BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Ketidakstabilan Emosi dan Aktifitas Seksual Perempuan Bekerja yang Mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2013

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Isue kerasan terhadap perempuan semakin gencar dan menjadi fenomenal.

  Meningkatnya kasus perceraian yang disebabkan kekerasan dalam rumah tangga menyebabkan isue ini menjadi semakin aktual. Peran media massa dan elektronik terutama televisi ikut andil mengungkapkan pelaku dan korban kekerasan mulai dari masyarakat biasa sampai artis bahkan politikus (Harmona Daulay, 2007).

  Fenomena gunung es lebih tepat kita berikan pada kekerasan dalam rumah tangga karena yang terlaporkan sedikit sementara kejadian di masyarakat yang tidak terlaporkan sangat banyak. Kesulitan mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga karena adanya faktor budaya dan kultural yang diakui dan masih dianggap normal, membuat korban enggan melaporkan kejadian tersebut. Sebagian besar perempuan diam dan tidak berdaya serta bersikap memperbolehkan atau memaklumi tindakan kekerasan tadi. Perempuan sering mengorbankan diri demi keutuhan rumah tangga dengan tidak menceritakan aib keluarga dan tetap menjaga anak dari perasaan tidak nyaman. Sehingga kita tak dapat menjumpai data yang akurat untuk mewakili angka kejadian yang sesungguh nya. (Erna Suryadi, 2011)

  Arie (2006) dalam sebuah jurnal psikologi mengatakan bahwa kepedulian dan upaya masyarakat mengatasi hal ini mulai banyak dilakukan, apalagi sejak di berlakukannya UU KDRT N0 23 tahun 2004, maka perlahan semakin berani perempuan untuk mengungkapkan penderitaan nya. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kekerasan terhadap perempuan masih terjadi ? Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh laki-laki merupakan satu bentuk ego maskulinitas sebagai mahluk yang kuat dan wanita adalah mahluk yang lemah sehingga mempermulus kejadian KDRT tersebut. Hal ini di pertegas Richmon (1992) yang menyatakan bahwa masyarakat kita masih menganut budaya patriarki dimana laki-laki adalah superior dan dominan terhadap perempuan. Karena sifat dominannya itu, istri dianggap benda mati dan menjadi hak milik penuh sehingga harus menerima kekerasan yang dialami sebagai suatu tindakan yang wajar.

  Menurut catatan Mitra Perempuan, hanya 15% perempuan yang mengalami KDRT menempuh jalur hukum, dan mayoritas 45,2% memutuskan pindah rumah dan 10,9 % memilih diam. Berdasarkan studi kasus persoalan Kekerasan Terhadap Istri (KTI) yang masuk di RifkaAnnisa Womens Crisis Center pada tahun 1997-2002 dari 125 KTI, 11% diantaranya mengakhiri perkawinannya dengan perceraian, 13% mengambil jalan keluar dengan cara melaporkan suami ke polisi, ke atasan suami atau mengajak berkonseling dan mayoritas korban 6% mengambil keputusan kembali kepada suami dan menjalani perkawinan nya penuh dengan kekerasan (Hayati, 2002).

  Definisi KDRT sendiri mempunyai arti yaitu setiap perbuatan terhadap seseorang perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23/2004).

  Laporan WHO tahun 2002 mengenai violence and health (kekerasan dan kesehatan) menunjukkan kualitas kesehatan perempuan menurun drastis akibat kekerasan yang dialaminya. Hal tersebut dibuktikan bahwa antara 40-70 % perempuan yang meninggal karena pembunuhan, umumnya dilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri.

  Data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa pada tahun 1998, jumlah perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Turki mencapai 57,9 %. Sedangkan perempuan India pada tahun 1999 mencapai 49 %, Amerika Serikat mencapai 22,1 % pada tahun yang sama. Sedangkan perempuan menikah Bangladesh mengalami kekerasan yang dilakukan suami nya pada tahun 2000 mencapai 60% (Moerti, 2010). Di Amerika Serikat perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga memerlukan perawatan psikiatri empat sampai lima kali lebih banyak dan lima kali lebih tinggi dari upaya bunuh diri yang belum pernah mengalami kekerasan. Yang lebih mengerikan berita dari Norwegia 25 % dari pasien ginekologi perempuan telah disalahgunakan secara fisik dan seksual oleh suaminya (Marge, 1997).

  Di Indonesia juga di lakukan beberapa penelitian tentang kekerasan dalam rumah tangga. Menteri Pemberdayaan Perempuan yang mengatakan bahwa 50% perempuan menikah lulusan SD di pedesaan cenderung mengalami kekerasan berupa pemukulan dari suami mereka, dengan salah satu alasan seperti menghanguskan makanan, bertengkar dengan suami, pergi tanpa ijin suami, menelantarkan suami, menolak hubungan seks dengan suami (Quratul Uyun, 2002). Pada sumber yang sama di sebutkan bahwa satu dari tiga perempuan pernah di pukul, dipaksa melakukan hubungan seksual, mengalami penyiksaan suami. Masih data dari Menteri Pemberdayaan Perempuan terdapat 11,4 % dari 217 juta penduduk Indonesia terutama di pedesaan pernah mengalami kekerasan dan terbesar adalah kekerasan dalam rumah tangga .

  Hakimi dkk (2001) di Jawa Tengah melaporkan bahwa jenis kasus kekerasan yang terbanyak pada perempuan adalah fisik dan sexual (27%), di penelitian Erni Sulastri (2002) lebih banyak istri yang mendapat kekerasan psikologis dan sexual. Hasil penelitian Rifka Anisa Women Crisis Center di Yogyakarta (1995) menemukan bahwa perempuan yang mendapat kekerasan secara psikologis (48,09%), sedangkan penelitian di Indra mayu perempuan yang mendapat kan kekerasan psikologis jumlah nya jauh lebih banyak yaitu 90,48%. Hal ini terjadi karena setiap responden yang mengalami kekerasan fisik, seksual dan ekonomi selalu di sertai kekerasan psikis. Penelitian eksploratif di Indra mayu ini juga menegaskan bahwa lebih dari 50% perempuan mengaku sering dipaksa untuk menuruti keinginan suami nya untuk berhubungan badan, padahal dirinya tak menginginkan karena lelah, sakit ataupun menstruasi. Tak terlepas penelitian dari ujung pulau Indonesia bahwa 18% dari seluruh istri yang di survei di Papua pernah menerima perawatan akibat kekerasan dalam rumah tangga.

  Kekerasan dalam rumah tangga tidak saja berdampak pada perempuan, namun juga berdampak pada anak. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nurika (2011), ibu bekerja yang mengalami stress baik dari pekerjaan atau dari kekerasan yang ada dalam ruma tangga akan melakukan kekerasan yang sama pada anak nya.

  Kekerasan itu dalam bentuk fisik dan psikis dan biasanya terjadi saat umur anak 10- 12 tahun. Amato (2008) menyatakan anak yang memiliki keluarga dalam kekerasan dalam rumah tangga sering kurang sukses di sekolah, merasa kecewa, terlibat dalam kekerasan di sekolah, penggunaan obat-obatan, depresi, gangguan tidur, phobia, menikah usia muda, memiliki anak sebelum menikah dan akhirnya kembali mengalami kehancuran rumah tangga

  Angka perceraian ditengarai bisa mewakili tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dapat juga terjadi di daerah Aceh yang konon dijuluki “Serambi Mekkah” dimana kultur agama, budaya dan sosial yang kuat tidak menjamin tidak memiliki data angka perceraian. Begitu juga di Kabupaten Aceh Tamiang yang merupakan salah satu kabupaten di Aceh. Pada Tahun 2011, Kabupaten Aceh tamiang memiliki jumlah penduduk sebanyak 251.914 jiwa, 127.355 laki-laki dan 124.559 perempuan. Perempuan yang bekerja di sektor formal sebanyak 653 orang. Dan pada tahun 2012 jumlah penduduk Kabupaten Aceh Tamiang 257.681 jiwa, lelaki 130.264 jiwa, perempuan 127.417 jiwa. Perempuan yang bekerja di sektor formal sebanyak 737 orang. Tak dijumpai data perempuan yang bekerja di sektor non formal. (Data Sekertariat, 2012). Data yang diambil dari Mahkamah Syariah Kabupaten Aceh Tamiang menunjukan peningkatan kasus dari tahun 2010 yaitu 263 kasus, tahun 2011 sebanyak 298 kasus dan pada tahun 2012 terjadi 225 kasus dan tiga penyebab teratas yaitu ketidak harmonisan, ekonomi dan perselisihan sering yang terjadi (Mahkamah Syariah Kabupaten Aceh Tamiang, 2012). Namun angka ini berbeda data yang ada di Kepolisian, istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga ke Kepolisian Resort Aceh Tamiang terdapat 4 kasus pada tahun 2011 yang kesemuanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Dan pada tahun 2012 terdapat 7 kasus dimana dua orang adalah perempuan bekerja.

  Kekerasan dalam rumah tangga dapat melanda siapa saja tanpa mengenal status sosial bahkan istri yang bekerja pun mendapat resiko tersebut. Di masa lampau, perempuan masih sangat terikat dengan nilai-nilai tradisional yang mengakar di tengah-tengah masyarakat. Peran nya hanya di dapur, sumur dan kasur membuat perempuan hanya sebagai pemuas di rumah tangga

  Sehingga jika ada perempuan yang berkarir untuk mengembangkan keahliannya di luar rumah, dianggap telah melanggar tradisi dan dapat dikucilkan dari pergaulan masyarakat serta lingkungannya. Perempuan praktis menjadi warga kelas dua dalam kehidupan masyarakat, yaitu warga yang ‘nrimo’ nasib yang diputuskan (Munandar, 2010).

  Irawati (2008) mengatakan bahwa pada masa era globalisasi ini perempuan tidak hanya berada pada ranah domestik namun sudah mulai merambah ke sektor publik. Perempuan menjalankan peran ganda baik sebagai individu, istri, ibu maupun anggota masyarakat. Sangat rawan dengan konflik yang terjadi dalam rumah tangga.

  Konflik terjadi karena salah satu kebutuhan pribadi tidak dapat terpenuhi. Konflik yang berkepanjangan kadang justru bisa berdampak pada kekerasan dalam rumah tangga yang berujung dengan perceraian, dan yang tragisnya perempuan yang sudah membantu perekonomian keluarga itulah jadi korban nya.

  Setiap kekerasan yang terjadi pada perempuan bekerja tentu saja berdampak pada korban maupun anak nya. Hayati (2000) berpendapat bahwa kekerasan yang dialami oleh istri berdampak pada kesehatannya. Dampak kekerasan itu berupa kelainan fisik berupa kecacatan bahkan yang paling tragis bisa menimbulkan kematian. Secara psikologis berupa tekanan mental, depresi, stess, menurunnya kepercayaan diri, ketidakstabilan emosi serta bergantung dengan suami yang menyiksanya. Apabila ia memiliki anak kemungkinan anak dibimbing dengan kekerasan, peluang berlaku kejam pada anak akan semakin meningkat, anak dapat mengalami depresi, dan berpotensi untuk melakukan kekerasan terhadap pasangannya ketika ia sudah dewasa seperti yang pernah dilihatnya. Bagi wanita pekerja mempengaruhi kinerja nya di kantor, lebih banyak membuang waktu untuk mencari bantuan dengan bercerita pada teman, psikolog maupun psikiater. Takut kehilangan pekerjaan dan gangguan kesehatan reproduksi seperti terjadi nya abortus, kehamilan yang tak diingin kan bahkan aktivitas seksual yang dingin. Dampak yang paling sering tidak nampak dan berbekas berupa tekanan emosional dan gangguan aktifitas seksual (Kossek & Ozeki, 1998).

  Richmon (1992) mengatakan kekerasan dan dominasi pria dapat membatasi kehidupan sex dan reproduksi wanita. Padahal Konfrensi Kependudukan di Kairo (1994) menjelaskan bahwa kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraaan fisik, mental dan sosial yang utuh tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan fungsi serta proses nya. Berarti seseorang harus mempunyai kehidupan seks yang memuaskan dan aman. Mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan bagaimana, bila mana dan seberapa sering mereka melakukan aktifitas seksual.

  Masih sangat sedikit penelitian tentang aktifitas seksual pada perempuan apalagi perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Seperti yang di teliti Klinik Gracia Denpasar, dalam enam tahun menunjukan bahwa dari 4135 perempuan datang berkonsultasi masalah seks nya, terdapat 55,7 % (2301) yang tidak pernah mencapai orgasme. Dan 12,7% (527) perempuan tidak pernah orgasme, namun data ini tidak dijelaskan apakah perempuan ini mendapat unsur kekerasan dalam rumah tangga (Pribakti, 2010)

  Bagaimana pula aktifitas seksual perempuan yang sudah kelelahan bekerja masih harus mendapat kekerasan dalam rumah tangga. Komunikasi yang searah dan perasaan terluka akibat kekerasan yang terjadi mempengaruhi ketidak puasan perempuan sehingga perempuan berlaku seperti “gedebong pisang” atau berpura-pura orgasme dalam melakukan aktivitas tersebut. Hal ini tentu membuat suami tambah emosi dan kekerasan itu terjadi lagi sehingga mirip seperti mata rantai yang tak terputuskan dan kadang berujung dengan perceraian Pada kasus perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga mereka hampir tak mempunyai motif terhadap kehidupan seksualnya. Sehingga mereka menganggap bahwa seks hanya sebuah hubungan yang di paksakan . Hubungan seks yang dipaksakan terjadi karena korban tak ingin kehilangan pasangannya, anggapan hubungan seks yang menjadi sebuah kewajiban, pasangan mereka membuat mereka seolah-olah bersalah, ingin memuaskan pasangan untuk menghindari konflik. Padahal Indonesia sudah menetapkan “ZERO TOLERANCE POLICY” terhadap kekerasan dalam rumah tangga, yang artinya tidak ada lagi pemaafan bagi orang yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Namun mengapa perempuan yang bekerja justru menganggap hal itu sebagai suatu kewajaran dan tak patut untuk di bicarakan?.

  Peneliti melakukan survei pendahuluan pada tiga orang yang berprofesi bidan yang masing masing mengalami kekerasan dalam rumah tangga nya. Diambil profesi bidan selain hubungan nya secara pekerjaan dekat, bidan dianggap mengetahui apa makna dari kesehatan reproduksi sehingga lebih mudah berkomunikasi. Diketahui bahwa ketiganyanya dengan latar belakang pendidikan yang sama mengalami kekerasan rumah tangga, satu dari tiga perempuan tersebut pada saat melakukan aktifitas seksualnya justru berlebihan seperti layak nya “perempuan bayaran kelas mahal“ dalam melayani suaminya. Beliau berpendapat bahwa justru hanya di ranjang lah perempuan dikatakan hebat, tidak untuk hal yang lain.

1.2 Permasalahan

  Berdasarkan uraian latar belakang diatas didapati sebuah permasalahan bahwa walaupun pemerintah Indonesia sudah menetapkan zone intolerance police pada kekerasan dalam rumah tanga, namun masih ada angka kekerasan yang dilaporkan walaupun angka tersebut masih bersifat seperti fenomena gunung es. Perempuan yang bekerja yang secara kasat mata dapat mandiri secara ekonomi,juga termasuk dalam pelaporan tersebut walau jumlah yang terlaporkan masih sedikit.

  Berdasarkan oleh fakta tersebut diatas peneliti ingin mengetahui benarkah fenomena kekerasan dalam rumah tangga berakibat langsung terhadap aktifitas seksual dan kestabilan emosi nya pada perempuan bekerja.

  1.3 Tujuan Penelitian

  Untuk mengungkap fenomena yang terjadi terhadap perempuan yang bekerja dan mengalami kekerasan di dalam rumah tangga. Bila kekerasan dalam rumah dibiarkan tidak hanya berdampak pada produktivitas dan kesehatan ibu, namun juga pada pekembangan psikologis anak.

  1.4 Manfaat Penelitian

  1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi faktor-faktor yang menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga dan dampak pada emosi serta aktivitas seksual pada perempuan yang bekerja

  2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan dan pengetahuan teoritik di bidang kesehatan reproduksi yang masih sangat sedikit.

  5. Sebagai sumber informasi kepada peneliti lain untuk melaksanakan penelitian lanjutan.

Dokumen yang terkait

Ketidakstabilan Emosi dan Aktifitas Seksual Perempuan Bekerja yang Mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2013

1 48 183

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Karakteristik Ibu Pasangan Usia Subur yang Mengalami Abortus di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2010-2013

0 0 7

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Faktor-faktor yang Memengaruhi Penggunaan Komdom dalam Pencegahan Penyakit Menular Seksual (PMS) di Lokalisasi Bukit Maraja Kabupaten Simalungun Tahun 2013

0 0 8

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Dampak Psikologis pada Ibu yang Mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada Masa Kehamilan di Kota Kisaran Tahun 2014

0 0 8

BAB 1 PENDAHULUAN 1.6. Latar Belakang - Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Terhadap Kesiapsiagaan Masyarakat di Kawasan Rawan Banjir di Desa Pengidam Kecamatan Bandar Pusaka Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2013

0 0 9

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Dampak Kekerasan Seksual terhadap Perkembangan Anak (Studi Kasus Anak Korban Kekerasan Seksual di Yayasan Pusaka Indonesia Sumatera Utara)

0 1 12

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Karakteristik Ibu, Dukungan Keluarga dan Sumber Informasi dengan Pemberian Imunisasi Campak di Kecamatan Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013

0 0 7

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Faktor yang Memengaruhi Kehamilan Usia Dini di Kecamatan Karang Baru Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2013

0 0 7

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian Vitamin A kepada Ibu Nifas di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2013

0 0 12

Ketidakstabilan Emosi dan Aktifitas Seksual Perempuan Bekerja yang Mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2013

0 1 46