SOSIOLOGI HUKUM HAM dalam Perspektif Sos

Tugas Kelompok

Dosen Pembimbing

Sosiologi Hukum

Indra Primahardani, S.H, M.H

SOSIOLOGI HUKUM
“HAM dalam Perspektif Sosiologi Hukum”

Ditulis Oleh Kelompok 2:
Widia Kusuma Wardani
Fitdya Rizky
Sari Zulyanisa
Sri Wahyuni
Jefri
Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Riau

Pekanbaru
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi
taufiq dan hidayah-Nya sehingga tugas Makala ini yang berjudul “HAM dalam
Perspektif Sosiologi Hukum“ ini dapat terselesaikan tanpa suatu halangan dan
rintangan yang cukup berarti.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membimbing kita dari
jalan kegelapan menuju jalan Islami.
Tak lupa pula penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada

semua

pihak

yang


telah

bersusah

payah

membantu

hingga

terselesaikannya penulisan makalah ini. Semoga semua bantuan dicatat sebagai
amal sholeh di hadapan Allah SWT.
Penulis menyadari walaupun telah berusaha semaksimal mungkin dalam
menyusun tugas sederhana ini, tetapi masih banyak kekurangan yang ada
didalamnya. Oleh karena itu, segenap kritik dan saran sangat penyusun harapkan
demi perbaikan tugas ini. Penyusun berharap tugas ini akan dapat bermanfaat bagi
semua pembaca. Amin.

Pekanbaru, 24 Oktober 2016


Penulis

i

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah. .........................................................................1
1.3 Tujuan.............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN......................................................................3
2.1 Hukum dan Masyarakat dalam Konteks Hak Asasi Manusia.........3
2.1.1 Pengertian Hak Asasi Manusia..............................................3
2.1.2 Ruang Lingkup Hak Asasi Manusia......................................5
2.1.3 Latar Belakang Hak Asasi Manusia......................................7
2.1.4 Pelanggaran Hak Asasi Manusia...........................................8
2.1.5 Konseptual Persamaan Hak dan Kewajiban di Hadapan
Hukum
di

Indonesia
................................................................................................
11
2.2
Hak
Asasi
Manusia
dan
Wibawa
Hukum
...............................................................................................................
12
2.3
HAM
dalam
Perspektif
Sosiologi
Hukum
...............................................................................................................
15

2.4
Contoh
Kasus
Pelanggaran
HAM
...............................................................................................................
17
BAB
III
PENUTUP
...............................................................................................................
24

ii

3.1
Kesimpulan
...............................................................................................................
24
DAFTAR PUSTAKA


iii

BAB I
PENDAHUKUAM

1.1 Latar Belakang
Hak Asasi Manusia atau yang biasa kita sebut dengan istilah HAM
merupakan hak mendasar yang dimiliki manusia sejak ia lahir. Oleh karena itu,
dapat dipahami bahwa hak asasi manusia itu ada beberapa jenis yang melekat
pada diri manusia sejak dalam kandungan sampai liang lahat. Ia merupakan
anugerah Tuhan Yang Maha Esa, memberi manusia kemampuan memebedakan
yang baik dengan yang buruk (akal budi). Ide mengenai hak asasi manusia secara
hukum ketatanegaraan diperkirakan muncul pada abad ke-17 dan ke-18 Masehi.
Hal itu terjadi sebagai reaksi terhadap organisasi dan kediktatoran raja-raja dan
kaum feodal terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka
pekerjakan di zaman itu. Orang sering kurang mengetahui dan menyadari bahwa
HAM mempunyai hubungan yang erat dengan wibawa hukum. Pemunculan,
perumusan dan institusionalisasi Hak Asasi Manusia (HAM) memang tak dapat
dilepaskan dari lingkungan sosial atau habitatnya, yaitu tidak lain masyarakat itu

sendiri di mana HAM itu dikembangkan.

1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana hukum dan marsyarakat dalam konteks hak asasi manusia?
b. Bagaimana korelasi antara hak asasi manusia dan wibawa hukum?
c. Bagaimana ham dalam persepektif sosiologi hukum?

1

d. Apasaja contoh kasus pelanggaran ham?

1.3 Tujuan
a. Agar kita mengetahui bagaimana hukum dan marsyarakat dalam konteks
hak asasi manusia.
b. Agar kita memahami bagaimana korelasi antara hak asasi manusia dan
wibawa hukum.
c. Agar kita mengetahui bagaimana ham dalam persepektif sosiologi hukum.
d. Agar kita mengetahui apasaja contoh kasus pelanggaran ham.

2


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hukum dan Marsyarakat dalam Konteks Hak Asasi Manusia
2.1.1 Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak Asasi Manusia (HAM) menurut pasal 1 ayat (1) Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa hak asasi
manusia itu ada beberapa jenis yang melekat pada diri manusia sejak dalam
kandungan sampai liang lahat. Ia merupakan anugerah Tuhan Ynag Maha Esa,
memberi manusia kemampuan memebedakan yang baik dengan yang buruk (akal
budi). Akal budi itu membimbing manusia menjalankan kehidupannya. Hak-hak
yang melekat kepada manusia dimaksud diberikan langsung oleh Tuhan Yang
Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Oleh karenanya tidak ada
kekuasaan apa pun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan
berarti manusia dengan hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya.


Sebab

apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategoikan memperkosa hak
asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Oleh
karena itu, pada hakikatnya HAM terdiri atas dua hak dasar yang paling

3

fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah
lahir HAM yang lainnnya.
Hak asasi manusia dimaksud di Indonesia diatur melalui Undang-undang
Dasar 1945, baik dalam pembukaan maupun dalam batang tubuhnya. Namun
secra khusus, hak asasi manusia (HAM) diatur dalam Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan seseorang atau kelompok,
termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang
secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan/ atau mencabut
hak asasi manusia baik seseorang atau kelompok yang dijamin oleh undangundang dimaksud (Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999) akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Pelanggaran hak asasi manusia yang demikian, disebut pelanggaran hak
asai manusia yang ringan. Lain halnya pelaggaran hak asasi manusia yang berat,
yaitu pembunuhan massal, pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan
pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau
diskriminasi yang dilakukan secara sistematis.
Berdasarkan hal tersebut, dibentuklah KOMNAS HAM atau suatu
lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya
yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan,
atau

mediasi hak asassi manusia yang bertujan untuk: (1) mengembangkan

kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan
pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemenya, dan Piagam

4

Perserikatan Bangsa-bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Mnusia, (2)
meningkatkan
berkembangnya


perlindungan
pribadi

dan

manusia

penegakan
Indonesia

hak

asasi

seutuhnya

manusia
dan

guna

kemampuan

berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

2.1.2 Ruang Lingkup Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak asasi manusia yang diuraikan di atas mempunyai ruang lingkup yang
luas dan mencakup berbagai aspek kehidupan. Hal itu diungkapkan sebagai
berikut:
1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan hak miliknya.
2. Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai menusia pribadi
dimana saja ia berada.
3. Setiap orang berhak atas ras aman dan tenteram serta perlindungan terhadap
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
4. Setiap orang tidak boleh diganggu

yang merupakan hak yang berkaitan

dengan kehidupan pribadi di dalam tempat kediamannya.
5. Setiap orang berhak atas kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan
komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas
perintah hakim atau kekuasaaan lain yang sah sesuai dengan undang-undang.
6. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan,
perlakuan

yang

kejam,

tidak

manusiawi,

penghukuman, atau

penghilangan

paksa

dan

penghilangan nyawa.

5

7. Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditekan, disiksa, dikucilkan, diasingkan,
atau dibuang secara sewenang-wenang.
8. Setiap orang berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang
damai, aman dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan
sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar mansuia sebagimana
diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan pengertian dan ruang lingkup hak asasi manusia tersebut,
dapat diketahui dan dipahami bahwa dinegara republik Indonesia yang berdasar
atas hukum, amat dihormati dan dijunjung tinggi hak asasi manusia sehingga
dalam Garis-Garis Besar Haluan Negar (GBHN) tahun 1999-2004 diungkapakan:
(1) meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan,
penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan,
dan (2) menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan
hak asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas.
Selain pengertian dan ruang lingkup hak asasi manusia yang diuaraikan
diatas, perlu dikemukakan kewajiban dasar manusia. Kewajiban dasar dimaksud,
adalah

seperangkat

kewajiban

yang

apabila

tidak

dilaksanakan,

tidak

memungkinkan terlaksana dan tegaknya Hak Asasi Manusia. Dalam Declaration
of Human Rights Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak tercantum adanya kewajiban
Dasar Manusia. Akan tetapi, kewajiban

dasar tersebut lahir dalam Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yakni pada Bab IV
Pasal 67 sampai Pasal 70.

6

2.1.3 Latar Belakang Hak Asasi Manusia
Ide mengenai hak asasi manusia secara hukum ketatanegaraan
diperkirakan muncul pada abad ke-17 dan ke-18 Masehi. Hal itu terjadi sebagai
reaksi terhadap organisasi dan kediktatoran raja-raja dan kaum feodal terhadap
rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka pekerjakan di zaman itu.
Masyarakat manusia dizaman dimaksud, terdiri dari dua lapisan besar, yaitu (1)
lapisan atas (minoritas) sebagai yang mempunyai sejumlah hak terhadap lapisan
bawah (mayoritas) sebagai kelompok yang diperintah; dan (2) lapisan bawah yang
mayoritas mempunyai sejumlah kewajiban-kewajiban terhadap lapisan minoritas
yang menguasainya. Lapisan masyarakat yang disebutkan terakhir itu tidak
mempunyai hal-hak terhadap lapisan minoritas, melainkan mempunyai sejumlah
kewajiban, bahkan diperlukan dengan sewenang-wenang oleh pihak yang
berkuasa terhadap diri mereka. Mereka diperlakukan sebagai budak yang dimiliki.
Pemilik dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap apa yang dimilikinya.
Keadaan masyarakat tersebut menimbulkan ide supaya lapisan bawah
yang mayoritas itu diperlakukan sebagai manusia juga, diangkat derajatnya, dari
tidak punya hak menjadi memiliki hak yang sama dengan masyarakat lapisan
atas. Akhirnya, terwujud ide persamaan, persaudaraaan, dan kebebasan yang
ditonjolkan oleh Revolosi Prancis pada akhir abad ke-18. Semua manusia adalah
sama, tidak ada budak yang dimiliki, melainkan semua manusia merdeka dan
bersaudara.
Kalau demikian halnya yang menjadi asas Revolusi Prancis, maka dapat
disebut sebagai dasar dari hak asasi manusia adalah agama tauhid, agama yang

7

mempunyai ajaran kemahaesaan Allah. Tauhid, yang dengan kuat dipegang oleh
ajaran agama islam,

mengandung arti: hanya ada satu Pencipta bagi alam

semesta.

2.1.4 Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
Pembicaraan mengenai hak asasi manusia (HAM) dan pelanggarannya
sudah kurang lebih dari setengah abad yang lampau terjadi dan masih menjadi
topik yang aktual beberapa abad yang akan datang, terutama di negara yang
berdasar atas hukum dinegara Republik Indonesia. Oleh karena itu, bila Presiden
keempat (K.H. Abd. Rahman Wahid) mengklasifikasikan perhatian bangsa
Indonesia terhadap HAM menjadi; pejuang, yang membantu perjuangan dan
penonton.1 Maka penulis cenderung membagi kedalam empat kategori, yaitu (1)
mereka yang memahami pengertian dan makna HAM bagi eksistensi dan
pemberdayaan manusia yang sejalan dengan eksistensi hak-hak Pencipta manusia,
(2) mereka yang memahami pengertian dan makna HAM bagi eksistensi dan
peberdayaan manusia, tetapi tidak mempedulikan hak-hak pencipta manusia, (3)
mereka yang memahami pengertian dan makna HAM bagi eksistensi dan
pemberdayaan manusia tetapi keliru pemahamannya, dan (4) mereka yang
mencoba memahami HAM, tetapi masa bodoh terhadap HAM termasuk mereka
yang ikut-ikutan (mencari popularitas) dalam HAM. Namun, bagi bangsa
Indonesia sampai saat ini (2003), perjuangan untuk memajukan dan melindungi
HAM masih dalam proses yang panjang. Dalam tahap awal, perjuangan tersebut
masih merupkan akomodasi politik. Pemahaman terhadap HAM pada tahap
_______________
1) Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, 8
(Bandung: Mandar Maju, 2001), hlm. 173

berikut adalah meletakkan landasan peraturan perundang-undangan untuk
memperkuat perjuangan tersebut, antara lain diundangkannya Undang-undang RI
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, dan Keppres RI Nomor 30 Tahun 1993 tentang
KOMNAS HAM.2
Pemahaman HAM pada tingkat elite politik, lingkungan Perguruan Tinggi
dan Lembaga Swadaya Masyarakat masih pada tahap awal dan terkadang pada
tahap ini pun masih saja ada ketidak jujuran demi kepentingan politik kelompok
tertentu. Bahkan, ada orang yang mengaku sudah memahami, akan tetapi terbukti
baru mulai membaca satu sampai empat buku mengenai HAM. Selain itu, ada
yang mengaku sudah melaksanakan HAM, akan tetapi terbukti tidak
mengindahkan hak asasi seorang pembantu rumah tangga atau penjaga kantor
(satpam). Budaya feodalisme dalam pemahaman negatif sebagian masyarakat
Indonesia merupakan ganjalan untuk mencerna dan memahami HAM secara utuh
dan benar, terutama dikalangan pejabat birookrasi.3 Kita sudah mempunyai
anggota dewan yang reformis, baik di tingkat pusat (DPR) maupun didaerah
(DPRD); sudah tentu dengan sejumlah harapan dapat proaktif dalam pemajuan
dan perlindungan HAM.
Penyelidikan terhadap pelanggaran HAM semula diniatkan untuk
mencegah campur tangan PBB dan ternyata kemudian malah mengundang campur
tangan PBB secara terbuka antara pihak yang diselidiki dengan pihak yang
melakukan penyelidikan. Oleh karena itu, kekurangan pengetahuan terhadap suatu
peraturan perundang-undangan baik yang tersurat maupun yang tersirat akan

_______________
2) Lihat, ibid
3) Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 96

9

melahirkan

pemahaman

yang

kontroversial.

Hal

itu

akan

melahirkan

ketidakbermaknaan pendidikan hukum dan politik di negara Republik Indonesia.
Saat ini di Indonesia terkadang sulit bagi setiap orang bertanya kepada
orang yang tepat, atau memang orang yang dianggap tepat untuk berbicara sudah
memudar kejujurannya untuk mengatakan bahwa yang benar itu benar dan salah
itu adalah salah. Memang betul bahwa lidah itu tidak bertulang, dan yang paling
berbahaya adalah lidah penegak hukum dan aparatur hukum yang pandai bersilat
lidah yang kemudian melakukan praktik dagang hukum sehingga dapat
menyesatkan jutaan rakyat di negara ini yang memang belum dapat diberdayakan
secara optimal sampai saat ini.
Esensi pelanggaran HAM bukan semata-mata pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan hak asasi manusia yang berlaku, melainkan
degradasi terhadap kemanusiaan yang merendahkan martabat dan derajat manusia
menjadi serendah binatang. Oleh karena itu, pelanggaran HAM tidak selalu
identik dengan pelanggran hukum pidana dan terlebih lagi dalam setiap
pelanggran HAM terdapat unsur perencanaan, dilakukan secara sistematik dengan
cara tertentu yang lebih banyak bersifat kolektif, baik berdasarkan agama, ernis,
atau ras tertentu. Keempat unsur pokok dari dari pelanggaran HAM dimaksud,
harus dapat dibuktikan di dalam sidang pengadilan. Sedangkan unsur kelima
(objek tertentu) tidak selalu harus bersifat kolektif karena pelanggran HAM
termasuk pula yang dilaksanakan secara perorangan.

10

2.1.5 Konseptual Persamaan Hak dan Kewajiban di Hadapan Hukum di
Indonesia
Persamaan dihadapan hukum bagi setiap warga negara di Indonesia
merupakan cita hukum (rechtsidee) dalam mewujudkan keadilan di satu pihak dan
dilain pihak sebagai sistem norma hukum. Persamaan di maksud, dalam UUD
1945, dirumuskan dalam pasal 27 ayat (1) sebagai berikut.
“segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, penjelasan tentang pasal 27 itu
berbunyi “pasal ini mengenai hak-haknya warga negara”.
Pasal-pasal, baik yang hanya mengenai warga negara maupun yang mengenai
seluruh penduduk, memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara
yangbersifat demokratis dan yanghendak menyelenggarakan keadilan sosial dan
perikemanusiaan.
Berdasarkan uraian-uraian mengenai HAM di atas, perlu dikemukakan
beberapahal sebagai berikut;
1) Persamaan dihadapan hukum dalam teori dan praktik ketatanegaraan di
Indonesia, disatu pihak (praktik ketatanegaraan) mencerminkan sosial politik
yang cenderung menempatkan lain-lainnya, termasuk hukum sebagai alatnya
dan oleh karena itu berada dalm subordinasinya. Dipihak lain (secara teoritis)
menurut UUD 1945, hukumlah yang memimpin semua program kehidupan
rakyat Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk
program sosial politiknya.

11

2) Masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang pernah lama dijajah oleh
bangsa lain sebaiknya meninggalkan praktik-praktik yang mencerminkan
bahwa “hukum itu sebagai alat penguasa untuk memerintah rakyat yang
dikuasainya”. Dengan demikian, tercermin law is morality dan law is right,
bahkan mungkin dapat ditafsirkan melalui sila pertama Pncasiila religion is
law.
2.2 Hak Asasi Manusia dan Wibawa Hukum
Dalam rapat kerja nasional 1 Mahkamah Agung (MA) dengan jajaran
pengedilan se-Indonesia menegaskan bahwa penegakan hukum mutlak akan
mengembalikan wibawa hukum. Wibawa dimaksud, hanya dapat dilakukan oleh
jajaran pengadilan. Selain itu, wibawa hukum diperlukan pula untuk penegakan
hak asasi manusia (HAM).
Orang sering kurang mengetahui dan menyadari bahwa HAM mempunyai
hubungan yang erat dengan wibawa hukum. Kekhilafan ini tampak dari
kenyataan, bahwa jarang sekali orang memperbincangkan kedua masalah ini
bersamaan. Padahal HAM dan wibawa hukum merupakan dua sejoli atau dua sisi
mata uang, yang satu sisi tidak dapat dipisahkan dengan yang lainnya.
Charles Himawan mengungkapkan bahwa dinegara berkembang baik yang
sudah tergolong dalam kelompok Newly Industrialized Countries (NIC)
maupun yang masih tergolong sebagai Less Developed Countries (LDC),
hubungan antara HAM dengan wibawa hukum seringkali dilupakan.
Demikian yang diungkapan oleh masyarakat yang mendiami beberapa negara
maju (Developed Countries). Mungkin ini yang merupkan salah satu sebab
mengapa Amnesti Internasional misalnya, menempatkan pengadilan ang adil
sebagai salah satu objek kerjanya.4

_______________
4) Zainudin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm.156

12

Apabila kita bermain dengan kata-kata, istilah Indonesia adalah superior.
Sebab, kata pengadilan itu sendiri sudah mengandung unsur adil. Namun, untuk
menerjemahkan kata yang dimaksud, dalam kehidupan sehari-hari kita masih
inferior. Sebenarnya, Indonesia saat ini mempunyai peluang untuk mengurangi
sifat inferior itu berdasarkan alasan sebagai berikut.
Pertama, mayoritas anggota Komnas HAM mempnyai latar belakang
pendidikan hukum sehingga tidak ada kesulitan bagi Komnas HAM untuk masuk
kebidang hukum dalam usahanya untuk memantapkan penegakan HAM. Singkat
kata, komposisi akeanggotaan Komnas HAM sudah mencerminkan [entingnya
hukum sebagai media untuk memantapkan penegakan HAM. Penggunaan hukum
sebagai media merupakan suatu hal yang wajar karena negara Republik Indonesia
adalah negara yng berdasarkan atas hukum.
Kedua, beberapa anggota komnas HAM sendiri adalah mantan hakim,
jaksa dan pengacarasehingga mereka pasti dapat memberikan masukan keada
komnas HAM tentang langkah-langkah terbaik yang perlu ditempuh untuk
mengembalikan wibawa hukum. Hakim, jaksa, dan pengecara adalah tokoh
terpenting untuk menjaga wibawa hukum di dalam arena badan peradilan.
Merosotnya wibawa hukum masih dapat ditolerir bila hal itu teradi diluar
arena badan peradilan. Misalnya dibidang perizinan, dari izin kawin sampai izin
ke pendirian perusahaan. Pelecehan hukum yang terjadi diluar badan peradilan
masih dapat dimengerti, karena pada akhirnya pelecehan hukum itu akan dapat
diperbaiki oleh badan peradilan. Lain halnya bila pelecehan hukum itu lahir
didalam badan peradilan itu sendiri, maka sukar bagi praktisi pembangunan, baik

13

ia anggota Komnas HAM maupun bukan anggota, untuk mengembalikan wibawa
hukum. Kesukara dimaksud, tentu tambah rumit bila pelecahan hukum itu terjadi
di suatu negara hukum. Dalam negara absolut, kalau dijumpai raja yang bijak
seperti raja Salomon (973-933M), misalnya ketika dihadapi kasus penyebalihan
bayi menjadi dua, maka pelecehan hukum masih data diperbaiki oleh raja. Contoh
dimaksud, bila dibandingkan di Indonesia (Di Kota Kendari Sulawesi Tenggara)
seluruh anggota DPRD kota Kendari ditahan oleh kejaksaan dirumah tahanan
(Rutan). Hal itu dilakukan oleh jaksa karenadiduga korupsi dana rutin dewan
APBD 2003-2004.
Ketiga, masyarakat sendiri telah lama menyadari, bahwa didalam
menegakan berbagai fair trial, memang tampak tegas unsur trial nya masih
inferior. Singkat kata masyarakat telah lama menyadari, bahwa hukum di
Indonesia kurang berwibawa. Hal ini tercermin misalnya, dari petistiwa terdakwa
melempar sepatu kepada hakim dan eristiwa kipas-kipas uang dipengadilan
beberapa waktu yang lalu. Tambah lagi kalau peristiwa pelemparan sepatu dan
kipas-kipas uang “diperhebat” dengan perkelahian diantara hakim. Petistiwa
semacam itu, tidak akan terjadi bila wibawa hukum cukup tinggi. Sebab, yang
terpenting bagi kita semua adalah kenyataan bahwa kesadaran masyarakat tentang
merosotnya wibawa hukum ini telah diangkat oleh ketua Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung adalah benteng terakhir untuk menjaga merosotnya wibawa
hukum, dan bila benteng terakhir ini sudah dapat mengangkat kesadaran
masyarakat bersangkutan, maka kita semua dapat berbesar hati. Bahwa peluang
untuk memantapkan kembali wibawa hukum tidaklah terlalu sukar.

14

2.3 HAM Dalam Persepektif Sosiologi Hukum
Pemunculan, perumusan dan institusionalisasi Hak Asasi Manusia (HAM)
memang tak dapat dilepaskan dari lingkungan sosial atau habitatnya, yaitu tidak
lain masyarakat itu sendiri di mana HAM itu dikembangkan. Terjadi semacam
korespondensi antara HAM dan perkembangan masyarakat. Kita juga dapat
mengatakan, bahwa HAM itu memiliki watak sosial dan struktur sosial sendiri.
“institusi dalam masyarakat berkorespondensi dan berkelindang dengan
lingkungan sosialnya”. Oleh karena itu kehadiran suatu institusi ingin dijelaskan
dari konteks sosial dan historisnya.
Kita coba melacak HAM dari segi perkembangan historisnya dan meneliti
dalam konteks sosial yanga bagaimana ia muncul. Dokumen-dokumen paling
awal yang memasuki HAM adalah Bill of Rights (Inggris, 1688), Declaration of
the Rights of Man and of the Citizen (Prancis, 1789), dan Bill of Rights (Amerika,
1791). Benar, seperti dikatakan oleh Behr, bahwa HAM itu berasal dari rumusan
di Barat. Dokumen-dokumen tersebut mewakili pikiran yang ada di belakangnya
yang mendorong dokumen tersebut. Dengan demikian dokumen tersebut kita baca
sebagai isyarat (sign) adanya atau kelahiran gagasan yang ada di belakangnya.
Kemudian sejak kemunculannya sampai hari ini HAM telah mengalami
perkembangan dan perubahan yang dikenal dengan sebutan generasi HAM.
Generasi pertama meliputi hak-hak sipil dan politik. Generasi kedua meliputi hakhak sosil, ekonomi dan budaya. Akhirnya generasi ketiga memuat sejumlah hakhak kolektif, seperti: hak ats perkembangan/ kemajuan (development); hak atas

15

kedamaian, hak atas lingkungan yang bersih hak atas kekayaan alam dan hak atas
warisan budaya.
Kita sudah berbicara panjang lebar tentang mainstream HAM di dunia.
Tetapi dunia tidak sama dengan Eropa atau Barat, melainkan jauh lebih luas dan
besar dari pada itu. Yang dikatakan disini adalah, bahwa masyarakat dan bangsabangsa di dunia ada beraneka ragam. Beraneka ragam dalam habitat fisiknya,
tradisi kultural, nilai-nilainya, kosmologinya serta pandangannya tentang manusia
dan dunia.
Selanjutnya perkembangan yang sehat dari usaha pemajuan HAM adalah
melalui ‘pengakuan terhadap kemajemukan di dunia ini. Tanpa mengakui
kemajemukan tersebut, maka alih-alih memajukan HAM dunia malah akan
terjebak ke dalam suasana konflik yang bisa memuncak pada pelanggaran HAM
sendiri, terutama sejak HAM sudah memasuki generasi ketiga, yang antara lain
memuat hak atas warisan budaya.
Dalam model pemajuan HAM yang demikian itu tidak ada tempat bagi
pemaksaan dan dominasi dari satu konsep HAM tertentu di atas yang lain.
Apalagi sejak munculnya aliran pemikiran yang kontra-rasional dan kontraindividual di dunia sebagaimana diuraikan dimuka. Yang ada adalah suasana
saling penghormatan dan saling memberi tahun serta saling memperkaya satu
sama lain. Konferensi-konferensi HAM Internasional hanya akan menjadi medan
pertukaran pengalaman dan forum pembelajaran, bukan menjadi tempat untuk
menggiring bangsa dan negara di dunia ini kearah pemahaman HAM secara
seragam menurut satu standar mutlak[3].

16

2.4 Contoh Kasus Pelanggaran HAM
Hukum adalah

suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi

tingkah laku manusia agar dapat terkendali dan hukum merupakan aspek
terpenting dalam pelaksanaan kekuasaan kelembagaan. Hukum mempunyai tugas
untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Menurut Satjipto
Raharjo, hukum dan masyarakat tidak bisa dipisahkan, bagi hukum,masyarakat
merupakan sumber daya yang memberi hidup (to nature) dan menggerakkan
hukum tersebut. Masyarakat menghidupi hukum dengan nilai-nilai, gagasan,
konsep, disamping itu masyarakat juga menghidupi hukum dengan cara
menyumbangkan masyarakat untuk menjalankan hukum. Kita mengetahui dari
perspektif sosiologis hukum, hukum itu hanya bisa dijalankan melalui campur
tangan manusia, sebagai golongan yang menyelenggarakan hukum, maupun
mereka yang wajib menjalankan ketentuan hukum. Dengan demikian masuklah
aspek perilaku manusia ke dalam hukum.
Hukum sangat berhubungan erat dengan masyarakat. Walaupun masih ada
hukum itu namun perilaku menyimpang masih banyak terjadi di kalangan
masyarakat. Hak Asasi Manusia atau lebih dikenal dengan istilah HAM.
Pengertian Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia sejak
lahir yang tidak dapat diganggu gugat dan bersifat tetap.
Menurut pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Rapublik Indonesia Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dimaksud dengan pelanggaran hak
asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk

17

aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang
secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak
asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang
dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian
hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Jika kita mendengar tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia pasti kita
berfikir negatif. Banyak kasus yang berat maupun ringan yang melanggar hak
asasi manusia seperti hak hidup, hak menyampaikan pendapat, hak berorganisasi,
hak mendapatkan perlindungan di depan hukum, dan masih banyak lagi. Seperti
pelanggaran hak asasi manusia yang masih banyak diperbincangkan yaitu kasus
ISIS. Kekejian dan perbudakan yang terjadi sangat mengerikan dan miris untuk
dilihat. Banyak kasus juga yang berhubungan dengan hak asasi manusia yang
terjadi pada beberapa tahun yang lalu, salah satunya ialah pada kasus Trisakti.
Padahal, telah disebutkan didalam UUD 1945 yang terdapat didalam Pasal 28J
ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang
lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.5
Aksi-aksi mahasiswa yang telah bergulir sejak awal 1998 semakin marak
dan menular ke banyak kampus di seluruh Indonesia. Aksi-aksi itu umumnya
menuntut agar segera dilaksanakan reformasi di berbagai bidang, termasuk
reformasi politik. Aksi mahasiswa yang terjadi sepanjang Mei 1998 menemukan
momentumnya pada tanggal 12 Mei 1998 di Kampus Universitas Trisakti di Jalan
Kyai Tapa, Grogol, Jakarta. Peristiwa ini merenggut nyawa empat orang
mahasiswa Trisakti akibat tembakan peluru tajam oleh aparat kepolisian.

_______________
5) UUD 1945 Pasal 28J ayat 1, hlm 160

18

Sejak saat itu, perubahan terjadi dengan cepat, perlawanan dengan aparat,
pembakaran gedung dan kendaraan, penjarahan dan tindakan kriminal lain telah
memicu perubahan politik di tingkat elit dengan puncaknya pengunduran diri
Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia (Fadli Zon, 2004 : 39). Ketika
insiden Trisakti terjadi, Presiden Soeharto berada di Cairo sejak 9 Mei 1998
menghadiri pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-15 (Fadli Zon, 2004 :
46).
Tanggal 12 Mei malam dilaksanakan rapat yang membahas kasus Trisakti
di Mapolda Metro Jaya dipimpin Kapolri Jenderal Pol Dibyo Widodo dan dihadiri
antara lain dari unsur Kodam Jaya yaitu Syafri dan Kasdam Brigjen TNI Sudi
Silalahi, dari Polda yaitu Hanani Nata dengan stafnya. Dari Universitas Trisakti
hadir Rektor Usakti, Prof. dr. Moedanton moertedjo, kepala keamanan dan
ketertiban kampus Ir. Arri Gunarsa, ketua alumni Trisakti, Komnas HAM diwakili
oleh AA Baramuli dan Bambang W. Soeharto. Dari pihak Trisakti mengatakan
ada unsur penembakan.
Di dalam rapat, Rektor Trisakti meminta agar kasus ini diusut. Ia juga
meminta pemerintah danABRImenyatakan bela sungkawa serta datang ke
Trisakti. Kemudian Kapolri meminta Pangdam Jaya atas nama pemerintah dan
Abri datang ke Kampus Trisakti untuk menyamopaikan bela sungkawa. Usai
rapat, Syafrie memimpin konferensi pers pukul 01.00 tengah malam atu telah
masuk tanggal 13 Mei 1998. Karena pada saat itu Rektor Trisakti mengatakan
bahwa mereka tidak mau melihat polisi, maka sesuai kesepakatan rapat, Syafrie

19

menyatakan ucapan bela sungkawa atas nama pemerintah (Fadli Zon, 2004 : 48 –
49).
Huru Hara Mei 1998 berisi tentang kerusuhan Jakarta, Rabu, 13 Mei 1998,
merupakan hari berkabung atas gugurnya mehasiswa Trisakti. Pada hari ini
keempat mahasiswa Trisakti yang kemudian diberi penghargaan sebagai
“Pahlawan Reformasi” dimakamkan. Kemarahan mahasiswa dan masyarakat telah
menyebar, aroma kerusuhan telah menyengat. Penembakan mahasiswa Trisakti
adalah pemicu huru hara yang telah meluluh lantahkan Jakarta dan beberapa kota
lain selama tiga hari berturut-turut (Fadli Zon, 2004 : 89).
Pada hari Kamis 14 Mei 1998 dini hari, Jakarta kedatangan gelombang
massa menyerbu seperti layaknya ada yang menghasut dan memerintahkan untuk
menuju ke pusat-pusat perdagangan, pertokoan dan perkantoran milik WNI
keturunan Cina di kawasan kota, kawasan Mangga Besar, kawasan Senin, Jalan
Hayam Wuruk, Jalan Gajah Mada, Jalan Daan Mogot dan lain-lain. Mereka
datang denga sangat beringas untuk melakukan perampokan, penjarahan, dan
penembakan serta yang paling mengenaskan bahwa mereka juga melakukan
pelecehan seksual terhadap wanita-wanita keturunan Cina, encim-encim dan
amoy-amoy dan bahkan sampai kepemerkosaan yang sangat biadab dan
memalukan. Yang paling tragis adalah pembakaran terhadap Klender Plaza dan
200 orang karyawati pertokoan tewas terpanggang (Tuk Setyohadi, 2002 : 176).
Akibat dari politik Huru Hara Mei 1998 dengan puncaknya pada tanggal
14 Mei 1998 banyak menelan korban dan kerugian. Kepada Pers, Gubernur DKI
Sutiyoso mengumumkan, kerusuhan itu menelan sedikitnya 500 korban jiwa,

20

4.939 bangunan rusak dibakar, 1.119 mobil pribadi dan angkutan umum 66 unit
hangus dibakar, 821 unit sepeda motor hangus dibakar, 1.026 rumah penduduk
yang terlalap api. Jumlah bank yang dirusak mencapai 64 bank, dengan 313
kantor cabang 179 kantor cabang pembantu, dan 26 kantor kas. Kerugian fisik
banguna mencapai Rp 2,5 triliun, belum termasuk isinya (A. Pambudi, 2007 : 910).
Menurut TGPF, kerusuhan di Jakarta dimulai sore hari,13 Mei 1998dan
pagi hari sampai siang hari 14 Mei 1998. Pada umumnya, kerusuhan berlanjut
hingga 15 Mei 1998. Dari polanya, kerusuhan dimulai dengan kerumunan massa
(usai jam kantor pada hari Rabu, 13 Mei 1998 dan sepanjang 14 Mei 1998).
Massa tersebut terdiri dari penduduk, pekerja, anak-anak tanggung di sekitar
lokasi, serta kerumunan massa yang tidak jelas. Kemudian muncul beberapa orang
(2-3 hingga 10-12 orang) melakukan provokasi, dengan memancing keributan
(menantang penjaga keamanan, membuka perkelahian massal, membakar ban
mobil, dan melempar batu). Provokator berhasil memancing massa yang
berkerumunan untuk mulai melakukan pengrusakan (Fadli Zon, 2004 : 106-107).
Secara keseluruhan, kondisi tanggal 13 Mei 1998 dapat ditangani dan
dilokalisir. Mejelang malam, gerombolan massa semakin berkurang. Tanggal 14
Mei, kurang lebih pukul 11.00 atas dasar perkembangan situasi yang ditimbulkan
oleh aksi kerusuhan yang terjadi di wilayah Jakarta, Tanggerang dan Bekasi dan
terjadi penarikan anggota Polri di posnya, maka dilakukan pengambilalihan Kodal
Operasi kepada Pangdam Jaya sebagai implementasi dari dasar TR Pangab selaku
ketua Bakorstranas Nomor TR/14/STANAS/1998 dan Skep Pangab Nomor

21

658/X/1996 tentang Juklap ABRI tentang operasi penanggulangan huru hara. Inti
TR Nomor 14/STANAS/1998 bahwa Kapolda pemegang Kodal bila terjadi huru
hara.
Cuplikan diatas adalah ringkasan peristiwa Trisakti yang merenggut
banyak korban, tidak hanya orang dewasa, mahasiswa, anak-anak namun
bangunan, fasilitas umum dan tempat umum juga menjadi korban Insiden Trisakti
ini yang terjadi tahun 1998.
Berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia tentu banyak sekali
peristiwa atau kejadian yang menyangkut haka asasi manusia pada Insiden
Trisakti ini. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat misalnya pada kasus
pembunuhan, penembakan, pembakaran, pemerkosaan, dan masih banyak lagi
peristiwa yang melanggar hak asasi manusia.
Di Indonesia mempunyai Instansi untuk menegakkan hak asasi manusia
yaitu Komisi Perlinduangan Hak Asasi Manusia atau lebih dikenal KOMNAS
HAM. KOMNAS HAM mempunyai wewenang yaitu sebagai berikut:
1. Melakukan perdamaian pada kedua belah pihak yang bermasalah.
2. Menyelesaikan masalah secara konsultasi maupun negosiasi.
3. Menyampaikan rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia
kepada pemerintah dan DPR untuk ditindaklanjuti.
4. Memberi saran kepada phak yang bermasalah untuk menyelesaikan sengketa
di pengadilan.
Oleh karena itu kita sebagai warga negara Indonesia harus melindungi
hakasasi seseorang atau kelompok untuk menyampaikan pendapat, hidup,

22

bergabung denga partai olitik, memilih dan dipilah dalam pemilu, mendapatkan
perlindungan yang sama di bidang hukum, dan masih banyak lagi.

23

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hak Asasi Manusia (HAM) menurut pasal 1 ayat (1) Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia. Hak asasi manusia yang diuraikan di atas
mempunyai ruang lingkup yang luas dan mencakup berbagai aspek kehidupan.
Ide mengenai hak asasi manusia secara hukum ketatanegaraan
diperkirakan muncul pada abad ke-17 dan ke-18 Masehi. Hal itu terjadi sebagai
reaksi terhadap organisasi dan kediktatoran raja-raja dan kaum feodal terhadap
rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka pekerjakan di zaman itu.
Masyarakat manusia dizaman dimaksud, terdiri dari dua lapisan besar, yaitu (1)
lapisan atas (minoritas) sebagai yang mempunyai sejumlah hak terhadap lapisan
bawah (mayoritas) sebagai kelompok yang diperintah; dan (2) lapisan bawah yang
mayoritas mempunyai sejumlah kewajiban-kewajiban terhadap lapisan minoritas
yang menguasainya.
Esensi pelanggaran HAM bukan semata-mata pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan hak asasi manusia yang berlaku, melainkan
degradasi terhadap kemanusiaan yang merendahkan martabat dan derajat manusia
menjadi serendah binatang. Orang sering kurang mengetahui dan menyadari

24

bahwa HAM mempunyai hubungan yang erat dengan wibawa hukum. Kekhilafan
ini tampak dari kenyataan, bahwa jarang sekali orang memperbincangkan kedua
masalah ini bersamaan. Padahal HAM dan wibawa hukum merupakan dua sejoli
atau dua sisi mata uang, yang satu sisi tidak dapat dipisahkan dengan yang
lainnya. Pperumusan dan institusionalisasi Hak Asasi Manusia (HAM) memang
tak dapat dilepaskan dari lingkungan sosial atau habitatnya, yaitu tidak lain
masyarakat itu sendiri di mana HAM itu dikembangkan. Terjadi semacam
korespondensi antara HAM dan perkembangan masyarakat. Kita juga dapat
mengatakan, bahwa HAM itu memiliki watak sosial dan struktur sosial sendiri.

25

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainudin. 2006. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
___________. 2008. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Marzuki, Supratman. 2012. Pengadilan HAM Indonesia. Yogyakarta: Eirlangga.
Atmasasmita, Romli. 2001. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan
Hukum. Bandung: Mandar Manju.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

58