DAMPAK KEBIJAKAN FRAMEWORK CONVETION ON
DAMPAK KEBIJAKAN FRAMEWORK CONVETION ON TOBACCO CONTROL WHO,
TERHADAP INDUSTRI ROKOK DI INDONESIA,
Dosen Pengampu: Reza Triarda, S.Sos., MA
Disusun Oleh:
Agustinus Cahya Eka Putra
155120401111068
Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
Malang
2017
2
Kata Pengantar
Merdeka!!!
Sebelumnya saya ingin menghaturkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena tanpa kehendak dan restunya, tentunya proposal penelitian ini tidak akan bisa
terselesaikan. Rasa terimakasih juga kepada keluarga dan kawan kawan saya yang mendukung
proses saya hingga sejauh ini.
Serta rasa terimakasih terbesar saya kepada Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
(GmnI) yang telah mengenalkan saya kepada masyarakat dan supaya tidak buta terhadap realitas
sosial yang ada didalam masyarakat kita. Sehingga saya bisa mengkritisi realitas realitas yang
ada di masyarakat saat ini. Terutama perihal industri rokok Indonesia yang saat ini semakin
terjepit dalam pasar bebas dan sistem internasional yang menindas.
Penelitian ini saya persembahkan kepada pelaku industri rokok rumahan dan para petani
tembakau yang masih meraskan penderitaan dan penindasan oleh oknum oknum pemerintah
serta institusi internasional yang telah mencipatakan sebuah rezim yang diskriminatif dan
menindas.
Sebab tanpa adanya massa Marhaen, maka gerakanmu akan menjadi steril!
Karena itu lenyapkan steriliteit dalam gerakan mahasiswa! Nyalakan terus obor
kesetiaan kepada kaum Marhaen! Agar semangat Marhaenisme bernyala nyala
murni! Dan agar murni tidak terbakar mati
-Bung Karno-
Merdeka!!!
3
Daftar Isi
Kata Pengantar..............................................................................................................................1
Daftar Isi.........................................................................................................................................2
BAB I...............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN..........................................................................................................................3
1.1.
Latar Belakang................................................................................................................3
1.2.
Rumusan Masalah...........................................................................................................5
1.3.
Batasan Variabel.............................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................................6
2.1.
Kajian Teori.....................................................................................................................6
World System Theory:.................................................................................................................6
BAB III.........................................................................................................................................14
METODELOGI PENELITIAN.................................................................................................14
3.1. Lokasi Penelitian...............................................................................................................14
3.2. Jenis dan Sumber Data.....................................................................................................14
3.3 Metode Pengumpulan Data..............................................................................................14
3.4. Analisis Data......................................................................................................................14
3.5 Penarikan Kesimpulan......................................................................................................15
Daftar Pustaka.............................................................................................................................16
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Industri tembakau, lebih khusus lagi industri rokok kretek, boleh dikatakan
merupakan salah satu industri pertama yang lahir dan berkembang di negeri ini. Usia
industri ini telah lebih dari seratus tahun, setara dengan usia kegiatan eksploitasi migas di
tanah air. Ia gfrcberkembang sangat pesat sejak abad ke-19 dan telah menghasilkan produksi
yang diekspor ke negara-negara Eropa pada masa itu. Awal mula industri ini berasal dari
daerah Kudus, Jawa Tengah, yang kemudian menyebar ke daerah-daerah lainnya di Pulau
Jawa. Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, rokok kretek telah menjadi komoditas
ekspor yang utama, selain ekspor hasil kebun, hasil tambang dan sumber daya alam lainnya.
1
Namun saat ini industri rokok kretek Indonesia dihadapkan kepada permasalahan
permasalahan besar. Permasalahan pertama adalah hilangnya produsen rokok kretek
rumahan karena kalah bersaing dengan perusahaan besar. Memang Indonesia adalah surga
bagi produsen rokok kretek, dimana 92% perokok mengkonsumsi rokok kretek. Namun,
dengan adanya perangkat hokum penamanaman modal dan Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Nomor: 200/PMK.04/2008 dan turunannya berupa regulasi Bea dan Cukai yang
mengharuskan semua perusahaan rokok memiliki gudang/brak berukuran minimal 200
meter persegi telah berhasil membuka peluang pencaplokkan perusahaan besar rokok kretek
serta merontokkan industry kecil rokok kretek (produksi kurang dari 300 juta batang rokok
per tahun) di negeri ini.2 Menurut Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia
(Formasi), jumlah produsen rokok kecil menurun drastis dari 3.000 buah menjadi 1.330 atau
55.6%
Selain itu, perdagangan bebas saat ini benar-benar sudah disiapkan untuk
kepentingan kekuatan modal besar dunia untuk menguasai pasar domestik dimanapun di
penjuru bumi. Setelah perang dunia pertama berakhir, Persatuan Bangsa-bangsa (PBB)
1 Salamuddin Daeng, dkk, 2011,“Kriminalisasi Berujung Monopoli”, Indonesia Berdikari, Jakarta, Hal. 1
2 Thomas Sunaryo, 2013, Kretek Pusaka Nusantara, Serikat Kerakyatan Indonesia, Jakarta. Hal. 54
4
5
seolah menjadi regulator dunia bagi semua peri kehidupan umat manusia termasuk dalam
hal kesehatan. Pada tahun 2005, WHO (World Health Organization), badan kesehatan PBB
mengeluarkan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau konvensi
pengendalian tembakau, konvensi internasional bagi kesehatan yang pertama.
Pada tahun 2013, sudah 174 negara meratifikasi konvensi tersebut. Indonesia, telah
meratifikasi beberapa poin seperti pengurangan dan pembatasan iklan rokok serta
pembuatan area khusus perokok, namun belum sepenuhnya meratifikasi semua poin dalam
konvensi tersebut mengingat betapa besar dampak sosial ekonomi budaya bagi bangsa
pengembang tradisi kretek ini.3 Namun nampaknya melalui beberapa pihak di pemerintahan,
tidak lama lagi Indonesia akan sepenuhnya tunduk terhadap konvensi usulan Negara
amerika serikat tersebut. Seperti apa yang disampaikan oleh anggota legislatif, Wakil Ketua
Komisi IX dari Fraksi Partai Demokrat, Nova Riyanti Yusuf pada sebuah media massa
nasional: “Indonesia mesti segera menandatangani dan merevisi konvensi tersebut.”
Sedangkan dari pihak eksekutif pemerintahan, Ibu Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi
menyatakan hal yang serupa. Kelahiran Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 Tahun 2012
tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif menunjukkan keseriusan
pemerintah untuk cepat atau lambat akan meratifikasi seluruh poin konvensi FCTC.
Bloomberg LP yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan tembakau dan
mendorong penghentian penggunaan tembakau dan meningkatkan penjualan obat-obatan
penyembuh gangguan kesehatan diakibatkan kegiatan merokok. Menurut majalah Forbes
edisi Maret 2009, Michael Bloomber, sang pemilik memiliki kekayaan sebesar 16 milyar
dollar, dan menjadi orang tersukses di amerika pada masa krisis moneter saat ini, kekayaan
tersebut termasuk dari penjualan obat-obat penghenti merokok.
Namun terlepas dari segala dana bantuan dan sikap pemerintah yang tergesa-gesa
dalam permasalahan industry rokok. Petani dan industry rokok kecil yang kembali menjadi
korban dalam hal ini. Contohnya di Kota Malang, dimana petugas bea cukai Malang, yang
selalu melakukan razia da penyitaan terhadap rokok rokok yang dikatakan illegal, dan
disertai penutupan pabrik rokok kecil. Kemudian yang menjadi permasalahan ialah, dimana
peran negara dalam menciptakan kesejahteraan warganya, yang justru lebih memihak pada
3 Ibid., Hal. 47
6
pihak korporaso seperti Bloomberg, apakah industry tembakau pada akhirnya hanya
dikuasai oleh pemilik modal, apakah petani tembakau dan pelaku industri rokok rumahan
merasakan kesejahteraan atau semakin tersiksa dengan kebijakan pemerintah ini?
1.2.
Rumusan Masalah
1. Apa pengaruh penerapan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) terhadap
industri rokok di Indonesia?
1.3.
Batasan Variabel
1. Variabel Independen: Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)
2. Variabel Dependen: Industri Rokok Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Studi Terdahulu
7
Dasar dasar atau temuan yang didapatkan dari penelitian yang sudah dilakukan
terdahulu, peneliti anggap perlu sebagai data pendukung. Data pendukung disini digunakan
untuk mendukung argumentasi peneliti terkait dampak penerapan Framework Convention on
Tobacco Control, dimana fokus dari penelitian terdahul dijadikan acuan dalam terkait dengan
masalah diatas. Berikut bebrapa peneilitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan
masalah yang diangkat oleh peneiliti.
No
.
Tahun
Peneliti
1
2011
2
2013
Thomas
Sunaryo
3
2013
Suryadi
Radjab
Masalah
Penelitian
Salamuddi Industri rokok
n
nasional sedang
Daeng, dkk menghadapi
tantangan besar,
baik impor
tembakau dan
rokok dari
luar negeri
meningkat dan
tekanan rezim
internasional
Temuan
Persaingan
industri rokok
telah melibatkan
banyak dan
kepentingan
yang kompleks
Makin ketatnya
regulasi industri
rokok
menyebabkan
perusahaan
multinasional
merambah pasar
negara negara
berkembang
Sejarah
Konsumen
tembakau dan
Tembakau di
rokok kretek
Indonesia 90%
menjadi bagian
menghisap
dalam kehidupan rokok kretek.
ekonomi, sosial, Rokok sudah
dan budaya
menjadi bagian
masyarakat di
sudah tidak bisa
Indonesia
terpisahkan dari
kehidupan
masyarakat
FCTC dijadikan World Health
rujukan dan
Organization
kewajiban untuk (WHO) memang
dijalankan
telah
negara negara
mengadopsi
yang kemudian
Framework
diadopsi dalam
Convention on
bentuk hukum
Tobacco Control
Hal
238
Penerbit
Variabel
yang
Terikat
Indonesia Persaingan
Bedikari
Industri
Rokok
Nasional
dan
Internasion
al
Dampak
FCTC
177
Serikat Industri
Kerakyat
Rokok
an
Indonesia
Indonesia Dampak
FCTC
284
Serikat Dampak
Kerakyat
FCTC
an
Implikasi
Indonesia
dibidang
dan
sosial,
Center
budaya,
For Law
dan
and
ekonomi
8
atau kebijakan
Implikasinya
terhadap industri
rokok nasional,
dimana semakin
ketatnya regulasi
dan pemasaran
rokok.
2.2.
(FCTC) dalam
World Health
Assembly ke-56
pada 2003.
Order
Studies
Kajian Teori
World System Theory:
World System Theory adalah cabang dari perspektif maxisme dalam hubungan
internasional. Bagi beberapa kalangan, dengan berakhirnya perang dingin, runtuhnya partai
komunis di Rusia dan di Eropa Timur, disertai dengan kemenangan “pasar bebas”
kapitalisme. Sudah menjadi bahasan umum imana ide Marx dan disiplin ilmunya sudah
dapat diamankan dan dihancurkan dari sejarah. Eksperimen besar komunisme sudah gagal.
Namun dengan semakin masifnya mekanisme pasar dalam setiap aspek kehidupan saat ini,
telah menjadi argument bahwa, thesis Marx perihal kapitalisme jauh lebih relevan saat ini
jika dibandingkan dengan zamannya. Terutama perihal analisisnya mengenai krisis
ekonomi kapitalis. Kaum kapitalis orthodox memprediksi bahwa sistm pasar bebas akan
maju menuju equilibrium atau titik keseimbangannya dan bisa stabil. Namun kenyataan
yang terjadi justru sebaliknya, krisis stok pasar 1987 dan krisis ekonomi asia 1997
membuktikan bahwa kapitalisme merupakan sistem yang tidak dapat memberikan
kesimbangan.4 Hal tersebut yang kemudian menjadi landasan bagi peneliti untuk
menggunakan perspektif Marxisme karena masih relefan digunakan terutama dalam
hubungan internasional, karena pemikiran pemikian marx yang masih relevan dengan
kondisi ekonomi politik global, disamping runtuhnya partai komunis di Uni Soviet dan
Eropa Timur. Analisis marxis dalam hubungan internasional digunakan untuk mencari aktor
aktor kapitalis yang bermain dibalik peristiwa peistiwa internasional.
4 John Baylis dan Steve Smith, 2001, “The Globalization of World Politics”, Oxford University Press, New York.
Hal. 214
9
Berawal dari teori Marxisme yang hanya fokus pada sistem produksi melalui
pembagian kelas, Immanuel Wallerstein mengembangkannya ke dalam dunia yang lebih
luas. Wallerstein mengemukakan pendapatnya mengenai bentuk dominasi oleh organisasi
internasional yang kemudian disebut oleh Wallerstein sendiri dengan nama World System.
Dalam World System Theory, Wallenstein menjelaskan bahwa imperialism adalah
tahapan puncak dalam proses kapitalisme. Mengutip pernyataan Lenin bahwa imperialism
Sumber: Immanuel Wallerstein, 2006, “World System Analysis”, Duke University Press, London
menjadi peringatan bagi kita terhadap dua hal yang menjadi bayangan sistem global
kedepannya. Yang pertama adalah kegiatan politik, internasional dan domestic dileburkan
dalam sistem perekonomian kapitalis global. Kedua adalah negara tidak lah menjadi aktor
tunggal dalam politik internasional, didalamnya masih terdapat kelas kelas sosial yang dapat
7
memberikan pengaruh signifikan dalam kapitalisme global.Wallenstein kemudian membagi
10
negara di dunia menjadi tiga bagianyang pertama negara: Core adalah negara-negara dunia
pertama atau negara maju yang telah berdiri sebelum Perang Dunia I terjadi. Negara tersebut
adalah negara yang memiliki sistem ekonomi kapitalisme, pemerintahan yang demokratis,
upah pekerja yang tinggi, mampu mengimpor bahan mentah dan mengeskpor barang hasil
industri, investasi yang tinggi dan jaminan kesejahteraan bagi rakyat. Yang kedua negara:
Semi Periphery adalah negara-negara dunia kedua yang berdiri setelah Perang Dunia I.
Negara tersebut adalah negara dengan sistem pemerintahan yang teradang otoriter meskipun
tida semua, mengekspor barang jadi dan bahan mentah serta mengimpor barang industri dan
bahan mentah. Yang ketiga negara:
Periphery adalah negara-negara dunia ketiga yang berdiri setelah Perang Dunia II.
Negara tersebut kebanyakan memiliki pemerintahan yang tidak demokratis, mengekspor
bahan mentah dan mengimpor barang hasil industri, upah pekerja dibawah etentuan upah
minimum regional, dan tidak ada layanan kesehatan ataupun jaminan kesejahteraan bagi
rakyat5
Negara semi periphery memegang peranan penting dalam sistem ekonomi dan
politik internasional. Negara-negara tersebut juga memegang peran penting dalam menjaga
stabilitas struktur politik dalam sistem internasional. Seperti halnya pada masa kolonialisme
dan imperialisme yang menerapkan sistem kapitalisme dan perdagangan bebas sehingga
menguntungkan negara penjajah, sistem kapitalisme ini juga menguntungkan negara maju
pada sistem ekonomi internasional antara negara core, semi periphery dan periphery.
Sehingga negara kaya menjadi semakin kaya dan negara miskin menjadi semakin miskin.
Bagi Wallerstein, bentuk dominan dari organisasi sosial yang ia sebut world system,
yang dalam sejarah kemudian terbagi menjadi dua yaitu world empires dan world economies.
Perbedaan antara world empires dan world economies adalah tentang kebijakan mengenai
distribusi sumber daya. Dalam rezim kapitalis global, menggunakan sentralisasi sistem
politik yang mana kekuatan dan kekuasaan digunakan untuk meritribusi sumber daya dari
negara pheripheral kedalam negara core.6
2.3.
Operasionalisasi Konsep
5 Immanuel Wallerstein, 2006, “World System Analysis”, Duke University Press, London, Hal. 25
6 Op.Cit. John Baylis dan Steve Smith, Hal. 206
11
Merujuk pada kasus dimana telah terjadi ratifikasi terhadap Framework Convention
on Tobacco Control (FCTC) yang diatur oleh WHO pada 21 Mei 2003, dan mulai berlaku
pada 27 Februari 2005. FCTC kemudian menjadi perjanjian internasional yang paling besar
keterlibatannya dalam sejarah PBB karena jumlah keterlibatannya mencapai 172 negara.
Pada awalnya, agenda global anti tembakau merupakan pelaksanaan dari proyek
prakarsa bebas tembakau (Tobacco Free Inisiative) yang diluncurkan WHO pada bulan Juli
1998. Proyek ini memberikan gambaran konkrit dari perubahan arah kebijakan WHO di
bawah kepemimpinan Gro Harlem Brundtland, yakni dominannya paradigma yang melihat
kesehatan publik (public health) bukan sebagai problem struktural (sosial ekonomi), namun
sebagai masalah hubungan individual antar manusia yang menimbulkan masalah kesehatan
bagi manusia lain.7
Salah satu hal sangat penting dalam pelaksanaan proyek bebas tembakau adalah
ketika WHO yang sejak awal pelaksanaan proyek telah didukung oleh korporasi-korporasi
farmasi besar dunia meletakkan landasan hukum internasional dalam memerangi tembakau
dengan lahirnya Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Dimana dalam salah satu pasal FCTC, yaitu pasal 14 berbunyi “Demand reduction
measures concerning tobacco dependence and cessation” dan Pasal 22 yang merupakan
rujukan dari Pasal 14.2 (d) Konvensi tersebut. Pasal ini dijadikan sebagai dasar hukum
internasional dalam pengajuan NRT sebagai obat-obatan penting yang dianjurkan WHO
(WHO Model List of Essential Medicines) yang diajukan pada bulan Maret 2009.8
Di Indonesia kebijakan kontrol tembakau tidak pernah menjadi prioritas kebijakan
kesehatan publik pemerintah sebelum tahun 1990an. Menteri Kesehatan di masa Suharto
menyatakan secara terbuka bahwa pemerintah tidak memiliki niatan untuk mengatur
tembakau dalam paying hukum. Konsekuensinya, industri tembakau tumbuh subur di masa
Suharto. Pergantian kepemimpinan dari Suharto ke B.J. Habibie di tengah kekacauan politik
dan ekonomi pada Mei 1998 membawa angin perubahan dalam isu kontrol tembakau.
Pemerintahan BJ Habibie mendirikan Forum Komunikasi Nasional dibawah naungan Badan
Obat dan Makanan, Kementrian Kesehatan sebagai wadah konsolidasi antara LSM dan staf
7 Op.Cit, Salamuddin Daeng, dkk, hal. 58 - 59
8 Ibid. hal. 71
12
pemerintah dalam isu kontrol tembakau. Lebih lanjut, regulasi pemerintah pertama untuk
kontrol tembakau ditetapkan tahun 1999.
Selain makin ketatnya regulasi kontrol tembakau, disisi lain perusahaan perusahaan
nasional yang bergerak pada industri rokok mulai dikuasai oleh asing satu per satu. PT Philip
Morris Indonesia perusahaan afiliasi dari Phillip Morris Inc. juga telah mengakuisisi
kepemilikan saham PT. HM. Sampoerna Tbk perusahaan rokok kretek milik keluarga
Sampoerna atau Lim Seeng Tee dari Surabaya sebesar 98,18% pada bulan Mei 2005. Selain
itu BAT masih menguasai saham Bentoel sebesar 85,55%, meskipun setelah menjual
sebagian sahamnya kepada UBS AG London Branch, perusahaan asing yang lain pada 25
Agustus 2011. Sebelumnya British American Tobacco menguasai 99,74% kepemilikan
Bentoel setelah mengambil alih 85,13 persen saham Bentoel Internasional Investama dari PT
Rajawali Corpora dan para pemegang saham lainnya senilai US$494 juta pada juni 2009.9
Sedangkan saat ini banyak negara maju berkebijakan melindungi industri tembakau
dan pasar rokok dalam negerinya. Ambil contoh Negara Amerika Serikat sebagai promotor
FCTC belum juga meratifikasinya. Negara ini telah mensubsidi industri tembakau dalam
negerinya dari tahun 1995 hingga 2010 sebesar $US 1.138.558.705. Bahkan dengan
disahkannya Pasal 907 (a) (1) (A) “Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act”
atau Tobacco Control Act) oleh Presiden Obama pada tanggal 22 Juni 2009, bermakna
bahwa Amerika serikat melarang impor rokok beraroma dan perasa (flavored cigarettes)
termasuk rokok kretek dari Indonesia, namun anehnya rokok beraroma menthol produk
dalam negeri mereka masih dijial bebas. Aksi diskriminatif sepihak pemerintah Amerika
Serikat tersebut membuat Indonesia berhenti mengekspor rokok kretek ke negara tersebut
sebanyak 267.308.800 batang atau US$ 6,451 juta.
Hal ini kemudian menimbulkan sebuah pertanyaan, bagaimana bisa Amerika Serikat
yang berlaku sebagai pelopor terbentuknya sebuah rezim internasional untuk mengkontrol
tembakau dengan wujud Framework Convention on Tobacco Control, kemudian tidak
meratifikasi isi perjanjian tersebut, dan justru semakin memproteksi industri rokok mereka,
bahkan mengeluarkan kebijakan yang sebenarnya diskriminatif dengan melarang masuknya
9 Op.Cit. Thomas Sunaryo, Hal. 48
13
rokok beraroma dan perasa. Apakah FCTC memang dibentuk atas sebuah landasan
kesehatan belaka, atau memiliki sebuah motif didalamnya?
Oleh karenanya sudut pandang perspektif marxisme sangat relevan digunakan dalam
kasus ini. Terutama jika melihat industri rokok di Indonesia, jika merujuk pada teori
Wallenstein pada World System Theory, dimana dalam rezim kapitalis global, menggunakan
sentralisasi sistem politik yang mana kekuatan dan kekuasaan digunakan untuk meritribusi
sumber daya dari negara pheripheral kedalam negara core.
Dalam kasus di Indonesia, retribusi sumber daya dari negara phripheral kedalam
negara core, memang tidak terjadi secara langsung, nmaun terjadi melalui perpanjangan
tangan negara kapitalis yaitu perusahaan perusahaan besar dunia yang bergerak disektro
industri rokok. Penguasaan pasar rokok Indonesia ditambah pengambilalihan saham
perusahaan rokok nasional.
Hal tersebut semakin diperparah dengan kebijakan diskriminatif Amerika Serikat
tentang pelarangan impor rokok berasa dan beraroma. Serta regulasi dari FCTC yang
mengikat negara negara berkembang untuk membatasi industri tembakau mereka. Hal ini
sangat mencekik bagi para pelaku industri rokok kecil, dimana dengan adanya perangkat
hokum penamanaman modal dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor:
200/PMK.04/2008 dan turunannya berupa regulasi Bea dan Cukai yang mengharuskan
semua perusahaan rokok memiliki gudang/brak berukuran minimal 200 meter persegi telah
berhasil membuka peluang pencaplokkan perusahaan besar rokok kretek serta merontokkan
industri kecil rokok kretek (produksi kurang dari 300 juta batang rokok per tahun) di negeri
ini. Menurut Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), jumlah
produsen rokok kecil menurun drastis dari 3.000 buah menjadi 1.330 atau 55.6%.10
10 Ibid. Hal. 45
14
*Sumber: Thomas Sunaryo, Kretek Pusaka Nusantara
Sedangkan yang terjadi di Kota Malang sekarang, telah ada regulasi yang ketat
mengenai pengendalian industri rokok. Dimana pada April 2009, Kantor Bea dan Cukai
Malang mencabut izin sebanyak 157 pabrik dan membekukan 56 pabrik rokok.
Sebelumnya, tahun 2007, sebanyak 20 perusahaan rokok skala kecil (golongan 3) di Malang
terancam mendapatkan sanksi berupa pencabutan izin operasional dan hukuman pidana
karena melanggar tiga aturan cukai rokok. kemunculan dan kehilangan pabrik rokok selama
2004-2008, dengan kecenderungan bahwa pencabutan izin usaha mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Tahun 2008, mencapai 1801 izin usaha yang dicabut.11 Sedangkan saat
ini tercatat, jumlah pabrik rokok yang ada di Malang hanya tinggal 40 pabrik di 2014 ini
dari sebelumnya yang mencapai 387 pabrik pada 2009.
Penyebab banyaknya industri rokok di Malang yang tutup disebabkan oleh beberapa
hal. Mulai dari melambungnya harga pita cukai rokok, naiknya harga bahan baku seperti
cengkeh dan tembakau hingga regulasi pemerintah. Bukan malah melindungi atau
mengembangkan industri rokok dalam negeri, regulasi pemerintah justru seperti mematikan
usaha rokok nasional. Dimana regulasi yang dinilai memberatkan pengusaha industri rokok
kecil, salah satunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 200 Tahun 2008. Salah satu
item peraturan itu, sebuah pabrik rokok yang memiliki luas area pabrik di bawah 200 meter
persegi harus tutup.
11 “Izin Ratusan Pabrik Rokok di Malang Dicabut", Diakses dari Tempo.co https://m.tempo.co/read/news/
2009/04/21/090171675/izin-ratusan-pabrik-rokok-di-malang-dicabut
15
2.4.
Hipotesa
Berdasarkan data yang sudah ada dan konsep yang digunakan maka peneliti dapat
mengambil sebuah hipotesa dimana, Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)
adalah instrument politis yang digunakan oleh aktor aktor internasional dalam
melanggengkan usaha dan ekspansi pasar rokok dan farmasi, dan sarana dalam melakukan
ekspansi pasar di negara negara berkembang terutama di Indonesia.
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif. Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan pengumpulan data melalui studi litelatur. Selain itu juga
melakukan kegiatan wawancara serta observasi di wilayah Kabupaten Kediri, karena dikenal
sebagai daerah penghasil tembakau dan terkenal sebagai salah satu daerah penghasil rokok
16
terbesar di Indonesia, yaitu merk Gudang Garam, sehingga peneliti menganggap Kabupaten
Kediri menjadi daerah yang dapat dijadikan sampel.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang dambil untuk penelitian ini adalah data primer dan sekunder yang
dikumpulkan dari narasumber dan dari berbagai literatur melalui kajian pustaka. Data
tersebut berupa data kualitatif. Narasumber yang akan diwawancarai adalah:
1. Pelaku Industri Rokok
2. Pekerja Perusahaan Rokok
3. Masyarakat Sekitar
4. Pejabat Instansi Pemerintahan yang Berwenang
3.3 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Kualitatif, dengan menggunakan teknik
wawancara dan studi literatur. Data yang diperoleh dari hasil wawancara akan diolah sesuai
indikator yang sudah ditentukan.
3.4. Analisis Data
Setelah data yang dikumpulkan terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data
dengan penyusunan secara sistematis dan logis. Teknik pengelolaan data menggunakan
analisis hasil wawancara terhadap pelaku industi rokok dan petani tembakau (sample) yang
bersangkutan mengenai dampak yang dirasakan dengan adanya regulasi pengaturan industri
rokok ataupun tembakau, baik oleh pemerintah ataupun oleh WHO. Hasil analisis ini
digunakan untuk menjawab rumusan masalah yang ada, agar muncul data baru menganai
16
dampak dari kebijakan Framework Convention on Tobacco Control.
3.5 Penarikan Kesimpulan
Setelah proses analisis, dilakukan proses sintesis dengan menarik korelasi rumusan
masalah, tujuan penulisan serta pembahasan yang dilakukan. Selanjutnya ditarik kesimpulan
yang bersifat umum kemudian direkomendasikan beberapa hal sebagai rekomendasi atas
sebuah permasalahan dan juga untuk peneliti-peneliti selanjutnya.
17
Daftar Pustaka
Baylis, John dan Steve Smith, 2001, “The Globalization of World Politics”, Oxford University
Press, New York
Daeng, Salamuddin, dkk, 2011,“Kriminalisasi Berujung Monopoli”, Indonesia Berdikari, Jakarta
Sunaryo, Thomas, 2013, Kretek Pusaka Nusantara, Serikat Kerakyatan Indonesia, Jakarta.
Wallerstein, Immanuel, 2006, “World System Analysis”, Duke University Press, London
18
Arifin Zainul, “Ratusan Pabrik Rokok di Malang Gulung Tikar”, Diakses dari:
http://bisnis.liputan6.com/read/2056288/ratusan-pabrik-rokok-di-malang-gulung-tikar
“Izin Ratusan Pabrik Rokok di Malang Dicabut", Diakses dari Tempo.co
https://m.tempo.co/read/news/2009/04/21/090171675/izin-ratusan-pabrik-rokok-di-malangdicabut
TERHADAP INDUSTRI ROKOK DI INDONESIA,
Dosen Pengampu: Reza Triarda, S.Sos., MA
Disusun Oleh:
Agustinus Cahya Eka Putra
155120401111068
Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
Malang
2017
2
Kata Pengantar
Merdeka!!!
Sebelumnya saya ingin menghaturkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena tanpa kehendak dan restunya, tentunya proposal penelitian ini tidak akan bisa
terselesaikan. Rasa terimakasih juga kepada keluarga dan kawan kawan saya yang mendukung
proses saya hingga sejauh ini.
Serta rasa terimakasih terbesar saya kepada Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
(GmnI) yang telah mengenalkan saya kepada masyarakat dan supaya tidak buta terhadap realitas
sosial yang ada didalam masyarakat kita. Sehingga saya bisa mengkritisi realitas realitas yang
ada di masyarakat saat ini. Terutama perihal industri rokok Indonesia yang saat ini semakin
terjepit dalam pasar bebas dan sistem internasional yang menindas.
Penelitian ini saya persembahkan kepada pelaku industri rokok rumahan dan para petani
tembakau yang masih meraskan penderitaan dan penindasan oleh oknum oknum pemerintah
serta institusi internasional yang telah mencipatakan sebuah rezim yang diskriminatif dan
menindas.
Sebab tanpa adanya massa Marhaen, maka gerakanmu akan menjadi steril!
Karena itu lenyapkan steriliteit dalam gerakan mahasiswa! Nyalakan terus obor
kesetiaan kepada kaum Marhaen! Agar semangat Marhaenisme bernyala nyala
murni! Dan agar murni tidak terbakar mati
-Bung Karno-
Merdeka!!!
3
Daftar Isi
Kata Pengantar..............................................................................................................................1
Daftar Isi.........................................................................................................................................2
BAB I...............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN..........................................................................................................................3
1.1.
Latar Belakang................................................................................................................3
1.2.
Rumusan Masalah...........................................................................................................5
1.3.
Batasan Variabel.............................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................................6
2.1.
Kajian Teori.....................................................................................................................6
World System Theory:.................................................................................................................6
BAB III.........................................................................................................................................14
METODELOGI PENELITIAN.................................................................................................14
3.1. Lokasi Penelitian...............................................................................................................14
3.2. Jenis dan Sumber Data.....................................................................................................14
3.3 Metode Pengumpulan Data..............................................................................................14
3.4. Analisis Data......................................................................................................................14
3.5 Penarikan Kesimpulan......................................................................................................15
Daftar Pustaka.............................................................................................................................16
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Industri tembakau, lebih khusus lagi industri rokok kretek, boleh dikatakan
merupakan salah satu industri pertama yang lahir dan berkembang di negeri ini. Usia
industri ini telah lebih dari seratus tahun, setara dengan usia kegiatan eksploitasi migas di
tanah air. Ia gfrcberkembang sangat pesat sejak abad ke-19 dan telah menghasilkan produksi
yang diekspor ke negara-negara Eropa pada masa itu. Awal mula industri ini berasal dari
daerah Kudus, Jawa Tengah, yang kemudian menyebar ke daerah-daerah lainnya di Pulau
Jawa. Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, rokok kretek telah menjadi komoditas
ekspor yang utama, selain ekspor hasil kebun, hasil tambang dan sumber daya alam lainnya.
1
Namun saat ini industri rokok kretek Indonesia dihadapkan kepada permasalahan
permasalahan besar. Permasalahan pertama adalah hilangnya produsen rokok kretek
rumahan karena kalah bersaing dengan perusahaan besar. Memang Indonesia adalah surga
bagi produsen rokok kretek, dimana 92% perokok mengkonsumsi rokok kretek. Namun,
dengan adanya perangkat hokum penamanaman modal dan Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Nomor: 200/PMK.04/2008 dan turunannya berupa regulasi Bea dan Cukai yang
mengharuskan semua perusahaan rokok memiliki gudang/brak berukuran minimal 200
meter persegi telah berhasil membuka peluang pencaplokkan perusahaan besar rokok kretek
serta merontokkan industry kecil rokok kretek (produksi kurang dari 300 juta batang rokok
per tahun) di negeri ini.2 Menurut Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia
(Formasi), jumlah produsen rokok kecil menurun drastis dari 3.000 buah menjadi 1.330 atau
55.6%
Selain itu, perdagangan bebas saat ini benar-benar sudah disiapkan untuk
kepentingan kekuatan modal besar dunia untuk menguasai pasar domestik dimanapun di
penjuru bumi. Setelah perang dunia pertama berakhir, Persatuan Bangsa-bangsa (PBB)
1 Salamuddin Daeng, dkk, 2011,“Kriminalisasi Berujung Monopoli”, Indonesia Berdikari, Jakarta, Hal. 1
2 Thomas Sunaryo, 2013, Kretek Pusaka Nusantara, Serikat Kerakyatan Indonesia, Jakarta. Hal. 54
4
5
seolah menjadi regulator dunia bagi semua peri kehidupan umat manusia termasuk dalam
hal kesehatan. Pada tahun 2005, WHO (World Health Organization), badan kesehatan PBB
mengeluarkan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau konvensi
pengendalian tembakau, konvensi internasional bagi kesehatan yang pertama.
Pada tahun 2013, sudah 174 negara meratifikasi konvensi tersebut. Indonesia, telah
meratifikasi beberapa poin seperti pengurangan dan pembatasan iklan rokok serta
pembuatan area khusus perokok, namun belum sepenuhnya meratifikasi semua poin dalam
konvensi tersebut mengingat betapa besar dampak sosial ekonomi budaya bagi bangsa
pengembang tradisi kretek ini.3 Namun nampaknya melalui beberapa pihak di pemerintahan,
tidak lama lagi Indonesia akan sepenuhnya tunduk terhadap konvensi usulan Negara
amerika serikat tersebut. Seperti apa yang disampaikan oleh anggota legislatif, Wakil Ketua
Komisi IX dari Fraksi Partai Demokrat, Nova Riyanti Yusuf pada sebuah media massa
nasional: “Indonesia mesti segera menandatangani dan merevisi konvensi tersebut.”
Sedangkan dari pihak eksekutif pemerintahan, Ibu Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi
menyatakan hal yang serupa. Kelahiran Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 Tahun 2012
tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif menunjukkan keseriusan
pemerintah untuk cepat atau lambat akan meratifikasi seluruh poin konvensi FCTC.
Bloomberg LP yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan tembakau dan
mendorong penghentian penggunaan tembakau dan meningkatkan penjualan obat-obatan
penyembuh gangguan kesehatan diakibatkan kegiatan merokok. Menurut majalah Forbes
edisi Maret 2009, Michael Bloomber, sang pemilik memiliki kekayaan sebesar 16 milyar
dollar, dan menjadi orang tersukses di amerika pada masa krisis moneter saat ini, kekayaan
tersebut termasuk dari penjualan obat-obat penghenti merokok.
Namun terlepas dari segala dana bantuan dan sikap pemerintah yang tergesa-gesa
dalam permasalahan industry rokok. Petani dan industry rokok kecil yang kembali menjadi
korban dalam hal ini. Contohnya di Kota Malang, dimana petugas bea cukai Malang, yang
selalu melakukan razia da penyitaan terhadap rokok rokok yang dikatakan illegal, dan
disertai penutupan pabrik rokok kecil. Kemudian yang menjadi permasalahan ialah, dimana
peran negara dalam menciptakan kesejahteraan warganya, yang justru lebih memihak pada
3 Ibid., Hal. 47
6
pihak korporaso seperti Bloomberg, apakah industry tembakau pada akhirnya hanya
dikuasai oleh pemilik modal, apakah petani tembakau dan pelaku industri rokok rumahan
merasakan kesejahteraan atau semakin tersiksa dengan kebijakan pemerintah ini?
1.2.
Rumusan Masalah
1. Apa pengaruh penerapan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) terhadap
industri rokok di Indonesia?
1.3.
Batasan Variabel
1. Variabel Independen: Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)
2. Variabel Dependen: Industri Rokok Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Studi Terdahulu
7
Dasar dasar atau temuan yang didapatkan dari penelitian yang sudah dilakukan
terdahulu, peneliti anggap perlu sebagai data pendukung. Data pendukung disini digunakan
untuk mendukung argumentasi peneliti terkait dampak penerapan Framework Convention on
Tobacco Control, dimana fokus dari penelitian terdahul dijadikan acuan dalam terkait dengan
masalah diatas. Berikut bebrapa peneilitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan
masalah yang diangkat oleh peneiliti.
No
.
Tahun
Peneliti
1
2011
2
2013
Thomas
Sunaryo
3
2013
Suryadi
Radjab
Masalah
Penelitian
Salamuddi Industri rokok
n
nasional sedang
Daeng, dkk menghadapi
tantangan besar,
baik impor
tembakau dan
rokok dari
luar negeri
meningkat dan
tekanan rezim
internasional
Temuan
Persaingan
industri rokok
telah melibatkan
banyak dan
kepentingan
yang kompleks
Makin ketatnya
regulasi industri
rokok
menyebabkan
perusahaan
multinasional
merambah pasar
negara negara
berkembang
Sejarah
Konsumen
tembakau dan
Tembakau di
rokok kretek
Indonesia 90%
menjadi bagian
menghisap
dalam kehidupan rokok kretek.
ekonomi, sosial, Rokok sudah
dan budaya
menjadi bagian
masyarakat di
sudah tidak bisa
Indonesia
terpisahkan dari
kehidupan
masyarakat
FCTC dijadikan World Health
rujukan dan
Organization
kewajiban untuk (WHO) memang
dijalankan
telah
negara negara
mengadopsi
yang kemudian
Framework
diadopsi dalam
Convention on
bentuk hukum
Tobacco Control
Hal
238
Penerbit
Variabel
yang
Terikat
Indonesia Persaingan
Bedikari
Industri
Rokok
Nasional
dan
Internasion
al
Dampak
FCTC
177
Serikat Industri
Kerakyat
Rokok
an
Indonesia
Indonesia Dampak
FCTC
284
Serikat Dampak
Kerakyat
FCTC
an
Implikasi
Indonesia
dibidang
dan
sosial,
Center
budaya,
For Law
dan
and
ekonomi
8
atau kebijakan
Implikasinya
terhadap industri
rokok nasional,
dimana semakin
ketatnya regulasi
dan pemasaran
rokok.
2.2.
(FCTC) dalam
World Health
Assembly ke-56
pada 2003.
Order
Studies
Kajian Teori
World System Theory:
World System Theory adalah cabang dari perspektif maxisme dalam hubungan
internasional. Bagi beberapa kalangan, dengan berakhirnya perang dingin, runtuhnya partai
komunis di Rusia dan di Eropa Timur, disertai dengan kemenangan “pasar bebas”
kapitalisme. Sudah menjadi bahasan umum imana ide Marx dan disiplin ilmunya sudah
dapat diamankan dan dihancurkan dari sejarah. Eksperimen besar komunisme sudah gagal.
Namun dengan semakin masifnya mekanisme pasar dalam setiap aspek kehidupan saat ini,
telah menjadi argument bahwa, thesis Marx perihal kapitalisme jauh lebih relevan saat ini
jika dibandingkan dengan zamannya. Terutama perihal analisisnya mengenai krisis
ekonomi kapitalis. Kaum kapitalis orthodox memprediksi bahwa sistm pasar bebas akan
maju menuju equilibrium atau titik keseimbangannya dan bisa stabil. Namun kenyataan
yang terjadi justru sebaliknya, krisis stok pasar 1987 dan krisis ekonomi asia 1997
membuktikan bahwa kapitalisme merupakan sistem yang tidak dapat memberikan
kesimbangan.4 Hal tersebut yang kemudian menjadi landasan bagi peneliti untuk
menggunakan perspektif Marxisme karena masih relefan digunakan terutama dalam
hubungan internasional, karena pemikiran pemikian marx yang masih relevan dengan
kondisi ekonomi politik global, disamping runtuhnya partai komunis di Uni Soviet dan
Eropa Timur. Analisis marxis dalam hubungan internasional digunakan untuk mencari aktor
aktor kapitalis yang bermain dibalik peristiwa peistiwa internasional.
4 John Baylis dan Steve Smith, 2001, “The Globalization of World Politics”, Oxford University Press, New York.
Hal. 214
9
Berawal dari teori Marxisme yang hanya fokus pada sistem produksi melalui
pembagian kelas, Immanuel Wallerstein mengembangkannya ke dalam dunia yang lebih
luas. Wallerstein mengemukakan pendapatnya mengenai bentuk dominasi oleh organisasi
internasional yang kemudian disebut oleh Wallerstein sendiri dengan nama World System.
Dalam World System Theory, Wallenstein menjelaskan bahwa imperialism adalah
tahapan puncak dalam proses kapitalisme. Mengutip pernyataan Lenin bahwa imperialism
Sumber: Immanuel Wallerstein, 2006, “World System Analysis”, Duke University Press, London
menjadi peringatan bagi kita terhadap dua hal yang menjadi bayangan sistem global
kedepannya. Yang pertama adalah kegiatan politik, internasional dan domestic dileburkan
dalam sistem perekonomian kapitalis global. Kedua adalah negara tidak lah menjadi aktor
tunggal dalam politik internasional, didalamnya masih terdapat kelas kelas sosial yang dapat
7
memberikan pengaruh signifikan dalam kapitalisme global.Wallenstein kemudian membagi
10
negara di dunia menjadi tiga bagianyang pertama negara: Core adalah negara-negara dunia
pertama atau negara maju yang telah berdiri sebelum Perang Dunia I terjadi. Negara tersebut
adalah negara yang memiliki sistem ekonomi kapitalisme, pemerintahan yang demokratis,
upah pekerja yang tinggi, mampu mengimpor bahan mentah dan mengeskpor barang hasil
industri, investasi yang tinggi dan jaminan kesejahteraan bagi rakyat. Yang kedua negara:
Semi Periphery adalah negara-negara dunia kedua yang berdiri setelah Perang Dunia I.
Negara tersebut adalah negara dengan sistem pemerintahan yang teradang otoriter meskipun
tida semua, mengekspor barang jadi dan bahan mentah serta mengimpor barang industri dan
bahan mentah. Yang ketiga negara:
Periphery adalah negara-negara dunia ketiga yang berdiri setelah Perang Dunia II.
Negara tersebut kebanyakan memiliki pemerintahan yang tidak demokratis, mengekspor
bahan mentah dan mengimpor barang hasil industri, upah pekerja dibawah etentuan upah
minimum regional, dan tidak ada layanan kesehatan ataupun jaminan kesejahteraan bagi
rakyat5
Negara semi periphery memegang peranan penting dalam sistem ekonomi dan
politik internasional. Negara-negara tersebut juga memegang peran penting dalam menjaga
stabilitas struktur politik dalam sistem internasional. Seperti halnya pada masa kolonialisme
dan imperialisme yang menerapkan sistem kapitalisme dan perdagangan bebas sehingga
menguntungkan negara penjajah, sistem kapitalisme ini juga menguntungkan negara maju
pada sistem ekonomi internasional antara negara core, semi periphery dan periphery.
Sehingga negara kaya menjadi semakin kaya dan negara miskin menjadi semakin miskin.
Bagi Wallerstein, bentuk dominan dari organisasi sosial yang ia sebut world system,
yang dalam sejarah kemudian terbagi menjadi dua yaitu world empires dan world economies.
Perbedaan antara world empires dan world economies adalah tentang kebijakan mengenai
distribusi sumber daya. Dalam rezim kapitalis global, menggunakan sentralisasi sistem
politik yang mana kekuatan dan kekuasaan digunakan untuk meritribusi sumber daya dari
negara pheripheral kedalam negara core.6
2.3.
Operasionalisasi Konsep
5 Immanuel Wallerstein, 2006, “World System Analysis”, Duke University Press, London, Hal. 25
6 Op.Cit. John Baylis dan Steve Smith, Hal. 206
11
Merujuk pada kasus dimana telah terjadi ratifikasi terhadap Framework Convention
on Tobacco Control (FCTC) yang diatur oleh WHO pada 21 Mei 2003, dan mulai berlaku
pada 27 Februari 2005. FCTC kemudian menjadi perjanjian internasional yang paling besar
keterlibatannya dalam sejarah PBB karena jumlah keterlibatannya mencapai 172 negara.
Pada awalnya, agenda global anti tembakau merupakan pelaksanaan dari proyek
prakarsa bebas tembakau (Tobacco Free Inisiative) yang diluncurkan WHO pada bulan Juli
1998. Proyek ini memberikan gambaran konkrit dari perubahan arah kebijakan WHO di
bawah kepemimpinan Gro Harlem Brundtland, yakni dominannya paradigma yang melihat
kesehatan publik (public health) bukan sebagai problem struktural (sosial ekonomi), namun
sebagai masalah hubungan individual antar manusia yang menimbulkan masalah kesehatan
bagi manusia lain.7
Salah satu hal sangat penting dalam pelaksanaan proyek bebas tembakau adalah
ketika WHO yang sejak awal pelaksanaan proyek telah didukung oleh korporasi-korporasi
farmasi besar dunia meletakkan landasan hukum internasional dalam memerangi tembakau
dengan lahirnya Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Dimana dalam salah satu pasal FCTC, yaitu pasal 14 berbunyi “Demand reduction
measures concerning tobacco dependence and cessation” dan Pasal 22 yang merupakan
rujukan dari Pasal 14.2 (d) Konvensi tersebut. Pasal ini dijadikan sebagai dasar hukum
internasional dalam pengajuan NRT sebagai obat-obatan penting yang dianjurkan WHO
(WHO Model List of Essential Medicines) yang diajukan pada bulan Maret 2009.8
Di Indonesia kebijakan kontrol tembakau tidak pernah menjadi prioritas kebijakan
kesehatan publik pemerintah sebelum tahun 1990an. Menteri Kesehatan di masa Suharto
menyatakan secara terbuka bahwa pemerintah tidak memiliki niatan untuk mengatur
tembakau dalam paying hukum. Konsekuensinya, industri tembakau tumbuh subur di masa
Suharto. Pergantian kepemimpinan dari Suharto ke B.J. Habibie di tengah kekacauan politik
dan ekonomi pada Mei 1998 membawa angin perubahan dalam isu kontrol tembakau.
Pemerintahan BJ Habibie mendirikan Forum Komunikasi Nasional dibawah naungan Badan
Obat dan Makanan, Kementrian Kesehatan sebagai wadah konsolidasi antara LSM dan staf
7 Op.Cit, Salamuddin Daeng, dkk, hal. 58 - 59
8 Ibid. hal. 71
12
pemerintah dalam isu kontrol tembakau. Lebih lanjut, regulasi pemerintah pertama untuk
kontrol tembakau ditetapkan tahun 1999.
Selain makin ketatnya regulasi kontrol tembakau, disisi lain perusahaan perusahaan
nasional yang bergerak pada industri rokok mulai dikuasai oleh asing satu per satu. PT Philip
Morris Indonesia perusahaan afiliasi dari Phillip Morris Inc. juga telah mengakuisisi
kepemilikan saham PT. HM. Sampoerna Tbk perusahaan rokok kretek milik keluarga
Sampoerna atau Lim Seeng Tee dari Surabaya sebesar 98,18% pada bulan Mei 2005. Selain
itu BAT masih menguasai saham Bentoel sebesar 85,55%, meskipun setelah menjual
sebagian sahamnya kepada UBS AG London Branch, perusahaan asing yang lain pada 25
Agustus 2011. Sebelumnya British American Tobacco menguasai 99,74% kepemilikan
Bentoel setelah mengambil alih 85,13 persen saham Bentoel Internasional Investama dari PT
Rajawali Corpora dan para pemegang saham lainnya senilai US$494 juta pada juni 2009.9
Sedangkan saat ini banyak negara maju berkebijakan melindungi industri tembakau
dan pasar rokok dalam negerinya. Ambil contoh Negara Amerika Serikat sebagai promotor
FCTC belum juga meratifikasinya. Negara ini telah mensubsidi industri tembakau dalam
negerinya dari tahun 1995 hingga 2010 sebesar $US 1.138.558.705. Bahkan dengan
disahkannya Pasal 907 (a) (1) (A) “Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act”
atau Tobacco Control Act) oleh Presiden Obama pada tanggal 22 Juni 2009, bermakna
bahwa Amerika serikat melarang impor rokok beraroma dan perasa (flavored cigarettes)
termasuk rokok kretek dari Indonesia, namun anehnya rokok beraroma menthol produk
dalam negeri mereka masih dijial bebas. Aksi diskriminatif sepihak pemerintah Amerika
Serikat tersebut membuat Indonesia berhenti mengekspor rokok kretek ke negara tersebut
sebanyak 267.308.800 batang atau US$ 6,451 juta.
Hal ini kemudian menimbulkan sebuah pertanyaan, bagaimana bisa Amerika Serikat
yang berlaku sebagai pelopor terbentuknya sebuah rezim internasional untuk mengkontrol
tembakau dengan wujud Framework Convention on Tobacco Control, kemudian tidak
meratifikasi isi perjanjian tersebut, dan justru semakin memproteksi industri rokok mereka,
bahkan mengeluarkan kebijakan yang sebenarnya diskriminatif dengan melarang masuknya
9 Op.Cit. Thomas Sunaryo, Hal. 48
13
rokok beraroma dan perasa. Apakah FCTC memang dibentuk atas sebuah landasan
kesehatan belaka, atau memiliki sebuah motif didalamnya?
Oleh karenanya sudut pandang perspektif marxisme sangat relevan digunakan dalam
kasus ini. Terutama jika melihat industri rokok di Indonesia, jika merujuk pada teori
Wallenstein pada World System Theory, dimana dalam rezim kapitalis global, menggunakan
sentralisasi sistem politik yang mana kekuatan dan kekuasaan digunakan untuk meritribusi
sumber daya dari negara pheripheral kedalam negara core.
Dalam kasus di Indonesia, retribusi sumber daya dari negara phripheral kedalam
negara core, memang tidak terjadi secara langsung, nmaun terjadi melalui perpanjangan
tangan negara kapitalis yaitu perusahaan perusahaan besar dunia yang bergerak disektro
industri rokok. Penguasaan pasar rokok Indonesia ditambah pengambilalihan saham
perusahaan rokok nasional.
Hal tersebut semakin diperparah dengan kebijakan diskriminatif Amerika Serikat
tentang pelarangan impor rokok berasa dan beraroma. Serta regulasi dari FCTC yang
mengikat negara negara berkembang untuk membatasi industri tembakau mereka. Hal ini
sangat mencekik bagi para pelaku industri rokok kecil, dimana dengan adanya perangkat
hokum penamanaman modal dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor:
200/PMK.04/2008 dan turunannya berupa regulasi Bea dan Cukai yang mengharuskan
semua perusahaan rokok memiliki gudang/brak berukuran minimal 200 meter persegi telah
berhasil membuka peluang pencaplokkan perusahaan besar rokok kretek serta merontokkan
industri kecil rokok kretek (produksi kurang dari 300 juta batang rokok per tahun) di negeri
ini. Menurut Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), jumlah
produsen rokok kecil menurun drastis dari 3.000 buah menjadi 1.330 atau 55.6%.10
10 Ibid. Hal. 45
14
*Sumber: Thomas Sunaryo, Kretek Pusaka Nusantara
Sedangkan yang terjadi di Kota Malang sekarang, telah ada regulasi yang ketat
mengenai pengendalian industri rokok. Dimana pada April 2009, Kantor Bea dan Cukai
Malang mencabut izin sebanyak 157 pabrik dan membekukan 56 pabrik rokok.
Sebelumnya, tahun 2007, sebanyak 20 perusahaan rokok skala kecil (golongan 3) di Malang
terancam mendapatkan sanksi berupa pencabutan izin operasional dan hukuman pidana
karena melanggar tiga aturan cukai rokok. kemunculan dan kehilangan pabrik rokok selama
2004-2008, dengan kecenderungan bahwa pencabutan izin usaha mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Tahun 2008, mencapai 1801 izin usaha yang dicabut.11 Sedangkan saat
ini tercatat, jumlah pabrik rokok yang ada di Malang hanya tinggal 40 pabrik di 2014 ini
dari sebelumnya yang mencapai 387 pabrik pada 2009.
Penyebab banyaknya industri rokok di Malang yang tutup disebabkan oleh beberapa
hal. Mulai dari melambungnya harga pita cukai rokok, naiknya harga bahan baku seperti
cengkeh dan tembakau hingga regulasi pemerintah. Bukan malah melindungi atau
mengembangkan industri rokok dalam negeri, regulasi pemerintah justru seperti mematikan
usaha rokok nasional. Dimana regulasi yang dinilai memberatkan pengusaha industri rokok
kecil, salah satunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 200 Tahun 2008. Salah satu
item peraturan itu, sebuah pabrik rokok yang memiliki luas area pabrik di bawah 200 meter
persegi harus tutup.
11 “Izin Ratusan Pabrik Rokok di Malang Dicabut", Diakses dari Tempo.co https://m.tempo.co/read/news/
2009/04/21/090171675/izin-ratusan-pabrik-rokok-di-malang-dicabut
15
2.4.
Hipotesa
Berdasarkan data yang sudah ada dan konsep yang digunakan maka peneliti dapat
mengambil sebuah hipotesa dimana, Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)
adalah instrument politis yang digunakan oleh aktor aktor internasional dalam
melanggengkan usaha dan ekspansi pasar rokok dan farmasi, dan sarana dalam melakukan
ekspansi pasar di negara negara berkembang terutama di Indonesia.
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif. Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan pengumpulan data melalui studi litelatur. Selain itu juga
melakukan kegiatan wawancara serta observasi di wilayah Kabupaten Kediri, karena dikenal
sebagai daerah penghasil tembakau dan terkenal sebagai salah satu daerah penghasil rokok
16
terbesar di Indonesia, yaitu merk Gudang Garam, sehingga peneliti menganggap Kabupaten
Kediri menjadi daerah yang dapat dijadikan sampel.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang dambil untuk penelitian ini adalah data primer dan sekunder yang
dikumpulkan dari narasumber dan dari berbagai literatur melalui kajian pustaka. Data
tersebut berupa data kualitatif. Narasumber yang akan diwawancarai adalah:
1. Pelaku Industri Rokok
2. Pekerja Perusahaan Rokok
3. Masyarakat Sekitar
4. Pejabat Instansi Pemerintahan yang Berwenang
3.3 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Kualitatif, dengan menggunakan teknik
wawancara dan studi literatur. Data yang diperoleh dari hasil wawancara akan diolah sesuai
indikator yang sudah ditentukan.
3.4. Analisis Data
Setelah data yang dikumpulkan terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data
dengan penyusunan secara sistematis dan logis. Teknik pengelolaan data menggunakan
analisis hasil wawancara terhadap pelaku industi rokok dan petani tembakau (sample) yang
bersangkutan mengenai dampak yang dirasakan dengan adanya regulasi pengaturan industri
rokok ataupun tembakau, baik oleh pemerintah ataupun oleh WHO. Hasil analisis ini
digunakan untuk menjawab rumusan masalah yang ada, agar muncul data baru menganai
16
dampak dari kebijakan Framework Convention on Tobacco Control.
3.5 Penarikan Kesimpulan
Setelah proses analisis, dilakukan proses sintesis dengan menarik korelasi rumusan
masalah, tujuan penulisan serta pembahasan yang dilakukan. Selanjutnya ditarik kesimpulan
yang bersifat umum kemudian direkomendasikan beberapa hal sebagai rekomendasi atas
sebuah permasalahan dan juga untuk peneliti-peneliti selanjutnya.
17
Daftar Pustaka
Baylis, John dan Steve Smith, 2001, “The Globalization of World Politics”, Oxford University
Press, New York
Daeng, Salamuddin, dkk, 2011,“Kriminalisasi Berujung Monopoli”, Indonesia Berdikari, Jakarta
Sunaryo, Thomas, 2013, Kretek Pusaka Nusantara, Serikat Kerakyatan Indonesia, Jakarta.
Wallerstein, Immanuel, 2006, “World System Analysis”, Duke University Press, London
18
Arifin Zainul, “Ratusan Pabrik Rokok di Malang Gulung Tikar”, Diakses dari:
http://bisnis.liputan6.com/read/2056288/ratusan-pabrik-rokok-di-malang-gulung-tikar
“Izin Ratusan Pabrik Rokok di Malang Dicabut", Diakses dari Tempo.co
https://m.tempo.co/read/news/2009/04/21/090171675/izin-ratusan-pabrik-rokok-di-malangdicabut