Sejarah Perkembangan Seni Grafis Indones

SEJARAH PERKEMBANGAN SENI GRAFIS INDONESIA
dibuat untuk memenuhi tugas essai 1 mata kuliah Sejarah Seni Rupa Indonesia Baru

disusun oleh:

Ganjar Gumilar
17008501

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2010

PENDAHULUAN
Seni Grafis, sama seperti cabang seni rupa lainnya, adalah secara sadar
menggunakan keterampilan dan imajinasi kreatif untuk menciptakan objekobjek estetik. Ditinjau dari etimologi kata, seni grafis diterjemahkan dari kata
printmaking yang berasal dari bahsa inggris. Seni grafis mencakup beberapa
teknik yang terus berkembang seiring perkembangan jaman dan kemajuan
teknologi. Teknik grafis secara garis besar dapat dikategorikan menjadi empat
teknik utama, yakni, cetak datar, cetak tinggi (relief), cetak saring (serigrafi), dan
cetak dalam (intaglio). Karena pada prinsipnya seni grafis selalu mengikuti
perkembangan teknologi cetak, dewasa ini teknik cetak mutakhir seperti digital

print, chemical print, dan beberapa teknik lainnya kemudian diterima sebagai
karya grafis oleh medan sosial seni.
Seni grafis adalah cabang seni yang memberikan banyak ruang eksploratif yang
dapat dimanfaatkan seniman untuk mencapai sebuah pencapaian estetik
tertentu yang memliki karakter yang khas. Kematangan sebuah karya seni
(grafis) dapat dinilai dari kualitas eksplorasi teknis sang seniman dan ide yang
ditampakkan. Penjelajahan kedua aspek tersebut kemudian menjadi lebur dan
tertuang dalam sebuah karya grafis. Sebagai contoh, cetakan ukiyo-e 36
Pemandangan Gunung Fuji oleh Hokussai, yang dikerjakan pada tahun 1823 –
1831, menggambarkan sebuah karya grafis penuh yang sampai sekarang masih
diperhitungkan eksistensinya. Karya series ini masih dianggap sebagai sebuah
adikarya yang memperlihatkan kematangan penjelejahan ide dan teknis, juga
kualitas kontemplasi dari sang seniman yang dengan konsisten mengeram karya
ini, dengan pendekatan historis budaya pada masanya tentunya.
Karena kemampuannya dalam menduplikasi diri, karya-karya seni grafis di dunia
mampu menjangkau beberapa lapisan masyarakat. tidak melulu terbatas pada
kalangan elite. Meskipun penghargaan (sercara benar-benar harafiah) oleh pasar
pada karya-karya grafis tidak semahal lukisan atau patung, karya grafis
diharapkan mampu mencapai beberapa lapisan masyarakat dan menjalankan
beberapa fungsi seni, seperti seni sebagai penyadaran, dll, sehingga eksistensi

seni diharapkan mampu menunjukan signifikasinya, degan konsekuensi yang
telah saya sebutkan sebelumnya.

Proses cetak yang menjadi prinsip utama dalam seni grafis ditujukan untuk
reduplikasi karya, dengan ‘itikad baik’ seperti yang telah diulas pada paragraph
sebeumnya, menghadirkan problematika dilematis yang cukup signifikan dalam
perkembangan karya-karya grafis. Yang kemudian dapat dikelompokkan kepada
dua masalah utama, yakni proses cetak yang amat teknis dan mendatangkan
banyak kerumitan di dalamnya, dan justifikasi pasar pada karya seni grafis.
Teknik cetak grafis yang dikelompokkan dalam 4 proses cetak (cetak datar,
tinggi, dalam, dan saring) mememerlukan bantuan banyak alat dan mesin,
sehingga dalam proses pembuatannya, seniman dituntut untuk memilki
kemampuan teknis yang baik dan mendalam, atau uniknya meminta bantuan
pada pihak yang mendalami teknis grafis dengan konsisten. Secara garis besar
proses pembuatan karya grafis dibedakan menjadi dua, proses pembuatan
matriks dan proses pencetakkan karya, yang di dalamnya terdapat rangkaian
proses yang saling berkesinambungan bagaikan sebuah untaian rantai yang
saling mempengaruhi satu sama lain seara berkesinambungan. Karena
kerumitannya, proses pembuatan karya grafis dapat dinilai memrlukan effort
lebih dibandingkan dengan membuat karya lukisan, sehingga seringkali

menyulitkan seniman untuk berkarya grafis. Selain itu, karena jumlahnya yang
banyak, dan tidak tunggal, eksistensi karya grafis di pasar tidaklah sesignifikan
karya lukisan yang sifatnya tunggal yang kemudian membawa nilai eksklusifitas
di dalamnya, karena pasar dikuasai oleh kaum elite yang tentunya menggemari
dan memburu eksklusifitas, demi menjaga pestise dari karya itu sendiri. Para
pelaku pasar seringkali lupa bahwa pada praktiknya karya grafis memang
diperuntukkan untuk dimiliki oleh beberapa pihak, bukan dikoleksi secara
pribadi. Sehingga pasar sering meniai karya grafis sebagai ‘seni kelas dua’.
Kekurang-tertarikannya pasar pada karya seni grafis sedikit banyak membuat
eksistensi karya ini semakin lama semakin lemah, bahkan di beberapa daerah
yang iklim medan sosial seninya tidak sehat, hampir tidak diperhitungkan lagi.
Serangkaian masalah tadi kemudian mampu dianggap sebagai masalah-masalah
utama yang menyebabkan perkembangan seni grafis yang lesu.
Di Indonesia, seni grafis bahkan mendapat perlakuan yang lebih tidak kondusif
lagi, selain amat sangat terbatasnya media-media pendukung pembuatan karya
seni grafis, pasar yang amat mendominasi medan sosial seni, kerancuan

penggunaan istilah grafis yang berdampak pada publikasi teknik-teknik grafis
konvensional yang membingungkan kerap kali makin makin membuat seni grafis
makin tidak dirasakan eksistensi dan peranannya dalam seni rupa Indonesia.

Penggunaan istilah grafis di Indonesia dalam kesehariannya seringkali
membingungkan. Karena kata grafis di Indonesia seringkali berkaitan dengan
objek-objek grafis yang lekat dengan displin desain grafis, sehingga penggunaan
istilah seni grafis seringkali disalahartikan. Hal ini berkesan sepele, namun pada
perkembangannya, keancuan ini seringkali menjadi masalah yang kemudian
mendapatkan signifikasi yang cukup besar di kalangan awam.

SENI GRAFIS DI INDONESIA
Seni grafis, bersamaan dengan cabang seni lainnya, hadir di Indonesia berkat
digalakannya kolonilaisasi. Pada masa pendudukan Belanda, pemerintahannya
pernah menunjuk beberapa seniman untuk melakukan studi landscape di
Indonesia guna merekam eksotisme negara ini yang kemudian dituangkan dalam
karya lukisan yang berkesan romantis dan beberapa teknk cetak seperti wood
engraving dan lithography. Karena memang pada masa ini seni rupa Barat sedang
merayakan romantisme yang kajian visualnya seringkali ditujukan pada
landscape dan peristiwa heroik, yang dikenal dengan istilah ‘mooi indie’, atau
hindia yang cantik. Berangkat darinyalah seni grafis mulai diperkenakan secara
tidak langsung kepada rakyat Indonesia. penguasaan teknik cetak pun bukan dari
khazanah akademi, namun sebatas dari obrolan dan interaksi dengan orang
asing.


(salah satu contoh karya wood engraving yang dibuat untuk dokumentasi Belanda di Indonesia)

Sampai sekitar tahun 2000-an, seni grafis masih dianggap seni kelas dua, dan
seni pinggiran, problematika ini lahir dari berbagai macam aspek yang saling
menagkumulasi satu sama lain. Seperti yang telah saya ungkap seelumnya, seni
grafis amatlah bergantung pada proses yang bersifat amat teknis. Keterbatasan
dan kelangkaan alat dan mesin cetaklah yang dikambinghitamkan oleh para
seniman grafis yang dengan terpaksa mesti ‘melacur’ ke cabang seni lainnya, atau
bahkan menggeluti bidang yang amat jauh dari kajian seni grafis. Keptusasaan ini
memang bukanlah tanpa sebab, minimnya mesin dan alat-alat pendukung dalam
membuat sebuah karya grafis seringkali meredam hasrat berkarya dan
memuaskan keinginan bereksplorasi para seniman grafis. Krisis ini pun bahkan
dialami oleh institusi akademi seni di Indonesia. Tercatat bahwa hanya Institut
Teknologi Bandung yang mampu menyediakan mesin cetak dan alat-alat
pendukung untuk teknik cetak tinggi, cetak rendah, cetak datar, dan cetak saring
yang dianggap memadai, bahkan dengan catatan bahwa sarana yang diberikan
adalah standar ‘mahasiswa’, yang berkesan seadanya dan kuran terawat.
Minimnya mesin cetak yang tersedia di Indonesia memang disebabkan oleh
mahalnya biaya pengadaan mesin dan kelangkaan akses dalam meraihnya.

Bahkan beberapa alat dan bahan pendukung pun seringkali harus didatangkan
langsung dari Jerman, negri dimana seni grafis lahir dan berkembang.
Problematika diatas pun didukung oleh pernyataan beberapa pihak yang
meneliti

sejarah

perkembangan

seni

grafis.

Seni

grafis

dari

awal


perkembangannya hanyalah dianggap sebagai pendamping karya-karya lukisan
dan patung, dan juga sebagai proses berkarya sampingan yang dilakukan
seniman yang seyogyanga mendalami cabang seni yang lebih ‘tulen’, seperti seni
lukis dan seni patung. Seni grafis pada awalnya sebatas ‘numpang’ muncul di
pameran seni bersanding karya lukisan dan patung. Meskipun demikian, seni
grafis pernah dianggap sebagai cabagn seni yang ikut berjasa bagi kehidupan
kenegaraan Indonesia, dengan mengirim karya-karya grafis ke luar negri pada
peryaan tahun pertama kemerdekaan Indonesia, 1946, sebagai upaya memeberi
kesan bahwa Indonesia adalah negara yang berbudaya, meski baru satu tahun
merdeka. Perkembangan seni grafis pada awal kemerdekaan Indonesia dinilai
sebagai tenggat waktu eksplorasi para seniman untuk mendalami dan menyerap
ilmu mengani teknik cetak grafis. Nampak pada beberapa karya grafis Mochtar

Apin, Sudjana Kerton, dan Poppo Iskandar yang menekuni studi visual
menggunakan teknik cetak, baik dalam pendekatan naturalis maupun abstraksi
yang merebak luas di dunia.

(salah satu poster propaganda Indonesia yang menggunkan teknik lithograph)


Barulah pada tahun 1970-1980, seni grafis mulai muncul ke permukaan dengan
hadir pada pameran seni grafis yang mandiri. Seperti pada pameran ‘Seni Grafis
Bandung’ yang menampilkan karya-karya Mochtar Apin, Haryadi Suadi, A.D.
Pirous, dan Kaboel Soeadi, yang dipamerkan di tiga kota, yakni Bandung,
Surabaya, dan Jakarta. Dua tahun setelahnya, lahirlah kelompok grafis Decenta
yang beranggotakan Pirous, Sunaryo, Sutanto, G. Siddharta, Priyanto, dan Dudi
Kusnidar yang mendalami teknik serigrafi yang kala itu sedang berkembang
didukung laju perkembangan industri garmen. Beberapa anggota kelompok ini
kemudianmulai menggeluti desain grafis karena kecenderungan karya sablon
yang mampu dicetak dan direproduksi dalam kaos mulai digemari masyarakat.
beberapa darinya seara professional menjadi desainer grafis dan kemudian
mengembangkan akademi desain grafis di Indonesia.
Menjelang akhir 1990-an, konsepsi baru seni global yang diberi tajuk
postmodernisme yang digalakan sampai sekarang ini membawa arus perubahan
dan kebaruan yang radikal dan kritis pada seni rupa Indonesia, tidak terlepas
seni grafis. Penyampaian idea yang dimiliki seiman pada karya dituangkan pada

(Still Life, Mochtar Apin, salah satu karya grafis modern Indonesia)

media dan material yang dianggap tidak lazim pada masanya. Seperti lahirnya

performance art, instalasi, dan media lainnya yang unik dan mengundang
kontroversi. Seperti pada Bienalle IX Jogja yang sebagian besar karyanya
merayakan kehadiran potmodernisme dengan menjatuhkan pilihan pada
instalasi. Meskipun begitu, seniman grafis tetap mencoba memadukan teknik
grafis dengan media asing yang dinamai instalasi, sepreti yang dilakukan Marida
Nasution pada pameran ‘Taman Plastik’, Tisna Sanjaya dengan instalasinya yang
berjudul ‘Seni Grafis dan Sepakbola’, dan beberapa seniman lainnya yang
mencoba tetap menyisipkan corak seni grafis yang membentuk proses
penciptaan karyanya bersanding dengan arus deras kritisisme postmodernisme.
Lebih jauh lagi, eksplorasi media seni grafis kian berkembang didukung oleh laju
perkembangan teknologi yang kian pesat juga. Teknologi-teknologi grafis
mutakhir pun seperti c-print, digital print, dll mulai dipertanyakan konvensinya.
Beberapa pihak mencoba untuk mengamini hal tersebut, namun banayak pihak
yang ‘keukeuh’ menyuarakan seni grafis konvensional lebih bernilai daripada
seni grafis dengan media cetak mutakhir, dengan anggapan terlalu mudahanya
reproduksi yang ditawarkan media cetak baru yang disokong teknologi sehingga
dianggap makin menjauhkan dan membei jarak seniman dari karyanya. Namun
kalangan postmodernisme yang ekletis beranggapan bahwa penciptaan karya
seni tidak lagi dibatasi pada konvensinya, namun sejauh apa seniman mampu
mempertanggung jawabkan pemilihan penuangan ide karya pada jenis media.


Selain perkembangan historikal di atas, hal menarik yang terlihat pada
perkembangan seni grafis Indonesia juga tampak pada dialog Jogja-Bandung
yang selalu hangat dibicarakan sampai saat ini, seperit pada seni lukis, seni grafis
pun mulai menampakkan kecenderungan karya yang berbeda antar seniman
Jogja dan Bandung. Secara umum, dari masa Sudjojono, bapak seni lukis modern
Indonesia, kecenderungan mazhab kedua kota ini memang berbeda, Jogja yang
lekat dengan kaitan seni dengan kehidupan sosial kemasyarakatan dan Bandung
dengan perayaan modernism pada karyanya. Pun pada akademi seni yang
dikembangkan oleh kedua kelompok seniman yang telah memiliki perbadaan visi
ini, Sekolah Guru Gambar yang kemudian menjadi ITB, dan ASRI yang kemudian
menjadi ISI Jogja. Perbedaan visi yang diturunkan para pendir akademi ini
kemudian berkembang dan kian mengerucut, sehingga kedua kecenderungan ini
ramai dibicarakan. Khususnya pada seni grafis, kecenderungan penggunaan
media pun mulai terlihat, hal ini boleh jadi disebabkan oleh ketersediaan mesin
cetak dan alat pendukung lainnya dalam berkarya seni grafis. ITB, dikenal sebgai
institusi yang memiliki mesin terlengkap di Indonesia melahirkan seniman yang
diberi kesempatan lebih untuk mengeksplorasi teknik grafis, sementara di Jogja,
kelangkaan mesin cetak datar dan kurang fungsionalnya mesin cetak dalam
kemdian megantarkan senimannya untuk amat menggeluti teknik cetak tinggi.

Serigrafi, kemudian menjadi media yang diminati kedua polar ini, karena
kemudahan dalam pengayaan media pendukungnya, namun tetap memiliki
kecenderungan yang berbeda dalam penyajian karyanya. Keterbatasan mesin ini
kemudian tidak dikeluhkan para penggrafis Jogja, mereka dengan giarnya
menggeluti cukil kayu hingga mencapai penguasaan teknis yang dapat dinilai
amat baik. sementara di bandung, tradisi kesadaran media menjadi hal yang
sering dipertanyakan pada senimannya, karena keleluasaan dalam pemilihan
teknik cetak yang digunakan.
Seni grafis kontemporer Indonesia adalah cabang seni yang dinilai amat kaya,
baik secara visual mauoun ide yang diutuangkan senimannya. proses berkarya
grafis kemudian mempengaruhi kecenderungan berkarya para senimannya
kemudian melahirkan seniman yang memiliki pola kerja yang teratur dan
pemikiran yang terstruktur. Perkembangan seni grafis kontemporer Indonesia
kiranya dinilai amat berkembang dengan baik, eskplorasi teknis diaplikasikan

pada media yang dianggap kurang lazim dalam penyajian karya grafis. Dari
kertas, kanvas, kayu, bahkan akrilik. Perayaan teknologi pun memberikan banyak
opsi yang sangat banyak bagi seniman grafis untuk berkarya. Bahkan lebih jauh
lagi, pereneungan kontemplatif seniman kemudian melahirkan penyajian karya
yang menggunakan teknik cetak secara filosofis.

(karya Tisna Sanjata, seni grafis kontemporer, menggunakan tubuh sebagai media cetak)

Dapat disimpulkan dari sedikit uraian diatas bahwa seni grafis Indonesia
bukanlah cabang seni yang murahan, pinggiran, dan kelas dua, namun dapat
dipandang sebagai cabang seni yang melahirkan seniman yang memiliki
kekhasan baik dalam pemikiran maupun kekaryaanya. Mampu menunujukan
eksistensinya dalam memperkarya seni rupa Indonesia.