Revolusi Kuba Revolusi Nikaragua Perang

Revolusi Kuba, Revolusi Nikaragua, Perang Sipil El Salvador, dan Revolusi Guatemala:
Sebuah Komparasi
Probo Darono Yakti
Departemen Hubungan Internasional
Universitas Airlangga
ABSTRAK
Di Amerika Latin terdapat beberapa negara yang memiliki persamaan garis sejarah: mereka mewarisi
rezim junta militer yang berkuasa secara otoriter dan tidak menyebar secara merata kesejahteraan
penduduknya. Hal ini dibuktikan oleh resistensi rakyat terhadap rezim otoriter yang berkuasa. Mulanya
revolusi ini diinisiatori oleh Kuba melalui Fidel Castro dan gerilyawan Che Guevara. Kesuksesan revolusi
yang dilancarkan melalui aksi-aksi gerilya dari Kota Santiago hingga Havana akhirnya berhasil
menggulingkan pemerintahan Batista dan secara paksa mengganti presiden Kuba melalui kudeta tersebut.
Dari kisah sukses ini, Kuba berhasil menginspirasi negara-negara lain di Amerika Latin seperti Guatemala,
San Salvador, dan Nikaragua. Namun yang terjadi adalah beberapa perbedaan mendasar antara ketiga
negara ini dalam revolusinya. Begitu menghadapi ‘lawan’ mereka masing-masing, respons yang beragam
mereka dapatkan. Akhirnya, dampak yang diterima adalah terjadinya genosida di Guatemala,
pemberontakan di San Salvador, dan perang sipil di Nikaragua. Hal-hal inilah yang akan dikomparasikan
penulis melalui tiga indikator utama: pimpinan, dukungan, dan strategi.
Kata-kata kunci: Gerilya, revolusi, perang sipil, genosida, junta militer, Che Guevara, komunisme
ABSTRACT
In Latin America there are several countries that have similar historical lines: they inherited the ruling

military junta regime is authoritarian and does not spread evenly welfare of the population. This is
evidenced by the popular resistance to the authoritarian regime in power. Initially started by the Cuban
revolution with Fidel Castro and Che Guevara's guerrillas. The success of the revolution being waged by
guerrilla actions from Santiago to Havana City finally managed to overthrow Batista and forcibly replace
the Cuban president in a coup. Of these success stories, Cuba managed to inspire other countries in Latin
America such as Guatemala, San Salvador, and Nicaragua. But what happens is some fundamental
differences between the three countries in the revolution. Once the face of 'opponents' of their respective,
diverse responses they get. Finally, the impact of which is received is the genocide in Guatemala, the revolt
in San Salvador, and the civil war in Nicaragua. These are the things that will dikomparasikan author
through three main indicators: leadership, support, and strategies.
Keywords: Guerrilla, revolution, civil war, genocide, military junta, Che Guevara, communism
Pendahuluan
Konteks yang akan penulis bahas adalah bagaimana ketiga negara yang ada di Amerika Latin ini
mengalami pasang surut yang terjadi di dalam revolusi-revolusinya. Che Guevara telah menginspirasi
banyak negara di Amerika Latin untuk melakukan perlawanan terhadap junta militer yang otoriter dan tidak

dapat mewujudkan pemerataan. Kuba telah sukses dalam perjalannya, yang mana akhirnya pada abad ke-21
Kuba dapat mengejar beberapa bidang yang diperhatikan seperti kesehatan, pendidikan, dan
ketenagakerjaan. Sedangkan apa yang terjadi di beberapa negara lain di Amerika Latin mengalami sedikit
halangan, Guatemala adalah negara yang menjadi korban keganasan junta akibat kurang masifnya

perlawanan rakyat. Rakyat dikorbankan dengan adanya bantuan Amerika Serikat untuk memberangus
komunisme dan ‘hal-hal yang berkaitan’. Dapat dikatakan Guatemala gagal dalam melaksanakan gerilya dan
revolusinya. Di sisi lain, negara kecil El Salvador mengalami kesuksesan dalam gerilyanya. Puncaknya
adalah terkabulnya tuntutan para tokoh gerilya ketika perjanjian damai ditandatangani di akhir.
Perjuangan yang dilakukan oleh gerilyawan-gerilyawan El Salvador ini diwujudkan dengan beberapa
upaya seperti menggelar beberapa show of force yang menunjukkan eksistensi mereka terhadap tentara junta
yang dibiayai dan dilatih oleh Amerika Serikat. Pada akhirnya upaya-upaya ini berhasil, meski ternyata
negara tetangga yang tidak jauh dari El Salvador yakni Nikaragua justru mengalami hal yang sama dengan
Guatemala. Kurang masifnya pergerakan ini ditambah dengan dukungan penuh dari pihak yang berlawanan
dengan kaum revolusioner. Inilah yang akan dibahas satu persatu dalam jurnal ini, bagaimana kondisi dan
hasil pergerakan di masing-masing negara kemudian dikomparasikan melalui beberapa indikator. Seperti
unsur pimpinan dan persenjataan, suplai bantuan, serta seberapa masif pergerakan dari Guatemala, El
Salvador, dan Nikaragua inilah yang menjadi perhatian utama. Dari pernyataan awal penulis tadi, Kuba
menjadi negara acuan bagi yang lainnya ketika membahas kesuksesan gerilya.
Gerilya dan Kesuksesan Revolusi Kuba
Istilah gerilya telah dikenal sebelumnya dalam bahasan-bahaan konteks perang yang terjadi di
Indonesia, yakni dalam kaitannya dengan Masa Revolusi Fisik pada 1945 sampai dengan 1949. Sehubungan
dengan itu, kondisi yang ada di Amerika Latin adalah kondisi di mana negara-negara ini masih terkungkug
oleh kolonialisme dan imperialisme bangsa-bangsa Eropa seperti Portugal, Spanyol, Prancis, dan Inggris.
Salah satu inisiator pergerakan revolusi yang terkenal di Amerika Latin adalah Che Guevara, kemudian ada

pula Fidel Castro dan Simon Bolivar. Namun dalam istilah gerilya, hanya Ernesto ‘Che’ Guevara ini yang
karyanya dikenal masyarakat luas. Melalui ‘The essence of guerrilla warfare’, Che Guevara menceritakan
kesuksesannya dalam menjalankan aksi gerilya.
Menurut Che Guevara, ada beberapa faktor esensial yang menentukan kesuksesan aksi gerilya. Ia
mengambil dari apa yang dialaminya pada Revolusi Kuba ketika harus membantu Fidel Castro. Guevara
(1961) menyebutkan tiga faktor utama, yakni: (1) pasukan rakyat mayoritas dapat memenangkan perang
melawan tentara yang bersenjata lengkap, dengan catatan secara proaktif rakyat dapat lebih kooperatif dan
melaksanakan taktik-taktik yang diberikan oleh pimpinan gerilya; (2) untuk melalukan revolusi rakyat tidak
perlu menunggu sampai kondisi negara mendukung untuk terjadinya revolusi, karena gejolak yang
diciptakan rakyat sendiri sesungguhnya mendukung kondisi yang memberi dorongan yang lebih dahsyat; (3)
masyarakat pinggiran yang tidak tersentuh oleh perhatian pemerintah merupakan kekuatan massa terbersar
2 | Perang Dingin di Amerika Latin: Genosida di Guatemala, Pemberontakan di El Salvador, Revolusi di Nikaragua

dalam revolusi. Dengan ini, penulis juga mengaitkan dengan gagasan yang ditulis Nasution dalam karyanya
Pokok-Pokok Gerilya yang mana perlu kemanunggalan yang kuat antara Rakyat dan TNI karena inti perang
Gerilya adalah rakyat yang mendukung sepenuhnya perbekalan dan sekitar satu persen dari populasi
keseluruhan bersedia menjadi tentara rakyat (Nasution, 2012).
Motif awal mereka adalah menghapus borjuasi di antara kaum-kaum proletar. Hal ini sejalan dengan
tujuan yang ditanamkan oleh para revolusioner yang beraliran kiri. Bagi Guevara, tindakan-tindakan
penguasa yang sewenang-wenang terhadap rakyat proletar ini merupakan perbuatan kriminal dan jika

dibiarkan maka nasib rakyat proletar akan terus ditindas (Guevara, 1961). Permasalahan bermula ketika ada
dua golongan, yakni kaum militer yang berkuasa membentuk pemerintahan yang diktatorian dan sama sekali
sewenang-wenang, menindas kaum proletar yang hidup di bawah standar para penguasa militer tadi. Dengan
demikian rakyat-rakyat yang dimaksud Che Guevara ini berkonsolidasi untuk membentuk kekuatan
tersendiri yang menjelma menjadi tentara gerilya. Adapun karakteristik yang disebutkan Guevara adalah
tentara-tentara yang homogen, menghormati pemimpin, berani, memiliki pengetahuan mengenai daerahnya
karena harus menyerang melalui jalan-jalan yang strategis, serta bergerak cepat ketika balik diserang, dan
memahami taktik yang akan dilakukan dalam revolusi (Guevara, 1961).
Terlepas dari tujuan politik yang dibawa oleh masing-masing aksi gerilya di daerah-daerah, perlu
diperhatikan taktik gerilya. Pengalaman yang terjadi di Indonesia adalah diterapkannya sistem Wehrkreise
(kantung-kantung pertahanan) beserta pemerintahan militer yang bersifat sementara. Sedangkan kebutuhan
yang ada di Kuba pada masa Che Guevara terlibat dalam memimpin pergerakannya, ketika gerakan
revolusioner ini terus didesak oleh kebutuhan-kebutuhan mendasar rakyat akan rasa aman di negaranya
tanpa kekangan dari pihak militer. Sedangkan ketika kaum revolusioner ini telah menduduki pemerintahan,
militer yang sebelumnya menjadi pihak yang dilawan kemudian ditundukkan. Hal ini terjadi pada Fidel
Castro, yang terus berusaha melanggengkan kekuasaan serta menebar pengaruhnya di antara kaum militer
supaya tunduk di bawah komandonya. Sedangkan program yang dilaksanakan Fidel Castro mencakup
pelaksanaan kampanye propaganda intensif, penyediaan dukungan berupa keuangan, persenjataan dan lainlain kepada kelompok subversif, serta mendukung pelatihan revolusi bagi kelompok subversif di negara lain
(Hawkins, 1963: 169). Sehingga tidak hanya dalam segi pemikiran saja revolusiner-revolusioner kiri ini
melakukan propaganda, juga dalam tindakan nyata seperti yang ditunjukkan di atas.

Genosida Guatemala: Kudeta Gagal di Tanah Pohon Rimbun
Sedangkan percobaan revolusi yang terjadi di Guatemala berujung pada peristiwa genosida.
Guatemala merupakan negara yang didiami oleh banyak suku Maya. Suku Maya dituduh sebagai salah satu
pihak yang ditengarai sebagai faktor pendorong terjadinya kudeta komunis di negara tersebut (Peace Pledge
Union Information, t.t). Satu penyebab lain adalah terjadinya cultural-shock dalam masyarakat Maya asli
akibat perubahan yang drastis dari tatanan sosial-ekonomi asli yang dibawa oleh peradaban Maya kuno
berubah menjadi ekonomi perkebunan yang berbasis kerja paksa (Johnson, 2014).

Hal ini kemudian

3 | Perang Dingin di Amerika Latin: Genosida di Guatemala, Pemberontakan di El Salvador, Revolusi di Nikaragua

menjadi yang khas dari kolonialisme Amerika Latin, yang mana kebanyakan pihak kolonialnya merusak
wilayah yang dijajah. Dampak dari tuduhan-tuduhan perlambang ketidakpercayaan ini adalah terjadinya
'The Silent Holocaust' yang berjalan dari tahun 1978 sampai dengan tahun 1983 (Johnson, 2014). Motif
pembunuhan yang terjadi adalah pihak ‘pembunuh’ ini mengadakan pesta rakyat kemudian dalam keadaan
yang kondusif, para eksekutor membunuh satu persatu warga yang ada di 626 desa sasaran dan memaksa
sisanya untuk melihat peristiwa keji tersebut. Atau bahkan memang sengaja untuk dibumi hanguskan. Selain
itu para pembunuh melakukan sejumlah pemerkosaan, merusak ladang dan perkebunan, menyembelih
hewan-hewan ternak milik warga, mengotori suplai air, dan merusak tempat-tempat keramat dan tempat

beribadah para suku Maya (Peace Pledge Union Information, t.t).
Hal ini didukung secara langsung oleh Amerika Serikat yang pada saat itu dipimpin oleh Ronald
Reagan, dan juga Israel yang dipimpin oleh. Reagan memberi bantuan yang disalurkan secara diam-diam
maupun terang-terangan terhadap Guatemala yang pada saat itu dipimpin oleh Efraín Ríos Montt. Montt
adalah seorang presiden yang antikomunis, dan kebetulan memiliki kekerabatan dengan gereja konservatif
di Amerika Serikat. Dalam salah satu pernyataannya Reagan memberi testimoninya terhadap rezim militer
yang dipimpin oleh Montt:
"Presiden Rios Montt adalah seorang yang memiliki integritas pribadi besar dan
berkomitmen... Saya tahu ia ingin meningkatkan kualitas hidup untuk rakyat Guatemala dan
untuk mempromosikan keadilan sosial."
(Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan, Desember 1982 dalam Schirmer, 1998).
Dalam sejarah, Amerika tercatat menyuplai alat-alat persenjataan dan juga kendaraan taktis militer.
Harian The Pittsburgh Press pada 19 Juni 1981 mengatakan bahwa Amerika mengirimkan 50 buah truk dan
juga 100 buah jip militer. Kendati tidak disetujui Kongres, Pemerintah Amerika Serikat pada masa itu
memang mengirim bantuan luar negeri yang mana tujuannya adalah memberangus komunisme di Amerika
Tengah, khususnya Guatemala (The Pittsburgh Press, 1981). Lain halnya dengan kepemimpinan sebelum
Ronald Reagan, Jimmy Carter ‘mengendus’ adanya pelanggaran terhadap hak asasi manusia di Guatemala
yang mengakibatkan Kementerian Luar Negeri AS menghentikan pengiriman segala macam persenjataan ke
Guatemala (The New York Times, 1981). Begitu pula dengan Israel, negara yang pada masa itu baru tiga
dasawarsa berdiri ternyata berperan penting dalam suplai senjata untuk militer Guatemala. Israel tidak hanya

mensuplai kebutuhan senjata, namun juga pelatihan terhadap para calon intelijen yang ada di Guatemala.
Hubungan yang terbangun sejak Israel mulai menyuplai senjata yakni 1974, semakin erat akibat dari
kebutuhan yang luar biasa dari Guatemala akan senjata dan persediaan amunisi. Yang juga perlu
diperhatikan adalah kasus bencana kemanusiaan yang tergolong parah. Sebelum Montt, Jenderal Fernando
Romeo Lucas Garcia terpilih menjadi Presiden pada tahun 1978. Pada masa kepemimpinannya terjadi
sebuah ekskalasi luar biasa terhadap kehidupan yang ada di Guatemala untuk setidaknya dalam kurun waktu
4 | Perang Dingin di Amerika Latin: Genosida di Guatemala, Pemberontakan di El Salvador, Revolusi di Nikaragua

4 tahun hingga 1982. Menurut Komisi Klarifikasi Sejarah, kasus pembunuhan yang tercatat di luar hukum
meningkat dari 100 korban jiwa pada tahun 1978 menjadi lebih dari 10.000 korban jiwa pada tahun 1981.
Dan dalam periode-periode tersebut jika diestimasikan secara keseluruhan, pemerintah Guatemala telah
‘membunuh’ sekitar 70.000 orang, baik yang ditemukan tewas maupun hilang (Johnson, 2014).
Pemberontakan El Salvador: FMLN, Penggerak Revolusi di Tanah Sang Penebus
Di tempat lain – yang mana masih di kawasan Amerika Tengah – El Salvador, negara terkecil di
Amerika Latin menjadi salah satu contoh yang serupa namun tak sama dengan kasus yang terjadi di Kuba
dan Guatemala. Dalam kurun waktu 13 tahun, yakni dari 1979 hingga 1992 terjadi sebuah Perang Sipil yang
berkepanjangan. Hal ini dapat diidentifikasikan dengan berdirinya sebuah orde otoriter yang dipimpin oleh
junta militer. Diawali pada Kudeta Oktober 1979 terhadap Carlos Humberto Romero presiden pada masa itu,
pemerintahan junta ini didirikan untuk menggagalkan sebuah upaya revolusioner yang dilakukan oleh partai
politik sayap kiri yang ada di Guatemala. Junta ini menasionalisasi hampir semua perusahaan yang ada di El

Salvador. Dalam upaya ini, junta militer berhasil membendung pengaruh komunisme yang ada di negara
tersebut. Junta ini bertindak sewenang-wenang, hingga peristiwa yang menandai pertumpahan darah yang
besar seperti Kasus Pembunuhan berantai El Mozote mencoreng kehiduan bangsa Salvador. Seperti
Guatemala, pemerintahan junta juga didanai secara langsung oleh Amerika Serikat.
Junta militer, yang lagi-lagi didukung oleh Ronald Reagan akibat rasa berkobar-kobar untuk
menyingkirkan pengaruh komunis di Amerika Tengah. Dukungan Amerika Serikat tersebut berupa bantuan
dana langsung 4 juta dolar (Encyclopædia Britannica, 2016). Dukungan itu termasuk organisasi dan
pelatihan unit militer elit di El Salvador; mendukung upaya perang melalui penyediaan persenjataan
canggih, terutama helikopter; dan digunakan pengaruhnya dalam berbagai cara untuk memandu nasib politik
negara. Dukungan itu ternyata disampaikan langsung oleh Reaan dalam sebuah kutipan yang terkenal dalam
buku American Foreign Relations Since Independence karya Deans (2013):
"What we’re doing is to halt the infiltration into the Americas, by terrorists and by outside
interference, and those who aren't just aiming at El Salvador but, I think, are aiming at the
whole of Central and possibly later South America and, I'm sure, eventually North America."
(Reagan dalam Deans, 2013).
Hal diatas juga menunjukkan bahwa kepentingan Amerika Serikat untuk menyingkirkan ‘teroris’
yang berupa gerakan-gerakan komunisme yang membuat serangkaian kekacauan di negeri terseut dengan
aksi gerilyanya. Adapun revolusi-revolusi yang berkobar adalah kaum petani yang terhalang oleh blokade
militer, dan juga kemudian sekumpulan pelajar perguruan tinggi yang menggelar aksi protes terhadap
pembatasan kebebasan rakyat sipil. Untuk menanggapi aksi ini, pemerintah Junta mengirimkan polisi, yang

secara sistematis menghancurkan kantor, ruang kelas, dan laboratorium, memukuli kepala sekolah,
5 | Perang Dingin di Amerika Latin: Genosida di Guatemala, Pemberontakan di El Salvador, Revolusi di Nikaragua

menewaskan seorang pustakawan, menusuk mahasiswa, dan memperkosa puluhan wanita muda (Blum,
2003). Hal ini mendorong beberapa rakyat untuk mengekspresikan kekecewaan mereka yang besar terhadap
pemerintah melalui serangkaian aksi, retorika, dan agitasi untuk memperoleh dukungan masyarakat luas.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam karya William Blum (2003), tokoh-tokoh inilah yang nantinya akan
menjadi think-tank dalam perang gerilya yang mereka pimpin sendiri bersama ribuan rakyat El Salvador.
Terdapat beberapa kali percobaan revolusi yang dilakukan oleh rakyat, diantaranya adalah oleh kaum
petani yang kemudian dihalau dengan militer, kemudian oleh kaum pelajar perguruan tinggi yang menggelar
aksi protes terhadap pembatasan kebebasan sipil. Pemerintah menanggapi dengan mengirimkan polisi, yang
secara sistematis menghancurkan kantor, ruang kelas, dan laboratorium, memukuli kepala sekolah,
menewaskan seorang pustakawan, menusuk mahasiswa, dan memperkosa puluhan wanita muda (Blum,
2003). Namun junta ini berakhir dalam hitungan beberap tahun saja. Pada tahun 1980-an, rakyat El Salvador
perlahan menginisiasi sebuah gerakan bawah tanah untuk menentang pemerintahan yang sewenang-wenang.
Usaha ini didukung dengan berdirinya beberapa laskar yang terbentuk di tingkat pelajar SMP hingga SMA,
yakni MERS (Gerakan Revolusioner Mahasiswa Sekunder). Kemudian di tingkat mahasiswa berdiri
AGEUS (Asosiasi Mahasiswa Salvador). Dan yang terakhir para pekerja yang mendirikan BPR (Blok
Revolusioner Populer). Hal ini menginspirasi berdirinya FMLN yakni Front Pembebasan Nasional
Farabundo Marti oleh para gerilyawan El Salvador. Sesaat setelah berdiri, bergabunglah sekitar 6.000 hingga

8.000 gerilyawan aktif dan ratusan ribu milisi paruh waktu, pendukung, dan simpatisan (Mason, 1989).
Ada tahun 1981, disusul dengan aksi-aksi beberapa tahun berkutnya terjadi pemberontakan besar
antara tentara rakyat dengan tentarapemerintah yang telah terlatih oleh bekal kemampuan yang diberikan
Amerika Serikat. Perang Sipil ini diakhiri dengan sebuah perjanjian damai antara FMLN dengan pemerintah
El Salvador. Pada tanggal 16 Januari 1992 di Istana Chapultepec di Meksiko, Presiden Alfredo Cristiani, dan
perwakilan FMLN yakni Shafik Handal, Joaquin Villalobos, Salvador Sánchez Ceren, Francisco Jovel dan
Eduardo Sancho yang merupakan komandan-komandan dari kelompok gerilya menandatangani perjanjian
damai tersebut. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang terlibat di dalamnya berhasil menengahi kedua
belah pihak untuk menyudahi 12 tahun pertumpahan darah. Meskipun penandatanganan perjanjian ini tidak
dapat menebus sekitar 75 ribu jiwa penduduk yang terbunuh dan hilang sesuai dengan laporan PBB
(Security Council of The United Nations, 1993). Kepentingan yang diinginkan Amerika Serikat hampir
berhasil, meskipun akhirnya pada tahun 1990-an kasus ini diproses oleh PBB yang mendapatkan bukti
bahwa pemerintah telah melakukan pelanggaran HAM terhadap gerilyawan-gerilyawan yang mengusahakan
revolusi.
Revolusi Nikaragua
Yang terakhir adalah Revolusi Nikaragua. Peristiwa ini terjadi akibat dorongan kesewenangan yang
terjadi di sana. Adalah keluarga Somoza, sebuah dinasti yang telah terbangun pada akhir abad ke-19 yang
menguasai hampir seluruh aspek kenegaraan dari Nikaragua. Sebelum tahun 1970-an, Amerika Serikat yang
telah berulang kali disebut dalam bahasan sebelumnya mendominasi negara-negara di Amerika Latin untuk
6 | Perang Dingin di Amerika Latin: Genosida di Guatemala, Pemberontakan di El Salvador, Revolusi di Nikaragua


membendung pengaruh Uni Soviet, sekaligus membuat sebuah ketergantungan antara negara-negara yang
ada di wilayah-wilayah konsentrisnya dengan negeri yang berjulukan Paman Sam tersebut. Amerika Serikat
banyak melakukan tindakan agresif untuk memaksa negara-negara menerapkan liberalisasi ekonomi. Rezim
Somoza di Nikaragua ini adalah salah satu target dari persebaran paham liberalisasi perdagangan.
Pemerintahan Nikaragua yang pro Amerika Serikat ini akhirnya memaksa modal asing dan perusahaan
swasta – utamanya dari Amerika Serikat – untuk dapat bebas masuk dalam perekonomian Nikaragua
(IrmaningTyas, 2010).
Dari kondisitersebut, lahirlah FLSN (Frente Sandinista de Liberación Nacional) yaitu front revolusi
yang artinya Front Pembebasan Nasional Sandinista. FSLN didirikan pada tahun 1962 oleh Carlos Fonseca
Amador, Silvio Mayorga, dan Tomás Borge Martínez sebagai kelompok yang berkomitmen revolusioner
untuk sosialisme dan penggulingan dari keluarga Somoza, yaitu pemerintahan otoriter yang saat itu berkuasa
(Encyclopædia Britannica Online, 2016). Nama Sandinista terinspirasi dari César Augusto Sandino, seorang
pejuang pembelotan Nikaragua terhadap penguasaan militer Amerika Serikat (1927–33). Carlos Fonseca
Amador, Silvio Mayorga, dan Tomás Borge Martínez sebagai kelompok revolusioner berkomitmen untuk
sosialisme dan penggulingan keluarga Somoza (Encyclopædia Britannica Online, 2016). Keluarga Somoza
ini kontra terhadap apa yang mencoba dibangun oleh FSLN atau Sandinista. Somoza beraliran nasionalis
liberal, tentu junta militer yang dipertahankan Somoza didukung oleh tentara National Guard sepenuhnya.
Hal ini pada catatan sejarah mempersulit gerak-gerik para kam sandinista.
Setelah serangkaian percobaan pemberontakan dilakukan, Sandinista ini mendapatkan beberapa
kendala yakni pengekangan yang ketat dilakukan oleh pemerintahan rezim Somoza. Dalam sebuah kasus
Somoza membatasi gerak-gerik Sandinista, hingga akhirnya pejuang-pejuang revolusioner ini menggunakan
cara yang koersif pula, yakni penculikan terhadap salah satu menteri yang pernah menjabat pada kabinet
Somoza. Hal ini akhirnya direspons dengan membayar tebusan dan membiayai Sandinista untuk terbang ke
Kuba. Setelah hal ini dilakukan, sesegera mungkin pemerintahan Nikaragua mengerahkan tentara untuk
membumihanguskan beberapa desa yang ditengarai menjadi kediaman-kediaman para pejuang Sandinista
yang masih tersisa, yang luput tidak dibawa ke Kuba.
Aksi-aksi pembantaian ini memicu reaksi Gereja Katolik Nikaragua, yang kemudian menghentikan
dukungannya terhadap rezim Somoza dan perlahan bealih untuk mendukung para pemberontak Sandinista.
Sandinista kemudian bertambah kuat dengan keberadaan orang-orang Chili yang beraliran kiri akibat
terpilihnya jenderal fasis yang condong pada Amerika Serikat, Augusto Pinochet sebagai presiden baru di
Chili. Akibatnya adalah terjadi beberapa aliran pemikiran dalam tubuh Sandinista. Hal ini antara lain
disebabkan karena permasalahan pandangan-pandangan yang diterjemahkan secara berbeda. Diantaranya
adalah: (1) Proletaries yang terbentuk pada tahun 1975, beraliran proletariat yang mana membela
kepentingan kaum tertindas meski bersikap kooperatif dengan golongan lain di Nikaragua; (2) Terceristas
(Jalan Ketiga) pimpinan Daniel Ortega yang sama sekali non kooperatif sehingga hanya menggunakan
kekuatan primer dari organisasi ini secara mandiri; dan (3) Los Doce (Dua Belas) yang mana dua belas
7 | Perang Dingin di Amerika Latin: Genosida di Guatemala, Pemberontakan di El Salvador, Revolusi di Nikaragua

pendirinya berasal dari golongan menengah ke atas yang cenderung merusak ideologi partai sejak awal
karena dianggap kurang berpihak pada kemajuan kaum proletariat (La Prensa, 2006)(Wickham-Crowley,
1992).
Amerika Serikat pun dalam kasus selanjutnya bersikap standar ganda, karena rezim Somoza yang ia
dukung tersorot luas secara internasional telah melakukan pembantaian besar-besaran terhadap Sandinista
yang mencoba mendobrak kekuasaan mereka. Kendatipun demikian, Somoza enggan untuk melepaskan
jabatannya sebagai presiden. Untuk itu, perlahan Amerika Serikat melepaskan pengaruh dan bantuannya
terhadap pemerintahan Nikaragua. Sedangkan sebaliknya, Sandinista semakin banjir dukungan ketika
Pemerintahan Kuba memastikan dukungan penuh terhadap aksi-aksi pemberontakan yang ada di Sandinista.
Sedangkan sekutu sosialis yang juga telah berjuang melawan rezim junta yang beraliran liberal dan gagal
mewujudkan pemerataan ekonomi di antara rakyatnya, El Salvador saling memberi dukungan. FSLN
mengirim senjata kepada pemberontak sayap kiri di El Salvador, yang dimulai paling lambat pada
pertengahan tahun 1980 dan melanjutkan untuk dekade berikutnya. Amerika Serikat secara langsung juga
terkena dampak yang luas ketika Sandinista yang telah menduduki emerintahan pada beberapa tahun
setelahnya memutuskan untuk membatasi perekonomian dengan Amerika Serikat. Hal ini salah satunya juga
disebabkan oleh kehadiran bantuan Nikaragua terhadap El Salvador (Brown.edu, 2010).
Bulan Februari 1979, Sandinista mendirikan organisasi koalisi bernama Frente Patriotico Nacional
(FPN; Front Patriotik Nasional) yang anggotanya terdiri dari para simpatisan Sandinista & orang-orang antiSomoza di luar Sandinista. Sebulan kemudian, FPN yang mendapat bantuan persenjataan dari Venezuela,
Kuba, & Panama memulai aktivitas pemberontakan besar-besaran di seantero Nikaragua. Pertempuran
berjalan sengit, namun FPN yang didukung hampir seluruh rakyat Nikaragua akhirnya berhasil mengungguli
militer Nikaragua & menduduki ibukota Managua pada bulan Juli 1979. Peristiwa jatuhnya Managua ke
tangan FPN lantas dikenal dengan sebutan "Revolusi Nikaragua".
Dalam perkembangannya, kontinuitas FSLN dapat dijumpai hingga pada saat ini. Hal ini merupakan
hasil dari produk sejarah bahwa FSLN memang ditakdirkan untuk terlibat aktif dalam tiap proses
pelaksanaan pemilu legislatif di Nikaragua. FSLN menjadi sebuah partai politik demokratik sosialis yang
memiliki reputasi tertinggi di Nikaragua (Collin & Martin, 2012). Saat ini sekitar 63 kader partai FSLN
menduduki kursi di parlemen. Jumlah terbanyak mengingat jumlah keseluruhan dari anggota legislatif
tertinggi di Nikaragua adalah 92 orang, Sedangkan partai lain seperti Partai Konstitusionalis Liberal yang
beraliran liberal konservatisme mendapat jatah kursi 2 orang, dan Partai Liberal Independen yang beraliran
liberal konservatif mendapat jatah 26 kursi. Sejauh ini FSLN masih mendominasi dengan Daniel Ortega
Saavedra terpilih kembali menjadi Presiden pada tahun 2007 hingga saat ini. Namun dalam rentang waktu
1990 hingga 2007, kursi Presiden masih diduduki oleh partai-partai di luar FSLN. Hal ini disebabkan karena
Daniel Ortega yang menjabat setelah Revolusi Nikaragua belum mampu mempertahankan kekuasaannya di
dalam tataran eksekutif.
Kesimpulan dan Opini
8 | Perang Dingin di Amerika Latin: Genosida di Guatemala, Pemberontakan di El Salvador, Revolusi di Nikaragua

Sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat dilihat dari keempat negara di Amerika Latin ini. Yang
pertama adalah bagaimana Kuba, Guatemala, Nikaragua, dan El Salvador memilih jalan untuk melakukan
revlusi sebagai bentuk resistnsinya terhadap junta militer yang bertindak sewenang-wenang terhadap
rakyatnya, kurang berhasil dalam memberikan pemerataan terhadap kesejahteraan masyarakatnya, dan
cenderung mendukung perdagangan bebas utamanya memilih Amerika Serikat sebagai satu-satunya mitra
dagang strategis. Yang kedua adalah hubungan negara-negara yang terlibat dalam perang proxy. Contohnya
adalah Uni Soviet. Ada pula negara-negara yang memang senasib dan sealiran hingga saling membantu,
seperti El Salvador yang akhirnya dibantu oleh Nikaragua akibat kesuksesan FSLN atau Sandinista. Yang
ketiga adalah proses dan segala peristiwa yang terjadi selama revolusi dari ketiga negara tersebut. Sejauh
pengamatan penulis, ada beberapa peristiwa yang menjadi catatan penting baik dari pihak junta militer yang
menjadi pihak yang dilawan oleh para kaum revolusioner maupun dari pihak revolusioner itu sendiri.
Dari ketiga indikator yang ada di atas, maka penulis dapat mengklasifikasikan keempat negara ini
dalam beberapa penjelasan akhir: (1) Kuba merupakan negara yang mulanya dikuasai oleh rezim junta
militer yang pada saat itu dikuasai oleh seorang Fulgencio Batista. Kuba memiliki dua tokoh utama yang
dikenal yakni Fidel Castro dan Che Guevara, yang mana dua orang ini meletakkan fondasi sosialisme
terhadap orang-orang yang pada akhirnya menjadi gerilyawan dan menjadi aktor utama dalam revolusi; (2)
Guatemala merupakan negara yang dikuasai junta militer, sama seperti Kuba. Julukan revolusi yang
dijalankan Guatemala yakni Ten Years of Spring diupayakan dalam segala bentuk. Tidak ada usaha gerilya
dari masyarakat untuk mencoba menurunkan rezim otoriter pada masa itu; (3) El Salvador merupakan
sebuah negara yang dikuasai oleh militer. Hal ini berawal dari kudeta kelompok junta itu terhadap Presiden
yang menjabat pada tahun 1977 hingga 1979 yakni Carlos Humbero. El Salvador akhirnya melakukan
resistensi dengan didirikannya laskar-laskar rakyat yang kemudian disebut dengan FMLN. FMLN dipimpin
oleh 5 kelompok gerilyawan yang bekerja secara taktis dan menimbulkan sejumlah kekacauan di seluruh
penjuru El Salvador;
(4) Di Nikaragua revolusi dijalankan melalui pembentukan FSLN. Sasaran dari FSLN atau
Sandinista ini adalah menggulingkan dinasti Somoza yang berkuasa dari tahun 1936, hingga akhirnya
berhasil diruntuhkan pada 1979. FSLN memiliki sejarah yang dapat dikatakan berbelok, karena sempat
mengalami perpecahan di dalam tubuh organisasinya. Hingga akhirnya Somzoa dapat digulingkan pada
1979, salah satu tokoh penting dalam gerakan ini naik menjadi presiden: Daniel Ortega; (5) Kuba memiliki
kedekatan yang ‘sembunyi-sembunyi’ dengan Kuba. Hal ini dicirikan dengan aliran pemikiran politik yang
dianut oleh dua tokoh utama dalam revolusi Kuba yakni Fidel Castro dan Che Guevara; (6) Guatemala tidak
didukung oleh negara di Amerika Latin pada masa itu, meskipun resistensi yang berjalan di sana terinspirasi
dari apa yang terjadi di Kuba; (7) El Salvador menjalani sebuah perang sipil yang mana masing-masing
pihak menggunakan negara-negara pendukung seperti Junta yang bekerja sama atas persenjataan yang
diberikan oleh Amerika Serikat, Israel, dan Taiwan (Hunter, 1987)(Schirmer, 1996). Sedangkan dari
revolusioner, mereka mendapat dukungan dari blok Uni Soviet, Kuba, Nikaragua, dan Tiongkok. Dukungan
9 | Perang Dingin di Amerika Latin: Genosida di Guatemala, Pemberontakan di El Salvador, Revolusi di Nikaragua

ini terasa masif karena memang pada masa itu El Salvador menjadi sorotan dunia akibat kontestasi yang
ditunjukkan oleh dua negara adidaya dunia pada masa itu; (8) Nikaragua yang menunjukkan eksistensi
Sandinista nya mendapat dukungan persenjataan Uni Soviet, dan perbekalan dari Kuba. Beberapa negara
blok Timur menunjukkan dukungan dan keberpihakannya terhadap FSLN;
(9) Kuba terkenal dengan militansi yang dibawa oleh rakyatnya. Guevara menyusun strategi brilian
yang tercatat dalam karyanya The essence of guerrilla warfare. Dengan ini gerilyawan yang trgabung dalam
Gerakan 26 Juli menduduki Havana pada 8 Januari 1959; (10) Pada revolusi Guatemala, puncak atau
klimaks dari revolusi ini adalah Genosida yang menjatuhkan puluhan ribu korban yakni suku Maya yang
dituduh sebagai orang-orang yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan ideologi sosialisme di negara
tersebut. Hal ini cukup menandakan kegagalan Guatemala dalam mencapai revolusinya; (11) Perang Sipil El
Salvador merupakan titik puncak yang dialami oleh para FMLN. Dengan bantuan yang telah disebutkan
sebelumnya, FMLN berhasil menjadi pihak yang bernegosiasi dengan pemerintahan. Keadaan imbang
ketika Perjanjian damai Perjanjian Damai Chahultepec berisikan: (a) Membubarkan dari pemerintah militer
Salvador dengan penyelesaian yang dinegosiasikan, (b) Restrukturisasi Angkatan Bersenjata Salvador, (c)
Kepolisian dan Departemen Keuangan dilarutkan (polisi sipil-diawasi baru dibuat), (d) FMLN menjadi
sebuah partai politik, pejuang naannya dibebaskan; (12) Revolusi di Nikaragua berjalan dengan pesat
mengingat kemenangan dari perang sipil ini akhirnya memastikan kudeta dari pemerintahan Somoza.
Kesimpulan yang dapat diuraikan penulis adalah beberapa faktor yang dipisahkan dari revolusi
sukses dengan yang gagal. Maka dari pernyataan-pernyataan akhir yang disebutkan penulis di atas bahwa
revolusi yang terjadi di Amerika Latin menunjukkan hasil yang beragam. Kuba menunjukkan hasil yang
gemilang, yang mana di era kontemporer Kuba menunjukkan eksistensinya di mata dunia internasional.
Fidel Castro dan Che Guevara utamanya menjadi simbol revolusi dunia, namanya dikenal oleh sebagian
besar manusia karena dianggap simbol melawan kekuasaan yang sewenang-wenang. Nikaragua adalah
negara yang dapat dikatakan mengulangi kesuksesan Kuba. Melalui FSLN atau Sandinista, Somoza yang
menjadi incaran mereka untuk segera digulingkan berhasil turun dari jabatannya sebagai presiden dan segala
aktivitasnya dalam pemerintahan dapat dihentikan. Hal ini tak luput dari negara yang menginisiatori
kesuksesan revolusi di Amerika Latin yakni Kuba berada di belakang untuk memberi bantuan secara
langsung. Kemudian ada El Salvador, yang mana hasil dari perang sipilnya adalah impas. Tuntutan dari
FMLN berhasil dikabulkan, namun dengan tetap bertahannya pemerintahan pada saat itu, penulis dapat
mengatakan upaya yang dilakukan oleh FMLN tak sepenuhnya berhasil. Lain halnya dengan Guatemala
yang mana revolusinya harus diakhiri dengan peristiwa tragis yakni genosida. Bahkan negara yang
mengkampanyekan hak asasi manusia dan demokrasi, Amerika Serikat, pun terlibat di dalamnya. Secara
keseluruhan, Guatemala menjadi korban sejarah yang takkan terlupa akibat dari kurang masifnya
perlawanan dari kaum revolusioner.

10 | Perang Dingin di Amerika Latin: Genosida di Guatemala, Pemberontakan di El Salvador, Revolusi di Nikaragua

Daftar Pustaka
Buku, Laporan Tertulis, dan Jurnal Ilmiah
Collin, Richard & Pamela L. Martin. 2012. An Introduction to World Politics: Conflict and Consensus on a
Small Planet. Rowman & Littlefield. pp. 218
Dean, R. Burns. et. al. 2013. “Reagan, Bush, Gorbachev, and the End of Cold War”, dalam American
Foreign Relations Since Independence. Santa Barbara: Praeger. Hal. 301.
Guevara, Ernesto Che. 1961. The essence of guerrilla warfare. Ocean Books.
Hawkins, J. 1963. “Guerrilla Wars-Threat in Latin America”, World Affairs, 126(3), pp. 169-175.
Hunter, Jane. 1987. Israeli foreign policy: South Africa and Central America. Part II: Israel and Central
America - Guatemala. pp. 111–137.
IrmaningTiyas, Devita. 2010. Keterlibatan Kuba dalam Revolusi Sandinista di Nikaragua. Jember:
Universitas Negeri Jember.
Mason, T.D. & D.A. Krane. 1989. "The Political Economy of Death Squads: Toward a Theory of the Impact
of State-Sanctioned Terror", dalam International Studies Quarterly 33 (2): Hal. 175–198.
Nasution. Abdul Haris. 2012. Pokok-Pokok Perang Gerilya, dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa
yang Lalu dan Masa yang akan Datang. Yogyakarta: Narasi.
Schirmer, Jennifer. 1998. The Guatemalan Military Project: A Violence Called Democracy. Philadelphia:
University of Pennsylvania Press. p. 33.
Shoman, A. 2010. Ch. 1 “Decolonization by Internationalization”, Belize’s Independence and
Decolonization in Latin America: Guatemala, Britain, and the UN. New York: Palgrave Macmillan.
Wickham-Crowley, Timothy. 1992. Guerrillas and revolution in Latin America. Princeton: Princeton
University Press. Hal. 271.

Artikel Daring, Berita Daring, dan Laman Web Resmi
Blum,

William.

2003.

Killing

Hope.

[Online].

Tersedia

dalam

http://www.thirdworldtraveler.com/Blum/ElSalvador_KH.html [Diakses pada 13 April 2016].
Brown.edu. 2010. “Foreign Relations with the Soviet Bloc”, dalam The Sandinistas. [Online]. Tersedia
dalam:

https://www.brown.edu/Research/Understanding_the_Iran_Contra_Affair/n-sandinistas.php

[Diakses pada 14 April 2016].
Encyclopædia

Britannica

Online.

2016.

El

Salvador.

[Online].

Diakses

pada:

http://www.britannica.com/place/El-Salvador/Civil-war [Diakses pada 13 April 2016].
Encyclopædia

Britannica

Online.

2016.

Sandinista.

[Online].

Diakses

pada:

http://www.britannica.com/topic/Sandinista [Diakses pada 13 April 2016].

11 | Perang Dingin di Amerika Latin: Genosida di Guatemala, Pemberontakan di El Salvador, Revolusi di Nikaragua

Johnson, Tim. 2014. Guatemala 'Silent Holocaust': The Mayan Genocide. [Online]. tersedia dalam
http://www.cja.org/article.php?list=type&type=294 Pemberontakan di El Salvador
La Prensa. 19 Juli, 2006. “Quién es quién en el sandinismo”, dalam Reportajes. [Online]. Tersedia dalam:
http://www.laprensa.com.ni/2006/07/19/reportajes-especiales/1701453-quien-es-quien-en-elsandinismo [Diakses pada 14 April 2016].
Security Council of The United Nations. 1 April, 1993. “Report of the UN Truth Commission on El
Salvador". [Online]. Tersedia dalam: http://www.derechos.org/nizkor/salvador/informes/truth.html
[Diakses pada 13 April 2016].
Peace Pledge Union Information. t.t. GUATEMALA 1982: genocide, dalam Talking about Genocide –
Genocides. [Online]. Tersedia dalam: http://www.ppu.org.uk/genocide/g_guatemala1.html [Diakses
pada 12 April 2016].
The New York Times. 19 Juni, 1981. “U.S. Clears Military Vehicles for Export to Guatemala”, dalam
Around the World. [Online]. Tersedia dalam: http://www.nytimes.com/1981/06/19/world/around-theworld-us-clears-military-vehicles-for-export-to-guatemala.html [Diakses pada 12 April 2016].
The Pittsburgh Press. 19 Juni, 1981. “Guatemala to Get U.S. Military Aid”, dalam Around The World. Hal.
6.

[Online].

Tersedia

dalam:

https://news.google.com/newspapers?

id=AXMdAAAAIBAJ&sjid=Kl0EAAAAIBAJ&pg=6820,1850926&hl=en [Diakses pada 12 April
2016].

12 | Perang Dingin di Amerika Latin: Genosida di Guatemala, Pemberontakan di El Salvador, Revolusi di Nikaragua