Derita anak korban prahara rumah tangga
“Sepenggal Kisah Tentang Derita Anak Korban Prahara Rumah Tangga, Juwita”
Oleh : Hana Farah Dhiba
Kelas : XI MIA 9
No Urut : 10
“Sudah kukatakan padamu, ini semua kesalahanmu. Maka kau yang seharusnya
bertanggung jawab atas semuanya. Urus saja sendiri selingkuhanmu, urus juga anakmu. Aku
tak mau tau lagi,” ketusku pada suamiku.
Lelaki yang dulu kupuja seakan dia yang terbaik, dibelakangku bermain api dengan
wanita lain. Tak kusangka, wanita itu teman karibku sendiri. Tega benar ia mengkhianatiku
seperti ini, apa salahku padanya? Bahkan tiap bertemu aku selalu baik padanya, tiap aku
punya barang baru selalu kubagi dengannya. Haruskah ku berbagi pula suamiku dengannya?
Oh Tuhan.. begitu berat cobaan ini, aku hampir tak kuat lagi menanggungnya sendirian.
“Harus bagaimana aku menyikapi ini semua?” batinku. Hari itu malam terasa panjang.
Purnama seakan hanya titik hitam, kelam tak bertuan.
***
Sejak hari itu hidupku mulai tak karuan, makan tak enak, tidurpun tak nyenyak.
Pekerjaanku dikantor semua terbengkalai. Juwita anakku tak lagi kuperhatikan. Entahlah
seakan aku sudah bosan hidup. Rasanya hari demi hari terlalu berat kulewati. Hingga suatu
hari baru kusadari ada yang aneh dirumahku. Ada yang tak lengkap ketika aku makan, ada
yang kurang ketika aku dirumah, tapi aku mencoba menepis semuanya, mencoba berfikir
bahwa dirumah tak ada apa-apa.
Suatu ketika saat aku hendak menanyakan masalah dapur pada Surti pembantuku, ia
mengatakan padaku bahwa sudah seminggu ini Juwita tak pulang kerumah. Ya Tuhan.. ibu
macam apa aku ini, akibat masalah dengan suami anakku sendiri tak kuperhatikan. Menurut
informasi dari Surti, ternyata sudah seminggu ini anak semata wayangku Juwita menghilang
tanpa kabar. aku mulai cemas dibuatnya, ingin rasanya kuhubungi pihak kepolisian guna
memudahkan pencarian, tapi apalah daya jika teringat anak itu akupun teringat pada suamiku
yang b*ngs*t itu. Jadi ku urungkan niatku mencarinya, “alah besok juga pulang sendiri kalau
sudah ingat rumah” pikirku. Masalah anak itu biar ayahnya yang mencarinya.
Malam harinya aku ribut lagi dengan suamiku perihal wanita selingkuhannya. Ia mengatakan
bahwa wanita itu sedang hamil muda dan meminta dinikahi. Tentu, aku semakin naik darah
dibuatnya.
“Kau tinggal pilih pa, kau tinggalkan perempuan jalang itu dan membangun keluarga
ini kembali atau kau keluar dari rumah ini malam ini juga,” kataku penuh emosi.
“Tolonglah ma, kau jangan egois dulu kasihanilah wanita itu. Bukannya apa-apa tapi
bagaimanapun juga ia tetap teman karibmu bukan?”elak suamiku.
“Sejak dia menggodamu hingga anak haram itu sekarang dikandungnya, ia bukan
temanku lagi pa. Camkan itu!”
“Kau boleh benci aku ma, tapi jangan pula kau sebut anak itu anak haram.
Bagaimanapun juga kan aku ayah biologisnya, jadi aku wajib bertanggung jawab.”
“Sudah cukup pa cukup!! Hentikan semua omonganmuu! Berani benar kau membela
pelacur itu pa? Muak aku mendengarmu, namanya selingkuh tetaplah selingkuh. Tak kan
pernah kumaafkan walau itu saudara sekandungku sekalipun. Pikirkan pula pa, aku ini masih
istrimu tak berhak kau berkata seperti itu padaku. Sekarang keputusanku sudah bulat, pergi
dengan wanita itu atau ceraikan aku sekarang juga,” tegasku.
Suamiku hanya diam seribu bahasa menanggapi ancamanku. Tak kusangka laki-laki itu
beraninya membela selingkuhannya di depanku. Entahlah aku sadar atau tidak atas
perkataanku tadi, tapi yang jelas aku sudah muak dengan mereka berdua. Lebih baik aku
cerai darinya daripada harus berbagi suami, cuihh membayangkannya pun aku tak sudi.
Di tengah perseteruan kami tiba-tiba terdengar suara pintu depan diketuk.
”Siapa pula malam-malam begini datang bertamu? Tak tahukah disini sedang ada
perang dunia ke 3? Awas saja jika hanya minta sumbangan, akan kutendang pantatnya,”
umpatku.
Kulangkahkan kaki menuju ruang depan, kubuka daun pintu perlahan, lalu terlihatlah dengan
jelas di depanku seorang laki-laki paruh baya berkacamata yang asing. Kupersilahkan dia
masuk dan duduk diruang tamu..
“Maaf pak, saya kok asing dengan wajah bapak. Kalau boleh tau bapak ini siapa
ya?”kataku memulai percakapan dengannya.
“Oh maaf bu sebelumnya perkenalkan, saya Agus Pramono walikelas anak ibu,
Juwita.”kenalnya padaku.
“Astaga maafkan saya pak, saya tidak begitu hafal dengan guru-guru Evita.
Perkenalkan saya Ashanty, ibu kandung Juwita,”kataku memperkenalkan diri.
“Tak mengapa bu, saya maklum dengan hal itu. Begini bu Ashanty, maksud
kedatangan saya kemari adalah untuk menanyakan perihal keberadaan anak ibu,Juwita.
Sudah seminggu ini Juwita tak bersekolah tanpa keterangan yang jelas. Apakah ibu tau
dimana Juwita sekarang bu?”tanyanya.
“Maaf pak, saya tidak tahu dimana Juwita. Sudah lama dia tak pulang ke rumah,
menurut pembantu saya kira-kira juga sudah seminggu ini.” Begitu jawabku.
Saat terlibat percakapan itu tiba-tiba suamiku datang dan ikut berbicara
“Bapak ini siapa?”tanyanya.
“Selamat malam bapak, perkenalkan saya Agus Pramono wali kelas anak
bapak,Juwita,”kenalnya sembari menjabat tangan suamiku.
“Oalah, saya Assyraf ayah Juwita. Kalau boleh tau ada apa bapak malam-malam
begini datang kerumah kami?”
“Begini pak, anak bapak sudah seminggu ini tak masuk dan tanpa kabar.Saya kemari
hendak menanyakan keberadaan anak bapak pada bapak dan ibu. Apakah bapak tahu dimana
anak bapak berada?”
”Oh maaf pak, saya sudah dua minggu ini jarang pulang. Jadi saya kurang tahu
bagaimana keadaan dan dimana keberadaaan Juwita. Malah, saya baru dengar berita ini dari
bapak,”jelas suamiku pada guru itu.
Sementara mereka bercakap aku hanya diam saja. Ya memang suamiku jarang pulang,
apalagi semenjak masalah ini, ia makin tak pernah dirumah jadi aku tak ambil pusing
dengannya. Sekarang aku mencemaskan anakku, Juwita. Jika gurunya saja sudah kesini
menanyakan keberadaanya pasti ia sedang dalam masalah besar sekarang. Tak lama setelah
itu gurunya pun pulang, aku semakin mencak-mencak pada suamiku.
“Kau ini anak sendiri tak diurus, selingkuhan diapeli tiap hari. Ayah macam apa
hah?”.
“Hei ngaca dong, harusnya kau sebagai ibu yang mengurusnya. Tapi apa yang kau
lakukan selama ini? Pekerjaan kantor selalu didahulukan, anak sendiri disepelekan. Lihat apa
yang terjadi sekarang, ibu macam apa kau? Dengan enteng menyalahkan suami, dan tidak
menyadari kesalahan sendiri,” cecarnya padaku.
Aku terisak dibuatnya, kalimat itu begitu menohok dihatiku. Tanpa babibu kutampar wajah
nya itu sambil berkata
“Setelah ini kita harus cerai titik,” kataku mengakhiri pertengakaran malam itu.
Selepas pertengkaran itu aku pun masuk ke kamar dan menangisi semuanya. Tak kusangka
buntut persoalan rumah tanggaku berimbas pula pada anakku. Sekarang aku tak bisa berfikir
lagi apa yang harus kulakukan. Di satu sisi, aku masih frustasi dengan hamilnya selingkuhan
suamiku. Tapi disisi yang lain aku mengkhawatirkan kondisi anakku, Juwita. Ditengah isak
tangisku tiba-tiba kepalaku terasa amat pusing, dengan cepat selepas itu sekelilingku berubah
gelap. Aku tak sadarkan diri.
***
“Arghhh, kepalaku sakit sekali. Hmm dimana aku ini?” kataku saat menyadari bahwa
aku kini berada diruangan serba putih.
“Alhamdulillah akhirnya nyonya sudah sadar, berbaring dulu saja nyonya. Kata
dokter belum boleh banyak gerak dulu, oh iya sekarang nyonya berada di rumah sakit. Sejak
3 hari yang lalu nyonya koma,” kata Surti menjelaskan padaku bahwa sekarang ini aku
berada dirumah sakit dan aku sudah 3 hari koma.
“Apa mbok? Saya koma 3 hari? Sebenarnya apa yang terjadi dengan saya
mbok?”kataku menyelidik.
“Nyonya jatuh pingsan dikamar 3 hari yang lalu seusai bertengkar dengan tuan.
Lantas tuan membawa nyonya kerumah sakit karena khawatir dengan keadaan
nyonya,”jelasnya.
“Lalu apakah mbok yang merawat saya selama saya koma?” tanyaku pada Surti.
“Bukan nyonya, bukan saya yang merawat nyonya selama nyonya koma. Tuan lah
yang setiap hari berada disini menunggui nyonya,” jelas Surti padaku.
Aku terpaku dibuatnya, seakan tak percaya dengan apa yang Surti katakan tadi. Kemarinkemarin aku selalu saja bertengkar dengan suamiku, aku mengatainya bahkan menamparnya.
Tapi apa yang ia lakukan padaku sekarang? Bukannya marah ia malah dengan tulus mau
merawat dan menemaniku selama koma. Oh tuhan, sungguh mulia hati suamiku sebenarnya.
Maafkan aku pa, kataku dalam hati.
Ditengah perbincanganku dengan Surti, tiba-tiba saja pintu depan kamarku terbuka. Dari
balik pintu suamiku datang membawa kantong plastik putih yang entah apa isinya. Matanya
nampak berbinar mengetahui aku telah sadar dari koma, diletakkannya kantong plastik itu di
meja dan datang menghampiriku.
“Alhamdulillah, akhirnya mama sadar juga. Aku sangat khawatir dengan keadaanmu
ma, 3 hari ini aku tak bisa tidur memikirkanmu. Aku takut jikalau terjadi apa-apa denganmu,
namun sekarang aku sudah lega mengetahui kau sudah sadar,”katanya penuh haru.
“Terimakasih sudah mau merawatku pa, maafkan aku yang tak bisa jadi ibu yang baik
untuk anak kita dan juga selalu merepotkanmu,”sesalku kemudian. “aku sekarang sadar pa,
semua ini bukan seutuhnya kesalahanmu. Aku pun bersalah dalam masalah ini, harusnya dulu
aku menuruti keinginanmu untuk menjadikan aku ibu rumah tangga dan berhenti dari kantor.
Jika saja aku tak egois dan mau mengalah, maka semuanya tak akan berkahir macam ini pa.”
“Sudahlah ma, nasi sudah menjadi bubur. Tak perlu lagi menyesali dan menghakimi
diri sendiri, tak ada gunanya lagi. Sekarang yang terpenting mama sembuh dulu lalu kita cari
Juwita bersama-sama,” ucap suamiku sembari mengelus kepalaku.
“Maafkan aku atas semua kesalahanku pa, maafkan pula kemarin aku sempat berkata
kasar padamu. Sungguh aku sadar, aku khilaf kala itu. Mata hatiku tertutup semenjak
mengetahui kau berselingkuh dengan temanku sendiri,” isakku.
“Sudah ma sudah, sekarang kau tak usah pikirkan apa-apa. Yang terpenting kau harus
sembuh dulu. Setelah kau sembuh, kita cari Evita bersama-sama ya?”
“Baik pa,” ucapku sembari memeluk suamiku.
Menurut diagnosa dokter aku mengalami syok hebat yang mengakibatkan
penyumbatan pembuluh darah di otakku, itulah mengapa aku koma selama 3 hari. Namun,
syukur alhamdulilah sekarang aku sudah sadar. Seminggu setelah itu aku diperbolehkan
pulang oleh dokter namun dengan syarat tak boleh melakukan pekerjaan yang berat dahulu.
Aku pun menyanggupinya.
Sampai dirumah suamiku mulai menjelaskan padaku mengenai berita terkini Juwita,
ternyata ia sekarang ada di Moskow. Dia menjadi korban perdagangan anak dan penjualan
obat-obatan terlarang. Sungguh tak kusangka begitu berat masalah yang menimpa anakku, di
usianya yang masih belia ia tak seharusnya mendapat masalah seberat itu. Aku makin
terpuruk mendengar kabar itu. Ya Tuhan, jagalah selalu Juwitaku dimanapun ia berada, aku
menyayanginya lebih dari aku menyayangi diriku sendiri.
***
3 bulan setelah Juwita ditemukan, ia pulang ke Indonesia. Namun sayangnya, ia harus
direhabilitasi terlebih dahulu di Pusat Rehabilitasi Narkotika dan Obat terlarang milik negara
yang ada di Jakarta. Aku harus menahan rinduku lagi padanya, ah tak sabar aku menunggu
kepulangan anakku Juwita, sudah rindu setengah mati aku padanya.
***
Akhirnya masa rehabilitasi usai, Juwita boleh pulang ke Ponorogo. Ketika itu, aku
menjemputnya bersama Surti di Bandara Internasional Juanda Surabaya. Oh iya sampai
terlupa, kisahku dan suamiku sudah berakhir semenjak berita kepulangan Juwita. Aku
memutuskan bercerai dengannya, aku meminta cerai bukan karena aku membenci suamiku,
tapi karna tak sanggup untuk dimadu dan lebih-lebih aku merasa amat kasihan dengan anak
“selingkuhannya”. Tentu anak itu lebih membutuhkan kasih sayang dari ayah biologisnya, ia
terlalu kecil untuk dipisahkan dengan ayahnya. Biarlah aku dan Juwita yang mengalami hal
semacam ini, jangan sampai anak itu ikut merasakan betapa pahitnya akibat prahara rumah
tangga. Maka kuputuskan bercerai dengan suamiku, dan hidup bahagia bersama Juwita anak
semata wayangku.
“Juwita anakku, maafkan mama ya sayang. Selama ini mama jarang sekali
memperhatikanmu hingga kamu terjerumus ke dunia kelam “Narkoba”. Maaf mama terlalu
sibuk dengan urusan kantor tanpa peduli padamu,”kataku pada Juwita suatu hari.
“Iya ma, tak mengapa. Harusnya aku yang meminta maaf pada mama karena sudah
mengecewakan mama. Maaf ma, aku tak bisa memilih pertemanan hingga jatuh dalam lubang
kesesatan ini,” jelas Juwita terbata-bata.
“Juwita tidak salah, mama yang salah. Sudah sini jangan menangis terus, nanti tidak
cantik lagi lo kalo menangis. Anak mama kan periang dan kuat,”jelasku sembari
memeluknya.
“Juwita sayang mama, kita hidup berdua selamanya ya ma? Juwita janji akan selalu
ada disamping mama”
“Mama juga sangat sayang dengan Juwita. Iya nak, kita hidup berdua dengan bahagia
selamanya.”
Setelah itu, kami hidup berdua dengan bahagia. Hari-hari kulewati dengan penuh
kebahagiaan dengan anakku, Juwita. Sementara itu, mantan suamiku sudah menikah dengan
istri barunya yang dulu menjadi selingkuhannya. Mereka dikaruniai seorang putra, bernama
Aldiansyah. Keluarga kecilku yang lengkap dulu sudah musnah, tapi kebahagiaan kami tidak
demikian. Dengan saling mengikhlaskan apa yang telah terjadi, dan mau mengalah akhirnya
kami bahagia lagi. Bahkan lebih bahagia dari sebelumnya.
Sayangnya tuhan berkata lain. Kala itu tepat 2 tahun masa indah kebersamaanku dan
Juwita setelah ia bebas, masalah maha Dahsyat menimpa keluargaku kembali. Aku divonis
mengidap kanker otak stadium akhir. Dokter mengatakan bahwa harapan hidupku sudah tidak
banyak. Aku sangat terpukul mendengar kabar ini, pun dengan Juwita, ia lebih terpukul lagi.
Namun, aku menyadari bahwa menyesali nasib tak akan mampu mengubah apapun. Aku
mencoba bangkit di sisa hidupku dengan menikmatinya bersama Juwita. Menjaganya,
menyekolahkannya dan terus menyayangi Juwita adalah salah satu caraku. Hingga hari
itupun tiba, saat aku sudah tak lagi bisa merasakan denyut nadiku sendiri. Aku
menghembuskan nafas terakhir dipangkuan Juwita dengan cara yang manis. Semanis
senyuman Juwita, permata berhargaku.
***
Pesan untuk Evita : Terimakasih Juwita sayang, berkatmu hidup mama menjadi lebih indah.
Maaf mama bukanlah mama yang baik untukmu. Tapi ingatlah nak, bahwa kau harus tetap
melanjutkan hidupmu dan berbuat baik pada semua orang. Sambung silaturahmi mu pada
papa dan mama barumu, sayangilah mereka seperti kita saling menyanyangi. Doakan mama
selalu nak. Mama menyayangimu. Selamat tinggal matahari mama yang tercantik, Juwita.
~SELESAI~
Oleh : Hana Farah Dhiba
Kelas : XI MIA 9
No Urut : 10
“Sudah kukatakan padamu, ini semua kesalahanmu. Maka kau yang seharusnya
bertanggung jawab atas semuanya. Urus saja sendiri selingkuhanmu, urus juga anakmu. Aku
tak mau tau lagi,” ketusku pada suamiku.
Lelaki yang dulu kupuja seakan dia yang terbaik, dibelakangku bermain api dengan
wanita lain. Tak kusangka, wanita itu teman karibku sendiri. Tega benar ia mengkhianatiku
seperti ini, apa salahku padanya? Bahkan tiap bertemu aku selalu baik padanya, tiap aku
punya barang baru selalu kubagi dengannya. Haruskah ku berbagi pula suamiku dengannya?
Oh Tuhan.. begitu berat cobaan ini, aku hampir tak kuat lagi menanggungnya sendirian.
“Harus bagaimana aku menyikapi ini semua?” batinku. Hari itu malam terasa panjang.
Purnama seakan hanya titik hitam, kelam tak bertuan.
***
Sejak hari itu hidupku mulai tak karuan, makan tak enak, tidurpun tak nyenyak.
Pekerjaanku dikantor semua terbengkalai. Juwita anakku tak lagi kuperhatikan. Entahlah
seakan aku sudah bosan hidup. Rasanya hari demi hari terlalu berat kulewati. Hingga suatu
hari baru kusadari ada yang aneh dirumahku. Ada yang tak lengkap ketika aku makan, ada
yang kurang ketika aku dirumah, tapi aku mencoba menepis semuanya, mencoba berfikir
bahwa dirumah tak ada apa-apa.
Suatu ketika saat aku hendak menanyakan masalah dapur pada Surti pembantuku, ia
mengatakan padaku bahwa sudah seminggu ini Juwita tak pulang kerumah. Ya Tuhan.. ibu
macam apa aku ini, akibat masalah dengan suami anakku sendiri tak kuperhatikan. Menurut
informasi dari Surti, ternyata sudah seminggu ini anak semata wayangku Juwita menghilang
tanpa kabar. aku mulai cemas dibuatnya, ingin rasanya kuhubungi pihak kepolisian guna
memudahkan pencarian, tapi apalah daya jika teringat anak itu akupun teringat pada suamiku
yang b*ngs*t itu. Jadi ku urungkan niatku mencarinya, “alah besok juga pulang sendiri kalau
sudah ingat rumah” pikirku. Masalah anak itu biar ayahnya yang mencarinya.
Malam harinya aku ribut lagi dengan suamiku perihal wanita selingkuhannya. Ia mengatakan
bahwa wanita itu sedang hamil muda dan meminta dinikahi. Tentu, aku semakin naik darah
dibuatnya.
“Kau tinggal pilih pa, kau tinggalkan perempuan jalang itu dan membangun keluarga
ini kembali atau kau keluar dari rumah ini malam ini juga,” kataku penuh emosi.
“Tolonglah ma, kau jangan egois dulu kasihanilah wanita itu. Bukannya apa-apa tapi
bagaimanapun juga ia tetap teman karibmu bukan?”elak suamiku.
“Sejak dia menggodamu hingga anak haram itu sekarang dikandungnya, ia bukan
temanku lagi pa. Camkan itu!”
“Kau boleh benci aku ma, tapi jangan pula kau sebut anak itu anak haram.
Bagaimanapun juga kan aku ayah biologisnya, jadi aku wajib bertanggung jawab.”
“Sudah cukup pa cukup!! Hentikan semua omonganmuu! Berani benar kau membela
pelacur itu pa? Muak aku mendengarmu, namanya selingkuh tetaplah selingkuh. Tak kan
pernah kumaafkan walau itu saudara sekandungku sekalipun. Pikirkan pula pa, aku ini masih
istrimu tak berhak kau berkata seperti itu padaku. Sekarang keputusanku sudah bulat, pergi
dengan wanita itu atau ceraikan aku sekarang juga,” tegasku.
Suamiku hanya diam seribu bahasa menanggapi ancamanku. Tak kusangka laki-laki itu
beraninya membela selingkuhannya di depanku. Entahlah aku sadar atau tidak atas
perkataanku tadi, tapi yang jelas aku sudah muak dengan mereka berdua. Lebih baik aku
cerai darinya daripada harus berbagi suami, cuihh membayangkannya pun aku tak sudi.
Di tengah perseteruan kami tiba-tiba terdengar suara pintu depan diketuk.
”Siapa pula malam-malam begini datang bertamu? Tak tahukah disini sedang ada
perang dunia ke 3? Awas saja jika hanya minta sumbangan, akan kutendang pantatnya,”
umpatku.
Kulangkahkan kaki menuju ruang depan, kubuka daun pintu perlahan, lalu terlihatlah dengan
jelas di depanku seorang laki-laki paruh baya berkacamata yang asing. Kupersilahkan dia
masuk dan duduk diruang tamu..
“Maaf pak, saya kok asing dengan wajah bapak. Kalau boleh tau bapak ini siapa
ya?”kataku memulai percakapan dengannya.
“Oh maaf bu sebelumnya perkenalkan, saya Agus Pramono walikelas anak ibu,
Juwita.”kenalnya padaku.
“Astaga maafkan saya pak, saya tidak begitu hafal dengan guru-guru Evita.
Perkenalkan saya Ashanty, ibu kandung Juwita,”kataku memperkenalkan diri.
“Tak mengapa bu, saya maklum dengan hal itu. Begini bu Ashanty, maksud
kedatangan saya kemari adalah untuk menanyakan perihal keberadaan anak ibu,Juwita.
Sudah seminggu ini Juwita tak bersekolah tanpa keterangan yang jelas. Apakah ibu tau
dimana Juwita sekarang bu?”tanyanya.
“Maaf pak, saya tidak tahu dimana Juwita. Sudah lama dia tak pulang ke rumah,
menurut pembantu saya kira-kira juga sudah seminggu ini.” Begitu jawabku.
Saat terlibat percakapan itu tiba-tiba suamiku datang dan ikut berbicara
“Bapak ini siapa?”tanyanya.
“Selamat malam bapak, perkenalkan saya Agus Pramono wali kelas anak
bapak,Juwita,”kenalnya sembari menjabat tangan suamiku.
“Oalah, saya Assyraf ayah Juwita. Kalau boleh tau ada apa bapak malam-malam
begini datang kerumah kami?”
“Begini pak, anak bapak sudah seminggu ini tak masuk dan tanpa kabar.Saya kemari
hendak menanyakan keberadaan anak bapak pada bapak dan ibu. Apakah bapak tahu dimana
anak bapak berada?”
”Oh maaf pak, saya sudah dua minggu ini jarang pulang. Jadi saya kurang tahu
bagaimana keadaan dan dimana keberadaaan Juwita. Malah, saya baru dengar berita ini dari
bapak,”jelas suamiku pada guru itu.
Sementara mereka bercakap aku hanya diam saja. Ya memang suamiku jarang pulang,
apalagi semenjak masalah ini, ia makin tak pernah dirumah jadi aku tak ambil pusing
dengannya. Sekarang aku mencemaskan anakku, Juwita. Jika gurunya saja sudah kesini
menanyakan keberadaanya pasti ia sedang dalam masalah besar sekarang. Tak lama setelah
itu gurunya pun pulang, aku semakin mencak-mencak pada suamiku.
“Kau ini anak sendiri tak diurus, selingkuhan diapeli tiap hari. Ayah macam apa
hah?”.
“Hei ngaca dong, harusnya kau sebagai ibu yang mengurusnya. Tapi apa yang kau
lakukan selama ini? Pekerjaan kantor selalu didahulukan, anak sendiri disepelekan. Lihat apa
yang terjadi sekarang, ibu macam apa kau? Dengan enteng menyalahkan suami, dan tidak
menyadari kesalahan sendiri,” cecarnya padaku.
Aku terisak dibuatnya, kalimat itu begitu menohok dihatiku. Tanpa babibu kutampar wajah
nya itu sambil berkata
“Setelah ini kita harus cerai titik,” kataku mengakhiri pertengakaran malam itu.
Selepas pertengkaran itu aku pun masuk ke kamar dan menangisi semuanya. Tak kusangka
buntut persoalan rumah tanggaku berimbas pula pada anakku. Sekarang aku tak bisa berfikir
lagi apa yang harus kulakukan. Di satu sisi, aku masih frustasi dengan hamilnya selingkuhan
suamiku. Tapi disisi yang lain aku mengkhawatirkan kondisi anakku, Juwita. Ditengah isak
tangisku tiba-tiba kepalaku terasa amat pusing, dengan cepat selepas itu sekelilingku berubah
gelap. Aku tak sadarkan diri.
***
“Arghhh, kepalaku sakit sekali. Hmm dimana aku ini?” kataku saat menyadari bahwa
aku kini berada diruangan serba putih.
“Alhamdulillah akhirnya nyonya sudah sadar, berbaring dulu saja nyonya. Kata
dokter belum boleh banyak gerak dulu, oh iya sekarang nyonya berada di rumah sakit. Sejak
3 hari yang lalu nyonya koma,” kata Surti menjelaskan padaku bahwa sekarang ini aku
berada dirumah sakit dan aku sudah 3 hari koma.
“Apa mbok? Saya koma 3 hari? Sebenarnya apa yang terjadi dengan saya
mbok?”kataku menyelidik.
“Nyonya jatuh pingsan dikamar 3 hari yang lalu seusai bertengkar dengan tuan.
Lantas tuan membawa nyonya kerumah sakit karena khawatir dengan keadaan
nyonya,”jelasnya.
“Lalu apakah mbok yang merawat saya selama saya koma?” tanyaku pada Surti.
“Bukan nyonya, bukan saya yang merawat nyonya selama nyonya koma. Tuan lah
yang setiap hari berada disini menunggui nyonya,” jelas Surti padaku.
Aku terpaku dibuatnya, seakan tak percaya dengan apa yang Surti katakan tadi. Kemarinkemarin aku selalu saja bertengkar dengan suamiku, aku mengatainya bahkan menamparnya.
Tapi apa yang ia lakukan padaku sekarang? Bukannya marah ia malah dengan tulus mau
merawat dan menemaniku selama koma. Oh tuhan, sungguh mulia hati suamiku sebenarnya.
Maafkan aku pa, kataku dalam hati.
Ditengah perbincanganku dengan Surti, tiba-tiba saja pintu depan kamarku terbuka. Dari
balik pintu suamiku datang membawa kantong plastik putih yang entah apa isinya. Matanya
nampak berbinar mengetahui aku telah sadar dari koma, diletakkannya kantong plastik itu di
meja dan datang menghampiriku.
“Alhamdulillah, akhirnya mama sadar juga. Aku sangat khawatir dengan keadaanmu
ma, 3 hari ini aku tak bisa tidur memikirkanmu. Aku takut jikalau terjadi apa-apa denganmu,
namun sekarang aku sudah lega mengetahui kau sudah sadar,”katanya penuh haru.
“Terimakasih sudah mau merawatku pa, maafkan aku yang tak bisa jadi ibu yang baik
untuk anak kita dan juga selalu merepotkanmu,”sesalku kemudian. “aku sekarang sadar pa,
semua ini bukan seutuhnya kesalahanmu. Aku pun bersalah dalam masalah ini, harusnya dulu
aku menuruti keinginanmu untuk menjadikan aku ibu rumah tangga dan berhenti dari kantor.
Jika saja aku tak egois dan mau mengalah, maka semuanya tak akan berkahir macam ini pa.”
“Sudahlah ma, nasi sudah menjadi bubur. Tak perlu lagi menyesali dan menghakimi
diri sendiri, tak ada gunanya lagi. Sekarang yang terpenting mama sembuh dulu lalu kita cari
Juwita bersama-sama,” ucap suamiku sembari mengelus kepalaku.
“Maafkan aku atas semua kesalahanku pa, maafkan pula kemarin aku sempat berkata
kasar padamu. Sungguh aku sadar, aku khilaf kala itu. Mata hatiku tertutup semenjak
mengetahui kau berselingkuh dengan temanku sendiri,” isakku.
“Sudah ma sudah, sekarang kau tak usah pikirkan apa-apa. Yang terpenting kau harus
sembuh dulu. Setelah kau sembuh, kita cari Evita bersama-sama ya?”
“Baik pa,” ucapku sembari memeluk suamiku.
Menurut diagnosa dokter aku mengalami syok hebat yang mengakibatkan
penyumbatan pembuluh darah di otakku, itulah mengapa aku koma selama 3 hari. Namun,
syukur alhamdulilah sekarang aku sudah sadar. Seminggu setelah itu aku diperbolehkan
pulang oleh dokter namun dengan syarat tak boleh melakukan pekerjaan yang berat dahulu.
Aku pun menyanggupinya.
Sampai dirumah suamiku mulai menjelaskan padaku mengenai berita terkini Juwita,
ternyata ia sekarang ada di Moskow. Dia menjadi korban perdagangan anak dan penjualan
obat-obatan terlarang. Sungguh tak kusangka begitu berat masalah yang menimpa anakku, di
usianya yang masih belia ia tak seharusnya mendapat masalah seberat itu. Aku makin
terpuruk mendengar kabar itu. Ya Tuhan, jagalah selalu Juwitaku dimanapun ia berada, aku
menyayanginya lebih dari aku menyayangi diriku sendiri.
***
3 bulan setelah Juwita ditemukan, ia pulang ke Indonesia. Namun sayangnya, ia harus
direhabilitasi terlebih dahulu di Pusat Rehabilitasi Narkotika dan Obat terlarang milik negara
yang ada di Jakarta. Aku harus menahan rinduku lagi padanya, ah tak sabar aku menunggu
kepulangan anakku Juwita, sudah rindu setengah mati aku padanya.
***
Akhirnya masa rehabilitasi usai, Juwita boleh pulang ke Ponorogo. Ketika itu, aku
menjemputnya bersama Surti di Bandara Internasional Juanda Surabaya. Oh iya sampai
terlupa, kisahku dan suamiku sudah berakhir semenjak berita kepulangan Juwita. Aku
memutuskan bercerai dengannya, aku meminta cerai bukan karena aku membenci suamiku,
tapi karna tak sanggup untuk dimadu dan lebih-lebih aku merasa amat kasihan dengan anak
“selingkuhannya”. Tentu anak itu lebih membutuhkan kasih sayang dari ayah biologisnya, ia
terlalu kecil untuk dipisahkan dengan ayahnya. Biarlah aku dan Juwita yang mengalami hal
semacam ini, jangan sampai anak itu ikut merasakan betapa pahitnya akibat prahara rumah
tangga. Maka kuputuskan bercerai dengan suamiku, dan hidup bahagia bersama Juwita anak
semata wayangku.
“Juwita anakku, maafkan mama ya sayang. Selama ini mama jarang sekali
memperhatikanmu hingga kamu terjerumus ke dunia kelam “Narkoba”. Maaf mama terlalu
sibuk dengan urusan kantor tanpa peduli padamu,”kataku pada Juwita suatu hari.
“Iya ma, tak mengapa. Harusnya aku yang meminta maaf pada mama karena sudah
mengecewakan mama. Maaf ma, aku tak bisa memilih pertemanan hingga jatuh dalam lubang
kesesatan ini,” jelas Juwita terbata-bata.
“Juwita tidak salah, mama yang salah. Sudah sini jangan menangis terus, nanti tidak
cantik lagi lo kalo menangis. Anak mama kan periang dan kuat,”jelasku sembari
memeluknya.
“Juwita sayang mama, kita hidup berdua selamanya ya ma? Juwita janji akan selalu
ada disamping mama”
“Mama juga sangat sayang dengan Juwita. Iya nak, kita hidup berdua dengan bahagia
selamanya.”
Setelah itu, kami hidup berdua dengan bahagia. Hari-hari kulewati dengan penuh
kebahagiaan dengan anakku, Juwita. Sementara itu, mantan suamiku sudah menikah dengan
istri barunya yang dulu menjadi selingkuhannya. Mereka dikaruniai seorang putra, bernama
Aldiansyah. Keluarga kecilku yang lengkap dulu sudah musnah, tapi kebahagiaan kami tidak
demikian. Dengan saling mengikhlaskan apa yang telah terjadi, dan mau mengalah akhirnya
kami bahagia lagi. Bahkan lebih bahagia dari sebelumnya.
Sayangnya tuhan berkata lain. Kala itu tepat 2 tahun masa indah kebersamaanku dan
Juwita setelah ia bebas, masalah maha Dahsyat menimpa keluargaku kembali. Aku divonis
mengidap kanker otak stadium akhir. Dokter mengatakan bahwa harapan hidupku sudah tidak
banyak. Aku sangat terpukul mendengar kabar ini, pun dengan Juwita, ia lebih terpukul lagi.
Namun, aku menyadari bahwa menyesali nasib tak akan mampu mengubah apapun. Aku
mencoba bangkit di sisa hidupku dengan menikmatinya bersama Juwita. Menjaganya,
menyekolahkannya dan terus menyayangi Juwita adalah salah satu caraku. Hingga hari
itupun tiba, saat aku sudah tak lagi bisa merasakan denyut nadiku sendiri. Aku
menghembuskan nafas terakhir dipangkuan Juwita dengan cara yang manis. Semanis
senyuman Juwita, permata berhargaku.
***
Pesan untuk Evita : Terimakasih Juwita sayang, berkatmu hidup mama menjadi lebih indah.
Maaf mama bukanlah mama yang baik untukmu. Tapi ingatlah nak, bahwa kau harus tetap
melanjutkan hidupmu dan berbuat baik pada semua orang. Sambung silaturahmi mu pada
papa dan mama barumu, sayangilah mereka seperti kita saling menyanyangi. Doakan mama
selalu nak. Mama menyayangimu. Selamat tinggal matahari mama yang tercantik, Juwita.
~SELESAI~