6.4 Niat Orang Tua/Pengasuh terhadap Pemberian Makanan Begizi ……….. 81

6.5 Perilaku Orang Tua/Pengasuh terhadap Pemberian Makanan Begizi ………. 83

6.6 Kontribusi Sikap, Norma Subjektif, Persepsi Atas Kontrol Perilaku dan Niat Dalam Terbentuknya Perilaku Orang Tua/Pengasuh Terhadap Pemberian Makanan Bergizi ……….. 86

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ……….. 90

7.1 Simpulan ………. 90

7.2 Saran ………. 91 DAFTAR PUSTAKA


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Halaman

2.1 Faktor Aktivitas dan Faktor Trauma atau Stres untuk Menetapkan Kebutuhan Energgi Orang Sakit

34

3.1 Definisi Istilah 36

4.1 Metode Triangulasi 46 5.1 Karakteristik Informan Utama 51 5.2 Keterpanuhan Asupan Zat Gizi Makro pada Anak HIV 63 5.3 Keterpenuhan Asupan Vitamin dan Mineral pada Anak

HIV


(15)

DAFTAR BAGAN

Nomor Bagan Halaman

2.1 Theory of Planned Behavior 24

2.2 Kerangka Teori 35

3.1 Kerangka Konsep Penelitian 36 5.1 Struktur Kepengurusan Yayasan Tegak Tegar 49 6.1 Kontribusi sikap, norma subjektif, persepsi atas

kontrol perilaku, dan niat orang tua/pengasuh terhadap perilaku orang tua


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Permohonan Menjadi Informan Lampiran 2 Persetujuan Menjadi Informan

Lampiran 3 Pedoman Wawancara Orang tua/pengasuh Lampiran 4 Pedoman Wawancara pengurus yayasan Lampiran 5 Verbatim

Lampiran 6 Matriks Wawancara Lampiran 7 Matriks Observasi


(17)

1.1Latar Belakang

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS merupakan penyakit yang sangat berbahaya, karena mempunyai Case Fatality Rate 100% dalam waktu 5 – 20 tahun, artinya dalam waktu 5 – 20 tahun setelah terdiagnosa AIDS semua penderita akan meninggal (Depkes, 2000). Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), pada laporan triwulan hingga bulan Juli 2012 kasus AIDS sebesar 5,2% kasus terjadi pada anak usia 0 – 14 tahun.

Kasus HIV/AIDS pada anak tidak bisa dianggap remeh karena menurut Saloojee dan Violari (2001), terdapat perbedaan perjalanan penyakit pada anak dan dewasa. Progresifitas penyakit HIV pada anak lebih cepat dibandingkan dengan orang dewasa. Menurut Tindyebwa, dkk (2011), lebih dari 280.000 anak dengan usia kurang dari 15 tahun meninggal karena AIDS pada tahun 2008. Memburuknya status gizi merupakan resiko tertinggi dari penyakit HIV/AIDS. Kehilangan berat badan dan keadaan kurang gizi mempengaruhi perkembangan penyakit, meningkatkan kesakitan dan mengurangi usaha tubuh untuk melawan penyakit karena melemahnya imunitas disebabkan oleh malnutrisi (Hsu, 2006).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada Februari 2013 oleh peneliti kepada sepuluh anak yang terinfeksi HIV, kesepuluh anak tersebut


(18)

memiliki konsumsi energi yang kurang dari yang dianjurkan. Melihat hal tersebut, perlu kiranya melihat bagaimana perilaku orang tua/ pengasuh dalam memberikan makanan kepada anak yang terinfeksi HIV. Kurangnya asupan gizi yang terjadi pada anak dengan HIV/AIDS tidak lepas dari perilaku pemberian makan atau pola makan orang tua dan keluarga. Menurut Almatsier (2011), orang tua/ pengasuh/ saudara mempengaruhi ketersedian makan, pengetahuan gizi, harapan dan jumlah makanan yang hendak dimakan, serta kandungan zat gizi dari makanan yang ditawarkan.

Salah satu perilaku pemeliharaan kesehatan adalah perilaku gizi, dimana terjadi suatu respons seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan makanan dan minuman (Skiner dalam Notoatmodjo, 2007). Menurut Gibney dkk (2009), salah satu teori yang telah digunakan secara luas dalam penelitian pemilihan makanan adalah theory reasoned action yang telah dikembangkan menjadi theory of planned behavior. Theory of planned behavior

digunakan untuk meramalkan dan memahami pengaruh-pengaruh motivational terhadap perilaku yang bukan dibawah kendali atau keinginan inidividu sendiri (Achmat, 2010). Salah satu penelitian di bidang kesehatan yang didasarkan pada TPB telah digunakan pada penelitian untuk menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku konsumsi makanan berserat pada mahasiswa FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dilakukan oleh Farhatun (2012). Hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa persepsi atas kontrol perilaku

memiliki kontribusi paling besar diantara variabel Theory of planned behavior


(19)

Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) (2003), LSM memiliki peran penting dalam penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia karena dapat menjangkau orang-orang dan kelompok dengan kebutuhan khusus antara lain kelompok remaja, agama, wanita, profesi, ODHA yang biasanya sulit terjangkau oleh pemerintah. Salah satu LSM yang mendampingi anak terinfeksi HIV-AIDS adalah Yayasan Tegak Tegar. Wilayah Jakarta Timur merupakan salah satu wilayah yang menjadi cakupan pendampingan Yayasan Tegak Tegar. Tercatat 17 anak terinfeksi HIV yang berdomisili di wilayah Jakarta Timur yang menjadi anggota di Yayasan Tegak Tegar.

Berdasarkan Laporan Perkembangan HIV-AIDS, Triwulan II, Tahun 2012, dapat dilihat bahwa Jakarta Timur memiliki jumlah kasus HIV terbesar kedua diantara 5 wilayah Jakarta lainnya dengan 417 kasus HIV. Jakarta Timur juga daerah yang memiliki layanan konseling dan tes HIV terbanyak diantara 5 wilayah Jakarta lainnya dengan jumlah 13 tempat pelayanannya yang terdiri dari rumah sakit, puskesmas, puskesmas cabang dan PKBI.

Penelitian untuk mengetahui perilaku orang tua/ pengasuh dalam pemberian makan kepada anak HIV belum pernah dilakukan sebelumnya. Padahal berdasarkan studi pendahuluan yang pernah dilakukan, sepuluh anak yang menjadi sampel memiliki keterpenuhan asupan gizi yang kurang. Sedangkan kasus HIV-AIDS pada anak tidak bisa diremehkan karena keadaan kurang gizi mempengaruhi perkembangan penyakit. Untuk itu, anak dengan HIV-AIDS memerlukan asupan lebih dari anak yang tidak terinfeksi. Keterpenuhan asupan makan ini tidak lepas dari pengaruh orang tua/pengasuh. Berdasarkan hal


(20)

tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang melandasi perilaku orang tua/ pengasuh dalam pemberian makanan bergizi kepada anak terinfeksi HIV. Untuk mengetahui latar belakang perilaku orang tua/pengasuh tersebut, peneliti menggunakan theory of planned behavior.

1.2Rumusan Masalah

Pada anak terinfeksi HIV, kehilangan berat badan dan keadaan kurang gizi sangat mempengaruhi dalam perkembangan penyakit, peningkatan kesakitan dan penurunan usaha tubuh untuk melawan penyakit karena melemahnya imunitas. Salah satu faktor yang mempengaruhi keterpenuhan gizi anak adalah perilaku orang tua/pengasuh dalam memberikan makanan bergizi kepada anak terinfeksi HIV. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan, diketahui bahwa sepuluh anak terinfeksi HIVyang menjadi sampel memiliki asupan gizi yang kurang dari Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang melandasi perilaku orang tua/ pengasuh dalam memberikan makan kepada anak dengan HIV menggunakan theory of planned behavior yang merupakan teori perilaku tingkat intrapersonal atau individual.

Penggunaan theory of planned behavior ini karena teori ini dikembangkan untuk memprediksi perilaku-perilaku yang tidak di bawah kendali individu atau memahami pengaruh-pengaruh motivational terhadap perilaku yang bukan dibawah kendali atau kemauan individu sendiri.


(21)

1.3Pertanyaan Penelitian

1.Bagaimana gambaran perilaku pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV?

2.Bagaimana gambaran sikap pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV ?

3.Bagaimana gambaran norma subjektif pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV ?

4.Bagaimana gambaran persepsi kontrol perilaku pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV ?

5.Bagaimana gambaran niat pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV ?

1.4Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Didapatkannya gambaran mengenai perilaku serta faktor yang melandasi perilaku pemberian makanan bergizi yang dilakukan oleh orang tua/ pengasuh kepada anak terinfeksi HIV di Yayasan Tegak Tegar wilayah Jakarta Timur dengan mengunakan theory of planned behavior.

1.4.2 Tujuan Khusus

1.Diketahuinya gambaran perilaku pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV.

2.Diketahuinya gambaran sikap pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV.


(22)

3.Diketahuinya gambaran norma subjektif pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV.

4.Diketahuinya gambaran persepsi kontrol perilaku pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV.

5.Diketahuinya gambaran niat pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV.

1.5Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Bagi Institusi (Yayasan Tegak Tegar)

a. Memberikan informasi tentang faktor-faktor yang melandasi terbentuknya perilaku pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV/AIDS berdasarkan theory of planned behavior.

b. Hasil analisa penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam pengambilan keputusan oleh pihak terkait.

1.5.2 Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya

a. Memperoleh wawasan dan pengetahuan baru dalam ilmu kesehatan masyarakat, khususnya masalah gizi pada anak yang terinfeksi HIV.

b. Sebagai bahan untuk penelitian lanjutan dan dapat dijadikan data pembanding pada penelitian dengan topik yang sama.

1.6Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai perilaku serta faktor yang melandasi terbentuknya perilaku orang tua/ pengasuh dalam memberikan makanan bergizi


(23)

pada anak terinfeksi HIV/AIDS menggunakan theory of planned behavior. Penelitian dilakukan pada bulan April – Oktober 2013.

Pengambilan data primer dari beberapa sumber informan dengan teknik wawancara mendalam serta observasi pada orang tua/ pengasuh yang mempunyai anak terinfeksi HIV yang berdomisili di Jakarta Timur. Penelitian ini menggunakan instrument penelitian berupa pedoman wawancara semistruktur sesuai dengan theory of planned behavior serta food recall 24 jam dan pedoman observasi.


(24)

2.1Pengertian HIV-AIDS 2.1.1 Pengertian HIV

Human Immunodeficiency Syndrome (HIV) adalah retrovirus yang termasuk golongan virus RNA (Ribonucleic Acid) dimana virus menggunakan RNA sebagai molekul pembawa informasi genetik. Disebut retrovirus karena memiliki enzim reverse trancriptase, sehingga memungkinkan virus mengubah informasi genetiknya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA (Deoxyribonucleic Acid) yang kemudian diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel limfosit yang diserang. Dengan demikian HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit untuk mengkopi dirinya menjadi virus baru yang mempunyai ciri- ciri HIV (Depkes, 2006).

Virus ini menyerang sistem imun manusia yaitu menyerang limfosit T helper yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya. Limfosit T memiliki fungsi sebagai penghasil zat kimia yang berperan sebagai perangsang pertumbuhan dan pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi. Sehingga jika virus sudah menyerang limfosit T, yang terganggu bukan hanya fungsi limfosit T tetapi juga limfosit B, monosit, makrofag dan sebagainya.


(25)

2.1.2 Pengertian AIDS

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV. Penderita infeksi HIV dinyatakan sebagai penderita AIDS ketika menunjukan gejala atau penyakit tertentu yang merupakan akibat penurunan daya tahan tubuh yang disebabkan virus HIV atau tes darah yang menunjukan jumlah CD4 < 200/mm3 (Depkes, 2006). Berdasarkan pedoman terapi ARV tahun 2011, ODHA tanpa gejala klinis (stadium klinis 1) dan belum pernah mendapatkan ARV dianjurkan mulai menjalani terapy ARV bila jumlah CD4 ≤ 350 sel/mm3.

Orang dengan HIV akan mengalami fase dimana tidak ada gejala penyakit dan penderita tampak sehat sehingga dapat melakukan aktivitas fisik secara normal namun dapat menularkan virus kepada orang lain. Fase ini disebut fase asimtomatik. Setelah melalui fase tanpa gejala, memasuki fase simtomatik, akan timbul gejala- gejala pendahuluan seperti demam, pembesaran kelenjar limfa, yang kemudian diikuti oleh infeksi oportunistik. Dengan adanya infeksi oportunistik maka perjalanan penyakit telah memasuki stadium AIDS. Fase simtomatik ini rata- rata berlangsung selama 1,3 tahun yang berakhir dengan kematian (Kemenkes, 2011).

Sampai saat ini masih belum ditemukan obat untuk menyembuhkan penyakit HIV. Namun sudah ditemukan obat yang dapat menghambat perkembangbiakan HIV. Pengobatan ARV ini terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi oportunistik menjadi lebih


(26)

jarang ditemukan dan lebih mudah diatasi sehingga menekan morbiditas dan mortalitas dini (Depkes, 2006).

2.2HIV-AIDS pada Anak

Kasus AIDS pada anak pertama kali dilaporkan ke Center for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 1982. Dilaporkan hampir 9.000 anak dengan usia di bawah 13 tahun menderita AIDS dan 5.000 anak kurang dari 15 tahun meninggal karena AIDS. Sebesar 91% kasus AIDS pada anak disebabkan oleh perinatal transmission dan hampir menjadi penyebab terjadinya kasus baru HIV pada anak (King, dkk, 2004). Presentase penularan HIV dari ibu ke bayi cukup besar yaitu 25 – 45%. Selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI sampai 24 bulan memiliki resiko penularan HIV sebesar 30 – 45% (Hasnawaty, 2011).

Terdapat perbedaan perjalanan penyakit HIV pada anak dan orang dewasa. Anak dengan HIV memiliki progresivitas penyakit HIV lebih cepat dibandingkan orang dewasa, anak juga memiliki jumlah virus lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa, infeksi oporunistik juga sering muncul sebagai penyakit primer dengan perjalanan penyakit yang lebih agresif karena berkurangnya sistem imunitas tubuh (Saloojee & Violari, 2001).

Pada anak HIV, lazim ditemukan abnormalitas metabolisme dan pertumbuhan. Sejumlah penelitian yang dilakukan pada anak-anak di Amerika dan Afrika menunjukan bahwa, pertumbuhan yang buruk menjadi indikator perkembangan penyakit dan menjadi faktor resiko terjadinya kematian. Sehingga


(27)

penting bagi anak HIV untuk mempertahankan kondisi tubuh mereka dari keparahan penyakit dengan mengonsumsi zat gizi penting (Arpadi, 2005).

2.3Gizi Anak

Masa yang terentang antara usia satu tahun sampai remaja boleh dikatakan sebagai periode laten karena pertumbuhan fisik berlangsung tidak sedramatis ketika masih berstatus bayi. Di tahun pertama kehidupan, panjang bayi bertambah 50%, tetapi tidak berlipat setelah usia bertambah sampai 4 tahun (Arisman, 2009). Kondisi yang khas dan permasalahan pada anak usia 3-5 tahun adalah anak mulai ingin mandiri. Dalam hal makanan pun anak usia ini bersifat sebagai konsumen aktif. Artinya, mereka dapat memilih dan menentukan sendiri makanan yang ingin dikonsumsi. Pada usia ini kerap terjadi anak menolak makanan yangtidak disukai dan hanya mau mengonsumsi makanan favoritnya. Aktivitas bermain juga kadang membuat anak menunda waktu makan. Jika orang tua tidak memperhatikan, bisa saja anak baru minta makan menjelang waktu tidur saat ia telah lelah beraktivitas seharian dan baru merasa lapar. Padahal, usia balita cukup rawan karena pertumbuhan dan perkembangan diusia ini akan menentukan perkembangan fisik dan mental anak diusia remaja dan ketika dewasa (Kurniasih, 2010). Arisman (2009) menambahkan, perkembangan mental anak dapat dilihat dari kemampuannya mengatakan “tidak” terhadap makanan yang ditawarkan. Pada banyak penelitian dilaporkan bahwa pada usia ini anak hanya mau makan satu jenis makanan selama berminggu-minggu.


(28)

Menginjak kelompok usia selanjutnya, 6-9 tahun, anak mulai memiliki aktivitas di luar rumah lebih banyak. Seperti sekolah, bermain, olah raga, dan lain sebagainya sehingga anak memerlukan energi lebih banyak. Waktu yang lebih banyak digunakan bersama teman dapat mempengaruhi jadwal makan anak, bahkan terhadap pola makannya. Sehinga pada usia ini pola makan anak masih peru diperhatikan karena gizi yang baik pada usia sekolah menjadi landasan bagi ststus gizi, kesehatan dan stamina optimal pada usia selanjutnya.

Usia 10-15 tahun dikenal dengan masa pertumbuhan cepat, tahap pertama dari serangkaian perubahan menuju kematangan fisik dan seksual. Selain itu, cirri-ciri sek sekunder semakin tampak, serta terjadi perubahan yang signifikan dalam kematanan psikologis dan kognitif. Dengan cirri spesifik itu, kebutuhan energi dan zat gizi di usia remaja ditujukan untuk deposisi jaringan tubuhnya. Seiring dengan meningkatnya aktivitas fisik, remaja umumnya mempunyai nafsu makan lebih besar sehingga sering mencari makanan tambahan, misal jajan diluar waktu makan. Remaja pun menyukai makanan yang padat energi, yaitu manis dan berlemak (Kurniasih, 2010).

2.3.1 Masalah Gizi Anak

Masalah gizi anak secara garis besar merupakan dampak dari ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran zat gizi, yaitu asupan yang melebihi keluaran atau sebaliknya, disamping kesalahan dalam memilih bahan makanan untuk disantap. Buah dari ketergangguan ini utamanya berua penyakit kronis, berat badan lebih atau kurang, pica, karies dentis, serta alergi (Arisman, 2009).


(29)

Menurut Novita (2011), masalah kesehatan yang muncul pada fase anak-anak misalnya, kesulitan anak untuk makan karena terobsesi ingin main, asupan gizi yang tidak seimbang, rentannya fisik anak, dan ancaman keracunan akibat dari kebiasaan makan di luar. Pertumbuhan dan perkembangan fisik dan sosial anak dibaca sebagai bagian dari peran nyata orang tua dalam memberikan pelayanan kepada anak-anaknya. Seorang anak yang kurang gizi, sesungguhnya menjadi bukti lemahnya peran orang tua dalam memberikan asupan yang seimbang dan berkualitas.

Kurniasih (2010) dalam hal ini menyarankan orang tua untuk kreatif “membujuk” anak agar mau makan makanan bervariasi dan bergizi sesuai kebutuhannya. Orang tua disarankan memperkenalkan beraneka ragam makanan sejak dini kepada anak. Orang tua juga dianjurkan untuk mencukupi kebutuhan akan camilan sehat di rumah. Selain sehat, makanan dari rumah juga terjamin lebih sehat dan aman.

2.4Gizi Anak HIV-AIDS

2.4.1 Kebutuhan Gizi Anak HIV dan Fungsi Zat Gizi untuk Anak HIV Berdasarkan WHO (2003), asupan gizi yang cukup adalah cara yang dapat dicapai dengan mengkonsumsi asupan makanan yang sehat dan seimbang. Hal ini penting untuk kesehatan dan kelangsungan hidup semua individu tanpa memperhatikan status HIV.

Secara substansial, pangan yang dikonsumsi setiap hari terdiri atas protein, karbohidrat, lemak serta alkohol yang dioksidasi untuk menghasilkan


(30)

energi. Protein, karbohidrat dan lemak, tentu saja sangat heterogen, dan tampaknya campuran dari ‘bahan bakar’ ini mempengaruhi fungsi jangka panjang manusia (Siagian, 2010).

Energi dibutuhkan lebih banyak pada penderita HIV guna menjaga berat badan dan aktivitas fisik juga pertumbuhan. Kebutuhan energi untuk anak HIV lebih besar 10% dari anak yang tidak terinfeksi HIV. Bahkan untuk anak yang mengalami penurunan berat badan dibutuhkan tambahan asupan energi sebesar 50 – 100% dari asupan energi untuk anak tanpa HIV.

Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi yang memiliki peranan utama sebagai penyedia glukosa bagi sel-sel tubuh yang kemudian diubah menjadi energi. Jaringan tertentu hanya memperoleh energi dari karbohidrat seperti sel darah merah serta sebagian besar otak dan sistem saraf. Satu gram karbohidrat menghasilkan 4 Kkal energi. Kekuranga asupan karbohidrat selain menyebabkan kurangnya asupan energi, kekurangan karbohidrat juga menyebabkan pertumbuhan terganggu, ketidakseimbangan natrium, PH cairan tubuh menurun dan dehidrasi (Almatsier, 2009).

Zat gizi penting lainnya dalah protein. Protein merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat gizi dan darah, matriks intraseluler dan sebagainya adalah protein. Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yiatu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh.fungsi protein lainnya yang sangat penting adalah pembentukan antibodi. Tinginya tingkat kematian pada anak-anak yang menderita gizi kurang kebanyakan disebakan


(31)

oleh menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi karena ketidakmampuannya membentuk antibodi dalam jumlah yang cukup (Almatsier, 2009).

Asupan protein untuk penderita HIV lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak terinfeksi. Sebesar 12 – 15% protein dibutuhkan dari total asupan energi yang dibutuhkan. Sedangkan untuk asupan lemak, belum ada penelitian bahwa ada tambahan asupan lemak untuk penderita HIV.

Zat gizi penting penghasil energi lainnya adalah lemak. 1 gram lemak menghasilkan 9 Kkal energi. Sebagai simpanan lemak, lemak merupakan cadangan energi tubuh paling besar. Simpanan lemak ini berasal dari konsumsi karbohidrat, protein dan lemak yang berlebihan. Selain sebagai sumber energi terbesar, lemak memiliki fungsi memelihara suhu tubuh, sebagai alat angkut vitamin larut lemak, dan pelindung organ tubuh (Almatsier, 2009).

Meskipun menurut WHO (2003), belum ada penelitian yang menyatakan lemak dibutuhkan lebih oleh orang yang terinfeksi HIV namun, lemak dibutuhkan untuk mereka yang sedang menjalani terapi antiretroviral atau mengalami diare berkepanjangan. Menurut Almatsier (2004), lemak yang dibutuhakan untuk penderita HIV adalah dalam jumlah yang cukup yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total. Jenis lemak disesuaikan dengan toleransi pasien.

Selain asupan zat gizi makro, zat gizi mikro juga perlu diperhatikan guna pengobatan dan menjaga kondisi penderita HIV. Sebuah penelitian


(32)

menyarankan penambahan asupan beberapa vitamin untuk meningkatkan imunitas, seperti vitamin B kompleks, vitamin C dan E. Menurut Almatsier (2004), syarat diet HIV-AIDS membutuhkan vitamin dan mineral tinggi yaitu 1 ½ kali (150%) Angka Kecukupan Gizi (AKG), terutama vitamin A, B12, C,

E, folat, kalsium, magnesium, seng dan selenium.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pemenuhan asupan gizi dapat membantu anak terinfeksi HIV dengan status gizi kurang dalam penyembuhan dari diare akut (Arpadi, 2005).

Menurut Arpadi (2011) , asupan gizi yang baik merupakan kunci dari gaya hidup yang sehat untuk anak dengan HIV/AIDS. Asupan gizi yang optimal akan membantu mendorong fungsi imunitas, memaksimalkan terapi Antiretroviral mengurangi resiko terkena penyakit kronis, serta membantu untuk mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik (Jama, 2010).

2.4.2 Masalah Gizi pada Anak HIV

Menurut Arpadi (2005), abnormalitas pada pertumbuhan dan metabolisme sangat lazim terjadi pada anak yang terinveksi HIV. Lambatnya pertumbuhan adalah manifestasi awal dari infeksi HIV pada anak yang akan mempengaruhi kelangsungan hidup anak dengan HIV tersebut.

Terlambatnya pertumbuhan dan berkurangnya massa lemak bebas sangat signifikan mempengaruhhi kelangsungan hidup. Kegagalan atau terlambatnya pertumbuhan pada anak HIV seringkali disebabkan oleh penyakit dan keadaan sekuder yang menyertai infeksi HIV. Penyebab


(33)

sekunder dari infeksi HIV adalah asupan makan yang tidak mencukupi, diare, dan anemia. Penyebab sekunder dari gagalnya pertumbuhan ini sebenarnya dapat dicegah, dibalik atau dikembalikan, serta didiubah atau dibatasi namun memang rumit.

Infeksi gastrointestinal adalah hal yang biasa terjadi pada anak yang menderita kurang gizi dan keterlambatan pertumbuhan. Infeksi gastrointestinal ini juga sangat berperan menyebabkan lambatnya pertumbuhan pada anak HIV. Anak yang terinfeksi HIV terlihat sangat mudah diserang atau rentan terhadap penyakit diare (Arpadi, 2005).

2.5Pengaruh Orang Tua/ Pengasuh Terhadap Asupan Gizi Anak

Menurut Almatsier (2011), salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan makan pada anak adalah pengaruh orang tua, pengasuh dan saudara. Ketiganya dapat mempengaruhi ketersediaan makan, pengetahuan gizi, kandungan zat gizi makanan yang ditawarkan, gaya dan kecepatan makan, harapan dan model/jumlah makanan yang hendak dimakan, dan penggunaan makanan yang tidak bergizi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fatimah (2008), disimpulkan bahwa faktor yang memiliki kontribusi terhadap gizi kurang pada anak adalah riwayat penyakit infeksi, tingkat pengetahuan ibu yang kurang dan tingkat sosial ekonomi yang rendah, dan asupan zat gizi yang kurang. Pengetahuan orang tua terutama terhadap gizi sangat berpengaruh terhadap tingkat kecukupan gizi yang diperoleh anak. Hal ini bekaitan dengan kandungan makanan, cara pengolahan


(34)

makanan, kebersihan makanan dan lain-lain. Orang tua perlu memahami pengetahuan tentang zat-zat yang dikandung dalam makanan, cara mengolah makanan, menjaga kebersihan makanan, waktu pemberian makan dan lain-lain sehingga pengetahuan yang baik akan membantu ibu atau orang tua dalam menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Novita (2011) bahwa status gizi anak merupakan peran nyata orang tua dalam memberikan asupan yang seimbang dan berkualitas.

Dalam penelitian Fatimah (2008) diketahui bahwa anak yang menderita gizi kurang memiliki riwayat penyakit infeksi. Asupan nutrisi yang rendah dan terdapatnya penyakit infeksi pada anak pada peneitian Fatimah didominasi oleh rendahnya kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan yang memenuhi kebutuhan yang berkaitan dengan kesehatan. Padahal menurut Kurniasih (2011), untuk mengatasi masalah gizi pada anak, orang tua disarankan memperkenalkan beraneka ragam makanan sejak dini kepada anak. Orang tua juga dianjurkan untuk mencukupi kebutuhan akan camilan sehat di rumah. Selain sehat, makanan dari rumah juga terjamin lebih sehat dan aman.

2.6Perilaku Manusia

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang amat luas antara lain; berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik


(35)

yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat dimati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2007). Menurut Skiner (1983) dalam Notoatmodjo (2007), perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).

Oleh karena itu perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons. Terdapat dua faktor yang yang mempengaruhi masing-masing orang dalam memberikan respon terhadap suatu stimulus yakin, faktor internal dimana karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan seperti jenis kelamin, tingkat kecerdasan, tingkat emosional, dan sebagainya. Faktor lainnya adalah faktor eksternal yakni lingkungan baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2007).

2.7Teori Perilaku

Di dalam proses pembentukan dan atau perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri. Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena merupakan resultan dari berbagai faktor internal maupun eksternal (lingkungan). Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).

Teori adalah seperangkat pernyataan atau prinsip yang dirancang untuk menjelaskan sekelompok fakta atau fenomena, terutama yang telah berulang kali


(36)

diuji atau diterima secara luas dan dapat digunakan untuk memprediksi fenomena alam (Hayden, 2009). Menurut Glanz, Rimer, Lewis (2002, dalam Hayden, 2009), teori adalah seperangkat konsep yang saling terkait, definisi, dan proporsi yang menyajikan pandangan sistematis terjadi situasi hubungan dengan menetapkan antar variabel untuk menjelaskan dan memprediksi peristiwa situasi. Singkatnya, teori menjelaskan perilaku dan dengan demikian dapat menyarankan cara untuk mencapai perubahan perilaku.

Selain teori, terdapat model yang dapat membantu memahami suatu masalah tertentu dalam suatu lingkungan tertentu, yang mungkin satu teori saja tidak bisa melakukan. Model adalah gabungan, campuran ide atau konsep yang diambil dari sejumlah teori yang digunakan bersama-sama.

Teori dan model dapat membantu menjelaskan, memprediksi dan memahami perilaku kesehatan. Keduanya menyajikan dasar atau kerangka kerja yang dapat digunakan untuk intervensi pendidikan guna meningkatkan status kesehatan.

Teori dan model dapat dibedakan berdasarkan tingkat pengaruh: intrapersonal, interpersonal, dan komunitas.setiap jenis teori menjelaskan perilaku dengan melihat bagaimana faktor-faktor yang berbeda mempengaruhi apa yang kita lakukan.

Teori intrapersonal adalah teori yang berfokus pada faktor yang ada dalam diri seseorang yang mempengaruhinya untuk berperilaku seperti, pengetahuan, sikap, kepercayaan, motivasi, konsep diri, keterampilan dan pengalaman masa lalu. Beberapa teori yang dikelompokan kedalam teori intrapersonal diantaranya


(37)

adalah health belief model, theory of reasoned action, self-efficacy theory,

attribution theory and the transtheoritical model dan theory of planned behavior. Teori lainnya adalah teori interpersonal yang mengasumsikan bahwa orang lain dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Orang lain dapat mempengaruhi perilaku dengan cara berbagi pemikiran, saran dan perasaan dengan dukungan emosional dan bantuan yang mereka berikan.

Teori dan model terakhir adalah teori level komunitas yang berfokus pada sistem sosial (komunitas, organisaasi, institusi, dan kebijakan publik), seperti aturan, peraturan, kebijakan, perundang-undangan, dan norma. McLeroy et al, 1988, mengubah sistem sosial dari satu yang mempertahankan dan mendukung perilaku sehat pada akhirnya mendukung perubahan perilaku individu (Hayden, 2009).

2.7.1 Teori Perilaku Terencana (Theory of planned behavior)

Theory of planned behavior merupakan salah satu teori perilaku intrapersonal. Teori ini merupakan penyempurnaan dari teori sebelumnya yaitu theory of reasoned action yang memberikan beberapa bukti ilmiah bahwa intens untuk melakukan suatu tingkah laku dipengaruhi oleh attitudes

dan subjective norm. Banyak penelitian di bidang sosial yang sudah membuktikan bahwa theory of reasoned action ini adalah teori yang cukup memadai dalam memprediksi tingkah laku. Namun setelah beberapa tahun, Ajzen melakukan meta analisis terhadap theory of reasoned action, ternyata didapatkan suatu penyimpulan bahwa theory of reasoned action hanya berlaku bagi tingkah laku yang berada di bawah kontrol penuh individu, namun tidak


(38)

sesuai untuk menjelaskan tingkah laku yang tidak sepenuhnya di bawah kontrol individu, karena ada faktor yang dapat menghambat atau memfasilitasi realisasi intens ke dalam tingkah laku. Berdasarkan analisis ini, Ajzen menambahkan satu faktor anteseden bagi niat yang berkaitan dengan kontrol individu, yaitu persepsi atas kontrol perilaku.

Penambahan satu faktor ini kemudian mengubah theory of reasoned action menjadi theory of planned behavior. Theory of reasoned action paling berhasil ketika diaplikasikan pada perilaku yan di bawah kendali individu atau kemauan individu, meskipun individu tersebut sangat termotivasi oleh sikap dan norma subjektifnya, ia mungkin akan secara nyata menampilkan perilaku tersebut. Sebaliknya, theory of planned behavior dikembangkan untuk memprediksi perilaku-perilaku yang sepenuhnya tidak dibawah kendali individu (Achmat, 2010).

Theory of planned behavior memperhitungkan bahwa semua perilaku tidaklah di bawah kendali dan bahwa perilaku-perilaku tersebut berada pada suatu titik dalam suatu kontinum dari sepenuhnya di bawah kendali sampai sepenuhnya di luar kendali. Individu mungkin memiliki kendali sepenuhnya ketika tidak terdapat hambatan apapun untuk menampilkan suatu perilaku. Dalam keadaan ekstrim yang sebaliknya, mungkin sama sekali tidak terdapat kemungkinan untuk mengendalikan suatu perilaku karena tidak adanya kesempatan, karena tidak adanya sumber daya atau keterampilan. Faktor-faktor pengendali tersebut terdiri atas Faktor-faktor internal dan Faktor-faktor eksternal. Faktor-fakor internal antara lain keterampilan, kemampuan, informasi, emosi,


(39)

sters, dan sebagainya. Faktor-faktor eksternal meliputi situasi dan faktor-faktor lingkungan (Achmat, 2010).

Oleh sebab itu, untuk mengatasi keterbatasan tersebut, Ajzen memodifikasi theory of reasoned action dengan menambahkan anteseden

intens yang ke tiga yang disebut persepsi atas kontrol perilaku. Dengan tambahan anteseden ke tiga tersebut, ia menamai ulang teorinya menjadi

theory of planned behavior. Persepsi atas kontrol perilaku menunjukan suatu derajat dimana seorang individu merasa bahwa tampil atau tidaknya suatu perilaku yang dimaksud adalah di bawah pengendaliannya. Orang cenderung tidak akan membentuk suatu niat yang kuat untuk menampilkan suatu perilaku tertentu jika ia percaya bahwa ia tidak memiliki sumber atau kesempatan untuk melakukan meskipun ia memiliki sikap positif dan ia percaya bahwa orang-orang lain yang penting baginya akan menyetujuinya (Achmat, 2010).

Ada beberapa tujuan dan manfaat dari theory of planned behavior ini, antara lain adalah untuk meramalkan dan memahami pengaruh-pengaruh motivasional terhadap perilaku yang bukan dibawah kendali atau kemauan individu sendiri. Selain itu, teori ini berguna untuk mengidentifikasi bagaimana dan kemana mengarahkan strategi-strategi untuk perubahan perilaku dan juga untuk menjelaskan tiap aspek penting beberapa perilaku manusia seperti mengapa seseorang membeli mobil baru, memilih seorang calon dalam pemilu, dan sebagainya (Achmat, 2010).


(40)

Bagan 2.1

Theory of Planned Behavior

Modifikasi dari Theory of Planned Behavior , Ajzen (2005)

Theory of reasoned action dan theory of planned behavior dimulai dengan melihat intens atau niat berperilaku sebagai anteseden terdekat dari suatu perilaku. Dipercaya bahwa semakin kuat niat seseorang untuk menampilkan suatu perilaku tertentu, diharapkan semakin berhasil ia melakukannya (Achmat, 2010). Informasi kedua yang dapat diperoleh adalah bahwa niat dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu sikap individu terhadap tingkah laku yang dimaksud (attitude toward behavior), norma subjektif (subjective norm), dan persepsi atas kontrol perilaku yang dimiliki (perceive behavioral control).

Informasi lainnya yang didapatkan dari bagan diatas adalah bahwa masing-masing faktor yang mempengaruhi niat (sikap, norma subjektif, persepsi atas kontrol perilaku ) dipengaruhi oleh anteseden lainnya yaitu

belief. Faktor belief atau keyakinan, merupakan dasar penggerak dalam

Background factor

Sosial - Umur - Jenis Kelamin - Pendidikan - Pendapatan - Kepercayaan Individu - Personality - Intelegence Information - Pengalaman Behavioral beliefs Sikap Normativ e beliefs Norma Subjektif Control beliefs Persepsi atas Kontrol Perilaku Niat Perilaku


(41)

berperilaku. Faktor keyakinan masing-masing terhadap sikap adalah

behavioral belief yaitu keyakinan bahwa akan berhasil atau tidak berhasil dalam suatu tindakan, terhadap norma subjektif adalah keyakinan normatif yaitu keyakinan bahwa tindakannya didukung atau tidak didukung oleh orang tertentu ataupun masyarakat, dan terhadap persepsi atas kontrol perilaku adalah control belief yaitu keyakinan bahwa individu mampu melakukan tindakan karena didukung sumberdaya internal dan eksternal. Baik sikap, norma subjektif, maupun persepsi atas kontrol perilaku merupakan fungsi perkalian dari masing-masing beliefs dengan faktor lain yang mendukung.

Selain itu persepsi atas kontrol perilaku merupakan ciri khas theory of planned behavior ini terdapat dua cara atau jalan yang menghubungkan tingkah laku dengan persepsi atas kontrol perilaku . Cara yang pertama diwakili dengan garis penuh yang menghubungkan persepsi atas kontrol perilaku dengan tingkah laku secara tidak langsung melalui perantara niat. Hubungan yang tidak langsung ini setara dengan hubungan dua faktor lainnya dengan tingkah laku. Ajzen (2005) berasumsi bahwa persepsi atas kontrol perilaku mempunyai implikasi motivasional pada niat. Individu yang percaya bahwa dia tidak memiliki sumber daya atau kesempatan untuk menampilkan tingkah laku tertentu cenderung tidak membentuk niat yang kuat untuk melakukannya, walaupun ia memiliki sikap yang positif dan ia percaya bahwa orang lain akan mendukung tingkah lakunya itu. Cara yang kedua adalah hubungan secara langsung antara persepsi atas kontrol perilaku dengan perilaku yang digambarkan dengan garis putus-putus, tanpa melalui niat,


(42)

menandakan bahwa hubungan antara persepsi atas kontrol perilaku dengan tingkah laku diharapkan muncul hanya jika ada kesepakatan antara persepsi atas kontrol perilaku dengan kontrol aktualnya dengan derajat akurasi yang cukup tinggi.

Informasi terakhir dari bagan diatas adalah variabel-variabel yang terdapat dalam faktor latar belakang di dalam theory of planned behavioral

tidak diabaikan. Variabel-variabel tersebut diasumsikan sebagai hal yang mempengaruhi behavioral, normatif dan atau controlbelief. Ketiga komponen

theory of planned behavior itu diasumsikan sebagai penengah efek dari faktor latar belakang tersebut dalam terbentuknya niat dan perilaku. Theory of planned behavior ini mengakui bahwa faktor latar belakang dapat memberikan informasi yang bernilai tentang kemungkinannya sebagai pendahulu dari behavioral, normative, dan control belief. Faktor latar belakang menunjukan bahwa tiap individu berbeda lingkungan sosialnnya seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, penghasilan, agama, kepandaian dan pengalaman yang dapat menunjukan beragam isu atau informasi atau yang memengaruhi kepercayaan individu tersebut (Ajzen, 2005).

2.7.1.1Sikap

2.7.1.1.1 Definisi Sikap

Dalam theory of planned behavior, sikap dianggap sebagai anteseden pertama dari intense perilaku. Sikap adalah kepercayaan positif atau negatif untuk menampilkan suatu perilaku tertentu. Dalam Mar’at (1981), yang dikutip dari Berkowitz (1972), beberapa ahli


(43)

seperti Thurstone, Likert, dan Osgood merumuskan bahwa sikap adalah bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Mar’at sendiri mendefinisikan sikap sebagai produk dari proses sosialisasi dimana seseorang bereaksi sesuai dengan rangsangan yang diterimanya. Manifestasi sikap tidak langsung dapat dilihat, akan tetapi harus ditafsirkan terlebih dahulu sebagai tingkah laku yang masih tertutup.

Menurut Novita (2011), sikap merupakan perilaku tertutup. Setelah seseorang diberi stimulus/ objek, proses selanjutnya dia akan menilai atau bersikap terhadap stimulus/ objek kesehatan tersebut. Sehingga dapat dikatakan sikap kesehatan akan sejalan dengan pengetahuan kesehatannya.

2.7.1.1.2 Anteseden Sikap

Sikap yang dimiliki seseorang terhadap suatu tingkah laku dilandasi oleh belief seseorang terhadap konsekuensi (outcome) yang akan dihasilkan jika tingkah laku itu dilakukan dan kekuatan terhadap

belief tersebut. Belief adalah pernyataan subjektif seseorang yang menyangkut aspek-aspek yang dapat dibedakan tentang dunianya, yang sesuai dengan pemahaman tentang diri dan lingkungannya. Rumusnya adalah sebagai berikut:


(44)

Berdasarkan rumus diatas, sikap terhadap tingkah laku (AB) didapatkan dari penjumlahan hasil kali antara kekuatan belief terhadap

outcome yang dihasilkan (bi) dengan evaluasi terhadap outcome (ei). Dengan kata lain, seseorang yang percaya bahwa sebuah tingkah laku dapat menghasilkan outcome yang positif, maka ia akan memiliki sikap yang positif. Begitu juga sebaliknya, jika individu tersebut percaya bahwa dengan melakukannya akan menghasilkan outcome

yang negatif, maka ia akan memiliki sikap yang negatif terhadap tingkah laku tersebut.

2.7.1.2Norma Subjektif

2.7.1.2.1 Definisi Norma Subjektif

Menurut Baron & Byrne (2002), norma subjektif adalah persepsi individu tentang apakah orang lain akan mendukung atau tidak terwujudnya tindakan tersebut (Fishbein & Ajzen, 2005). Norma subjektif adalah salah satu determinan dari niat dimana persespsi seseorang dipengaruhi oleh tekanan sosial sehingga mereka mempertimbangkan untuk menunjukan atau tidak menunjukan perilaku mereka (Ajzen, 2005).

Selain keyakinan normatif, menurut Ajzen norma subjektif juga terbentuk dari keyakinan seseorang mengenai apa yang harus dilakukannya menurut pikiran orang lain, beserta kekuatan motivasinya untuk memenuhi harapan tersebut (motivational to comply). Motivation to comply merupakan salah satu hal yang


(45)

mempengaruhi nilai norma subjektif tentang suatu perilaku adalah dipengaruhi oleh kekuatan sosial. Kekuatan sosial yang dimaksud terdiri dari penghargaan atau hukuman yang diberikan sumber rujukan kepada individu, rasa suka individu terhadap sumber rujukan, seberapa besar individu menganggap sumber rujukan sebagai ahli, dan adanya permintaan dari sumber rujukan tersebut.

2.7.1.2.2 Anteseden Norma Subjektif

Norma subjektif yang dipegang seseorang dilatarbelakangi oleh

belief yang disebut normative beliefs. Dalam rumusan yang dibuat Ajzen, dapat dilihat bahwa norma subjektif (SN) didapatkan dari hasil penjumlahan hasil kali dari normativebeliefs tentang tingkah laku (ni) dengan motivasi untuk mengikutinya (mi). Sehingga dapat dikatakan individu yang percaya individu atau kelompok lain akan mendukung ia untuk melakukam suatu perilaku, maka ini akan menjadi tekanan sosial terhadap individu tersebut untuk melakukannya.

SN = ∑ ni mi

2.7.1.3Persepsi atas Kotrol Perilaku

2.7.1.3.1 Definisi Persepsi atas kontrol perilaku

Machrus (2010) mengartikan persepsi atas kontrol perilaku

menjadi persepsi atas kontrol perilaku yang diasumsikan mencerminkan pengalaman masa lalu dan juga hambatan atau rintangan yang diantisipasi. Menurut Hogg dan Vaughan (2005),


(46)

persepsi terhadap kontrol adalah ukuran sejauh mana individu percaya tentang mudah atau sulitnya menampilkan tingkah laku tertentu.

Pengukuran persepsi atas kontrol perilaku ini membawa kontribusi yang berharga dalam memprediksi tingkah laku, namun tidak terlalu berperan besar pada tingkah laku yang kontrol volitionalnya rendah, misalnya menghadiri kelas regular. Persepsi atas kontrol perilaku akan lebih berperan meningkatkan kemampuan prediktif niat terhadap tingkah laku pada tingkah laku yang kontrol volitionalnya tinggi, seperti menurunkan berat badan. Pada tingkah laku yang sering kita kerjakan sehari-hari atau secara rutin, peran kontrol ini juga tidak terlalu besar. Inidividu menampilkan tingkah laku yang rutin melalui niat yang spontan pada situasi atau konteks yang sudah familiar (Ajzen, 2005).

2.7.1.3.2 Anteseden Persepsi atas kontrol perilaku

Persepsi atas kontrol perilaku merupakan salah satu faktor dari tiga yang mempengaruhi niat untuk bertingkah laku. Persepsi atas kontrol perilaku menunjuk suatu derajat dimana seorang individu merasa bahwa tampil atau tidaknya suatu perilaku yang dimaksud adalah dibawah pengendaliannya. persepsi atas kontrol perilaku mengindikasikan bahwa motivasi seseorang dipengaruhi oleh bagaimana ia memersepsikan tingkat kesulitan atau kemudahan untuk menampilkan suatu perilaku. Persepsi atas kontrol perilaku dipengaruhi beliefs. Belief dalam hal ini adalah tentang hadir atau


(47)

tidaknya faktor yang menghambat atau mendukung performa tingkah laku (control beliefs). Beliefs ini bisa berasal dari pengalaman performa masa lalu, informasi dari luar atau dari pengalaman terhadap performa tingkah laku orang lain serta dari faktor- faktor lain yang dapat meningkatkan atau mengurangi kesulitan yang dirasakan dalam melakukan perilaku tersebut.

Rumus ini menunjukan bahwa persepsi atas kontrol perilaku

merupakan penjumlahan hasil kali dari control beliefs tentang hadir/tidaknya faktor (ci) dengan kekuatan faktor dalam memfasilitasi atau menghambat tingkah laku (pi). Dengan kata lain, semakin besar persepsi mengenai kesempatan dan sumber daya yang dimiliki, serta semakin kecil persepsi tentang hambatan yang dimiliki seseorang, maka semakin besar persepsi kontrol yang dimiliki orang tersebut.

2.7.1.4Niat

2.7.1.4.1 Definisi Niat

Niat menurut ajzen (2005) merupakan disposisi dari tingkah laku, yang hingga terdapat waktu dan kesempatan yang tepat, akan diwujudkan dalam bentuk tindakan. Intensi atau niat individu untuk menampilkan suatu perilaku seseorang adalah kombinasi dari sikap dan norma subjektif untuk menampilkan perilaku tersebut.

Niat individu terhadap perilaku meliputi kepercayaan mengenai suatu perilaku, evaluasi terhadap hasil perilaku, norma


(48)

subjektif, kepercayaan-kepercayaan normatif dan motivasi untuk patuh. Niat bisa berubah karena waktu. Semakin lama jarak antara niat dan perilaku, semakin besar kecenderungan terjadinya perubahan niat (Achmat, 2010).

2.8Penilaian Konsumsi Makan

Penilaian konsumsi makan atau survei konsumsi makan digunakan untuk melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat gizi dengan melihat gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masarakat, keluarga dan individu.

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menilai konsumsi makanan individu adalah recall 24 jam. Metode ini digunakan dengan cara mengingat kembali dan mencatat jumlah, serta jenis panganan dan minuman yang telah dikonsumsi selama 24 jam adalah salah satu metode yang digunakan untuk mengukur konsumsi makan individu.

Kelebihan recall 24 jam

- Mudah melaksanakannya serta tidak terlalu membebani responden

- Biaya relative murah, karena tidak memerluka peralatan khusus dan tempat yang luas untuk wawancara

- Cepat, sehingga dapat mencakup banyak responden - Dapat digunakan untuk responden yang buta huruf

- Dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari.


(49)

Kekurangan recall 24 jam

- Tidak dapat menggambarkan asupan makan sehari-hari jika hanya dilakukan recall satu hari

- Ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden, oleh karena itu responden harus memiliki daya ingat yang baik, sehingga metode ini tidak cocok dilakukan pada anak usia di bawah 7 tahun, orang tua berusia diatas 70 tahhun dan orang yang hilang ingatan atau orang yang pelupa. - The flat slope syndrome, yaitu kecenderungan bagi responden yang kurus

untuk melaporkan konsumsinya lebih banyak (over estimate) dan bagi responden yang gemuk cenderung melaporkan lebih sedikit (under estimate)

- Membutuhkan tenaga atau petugas yang terlatih dan terlampir dalam menggunakan alat- alat bantu URT dan ketepatan alat bantu yang dipakai menurut kebiasaan masyarakat

- Responden harus diberi motivasi dan penjelasan tentang tujuan dari penelitian

- Untuk mendapatkan gambaran konsumsi makan sehari-hari recall jangan dilakukan pada saat panen, hari pasar, akhir pekan dan saat melakukan upacara-upacara keagamaan, selamatan dan lain- lain.

Untuk membandingkan kesesuaian beberapa kebutuhan zat gizi, digunakan pedoman Angka Kebutuhan Gizi tahun 2004.


(50)

2.9Penilaian Kebutuhan Energi Pada Orang Sakit

Kebutuhan gizi dalam keadaan sakit, selai tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi dalam keadaan sehat juga dipengaruhi oleh jenis dan ringannya penyakit. Begitu juga dengan kebutuhan energi yang berubah dalam keadaan sakit, sesuai dengan jenis dan beratnya penyakit. Cara menentukan kebutuhan orang sakit dapat dilakukan dengan caramenurut persen kenaikan kebutuhan diatas Angka Metabolisme Basal (AMB) yaitu dengan mengalikan AMB dengan faktor aktivitas dan faktor trauma/stress sebagai berikut:

Kebutuhan Energi = AMB x Faktor Aktivitas x Faktor Trauma/stres Kebutuhan energi untuk AMB diperhitungkan menurut berat badan normal atau ideal. AMB dipengaruhi oleh umur, gender, berat badan, dan tinggi badan. Salah satu rumus yang digunakan untuk menghitung AMB adalah rumus Harris Benedict (1919) yaitu:

Laki-laki = 66 + (13,7 x BB) + (5 x TB) – (6,8 x U) Perempuan = 655 + (9,6 x BB) + (1,8 x TB) – (4,7 x U) Keterangan : BB = Berat Badan

TB = Tinggi Badan U = Umur

Sedangkan untuk menentukan nilai aktivitas dan faktor trauma, digunakan tabel yang bersumber pada A Practical Guide to Nutritional Suppport in Adults and Children, Universitas Malaya (2000):


(51)

Tabel 2.1

Faktor aktivitas dan faktor trauma atau stres untuk menetapkan kebutuhan energi orang sakit

No Aktivitas Faktor No Jenis trauma faktor 1.

2.

Istirahat di tempat tidur Tidak terikat di tempat tidur 1,2 1,3 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Tidak ada stress, pasien dalam keadaan baik Stress ringan: peradangan saluran cerna, kanker, bedah elektif, trauma keangka moderat

Stress sedang: sepsis, bedah tulang, luka bakar, trauma keranga mayor

Stress berat: trauma multiple, sepsis dan bedah multisistem Sters sangat berat: luka kepala berat, sindroma, penyakit pernafasan akut, luka bakar

Luka bakar sangat berat 1,3 1,4 1,5 1,6 1,7 2,1

2.10 Kerangka Teori

Menurut Fishbein dan Ajzen (1975), suatu penelitian yang bertujuan untuk meramalkan suatu tingkah laku dapat memfokuskan analisinya pada niat untuk bertingkah laku. Namun, jika penelitian bertujuan untuk memahami tingkah laku, maka yang perlu dianalisis adalah niat untuk bertingkah laku dan juga sikap, norma subjektif dan persepsi terhadap tingkah laku tersebut. Teori inilah yang digunakan peneliti untuk menggambarkan dan mengetahui latar belakang perilaku orang tua/ pengasu dalam memberikan asupan makan guna memenuhi kebutuhan gizi anak terinfeksi HIV.


(52)

Bagan 2.2 Kerangka Teori

Behavioral beliefs

Sikap

Normative beliefs

Norma Subjektif

Control beliefs

Persepsi atas Kontrol Perilaku


(53)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI ISTILAH

3.1Kerangka Konsep

Penting bagi anak HIV untuk mempertahankan kondisi tubuh mereka dari keparahan penyakit dengan mengkonsumsi zat gizi penting. Karena sejumlah penelitian yang dilakukan pada anak HIV menunjukan bahwa pertumbuhan yang buruk menjadi indikator perkembangan penyakit dan menjadi faktor resiko terjadinya kematian. Perilaku mengkonsumsi zat gizi penting ini dipengaruhi oleh pemberian makan oleh orang tua/ pengasuh anak yang terinfeksi HIV. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perilaku orang tua dalam memberikan makanan guna memenuhi asupan gizi anak terinfeksi HIV.

Bagan 3.1

Kerangka Konsep Penelitian

Sikap Norma subjektif Persepsi atas Kontrol Perilaku

Niat

Perilaku pemberian makanan bergizi

pada anak terinfeksi HIV


(54)

3.2Definisi Istilah

Table 3.2 Definisi Istilah

No Domain Definisi Istilah Metode Instrumen Triangulasi Hasil wawancara 1 Perilaku

pemberian makanan

Praktik/ tindakan ibu dalam upaya pemberian makan pada anak dan banyaknya asupan gizi anak HIV yang berasal dari makanan dan minuman yang dikonsumsi Wawancara mendalam dan Observasi Pedoman wawancara mendalam dan Pedoman observasi Triangulasi metode

- Makanan yang dikonsumsi anak (porsi, jenis) - Perilaku

pemberian makan anak - Keterpenuhan

asupan gizi anak HIV

No Domain Definisi istilah Metode Instrumen Triangulasi Hasil wawancara 2 Sikap

terhadap perilaku memberikan makanan bergizi kepada anak terinfeksi HIV Kepercayaan positif ataupun negatif untuk menampilkan suatu perilaku tertentu. Sikap ditentukan oleh kepercayaan individu mengenai konsekuensi dari menampilkan suatu perilaku dan ditimbang berdasarkan hasil evaluasi terhadap konsekuensinya. Wawancara mendalam Panduan wawancara

- -Sikap secara umum tentang konsumsi makanan bergizi untuk anak HIV

-Belief tentang

memberikan makanan bergizi adalah baik untuk anak terinfeksi HIV

-Belief tentang

kegunaan dan dampak jika anak tidak

dberikan makanan bergizi

-Belief tentang seberapa penting pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV 3 Norma

subjektif terhadap Persepsi individu tentang apakah orang Wawancara mendalam Panduan wawancara Triangulasi sumber

-Belief tentang norma sosial/ tekanan yang didapat dari luar ketika


(55)

perilaku memberikan makanan bergizi kepada anak terinfeksi HIV lain akan mendukung atau tidak terwujudnya tindakan untuk memberikan makanan bergizi kepada anak terinfeksi HIV. memiliki keinginan untuk memberikan makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV. -Dukungan LSM

dampingan dalam memantau gizi anak dan pemberian makan anak

4 Persepsi atas kontrol perilaku terhadap pemberian makanan bergizi kepada anak terinfeksi HIV Dorongan atau hambatan yang dipersepsikan individu untuk menampilkan perilakunya memberikan makanan bergizi kepada anak terinfeksi HIV. Wawancara mendalam Panduan wawancara

- - Dorongan/motivasi dalam memberikan makanan bergizi - Hambatan dalam

memberikan makanan bergizi

- Belief individu dalam menghadapi hambatan tersebut.

5 Niat

memberikan makanan yang bergizi kepada anak terinfeksi HIV Deklarasi internal seseorang untuk memberikan makanan bergizi kepda anak HIV.

Wawancara mendalam

Panduan wawancara

- -Keinginan untuk mewujudkan perilaku -Keinginan untuk

berperilaku lebih baik -Keinginan untuk

memertahankan perilaku yang sudah baik.


(56)

4.1Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dimana tujuan dari penelitian kualitatif adalah untuk menangkap arti yang terdalam atas suatu peristiwa, gejala, fakta, kejadian, realita atau masalah tertentu dan bukan untuk mempelajari atau membuktikan adanya hubungan sebab akibat atau kolerasi suatu masalah atau peristiwa. Penggunaan metode kualitatif pada penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam perilaku orang tua/pengasuh dalam memberikan makan guna memenuhi kebutuhan gizi anak terinfeksi HIV.

4.2Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dilaksanakan pada bulan April – Oktober 2013. Pada penelitian ini, peneliti melakukan kunjungan ke rumah informan yang diteliti. Sehingga penelitian dilakukan ditempat tinggal informan yang berdomisili di wilayah Jakarta Timur, seperti Cawang, Jatinegara, dan Kampung Rambutan. 4.3Metode Pengumpulan data

Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama, dari individu seperti hasil wawancara atau hasil pengisian kuesioner yang biasa dilakukan peneliti. Data primer pada penelitian ini didapatkan dari


(57)

wawancara mendalam dan observasi. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh tidak langsung dari lapangan. Data sekunder dalam penelitian ini adalah data mengenai informan seperti alamat, berat badan dan tinggi badan anak, dan profil Yayasan Tegak Tegar.

Dalam penelitian ini data penelitian yang disajikan berupa text hasil wawancara mengenai sikap, norma subjektif dan persepsi atas kontrol perilaku

informan. Data berupa foto makanan digunakan sebagai hasil dari observasi makanan yang dimakan anak sehari.

4.3.1 Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam dilakukan untuk mendapatkan data mengenai perilaku pemberian makan orang tua/pengasuh kepada anak terinfeksi HIV serta faktor-faktor yang melandasi terbentuknya perilaku dalam pemberian makan tersebut.

Selain kepada orang tua/ pengasuh anak HIV, wawancara mendalam juga dilakukan kepada pengurus Yayasan Tegak Tegar untuk mengetahui dukungan yang diberikan lembaga pendamping anak terinfeksi HIV.

Sebelum melakukan wawancara, peneliti telah menyusun pedoman wawancara sebelumnya mengenai perilaku, sikap, norma subjektife dan persepsi atas kontrol perilaku. Untuk mengetahui


(58)

pemberian makan orang tua/pengasuh kepada anak HIV peneliti menggunakan form food recall 24jam.

4.3.2 Observasi

Observasi adalah bagian dalam pengumpulan data yang dilakukan langsung dilapangan. Observasi dalam sebuah penelitian memiliki tujuan untuk dapat mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dari kejadian tersebut. observasi memungkinkan peneliti memperoleh data tentang hal-hal yang karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh subjek penelitian secara terbuka dalam wawancara sehingga peneliti akan mendapatkan pemahaman lebih baik dalam hal yang diteliti ada atau terjadi.

Obeservasi pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui perilaku pemberian makanan orang tua secara langsung kepada anak terinfeksi HIV. Pedoman observasi digunakan sebagai panduan dalam melakukan observasi.

4.3.3 Telaah Dokumen

Telaah dokumen adalah cara pengumpulan informasi yang didapatkan dari dokumen, arsip-arsip, dan surat-surat pribadi yang memiliki keterkaitan dengan masalah yang diteliti.


(59)

Pada penelitian ini, telaah dokumen yang dilakukan yaitu melihat visi, misi, struktur organisasi, program kerja dan daftar anak dampingan Yayasan Tegak Tegar.

4.4Informan Penelitian

Informan penelitian dalam penelitian adalah subjek yang memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku. Dalam penelitian ini terdapat dua informan yaitu informan utama dan informan pendukung. Informan utama dalam penelitian ini adalah orang tua/ pengasuh dari anak yang terinfeksi HIV. Sedangkan informan pendukung adalah pengurus Yayasan Tegak Tegar.

4.4.1 Informan Utama

Informan penelitian dalam penelitian adalah subjek yang memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku. Dalam penelitian ini terdapat dua informan yaitu informan utama dan informan pendukung. Informan utama dalam penelitian ini adalah orang tua/ pengasuh dari anak yang terinfeksi HIV. Sedangkan informan pendukung adalah pengurus Yayasan Tegak Tegar.

4.4.2 Informan Pendukung

Selain orang tua/ pengasuh anak, pengurus Yayasan Tegak Tegar sebagai lembaga yang mendampingi ODHA juga dijadikan sebagai informan pendukung dalam penelitian. Satu orang pengurus yayasan yang menjadi informan pendukung dalam penelitian ini yaitu ketua


(60)

Yayasan Tegak Tegar yang mengetahui program pendampingan terhadap anak HIV.

4.5Instrumen Penelitian

Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Pedoman wawancara mendalam

2. Formulir Food recall 24 jam 3. Pedoman observasi

4.6Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Mengorganisasikan data berarti mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode, dan mengategorikannya. Pengorganisasian dan pengolahan data tersebut bertujuan menemukan tema dan hipotesis kerja yang akhirnya diangkat menjadi teori substansif. Adapun data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis data dengan tahapan sebagai berikut:

1. Menelaah data, yakni seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu wawancara dan observasi yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi kemudian dibaca, dipelajari dan ditelaah.


(61)

2. Reduksi data yaitu membuat abstraksi atau inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap perlu berada di dalamnya.

3. Menyusun dalam satuan atau menghaluskan pencatatan data. Menurut Lincoln dan Cuba (1985), menamakan satuan itu sebagai satuan informasi yang berfungsi untuk menentukan atau mengidentifikasikan kategori.

4. Penafsiran data, menurut Schalzman dan strauss (1973), tujuan dari penafisran data adalah deskripsi semata atau analisis menerima dan menggunakan teori dan rancangan organisasional yang telah ada dalam suatu disiplin. Deskripsi analitik yakni rancangan organisasional dikembangkan dari kategori-kategori yang ditemukan dan hubungan-hubungan yang disarankan atau yang muncul dari data. Fungsi terakhir adalah teori substantif yakni untuk memperoleh teori baru yaitu teori dari dasar, analisis harus menampakan metafora atau rancangan yang telah dikerjakannya dalam analisis.

5. Analisis data berupa catatan konsumsi makan dilakukan dengan memasukan data kedalam software Nutri Survey guna menganalisis kandungan gizi dalam makanan dan membandingkan dengan kebutuhan energi pada orang sakit.

4.7Validasi Data

Validitas menunjukan bahwa data yang diambil sungguh mengukur yang memang ingin diukur. Dalam penelitian kualitiatif, agar sebuah penelitian dikatakan valid, akurat, dan dipercaya maka digunakan triangulasi. Triangulasi


(62)

adalah melihat suatu realitas dari berbagai sudut pandang atau perspektif, dari berbagai segi sehingga lebih kredibel dan akurat.

Dalam penelitian ini untuk mendapatkan data yang valid maka dilakukan triangulasi metodologis dimana melakukan pengumpulan data dengan menggunakan dua atau lebih metode atau prosedur studi, termasuk di dalamnya perbedaan desain, instrumen dan prosedur pengumpulan data. Triangulasi metodologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode wawancara mendalam dan observasi untuk mengetahui latar belakang dari terbentuknya perilaku orang tua dalam memberikan makanan kepada anak terinfeksi HIV. Selain penggunaan triangulasi metode, penelitian ini juga menggunakan triangulasi sumber dimana selain orang tua yang menjadi sumber informasi juga LSM yang mendampingi orang tua yang memiliki anak terinfeksi HIV menjadi informan karena dianggap sebagai orang yang berpengaruh dalam terciptanya perilaku pemberian makan yang dilakukan orang tua kepada anak terinfeksi HIV. Triangulasi sumber data adalah mencari data dari banyak sumber informan, yaitu orang yang terlibat langsung dengan objek kajian.

Tabel 4.1 Metode Triangulasi

Metode Triangulasi

No Domain Metode Triangulasi Sumber Metode 1 Perilaku pemberian makanan Wawancara

mendalam -

√ Observasi 2 Sikap terhadap perilaku Wawancara - -


(1)

VERBATIM IV

Pewawancara (P): Fety (peneliti) Informan (J): D

Anak: Z

Berikut ini adalah verbatim berdasarkan pedoman wawancara yang sudah dibuat sebelumnya.

1. P Mas, yang mas ketahui tentang makanan bergizi apa?

J Yang memenuhi kebutuhan badan anak

2. P Kalo menurut mas, gizi yang baik kaya gimana?

J Gizi seimbang. Kaya sayur mayur, lauk, pauk, buah ada.

3 P Kalo gizi yang baik buat anak HIV gimana mas?

J Yang bisa ningkatin kekebalan tubuhnya dia kaya bayam, jambu gitu gitu mba

4 P Yang mas tau tentang makanan yang baik anak seperti Z gimana mas?

J yang ngga nimbulin dia sakit, kaya kacang ijo, telor, ikan, ayam, susu.

5 P Jadi kalo cara memberi makanan buat anak HIV gimana bu yang baik?

J Ngga khusus sih. Kalo orang tertentu yang ada kelainan mungkin makanannya beda ya. Tapi kalo buat Z ngga sih, sama aja.

6 P Pernah punya pengalaman ngga mas Z sakt karna nga dikasih makanan

bergizi?

J Ngga sih. Dia kalo kecapean sakit. Kaya kemaren kan ke ciputat itu hujan pulangnya, demam dia. Tapi kalo karna makanan ngga pernah.

7 P Mas tau ngga dampak kalo Z ngga dikasi makanan bergizi?

J Sering sakit kalo asupan gizinya kurang gitu. Mudah sakit.

8 P Kalo keuntungannya kalo Z dikasi makanan bergizi?

J Ngga cepet ngedrop ke anaknya. Kalopun ngedrop Cuma sesekali aja tapi ngga sampe sakit lama gitu. Kaya demam biasa aja.


(2)

9 P Menurut mas, Z harus diberi makanan bergizi seperti apa biar kebutuhan gizinya terpenuhi?

J Vitamin sama susu ngga boleh ngga dikasih mba. Kalo makanan sih ngga harus yang mewah, yang penting bergizi tinggi. Kaya tempe, sayur gitukan.

10 P Kalo menurut mas, kalo Z ngga dikasi makanan bergizi akibatnya apa?

J Ngedrop badannya. Bisa sakitnya panjang. Soalnya kena penyakit-penyakit lain. Kan jadi gampang sakit.

11 P Pengaruhnya besar ngga mas kalo Z ngga dikas makkanan bergizi?

J Besar. kan jadinya bisa mempengaruhi kekebalan tubuh Z.

12 P Mas, siapa yang mempengaruhi mas untuk ngasi makanan bergizi buat Z?

J Dokter. Dokter suka nyaranin buat pilih makanan yang bisa bantu kesehatan dia.

13 P Pengaruhnya gimana mas dukunan dari oran lain supaya mas

memberikan makanan bergizi?

J Jadi makin dapet pengetahuan sih ya. jadi tau anaknya harus dikasiih makan apa, jadi lebih diperhatiin buat makan anak.

14 P Yang bikin mas mau memberikan makanan bergizi buat Z apa mas?

J Karena itukan kebutuhan dia. Kalo ngga terpenuhi ya kasian juga.

15 P Ada ngga mas hambatan selama memberikan makanan bergizi buat Z?

J Suka-suka dia sih makannya. Ngga bisa dipaksain jam segini harus makan.tapi kalo udah minta makan, harus disediaain. Baru gtu.

Dikit juga sih dia makannya. Makannya badannya kurus.

16 P Gimana cara mas ngatasi hambatan tersebut?

J Diganjel dulu. Kalo ngga mau dikasih makanan lain dulu yang dia suka. Kadang suka nanya juga, lagi mau makan apa?kalo dia yang mintakan jadiny nanti dimakan.kadang lauknya aja dimakan.

17 P Mas yakin ngga bisa mengatasi hambatan ini?

J Yakin sih. Yang penting ada yang dia makan.


(3)

Z?

J Ya tentu lah

19 P Apa usaha mas buat ngasih Z makanan bergizi?

J Sekemampuan kita aja. Apa yang ada kita kasih, yang penting memenuhi kebutuhan dia

20 P Gimana cara mas buat mempertahankan tetep bisa ngasih Z makanan

bergizi?

J Paling ngga anaknya mau makan, mau jajan atau mau makan lauknya aja, jadi ngga masuk angin.


(4)

VERBATIM V

Pewawancara (P): Fety (peneliti) Informan (J): E

Anak: A

Berikut ini adalah verbatim berdasarkan pedoman wawancara yang sudah dibuat sebelumnya.

1. P Menurut ibu makanan bergizi itu apa?

J Vitamin. Makanan yang kita makan sehari-hari.

2. P Kalo gizi yang baik menurut ibu gimana?

J Ya makanan yang kita makan sehari-hari, semua makanan baik. Telor, susu, daging, sayur, buah.

3 P Kalo gizi yang baik buat anak HIV gimana bu?

J Sehari-hari makan yang baik. Kaya lauk, pauk, susu, buah, telor, daging, sayur. Terus makannya teratur.

4 P Yang ibu tau tentang makanan yang baik buat A gimana bu?

J Sama aja kaya anak yang lain sih kaya sama makan ikan, makan daging, sayur, ngga beda sama kita yang sehat. Cuman harus lebih banyak aja buat dia mah dibandingin orang lain. Kaya daging, anak yang sehat mah satu cukup, kalo dia harus dua.

5 P Kalo menurut ibu, cara memberi makanan buat anak HIV gimana bu yang

baik?

J Harus ditelatenin. Kalo bisa kita bikin sendiri makanan di rumah. Jadi dia kenyang makan di rumah jadi ngga jajan diluar. Sayakan gitu mba. Suka bikin bubur kacang ijo, ager, donat jadi A ngga jajan makanan diluar. Kan kita ngga tau ya jajanan diluar mah udah macem-macem banget. Ngga pernah dia jajan diluar.kan udah kenyang dari rumah. Kalo lagi main, laper juga pulang ke rumah.

6 P Pernah ngga bu punya pengalaman, ngga ngasih A makanan bergizi terus


(5)

J Ngga sihh

7 P Tapi menurut ibu, kalo A ngga dikasih makanan bergizi ada dampaknya

apa bu buat A?

J Sakit-sakitan. Gampang sakit mba.

8 P Keuntungannya apa bu, kalo ibu kasih A makanan bergizi?

J Sehat. Ngga cepet sakit. Makanya diutamain dikasih makanan yang sehat.

9 P Bu, kalo menurut ibu, anak seperti A ini harus diberi makanan bergizi

seperti apa biar kebutuhan gizinya terpenuhi?

J Makanan yang dikasih harus bervitamin, biar ngga cepet sakit. Cuman A sih dari dulu ngga suka saya kasih vitamin. Baru sekarang aja nih dia minta neneknya beliin vitamin.

10 P Kalo menurut ibu, kalo A ngga dikasi makanan bergizi akibatnya apa bu?

J Ya sakit-sakitan. Tapi A mah ngga pernah sakit sih. Makannya dia mau.

11 P Besar ngga sih bu menurut ibu pengaruh kalo A ngga dikasih makanan

bergizi?

J Besar, makanya makanan diapun harus lebih besar dari orang lain.

12 P Bu, ada ngga orang yang mempengaruhi atau nyaranin ibu buat ngasih A

makanan bergizi?

J Ngga ada sih yang nyaranin. Dari pengalaman aja saya ngurus anak, terus sekarang engkongkan sakit, jadi udah tau kalo orang sakit harus makan apa. Udah biasa lah.kalo dokterkan suka nanya aja, gimana bu keadaan A, sehat? Sehat dok. Tuh liat aja ngga bisa diem. Dokter mah udah pada kenal dia semua, dokter nia, dokter nita. Habiskan kalo dateng langsung salim. Kalo kata dokter nia mah A udah sehat. Jadi saya seneng aja, berartikan saya udah bener ngasih makan A kaya gini.

13 P Pengaruhnya dari orang-orang tadi buat ibu apa bu?

J Ya saya jalanin aja. Kan nambah pengetahuan. Kalo baik kenapa kita ngga jalanin kan?

14 P Yang bikin ibu mau memberikan makanan bergizi buat A apa bu?


(6)

kalo udah jam 12 itu udah waktunya makan.

15 P Kalo hambatannya buat ngasih makan makanan bergizi buat A ada bu?

J Ngga ada hambatan sih mba. Udah biasa, ngerawat engkong sama A juga. Jalanin aja.

16 P Jadi ibu ngerasa ngga ada hambatan buat kasih makanan bergizi buat A

J Ya, apa ya. Biar pas-pasan gini mah mba, kalo rejeki mah ada aja. Ibu tinggal disini kan bukan rumah ibu. Numpang ibu. Ngga bayar. Ibu juga masih suka dipanggil buat ngerawat nenek-nenek disekitar sini, A juga kan suka ada aja dapet uang, susu, sembako, buku, yang dari yayasan, dari tetangga, dari pa haji yang punya rumah ini.

17 P Jadi ibu yakin bisa ngatasi hambatan tadi?

J Yakin aja. Selama ibu maasih bisa kerja mah mba fety. Toh selama ini juga begini. Enjoy aja ibu mah (tersenyum sumringah)

18 P Selama ini ibu punya keinginan atau niat buat ngasih makan bergizi buat

F?

J Iya mba, pingin banget

19 P Apa bu usaha ibu buat ngasih F makanan bergizi?

J Kalo buat makanan kita ngikutin si A. biasanya dia yang minta mau makan apa gitu. Saya selalu bikin cemilan sendiri mba kaya donat, kacang ijo, ager, kolak, jadi dia ngga jajan diluar.

20 P Gimana cara ibu buat mempertahankan tetep bisa ngasih F makanan

bergizi?