Pendidikan Karakter Berbasi Dan Pendidikan Karakter

PENDIDIKAN KARAKTER MODEL SUKU SAMIN SUKOLILO
PATI
Abdulloh hamid
Abdulloh Hamid, Lahir di Pati, 28 Agustus 1985. Pendidikan D2 (2006) Wisudawan
Terbaik Program Diploma Dua Fakultas Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama
Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang; S1 (2009) Cumlaude
Fakultas Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Kudus; Sekarang sedang menempuh S2 Program Studi
Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (PTK) Konsentrasi ICT (Information Technology
and Communication) Universitas Negeri Yogyakarta; Aktif diberbagai konferensi baik
tingkat Regional, Nasional maupun Internasional, seperti The Second International
Conference on Islamic Media yang diselenggarakan oleh Muslim World League dan
Kementrian Agama Republik Indonesia di Jakarta, International Conference
Contemporary Islamic Ethics; Key Issues, Concerns and Challenges oleh ICRS
(Indonesian Consotium for Religious Studies) Universitas Gajah Mada (UGM) dan
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta; International Interfaith
Young Meeeting oleh Kementerian Pariwisata dan Indonesian Young Forum (IYF),
International Islamic Youth Seminar oleh Arus Damai Singapura bekerjasama dengan
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Menulis tentang :
Pendidikan Agama Islam dalam Tradisi Meron Sukolilo, STAIN Kudus. 2009.
Pendidikan Kearifan Lingkungan Samin Sukolilo Pati. LPIR 2011. aktif sebagai tenaga

pendidik di SMP Negeri 1 Sukolilo Pati, dan bisa di hubungi di E-mail:
doelhamid07@gmail.com

Abstrak
Ditengah globalisasi yang menghegemoni Suku Samin yang berada di Dukuh
Bombong Desa Baturejo Kecamantan Sukolilo Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah
mempunyai sesuatu yang unik dan menarik untuk diteliti dalam hal pendidikan karakter.
Suku Samin ternyata memiliki nilai - nilai etika dan moral serta pendidikan tersendiri di
dalam kehidupannya. Penelitian ini berusaha memahami serta menggali bentuk kearifan
lokal sebuah karakter warga Samin dalam pendidikan. Selain itu penelitian ini juga
ingin meneliti kenapa sampai sekarang Suku Samin didaerah Bombong Baturejo
Sukolilo Pati Jateng belum mau mengikuti pendidikan formal? Bagaimana ajaranajaran Suku Samin? Dan bagaimana pendidikan karakter model Suku Samin?
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan
kualitatif yang bersifat field research dengan studi etnometodologi. Etnometodologi
merupakan penelitian empirik tentang metode yang digunakan seseorang untuk
memaknai dan sekaligus melaksanakan kegiatan sehari-hari seperti berkomunikasi,
mengambil keputusan dan penalaran, Kajian

dalam


etnometodologi

fokus

kajiannya menyempit sehingga tidak diperlukan kajian yang menyeluruh tentang
obyek penelitian. Adapun teknik pengumpulan data melalui Observasi, Interview dan
Dokumentasi.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter model Samin
yaitu sikap jujur, Ojo

dengki (jangan iri hati), Srei (menyakiti hati

orang lain),

Panesten (gampang menuduh orang lain), Dahwe (membesar-besarkan persoalan),
Kemeren (mudah iri dengan milik orang lain), Bedog – Colong - Petil - Jumput
(mencuri, korupsi), Nemu wae emoh (Menemukan sesuatu yang ada dijalan).
Kata Kunci : Pendidikan Karakter, Samin, kearifan lokal.

A. Pendahuluan

Manusia adalah makhluk yang perlu dan mampu berkembang, tidak hanya
secara kuantitatif melainkan kualitatif. Agar berkembang menjadi manusiawi,

manusia membutuhkan pendidikan, dengan kata lain pendidikan adalah upaya
humanisasi. Karena kekhasan manusia terletak pada adanya perasaan akal, hati
nurani dan kemampuan beriman pada dirinya, maka pendidikan atau humanisasi
haruslah menyentuh segi-segi yang khas pada manusia itu. Pendidikan tidaklah
bermanfaat bila tidak meningkatkan kemampuan-kemampuan yang khas pada
manusia tersebut (Al.Purwa Hadiwardoyo, 2000:81)
Dalam Undang – undang sistem pendidikan nasional (UU SISDIKNAS)
Nomor 20 tahun 2003, juga membagi pendidikan menjadi tiga kategori, yaitu
pendidikan formal, nonformal, dan informal, pendidikan Formal mencakup
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, sedangkan
pendidikan nonformal sebagai layanan pendidikan yang berfungsi sebagai
pengganti, penambah dan pelengkap pendidikan formal. Sedangkan pendidikan
informal adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh keluarga berbentuk kegiatan
belajar secara mandiri (UU Sisdiknas, 2007: 9-14)
Ditengan derasnya arus globalisasi dengan segala hiruk pikuknya, di daerah
Sukolilo tepatnya di Bombong Baturejo Sukolilo ada sekumpulan komunitas yang
bernama “Samin” mereka menpunyai keunikan tersendiri dalam hal menjaga,

melestarikan lingkungan, serta dalam hal pendidikan, mereka tidak menyekolahkan
anak cucu mereka ke pendidikan formal (Sekolahan). Padahal telah diamanatkan di
dalam Undang Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 31 berbunyi : (1). “Tiap-tiap warga
negara berhak mendapat pengajaran” (2). Setiap warga Negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan Pemerintah wajib membiayainya”. Hal itu senada dengan UU
No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 5 berbunyi :
“Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intlektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.Warga Negara di
daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adaptif yang terpencil berhak
memperoleh pendidikan layanan khusus. Warga Negara yang memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikian khusus. Setiap
warga Negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang
hayat”. Atas dasar Undang-undang tersebut diatas, maka pemerintah masih

mempunyai tanggung jawab atas pendidikan dasar warga Samin di Bombong
Baturejo Sukolilo Pati Jawa Tengah.
Penelitian ini berusaha menggali kenapa sampai saat ini Suku Samin di
Bombong Sukolilo Pati belum bisa menerima pendidikan formal (sekolah)?
Padahal di sisi lain pemerintah mempunyai tanggung jawab atas pendidikan dasar

mereka. Penelitian ini ingin menggali nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) Suku
Samin di Bombong Sukolilo Pati?

Misalnya dalam menjaga, memelihara dan

melestarikan lingkungan, Serta Bagaimana pendidikan karakter model suku Samin
di Bombong Sukolilo Pati?
Penelitian ini juga berusaha mengisi celah kosong tentang hasil kajian dan
literatur yang membahas tentang pendidikan model Samin dan kehidupannya.
Beberapa penelitian terdahulu tentang gerakan Samin, seperti karya Harri J.
Benda-Lance Castles dalam bukunya The Samin Movement menjelaskan tentang
sebab-sebab terjadinya gerakan perlawanan yang di pimpin oleh Samin Surosentiko
sebagai perlawanan petani melawan kolonial Belanda, perlawanan ini dilakukan
dengan cara menolak membayar pajak. Perlawanan yang di mulai dari daerah Blora
pada 4 Februari 1907 dalam waktu yang relative singkat namun memiliki pengikut
yang banyak, antara lain : Rembang, Tuban, Bojonegoro, Ngawi, Grobogan, Pati
dan Kudus (Harry J. Benda, 1969:207-216).
Selain itu, Justus M. Van der Kroef dalam The Messiah in Indonesia and
Melanesia, menulis tentang perlawanan kaum Samin melawan kolonial Belanda
dengan imajinasi sosok Ratu Adil atau messiah dalam diri Samin Surasentika. (der

Kroef, Justus M. Van, 1952:161-162), Viktor T. King dalam Same Observations on
the Samin Movement of Nort-Central Java : Suggestions for The Theoretical
Analysis of The Dynamics of Rural Unrest. Dalam kajiannya membahas tentang
gerakan kaum Samin di Jawa Tengah bagian utara, untuk menganalisis
perkembangan gerakan dengan pondasi ekonomi pada masyarakat bukan wilayah
hutan. (Viktor T. King, 1973;457-481). A. Pieter E. Korver dalam bukunya The
Samin Movement and Millenarism Reviewed, mengkaji Samin dalam gerakan
millenarisme, sebagai identitas gerakan. (A. Pieter E. Korver, 1976;249-266).
Takashi Shiraishi juga dalam Dangir’s Testimony: Saminism Reconsidered,
melakukan review atas laporan kolonial terhadap warga pengikut Samin (Dangir) di

Genengmulyo, Juwana untuk membaca pengaruh Saminisme dibeberapa daerah di
pesisir utara jawa. (Takashi Shiraishi, 1990;95-120). Bannedict Anderson (1996)
dalam Gerakan Millenarialisme dan Saminis, dan Widodo (1997) dalam Samin in
The Order : The Politics of Encounter and Isolation. lebih menekankan kajian pada
kaum Samin pasca kemerdekaan. Serta bagaimana pergulatan kuasa-adat yang
terjadi, seperti tampak juga dalam kajian tentang hak-hak minoritas yang dilakukan
Uzair Ahmad (2007) dalam Politik Representasi dan Wacana Multikulturalisme
dalam Praktik Program Komunitas Adat Terpencil (KAT) Kasus Sedulur Sikep
Bombong-Bacem.

Suripan Sadi Hutomo (1996) dalam Tradisi dari Blora, menulis tentang
tradisi yang ada di Blora, sebagian membahas tentang kehidupan warga Samin di
Klopoduwur, Blora. Suripan menggambarkan secara jelas hasil penelitian dan
pengamatannya terhadap penerus Samin Surasentika yang masih ada dikampung
asalnya, selain itu, Suripan juga membahas tentang pola ucap, pola komunikasi dan
permainan simbol yang ada di kaum Samin, serta analisis terhadap teks-teks
penting yang menjadi pedoman kearifan warga Samin.
Selain itu, Moh Rosyid (2008) dalam Samin Kudus : Bersahaja di Tengah
Asketisme Lokal, melakukan riset terhadap kaum Samin di Undaan Kudus, Rosyid
berpendapat bahwa, masyarakat Samin dapat bergaul ramah dengan warga di
sekitar lokasi tempat tinggalnya, akan tetapi masih memegang nilai-nilai prinsip
dasar yang menjadi warisan dari leluhur, seperti agama adam dan pola komunikasi
dengan anggota kelompok maupun di luar kelompok.
Dari beberapa penelitian tentang Samin yang terdahulu, sebagian besar
berada pada domain historiografi, agama, budaya hingga politik penguasa atas
komunitas adat, penelitian ini berusaha mengisi ruang kosong kejian tentang
Samin dalam bidang pendidikannya, penelitian ini beda dengan penelitian yang
sebelumnya, karena penelitian terdahulu menyimpulkan bahwa sistem pendidikan
Samin termasuk sistem informal, sedangkan penelitian ini lebih mendalam lagi
tentang nilai-nilai kearifan lokal tentang pendidikan karakter model Samin

Sukolilo Pati.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat field

research dengan studi etnometodologi. Etnometodologi merupakan penelitian
empirik tentang metode yang digunakan seseorang untuk memaknai dan
sekaligus melaksanakan kegiatan sehari-hari seperti berkomunikasi, mengambil
keputusan dan penalaran. (Alain Couloun, 2004:28)
Etnometodolog berusaha memahami bagaimana orang-orang melihat,
menerangkan dan menguraikan keteraturan
Kajian

dunia tempat mereka hidup.

dalam etnometodologi fokus kajiannya menyempit sehingga tidak

diperlukan kajian yang menyeluruh tentang obyek penelitian.(Lexy J. Moleong,
2007:24)
1.


Penetapan Lokasi Penelitian
Pengikut ajaran Samin Surontiko yang ada di Desa Baturejo merupakan
yang paling banyak dibandingkan dengan daerah lain di Kabupaten Pati,
dan sebagai “pusat” komunitas Samin di Kabupaten Pati.
Untuk melakukan penelitian ini, penulis menetapkan 3 (tiga) keluarga
sebagai informan, yaitu keluarga Gunarti (40 tahun), Gunretno (43), dan Mbah
To (47), Suami Gunarti bernama Kukoh, dari perkawinannya ia mempunyai
dua anak perempuan yaitu Heni (20 tahun) dan Niken (9tahun). Sedangkan
Istri Gunretno bernama Tatik dan mempunyai 4 anak yaitu : Widianti (20
tahun), Widianto (12 tahun), Widianingrum (8 tahun) dan Widiarti 5 tahun).
Alasan memlilih keluarga ini sebagai informan karena mereka ini,
telah terbiasa bergaul dengan masyarakat luas sehingga penelitian lebih
mudah

dilakukan. Untuk

lebih

melengkapi


data

penelitian,

penulis

menggunakan informan yang tidak menjadi anggota komunitas Samin, yaitu
Kepala Desa, N u r y a n t o (49 tahun), Carik Desa, Suhardi (50 tahun), Tokoh
Masyarakat, Ah. Yusuf (42 tahun), dan Kepala SD Negeri Baturejo 1, H. Ali
Nazuli, S.Ag. sebagai orang yang tinggal dengan jarak terdekat dengan
komunitas Samin. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang
lengkap tentang kehidupan masyarakat Samin dan untuk mengecek apakah
informasi yang disampaikan oleh orang-orang Samin itu apakah sesuai atau
tidak dengan kenyataan yang ada.
2.

Pengumpulan Data
Pengumpulan

data


yang

diperlukan

dalam

penelitian

ini,

menggunakan beberapa teknik. Dengan demikian diharapkan data yang
terkumpul akan saling melengkapi satu sama lain, tehnik tersebut antara lain:
a. Observasi
Dalam

obeservasi

ini,

penulis

sebagai

pengamat

terhadap

kegiatan yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari – hari di Dukuh
Bombong Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kab. Pati, karena rumah
penulis hanya berjarak sekitar 3 kilometer dari lokasi penelitian, yaitu di
Desa Kedungwinong Kec. Sukolilo Kab. Pati (Sebelah barat Desa
Baturejo), Pengamatan dilakukan pada pagi sampai sore hari.
b. Wawancara
Wawancara yang dilakukan adalah wawancara yang mendalam
(indept interview) dan tidak terstruktur. Dalam proses ini penulis
menggunakan alat bantu perekam
Namun

hal

ini

dilakukan

guna

memastikan

akurasi

data.

dengan memerhatikan kenyamanan dan

menjaga keterbukaan informan.
Untuk itu diperlukan verifikasi terhadap data yang telah diperoleh
dengan cara mengadakan

wawancara

dengan

Informan ini menjawab pertanyaan dengan

informan

non-Samin.

menggunakan bahasa Jawa

Krama, hal ini biasa dilakukan kepada orang yang belum dikenal akrab
meskipun umurnya lebih muda. Hasil wawancara dijadikan verbatim
dan menjadi salah satu sumber primer dalam penelitian ini.
3.

Sumber Data
Sumber
wawancara

data

primer

dalam

penulisan

ini

diperoleh

dari

dan observasi. Wawancara dilakukan dengan informan yang

berasal dari orang Samin dan non-samin.

Untuk

menentukan

informan

sebagai sumber data (khusus informan Samin) dipilih orang yang sudah
terbiasa bertemu dan bergaul dengan “orang-orang luar”, karena tidak semua
orang Samin dapat berkomunikasi dengan leluasa apabila berbicara dengan
orang luar, mereka selalu waspada terhadap “tamu”, meskipun demikian
mereka tetap ramah dalam menerima tamu.
Sedangkan

untuk

melengkapi

penulisan

penelitian,

digunakan

sumber sekunder yang berasal dari buku-buku, majalah, artikel, dan

sumber-sumber yang relevan sesuai dengan bahasan sebagai pendukung
dalam analisis data.

C. Hasil dan Pembahasan
Dalam struktur social-keagamaan warga Sukolilo, khususnya di Desa
Baturejo, sangat unik dan menarik, Islam merupakan agama terbesar, adapun
organisasi masyarakat, Nahdhatul Ulama (NU) merupakan mayoritas, disusul oleh
Muhammadiyah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Rifaiyah juga beberapa
penganut Islam-Kejawen. Selain itu ada juga pengikut Katolik, Kristen, Hindu dan
Budha. Sebagian Tionghoa hidup di daerah ini, meski lebih banyak tinggal di kota
Pati, untuk menjalankan bisnisnya.
Di Desa Baturejo organisasi masyarakat yang dianut mempunyai masjid
masing-masing, hingga tidak heran kalau dalam satu desa terdapat enam (6) masjid.
Mereka hidup saling berdampingan karena sudah mempunyai wilayah masingmasing. Dalam suasana keagamaan yang seperti itu terdapat sekelompok komunitas
Samin yang mengaku menganut agama Adam, hal tersebutlah yang menjadi salah
satu alasan pentingnya penelitian tentang masyarakat Samin. Di Sukolilo, warga
Samin bermukim di Dukuh Bombong, Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo,
mencapai ratusan kepala keluarga, jumlah terbesar dari kaum Samin pasca Samin
Surasentika, yang bermigrasi dari Klopoduwur, Blora menuju Bojonegoro, Tuban,
Rembang, Grobogan, Sukolilo (Pati), hingga Undaan (Kudus).
Desa Baturejo merupakan salah satu desa dari 16 desa yang berada di
wilayah kecamatan Sukolilo. Sukolilo termasuk wilayah Kabupaten Pati,
Propinsi Jawa Tengah. Wilayah kabupaten Pati memiliki luas 149.478 ha, terdiri
dari 21 kecamatan, 5 kelurahan, dan 400 desa. Wilayah Pati sebelah utara
berbatasan dengan Laut Jawa, di sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa dan
Kabupaten Rembang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Blora dan
Purwodadi, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kudus dan
Jepara.
Dalam sejarah Pati, wilayah Sukolilo merupakan tempat yang penting dalam
pemberontakan Adipati Pragola Pati terhadap kerajaan Mataram Islam, hal itu
terbukti dengan adanya tempat yang dipercaya sebagai peristirahatan (mesanggrah)

para prajurit Mataram yang dinamakan Talang Tumenggung dan Upacara Meron.
Di kerajaan Mataram ada tradisi seba (menghadap) pada hari-hari yang telah
ditentukan antara bupati-bupati dengan Raja Mataram. Seba merupakan tanda
kesetiaan bawahan (abdi) untuk selalu setia melayani raja dan merupakan sesuatu
yang penting dalam hubungan formal dengan antara atasan dan bawahan. Dalam
salah satu paseban pasowanan Garebeg puasa pada tanggal 26 Juni 1927, Adipati
Pati

tidak

hadir,

ketidakhadirannya

ini

diartikan

sebagai

bentuk

pembangkangan terhadap Mataram. (Soemarsaid Moertono, 1985:114-115)
Tindakan

Adipati

Pati

tersebut

menyebabkan

Raja

Mataram

mengirimkan pasukan untuk memerangi Pati, peristiwa ini terjadi pada bulan
Rabiul Awal yang bertepatan dengan upacara tradisi Grebeg maulud (sekaten) dan
pasukan tersebut sedang beristirahat di Sukolilo. Pada saat itulah mereka
menyelenggarakan

upacara grebeg di Sukolilo, yang sekarang dikenal dengan

Tradisi Meron (Rame Teron). Dan upacara ini masih terus berlangsung hingga kini
yang dilaksanakan pada tanggal 12 Rabiul Awal menurut kalender tahun jawa
islam. Dan menjadi salah satu tujuan wisata budaya di Kabupaten Pati.
Sebagian besar wilayah Sukolilo merupakan pegunungan, Kecamatan
Sukolilo terdiri dari 16 Desa yaitu: Desa Sukolilo, Kedungwinong, Wegil, Baleadi,
Prawoto, Cengkal Sewu, Kasiyan, Kedumulyo, Gadudero, Pakem, Kuwawur,
Sumbersoko, Tompe Gunung, Porang paring, Wotan dan Baturejo. (Badan Pusat
Statistik (BPS) Pati, 2009:1) Untuk sampai di Desa Baturejo, transportasi yang
digunakan adalah jasa tukang ojek, karena letaknya bukan di jalur utama PatiSukolilo, dan tidak ada alat transportasi umum yang masuk ke Desa tersebut yang
letaknya kurang lebih 1 km dari jalur utama Pati-Sukolilo.
Berdasarkan laporan monografi Luas Desa Baturejo adalah 963,546 HA,
yang terdiri dari tanah pertanian dan pekarangan. Desa ini mempunyai empat
dukuh, yaitu dukuh Bombong, Ronggo, Bacem, dan Mulyoharjo, yang terbagi
dalam 23 rukun tetangga. Masyarakat Samin kebanyakan tinggal di Dukuh
Bombong (Rw.II) di RT.1 dan Rt.2. Rumah Samin secara sekilas tidak ada bedanya
dengan warga lainnya yaitu rumah berbentuk limasan, sebagian ada yang masih
dari Bambu, Kayu dan tembok. Bahkan banyak yang rumahnya sudah lebih baik.

Agar dapat memahami Samin secara komprehensif, maka tidak ada salahnya
mengetahui tentang asal usul Samin.
a) Sekilas Sejarah Samin
Gerakan

Samin

yang

pada awalnya

adalah

gerakan

melawan

kolonial Belanda, setelah Belanda keluar dari Indonesia, gerakan ini terus
berlanjut

dan berkembang menjadi sebuah komunitas tersendiri, yang

mempunyai ciri

dan sikap hidup berbeda dengan masyarakat Jawa pada

umumnya. Nama Samin diambil dari nama pemimpinnya yaitu Samin
Surosentiko.
Orang-orang penganut ajaran Samin menggunakan bahasa jawa ngoko
Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari bahasa yang di gunakan,
melainkan sikap dan perbuatan yang ditunjukkan sedang bahasa mereka sering
disertai sanepo (perumpamaan). Untuk memahami bahasa orang Samin
diperlukan sikap hati-hati agar tidak terjadi salah tafsir.
Pada awalnya Belanda tidak memerhatikan gerakan Saminisme ini, namun
lama kelamaan Belanda merasa terancam. Pada tahun 1905 pengikut ajaran
Samin mulai mengubah cara hidupnya. Mereka menolak membayar pajak
dan menolak mengandangkan sapi di kandang umum bersama-sama dengan
orang desa lainnya, Cara hidup yang demikian membingungkan pamong desa.
(Deden Fathurrahman, 1996:16)
Tahun 1907 merupakan tahun yang penting dalam perjalanan
terbentuknya masyarakat samin. Pada tahun ini pengikutnya mencapai 5.000
orang, dan hal ini membuat pemerintah kolonial takut dan terkejut. Pada tanggal
1 Maret 1907, mereka dikabarkan akan memberontak ketika mereka berkumpul
di desa Kedhung Tuban Blora dalam acara selamatan di salah satu rumah
anggota pengikut Samin. Mereka yang datang ditangkap dengan tuduhan
mempersiapkan pemberontakan, Dan akhirnya sekitar tanggal 17 Desember
1907, Samin Surontiko di tangkap oleh Raden Pranolo Asisten Wedana di
Randublatung Blora kemudian di diasingkan ke Digul Irian Jaya dan akhirnya di
asingkan ke Sawahlunto dan meninggal pada tahun 1914.(R.P.A Soerjanto
Sastroatmojo, 2000:16)

Setelah Samin Surontiko ditangkap, ternyata tidak menyurutkan
semangat pengikutnya. Justru dengan tertangkapnya Samin Surontiko, menjadi
penyemangat bagi kelangsungan perjuangan mereka, seakan ajarannya tidak
pernah mati. Bahkan pengikutnya tidak hanya di sekitar pegunungan Kendeng
Utara dan Selatan, tetapi menyebar sampai ke Tuban, Lamongan, Madiun,
Jember, Banyuwangi, Purwodadi, Pati, Rembang, Kudus, Brebes dan beberapa
daerah lain. (Saroni Asikin, Suara Merdeka:17/3/04)
b) Ajaran-ajaran Samin
Pasca

meninnggalnya

Samin

Surosentika,

meninggalkan beberapa kitab diantaranya Serat

ternyata

Ki

Samin

Jamus Kalimosodo yang

terdiri atas beberapa buku, antara lain: Serat punjer kawitan, Serat pikukuh
kasajaten, Serat uri-uri pambudi, Serat jati sawit,Serat lampahing urip.
Dalam tradisi lisan masyarakat Samin, ada ucapan-ucapan yang sering
dimunculkan dalam kehidupan yang ternyata memiliki ajaran nilai-nilai dari
ajaran Saminisme yang dipegang teguh antara lain:
Agama iku gaman, adam pangucape, man gaman lanang,( Agama adam merupakan senjata
hidup, agama itu sebuah pegangan untuk hidup di dunia).
Aja drengki, tukar padu, dahpen, kemeren, Aja Kutil jumput, bedhog, colong. (Janganlah
mengganggu orang lain, jangan suka bertengkar, jangan iri hati, jangan suka mengambil hak
orang lain).
Sabar lan trokal empun jrengki srei empun ngantos riya sapada, empun nganti pek pinek kutil
jumput bedhog, colong. Nopo malih bedhog colong, nopo maleh milik barang, nemu barang
teng dalan mawon kulo simpangi. (Berbuatlah sabar dan tawakal, janganlah mengganggu orang
lain, janganlah sombong dengan sesama orang, janganlah mengambil barang milik orang tanpa
seizin pemiliknya. Apalagi mencuri, apalagi mengambil barang, sedangkan menemukan barang
yang tercecerpun harus dijahui.)
Wong urip kudu ngerti uripe, sebab siji digowo selawase.( Manusia hidup di dunia haruslah
memahami kehidupannya, sebab hidup (sukma, roh) itu hanya sebuah dan dia pun akan abadi
selamanya).
Wong enom mati uripe titip sing urip. Bayi uda nangis niku sukmo ketemu rogo. Dadi mulane
wong iku mboten mati. Nek ninggal sandhang niku yo, kudu sabar lan trokal sing diarah turun
temurun. Dadi ora mati nanging kumpul sing urip. Apik wong selawase sepisan dadi wong
selawase dadi wong.
(Bila anak muda meninggal dunia, maka hidup (sukma, roh)-nya dititipkan pada sukma (roh)
yang hidup, sewaktu bayi lahir (telanjang) dan menangis nger, hal itu pertanda bahwa sukma
itu bertemu dengan raga (tubuh)-menanggalkan pakaiannya (salin sandhangan adalah istilah
untuk kematian; Sandhangan. Bermakna tubuh atau badan manusia). Manusia hidup haruslah
mengejar kesabaran atau tawakal terus menerus (walaupun berkali-kali berganti pakaian). Jadi
sukma (roh) itu tak mati, melainkan berkumpul dengan sukma (roh) lainnya yang masih hidup.
Sekali orang berbuat kebaikan, selamanya dia akan menjadi baik).
Dhek jaman londho iku jaluk pajek ora trimo sak legane yo ora diwenehi. Bebas ora seneng,
dandani ratan yo bebas, gek gelem wes dibebaske. Kenek jaga yo orang nyang. Jogo omahe
dewe. Nyengkah ing negara telung taun dikenek kerjo pekso.

Pengucap saka lima bundhelane ana pitu lan pangucap saka sanga bundhalane ana pitu.
(Pada zaman kolonial Belanda pembayaran pajak bukan di dasarkan pada kesukarelaan, tapi
atas dasar paksaan ditentukan besarnya, sehingga orang-orang Samin tak mau membayarnya.
Mereka tak senang. Memperbaiki jalan tak mau, mereka juga tak senang, Dikenai ronda malam
juga ditolaknya. Lebih baik menjaga rumahnya sendiri. Berselisih pendapat dengan pemerintah
kolonial Belanda dikenai kerja paksa. Dalam berbicara kita harus menjaga mulut kita. Hal ini
diibaratkan bagi orang berbicara dengan angka lima yang berhenti pada angka tujuh dan dari
angka sembilan berhenti pada angka tujuh juga. Jadi angka tujuh memegang peranan penting
dalam pegangan, sebab angka ini terletak di tengah-tengah angka lima dan Sembilan).
Wit jeng Nabi kula lanang damel kula rabi tata-tata jeneng wedok pengaran sukini
kukuhdemen janji buk bikah wes tak lakoni. Turun pangaran, sedulur lanang, sedulur wedok,
salin sandhangan.
(Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin, (kali ini) mengawini seorang perempuan
bernama Sukini, saya berjanji setia padanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua, Turun
istilah anak: pengaran, istilah untuk nama orang, sedulur lanang artinya saudara laki-laki,
sedulur wedok artinya saudara perempuan (mereka yang sudah diakui sebagai “sedulur” berarti
mereka telah diakui sebagai warga seperguruan, salin sandhangan, istilah untuk kematian.
(Suripan Hadi Hutomo, 1985:7)

Dari ajaran-ajaran yang telah disebutkan di atas, pada dasarnya pokokpokok ajaran Samin adalah sebagai berikut. Pertama, agama adalah senjata
atau pegangan hidup. Kedua, jangan mengganggu orang, jangan bertengkar,
jangan suka iri hati dan jangan suka mengambil milik orang. Ketiga, bersikap
sabar dan jangan suka mengambil milik orang. Keempat, bersifat sabar dan
jangan sombong. Kelima, manusia hidup itu harus mampu memahami
kehidupannya, sebab apa tujuan hidup adalah sama dengan roh dan hanya satu
dibawa abadi selamanya. Karena menurut orang Samin, roh orang yang
meninggal tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan pakaiannya. Yakni
raga atau tubuhnya Keenam, bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur dan
saling menghormati.
Ciri-ciri orang Samin adalah tidak mau bersekolah, tidak memakai peci
tapi iket, tidak memakai celana panjang tapi hanya celana selutut, tidak
berdagang dan menolak semua yang mengeksploitasi alam, karena alam adalah
nafas hidup mereka, serta menolak kapitalisme.
Di dukuh Bombong Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo setelah penulis
melakukan observasi, wawancara dan mencari data-data dokumen, memang
tidak ada dalam catatan bahwa orang Samin Sukolilo (Sedulur Sikep) sampai
sekarang melakukan hal-hal seperti yang bertentangan dengan ajaran di atas,
hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh Bapak Nuryanto selaku Kepala Desa
Baturejo. Hal senada di amini oleh Pak Yusuf selaku tokoh masyarakat.
c) Pendidikan Karakter Model Suku Samin

Dalam masyarakat Samin di Bombong Sukolilo, masih banyak
masyarakat Samin yang enggan bersekolah di pendidikan formal, walaupun ada
hanya satu dua yang mau bersekolah. Menurut hasil wawancara dengan Bapak
Drs. H. Ali Nazuli selaku Kepala Sekolah SD Negeri Baturejo 01, hanya dua
orang yang berasal dari Samin, walaupun di desa Baturejo terdapat tiga Sekolah
Dasar Negeri dan satu Madrasah Ibtidaiyah, namun masyarakat samin masih
enggan bersekolah.
Pendidikan model Samin menurut Gunarti Pendidikan bukanlah
pendidikan yang berorientasi kepada dunia sekolah formal. Namun lebih
kepada proses pembelajaran yang dialami anak dalam keluarga masyarakat
Samin

(proses pendidikan dalam keluarga) atau bisa disebut dengan

pendidikan informal, dalam upaya memperoleh pendidikan yang diberikan
oleh bapak dan ibunya sendiri, dimana rumah tempat tinggal

mereka

berfungsi sebagai “gedung sekolah” dan orang tuanya berfungsi sebagai
“guru”, sedangkan anak-anak dalam keluarga tersebut sebagai “anak didik”
Dengan demikian proses pembelajaran yang diterima oleh “anak didik” tidak
terikat oleh waktu dan dapat berlangsung sepanjang hari bahkan sepanjang
malam.
Namun dalam pandangan masyarakat Samin tidak ada pembagian
khusus antara suami istri dalam masalah pengasuhan anak, bagi mereka
anak adalah tanggung jawab bersama, sehingga tidak ada pembagian yang
jelas antar keduanya. Mereka bahu-membahu dalam mengasuh anak. Ketika
anak itu masih kecil dan masih perlu Air Susu Ibu (ASI), maka yang
dominan adalah ibu, namun demikian tidak menutup kemungkinan seorang
bapak untuk ikut membantu mengasuh anak-anaknya yang masih kecil. hal ini
terlihat dalam keluarga Gunretno

yang bahu membahu dalam mengasuh

anaknya yang masik kecil, Widiarti. Ketika sang istri sibuk di dapur maka
sang istri meminta suami untuk menjaga anaknya yang masih kecil sampai
pekerjaannya selesai.
Demikian pula dalam

pekerjaan di sawah

yang membutuhkan

tenaga perempuan seperti matun, maka anggota keluarga yang perempuan akan
pergi ke sawah sampai pekerjaan itu selesai dan kadang membutuhkan waktu

berhari-hari. Tanggung jawab orang tua terhadap anak dimulai sejak anak masih
dalam kandungan hingga seorang anak sudah kawin (duwe rukunan).
Pada masyarakat Samin orang tua bertanggung jawab sepenuhnya terhadap
pendidikan turunannya, baik yang menyangkut masalah nilai-nilai yang telah
menjadi keyakinannya sehingga menjadi anak yang baik dan mampu menjadi
penerus keluarganya maupun yang menyangkut masalah ketrampilan sebagai
bekal untuk kehidupannya kelak. Menurut Gunretno Pendidikan yang berlaku
di masyarakat Samin adalah pendidikan seumur hidup, mereka tidak berhenti
belajar meskipun sudah tua. Bagi orang yang sudah dewasa

pendidikan

dilakukan melalui dirinya sendiri dengan melihat kejadian- kejadian yang
dilaluinya, mereka melakukan instropeksi diri sebagai salah satu bentuk
pembelajaran.

Mereka memperlakukan turunan mereka dengan baik dan

memberikan keleluasaan pada mereka untuk mengembangan dirinya asalkan
tidak bertentangan dengan keyakinan yang mereka anut.
Pendidikan

seumur

hidup

merumuskan

suatu

azas

bahwa

pendidikan merupakan proses yang kontinyu yang dimulai sejak seseorang
itu lahir hingga meninggal dunia. Proses ini mencakup bentuk-bentuk belajar
yang bersifat informal maupun formal baik yang berlangsung dalam keluarga,
di sekolah, di tempat kerja, dan di masyarakat. (Hasbullah,2006:64)
Dari hasil wawancara dengan Gunarti, Anak-anak orang Samin tidak
mempunyai cita-cita yang tinggi, mereka hanya ingin menjadi orang yang baik,
tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk menjadi orang yang hebat seperti
jadi presiden atau menteri bagi mereka sebuah jabatan adalah tanggung jawab
yang harus dijaga secara benar, jika tidak mampu sama saja membohongi diri
sendiri dan orang lain.
Adapun waktu dan materi pembelajaran anak-anak Samin adalah tidak
terdapat jadwal secara khusus karena pendidikan mereka berlangsung di rumah
dan di sawah, mereka dapat belajar kapanpun dan tidak terikat oleh waktu dan
sesuai dengan kebutuhan. Dalam mendidik anak-anaknya mereka didasarkan atas
pengalaman-pengalaman dari orang tua mereka masing-masing. Mereka
menggunakan ilmu titen dan gethok tular dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
Tujuan hidup masyarakat Samin adalah hidup dengan baik tidak
menyakiti dan mengganggu orang lain, ketika pandangan mereka berbeda

dengan orang lain yang berada diluar komunitasnya mereka akan menjawab
”setiap orang mempunyai kesenangan sendiri-sendiri”. Sekilas tujuan mereka
adalah sederhana, namun jika dilihat lebih mendalam sebenarnya itulah hakekat
sebuah kehidupan.
Materi pendidikannya dibagi dalam dua macam, pertama pendidikan
dalam keluarga (sosialisasi) yang berhubungan dengan tata cara hidup
sebagai anggota komunitas Samin yang menyangkut tentang ajaran-ajarannya,
prinsip hidup yang telah menjadi keyakinannya, dan kedua adalah ketrampilan.
Sebagai kurikulum dasar dalam penanaman nilai-nilai ajaran samin
adalah adalah ojo dengki, srei, panesten, dahwen, kemeren, bedhog, colong,
petil, jumput, nemu wae emoh, yang kemudian hal tersebut menjadi pedoman
dalam hidupnya. Mereka percaya jika mereka melakukan apa yang telah
menjadi keyakinan nenek moyangnya dengan baik, mereka akan dapat
mengarungi hidup ini dengan tenteram. Pedoman tersebut mulai dikenalkan
kepada anak ketika anak tersebut kira-kira berumur 4 tahun.
Kurikulum

tersebut

dan mengajarkan apa yang

diterjemahkan
boleh

dilakukan

dalam
dan

tindakan
tidak

sehari-hari

boleh

dilakukan.

Untuk menghindari tindakan pencurian, apabila ada orang menginginkan
apapun (harta benda) akan diberikan meskipun orang tersebut bukan anggota
komunitasnya, asalkan orang tersebut memberitahukan keinginannya. Dengan
demikian masalah pencurian tidak terjadi.
Menurut

penuturan

Bapak

N u r ya n t o

selaku

kepala

desa

B a t u r e j o , masyarakat Samin tidak pernah terlibat dalam urusan kejahatan
atau merugikan orang lain. Hal senada di amini oleh Pak Yusuf selaku tokoh
Masyarakat.

D. Simpulan
Masyarakat

Samin

terbentuk

melalui

proses

yang cukup

panjang

dalam menghadapi kebijakan-kebijakan Belanda terhadap rakyat pribumi,
terutama di Jawa. Samin Surontiko adalah pemimpin gerakan Samin, berupaya
untuk membebaskan rakyat pribumi dari kemiskinan sebagai akibat adanya
kebijakan dalam masalah ekonomi yang langsung berpengaruh pada rakyat

pribumi. Pemberlakuan pajak yang tinggi dan kerja paksa mengakibatkan
kesengsaraan.
Latar belakang tersebut mempengaruhi kehidupan pengikutnya, salah
satu pengaruh tersebut yang hingga masih berlangsung di Baturejo Sukolilo,
adalah mereka tidak bersedia menyekolahkan anaknya di sekolah formal.
Masalah pendidikan anak dilakukan di keluarga dan hanya keluarga yang berhak
mendidik anak-anaknya. Sistem nilai yang ada tidak menghasilkan bentuk
lembaga

yang berfungsi sebagai kontrol terhadap prilaku anggota komunitas

tersebut. kontrolnya bersifat intern dan bersumber dari hati nurani.
Pola pendidikan yang berlangsung di rumah merupakan bentuk pendidikan
informal. Pendidikan ini menitik beratkan pada pengalaman sehari-hari dengan
materi disesuaikan dengan kebutuhan anak sebagai generasi yang akan
melanjutkan ajaran Samin. Dalam proses ini anak sebagai anak didik dan orang tua
sebagai guru atau tutor, disamping itu terdapat pula tutor sebaya (peer teaching).
Dengan demikian anak menerima pewarisan nilai dari orang tua. Rumah dan sawah
adalah tempat dilaksanakannya pendidikan, dan menggunakan alam sebagai media
pembelajaran.
Di dalam pendidikannya Samin membentuk karakter anak turunnya dengan :
sikap jujur, Ojo dengki (jangan iri hati), Srei (menyakiti hati orang lain), Panesten
(gampang menuduh orang lain), Dahwe (membesar-besarkan persoalan), Kemeren
(mudah iri dengan milik orang lain), Bedog – Colong - Petil - Jumput (mencuri,
korupsi),

Nemu wae emoh (Menemukan sesuatu yang ada dijalan). Ajaran Samin

yang lain yaitu jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, Sabar, jangan
sombong,

hidup

harus

memahami

kehidupannya,

menjaga

mulut

serta

menghormati orang lain.
Alangkah indah serta menarik nilai-nilai luhur yang mereka tanamkan
kepada anak cucunya, walaupun mereka tidak bersekolah di pendidikan formal,
namun dapat membentuk karakter-karakter luhur kepada generasi penerusnya.
Pramoedya Ananta Tour, Penulis, Sastrawan serta sejarahwan besar di era awal
kemerdekaan merupakan salah satu pengikut ajaran Saminisme ini. (Koh Young
Hun, 2011:148)

Daftar Pustaka
A.Korver. 1976. “The Samin Movement and Millenarism”. Bidjdragen tot de Taal,
Land en Volkenkunde 132. No:2/3, Leiden.
Anderson, Bennedict ROG. 1996. “Gerakan Millenarialisme dan Saminis,”
(Millenatialism movement and Saminism) in Bennedict Anderson (ed). Agama
dan Etos Sosial di Indonesia. Bandung: Al ma’arif.
Asikin, Saroni, “Orang Samin di Sukolilo Pati (2), Urunan Hasil Panen Sebagai Ganti
Pajak” dalam Suara Merdeka,
kamis, 18
Maret2004,
Http://www.suaramerdeka.com.harian/0403/18/nas7.htm diakses tanggal 10
Maret 2012.
Benda, Harry J. dan Lance Castles. 1969. “The Samin Movement,” Bijdragen tot de
Taal-land-en Volkenkunde, (‘sGravenhage-Martinus Nijhoff ), jilid 125.
Coulon, Alain, 2004. Etnometodologi. (terjemahan Jimmy Ph. PAÄT), Mataram:
Yayasan Lengge.
Hasbullah. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hutomo, Suripan Sadi. 1996. Tradisi dari Blora. Semarang: Penerbit Citra Almamater.
Hutomo, Suripan Sadi. 1985. Samin Surontika dan Ajaran-ajarannya. Jakarta: Majalah
Basis Januari.
King, Victor T. 1973. The Samin Movement of North-central Java. Bijdragen Tot de
taal; land-en Volkenkunde Deel 129, ‘S-Gravenhage- Maetinus Nijhoff,
Koh Young Hun. 2011. Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Kroef, Justus M. Van der. 1952. “The Messiah in Indonesia and Melanesia.” The
Scientific Monthly, September. Vol. 75. No.3.
Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa pada Masa
Lampau Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Rosyid, Moh. M.Pd. 2008. Samin Kudus: Bersahaja di Tengah Asketisme Lokal
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sastroatmojo, R.P.A Soerjanto. 2003. Masyarakat Samin Siapakah Mereka? Jogjakarta:
Penerbit Narasi.
Shiraishi, Takashi. 1990. Dangir’s Testimony: Saminism Reconsidered. Source:
Indonesia, Vol 50. 25th Anniversary Edition.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Uzair Ahmad. 2007. “Politik Representasi dan Wacana Multikulturalime dalam Praktik
Program Komunitas Adat Terpencil (KAT) Kasung Komunitas Sedulur Sikep
Bombong-Bacem.” In Hak Minoritas Dilema Multikulturalisme di Indonesia.
Jakarta: Yayasan Tifa.
Widodo. Amrih. 1997. “Samin in The New Older: The Politics of Encounter and
Isolation,” In Jim Schiller and Barbara Martin Schillers (eds). Imaging
Indonesia: Cultural Politics and Political Culture. Ohio: Ohio University Press.