Menjamin Hak konstitusional Peserta Didi

Menjamin Hak konstitusional Peserta Didik
Oleh: Agus Adhari S.H.,LL.M
A. Latar Belakang
Setiap peserta didik wajib memperoleh pendidikan yang layak guna
menjamin masa depan yang lebih baik. Tidak ada pembedaan terhadap
peserta didik bermasalah atau tidak, karena pendidikan merupakan
kebutuhan dasar setiap warga negara yang dijamin dalam Konstitusi.
Persoalan-persoalan

kenakalan

yang

dilakukan

oleh

peserta

didik


sebenarnya bukalah kesalahan mereka saja, namun peran masarakakat
terutama agen sosialisasi yaitu, keluarga, sekolah, teman sepermainan dan
media masa juga turut bertanggung jawab atas persoalan tersebut. 1
Tindak kejahatan yang dilakukan oleh peserta didik beragam, mulai
dari tingkat resiko kecil hingga yang besar, jadi permasalahan ini juga
beragam cara mengatasinya, proporsional sesuai kondisi atau efek dari
tindakan kejahatan yang dilakukan oleh peserta didik tersebut.
Persoalan hamil di luar nikah telah menjadi isu krusial belakangan,
karena pelakunya bukan masyarakat yang dalam kategori usia dewasa,
namun kategori anak yaitu 18 tahun ke bawah, beberapa pemberitaan media
cetak mengatakan jika banyak pelajar SMA tidak diperbolehkan mengikuti
ujian nasional karena hamil dan menghamili pasangannya. 2 Alasan sekolah
dalam hal ini memang sangat masuk akal, jika dilihat dari sisi moral dan
norma sosial, namun dari sisi sosiologis, hal ini tidak serta merta
memberikan jalan keluar guna memberikan efek jera pada peserta didik
bermasalah, justru pada peserta didik bermasalah harus mendapatkan
pendidikan ekstra guna mencegah peserta didik bermasalah terjerumus
dalam permasalahan yang lebih besar lagi.
Undang-Undang Dasar 1945 menjamin setiap warga negaranya
berhak mendapatkan pendidikan yang layak, hal ini tertuang dalam Pasal

28C Perubahan kedua “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
1

Merry Magdalena. Menghindari Anak Dari Seks Bebas, Jakarta: Grasindo, 2010,

hlm 32.
Harian Republika ,Gara-gara Hamil, Siswi Dilarang Ikut UN, www.republika.co.id
diakses pada 12 Juni 2013.
2

1

pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya,
demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia”.
Dari ketentuan konstitusi di atas jelas bahwa setiap orang dijamin
haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak, sehingga warga negara
tidak terjebak pada sistem yang membuat kemunduruan dalam pendidikan.
Pendidikan berguna sebagai salah satu instrumen percepatan pembangunan

sosial yang sangat jarang dibangun saat ini.
Hukuman sosial bagi perserta didik bermasalah sangat tidak efektif
kedepannya bagi pembangunan sosial itu sendiri, jika peserta didik
bermasalah dihukum sepihak tanpa ada jaminan pendidikan yang memadai
hal ini malah membuat masalah baru dalam sosial kemasyarakatan,
sehingga banyak peserta didik justru malah terjun kedunia kriminal karena
merasa tidak diterima lagi di dunia pendidikan.
Pendidikan merupakan sarana pembelajaran pada setiap peserta
didik agar mendapatkan penambahan wawasan dan keterampilan tertentu.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pendidikan menerangkan bahwa Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Berdasarkan Undang-Undang di atas, pendidikan harus berupaya
mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik, dan memberikan
pengetahuan moral dan umum, sehingga peserta didik mampu bertindak
cakap serta bertanggungjawab. Peraturan ini mendorong setiap sistem

pendidikan untuk tidak menghukum siapapun atas tindakan yang dilakukan,
karena substansi dari pendidikan adalah udaha memberikan pengetahuan
pada setiap orang, agar mampu membedakan mana yang baik mana yang
benar.

2

Perbedaan pemahaman tentang hukuman terhadap peserta didik
bermasalah memang wajar terjadi karena budaya yang diadopsi oleh
lingkungan berbeda-beda, namun jika mode hukuman dengan tidak
memberikan hak pendidikan yang dijamin konstitusi adalah murni melanggar
HAM peserta didik itu sendiri.
Permasalahan yang lahir terhadap upaya menekan keikutsertaan
peserta didik bermasalah adalah membiarkan peserta didik bermasalah
tersebut seperti dijauhkan dari lingkungan pendidikan dan hal tersebut dapat
menumbuhkan paradigma pada peserta didik bermasalah jika setiap peserta
didik yang bermasalah tidak dapat mengikuti proses belajar dan mengajar.
Paradigma yang terbentuk membuat para peserta didik bermasalah
lebih memilih berhenti belajar dan cenderung melepaskan seluruh kegiatan
belajarnya, karena peserta didik pada umumnya beranggapan bahwa proses

belajar hanya ada pada sekolah.
Program pemerintah dalam upaya memberikan jaminan pendidikan
pada peserta didik bermasalah dalam kategori nonkriminal belum terlihat
signifikan, padahal peserta didik bermasalah tersebut dijamin konstitusi
untuk tetap memperoleh pendidikan yang layak.
Pemerintah dalam hal ini hanya menjamin setiap peserta didik yang
bermasalah boleh mengikuti ujian nasional sebagai salah satu syarat
kelulusan. Padahal substansi dari belajar adalah proses belajar di sekolah
bukan pada saat ujian nasional.
Dalam masalah ini terjadi dua paradigma, Pertama, pemerintah tidak
dapat menetapkan peraturan terkait jaminan pendidikan bagi peserta didik
bermasalah karena tekanan sosial terhadap bentuk Punishment tindakan
yang dilakukan peserta didik bermasalah. Kedua permasalahan baru akan
terus lahir jika setiap peserta didik bermasalah tidak dapat mengikuti proses
belajar karena peserta didik bermasalah harus tetap mendapatkan
pengetahuan sekaligus menjadi tempat pembenahan diri terhadap tindakan
yang dilakukannya.

3


B. Identifikasi Masalah
Bagaimana penanganan dan hukuman terhadap peserta didik bermasalah?
C. Landasan Teoritis
1. Definisi Pendidikan
Ada beberapa definisi pendidikan yang dikemukakan para pakar.
Soekidjo Notoatmodjo mendefinisikan pendidikan adalah segala upaya yang
direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau
masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku
pendidikan.3
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefiniskan pendidikan
adalah proses pengubahan sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik. 4
Ki Hajar Dewantara menjelaskan bahwa pendidikan adalah tuntutan di
dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar
mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah
mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya 5
Robert William Richey menjelaskan Istilah ‘Pendidikan’ berkenaan
dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu

masyarakat terutama membawa warga masyarakat yang baru (generasi
baru) bagi penuaian kewajiban dan tanggung jawabnya di dalam
masyarakat.6
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pendidikan menerangkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
Soekidjo Notoatmodjo. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT Rineka
Cipta 2003, hlm 16.
4
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. . Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 2002, hlm. 263.
5
Hasbullah, Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta:PT RajaGrasindo Persada, 2005, hlm
2
6
Robert William Richey. Planning for Teaching: Introduction to Education, Second
Edition, Michigan: McGraw-Hill, 1958, hlm. 238.
3

4


agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.7
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas, Richey
menjelaskan bahwa pendidikan harus berusaha memperbaiki kehidupan
sosial, dalam hal ini adalah memperbaiki penyimpangan yang dilakukan
peserta didik.
Proses perbaikan tidak dapat terlepas dari pelajar bermasalah, harus
ada mekanisme perbaikan yang langsung memperbaiki penyimpangan
secara langsung. Pemahaman bahwa memperbaiki harus pada pelajar yang
belum tersandung masalah adalah sangat tidak efektif, karena cenderung
menggunakan metode preventif sedangkan bisa saja pelajar bermasalah
tersebut kembali mempengaruhi pelajar lain untuk mengulangi kesalahan
serupa.
2. Tujuan dan fungsi
Soekidjo Notoatmodjo berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah: 8
a. Menanamkan pengetahuan / pengertian, pendapat dan konsepkonsep
b. Mengubah sikap dan persepsi

c. Menanamkan tingkah laku / kebiasaan yang baru
Konstitusi Indonesia juga memberikan tujuan pendidikan guna
memberikan pedoman pelaksanaan agar tujuan dapat tercapai sesuai
amanat konstitusi. UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 menyebutkan, “Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undangundang.” Pasal 31 ayat 5 menyebutkan, “Pemerintah memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan
7
8

Pasal 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Soekidjo Notoatmodjo, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, hlm. 68

5

persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia.”
Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam UndangUndang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

peradaban

bangsa

yang

bermartabat

dalam

rangka

mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Dalam upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa, tidak ada cara lain
kecuali melalui peningkatan mutu pendidikan. Berangkat dari pemikiran itu,

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga UNESCO (United
Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization) mencanangkan
empat pilar pendidikan baik untuk masa sekarang maupun masa depan,
yakni: (1) learning to Know, (2) learning to do (3) learning to be, dan (4)
learning to live together. Dimana keempat pilar pendidikan tersebut
menggabungkan tujuan-tujuan IQ, EQ dan SQ.
Doni Koesuma berpendapat bahwa ada alternatif lain yang bisa
menerangi pembahasan terkait tujuan pendidikan. Gagasan ini lebih
memberikan tekanan atas peran subjek yang terlibat dalam proses
pendidikan.9 Pendidikan adalah sebuah konsep yang cukup abstak yang
tidak dapat memiliki tujuan-tujuan pendidikan dalam dirinya sendiri. Yang
dapat melakukan tujuan pendidikan tersebut adalah manusia-manusia
konkret yang terlibat dalam proses pendidikan itu sendiri. Singkatnya, tujuan
pendidikan itu timbul dari situasi konkret setiap individu yang terlbat dalam
proses pendidikan. Oleh karena itu daftar tujuan pendidikan itu sifatnya
temporal sesuai dengan situasi dan keadaan yang ingin diraih.
Tujuan

pendidikan

selalu

kontekstual

sesuai

dimana

praksis

pendidikan itu ditentukan. Pendekatan ini mengatakan bahwa tujuan
pendidikan nasional tidak berlaku secara universal, tidak dapat didedukasi
Doni Koesuma, Pendidikan Karakter: Strategi Pendidikan Anak di Era Global.
Jakarta: Grasindo, 2007, hlm 76.
9

6

dari gagasan ideal tentang pendidikan, melainkan proses konstektualisasi
kinerjapendidikan sesuai dengantuntutan zaman dan masyarakat tempat
praksis pendidikan itu dilaksanakan. 10
3. Pelajar Bermasalah
Ada beberapa jenis masalah yang biasa dilakukan oleh pelajar seperti
tawuran, perkelahian, pencurian, dan tindakan asusila. Dari beberapa
masalah yang sering dilakukan pelajar bermasalah dapat dibagi menjadi dua
jenis pelanggaran, Kriminal dan Non Kriminal.
Bentuk kenakalan yang dilakukan pelajar sudah cukup meresahkan,
permasalahan yang timbul sudah sangat serius, beberapa masalah yang
dilakukan pelajar lebih menjurus pada tindakan kriminal. Kenakalan pelajar
digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma
hukum yaitu :11
a. kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diantar dalam
undang-undang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai
pelanggaran hukum seperti pacaran, menonton, minum-minuman
keras, hubungan seks pranikah, seks bebas, pelacuran remaja,
karena merupakan delik aduan, jika tidak ada yang merasa dirugikan
maka pihak berwenang tidak dapat menindaknya.
b. kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian
sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama
dengan perbuatan melanggar hukum bila dilakukan orang dewasa
seperti pembunuhan, penganiayaan, penipuan dan penggelapan,
pencurian, pemerasan, menodong, pemerkosaan, dan kejahatan
Narkotika,

termasuk

didalamnya

memakai

dan

mengedarkan

narkotika.

10
11

Ibid
Singgih D Gumarso. Psikologi Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulya, 1988, hlm

19.

7

D. Pembahasan
1. Masalah Kenakalan Pelajar
Maraknya kasus pelajar yang hamil di luar nikah memang sangat
berdampak buruk bagi pembangunan moral pelajar khususnya di bidang
pendidikan, hal ini disebabkan lemahnya kontrol pihak terdekat, terutama
keluarga sebagai agen sosialisasi pertama dalam kehidupan seseorang.
Dumarso mengatakan ada dua kategori kenakalan yang dilakukan
para remaja, kenakalan yang bersifat amoral dan melanggar hukum.
Kenakalan pelajar yang bersifat melanggar hukum telah memiliki aturan dan
payung hukum dalam proses penyelesaian masalah, seperti tawuran, balap
liar, perkelahian, pemerkosaan yang telah memiliki landasan yuridis
terhadap pelanggaran tersebut karena termasuk salah satu katogori
pelanggaran ketertiban umum atau sesuai konteks perbuatan yang
dilakukan, jika balap liar bisa dituntun dengan pelanggaran Undang-Undang
Lalu Lintas dan lain-lain. Kenakalan yang dilakukan pelajar yang cenderung
destruktif dapat saja ditengarai lemahnya kontrol keluarga dan pihak
terdekat.
Kedua kenakalan yang bersifat amoral, banyak disebabkan oleh
tontonan-tontonan yang

tidak layak ditonton oleh anak remaja. Banyak

kasus pelecehan seksual atau kasus hubungan suka-sama suka ditengarai
oleh tontonan yang telah diserap sehingga menjadi kebiasaan. Tontonan
film, sinetron seperti adegan pacaran, ciuman dan bahkan hubungan intim
dapat dengan mudah dilihat dalam berbagai film yang mudah ditemui. 12
Proses ini menyebabkan kenakalan remaja semakin besar, baik dalam
kategori amoral dan pelanggaran hukum.
Robin (1986) meneliti tentang kenakalan remaja dan berpendapat
bahwa kenakalan remaja akibat dari adanya masalah neurobiological 13,
sehingga menimbulkan genetik yang tidak normal, ahli lain juga menegaskan
bahwa kenakalan remaja merupakan produk dari konstitusi detektif mental

Iwan Januar, Bukan Cinta Cinderella, Jakarta: Gema Insani Press, 2007, hlm. 26.
Neurobilogical adalah kinerja sistem saraf, fisiologi dan hubungannya dengan
perilaku manusia
12
13

8

dan emosi-emosi mental. Mental dan emosi remaja masih labil, belum
matang dan rusak akibat proses conditionering lingkungan yang buruk. 14
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kenakalan pelajar,
faktor-faktor tesebut terdiri dari dari faktor internal dan eksternal. Dalam
faktor internal penyebab kenakalan pelajar antara lain adalah
a. Krisis identitas
Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan
terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan
konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran.
Kenakalan pelajar terjadi karena pelajar gagal mencapai masa integrasi
kedua.
b. Kontrol diri yang lemah
Pelajar yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku
yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada
perilaku 'nakal'. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan
dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri
untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya.
Faktor Eksternal juga menjadi penyebab pelajar melakukan tindakantindakan melanggar hukum, faktor eksternal tersebut antara lain berasal dari;
a.

Keluarga
Perceraian orangtua, tidak adanya komunikasi antar anggota

keluarga, atau
perselisihan antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada
remaja. Pendidikan yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan
anak, tidak memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap
eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan pelajar.
b. Teman sebaya yang kurang baik
Teman sebaya dapat saja berpengaruh positif jika pergaulannya terus
mendapatkan pengawasan dari orang terdekat seperti keluarga, namun
keluarga juga tidak mungkin memperhatikan selama 24 jam, sehingga
menekan ruang ekspresi pelajar, namun jika teman sebaya lebih
Sri Esti Wryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, Revisi kedua, Jakarta:
Grasindo, 1989, hlm 113.
14

9

menunjukan sikap negatif, maka disini faktor ekternal dari teman sebaya
dapat merusak, sehingga pelajar rentan melakukan tindakan negatif juga.
c. Komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik.
Tempat tinggal merupakan tempat penanaman kebiasaan yang
sangat penting, jika tempat tersebut dikelilingi oleh orang-orang yang
berperilaku baik, maka pelajar juga pada umumnya akan bertingkah baik,
karena sesuai dengan sifat dan kebiasaan manusia, enggan berbuat negatif
jika berada di tempat yang baik.
2. Hak Konstitusional Pelajar Bermasalah
Masalah kenakalan remaja mulai mendapat perhatian masyarakat
secara khusus sejak terbentuknya peradilan untuk anak-anak nakal (juvenile
court) pada 1899 di Illinois, Amerika Serikat.
Di Indonesia masalah kenakalan pelajar semakin meningkat pesat,
data untuk kota besar seperti di Jakarta, pada tahun 2012 mengalami
peningkatan angka kenakalan remaja sebesar 36,33 persen. 15 Hal tersebut
belum termasuk masalah kenakalan amoral seperti hamil di luar nikah di
kalangan pelajar yang semakin banyak dan tidak sulit ditemukan.
Banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh pelajar tiap tahunnya
harus menjadi lampu kuning bagi pihak terkait. Meningkatnya kenakalan
remaja khususnya tindakan amoral dalam kategori hamil di usia sekolah
cukup menyita perhatian, banyaknya kasus yang memang tidak terpublikasi
karena

kepentingan

menjaga

nama

baik

pelajar bermasalah

patut

diselesaikan, baik dari segi penanganan maupun pembenahan dan jaminan
pendidikan.
Rata-rata pelajar yang hamil di luar nikah memilih berhenti sekolah,
sehingga kehidupan sosialnya terganggu, karena anak seusianya rata-rata
masih sekolah.
Kebijakan pemerintah guna mengendalikan dampak lebih luas
terhadap masalah ini belum juga tertuang dalam bentuk kebijakan apapun.
BeritaSatu.com, Polda Metro: Kenakalan Remaja Meningkat, Perkosaan
Menurun, dapat dilihat di http://www.beritasatu.com/megapolitan/89874-polda-metrokenakalan-remaja-meningkat-pesat-perkosaan-menurun.html di akses pada 15 Juni 2013.
15

10

Hanya segelintir pihak yang peduli terhadap masa depan pelajar bermasalah
tersebut. Salah satunya adalah Sekolah Menengah Umum Yayasan
Universitas Buruh di Yogyakarta.16
Namun sekolah sejenis sangat sulit ditemukan, karena mode
kebijakan di banyak daerah hanya menekankan penghukuman dan efek jera
bukan

rekonsliasi

guna

mencapai

restorative

justice

pada

pelajar

bermasalah.
Konstitusi menjamin setiap warga negaranya untuk mendapatkan
pendidikan,

juga

undang-undang

memerintahkan

demikian,

namun

permasalahan adalah tingkat pelaksanaan yang baru sekedar wacana
dengan berbagai perdebatan.
Mengatasi

problematika

pelajar

bermasalah

hendaknya

menggunakan pendekatan hukum progresif dan juga mode pendidikan
humanis, karena sejatinya segala bentuk kebijakan dan mode pendidikan
diterapkan pada manusia bukan perangkat keras.
Pendekatan pendekatan penanganan pelajar bermasalah sudah
banyak di buat oleh peneliti dan akademisi, namun menjalankan program
penanganan tersebut masih sulit ditemukan, karena kepentingan yang sudah
tidak bisa lagi dipertahankan bila melihat kondisi di kemudian hari.
Perdebatan terhadap mode hukuman pelajar yang hamil di luar nikah,
hendaknya tidak menghancurkan cita-cita dan masa depannya, mereka
harus diberi ruang dan tempat guna melanjutkan apa yang diinginkan jagan
sampai terhalang oleh masalah apalagi kebijakan yang tidak pro terhadap
pelajar bermasalah tersebut. Setiap kebijakan seharusnya dilakukan dengan
pendekatan walfare approach sehingga menjamin kehidupan dan masa
depan pelajar bermasalah.
Masalah efek jera, sanksi sosial saat ini sangat memiliki dampak
terhadap psikologis peserta didik yang hamil di luar nikah. Jika sanksi sosial
tidak berjalan, maka yang bermasalah bukan pelajar saja, melainkan
masyarakat yang sudah keluar dari ketentuan dan aturan umum sosial.

Lebih lanjut tentang profil sekolah ini dapat dibaca di
http://arsip.gatra.com/artikel.php?id=4507 di akses pada 15 Juni 2013
16

11

Menarik mencermati pemikiran Donie Koesuma tentang pendidikan
untuk manusia, karena pendidikan harus bersifat fleksibel sama halnya
dengan hukum. Jika terjadi perubahan gaya hidup atau kultur sosial, maka
pendidikan tidak boleh kaku menanggapi, jika pendidikan tetap kaku, maka
pendidikan akan semakin dijauhi oleh masayarakat sosial. Pendidikan harus
hadir sebagai solusi atas segala masalah yang ada.
3. Pentingnya pendidikan Pelajar Bermasalah
Pendidikan bagi pelajar bermasalah harus tetap diutamakan, karena
mereka merupakan generasi penerus yang nantinya menggantikan generasi
saat ini.
Setiap anak wajib mendapatkan pendidikan, tak terkecuali yang sedang
berada

di

lembaga

permasyarakatan

sekalipun.

Karena

pendidikan

merupakan hak dasar setiap warga negara. Hukuman hanya menghilangkan
sebagai hak, bukan hak dasar apalagi hak untuk tetap bersekolah.
Guna mendukung hak konstitusional pelajar bermasalah baik yang
bermasalah secara hukum dan moral, maka perlu diadakan sekolah darurat
agar pelajar bermasalah dapat melakukan instrospeksi, serta memiliki
kesempatan yang sama dengan pelajar lain untuk mendapatkan tempat di
sisi masyarakat, pekerjaan yang layak, sehingga kehidupan pelajar
bermasalah di kemudian hari tidak menjadi beban negara, apalagi jika
sampai menjadi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial.

12