Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Pendekatan RME Berbantu Kartu Bilangan Arief untuk Siswa SD Kelas I

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Kajian Teori
2.1 Hakikat Matematika
Kata matematika berasal dari bahasa latin mathematika yang mulanya
diambil dari bahasa Yunani manthematike yang berarti mempelajari. Bahasa itu
mempunyai asal kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge,
science). Kata manthematike berhubungan dengan kata lainnya yang hampir sama,
yaitu mathein atau manthenein yang artinya belajar atau berpikir. Jadi,
berdasarkan asal katanya, maka perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan
yang didapat dengan berpikir atau bernalar. Matematika lebih menekankan
kegiatan dalam dunia rasio atau penalaran, bukan menekankan dari hasil
eksperimen atau hasil observasi matematika terbentuk karena pikiran-pikiran
manusia, yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran (Russeffendi, 1988
: 148).
Suwangsih (2006: 3) berpendapat bahwa matematika terbentuk dari
pengalaman manusia dalam dunianya secara empiris. Kemudian, pengalaman itu
diproses di dalam dunia rasio, dan diolah secara analisis dengan penalaran dalam
struktur kognitif sehingga terbentuklah konsep-konsep matematika yang
dimanipulasi melalui bahasa matematika yang bernilai universal.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa matematika terbentuk

karena pikiran-pikiran dari pengalaman manusia, kemudian diproses setelah itu
diolah dengan penalaran sehingga terbentuklah konsep-konsep melalui bahasa
matematika yang bernilai universal.
2.2 Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar
Pembelajaran matematika di sekolah dasar berbeda dengan pembelajaran
matematika di sekolah menengah dan sekolah lanjut. Dalam teori pembelajaran
matematika ditingkat sekolah dasar yang diungkapkan oleh Heruman (2008: 4-5)
bahwa dalam proses pembelajaran diharapkan adanya reinvention (penemuan
kembali) secara informal dalam pembelajaran di kelas dan harus menampakkan

5

adanya keterkaitan antar konsep. Hal ini bertujuan untuk memberikan
pembelajaran yang bermakna bagi siswa.
Menurut Suwangsih (2006: 25-26) ciri-ciri pembelajaran matematika di SD
sebagai berikut : 1) pembelajaran matematika menggunkan metode spiral, metode
yang mengartikan adanya saling keterkaitam antar materi satu dengan materi yang
lainnya, sehingga topik yang sebelumnya akan menjadi landasan topik yang
selanjutnya, atupun yang sebaliknya; 2) pembelajaran matematika diberikan
kepasa siswa secra bertahap, jadi pembelajaran yang akan dilaksanakan dimulai

dari hal-hal

yang masih sederhana menuju hal-hal yang lebih kompleks; 3)

pembelajaran matematika menggunkan metode induktif, karena ini akan
disesuaikan dengan tahap perkembangan psikologis siswa sehingga pembelajaran
matematika di SD menggunkan pendekatan induktif; 4) pembelajaran matematika
perpedoman pada kebenaran yang ajek, sehingga tidak berubah-ubah setiap
waktu; 5) pembelajaran matematika harus selalu bermakna untuk siswa, jadi
siswalah yang harus mengonstruksi konsepnya sendiri tidak melulu selalu dengan
ajaran yang diberikan oleh guru.
Pembelajaran matematika khususnya di Sekolah Dasar harus dikemas oleh
guru dalam suasana yang menyenangkan sesuai dengan kondisi psikologis siswa,
sehingga dalam proses pembelajaran siswa akan termotivasi untuk mengikuti
pembelajaran dengan semangat. Salah satu yang bisa dilakukan oleh guru adalah
dengan mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan real siswa ataupun
kehidupan nyata yang sesuai dengan konteks materi pembelajaran sehingga siswa
akan mudah menangkap permasalahan yang ada untuk kemudian dilesaikan oleh
siswa. Pembelajaran matematika yang dilaksanakan oleh siswa tidak akan
bermakna jika tidak dikaitkan dalam kehidupan sehari-hari siswa. Karena

matematika merupan ilmu yang tumbuh dan berkembang dari kehidupan seharihari dengan segala aktivitas dan masalah yang ada di dalamnya.
2.3

Hasil Belajar
Dimyati dan Mudjiono (2006: 3) mengatakan bahwa hasil belajar

merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi
guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari siswa,

6

hasil belajar merupakan puncak proses belajar yang merupakan bukti dari usaha
yang telah dilakukan.
Hamalik (2005: 155) menyatakan bahwa hasil belajar tampak sebagai
terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa, yang dapat diamati dan diukur
dalam perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan.Perubahan dapat diartikan
terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan
sebelumnya, misalnya dari yang tidak tahu menjadi tahu, sikap yang tidak sopan
menjadi sopan, dan sebagainya.
Dimyati dan Mudjiono (2006: 4-5) dampak pengajaran adalah hasil yang

dapat diukur, seperti tertuang dalam angka rapor, angka dalam ijazah, atau
kemampuan meloncat setelah latihan. Dalam kaitannya dalam belajar, hasil berarti
penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh guru melalui
mata pelajaran, yang lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang
diberikan guru.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa suatu belajar mengajar
pada

akhirnya

akan

menghasilkan

kemampuan

siswa

yang


mencakup

pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Perubahan kemampuan merupakan
indikator untuk mengetahui hasil prestasi belajar siswa. dan dari beberapa
pendapat di atas dapat dikatakan bahwa hasil belajar merupakan hasil yang
diperoleh siswa setelah menerima suatu pengetahuan yang berupa angka (nilai).
Jadi aktivitas siswa mempunyai peran yang sangat penting dalam proses belajar
mengajar, tanpa adanya aktivitas siswa maka proses belajar mengajar tidak akan
berjalan dengan baik, akibatnya hasil belajar yang akan dicapai rendah.
2.4 Karakteristik Siswa Sekolah Dasar
Piaget (Suyono dan Hariyanto, 2011: 83-85), menyatakan bahwa
perkembangan belajar terdiri dari empat tahap, antara lain.
1. Tahap Sensorimotor (usia 0 – 2 tahun)
Pada tahap ini anak sudah dapat memahami lingkungannya dengan jalan
melihat,

meraba,

memegang,


mengecap,

mencium,

mendengarkan

dan

menggerakkan anggota tubuh. Selain itu anak mulai memahami bahwa perilaku
tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya.

7

2. Tahap Pra-Operasional (usia 2 – 7 tahun)
Di

tahap

ini


anak

memiliki

kecenderungan

untuk

menggunakan

pemahamannya dalam memahami sesuatu namun belum dapat menyadari bahwa
orang lain dapat berpendapat berbeda dengannya. Pada tahap ini juga terjadi
perkembangan bahasa dan anak telah mampu mengingat banyak hal tentang
lingkungannya.
3. Tahap Operasional Konkrit (usia 7 – 11 tahun)
Tahap ini anak sudah dapat menggunakan logika dan penalarannya tetapi
belum menyadari jika telah melakukan kesalahan, mereka juga telah mampu
mengklasifikasikan, mengelompokkan, dan pengaturan masalah (ordering
problems) tetapi belum bisa menyerap seluruh substansi yang ada didalamnya.
4. Tahap Operasional Formal (usia 11 tahun keatas)

Mulai tahap ini anak sudah dapat berpikir abstrak. Mereka sudah mampu
mengembangkan hukum-hukum yang berlaku secara umum dan pertimbangan
ilmiah. Mereka juga mampu menyusun hipotesa serta menarik generalisasi secara
mendasar sehingga mampu memecahkan masalah dengan beberapa alternatif.
Menurut Endang Purwanti dan Nur Widodo (2005: 44), anak berusia 6-12
termasuk dalam masa kanak-kanak akhir (late childhood) yang mempunyai
karakteristik cenderung melibatkan diri untuk berinteraksi dengan teman
sebayanya daripada bermain di rumah dan memiliki dorongan mental untuk
memasuki dunia konsep, logika, simbol, dan sebagainya.
Siswa Sekolah Dasar (SD) umurnya berkisar antara 6 atau 7 tahun sampai
12 atau 13 tahun. Piaget (dalam Heruman, 2008:1-2), mereka berada pada fase
operasional konkret. Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah kemampuan
dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun
masih terikat dengan objek yang bersifat konkret.
Dari uraian di atas, diketahui anak sekolah dasar kelas satu berada pada
tahap oprerasional konkrit karena anak uasia sekolah dasar kelas satu berusia
antara 6-8 tahun, anak pada tahap operasional konkrit ini sudah dapat
menggunakan logika dan penalaran mereka, juga telah mampu mengelompokkan,

8


mengidentifikasi dan pengaturan masalah. Anak lebih aktif untuk berinteraksi
dengan teman sebayanya daripada bermain di rumah.
2.5

Realistic Mathematic Education (RME)
Pendekatan RME merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran

matematika yang landasan filosofinya sejalan dengan fal-safah konstruktifis yang
menyebutkan bahwa pengetahuan ini adalah konstruksi dari seseorang yang
sedang belajar. Ada dua hal penting yang merupakan inti dari RME yaitu
matematika harus dihubungkan dengan realita dan matematika harus dipandang
sebagai aktifitas manusia. Masalah kontekstual digunakan sebagai titik awal
dalam pembelajaran matematika untuk membantu siswa mengembangkan
pengertian terhadap konsep matematika yang dipelajari, menyusun strategi, dan
menemukan sifat-sifat dalam matematika. Dalam kerangka RME, (Freudenthal,
p.iii) menyatakan bahwa “mathematic as human activities”, karena pembelajaran
matematika disarankan berangkat dari aktivitas manusia. Pada dasarnya
pendekatan realistic bukanlah dipandang sebagai pengetahuan yang “siap pakai”,
tetapi “matematika adalah aktivi-tas manusia”. Pembelajaran tidak lagi hanya

pemberian informasi dalam pembelajaran mate-matika, tetapi berubah menjadi
aktivitas manu-sia untuk memperoleh pengetahuan manusia.
Hadi (2005: 36) menyatakan bahwa konsep RME sejalan dengan kebutuhan
untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh
persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan
mengembangkan daya nalar. Dengan pendekatan RME diharapkan proses
pembelajaran dikelas menjadi lebih baik, siswa lebih aktif dan kreatif dan da-pat
meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa, sedangkan peran guru dapat
berubah dari pusat proses pembelajaran di dalam kelas men-jadi fasilitator atau
pembimbing atau narasumber.
a. Karakteristik Realistic Mathematic Education (RME)
Gravemeijer (Daitin Tarigan, 2006: 6) mengemukakan 5 karakteristik
pendekatan matematika realistik (RME), yaitu:
Pembelajaran menggunakan masalah kontekstual. Kontekstual yang
dimaksud adalah lingkungan siswa yang nyata baik aspek budaya maupun

9

aspek geografis. Didalam matematika hal itu tidak selalu diartikan “konkret”
tetapi dapat juga yang telah dipahami siswa atau dapat dibayangkan. Masalah

kontekstual biasanya dikemukakan di awal pembelajaran. Namun demikian
masalah dapat saja disajikan di tengah atau di akhir pembelajaran suatu topik
atau sub topik. Masalah kontekstual disajikan di awal pembelajaran, bila
dimaksudkan untuk memungkinkan siswa membangun/menemukan sesuatu
konsep, definisi, operasi ataupun sufat matematika serta cara pemecahan
masalah itu. Masalah kontektual di sajikan di tengah pembelajaran bila
dimaksudkan untuk “memantapkan” apa yang telah dibangun/ditemukan.
Masalah kontekstual disajikan di akhir pembelajaran bila dimaksudkan untuk
mampu “mengaplikasikan” apa yang telah dibangun/ditemukan.
Pembelajaran matematika sering perlu melalui waktu yang panjang serta
bergerak dari berbagai tingkat abstraksi. Dalam abstraksi itu perlu
menggunakan model. Model itu dapat bermacam-macam, dapat konkret berupa
benda, gambar, skema, yang kesemuanya itu dimaksudkan sebagai jembatan
dari konkret ke abstrak atau dari abstrak ke abstrak yang lain. Dikenal model
yang serupa atau mirip dengan masalah nyatanya, yang disebut “model of” dan
dikenal juga model yang mengarahkan ke pemikiran abstrak atau formal, yang
disebut “model for”.
Dalam pembelajaran perlu sekali memperhatikan sumbangan atau
kontribusi siswa yang mungkin berupa ide, gagasan ataupun aneka jawab/cara.
Konstribusi siswa itu dapat menyumbang kepada konstruksi atau produksi
yang perlu dilakukan/dihasilkan sehubungan denagn pemecahan masalah
kontekstual.
Pembelajaran jelas perlu sekali melaksanakan interaksi, baik antara siswa
dan siswa ataupun bila perlu antara siswa dan guru yang bertindak sebagai
fasilitator. Interaksi itu juga mungkin terjadi antara siswa dengan sarana atau
antara siswa dengan matematika ataupun dengan lingkungan. Bentuk interaksi
itu dapat juga macam-macam, misalnya diskusi, negosiasi, memberi penjelasan
atau komunikasi, dsb.

10

Pembelajaran matematika perlu disadari bahwa matematika adalah suatu
ilmu yang terstruktur dengan ketat konsistensinya. Keterkaitan antara topik,
konsep, operasi dsb sangat kuat, sehingga sangat dimungkinkan adanya
integrasi antara topik dsb. itu. Bahkan mungkin saja antar matematika dengan
lain bidang pengetahuan untuk lebih tajam kebermanfaat belajar matematika.
Hal ini memungkinkan akan dapat menghemat waktu pembelajaran. Selain itu
dengan dimungkinkannya pengaitan antar topik atau sub topik sangat mungkin
akan tersusun struktur kurikulum yang berbeda dengan struktur kurikulum
yang selama ini dikenal, tetapi tetap mengarah kepada kompetensi yang
ditetapkan.
Mengacu pada karakteristik RME, Sembiring merinci karakteristik RME
menjadi 3 yaitu siswa lebih aktif, konteks dan bahan ajar terkait langsung
dengan lingkungan sekolah dan siswa, dan peran guru lebih aktif dalam
merancang bahan ajar dan kegiatan kelas. Mendasarkan pada kondisi kelas
seperti uraian di atas serta beberapa karakteristik dan prinsip pembelajaran
matematika realistik, maka langkah-langkah pembelajaran yang dilaksanakan
dalam penelitian ini terdiri atas:
b. Langkah-Langkah RME
1) Memahami masalah kontekstual, yaitu guru memberikan masalah (soal)
kontekstual dan siswa diminta untuk memahami masalah tersebut. Pada
tahap ini karakteristik pertama diterapkan yaitu penggunaan masalah
kontekstual.
2) Menjelaskan masalah kontekstual, yaitu guru menjelaskan situasi dan
kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa
saran seperlunya, tebatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan
yang belum dipahami oleh siswa. Pada tahap ini memberi peluang
terlaksananya prinsip pertama RME yaitu penemuan terbimbing dan
matematisasi progresif.
3) Menyelesaikan masalah kontekstual, yaitu siswa secara individual
menyelesaikan masalah kontektual pada buku siswa atau LKS dengan
caranya sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah yang berbeda

11

lebih diutamakan. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah
tersebut dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan penuntun yang
mengarahkan

siswa

memperoleh

penyelesaian

masalah

tersebut.

Pertanyaan-pertanyaan penuntun seperti bagaimana kamu tahu itu,
bagaimana caranya, mengapa kamu berpikir seperti itu, dan lain-lain.
4) Membandingkan dan mendiskusikan jawaban. Siswa diminta untuk
membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka dalam kelompok
kecil. Setelah itu hasil dari diskusi itu dibandingkan pada diskusi kelas
yang dipimpin oleh guru. Pada tahap ini siswa dapat melatih keberanian
mengemukakan pendapat, meskipun berbeda dengan teman lain atau
bahkan dengan gurunya.
5) Menyimpulkan. Berdasarkan hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas
yang dilakukan, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan
tentang konsep, definisi, teorema, prinsip atau prosedur matematika yang
terkait dengan masalah kontekstual yang baru diselesaikan.
RME merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika.
Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun
1970 oleh Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal
yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak
dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika bagi manusia
berfungsi untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan dalam
kehidupan sehari-hari (Abrantes, 2001: 126).
Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai
passive receivers of ready-made mathematics (penerima pasif matematika yang
sudah jadi). Menurut Freudenthal (Hadi, 2005: 7-8) pendidikan harus
mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk
mene-mukan kembali matematika dengan cara me-reka sendiri. Banyak soal yang
dapat diangkat dari berbagai situasi yang dirasakan bermakna sehingga menjadi
sumber belajar. Konsep mate-matika muncul dari proses matematisasi, yaitu
dimulai dari penyelesaian yang terkait dengan konteks (context-link solution)

12

siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman matematik ke tingkat
yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas matematik siswa
dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah pada level
berpikir matematik yang lebih tinggi. Upaya ini dilaku-kan melalui penjelajahan
berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini
dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat
dibayangkan oleh siswa. Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh
prosedur-prosedur pemecahan informal, sedangkan proses penemuan kembali
menggunakan konsep matematisasi.
Pendidikan matematika realistik atau RME dikembangkan guna meninjau
pendidikan yang berkembang, saat ini masih kurang ber-makna bagi siswa. Dalam
pembelajaran RME, dunia nyata (real world) digunakan sebagai titik awal untuk
pengembangan ide dan konsep matematika. Dunia nyata adalah segala sesuatu di
luar matematika, seperti mata pelajaran lain selain matematika, atau kehidupan
sehari-hari dan lingkungan kita. Matematika realistik ber-kenaan dengan
pembelajaran matematika yang merupakan pendekatan dalam pendidikan. Pembelajaran ini menekankan akan pentingnya kon-teks nyata yang dikenal murid dan
proses konstruksi pengetahuan matematika oleh murid sendiri. Masalah konteks
nyata harus menjadi awalan dalam setiap pembelajaran matematika sehingga
memungkinkan siswa untuk menemu-kan kembali berdasarkan usaha mereka
sendiri (Supinah & Agus, 2009: 6).
2.6

Media Pembelajaran Kartu Bilangan ARIEF
Kartu Bilangan ARIEF merupakan kartu bilangan yang dapat digunakan

untuk mengenalkan bilangan untuk anak Sekolah Dasar baik kelas satu ataupun
kelas di atasnya. ARIEF merupakan kependekan dari Aman, Ringan, Inovatif,
Efektif dan Fantastis. Kartu ini terdiri dari 2 bagian, muka dan belakang. Pada
tampilan muka ada gambar buah, transportasi atau yang lainnya sesuai tema dan
bilangan yang ditulis di sana. Di bagian belakang khususnya angka nomor 1
sampai 20 akan terdapat sejumlah gambar sebanyak angka di bagian muka. Kartu
bilangan ARIEF ini digunakan untuk menanamkan konsep penjumlahan dan
pengurangan dengan menggunakan alat yang menarik siswa. Kartu ini juga dapat

13

digunakan untuk permainan siswa melatih kemampuan menjumlahkan dan
mengurangkan.
Kartu bilangan ARIEF dikhususkan untuk kelas rendah karena dilatar
belakangi masih banyaknya siswa yang kesulitan untuk penjumlahan atau
pengurangan bilangan. Masih cukup banyak siswa yang belum dapat memahami
konsep penjumlahan atau pengurangan sehingga mereka kesulitan untuk
menjumlahkan atau mengurangkan. Konsep ini bukanlah hafalan, melainkan suatu
konsep yang perlu dipahami dan diaplikasi. perlu adanya cara atau alat
peraga/media belajar yang dapat menarik siswa untuk belajar sambil bermain
khususnya untuk menanamkan konsep bilangan dan penjumalahan serta
pengurangan

bilangan.

Selain

menanamkan

konsep

penjumlahan

dan

pengurangan, alat peraga atau media belajar tersebut diharapkan dapat melatih
logika berpikir siswa.

Gambar 2.1 kartu bilangan ARIEF
2.7

Materi
Dalam penelitian ini Standar Kompetensinya adalah Melakukan penjumlahan

dan pengurangan bilangan sampai dua angka dalam pemecahan masalah dan
kompetensi dasarnya adalah: (4.1) Membilang banyak benda (4.2) Mengurutkan
banyak benda (4.3) Menentukan nilai tempat puluhan dan satuan (4.4) Melakukan
penjumlahan dan pengurangan bilangan dua angka (4.5) Menggunakan sifat
operasi pertukaran dan pengelompokan (4.6) Menyelesaikan masalah yang
melibatkan penjumlahan dan pengurangan bilangan dua angka

14

2.8

Desain Penelitian Tindakan Kelas
Rancangan Penelitian Tindakan Kelas

(PTK) adalah suatu kegiatan

penelitian yang berkonteks kelas yang dilaksanakan untuk memecahkan masalahmasalah pembelajaran yang dihadapi oleh guru, memperbaiki mutu dan hasil
pembelajaran dan mencobakan hal-hal baru dalam pembelajaran demi
peningkatan mutu dan hasil pembelajaran.
Menurut Sukayatin dalam Aprudin (2012) terdapat beberapa model PTK
yang dikembangkan oleh pakar, yaitu: model Kurt Lewin, Model Ebbut, Model
Kemmis & Mc Taggart, model Elliot, model Mc Kernan, model Hopkins.
Penelitian tindakan kelas ini menggunakan model spiral dengan siklus yang berisi
tahapan-tahapan perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi (model Kemmis &
Mc Taggart). Tahapan-tahapan dalam siklus tersebut terlihat pada Gambar 2.1.
Observasi

Refleksi

Observasi

Refleksi
Pelaksanaan

Perencanaan

Perencanaan

Pelaksanaan
Perencanaan

Gambar 2.2 Model Kemmis & Mc Taggart
Ani Widayati (2007: 6) Penelitian tindakan kelas merupakan suatu langkah
nyata yang dilakukan oleh guru dalam memperbaiki kualitas pembelajaran yang
dilaksanakannya. Hal ini didasari pada permasalahan yang dihadapi oleh guru
saangat beragam dalam kegiatan belajar mengajar. Permasalahan harus
diidentifikasi dan diformulasi untuk dicarikan upaya pemecahan dalam wadah
penelitian tindakan kelas sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan secara
efektif. Penelitian tindakan kelas merupakan salah satu kemampuan yang harus
dimilliki dan dilakukan oleh guru untuk menjaga profesionalitas kinerjanya.
Dengan penelitian tindakan kelas dimungkinkan terjadinya peningkatan kualitas
pembelajaran yang pada gilirannya akan memperbaiki pula kualitas pendidikan

15

nasional. Dengan demikian penelitian tindakan kelas merupakan slah satu upaya
yang dapat dilakukan oleh guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Menurut Parjono (2007: 12), penelitian tindakan kelas adalah salah satu jenis
penelitian tindakan yang dilakukan guru untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran

di

profesionalitasnya,

kelasnya.
sedangkan

Guru

diberdayakan

siswa

untuk

mendapatkan

mengembangkan

pelayanan

kualitas

pembelajaran yang lebih baik.
Berdasarkan uraian dari para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian
tindakan kelas adalah tindakan yang dilakukan oleh guru kepada siswa untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran di kelasnya. Penelitian tindakan kelas ini
dilakukan secara kolaboratif dengan teman sejawat (guru kelas, kepala sekolah
dan guru lain) dengan tujuan untuk meningkatkan prestasi belajar matematika
pada materi
2.9

Penelitian yang Relevan
Untuk mengetahui peningkatan aktivitas belajar siswa setelah pelaksanaan

pembelajaran dengan penerapan pendekatan pendidikan matematika realistik
Indonesia pada mata pelajaran matematika dan untuk mengetahui peningkatan
hasil belajar siswa setelah pelaksanaan pembelajaran dengan penerapan
pendekatan pendidikan matematika realistik Indonesia pada mata pelajaran
matematika siswa kelas V SDN 4 Suwug.
Penelitihan Tindakan Kelas yang dilakukan oleh muryanti yang berjudul
“Penerapan

model

Pembelajaran

Matematika

Realistik

(RME)

dapat

meningkatkan aktivitas belajar siswa pada pembelajaran Matematika kelas IV
SDN 03 Malanggaten tahun pelajaran 2012/2013”. Peningkatan aktivitas belajar
siswa yaitu sebelum tindakan sebanyak 11 siswa (45,83%), siklus I sebanyak 18
siswa (62,5%), dan siklus II sebanyak 20 siswa (83,33%).
Penelitian dengan menggunakan penerapan RME juga pernah dilakukan
oleh Andriyani (2009) dalam Indro Marco yang berjudul “Penerapan Pendidikan
Matematika Realistik (RME) Pada Materi Pokok Bangun Datar di Kelas V SD
Negeri 104 Palembang. Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan
bahwa aktifitas belajar siswa yang paling dominan adalah pada aktivitas menulis

16

(84,7%) dan aktifitas yang paling rendah yaitu aktifitas lisan (71,8%), serta
dengan nilai sebesar (81,5%) dan dikategorikan baik.
Fitri Rahayu (2010) dalam Indro Marco yang berjudul “Pengaruh
Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik
(PMR) Pada Konsep Penjumlahan dan Pengurangan Terhadap Hasil Belajar
Siswa Kelas V SD Negeri I Jatimulya Belitang Madang Raya. Hasil penelitian
diperoleh bahwa rata-rata nilai eksprimen yaitu 81,13 sedangkan rata-rata nilai
kontrol yaitu 69,87.
Hal tersebut juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Siamsih
Nurwidayanti (2013) yang berjudul upaya meningkatkan hasil belajar matematika
dengan pembelajaran matematika realistik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa penggunaan model pembelajaran RME dapat meningkatkan hasil belajar
siswa. siklus I menunjukkan bahwa siswa yang mendapat nilai diatas KKM ada
19 siswa (65,52%), sedangkan hasil evaluasi akhir siklus II menunjukkan bahwa
siswa yang mendapat nilaidiatas KKM ada 25 siswa (86,21%).
2.10 Kerangka Berpikir
Hasil belajar siswa kelas 1 SDN Gilng kecamatan Pabelan kabupaten
Semarang pada pelajaran matematika belum sesuai dengan harapan, sikap dan
minat siswa terhadap pembelajaran matematika juga masih kurang. Hal tersebut
disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain karena belajar matematika dirasakan
sulit dan banyak guru dalam mengelola pembelajaran matematika dalam
menyampaikan materi menggunakan metode yang kurang menarik.
Perlu diadakan inovasi dan perbaikan terhadap pendekatan yang digunakan
dalam pembelajaran yang mampu menstimulus sikap dan minat siswa terhadap
matematika khususnya pada kelas rendah sehingga hasil belajar siswa dapat sesuai
harapan. Apabila dalam proses pembelajaran matematika di kelas, pengalaman
anak sehari-hari dijadikan inspirasi penemuan dan pengkonstruksian konsep dan
mengaplikasikan kembali ke “dunia nyata” maka anak akan mengerti konsep dan
dapat melihat manfaat matematika. Pembelajaran matematika realistik merupakan
pendekatan matematika yang orientasinya menuju pada penalaran siswa bersifat
realistik. Pembelajaran ini menekankan akan pentingnya konteks nyata yang

17

dikenal siswa dan proses konstruksi pengetahuan matematika oleh siswa itu
sendiri. Pembelajaran diawali dengan pemberian pertanyaan mengenai masalah
kontekstual yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari siswa yang berfungsi
untuk merangsang pengetahuan awal siswa dan sebagai gambaran terhadap materi
yang akan dipelajari. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
guna meningkatkan hasil belajar siswa kelas 1 SDN Giling menggunakan RME
berbantu kartu bilangan ARIEF khususnya pada materi pokok operasi hitung
penjumlahan dan pengurangan dua bilangan.
Matematika (abstrak)

1.
2.
3.
4.

Kurang Siswa tidak aktif
Minat siswa rendah
Kurang memahami konsep
Siswa mudah lupa materi pelajaran

1. Guru dominan menggunakan
metode ceramah
2. Guru hanya menanankan konsep
3. Guru kurang mengaitkan materi
dengan dunia nyataa

Upaya yang dilakukan untukk meningkatkan aktifitas dan hasil belajar matematikabelajar

Pembelajaran Matematika Realistik

1. Pembelajaran menjadi bermakna
dan hasil belajar siswa
meningkat
2. Siswa aktif dalam pembelajaran

Gambar 2.3 Kerangka Berpikir
2.11

Hipotesis Tindakan
Penerapan model pembelajaran RME dengan berbantu kartu bilangan ARIEF

dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada siswa kelas 1 SDN Giling
Semester II tahun pelajaran 2016/2017.

18