Sosiologi Kriminalitas Sosiologi Kriminalitas Sosiologi Kriminalitas

Sosiologi Kriminalitas

Masyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk kemajuan
teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan urbanisasi memunculkan
banyak masalah sosial. Usaha adaptasi atau penyesuaian diri
terhadap masyarakat modern sangat kompleks itu menjadi tidak
mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi menyebabkan banyak
kebimbangan, kebingungan, kecemasan dan konflik, baik konflik
eksternal yang terbuka, maupun yang internal dalam batin sendiri
yang tersembunyi dan tertutup sifatnya. Sebagai dampaknya orang
lalu mengembangkan pola tingkah-laku menyimpang dari normanorma umum, dengan jalan berbuat semau sendiri demi
keuntungan sendiri dan kepentingan pribadi, kemudian
mengganggu dan merugikan pihak lain.
Dalam perkembangan masyarakat seperti ini, pengaruh budaya di
luar sistem masyarakat sangat mempengaruhi perilaku anggota
masyarakat itu sendiri, terutama anak-anak, lingkungan, khususnya
lingkungan sosial, mempunyai peranan yang sangat besar terhadap
pembentukan perilaku anak-anak, termasuk perilaku jahat yang
dilakukan oleh anak-anak.
Beberapa waktu terakhir ini, banyak terjadi kejahatan atau perilaku
jahat di masyarakat. Dari berbagai mass media, baik elektronik

maupun cetak, kita selalu mendengar dan mengetahui adanya
kejahatan atau perilaku jahat yang dilakukan oleh anggota
masyarakat. Pelaku kejahatan atau pelaku perilaku jahat di
masyarakat tidak hanya dilakukan oleh anggota masyarakat yang
sudah dewasa, tetapi juga dilakukan oleh anggota masyarakat yang
masih anak-anak atau yang biasa kita sebut sebagai kejahatan anak
atau perilaku jahat anak.
Fakta menunjukkan bahwa semua tipe kejahatan anak itu semakin
bertambah jumlahnya dengan semakin lajunya perkembangan
industrialisasi dan urbanisasi. Kejahatan yang dilakukan oleh anakanak pada intinya merupakan produk dari kondisi masyarakatnya
dengan segala pergolakan sosial yang ada di dalamnya. Kejahatan
anak ini disebut sebagai salah satu penyakit masyarakat atau
penyakit sosial. Penyakit sosial atau penyakit masyarakat adalah
segala bentuk tingkah laku yang di anggap tidak sesuai, melanggar
norma-norma umum, adat-istiadat, hukum formal , atau tidak bisa
diintegrasikan dalam pola tingkah laku umum.
Kejahatan dalam segala usia termasuk remaja dan anak-anak dalam
dasawarsa lalu, belum menjadi masalah yang terlalu serius untuk

dipikirkan, baik oleh pemerintah, ahli kriminologi , penegak hukum,

praktisi sosial maupun masyarakat umumnya.
Perilaku jahat anak-anak dan remaja merupakan gejala sakit
(patologis) secara sosial pada anak-anak yang disebabkan oleh
salah satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu
mengembangkan bentuk tingkah-laku yang menyimpang. Pengaruh
sosial dan kultural memainkan peranan yang besar dalam
pembentukan atau pengkondisian tingkah-laku kriminal anak-anak
dan remaja. Perilaku anak-anak dan remaja ini menunjukkan
tanda-tanda kurang atau tidak adanya konformitas terhadap normanorma sosial.
Anak-anak dan remaja yang melakukan kejahatan itu pada
umumnya kurang memiliki kontrol-diri, atau justru
menyalahgunakan kontrol-diri tersebut, dan suka menegakkan
standar tingkah-laku sendiri, di samping meremehkan keberadaan
orang lain. Kejahatan yang mereka lakukan itu pada umumnya
disertai unsur-unsur mental dengan motif-motif subyektif, yaitu
untuk mencapai satu objek tertentu dengan disertai kekerasan.
Pada umumnya anak-anak dan remaja tersebut sangat egoistis, dan
suka sekali menyalahgunakan dan melebih-lebihkan harga dirinya.
Adapun motif yang mendorong mereka melakukan tindak kejahatan
itu antara lain adalah :

1.Untuk memuaskan kecenderungan keserakahan.
2.Meningkatkan agresivitas dan dorongan seksual.
3.Salah-asuh dan salah-didik orang tua, sehingga anak tersebut
menjadi manja dan lemah mentalnya.
4.Hasrat untuk berkumpul dengan kawan senasib dan sebaya, dan
kesukaan untuk meniru-niru.
5.Kecenderungan pembawaan yang patologis atau abnormal.
6.Konflik batin sendiri, dan kemudian menggunakan mekanisme
pelarian diri serta pembelaan diri yang irrasional.
Pakar kriminologi Van S. Lambroso dengan teori Lambroso, yang
menyebutkan sebab-sebab kejahatan seorang hanya dapat
ditemukan dalam bentuk-bentuk fisik dan psikis serta ciri, sifat dari
tubuh seseorang. Sebab-sebab kejahatan menjadi faktor utama
dalam proses terbentuknya tindak pidana baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Untuk mencari faktor yang lebih esensial dari bentuk tindak
pidana/ kejahatan yang dilakukan secara sempurna kedudukan ini
dapat diartikan dengan faktor kejahatan yang timbul secara
ekstern (faktor luar) maupun intern (faktor dalam) dari pelaku


tindak pidana kejahatan seseorang. Secara implisit berbagai faktor
dapat dijadikan sebagai sistem untuk merumuskan kejahatan pada
umumnya ataupun kejahatan anak pada khususnya. Berbeda
dengan seseorang anak atau pun dalam melakukan kejahatan,
tampak bahwa faktor-faktor apapun yang di dapat pada diri anak
dan remaja yang jelas semuanya tidak terstruktur maupun disikapi
terlebih dahulu.
Masyarakat yang baik di masa yang akan mendatang bergantung
dan diawali pada perilaku anak-anak dan remaja sekarang sebagai
generasi penerus. Anak-anak atau pun remaja yang baik dalam
berperilaku sangat menunjang terbentuknya sistem sosial
masyarakat. Oleh karena itu permasalahan perilaku jahat anakanak dan remaja perlu segera mendapat ekstra perhatian demi
terbentuknya sistem sosial masyarakat yang baik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang, maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.
Jenis-jenis kriminalitas yang dilakukan anak-anak, remaja,
maupun dewasa
2.

Faktor-faktor yang menyebabkan perilaku kriminalitas
3.
Dampak dari kriminalitas
4.
Solusi dari kriminaliatas
Bab II
Kriminalitas
A. Definisi Kriminalitas
Kriminalitas atau tindak kriminal segala sesuatu yang melanggar
hukum atau sebuah tindak kejahatan. Pelaku kriminalitas disebut
seorang kriminal. Biasanya yang dianggap kriminal adalah seorang
pencuri, pembunuh, perampok, atau teroris. Walaupun begitu
kategori terakhir, teroris, agak berbeda dari kriminal karena
melakukan tindak kejahatannya berdasarkan motif politik atau
paham.
Arti hukum menurut Immanuel Kant sendiri yaitu : “noch suchen
die yuristen eine definition zu ihrem begriffe von recht”. (L.j Van
Apeldoorn,Pengantar Ilmu Hukum,Pradnya
Paramita,Jakarta,1981,hlm.13)
Selama kesalahan seorang kriminal belum ditetapkan oleh seorang

hakim, maka orang ini disebut seorang terdakwa. Sebab ini

merupakan asas dasar sebuah negara hukum: seseorang tetap
tidak bersalah sebelum kesalahannya terbukti. Pelaku tindak
kriminal yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan harus
menjalani hukuman disebut sebagai terpidana atau narapidana.
Dalam mendefinisikan kejahatan, ada beberapa pandangan
mengenai perbuatan apakah yang dapat dikatakan sebagai
kejahatan :
-Secara kriminologi yang berbasis sosiologis kejahatan merupakan
suatu pola tingkah laku yang merugikan masyarakat (dengan kata
lain terdapat korban) dan suatu pola tingkah laku yang
mendapatkan reaksi sosial dari masyarakat. Reaksi sosial tersebut
dapat berupa reaksi formal, reaksi informal, dan reaksi non-formal.
-Secara yuridis, kejahatan berarti segala suatu tindakan atau
tingkah laku manusia yang melanggar undang-undang atau
ketentuan yang berlaku dan diakui dapat dipidana secara legal,dan
diatur dalam hukum pidana.
-Dari segi kriminologi,setiap tindakan Dari segi kriminologi setiap
tindakan atau perbuatan tertentu yang tindakan disetujui oleh

masyarakat diartikan sebagai kejahatan. Ini berarti setiap
kejahatan tidak harus dirumuskan terlebih dahulu dalam suatu
peraturan hukum pidana. Jadi setiap perbuatan yang anti
sosial,merugikan serta menjengkelkan masyarakat,secara
kriminologi dapat dikatakan sebagai kejahatan
-Arti kejahatan dilihat dengan kaca mata hukum, mungkin adalah
yang paling mudah dirumuskan secara tegas dan konvensional.
Menurut hokum kejahatan adalah perbuatan manusia yang
melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam
kaidah hokum; tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang
ditetapkan dalam kaidah hokum,dan tidak memenuhi atau melawan
perintah-perintah yang telah ditetapakan dalam kaidah hokum yang
berlaku dalam masyarakat bersangkutan bertempat tinggal.
(Soedjono. D,S.H.,ilmu Jiwa Kejahatan,Amalan, Ilmu Jiwa Dalam
Studi Kejahatan,Karya Nusantara,Bandung,1977,hal 15).
Dari segi apa pun dibicarakan suatu kejahatan,perlu diketahui
bahwa kejahatan bersifat relative. Dalam kaitan dengan sifat
relatifnya kejahatan, G. Peter Hoefnagels menulis sebagai berikut :
(Marvin E Wolfgang et. Al., The Sociology of Crime and
Delinquency,Second Edition,Jhon Wiley,New York,1970,hlm. 119.)

We have seen that the concept of crime is highly relative in
commen parlance. The use of term “crime” in respect of the same
behavior differs from moment to moment(time), from group to

group (place) and from context to (situation).
Relatifnya kejahatan bergantung pada ruang,waktu,dan siapa yang
menamakan sesuatu itu kejahatan. “Misdad is benoming”, kata
Hoefnagels; yang berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat
oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai
penjahat. (J.E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi,Alumni,
Bandung, 1979,hlm.67.)
Dalam konteks itu dapat dilakukan bahwa kejahatan adalah suatu
konsepsi yang bersifat abstrak. Abstrak dalam arti ia tidak dapat
diraba dan tidak dapat dilihat,kecuali akibatnya saja.
I. Pengertian Penjahat dan Jenis-jenisnya
Orang yang bagaimana yang dimaksudkan sebagai seorang
penjahat? Di dalam pikiran umum,perkataan “penjahat” berarti
mereka yang dimusuhi masyarakat. Di dalam arti inilah Trade
menyatakan bahwa para penjahat adalah sampah masyarakat.
Berdasarkan tradisi hokum (peradilan) yang demokratis bahkan

eorang yang mengaku telah melakukan suatu kejahatan ataupun
tidak dipandang sebagai seorang penjahat sampai kejahatannya
dibuktikan menurut proses peradilan yang telah ditetapkan.
Maka sesuai dengan itu, seorang penjaga penjara tidak akan dapat
dibenarkan menurut hokum kalau menerima sesorang yang tidak
pernah resmi dinyatakan bersalah dan dihukum,dan para pejabat
Negara tidak akan dapat secara benar-benar menghilangkan hakhak sipil kepada orang-orang yang tidak pernah dinyatakan
bersalah mengenai suatu kejahatan. Begitu pula halnya,para ahli
kriminologi tidak dapat secara benar-benar dapat dipertanggung
jawabkan menetapkan sebagai penjahat kepada orang-orang yang
bertingkah laku secara antisocial,tetapi tidak melanggar suatu
undang-undang pidana.(Ibid,hal 34,35).
Di Indonesia secara tegas tidak dijumpai orang yang disebut
penjahat; dalam peruses peradilan pidana,kita hanya mengenal
secara resmi istilah-istilah tersangka,tertuduh,terdakwa dan
terhukum atau terpidana. Sedangkan kata-kata seperti
penjahat,bandit,bajingan hanya dalam kata sehari-hari yang tidak
mendasar pada ketentuan hokum.
Adapun tipe atau jenis-jenis menurut penggolongan para ahlinya
adalah sebagai berikut ;


1. Penjahat dari kecendrungan(bukan karena bakat).
2. Penjahat karena kelemahan(karena kelemahan jiwa sehingga
sulit menghindarkan diri untuk tidak berbuat).
3. Penjahat karena hawa nafsu yang berlebihan ; dan putus asa ;
penjahat terdorong oleh harga diri atau keyakinan.
Pembagian menurut Seelig :
1. Penjahat karena segan bekerja.
2. Penjahat terhadap harta benda karena lemah kekuatan bathin
untuk menekan godaan.
3. Penjahat karena nafsu menyarang.
4. Penjahat karena tidak dapat menahan nafsu seks.
5. Penjahat karena mengalami krisis kehidupan
6. Penjahat terdorong oleh pikirannya yang masih primitive.
7. Penjahat terdorong oleh keyakinannya.
8. Penjahat karena kurang disiplin kemasyarakatan.
9. Penjahat campuran ( gabungan dari sifat-sifat yang terdapat
pada butir 1 s/d 8 )
Pembagian menurut Capelli
1. Kejahtan karena factor-faktor psikopathologis, yang pelakunya

terdiri dari
a) Orang-orang yang sakit jiwa.
b) Orang-orang yang berjiwa abnormal (sekalipun tidak sakit jiwa).
2. Kejahatan karena factor-faktor cacad atau kemunduran kekuatan
jiwa dan raganya,yang dilakukan oleh :
a) Orang-orang yang menderita cacad setelah usia lanjut.
b) Orang-orang menderita cacad badaniah atau rohaniah sejak
masa kanak-kanak
sehingga sukar menyesuaikan diri di tengah masyarakatnya.
3. Kejahatan karena factor-faktor social yang pelakunya terdiri
dari :
Penjahat kebiasaan.
a) Penjahat kesempatan,karena menderita kesulitan ekonomi atau
kesulitan fisik.

b) Penjahat yang karena pertama kali pernah berbuat kejahatan
kecil yang sifatnya kebetulan dan kemudian berkembang
melakukan kejahatan yang lebih besar dan lebih sering.
c) Orang-orng yang turut serta pada kejahatan kelompok seperti,
pencurian-pencurian di pabrik dan lain sebagainya.
Bila kita perhatikan kategori jenis-jenis pelanggar hokum atau
disebut dalam bahasa inggris Criminal , yang sementara kita alih
bahaskan dengan penjahat ; maka terdapat diantarnya penjahat
yang dalam melakukan kejahatannya dengan:
1. Kesadaran yang memang sudah merupakan pekerjaannya
(professional criminal). Yang dapat dilakukan oleh perorangan
seperti penjahat-penjahat bayaran, yang diupah untuk menganiaya
atau bahkan membunuh. Atau dilakukan secara kelompok dan
teratur seperti dalam bentuk kejahatan yang diorganisir (beda
misalnya Donald R Cressey “Criminal Organization”,Heiniman
Educational Books,London,1972)
2. Kesadaran bahwa tindakan tersebut harus dilakukan sekalipun
merupakan pelanggaran hokum ; yaitu penjahat yang melakukan
kejahatan dengan ditimbang-timbang atau dengan persiapan
terlebih dahulu.
3. Kesadaran bahwa pelaku tidak diberi kesempatan oleh
masyarakat atau pekerjaan dalam masyarakat tak bias memberi
hidup,sehingga memilih menjadi resdidivisi.
II. Teori-Teori Terkait Kriminalitas
Terdapat kesulitan untuk menjelaskan kriminalitas anak-anak
maupun remaja dari perspektif teoritis secara ketat, oleh karena itu
lebih cenderung untuk melihat kriminalitas anak-anak maupun
remaja sebagai bentuk perilaku menyimpang (deviant behavior) di
masyarakat. Jika melihat dari sisi penyimpangan (deviant), maka
setidaknya terdapat tiga teori utama yang dapat menjelaskan
fenomena ini yaitu: struktural fungsional terutama anomie dari
Durkheim dan Merton, interaksi simbolik terutama asosiasi

diferensiasi dari Sutherland, danpower-confl ict terutama dari
Young dan Foucault.
(a) Struktural Fungsional
Struktural fungsional melihat penyimpangan terjadi pembentukan
normal dan nilai-nilai yang dipaksakan oleh institusi dalam
masyarakat. Penyimpangan dalam hal ini tidak lah terjadi secara
alamiah namun terjadi ketika pemaksaan atas seperangkat aturan
main tidak sepenuhnya diterima oleh orang atau sekelompok orang,
dengan demikian penyimpangan secara sederhana dapat dikatakan
sebagai ketidaknormalan secara aturan, nilai, atau hukum. Salah
satu teori utama yang dapat menjelaskan mengenai penyimpangan
ini adalah teori anomie dari Durkheim dan dari Merton.
Durkheim secara tegas mencoba meyakinkan bahwa terdapat
hubungan terbalik antara integrasi sosial dan penaturan sosial
dengan angka bunuh diri. Sekurangnya terdapat dua dimensi dari
ikatan sosial (social bond), yakni integrasi sosial dan aturan sosial
(social regulation) yang masing-masing independen, atau dalam3
istilah lain, besaran integrasi tidak menentukan besaran
pengaturan, demikian pula sebaliknya, namun keduanya
mempengaruhi ikatan sosial. Integrasi sosial dapat diterjemahkan
sebagai keikutsertaan seseorang dalam kelompok dan institusi di
mana aturan sosial merupakan pengikat kesetiaan terhadap norma
dan nilai-nilai dalam masyarakat. Mereka yang sangat terintegrasi
masuk dalam kategori ‘altruism’, dan yang sangat tidak terinterasi
dalam kategori ‘egoism’. Demikian pula mereka yang sangat taat
aturan masuk dalam kategori ‘fatalism’ dan mereka yang sangat
tidak taat masuk dalam kategori ‘anomie’.
Teori anomie dari Durkheim dikembangkan oleh Merton sebagai
bentuk alienasi diri dari masyarakat di mana diri tersebut
membenturkan diri dengan norma-norma dan kepentingan yang
ada di masyarakat. Dalam menjelaskan hal ini, Merton
memfokuskan pada dua variabel, yakni tujuan (goals) dan
‘legitimate means’ ketimbang integrasi sosial dan pengaturan
sosial. Dua dimensi ini menentukan derajat adaptasi masyarakat
sesuai dengan tujuan-tujuan kultural (apa yang diinginkan oleh
masyarakat mengenai kehidupan ideal) dan cara-cara yang dapat
diterima di mana seorang individual dapat menuju tujuan-tujuan
kultural. Merton sendiri membagi derajat adaptasi dengan lima
kombinasi, yakni ‘conformity’, ‘innovation’, ‘ritualism’, ‘retreatism’,
dan ‘rebellion’.

(b) Interaksi Simbolik
Dalam pandangan interaksi simbolik, penyimpangan datang dari
individu yang mempelajari perilaku meyimpang dari
orang lain.Dalam hal ini, individu tersebut dapat mempelajari
langsung dari penyimpang lainnya atau membenarkan perilakunya
berdasarkan tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh orang
lain. Sutherland mengemukakan mengenai teori ‘differential
association’, di mana Sutherland menyatakan bahwa seorang
pelaku kriminal mempelajari tindakan tersebut dan perilaku
menyimpang dari pihak lain, bukan berasal dari dirinya sendiri.
Dalam istilah lain, seorang tidak lah menjadi kriminal secara alami.
Tindakan mempelajari tindakan kriminal sama dengan berbagai
tindakan atau perilaku lain yang dipelajari seseorang dari orang
lain. Sutherland mengemukakan beberapa point utama dari
teorinya, seperti ide bahwa belajar datang dari adanya interaksi
antara individu dan kelompok dengan menggunakan komunikasi
simbol-simbol dan gagasan. Ketika simbol dan gagasan mengenai
penyimpangan lebih disukai, maka individu tersebut cenderung
untuk melakukan tindakan penyimpangan tersebut. Dengan
demikian, tindakan kriminal, sebagaimana perilaku lainnya,
dipelajari oleh individu, dan tindakan ini dilakukan karena
dianggap lebih menyenangkan ketimbang perilaku lainnya
(c) Power-Conflict
Satu hal yang harus diperjelas, meskipun teori ini didasarkan atas
pandangan Marx, namun Marx sendiri tidak pernah menulis
tentang perilaku menyimpang. Teori ini melihat adanya manifestasi
power dalam suatu institusi yang menyebabkan terjadinya
penyimpangan, di mana institusi tersebut memiliki kemampuan
untuk mengubah norma, status, kesejahteraan dan lain sebagainya
yang kemudian berkonflik dengan individu. Meskipun Marx secara5
pribadi tidak menulis mengenai perilaku menyimpang, namun Marx
menulis mengenai alienasi. Young (wikipedia t.t.b) secara khusus
menyatakan bahwa dunia modern dapat dikatakan sangat toleran
terhadap perbedaan namun sangat takut terhadap konflik sosial,
meskipun demikian, dunia modern tidak menginginkan adanya
penyimpang di antara mereka.
Kriminalitas Remaja: teori yang relevan
Melihat tiga teori yang ada, maka penulis cenderung untuk memilih
teori struktural-fungsional, terutama yang berasal dari Merton
sebagai teori yang dapat menjelaskan mengenai kenakalan remaja.
Secara khusus Merton memang membahas mengenai deviant yang

merupakan bentuk lanjut dari adanya disintegrasi seorang individu
dalam masayarakat.
Bagi Merton, munculnya tindakan menyimpang yang dilakukan
oleh individu adalah ketidakmampuan individu tersebut untuk
bertindak sesuai dengan nilai normatif yang ada di masyarakat.
Secara umum dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang adalah
bentuk anomie dalam masyarakat. Anomie terjadi dalam
masyarakat ketika ada keterputusan antara hubungan norma
kultural dan tujuan dengan kapasitas terstruktur secara sosial dari
anggota kelompok untuk bertindak sesuai dengan norma kultural
(lihat Ritzer dan Goodman 2007).Secara umum Merton
menghubungkan antara kultur, struktur dan anomie. Kultur
didefinikasikan sebagai seperangkan nilai normatif yang
terorganisir yang menentukan perilaku bersama anggota
masyarakat. Dalam hal ini, kultur menjadi buku panduan yang
digunakan oleh semua anggota masyarakat untuk berperilaku.
Struktur didefinisikan sebagai seperangkat hubungan sosial yang
terorganisir yang melibatkan seluruh anggota masyarakat untuk
terlibat di dalamnya. Sedangkan anomie didefinisikan sebagai
sebuah keterputusan hubungan antara struktur dan kultur yang
terjadi jika ada suatu keretakan atau terputusnya hubungan antara
norma kultural dan tujuan-tujuan dengan kapasitas yang
terstruktur secara sosial dari anggota dalam kelompok masyarakat
untuk bertindak sesuai dengan nilai kultural tersebut (Merton,
1968: 216).
Perilaku menyimpang dalam hal ini dilihat sebagai
ketidakmampuan seorang individu untuk bertindak sesuai dengan
norma, tujuan dan cara-cara yang diperbolehkan dalam
masyarakat. Dalam hal ini, integrasi yang dilakukan oleh individu
tersebut tidak lah bersifat menyeluruh. Tentu saja hal ini tidak
berarti bahwa setiap orang dapat berintegrasi sepenuhnya. Dapat
dikatakan bahwa tidak ada masyarakat yang terintegrasi secara
penuh, di mana Merton melihat bahwa integrasi yang terjadi di
masyarakat tidak lah sama baik secara kualitas maupun kuantitas
(Maliki 2003). Dalam analisa fungsionalnya, Merton melihat bahwa
motif-motif dalam integrasi tidak selalu membawa motif yang
diinginkan (intended motif), namun juga motif-motif yang tidak
diinginkan (unintended motif). Adanya fungsi manifes dan laten
dalam integrasi berarti bahwa integrasi menyebabkan adanya
pihak yang mengalami disintegrasi, atau dalam bahasa yang lebih
kasar, integrasi justru memiliki pengaruh besar atas terjadinya

disintegrasi.
Pandangan ini tentu saja membawa konsekuensi yang lebih besar:
anomie yang terjadi di masyarakat, yang berujung dengan7
terjadinya penyimpangan, adalah ‘efek samping’ atau motif yang
tidak diinginkan (unintended motif) dari integrasi dalam
masyarakat. Merton membedakan antara fungsi dan disfungsi. Bagi
Merton, fungsi adalah seluruh konsekuensi yang terlihat dan
berguna bagi adaptasi atau pengaturan dari sistem yang telah
ada,sedangkan disfungsi merupakan konsekuensi yang terlihat
yang mengurangi adaptasi atau pengaturan dalam satu sistem
(Merton, 1968:105). Selain membedakan antara fungsi dan
disfungsi, Merton juga membedakan antara fungsi manifes dan
fungsi laten. Fungsi manifest didefinisikan sebagai seluruh
konsekuensi obkektif yang berpengaruh pada pengaturan atau
adaptasi dari suatu sistem yang diinginkan dan diakui oleh seluruh
bagian sistem itu, sedangkan fungsi manifest adalah kebalikannya,
yakni konsekuensi objektif yang berpengaruh pada penaturan dan
adaptasi dari satu sistem yang tidak diinginkan dan tidak akui
(Merton, 1968:105)
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang
yang terjadi di kalangan remaja merupakan adanya konflik antara
norma-norma yang berlaku di masyarakat dengan cara-cara dan
tujuan-tujuan yang dilakukan oleh individu. Oleh karena itu, Merton
membagi keadaan ini dalam lima kategori, yaitu:
1. ‘Conformity’ atau individu yang terintegrasi penuh dalam
masyarakat baik yang tujuan dan cara-caranya ‘benar dalam
masyarakat’
2. ‘Innovation’ atau individu yang tujuannya benar, namun caracara yang dipergunakannya tidak sesuai dengan yang diinginkan
dalam masyarakat.
3. ‘Ritualism’ atau individu yang salah secara tujuan namun caracara yang dipergunakannya dapat dibenarkan.
4. ‘Retreatism’ atau individu yang salah secara tujuan dan salah
berdasarkan cara-cara yang dipergunakan.
5.‘Rebellion’ atau individu yang meniadakan tujuan-tujuan dan
cara-cara yang diterima dengan menciptakan sistem baru yang
menerima tujuan-tujuan dan cara-cara baru.

Dalam hal ini Merton memberikan contoh yang sangat baik dalam
melihat perilaku menyimpang dalam masyarakat berupa tindak
kriminal. Karena dibesarkan dalam lingkungan Amerika, Merton
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Menurut Merton,
Amerika memberikan setiap warganya ‘the American Dream’, di
mana Amerika memberikan kebebasan setiap warganya untuk
memperoleh kesempatan dan kesejahteraan, di mana hal ini
menjadi motivasi kultural setiap orang Amerika, yakni untuk
mewujudkan cita-citanya.
Merton melihat adanya kesenjangan antara apa yang diinginkan
dan diharapkan oleh masyarakat atas anggotanya dengan apa yang
sesungguhnya dicapai oleh warga masyarakat. Jika struktur sosial
ternyata tidak seimbang dalam memberikan kesempatan bagi
setiap warga masyarakat dan mencegah sebagian besar dari
mereka untuk mencapai mimpi mereka, maka sebagian dari mereka
akan mengambil langkah yang tidak sesuai dengan cara yang
diinginkan, yakni dengan melakukan tindakan kriminal untuk
mewujudkan ‘mimpi’ tersebut (lihat Merton 1968). Merton
mencontohkan beberapa tindakan yang mungkin diambil oleh
mereka, terutama dengan menjadi subkultur penyimpang, seperti
pengguna obat-obatan, anggota gang, atau pemabuk berat.
Seperti yang kita ketahui saat ini.Kriminalitas ada di manamana.Tapi ada itu kriminalitas?Apa penyebabnya?Mungkin kita
bias meluangkan waktu untuk bias membaca tulisan ini agar kita
tahu masalah sosial yang ada di tengah-tengah
masyarakat,kriminalitas.

Noach melihat krimanalitas dari dua sisi, yaitu
i. Sisi Perbuatannya
Dilihat dari sisi perbuatannya, kriminalitas dapat dikelompokkan
lagi ke dalam dua kelompok yaitu:
a. Cara Perbuatan itu dilakukan, kelompok ini dapat dibagi
menjadi:

· Perbuatan dilakukan dengan cara si korban mengetahui baik
perbuatannya maupun pelakunya. Tidak menjadi masalah apakah si
korban sadar bahwa itu adalah suatu tindak pidana atau bukan.
Misalnya dalam hal penganiayaan, penghinaan, perampokan,
penipuan, dan delik seksual. Di samping itu terdapat pula delik
yang dilakukan sedemikian rupa sehingga si korban tidak
mengetahui baik perbuatannya maupun maupun pelakunya pada
saat perbuatan itu dilakukan seperti penggelapan, penadahan,
pencurian, pemalsuan, dan peracunan
· Perbuatan dilakukan dengan menggunakan sarana seperti bahan
kimia, perlengkapan, dan sebaginya atau tanpa sarana
· Perbuatan dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau
dilakukan dengan “biasa”.
b. Benda hukum yang dikenai atau menjadi obyek delik misal
kejahatan terhadap nyawa, kejahatan terhadap kekuasaan umum,
dan lain sebagainya.
ii.Sisi Pelakunya
Dilihat dari sisi pelakunya, dapat dibagi menurut motif si pelaku,
mengapa melakukan kejahatan, dan dari sifat pelaku sendiri.
Lombroso mengklasifikasi penjahat sebagai berikut:
i. Penjahat pembawaan (born criminal), yaitu penjahat yang dilihat
dari ciri-ciri tubuhnya
(stigmata) karena atavisme (degenerasi) lalu menjadi jahat.
ii.Penjahat karena sakit jiwa seperti idiot, imbesil, melankoli,
epilepsi, histeri, dementia, pellagra, dan pemabuk
iii. Penjahat karena dorongan hati panas (passion) seperti
membunuh istri simpanan suaminya
iv. Penjahat karena kesempatan yang dapat dibagi menjadi:

a. Penjahat bukan sebenarnya (pseudo criminal) yaitu mereka yang
melakukan tindak pidana karena keadaan yang sangat melukai hati
secara luar biasa dan mereka yang melakukan tindak pidana hanya
karena tindakan teknis, tanpa menyangkut suatu nilai moral atau
norma, misalnya pelanggaran lalu lintas, dsb.
b. Penjahat karena kebiasaan, penjahat ini pada saat lahir normal,
namun sejak masa kanak-kanak dihadapkan pada pengaruh
lingkungan yang jahat, akhirnya kebiasaan itu menjadi watak yang
menyimpang dari anggota masyarakat normal.
v.Kriminoloid, merupakan peralihan antara penjahat pembawaan
dan penjahat karena kebiasaan, yaitu mereka yang baru pada
keadaan kurang baik yang ringan-ringan saja telah terlibat dalam
tindak pidana
Dalam klasifikasinya, Lombroso menggunakan kriteria psikis, fisik,
dan lingkungan
Garfalo, membuat klasifikasi sebagai berikut:
i. Pembunuh
ii.Penjahat agresif
iii. Penjahat karena kurang kejujuran, dan
iv. Penjahat karena dorongan hati panas atau karena ketamakan
Aschaffenburg membagi penjahat menjadi:
i. Penjahat karena kebetulan, yaitu mereka yang melakukan tindak
pidana karena culpa
ii.Penjahat karena pengaruh keadaan, yaitu mereka yang karena
pengaruh tiba-tiba dengan segera berakibat dia melakukan
kejahatan

iii. Penjahat karena kesempatan, yaitu mereka yang karena ada
kesempatan terbuka secara kebetulan, lalu melakukan tindak
pidana
iv. Penjahat kambuhan (residivis), yaitu mereka yang berulangulang melakukan kejahatan, baik kejahatan semacam maupun tidak
v. Penjahat karena kebiasaan, yaitu mereka yang secara teratur
melakukan kejahatan
vi. Penjahat professional, mereka yang secara teratur melakukan
kejahatan secara aktif dan sikap hidupnya memang diarahkan
kepada kejahatan
Abrahamsen membagi penjahat menjadi:
i. Penjahat sesat,
Penjahat karena situasi tertentu, kebetulan, dan karena pengaruh
orang lain
ii. Penjahat kronis
· Penjahat karena penyimpangan organis atau fungsional tubuh
maupun jiwa
· Penjahat sesat yang kronis yaitu mereka sering kali terlibat dalam
suatu situasi, kronis, karena pengaruh orang lain.
· Penjahat neurotik, dan mereka yang bertindak di bawah pengaruh
dorongan di dalam dirinya
· Penjahat dengan watak neurotis, jika penjahat neurotik banyak
dilihat dari tingkah lakunya, maka penjahat dengan watak neurotis
dilihat dari watak kepribadiannya
· Penjahat dengan pertumbuhan nurani yang kurang baik
(superego)

Gruhle membagi penjahat menjadi:
i. Penjahat karena kecenderungan (bukan bakat):
· Aktif: mereka yang mempunyai kehendak untuk berbuat jahat
· Pasif: mereka yang tidak merasa keberatan terhadap
dilakukannya tindak pidana, tetapi tidak begitu kuat berkehendak
sebagai kelompok yang aktif, delik bagi mereka ini merupakan
jalan keluar yang mudah untuk mengatasi kesulitan.
ii. Penjahat karena kelemahan
Mereka yang baik karena situasi sulit, keadaan darurat maupun
keadaan yang cukup baik, melakukan kejahatan, bukan karena
mereka berkemauan, melainkan karena tidak punya daya tahan
dalam dirinya untuk tidak berbuat jahat.
iii. Penjahat Karena hati panas
Mereka yang karena pengaruh sesuatu tidak dapat mengendalikan
dirinya juga karena putus asa lalu berbuat jahat.
iv. Penjahat karena keyakinan
Mereka yang menilai normanya sendiri lebih tinggi daripada norma
yang berlaku di dalam masyarakat
Capeli membagi penjahat menurut faktor terjadinya kejahatan
yaitu:
i. Karena faktor psikopatologik:
· Orang-orang yang kurang waras, gila
· Orang yang secara psikis tidak normal, tetapi tidak gila

ii. Karena faktor organis:
· Orang-orang yang karena menderita gangguan fisik pada waktu
telah cukup umur, seperti mereka yang menjadi tua, berbagai
macam cacat
· Orang-orang yang menderita gangguan fisik sejak masa kanakkanak atau sejak lahir, dan yang menderita kesulitan pendidikan
atau sosialisasi.
iii. Karena faktor sosial:
· Penjahat kebiasaan
· Penjahat karena kesempatan (karena keadaan/desakan ekonomi
atau fisik)
· Penjahat yang pertama-tama melakukan kejahatan kecil-kecil,
seringkali hanya secara kebetulan saja, selanjutnya meningkat ke
arah kejahatan yang lebih serius
· Pengikut serta kejahatan kelompok, seperti pencurian di pabrik,
lynch (pengeroyokan)
Seelig berpendapat bahwa kejahatan atau delik mungkin sebagai
akibat dari watak si penjahat (disposisinya), atau karena peristiwa
psikis saat terjadinya kejahatan. Pembagian penjahatnya menjadi
tanpa dasar yang tunggal, dan Seelig dengan tegas melihatnya
bahwa secara biologis (dalam arti ciri tubuh dan psikis) merupakan
kelompok manusia yang heterogen dan tidak tampak memiliki ciriciri biologis. Dari pandangan itu, Seelig membagi penjahat menjadi:
i. Delinkuen professional karena malas bekerja
Mereka melakukan delik berulang-ulang, seperti orang melakukan
pekerjaan secara normal. Kemalasan kerjanya mencolok, cara
hidupnya sosial. Misal gelandangan, pelacur

ii. Delinkuen terhadap harta benda karena daya tahan lemah
Mereka biasanya melakukan pekerjaan normal seperti orang
kebanyakan. Namun di dalam kerjanya, ketika melihat ada harta
benda, mereka tergoda untuk memilikinya, karena daya tahan yang
lemah, mereka melakukan delik. Misal pencurian di tempat kerja,
penggelapan oleh pegawai administrasi, dll
iii. Delinkuen karena dorongan agresi
Mereka sangat mudah menjadi berang dan melakukan perbuatan
agresif dengan ucapan maupun tulisan. Biasanya mereka ini
menunjukkan kurangnya tenggang rasa dan perasaan sosial.
Penggunaan minuman keras sering terjadi diantara mereka
iv. Delinkuen karena tidak dapat menahan dorongan seksual
Mereka ini adalah yang tidak tahan terhadap dorongan seksual dan
ingin memuaskan dorongan itu dengan segera, karena kurangnya
daya tahan.
v. Delinkuen karena krisis
Mereka yang melihat bahwa tindak pidana adalah sebagai jalan
keluar dalam krisis. Krisis ini meliputi:
· Perubahan badani, perubahan yang menimbulkan ketegangan
seseorang (pubertas, klimaktorium, menjadi tua)
· Kejadian luar yang tidak menguntungkan, khususnya dalam
lapangan ekonomi atau dalam lapangan percintaan
· Karena krisis diri sendiri.
vi. Delinkuen karena reaksi primitive
Mereka yang berusaha melepaskan tekanan jiwanya dengan cara
yang tidak disadari dan seringkali bertentangan dengan

kepentingan dirinya sendiri atau bertentangan dengan kepentingan
hukum pihak lain. Tekanan tersebut dapat terjadi sesaat atau
terbentuk sedikit demi sedikit dan terakumulasi, dan pelepasannya
pada umumnya tidak terduga
vii. Delinkuen karena keyakinan
Seseorang melakukan tindak pidana karena merasa ada kewajjiban
dan adanya keyakinan bahwa merekalah yang paling benar. Mereka
menilai normanya sendiri lebih tinggi daripada norma kelompok
lain. Hanya jika penilaian normanya ini terlalu kuat, maka barulah
dikatakan delinkuen karena keyakinan.
viii. Delinkuen karena tidak punya disiplin kemasyarakatan
Mereka yang tidak mau mengindahkan hal-hal yang oleh pembuat
undang-undang diatur guna melindungi kepentingan umum.
B. Penyebab Kejahatan
Pada umumnya penyebab kejahatan terdapat tiga kelompok
pendapat yaitu:
a. Pendapat bahwa kriminalitas itu disebabkan karena pengaruh
yang terdapat di luar diri pelaku
b. Pendapat bahwa kriminalitas merupakan akibat dari bakat jahat
yang terdapat di dalam diri pelaku sendiri
c. Pendapat yang menggabungkan, bahwa kriminalitas itu
disebabkan baik karena pengaruh di luar pelaku maupun karena
sifat atau bakat si pelaku.
Bagi Bonger, bakat merupakan hal yang konstan atau tetap, dan
lingkungan adalah faktor variabelnya dan karena itu juga dapat
disebutkan sebagai penyebabnya
Pandangan bahwa ada hubungan langsung antara keadaan ekonomi
dengan kriminalitas biasanya mendasarkan pada perbandingan

stMasyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk
kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan urbanisasi
memunculkan banyak masalah sosial. Usaha adaptasi atau
penyesuaian diri terhadap masyarakat modern sangat kompleks itu
menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi
menyebabkan banyak kebimbangan, kebingungan, kecemasan dan
konflik, baik konflik eksternal yang terbuka, maupun yang internal
dalam batin sendiri yang tersembunyi dan tertutup sifatnya.
Sebagai dampaknya orang lalu mengembangkan pola tingkah-laku
menyimpang dari norma-norma umum, dengan jalan berbuat
semau sendiri demi keuntungan sendiri dan kepentingan pribadi,
kemudian mengganggu dan merugikan pihak lain.
Dalam perkembangan masyarakat seperti ini, pengaruh budaya di
luar sistem masyarakat sangat mempengaruhi perilaku anggota
masyarakat itu sendiri, terutama anak-anak, lingkungan, khususnya
lingkungan sosial, mempunyai peranan yang sangat besar terhadap
pembentukan perilaku anak-anak, termasuk perilaku jahat yang
dilakukan oleh anak-anak.
Beberapa waktu terakhir ini, banyak terjadi kejahatan atau perilaku
jahat di masyarakat. Dari berbagai mass media, baik elektronik
maupun cetak, kita selalu mendengar dan mengetahui adanya
kejahatan atau perilaku jahat yang dilakukan oleh anggota
masyarakat. Pelaku kejahatan atau pelaku perilaku jahat di
masyarakat tidak hanya dilakukan oleh anggota masyarakat yang
sudah dewasa, tetapi juga dilakukan oleh anggota masyarakat yang
masih anak-anak atau yang biasa kita sebut sebagai kejahatan anak
atau perilaku jahat anak.
Fakta menunjukkan bahwa semua tipe kejahatan anak itu semakin
bertambah jumlahnya dengan semakin lajunya perkembangan
industrialisasi dan urbanisasi. Kejahatan yang dilakukan oleh anakanak pada intinya merupakan produk dari kondisi masyarakatnya
dengan segala pergolakan sosial yang ada di dalamnya. Kejahatan
anak ini disebut sebagai salah satu penyakit masyarakat atau
penyakit sosial. Penyakit sosial atau penyakit masyarakat adalah
segala bentuk tingkah laku yang di anggap tidak sesuai, melanggar
norma-norma umum, adat-istiadat, hukum formal , atau tidak bisa
diintegrasikan dalam pola tingkah laku umum.
Kejahatan dalam segala usia termasuk remaja dan anak-anak dalam
dasawarsa lalu, belum menjadi masalah yang terlalu serius untuk
dipikirkan, baik oleh pemerintah, ahli kriminologi , penegak hukum,
praktisi sosial maupun masyarakat umumnya.

Perilaku jahat anak-anak dan remaja merupakan gejala sakit
(patologis) secara sosial pada anak-anak yang disebabkan oleh
salah satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu
mengembangkan bentuk tingkah-laku yang menyimpang. Pengaruh
sosial dan kultural memainkan peranan yang besar dalam
pembentukan atau pengkondisian tingkah-laku kriminal anak-anak
dan remaja. Perilaku anak-anak dan remaja ini menunjukkan
tanda-tanda kurang atau tidak adanya konformitas terhadap normanorma sosial.
Anak-anak dan remaja yang melakukan kejahatan itu pada
umumnya kurang memiliki kontrol-diri, atau justru
menyalahgunakan kontrol-diri tersebut, dan suka menegakkan
standar tingkah-laku sendiri, di samping meremehkan keberadaan
orang lain. Kejahatan yang mereka lakukan itu pada umumnya
disertai unsur-unsur mental dengan motif-motif subyektif, yaitu
untuk mencapai satu objek tertentu dengan disertai kekerasan.
Pada umumnya anak-anak dan remaja tersebut sangat egoistis, dan
suka sekali menyalahgunakan dan melebih-lebihkan harga dirinya.
Adapun motif yang mendorong mereka melakukan tindak kejahatan
itu antara lain adalah :
1.Untuk memuaskan kecenderungan keserakahan.
2.Meningkatkan agresivitas dan dorongan seksual.
3.Salah-asuh dan salah-didik orang tua, sehingga anak tersebut
menjadi manja dan lemah mentalnya.
4.Hasrat untuk berkumpul dengan kawan senasib dan sebaya, dan
kesukaan untuk meniru-niru.
5.Kecenderungan pembawaan yang patologis atau abnormal.
6.Konflik batin sendiri, dan kemudian menggunakan mekanisme
pelarian diri serta pembelaan diri yang irrasional.
Pakar kriminologi Van S. Lambroso dengan teori Lambroso, yang
menyebutkan sebab-sebab kejahatan seorang hanya dapat
ditemukan dalam bentuk-bentuk fisik dan psikis serta ciri, sifat dari
tubuh seseorang. Sebab-sebab kejahatan menjadi faktor utama
dalam proses terbentuknya tindak pidana baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Untuk mencari faktor yang lebih esensial dari bentuk tindak
pidana/ kejahatan yang dilakukan secara sempurna kedudukan ini
dapat diartikan dengan faktor kejahatan yang timbul secara
ekstern (faktor luar) maupun intern (faktor dalam) dari pelaku
tindak pidana kejahatan seseorang. Secara implisit berbagai faktor
dapat dijadikan sebagai sistem untuk merumuskan kejahatan pada

umumnya ataupun kejahatan anak pada khususnya. Berbeda
dengan seseorang anak atau pun dalam melakukan kejahatan,
tampak bahwa faktor-faktor apapun yang di dapat pada diri anak
dan remaja yang jelas semuanya tidak terstruktur maupun disikapi
terlebih dahulu.
Masyarakat yang baik di masa yang akan mendatang bergantung
dan diawali pada perilaku anak-anak dan remaja sekarang sebagai
generasi penerus. Anak-anak atau pun remaja yang baik dalam
berperilaku sangat menunjang terbentuknya sistem sosial
masyarakat. Oleh karena itu permasalahan perilaku jahat anakanak dan remaja perlu segera mendapat ekstra perhatian demi
terbentuknya sistem sosial masyarakat yang baik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang, maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.
Jenis-jenis kriminalitas yang dilakukan anak-anak, remaja,
maupun dewasa
2.
Faktor-faktor yang menyebabkan perilaku kriminalitas
3.
Dampak dari kriminalitas
4.
Solusi dari kriminaliatas
Bab II
Kriminalitas
A. Definisi Kriminalitas
Kriminalitas atau tindak kriminal segala sesuatu yang melanggar
hukum atau sebuah tindak kejahatan. Pelaku kriminalitas disebut
seorang kriminal. Biasanya yang dianggap kriminal adalah seorang
pencuri, pembunuh, perampok, atau teroris. Walaupun begitu
kategori terakhir, teroris, agak berbeda dari kriminal karena
melakukan tindak kejahatannya berdasarkan motif politik atau
paham.
Arti hukum menurut Immanuel Kant sendiri yaitu : “noch suchen
die yuristen eine definition zu ihrem begriffe von recht”. (L.j Van
Apeldoorn,Pengantar Ilmu Hukum,Pradnya
Paramita,Jakarta,1981,hlm.13)
Selama kesalahan seorang kriminal belum ditetapkan oleh seorang
hakim, maka orang ini disebut seorang terdakwa. Sebab ini
merupakan asas dasar sebuah negara hukum: seseorang tetap
tidak bersalah sebelum kesalahannya terbukti. Pelaku tindak

kriminal yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan harus
menjalani hukuman disebut sebagai terpidana atau narapidana.
Dalam mendefinisikan kejahatan, ada beberapa pandangan
mengenai perbuatan apakah yang dapat dikatakan sebagai
kejahatan :
-Secara kriminologi yang berbasis sosiologis kejahatan merupakan
suatu pola tingkah laku yang merugikan masyarakat (dengan kata
lain terdapat korban) dan suatu pola tingkah laku yang
mendapatkan reaksi sosial dari masyarakat. Reaksi sosial tersebut
dapat berupa reaksi formal, reaksi informal, dan reaksi non-formal.
-Secara yuridis, kejahatan berarti segala suatu tindakan atau
tingkah laku manusia yang melanggar undang-undang atau
ketentuan yang berlaku dan diakui dapat dipidana secara legal,dan
diatur dalam hukum pidana.
-Dari segi kriminologi,setiap tindakan Dari segi kriminologi setiap
tindakan atau perbuatan tertentu yang tindakan disetujui oleh
masyarakat diartikan sebagai kejahatan. Ini berarti setiap
kejahatan tidak harus dirumuskan terlebih dahulu dalam suatu
peraturan hukum pidana. Jadi setiap perbuatan yang anti
sosial,merugikan serta menjengkelkan masyarakat,secara
kriminologi dapat dikatakan sebagai kejahatan
-Arti kejahatan dilihat dengan kaca mata hukum, mungkin adalah
yang paling mudah dirumuskan secara tegas dan konvensional.
Menurut hokum kejahatan adalah perbuatan manusia yang
melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam
kaidah hokum; tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang
ditetapkan dalam kaidah hokum,dan tidak memenuhi atau melawan
perintah-perintah yang telah ditetapakan dalam kaidah hokum yang
berlaku dalam masyarakat bersangkutan bertempat tinggal.
(Soedjono. D,S.H.,ilmu Jiwa Kejahatan,Amalan, Ilmu Jiwa Dalam
Studi Kejahatan,Karya Nusantara,Bandung,1977,hal 15).
Dari segi apa pun dibicarakan suatu kejahatan,perlu diketahui
bahwa kejahatan bersifat relative. Dalam kaitan dengan sifat
relatifnya kejahatan, G. Peter Hoefnagels menulis sebagai berikut :
(Marvin E Wolfgang et. Al., The Sociology of Crime and
Delinquency,Second Edition,Jhon Wiley,New York,1970,hlm. 119.)
We have seen that the concept of crime is highly relative in
commen parlance. The use of term “crime” in respect of the same
behavior differs from moment to moment(time), from group to
group (place) and from context to (situation).
Relatifnya kejahatan bergantung pada ruang,waktu,dan siapa yang

menamakan sesuatu itu kejahatan. “Misdad is benoming”, kata
Hoefnagels; yang berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat
oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai
penjahat. (J.E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi,Alumni,
Bandung, 1979,hlm.67.)
Dalam konteks itu dapat dilakukan bahwa kejahatan adalah suatu
konsepsi yang bersifat abstrak. Abstrak dalam arti ia tidak dapat
diraba dan tidak dapat dilihat,kecuali akibatnya saja.
I. Pengertian Penjahat dan Jenis-jenisnya
Orang yang bagaimana yang dimaksudkan sebagai seorang
penjahat? Di dalam pikiran umum,perkataan “penjahat” berarti
mereka yang dimusuhi masyarakat. Di dalam arti inilah Trade
menyatakan bahwa para penjahat adalah sampah masyarakat.
Berdasarkan tradisi hokum (peradilan) yang demokratis bahkan
eorang yang mengaku telah melakukan suatu kejahatan ataupun
tidak dipandang sebagai seorang penjahat sampai kejahatannya
dibuktikan menurut proses peradilan yang telah ditetapkan.
Maka sesuai dengan itu, seorang penjaga penjara tidak akan dapat
dibenarkan menurut hokum kalau menerima sesorang yang tidak
pernah resmi dinyatakan bersalah dan dihukum,dan para pejabat
Negara tidak akan dapat secara benar-benar menghilangkan hakhak sipil kepada orang-orang yang tidak pernah dinyatakan
bersalah mengenai suatu kejahatan. Begitu pula halnya,para ahli
kriminologi tidak dapat secara benar-benar dapat dipertanggung
jawabkan menetapkan sebagai penjahat kepada orang-orang yang
bertingkah laku secara antisocial,tetapi tidak melanggar suatu
undang-undang pidana.(Ibid,hal 34,35).
Di Indonesia secara tegas tidak dijumpai orang yang disebut
penjahat; dalam peruses peradilan pidana,kita hanya mengenal
secara resmi istilah-istilah tersangka,tertuduh,terdakwa dan
terhukum atau terpidana. Sedangkan kata-kata seperti
penjahat,bandit,bajingan hanya dalam kata sehari-hari yang tidak
mendasar pada ketentuan hokum.
Adapun tipe atau jenis-jenis menurut penggolongan para ahlinya
adalah sebagai berikut ;
1. Penjahat dari kecendrungan(bukan karena bakat).
2. Penjahat karena kelemahan(karena kelemahan jiwa sehingga

sulit menghindarkan diri untuk tidak berbuat).
3. Penjahat karena hawa nafsu yang berlebihan ; dan putus asa ;
penjahat terdorong oleh harga diri atau keyakinan.
Pembagian menurut Seelig :
1. Penjahat karena segan bekerja.
2. Penjahat terhadap harta benda karena lemah kekuatan bathin
untuk menekan godaan.
3. Penjahat karena nafsu menyarang.
4. Penjahat karena tidak dapat menahan nafsu seks.
5. Penjahat karena mengalami krisis kehidupan
6. Penjahat terdorong oleh pikirannya yang masih primitive.
7. Penjahat terdorong oleh keyakinannya.
8. Penjahat karena kurang disiplin kemasyarakatan.
9. Penjahat campuran ( gabungan dari sifat-sifat yang terdapat
pada butir 1 s/d 8 )
Pembagian menurut Capelli
1. Kejahtan karena factor-faktor psikopathologis, yang pelakunya
terdiri dari
a) Orang-orang yang sakit jiwa.
b) Orang-orang yang berjiwa abnormal (sekalipun tidak sakit jiwa).
2. Kejahatan karena factor-faktor cacad atau kemunduran kekuatan
jiwa dan raganya,yang dilakukan oleh :
a) Orang-orang yang menderita cacad setelah usia lanjut.
b) Orang-orang menderita cacad badaniah atau rohaniah sejak
masa kanak-kanak
sehingga sukar menyesuaikan diri di tengah masyarakatnya.
3. Kejahatan karena factor-faktor social yang pelakunya terdiri
dari :
Penjahat kebiasaan.
a) Penjahat kesempatan,karena menderita kesulitan ekonomi atau
kesulitan fisik.
b) Penjahat yang karena pertama kali pernah berbuat kejahatan
kecil yang sifatnya kebetulan dan kemudian berkembang

melakukan kejahatan yang lebih besar dan lebih sering.
c) Orang-orng yang turut serta pada kejahatan kelompok seperti,
pencurian-pencurian di pabrik dan lain sebagainya.
Bila kita perhatikan kategori jenis-jenis pelanggar hokum atau
disebut dalam bahasa inggris Criminal , yang sementara kita alih
bahaskan dengan penjahat ; maka terdapat diantarnya penjahat
yang dalam melakukan kejahatannya dengan:
1. Kesadaran yang memang sudah merupakan pekerjaannya
(professional criminal). Yang dapat dilakukan oleh perorangan
seperti penjahat-penjahat bayaran, yang diupah untuk menganiaya
atau bahkan membunuh. Atau dilakukan secara kelompok dan
teratur seperti dalam bentuk kejahatan yang diorganisir (beda
misalnya Donald R Cressey “Criminal Organization”,Heiniman
Educational Books,London,1972)
2. Kesadaran bahwa tindakan tersebut harus dilakukan sekalipun
merupakan pelanggaran hokum ; yaitu penjahat yang melakukan
kejahatan dengan ditimbang-timbang atau dengan persiapan
terlebih dahulu.
3. Kesadaran bahwa pelaku tidak diberi kesempatan oleh
masyarakat atau pekerjaan dalam masyarakat tak bias memberi
hidup,sehingga memilih menjadi resdidivisi.
II. Teori-Teori Terkait Kriminalitas
Terdapat kesulitan untuk menjelaskan kriminalitas anak-anak
maupun remaja dari perspektif teoritis secara ketat, oleh karena itu
lebih cenderung untuk melihat kriminalitas anak-anak maupun
remaja sebagai bentuk perilaku menyimpang (deviant behavior) di
masyarakat. Jika melihat dari sisi penyimpangan (deviant), maka
setidaknya terdapat tiga teori utama yang dapat menjelaskan
fenomena ini yaitu: struktural fungsional terutama anomie dari
Durkheim dan Merton, interaksi simbolik terutama asosiasi
diferensiasi dari Sutherland, danpower-confl ict terutama dari
Young dan Foucault.

(a) Struktural Fungsional
Struktural fungsional melihat penyimpangan terjadi pembentukan
normal dan nilai-nilai yang dipaksakan oleh institusi dalam
masyarakat. Penyimpangan dalam hal ini tidak lah terjadi secara
alamiah namun terjadi ketika pemaksaan atas seperangkat aturan
main tidak sepenuhnya diterima oleh orang atau sekelompok orang,
dengan demikian penyimpangan secara sederhana dapat dikatakan
sebagai ketidaknormalan secara aturan, nilai, atau hukum. Salah
satu teori utama yang dapat menjelaskan mengenai penyimpangan
ini adalah teori anomie dari Durkheim dan dari Merton.
Durkheim secara tegas mencoba meyakinkan bahwa terdapat
hubungan terbalik antara integrasi sosial dan penaturan sosial
dengan angka bunuh diri. Sekurangnya terdapat dua dimensi dari
ikatan sosial (social bond), yakni integrasi sosial dan aturan sosial
(social regulation) yang masing-masing independen, atau dalam3
istilah lain, besaran integrasi tidak menentukan besaran
pengaturan, demikian pula sebaliknya, namun keduanya
mempengaruhi ikatan sosial. Integrasi sosial dapat diterjemahkan
sebagai keikutsertaan seseorang dalam kelompok dan institusi di
mana aturan sosial merupakan pengikat kesetiaan terhadap norma
dan nilai-nilai dalam masyarakat. Mereka yang sangat terintegrasi
masuk dalam kategori ‘altruism’, dan yang sangat tidak terinterasi
dalam kategori ‘egoism’. Demikian pula mereka yang sangat taat
aturan masuk dalam kategori ‘fatalism’ dan mereka yang sangat
tidak taat masuk dalam kategori ‘anom