Ketidakstabilan Emosi dan Aktifitas Seksual Perempuan Bekerja yang Mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2013

(1)

KETIDAKSTABILAN EMOSI DAN AKTIVITAS SEKSUAL PEREMPUAN BEKERJA YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH

TANGGA DI KABUPATEN ACEH TAMIANG TAHUN 2013

TESIS

Oleh

LIA IMELDA SIREGAR 117032189/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Judul Tesis : KETIDAKSTABILAN EMOSI DAN AKTIVITAS SEKSUAL PEREMPUAN BEKERJA YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KABUPATEN ACEH TAMIANG TAHUN 2013

Nama Mahasiswa : Lia Imelda Siregar Nomor Induk Mahasiswa : 117032189

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Kesehatan Reproduksi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D) (

Ketua Anggota

Asfriyati, S.K.M, M.Kes)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.Si)


(3)

Telah diuji

Pada Tanggal : 16 September 2013

---

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D Anggota : Asfriaty, S.K.M, M.Kes

dr. Ria Masniari Lubis, M.Si drs. Tukiman, M.K.M


(4)

PERNYATAAN

KETIDAKSTABILAN EMOSI DAN AKTIVITAS SEKSUAL PEREMPUAN BEKERJA YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

DI KABUPATEN ACEH TAMIANG TAHUN 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis di acu dalam naskah dan sebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2013

Lia Imelda Siregar 117032189/IKM


(5)

ABSTRAK

Penelitian ini berangkat dari kenyataan bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada perempuan bekerja seperti fenomena gunung es. Walaupun di bicarakan di dalam media cetak, media elektronik maupun seminar namun seolah-olah kita di kejutkan dengan dengan kondisi bahwa begitu banyak kekerasan terhadap perempuan yang belum terungkap karena dianggap sebagai masalah domestik dalam rumah tanggga .Hal ini tak terkecuali pada perempuan yang bekerja yang secara konsepsual mempunyai kemandirian secara ekonomi.

Penelitian ini bersifat kwalitatif dan tehnik penggumpulan data berupa observasi, indepth interview dan triangulasi.Dalam menemukan informan di gunakan metode non probability sampling jenis snow ball sampling.Sedangkan untuk analisa data di gunakan analisis domain dan analisa tema.Kesemua validitas dan reabilitas nya di uji menggunakan metode triangulasi .

Hasil penelitian yang terdapat pada perempuan bekerja yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga kabupaten Aceh tamiang bukan hanya berdampak pada ketidak stabilan emosi dan aktifitas seksual saja. Namun berdampak pada anak korban berupa rasa malu, rendah diri, dan kecewa

Saran yang di harapkan pada penelitian ini adalah perlu adanya sosialisasi UU KDRT mulai dari kalangan bawah sampai tingkat atas,perlunya di bangun kerangka strategi advokasi untuk mendorong terjadinya produk kebijakan yang memperhatikan hak korban dan anak termasuk penanganan masalah kesehatan jiwa dan kesehatan reproduksi yang dialami nya. Perlu adanya aturan hukum berupa sangsi bagi pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga sesuai derajat kekerasan yang dilakukan sehingga tindakan yang bersifat kesewenang-wenagan tidak terjadi lagi

Kata Kunci : Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Ketidakstabilan Emosi , Aktivitas Seksual


(6)

ABSTRACT

This research is based on their reality that violence in households which affect working women is like an iceberg. Although it is reported in various printing media, electronic media and seminars , we are still shocked by the fact that there is a lot of uncovered vilence toward women since it is regarded as a domestic problem in a family life. This case also occurs in working women who conceptually have potential economic independence.

This research was quality and data were gathered by conducting observation, in depth interviews and triangulation. The informants were obstained by using non probability sampling with snowball, sampling technique. The data were analyzed by using domain and thematic analysis. Their validity and reability were tested by using triangulation method

The result of the research showed that working women who underwent violence in their household in Aceh Tamiang district not only suffered from the instability in emotion and sexual activity but also had the impact on their children who felt ashamed, inferior and disappointed

It is recommended that socialization of UU KDRT ( Law on Violence in Household) from the bottom up level should be needed, the strategy framework for advocacy should also be needed in order to enchourge the policy product which concerns with the rights of the victims and children, including the handling of their mental health and reproduction health problems, and sanction should be imposed on the perpators of violence in house holds, according to the level of violence so what this cruel action doesn’t occur anymore.

Keywords: Violence In Household, Emotional Instability, Sexual Activities


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkah karuniaNya lah tesis ini selesai tepat pada waktunya. Adapun tesis ini berjudul ketidakstabilan emosi dan aktifitas seksual perempuan bekerja yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga di kabupaten Aceh Tamiang tahun 2013.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara.

Dalam penulisan tesis ini, saya mendapat bantuan,dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H.M.Sc(CTM),Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatra Utara

2. Dr. Drs. Surya Utama,M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU yang telah memberikan kesempatan kepada saya mengikuti pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si. selaku sekertaris program S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas KesehatanMasyarakat Universitas Sumatra Utara dan ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberi waktu,pikiran serta tenaga dalam


(8)

membimbing dan mengarahkan saya selama penyusunan tesis ini penuh dengan kesabaran

4. Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D selaku ketua pembimbing I yang banyak memberi support dan dukungan serta meluangkan waktu ,pikiran dan tenaga dalam membimbing saya dan mengarahkan saya selama penyusuna tesis ini dengan penuh kesabaran

5. Asfriyati, S.K.M, M.Kes selaku pembimbing II juga yang banyak memberi support dan dukungan serta meluangkan waktu,pikiran dan tenaga dalam membimbing saya dan mengarahkan saya dalam penyususnan tesis ini dengan penuh kesabaran.

6. Dr. Ria Masniari Lubis, M.Si selaku penguji I yang memberi masukan dan dorongan serta waktu dalam pembuatan dan perbaikan tesis ini

7. Drs. Tukiman M.K.M selaku Penguji II yang telah memberi masukan dan dorongan serta waktu dalam pembuatan dan perbaikan tesis ini

8. Orang tua tersayang Ibunda Hj. Dewi Sri leni teriring doa untuk Alm Papa ir.H Arifin S Ritonga, dan kedua saudara laki-laki saya Alm Andri GAtot Agustian serta Agung Putra Arifin juga kedua mertua saya yang telah memberikan doa dan dukungan moril

9. dr. M. Nur Fajri, M. Kes dan anak-anak, M. Dafa Tira Pratista, M. Dimas Rifa Afila, serta Vito Riskullah ritonga yang penuh kasih sayang serta selalu mendoakan dan mensupport saya dalam menyelesaikan tesis ini.


(9)

10.Dalam penelitian ini saya dengan pertimbangan etika, maka nama dan identitas subyek saya samarkan untuk melindungi subyek dari bermacam hal yang merugikan dan merusak nama baiknya ke depan.

Saya menyadari bahwa penulisan ini mempunyai kekurangan. Untuk itu, saya menerima kritikan dan saran yang disampaikan demi perbaikan tesis ini saya ucapkan terima kasih.

Akhirnya saya mohon maaf yang setulus dan sebesarnya kepada semua pihak jika ditemui kekurangan selama saya mengikuti pendidikan dan penelitian berlangsung. Semoga Tuhan yang Maha Kuasa yang membalas semua kebaikan yang diberikan kepada saya dengan berlipat-lipat ganda. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Oktober 2013 Penulis

Lia Imelda Siregar 117032189/IKM


(10)

RIWAYAT HIDUP

Saya bernama Lia Imelda Siregar, dilahirkan di Medan 25 April 1974 dari perkawinan Alm Ir. H. Arifin ,S. Siregar dan Hj. Dewi Sri Leni. Menikah dengan dr. H. M. Nur Fajri dan dikaruniai dua orang anak laki-laki yaitu : M. Dafa Tira Pratista dan M. Dimas Rifa Afila.Saya berdomisili di Jl. Medan Banda Aceh , Kecanatan Manyak Payed, Aceh Tamiang, Aceh.

Awal pendidikan pertama di tamatkan pada tahun 1980 di TK Persit Kartika Chandra Kirana. Enam tahun berselang ijasah SD di keluarkan dari SD Xaverius Tanjung Karang ,Bandar Lampung .Dalam yayasan yan g sama , tiga tahun kemudian tepat nya 1989 saya menampatkan sekolah menegah pertama. Masa Sekolah menengah tingkat atas, orang tua saya pindah ke Medan sehingga saya di daftarkan di SMAN satu dan tamat pada tahun 1992. Keinginan saya menjadi seorang dokter diambil dengan menamatkan di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara pada tahun 2000. Menjadi mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Sumatra Utara peminatan Kesehatan Reproduksi pada tahun 2011

Setelah tamat saya di tempatkan di Puskesmas Sapta jaya sebagai dokter PTT. Berselang tiga bulan berpindah di Puskesmas Bendahara .Tiga bulan kemudian saya diangkat menjadi Kepala Puskesmas Karang baru selamaempat tahun. Berpindah lagi ketempat lama di Puskesmas Bendahara sebagai Kepaa Puskemas sampai tahun 2011. Yang terakhir saya di promosikan menjadi Kepala Bidang Pelayanan Medik di RSUD Aceh Tamiang sampai sekarang.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 11

2.1.1. Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 11

2.1.2. Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 12

2.1.3. Faktor yang Mendorong Terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 14

2.1.4. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 15

2.2. Perempuan Bekerja ... 17

2.2.1. Definisi Perempuan Bekerja ... 17

2.2.2. Faktor Penyebab Perempuan Menikah Bekerja ... 18

2.2.3. Konflik Peran Ganda pada Perempuan Bekerja ... 19

2.2.4. Hubungan Kemandirian Perempuan Bekerja dengan Sikap terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 21

2.3. Emosi ... 21

2.3.1. Definisi Emosi ... 21

2.3.2. Hubungan Emosi dengan Gejala Jasmani ... 23

2.3.3. Pengelompokan Emosi ... 24

2.3.4. Pengertian Kestabilan Emosi ... 29

2.3.5. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kestabilan Emosi 29 2.3.6. Reaksi Emosional yang Umum Terjadi pada Saat Stress ... 31

2.3.7. Dampak Emosi pada Perempuan yang Mengalami Kekerasan Rumah Tangga . ... 31

2.4. Aktivitas Seksual ... 44

2.4.1. Aktivitas ... 44


(12)

2.4.3. Aktivitas Seksual ... 47

2.4.4. Senggama ... 48

2.4.5. Orgasme pada Perempuan ... 48

2.4.6. Motivasi Seksual ... 50

2.4.7. Kendala Eksternal Hubungan Seksual ... 52

2.4.8. Penurunan Libido ... 53

2.4.9. Disfungsi Seksual ... 53

2.4.10. Dampak Seksual Perempuan yang Mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 56

BAB 3. METEDOLOGI PENELITIAN ... 61

3.1. Jenis Penelitian ... 61

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 62

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 62

3.2.2. Waktu Penelitian ... 62

3.3. Informan Penelitian ... 62

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 63

3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 64

3.6. Metode Analisa Data ... 68

3.7. Validitas dan Reabilitas Data ... 69

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 71

4.1.Deskripsi Lokasi Penelitian ... 71

4.2 Proses Penelusuran Informan ... 71

4.3 Pengalaman Penulis dengan Informan... 72

4.3.1 Kasus R ... 74

4.3.2 Kasus I ... 81

4.3.3 Kasus S ... 85

4.3.4 Kasus Y ... 89

4.4. Metode analisa data ... 92

4.4.1. Analisa Domain ... 92

4.4.2. Analisa Tema ... 93

4.4.2.1. Tema 1 Pemahaman Tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga yang Dialami Perempuan Bekerja. ... 93

4.4.2.2. Tema 2: Dampak KDRT pada Ketidakstabilan Emosi ... 97

4.4.2.3 Dampak KDRT pada Aktivitas Sexual ... 100


(13)

BAB 5. PEMBAHASAN ... 104

BAB 6. PENUTUP ... 114

6.1 Kesimpulan ... 114

6.2. Saran ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 116 LAMPIRAN


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Surat Pernyataan ... 122

2. Jadwal Kunjungan Pada Informan ... 126

3. Transkrip Wawancara ... 129

4. Karakteristik Subjek ... 162

5. Tema ... 165


(15)

ABSTRAK

Penelitian ini berangkat dari kenyataan bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada perempuan bekerja seperti fenomena gunung es. Walaupun di bicarakan di dalam media cetak, media elektronik maupun seminar namun seolah-olah kita di kejutkan dengan dengan kondisi bahwa begitu banyak kekerasan terhadap perempuan yang belum terungkap karena dianggap sebagai masalah domestik dalam rumah tanggga .Hal ini tak terkecuali pada perempuan yang bekerja yang secara konsepsual mempunyai kemandirian secara ekonomi.

Penelitian ini bersifat kwalitatif dan tehnik penggumpulan data berupa observasi, indepth interview dan triangulasi.Dalam menemukan informan di gunakan metode non probability sampling jenis snow ball sampling.Sedangkan untuk analisa data di gunakan analisis domain dan analisa tema.Kesemua validitas dan reabilitas nya di uji menggunakan metode triangulasi .

Hasil penelitian yang terdapat pada perempuan bekerja yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga kabupaten Aceh tamiang bukan hanya berdampak pada ketidak stabilan emosi dan aktifitas seksual saja. Namun berdampak pada anak korban berupa rasa malu, rendah diri, dan kecewa

Saran yang di harapkan pada penelitian ini adalah perlu adanya sosialisasi UU KDRT mulai dari kalangan bawah sampai tingkat atas,perlunya di bangun kerangka strategi advokasi untuk mendorong terjadinya produk kebijakan yang memperhatikan hak korban dan anak termasuk penanganan masalah kesehatan jiwa dan kesehatan reproduksi yang dialami nya. Perlu adanya aturan hukum berupa sangsi bagi pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga sesuai derajat kekerasan yang dilakukan sehingga tindakan yang bersifat kesewenang-wenagan tidak terjadi lagi

Kata Kunci : Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Ketidakstabilan Emosi , Aktivitas Seksual


(16)

ABSTRACT

This research is based on their reality that violence in households which affect working women is like an iceberg. Although it is reported in various printing media, electronic media and seminars , we are still shocked by the fact that there is a lot of uncovered vilence toward women since it is regarded as a domestic problem in a family life. This case also occurs in working women who conceptually have potential economic independence.

This research was quality and data were gathered by conducting observation, in depth interviews and triangulation. The informants were obstained by using non probability sampling with snowball, sampling technique. The data were analyzed by using domain and thematic analysis. Their validity and reability were tested by using triangulation method

The result of the research showed that working women who underwent violence in their household in Aceh Tamiang district not only suffered from the instability in emotion and sexual activity but also had the impact on their children who felt ashamed, inferior and disappointed

It is recommended that socialization of UU KDRT ( Law on Violence in Household) from the bottom up level should be needed, the strategy framework for advocacy should also be needed in order to enchourge the policy product which concerns with the rights of the victims and children, including the handling of their mental health and reproduction health problems, and sanction should be imposed on the perpators of violence in house holds, according to the level of violence so what this cruel action doesn’t occur anymore.

Keywords: Violence In Household, Emotional Instability, Sexual Activities


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Isue kerasan terhadap perempuan semakin gencar dan menjadi fenomenal. Meningkatnya kasus perceraian yang disebabkan kekerasan dalam rumah tangga menyebabkan isue ini menjadi semakin aktual. Peran media massa dan elektronik terutama televisi ikut andil mengungkapkan pelaku dan korban kekerasan mulai dari masyarakat biasa sampai artis bahkan politikus (Harmona Daulay, 2007).

Fenomena gunung es lebih tepat kita berikan pada kekerasan dalam rumah tangga karena yang terlaporkan sedikit sementara kejadian di masyarakat yang tidak terlaporkan sangat banyak. Kesulitan mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga karena adanya faktor budaya dan kultural yang diakui dan masih dianggap normal, membuat korban enggan melaporkan kejadian tersebut. Sebagian besar perempuan diam dan tidak berdaya serta bersikap memperbolehkan atau memaklumi tindakan kekerasan tadi. Perempuan sering mengorbankan diri demi keutuhan rumah tangga dengan tidak menceritakan aib keluarga dan tetap menjaga anak dari perasaan tidak nyaman. Sehingga kita tak dapat menjumpai data yang akurat untuk mewakili angka kejadian yang sesungguh nya. (Erna Suryadi, 2011)

Arie (2006) dalam sebuah jurnal psikologi mengatakan bahwa kepedulian dan upaya masyarakat mengatasi hal ini mulai banyak dilakukan, apalagi sejak di berlakukannya UU KDRT N0 23 tahun 2004, maka perlahan semakin berani


(18)

perempuan untuk mengungkapkan penderitaan nya. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kekerasan terhadap perempuan masih terjadi ?

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh laki-laki merupakan satu bentuk ego maskulinitas sebagai mahluk yang kuat dan wanita adalah mahluk yang lemah sehingga mempermulus kejadian KDRT tersebut. Hal ini di pertegas Richmon (1992) yang menyatakan bahwa masyarakat kita masih menganut budaya patriarki dimana laki-laki adalah superior dan dominan terhadap perempuan. Karena sifat dominannya itu, istri dianggap benda mati dan menjadi hak milik penuh sehingga harus menerima kekerasan yang dialami sebagai suatu tindakan yang wajar.

Menurut catatan Mitra Perempuan, hanya 15% perempuan yang mengalami KDRT menempuh jalur hukum, dan mayoritas 45,2% memutuskan pindah rumah dan 10,9 % memilih diam. Berdasarkan studi kasus persoalan Kekerasan Terhadap Istri (KTI) yang masuk di RifkaAnnisa Womens Crisis Center pada tahun 1997-2002 dari 125 KTI, 11% diantaranya mengakhiri perkawinannya dengan perceraian, 13% mengambil jalan keluar dengan cara melaporkan suami ke polisi, ke atasan suami atau mengajak berkonseling dan mayoritas korban 6% mengambil keputusan kembali kepada suami dan menjalani perkawinan nya penuh dengan kekerasan (Hayati, 2002).

Definisi KDRT sendiri mempunyai arti yaitu setiap perbuatan terhadap seseorang perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan


(19)

hukum dalam lingkup rumah tangga (UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23/2004).

Laporan WHO tahun 2002 mengenai violence and health (kekerasan dan kesehatan) menunjukkan kualitas kesehatan perempuan menurun drastis akibat kekerasan yang dialaminya. Hal tersebut dibuktikan bahwa antara 40-70 % perempuan yang meninggal karena pembunuhan, umumnya dilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri.

Data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa pada tahun 1998, jumlah perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Turki mencapai 57,9 %. Sedangkan perempuan India pada tahun 1999 mencapai 49 %, Amerika Serikat mencapai 22,1 % pada tahun yang sama. Sedangkan perempuan menikah Bangladesh mengalami kekerasan yang dilakukan suami nya pada tahun 2000 mencapai 60% (Moerti, 2010). Di Amerika Serikat perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga memerlukan perawatan psikiatri empat sampai lima kali lebih banyak dan lima kali lebih tinggi dari upaya bunuh diri yang belum pernah mengalami kekerasan. Yang lebih mengerikan berita dari Norwegia 25 % dari pasien ginekologi perempuan telah disalahgunakan secara fisik dan seksual oleh suaminya (Marge, 1997).

Di Indonesia juga di lakukan beberapa penelitian tentang kekerasan dalam rumah tangga. Menteri Pemberdayaan Perempuan yang mengatakan bahwa 50% perempuan menikah lulusan SD di pedesaan cenderung mengalami kekerasan berupa pemukulan dari suami mereka, dengan salah satu alasan seperti menghanguskan


(20)

makanan, bertengkar dengan suami, pergi tanpa ijin suami, menelantarkan suami, menolak hubungan seks dengan suami (Quratul Uyun, 2002). Pada sumber yang sama di sebutkan bahwa satu dari tiga perempuan pernah di pukul, dipaksa melakukan hubungan seksual, mengalami penyiksaan suami. Masih data dari Menteri Pemberdayaan Perempuan terdapat 11,4 % dari 217 juta penduduk Indonesia terutama di pedesaan pernah mengalami kekerasan dan terbesar adalah kekerasan dalam rumah tangga .

Hakimi dkk (2001) di Jawa Tengah melaporkan bahwa jenis kasus kekerasan yang terbanyak pada perempuan adalah fisik dan sexual (27%), di penelitian Erni Sulastri (2002) lebih banyak istri yang mendapat kekerasan psikologis dan sexual. Hasil penelitian Rifka Anisa Women Crisis Center di Yogyakarta (1995) menemukan bahwa perempuan yang mendapat kekerasan secara psikologis (48,09%), sedangkan penelitian di Indra mayu perempuan yang mendapat kan kekerasan psikologis jumlah nya jauh lebih banyak yaitu 90,48%. Hal ini terjadi karena setiap responden yang mengalami kekerasan fisik, seksual dan ekonomi selalu di sertai kekerasan psikis. Penelitian eksploratif di Indra mayu ini juga menegaskan bahwa lebih dari 50% perempuan mengaku sering dipaksa untuk menuruti keinginan suami nya untuk berhubungan badan, padahal dirinya tak menginginkan karena lelah, sakit ataupun menstruasi. Tak terlepas penelitian dari ujung pulau Indonesia bahwa 18% dari seluruh istri yang di survei di Papua pernah menerima perawatan akibat kekerasan dalam rumah tangga.


(21)

Kekerasan dalam rumah tangga tidak saja berdampak pada perempuan, namun juga berdampak pada anak. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nurika (2011), ibu bekerja yang mengalami stress baik dari pekerjaan atau dari kekerasan yang ada dalam ruma tangga akan melakukan kekerasan yang sama pada anak nya. Kekerasan itu dalam bentuk fisik dan psikis dan biasanya terjadi saat umur anak 10-12 tahun. Amato (2008) menyatakan anak yang memiliki keluarga dalam kekerasan dalam rumah tangga sering kurang sukses di sekolah, merasa kecewa, terlibat dalam kekerasan di sekolah, penggunaan obat-obatan, depresi, gangguan tidur, phobia, menikah usia muda, memiliki anak sebelum menikah dan akhirnya kembali mengalami kehancuran rumah tangga

Angka perceraian ditengarai bisa mewakili tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dapat juga terjadi di daerah Aceh yang konon dijuluki “Serambi Mekkah” dimana kultur agama, budaya dan sosial yang kuat tidak menjamin tidak memiliki data angka perceraian. Begitu juga di Kabupaten Aceh Tamiang yang merupakan salah satu kabupaten di Aceh. Pada Tahun 2011, Kabupaten Aceh tamiang memiliki jumlah penduduk sebanyak 251.914 jiwa, 127.355 laki-laki dan 124.559 perempuan. Perempuan yang bekerja di sektor formal sebanyak 653 orang. Dan pada tahun 2012 jumlah penduduk Kabupaten Aceh Tamiang 257.681 jiwa, lelaki 130.264 jiwa, perempuan 127.417 jiwa. Perempuan yang bekerja di sektor formal sebanyak 737 orang. Tak dijumpai data perempuan yang bekerja di sektor non formal. (Data Sekertariat, 2012). Data yang diambil dari Mahkamah Syariah Kabupaten Aceh Tamiang menunjukan peningkatan kasus dari tahun 2010 yaitu 263


(22)

kasus, tahun 2011 sebanyak 298 kasus dan pada tahun 2012 terjadi 225 kasus dan tiga penyebab teratas yaitu ketidak harmonisan, ekonomi dan perselisihan sering yang terjadi (Mahkamah Syariah Kabupaten Aceh Tamiang, 2012). Namun angka ini berbeda data yang ada di Kepolisian, istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga ke Kepolisian Resort Aceh Tamiang terdapat 4 kasus pada tahun 2011 yang kesemuanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Dan pada tahun 2012 terdapat 7 kasus dimana dua orang adalah perempuan bekerja.

Kekerasan dalam rumah tangga dapat melanda siapa saja tanpa mengenal status sosial bahkan istri yang bekerja pun mendapat resiko tersebut. Di masa lampau, perempuan masih sangat terikat dengan nilai-nilai tradisional yang mengakar di tengah-tengah masyarakat. Peran nya hanya di dapur, sumur dan kasur membuat perempuan hanya sebagai pemuas di rumah tangga

Sehingga jika ada perempuan yang berkarir untuk mengembangkan keahliannya di luar rumah, dianggap telah melanggar tradisi dan dapat dikucilkan dari pergaulan masyarakat serta lingkungannya. Perempuan praktis menjadi warga kelas dua dalam kehidupan masyarakat, yaitu warga yang ‘nrimo’ nasib yang diputuskan (Munandar, 2010).

Irawati (2008) mengatakan bahwa pada masa era globalisasi ini perempuan tidak hanya berada pada ranah domestik namun sudah mulai merambah ke sektor publik. Perempuan menjalankan peran ganda baik sebagai individu, istri, ibu maupun anggota masyarakat. Sangat rawan dengan konflik yang terjadi dalam rumah tangga. Konflik terjadi karena salah satu kebutuhan pribadi tidak dapat terpenuhi. Konflik


(23)

yang berkepanjangan kadang justru bisa berdampak pada kekerasan dalam rumah tangga yang berujung dengan perceraian, dan yang tragisnya perempuan yang sudah membantu perekonomian keluarga itulah jadi korban nya.

Setiap kekerasan yang terjadi pada perempuan bekerja tentu saja berdampak pada korban maupun anak nya. Hayati (2000) berpendapat bahwa kekerasan yang dialami oleh istri berdampak pada kesehatannya. Dampak kekerasan itu berupa kelainan fisik berupa kecacatan bahkan yang paling tragis bisa menimbulkan kematian. Secara psikologis berupa tekanan mental, depresi, stess, menurunnya kepercayaan diri, ketidakstabilan emosi serta bergantung dengan suami yang menyiksanya. Apabila ia memiliki anak kemungkinan anak dibimbing dengan kekerasan, peluang berlaku kejam pada anak akan semakin meningkat, anak dapat mengalami depresi, dan berpotensi untuk melakukan kekerasan terhadap pasangannya ketika ia sudah dewasa seperti yang pernah dilihatnya. Bagi wanita pekerja mempengaruhi kinerja nya di kantor, lebih banyak membuang waktu untuk mencari bantuan dengan bercerita pada teman, psikolog maupun psikiater. Takut kehilangan pekerjaan dan gangguan kesehatan reproduksi seperti terjadi nya abortus, kehamilan yang tak diingin kan bahkan aktivitas seksual yang dingin. Dampak yang paling sering tidak nampak dan berbekas berupa tekanan emosional dan gangguan aktifitas seksual (Kossek & Ozeki, 1998).

Richmon (1992) mengatakan kekerasan dan dominasi pria dapat membatasi kehidupan sex dan reproduksi wanita. Padahal Konfrensi Kependudukan di Kairo (1994) menjelaskan bahwa kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraaan fisik,


(24)

mental dan sosial yang utuh tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan fungsi serta proses nya. Berarti seseorang harus mempunyai kehidupan seks yang memuaskan dan aman. Mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan bagaimana, bila mana dan seberapa sering mereka melakukan aktifitas seksual.

Masih sangat sedikit penelitian tentang aktifitas seksual pada perempuan apalagi perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Seperti yang di teliti Klinik Gracia Denpasar, dalam enam tahun menunjukan bahwa dari 4135 perempuan datang berkonsultasi masalah seks nya, terdapat 55,7 % (2301) yang tidak pernah mencapai orgasme. Dan 12,7% (527) perempuan tidak pernah orgasme, namun data ini tidak dijelaskan apakah perempuan ini mendapat unsur kekerasan dalam rumah tangga (Pribakti, 2010)

Bagaimana pula aktifitas seksual perempuan yang sudah kelelahan bekerja masih harus mendapat kekerasan dalam rumah tangga. Komunikasi yang searah dan perasaan terluka akibat kekerasan yang terjadi mempengaruhi ketidak puasan perempuan sehingga perempuan berlaku seperti “gedebong pisang” atau berpura-pura orgasme dalam melakukan aktivitas tersebut. Hal ini tentu membuat suami tambah emosi dan kekerasan itu terjadi lagi sehingga mirip seperti mata rantai yang tak terputuskan dan kadang berujung dengan perceraian

Pada kasus perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga mereka hampir tak mempunyai motif terhadap kehidupan seksualnya. Sehingga mereka menganggap bahwa seks hanya sebuah hubungan yang di paksakan .


(25)

Hubungan seks yang dipaksakan terjadi karena korban tak ingin kehilangan pasangannya, anggapan hubungan seks yang menjadi sebuah kewajiban, pasangan mereka membuat mereka seolah-olah bersalah, ingin memuaskan pasangan untuk menghindari konflik. Padahal Indonesia sudah menetapkan “ZERO TOLERANCE POLICY” terhadap kekerasan dalam rumah tangga, yang artinya tidak ada lagi pemaafan bagi orang yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Namun mengapa perempuan yang bekerja justru menganggap hal itu sebagai suatu kewajaran dan tak patut untuk di bicarakan?.

Peneliti melakukan survei pendahuluan pada tiga orang yang berprofesi bidan yang masing masing mengalami kekerasan dalam rumah tangga nya. Diambil profesi bidan selain hubungan nya secara pekerjaan dekat, bidan dianggap mengetahui apa makna dari kesehatan reproduksi sehingga lebih mudah berkomunikasi. Diketahui bahwa ketiganyanya dengan latar belakang pendidikan yang sama mengalami kekerasan rumah tangga, satu dari tiga perempuan tersebut pada saat melakukan aktifitas seksualnya justru berlebihan seperti layak nya “perempuan bayaran kelas mahal“ dalam melayani suaminya. Beliau berpendapat bahwa justru hanya di ranjang lah perempuan dikatakan hebat, tidak untuk hal yang lain.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang diatas didapati sebuah permasalahan bahwa walaupun pemerintah Indonesia sudah menetapkan zone intolerance police pada kekerasan dalam rumah tanga, namun masih ada angka kekerasan yang


(26)

dilaporkan walaupun angka tersebut masih bersifat seperti fenomena gunung es. Perempuan yang bekerja yang secara kasat mata dapat mandiri secara ekonomi,juga termasuk dalam pelaporan tersebut walau jumlah yang terlaporkan masih sedikit. Berdasarkan oleh fakta tersebut diatas peneliti ingin mengetahui benarkah fenomena kekerasan dalam rumah tangga berakibat langsung terhadap aktifitas seksual dan kestabilan emosi nya pada perempuan bekerja.

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengungkap fenomena yang terjadi terhadap perempuan yang bekerja dan mengalami kekerasan di dalam rumah tangga. Bila kekerasan dalam rumah dibiarkan tidak hanya berdampak pada produktivitas dan kesehatan ibu, namun juga pada pekembangan psikologis anak.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi faktor-faktor yang menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga dan dampak pada emosi serta aktivitas seksual pada perempuan yang bekerja

2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan dan pengetahuan teoritik di bidang kesehatan reproduksi yang masih sangat sedikit.

5. Sebagai sumber informasi kepada peneliti lain untuk melaksanakan penelitian lanjutan.


(27)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kekerasan dalam Rumah Tangga

2.1.1. Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga

Beberapa istilah yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga, Wife Abuse, Wife Bathering, Wife Beating, Spouse Abuse, Domestic Violance, Violance

Against Women. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) “KEKERASAN”

diartikan dengan perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik. Dengan demikian kekerasan merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau unsur yang perlu di perhatikan adalah berupa paksaan atau ketidak relaan pihak yang dilukai. Sedangkan pengertian rumah tangga tidak dapat ditemukan dalam deklarasi PBB, namun secara umum dapat diketahui bahwa rumah tangga merupakan organisasi terkecil dalam masyarakat yang terbentuk karena adanya ikatan perkawinan. Yang dijumpai adalah pengertian “KELUARGA” yang tercantum dalam pasal 1 ke 30 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHP yaitu : keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajad tertentu atau hubungan perkawinan.

Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasaan terhadap Perempuan mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender based violence) yang berakibat atau mungkin berakibat


(28)

kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual,ataupun psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.

Pasal 2 menjelaskan kekerasan terhadap perempuan harus dipahami tak hanya terbatas pada tindakan kekerasan fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga dan masyarakat, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dan perkawinan (marital rape), pengrusakan alat kelamin perempuan, dan praktik kekejaman tradisonal lain terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi perempuan, perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja dalam lembaga pendididkan dan sebagainya, perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa, serta termasuk kekerasan yang dilakukan dan di benarkan oleh negara dimanapun terjadinya. (Rika,2009)

2.1.2 Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 mengatakan bahwa : setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman atau melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. (1) Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.


(29)

Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul, melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya. (2) Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau, menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak. (3) Kekerasan seksual meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri. (4) Kekerasan ekonomi adalah setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri (Moerti, 2010).

Cookfair (1996) mengungkapkan kekerasan terhadap perempuan terdiri dari (1) Kekerasan fisik (Physical Abuse) merupakan kekerasan yang dilakukan berulang-ulang seperti mendorong, mendesak, menampar, menendang, menyerang, dengan senjata, menahan, menolak, (2) Kekerasan emosional atau psikologis (Emotional


(30)

Abuse) yang mungkin di dahului atau bersamaan dengan kekerasan fisik, seperti mengancam, atau melukai fisik, mengisolasi atau cemburu, merampas, mengintimidasi, menghina dan terus mengkritik, (3) Kekerasan seksual (Sexual

Abuse) adalah pemaksaan seksual. Hasil penelitian Djannah dkk (2003)

menambahkan dari ketiga bentuk kekerasan yang diatas adalah bentuk kekerasan ekonomi. Bentuk kekerasan ini seperti perilaku suami yang membatasi istri untuk bekerja, untuk menghasilkan uang, dan atau membiarkan istri bekerja untuk di eksploitasi atau menelantarkan keluarga dari tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Jadi ekonomi ini dapat menimpa istri yang bekerja maupun yang menjadi ibu rumah tangga.

2.1.3 Faktor yang Mendorong terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga

Quratul uyun (2002) mengatakan bahwa faktor budaya patriarki yang mengganggap pria memiliki kekuasaan yang dominan mengakibatkan perasaan inferior bagi perempuan. Nevid (1997) sendiri menambahkan bahwa kekerasan yang terjadi menunjukan proses normalisasi strategi pria untuk menguasai wanita. Adapun faktor yang mendorong terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap kan oleh Moerti (2010); (1) Masalah keuangan, (2) Cemburu, (3) Masalah anak, (4) Masalah mertua, (5) Masalah Saudara, (6) Masalah sopan santun, (7) Masalah masa lalu, (8) Masalah salah paham, (9) Masalah tidak memasak, (10) Suami mau menang sendiri


(31)

Sedikit berbeda dengan Hakimi dkk (2011) faktor pemicu tindak kekerasan justru terjadi karena hal yang sepele seperti tidak meyediakan makan yang tepat pada waktunya, tidak mampu merawat anak dan rumah dengan baik, menolak suami berhubungan seks, menanyakan pengeluaran ekonomi suami. Erni Sulastri (2003) menambahkan perselingkuhan, penolakan hubungan sex serta lingkungan menjadi faktor kekerasan dalam rumah tangga tersebut.

2.1.4 Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga

Akibat dari kekerasan dapat mempengaruhi mental dan kesehatan fisik perempuan. Hal tersebut di kemukakan juga oleh Nevid dkk (1997) bahwa kekerasan terhadap istri menyebabkan depresi, harga diri rendah resiko luka fisik serta trauma sampai menyebabkan kematian. Lips (1998) menyatakan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga sering merasa menjadi orang yang tidak mampu (powerlessness) dan tak berdaya (helpness). Erni Sulastri (2003) mengatakan adanya rasa sakit bekas kekerasan fisik, sakit juga terasa pada daerah vagina perasaan cemas, takut tertekan dan kehilangan percaya diri hingga stress

Hasbianto (1996) mengatakan bahwa secara psikologis tindak kekerasan terhadap istri mengakibatkan gangguan emosi, kecemasan dan depresi yang secara konsekwensi logis dapat mempengaruhi kesehatan reproduksinya. Yang menarik adalah gambaran diri perempuan sebagai korban kekerasan yang dianiaya secara verbal seperti dengan mengatakan bahwa ia memiliki arti, tolol, dan semua label lainnya, maka semakin perempuan melihat bahwa memang begitulah dirinya.


(32)

Kekerasan yang terjadi pada perempuan bekerja selain berdampak pada dirinya juga pada lingkungan sekitarnya. Perlakuan kejam yang dialami para korban itu mengakibatkan timbulnya berbagai macam penderitaan seperti: (a). Jatuh sakit akibat stres seperti sakit kepala, asma, sakit perut, (b) Menderita kecemasan, depresi, dan sakit jiwa akut, (c) Berkemungkinan untuk bunuh diri atau membunuh pelaku, (d) Kemampuan menyelesaikan masalah rendah (e) kemungkinan keguguran dua kali lebih tinggi bagi korban yang hamil,(f) bagi yang menyusui, ASI sering kali terhenti akibat tekanan jiwa, (g) lebih berkemungkinan bertindak kejam terhadap anak, karena tidak dapat menguasai diri akibat penderitaan yang berkepanjangan dan tidak menemukan jalan keluar (Erna, 2011)

Hayati (2000) berpendapat bahwa kekerasan yang dialami oleh istri berdampak pada kesehatannya. Dampak kekerasan itu berupa kelainan fisik berupa kecacatan bahkan yang paling tragis bisa menimbulkan kematian. Secara psikologis berupa, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri , ketidakstabilan emosi serta rasa ketergantungan pada suami yang menyiksanya. Apabila ia memiliki anak kemungkinan anak dibimbing dengan kekerasan, peluang berlaku kejam pada anak akan semakin meningkat, anak dapat mengalami depresi, dan berpotensi untuk melakukan kekerasan terhadap pasangan nya ketika ia sudah dewasa seperti yang pernah dilihatnya. Bagi perempuan pekerja mempengaruhi kinerja nya di kantor, lebih banyak membuang waktu untuk mencari bantuan, cerita kepada teman, psikolog atau psikiater dan merasa takut kehilangan pekerjaan nya. Dan gangguan kesehatan reproduksi seperti terjadi nya abortus, kehamilan yang tak diingin kan bahkan


(33)

aktivitas seksual yang dingin. Dampak yang paling sering tidak nampak dan berbekas berupa tekanan emosional dan gangguan aktifitas seksual (Kossek & Ozeki, 1998). Fatahillah (2002) mengatakan bahwa ada beberapa hambatan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yaitu : (1) Persepsi masyarakat Indonesia terhadap KDT menganggab bahwa itu adalah masalah pribadi, (2) Paradigma legalistik aparat penegak hukum yang belum memberikan perlindungan penuh terhadap korban, (3) Kekerasan fisik yang hanya jadi bukti akurat ada kekerasan dalam rumah tangga menyebabkan kekerasan yang lain terabaikan.

2.2 Perempuan Bekerja

2.2.1. Definisi Perempuan Bekerja

Definisi perempuan bekerja menurut Encyclopedia Of Children’s Health, adalah seorang perempuan yang bekerja di luar rumah untuk mendapatkan penghasilan disamping membesarkan dan mengurus anak dirumah dalam Lerner, (2001), juga menyebutkan bahwa perempuan bekerja adalah perempuan yang memiliki anak dari umur 0-18 tahun dan menjadi tenaga kerja. Menurut Ihromi (1990), perempuan bekerja adalah perempuan yang sudah bersuami dalam kehidupan atau kegiatan sehari-harinya bekerja di luar rumah mencari nafkah baik sebagai pegawai negri ataupun yang bekerja swasta.

Hal ini juga di perkuat oleh Suryadi dalam Anoraga (2001) mengartikan perempuan bekerja sebagai perempuan yang bekerja untuk menghasilkan uang atau lebih cenderung pada pemanfaatan kemampuan jiwa atau karena adanya suatu


(34)

peraturan sehingga memperoleh kemajuan dan perkembangan dalam pekerjaan, jabatan, dan lain-lain

2.2.2 Faktor Penyebab Perempuan Menikah Bekerja

Motivasi untuk bekerja dengan mendapat penghasilan khususnya untuk perempuan golongan menengah tidak lagi hanya untuk ikut memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, melainkan juga untuk menggunakan keterampilan dan pengetahuan yang telah mereka peroleh serta untuk mengembangkan dan mengaktulisasikan diri (Ihromi, 1990).

Pendapat ini di benarkan oleh Rini (2002) dengan mengatakan beberapa faktor yang mendorong wanita bekerja di luar rumah, yaitu : (1) Kebutuhan financial, faktor ekonomi umumnya menjadi alasan seorang wanita bekerja karena dengan penghasilan yang diperoleh, dapat memenuhi kebutuhan seharihari, (2) Kebutuhan sosial dan relasional, kebutuhan sosial-relasional merupakan kebutuhan akan penerimaan sosial, identitas sosial yang diperoleh melalui komunitas kerja, (3) Kebutuhan aktualisasi diri, bekerja merupakan salah satu jalan untuk mengaktualisasikan diri

Maslow dalam Rini (2002) bahwa salah satu kebutuhan bagi manusia adalah aktualisasi diri. Dengan bekerja, seseorang dapat bekerja, berkreasi, mencipta, mengekspresikan diri, mengembangkan diri dengan orang lain, membagikan ilmu dan pengalaman, menghasilkan sesuatu, mendapatkan penghargaan, penerimaan dan prestasi.


(35)

Seringkali kebutuhan rumah tangga yang begitu besar dan mendesak, membuat suami dan istri harus bekerja untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kondisi tersebut membuat sang istri tidak punya pilihan lain kecuali ikut mencari pekerjaan di luar rumah. Ada pula ibu-ibu yang tetap memilih untuk bekerja, karena mempunyai kebutuhan sosial yang tinggi dan tempat kerja mereka sangat mencukupi kebutuhan mereka tersebut. Dalam diri mereka tersimpan suatu kebutuhan akan penerimaan sosial, akan adanya identitas sosial yang diperoleh melalui komunitas kerja. Bergaul dengan rekan-rekan di kantor, menjadi agenda yang lebih menyenangkan dari pada tinggal di rumah.

2.2.3 Konflik Peran Ganda pada Perempuan Bekerja

Peran perempuan dalam kehidupan baik sebagai individu, istri, ibu maupun anggota masyarakat sangat lah komplek. Konflik peran disini bermakna sebagai gabungan dua atau lebih peran sehingga pemenuhan peran yang satu menghalangi peran yang lain. Perempuan yang berperan sebagai ibu lebih banyak konflik dari pada merek yang tidak memiliki anak. Hal ini disebabkan karena perempuan yang bekerja sebagai ibu merasakan peran yang berlebih (Barnet, 1985).

Menurut Green House (dalam Irawati, 2008) mengatakan bahwa konflik peran perempuan bekerja merupakam intercole konflik. Hal ini terjadi karena apabila dalam keluarga dan pekerjaan membutuhkan perhatian yang sama dan saling dipenuhi, namun pemenuhan salah satu peran menghasilkan kesulitan pda peran yang lain. Reaksi emosional akan muncul biasanya disebabkan karena tidak dapat mengurus anak dengan sempurna.


(36)

Th Dewi (2001) mengatakan bahwa konflik peran itu perempuan seringkali mengorbankan pekerjaan jika tuntutan keluarga semakin meningkat. Perempuan masih berfikir bahwa sebuah kesuksesan bukan hanya ditandai dengan uang dan prestise maka ia akan mundur dari pekerjaan demi keluarganya. Hal itu terjadi karena perempuan tak mau dianggap bersalah bila harus dinilai mementingkan karir dari pada keluarganya. Gejala merasa bersalah, gelisah, cemas, dan frustasi akan menurunkan kesehatan fisik maupun mental ibu (Wiyarini, 1998).

Beberapa aspek yang menunjukan bahwa perempun bekerja mengalami konflik peran ganda seperti yang diungkapkan Sembel (2003), apabila kemampuan dalam mengendalikan perubahan dan merancang masa depan masih rendah, kebebasan financial yang diimpikan belum tercapai, pengelolaan waktu yang masih belum teratur, kesehatan fisik kurang diperhatikan, kecerdasan spiritual belum terasah dan manajeman kendali diri belum baik.

Hal ini diperkuat oleh Fitri (2008) bahwa aspek yang memengaruhi konflik peran ganda adalah : (1) Masalah kehadiran anak, (2) Keterlibatan dalam keluarga, (3) Komunikasi dengan keluarga, (4) Mengelola waktu, (5) Penentuan prioritas, (6) Keterlibatan kerja.

Sedangkan faktor yang memengaruhi konflik peran ganda dijelaskan oleh Rini (2002) adalah; (1) Faktor internal yaitu perasaan ibu, (2) Faktor eksternal yaitu dukungan suami, kehadiran anak dan masalah kerja.


(37)

2.2.4 Hubungan Kemandirian Perempuan Bekerja dengan Sikap terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga

Tina afiatin (1993) dalam penelitiannya mengatakan bahwa pendidikan formal tidak membawakan kesadaran beremansipasi karena wanita masih mengikut i pembatasan yang diadakan oleh nilai dan norma masyarakat. Menurut Saraswati (2000) terdapat suatu asumsi ketika perempuan menjadi mandiri secara ekonomi, maka perempuan akan mendapatkan kekuasaan yang sama dengan laki-laki. Pendapat tersebut didukung oleh Sulastri dan Retnowati (2003) yang melakukan studi eksploratif di Indra Mayu hasilnya menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab kekerasan suami terus berulang terhadap istri adalah karena istri tidak mempunyai kemandirian ekonomi.

Perempuan yang mandiri secara ekonomi atau memiliki penghasilan sendiri akan otonom, bebas mengeluarkan pendapat dan memberi kritikan. Kemandirian yang di miliki istri akan mengarahkan sikap nya terhadap kekerasan yang di terima. Artinya semakin istri mandiri maka semakin dia menolak tindakan kekerasan terhadap diri nya (Arie, 2006).

2.3 Emosi

2.3.1. Definisi Emosi

Emosi termasuk gejala jiwa yang dimiliki oleh semua orang, hanya corak dan tingkatnya tidak sama. Emosi berasal dari kata “emotus” atau “emovere” yang artinya sesuatu hal yang mendorong terhadap sesuatu yang lain, yang mempengaruhi keadaan reaksi psikologis dan fisiologis manusia seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan


(38)

dan kecintaan (Depdikbud, 2001).

Pengertian emosi menurut Goldeson (1970) adalah perasaan yang relatif menetap dalam diri seseorang. Perasaan tersebut biasanya mengarahkan perilaku seseorang dan perubahan fisiologik. Sementara itu, Prinz (2004) menjelaskan emosi dalam tiga pengertian : (1) Emosi adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu, (2) Emosi adalah hasil proses persepsi terhadap situasi, (3) Hasil reaksi kognitif (berpikir) terhadap situasi spesifik.

Definisi Emosi juga di utarakan oleh Goleman (1996) sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu atau setiap kegiatan mental yang hebat atau meluap-luap. Emosi merupakan tanggapan rasa sayang, marah, benci yang dialami individu dan menyatakan bahwa ada emosi yang membawa rasa enak atau menyenangkan, ada juga emosi yang menimbulkan rasa kurang menyenangkan. Menurut Morgan (1996), emosi terjadi disebabkan dua hal yaitu terhalangnya keinginan misalnya dapat menyebabkan marah dan tercapainya motivasi misalnya menyebabkan kesenangan. Hal yang sama diungkapkan oleh Maramis (dalam Sunaryo, 2004) emosi merupakan manifestasi perasaan atau afek yang keluar dan disertai banyak komponen fisiologik, dan biasanya tidak lama. Masih dalam pengertian yang sama Bimo Walgito (2004) emosi adalah suatu keadaan perasaan yang telah melampaui batas sehingga untuk mengadakan hubungan dengan sekitarnya mungkin terganggu.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu keadaan yang bergejolak dalam diri individu yang mempengaruhi keadaan reaksi


(39)

psikologis dan fisiologis dan kecenderungan untuk bertindak manusia. 2.3.2 Hubungan Emosi dengan Gejala Jasmani

Keadaan emosi seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilaku orang tersebut. Keadaan emosi seseorang dapat dilihat dari ekspresinya. Setiap individu senantiasa dalam keadaan bergaul, baik dengan sesamanya maupun dengan lingkungan nya. Dalam situasi pergaulan sosial itu memungkinkan timbulnya peristiwa emosi bagi setiap individu yang bersangkutan. Emosi normal akan mempunyai nilai yang berfaedah bagi kesehatan jasmani dan tingkah laku sosial yang pada umum nya disebabkan karena terlalu takut, emosi, cemas (Heri Purwanto, 1999). Menurut Abu (2003) gejala emosi tidak berdiri sendiri, melainkan bersangkut paut dengan gejala jiwa yang lain bahkan tak dapat dipisahkan. Adanya hubungan antara emosi dengan gejala kejasmanian diantara para ahli tidaklah terdapat perbedaan pendapat. Yang menjadi silang pendapat adalah mana yang menjadi sebab dan akibatnya. Bimo (2004) menceritakan tiga teori emosi yaitu:

a. Teori L. Keeler

Pada teori ini menghubungkan antara emosi dan gejala fisik yang dialami seseorang. Teori ini dikemukakan oleh L. Keeler yang mengatakan adanya hubungan emosi dengan gejala gejala jasmani tidak terdapat perbedaan pendapat. Yang menjadi silang pendapat adalah mana yang menjadi sebab dan akibatnya. b. Teori James-Lange

Menurut teori ini emosi bergantung pada aktivitas otak atau sentral nya, reaksi jasmani bukan merupakan dasar dari emosi. Teori ini dikenal dengan teori pendekatan neurologis.


(40)

c. Teori Schachter-Singer

Teori ini mengatakan bahwa emosi yang dialami sesorang merupakan hasil interpertasi dari kondisi jasmani

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa emosi sangat berfungsi dan mempengaruhi dalam kehidupan manusia. Pengaruh emosi lebih terasa apabila manusia dihadapkan pada situasi lingkungan di sekitarnya. Fungsi dari emosi itu bisa menjadikan pengendali perilaku tetapi kadang juga bisa jadi penguat perilaku. Akan tetapi emosi juga bisa membuat individu lari dari kenyataan.

2.3.3 Pengelompokan Emosi

Menurut Carol Wade ada tiga elemen emosi yaitu: a. Tubuh Manusia

Para psikolog memiliki pandangan berbeda-beda mengenai emosi primer atau sekunder. Daftar emosi primer umumnya meliputi marah, takut, sedih, senang, terkejut, jijik dan sebal. Emosi tersebut memiliki pola psikologis yang berbeda dan menghasilkan ekspresi wajah yang berbeda. Situasi yang menimbulkan emosi tersebut bersifat umum di seluruh dunia, dimanapun manusia berada, kesedihan akan mengikuti persepsi kehilangan, rasa takut akan menghalangi persepsi ancaman atau disakiti, rasa marah akan mengikuti persepsi penghinaan atau ketidakadilan. Sebaliknya emosi sekunder meliputi semua variasi dan campuran berbagai emosi yang bervariasi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya serta berkembang secara bertahap.


(41)

b. Pikiran

Banyak fakta menunjukan bahwa berfikir dapat mempengaruhi emosi dan hal tersebut sangat lah mengesankan. Saat seseorang berada dalam kondisi emosi yang tidak menyenangkan, mereka dapat mengunggunakan perasaan tersebut dan menganalisa ulang situasi dan persepsi mereka terhadap situasi tersebut.Emosi bukan lah faktor yang menghambat kemampuan berfikir kritis. Kegagalan berfikir kritislah yang menciptakan emosi.

c. Budaya

Budaya sangat mempengaruhi semua aspek pengalaman emosi,termasuk jenis emosi yang dikategorikan emosi primer. Budaya sangat mempengaruhi aturan bagaimana seseorang mengekpresikan perasaan nya yang dalam taraf kewajaran. d. Tambahannya adalah menggabungkan emosi dan gender

Pria dan perempuan memiliki kemampuan yang sama untuk merasakan semua emosi mulai dari cinta, duka hingga marah. Kebanyakan pria terlihat lebih reaktif secara psikologis terhadap konflik dibandingkan perempuan. Namun kedua jenis kelamin ini terkadang memiliki perbedaaan persepsi yang menghasilkan emosi

Goleman (2002) mengemukakan bahwa emosi dasar individu terbagi atas dua yaitu emosi dasar positif dan emosi dasar negatif. Emosi dasar positif merupakan perasaan yang membawa kenyamanan atau kesenangan bagi individu seperti : (1) Kenikmatan didalamnya meliputi bahagia, gembira, puas, riang, senang terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, terpesona, puas, rasa terpenuhi, girang, senang sekali, mania, (2) Cinta, didalamnya meliputi penerimaan, persahabatan,


(42)

kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih sayang. Sedangkan emosi dasar negative merupakan perasaan yang tidak menyenangkan yang membawa ketidaknyamanan pada individu tersebut:

1) Marah

Yaitu reaksi emosional yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang, termasuk ancaman, pengekangan diri, serangan, kekecewaan atau frustasi dan dicirikan oleh reaksi yang kuat pada sistem saraf. Salah satu cara orang melampiaskan marah adalah dengan katarsis. Marah juga dapat diekspresikan dalam bentuk menyerang, melukai dan menghancurkan objek kemarahan. Ekspresi marah ditandai dengan adanya ciri-ciri kulit wajah yang memerah, sudut mata yang melebar, urat memerah dimata, kontraksi dan mengatupnya bibir, mengatupnya rahang, tangan yang mengepal, suara dan lengan yang gemetaran, jantung berdebar keras, dada terasa sesak, kepala seperti berdenyut, muka terasa panas, peredaran darah cepat, dan sukar berbicara. Didalamnya meliputi brutal, mengamuk, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, berang, tersinggung, bermusuhan, tindak kekerasan.

2. Kesedihan

Merupakan suatu keadaan kemurungan, kesedihan, patah semangat yang ditandai dengan perasaan tidak pas, menurunnya kegiatan dan pesimisme menghadapi masa yang akan datang. Ekspresi sedih adalah menangis, apatis, tidak semangat dalam hidup, sering bernafas panjang sebagai respon dari kesedihannya, depresi dan bunuh diri. Di dalamnya meliputi pedih, sedih, muram, suram,


(43)

melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi. 3. Takut

Rasa takut adalah suatu reaksi emosional yang kuat, mencakup perasaan subjektif, penuh ketidaksenangan dan keinginan untuk melarikan diri atau bersembunyi, disertai kegiatan penuh perhatian. Ketakutan ini merupakan satu reaksi terhadap satu bahaya yang tengah dihadapi atau khawatir karena mengantisipasi satu bahaya. Ekspresi rasa takut adalah menjerit, melarikan diri, menghindar, pucat dan keringat, sembunyi, buang air dan muntah, lemas dan gemetar, nafas memburu, denyut jantung meningkat, air liur mengering, bulu roma ,berdiri, otot-otot menegang dan bergetar . Didalamnya meliputi cemas, takut, khawatir, waswas, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri, kecut, gugup, panik, dan fobia.

4) Rasa Bersalah

Merupakan perasaan emosional yang berasosiasi dengan realisasi bahwa seseorang telah melanggar peraturan sosial, moral atau etis dan susila. Rasa bersalah diekspresikan lewat proyeksi atau isolasi diri, menderita dan tidak dapat menyesuaikan diri, menebus kesalahan di depan umum, menggunakan apa yang dirasakan, permintaan maaf, mengambil hati orang yang menyebabkan kita merasa bersalah atau bunuh diri. Di dalamnya meliputi perasaan menyesal, tertekan atau perasaan tersiksa.

5) Jijik atau Muak

Merupakan suatu sikap yang sangat menolak atau menentang, penuh sakit hati serta ada keinginan yang kuat untuk menimbulkan derita pada objek yang tidak


(44)

disukai. Ekspresi jijik atau muak yaitu bibir atas memonyong ke samping sedang hidung mengerut sedikit, menutup cuping hidung atau meludahkan makanan, senyum menyeringai atau isolasi dari masyarakat. Rasa jijik atau muak memunculkan pola reaksi yang kaku, muntah, menghindari kontak dengan substansi yang menyebabkan rasa jijik atau muak, sulit untuk menyenangi atau menghargai apa yang orang lain, secara individu atau normatif dalam budaya atau sub budaya lain, adalah menyenangkan atau berharga. Emosi jijik atau muak menghalangi hubungan sosial, keinginan seksual dan kesenangan lain, dan dapat mendorong untuk menghindari sekumpulan situasi pengalaman-pengalaman yang tidak menjijikkan/memuakkan bagi orang lain. Didalamnya meliputi hina, benci, mual, tidak suka, dan mau muntah.

6) Malu

Merupakan suatu kondisi kegelisahan, tidak menyenangkan dan terhambat, disebabkan oleh kehadiran orang lain. Rasa malu diekspresikan dengan bersembunyi, menghindari orang yang membuat kita merasa malu, menyembunyikan kebenaran, bunuh diri, mengucilkan diri dari hubungan sosial, sulit menjalin persahabatan atau bertemu dengan orang lain yang baru dikenal, sulit mengatakan perasaan, tidak berani memprotes pandangan orang lain yang salah mengenai dirinya, enggan memperlihatkan kemampuannya, menunduk dan terlalu kaku. Didalamnya meliputi malu hati, hina, aib, dan hati hancur lebur.

Menurut Johana (2006) hanya pada emosi malu terlihat perbedaan penilaian antara perempuan dan laki-laki.


(45)

2.3.4. Pengertian Kestabilan Emosi

Menurut Najati (2000) bahwa kestabilan emosi adalah tidak berlebih-lebihan dalam pengungkapan emosi,karena emosi yang diungkapkan secara berlebih-lebihan bisa membahayakan kesehatan fisik dan psikis manusia. Hurlock (1980) berpendapat bahwa kestabilan emosi memiliki beberapa kriteria-kriteria yaitu : (1) Emosi yang secara sosial dapat diterima oleh lingkungan sosial. Individu yang emosinya stabil dapat mengontrol ekspresi emosi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial atau dapat melepaskan dirinya dari belenggu energi mental maupun fisik yang selama ini

terpendam dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya, (2) Pemahaman diri, individu yang punya mosi stabil mampu belajar mengetahui

besarnya kontrol yang diperlukan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhannya, serta menyesuaikan diri dengan harapan-harapan sosial, bersikap empati yang tinggi terhadap orang lain, (3) Penggunaaan kecermatan mental. Individu yang stabil emosinya mampu menilai situasi secara cermat sebelum memberikan responnya secara emosional. Kemudian individu tersebut mengetahui cara yang tepat untuk bereaksi terhadap situasi tersebut.

2.3.5 Faktor- Faktor yang Memengaruhi Kestabilan Emosi

Menurut Hurlock (1995) faktor yang memengaruhi kestabilan emosi adalah: a. Fisik

Kalau seseorang dalam kondisi sehat secara jasmani maka akan cenderung untuk tidak mudah marah dan cepat tersinggung. Individu akan merasa nyaman dan tentram dalam kondisi jasmaniahnya yang sehat. Tapi individu menjadi cepat marah


(46)

dan cepat tersinggung bila ada salah satu angota badanya kurang sehat. secara medis. Hal ini disebabkan karena ada sesuatu kekurangan yang dirasakan oleh individu, dan hal ini membuat individu merasa tidak nyaman. Pada perempuan bekerja seperti yang di jelaskan diatas, karena aktivitas yang tinggi di kantor menyebabkan kelelahan di rumah.

b. Kondisi Lingkungan

Adalah kondisi lingkungan tempat individu berada. Lingkungan yang bisa menerima kehadiran individu dan individu mudah diterima pada lingkungan tersebut akan membuat individu mengalami kestabilan dalam emosi. Akan tetapi bila lingkungan tidak bisa menerima kehadiran individu maka individu merasa tidak dianggap oleh lingkungan dan hal ini menyebabkan individu merasa tidak berhargai dan terhina. Lingkungan yang tidak nyaman karena selalu dengan kekerasan membuat perempuan semakin tertekan.

c. Faktor Pengalaman

Melalui pengalaman individu bisa mengetahui bagaiman anggapan orang lain tentang berbagai bentuk ungkapan emosi. Individu akan mempelajari bagaimana cara mengungkapkan emosi yang bisa diterima oleh lingkungan sosial dan bagaimana ungkapan emosi yang tidak diterima. Hal ini berkaitan dengan kondisi norma budaya setempat. Individu harus bisa mampu mempelajari kondisi lingkungan tempat dia berada. Antara satu daerah dengan daerah yang lain tidak sama adat istiadatnya. Pengalaman dari hari ke hari atas kekerasan membuat emosi makin tidak stabil.


(47)

2.3.6 Reaksi Emosional yang Umum Terjadi pada Saat Stress

a. Ketakutan adalah reaksi emosional yang mengikut sertakan ketidaknyamanan psikologis dan rangsangan fisik apabila kita merasa terancam

b. Fobia adalah ketakutan yang insentif dan irasional yang dikaitkan dengan kejadian dan situasi khusus.

c. Ansietas adalah perasaan ketidaknyamanan yang tidak jelas atau samar-samar yang seringkali melibatkan ancaman yang relative tidak jelasatau tidak spesifik. d. Kemarahan khususnya ketika seseorang menerima suatu keadaan sebagai

keadaan yang membahayakan atau frustasi.

2.3.7. Dampak Emosi pada Perempuan yang Mengalami Kekerasan Rumah Tangga

Seperti yang di sebutkan diatas tadi bahwa fisik, lingkungan dan pengalaman adalah mempengaruhi emosi perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Hal itu diperkuat dengan Johana (2006) bahwa perempuan profesional yang bekerja mampu menangkap dan mengartikan dan menilai emosi dasar manusia seperti jijik, marah, sedih, takut,senang dan terkejut, namun perempuan menilai rasa malu lebih intens dari pada pria. Hampir semua emosi negatip mewakili perasaan yang timbul akibat kekerasan yang dialami nya. Emosi itu bercampur aduk sehingga mengakibatkan ketidakstabilan emosi. Apabila ketidakstabilan emosi itu di biarkan akan berujung pada kecemasan, stress, depresi bahkan tindakan ingin bunuh diri.


(48)

A. Kecemasan

Kecemasan berkaitan dengan tidak pasti dan tidak berdaya, keadaan emosi ini tidak mempunyai obyek yang spesifik. Kecemasan berbeda dengan rasa takut, yang merupakan intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya. Perbedaan rasa takut dan kecemasan, ketakutan adalah merasa gentar atau tidak berani terhadap objek (Kartini Kartono, 1998). Kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam realitas, kepribadian masih utuh namun perilaku masih dalam batas normal (Dadang hawari, 2011).

1. Ciri Kepribadian Pencemas

Seseorang akan menderita gangguan cemas mana kala yang bersangkutan tidak mampu mengatasi stressor psikososial yang dihadapinya. Tetapi orang-orang tertentu meskipun tidak ada stressor psikososial, yang bersangkutan menunjukkan kecemasan juga, yang ditandai dengan corak atau kepribadian pencemas, yaitu antara lain : (1) Memandang masa depan dengan was-was, (2) Kurang percaya diri, gugup apabila tampil dimuka umum, (3) Sering merasa tidak bersalah, menyalahkan orang lain, (4) Tidak mudah mengalah, (5) Gerakan sering serba salah, (6) Sering kali mengeluh ini dan itu (keluhan-keluhan somatik), Khawatir yang berlebihan terhadap penyakit, (7) Mudah tersinggung, (8) Suka membesar-besarkan masalah yang kecil, (9) Dalam mengambil keputusan, sering mengalami rasa bimbang dan ragu, (10) Bila mengemukakan sesuatu atau bertanya sering kali berulang-ulang (11) Kalau sedang emosi sering kali bertindak histeris (Dadang Hawari, 2011)


(49)

2. Jenis Tingkat Kecemasan

Stuart (2007) mengidentifikasi ansietas (cemas) dalam 4 tingkatan, setiap

tingkatan memiliki karakteristik dalam persepsi yang berbeda, tergantung kemampuan individu yang ada dan dari dalam dan luarnya maupun dari lingkungannya, tingkat kecemasan atau pun ansietas yaitu :

a. Cemas Ringan : cemas yang normal menjadi bagian sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya.

b. Cemas sedang : cemas yang memungkinkan sesorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang tidak penting. c. Cemas berat : cemas ini sangat mengurangi lahan persepsi individu

cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berfikir pada hal yang lain. Semua prilaku ditunjukkan untuk mengurangi tegangan individu memerlukan banyak pengesahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.

d. Panik : Tingkat panik dari suatu ansietas berhubungan dengan ketakutan dan mampu melakukan suatu walaupun dengan pengarahan, panik mengakibatkan disorganisasi kepribadian, dengan panik terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan pemikiran


(50)

yang rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian (Stuart & Sundent, 2000).

Kecemasan dapat menyebabkan penurunan frekuensi, kekuatan, dan ketertarikan dalam interaksi komunikasi pada individu sehingga individu memiliki keengganan dalam berkomunikasi. Kecemasan yang tinggi menghindari situasi komunikasi, namun saat individu didorong untuk berpartisipasi, individu tersbut akan berkomunikasi sesedikit mungkin. Individu-individu yang mengalami kecemasan yang tinggi akan merasa kurang puas dengan pekerjaan mereka, mungkin karena mereka kurang berhasil dalam membangun hubungan–hubungan interpersonal. Semua perilaku ini tidak mengartikan bahwa kecemasan terjadi pada orang yang tidak bahagia. Kebanyakan individu yang cemas telah belajaratau dapat belajar untuk menangani kecemasan berkomunikasi mereka.

Ciri-ciri kecemasan menurut DSM IV yaitu perasaan ketakutan, terganggu konsentrasi, merasa tegang dan gelisah, antisipasi yang buruk, cepat marah dan resah, merasakan ada tanda bahaya, jantung berdebar, berkeringat, mual atau pusing, peningkatan frekwensi buang air besar, sesak nafas, ketegangan otot, sakit kepala dan kelelahan serta insomnia.


(51)

B. Stress

1. Definisi Stres

Stress adalah interaksi antara individu dan lingkungan yang ditandai oleh ketegangan emosional dengan berpengaruh terhadap kondisi mental dan fisik seseorang. Stress adalah sebagai ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan respon di bawah suatu kondisi dimana kegagalan sejalan dengan tuntutan yang mempunyai konsekuensi penting (Jefrey, 2003)

Menurut Dadang Hawari (2001) stres adalah reaksi atau respon tubuh terhadap

stressor psikososial. Secara umum Sunaryo (2004) stres adalah reaksi tubuh terhadap

situasi yang menimbulkan tekanan, perubahan, ketegangan dan emosional. Stres juga merupakan suatu kekuatan yang mendesak atau mencekam yang menimbulkan ketegangan dalam diri seseorang. Di kuatkan oleh Zulfan (2012) bahwa stress merupakan reaksi tubuh dan psikis terhadap tuntutan lingkungan kepada seseorang 2. Penggolongan Stress

Menurut Sri kusmiati (dalam Sunaryo,2004)dapat di golongkan:

a. Stress fisik, disebabkan oleh suhu atau temperatur yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, suara amat bising, sinar yang terlalu terang atau tersengat arus listrik. b. Stress kimiawi, disebabkan oleh prose kimiawi, gas beracun, hormone,

obat-obatan.

c. Stress mikrobiologik, disebabkan virus, bakteri dan parasit.

d. Stress Psikis dan emosional disebabkan oleh gangguan interpersonal,sosial, budaya dan agama.


(52)

Selye (dalam Abdul, 2011) menggolongkan stres menjadi dua golongan ;

a. Distress (stres negatif) Selye menyebutkan distress merupakan stres yang

merusak atau bersifat tidak menyenangkan. Stres dirasakan sebagai suatu keadaan dimana individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir atau gelisah. Sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negatif, menyakitkan, dan timbul keinginan untuk menghindarinya.

b. Eustress (stres positif) Selye menyebutkan bahwa eustress bersifat

menyenangkan dan merupakan pengalaman yang memuaskan. Hansaon (dalam Rice, 1992) mengemukakan frase joy of stress untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat positif yang timbul dari adanya stres. Eustress dapat mengakibatkan kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi, dan performansi individu. Eustress juga dapat meningkatkan motivasi individu untuk menciptakan sesuatu, misalnya karya seni.

3. Faktor Predisposisi Stress

Berbagai jenis unsur mempengaruhi bagaiman seseorang individu merasakan dan merespons suaty peristiwa yang menimbulkan stress. Faktor predisposisi ini sangat berperan dalam menentukan apapun suatu respon adaptif atau maladaptif. Jenis faktor predisposisi adalah genetik, pengalaman masa lalu dan kondisi saat ini. Pengaruh genetik adalah keadaan kehidupan seseorang yang memperoleh keturunan. Pengalaman masa lalu adalah kejadian yang menghasilkan suatu pola pembelajaran yang dapat mempengaruhi respon penyesuaian individu, termasuk pengalaman sebelumnya terhadap tekanan stress tersebut atau tekanan lainnya.


(53)

Kondisi saat ini yang meliputi faktor kerentanan yang mempengaruhi kesiapan fisik, psikologis, dan sumber sosial individu untuk menghadapi tuntutan nya (Ermawati,2010)

4. Penyebab Stress

Taylor (dalam Abdul, 2011) merinci beberapa karakteristik kejadian yang berpotensi dan dinilai dapat menciptakan stress yaitu :

a. Kejadian negative agaknya lebih banyak menimbulkan stress dari pada kejadian positip.

b. Kejadian yang tidak terkontrol dan tidak terprediksi lebih membuat strss daripada kejadian terkontrol dan terprediksi.

c. Manusia yang tugasnya melebihi kapasitas lebih mudah mengalami stress dari pada orang yang lebih sedikit.

Sunaryo (2004) mengatakan faktor yang mempengaruhi stress: (a) Faktor biologis:konsitusi tubuh, kondisi fisik, neurofisiologik dan neurohormonal, (b) faktor psikoedukatif yaitu perkembangan kepribadian, pengalaman dan kondisi lain yang mempengaruhi. Berbeda dengan Maramis (dalam Sunaryo,2004) sumber stress psikologik adalah frustasi, konflik, tekanan dan krisis.

5. Kemampuan Individu Menahan Stress

Setiap individu mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menahan stress. Hal ini bergantung pada (1) sifat dan hakikat stress; yaitu intensitas, lamanya, lokal dan umum,(2) Sifat Individu yang terkait proses adaptasi. Menurut Prof. Dadang


(54)

Hawari (2001) bahwa stress apabila ditinjau dari tipe kepribadian individu dibedakan menjadi dua macam yaitu :

1. Tipe yang rentan

Mempunyai ciri; ambisius, agresif, kompetitif yang kurang sehat, banyak jabatan rangkap, emosional, terlalu percaya diri, self kontrol yang kuat, sifat kaku, terlalu waspada, organisatoris, leader, workaholic, kurang rileks dan sering terburu-buru, Kurang ramah dan sulit dipengaruhi, tak mudah bergaul

2. Tipe yang Kebal

Mempunyai ciri: ambisi nya wajar,berkompetisi secara sehat, tidak agresif, cara bicara tenang, tidak memaksakan diri dalam menghadapi tantangan, mudah bergaul dan ramah.

6. Gejala dan Tanda-Tanda Stress

a. Fisik, yaitu mulut dan kerongkongan kering, tangan lembab, merasa panas, otot-otot tegang, sakit kepala, gelisah, dan lain-lain.

b. Perilaku yaitu perasaan bingung, cemas, sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah, serta kehilangan semangat. c. Watak dan kepribadian yaitu sikap hati-hati menjadi cermat yang berlebihan,

cemas menjadi lekas panik, kurang percaya diri, dan lain-lain.

d. Emosional, yaitu marah-marah, mudah tersinggung, suasana hati mudah berubah-ubah, mudah menangis dan depresi, gugup.

e. Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat menurun, sulit berkonsentrasi, suka melamun berlebihan.


(55)

f. Interpersonal, yaitu acuh dan mendiamkan orang lain, menutup diri secara berlebihan (Cooper, 1995). Sering berkemih dan libido menurun ditambah kan oleh Dadang hawari (2011).

7. Tahap-Tahap Stress

a. Tahap peringatan : ada respon fisiologis yang rumit yang dialami adanya stresor,. munculnya ketegangan otot, detak jantung meningkat.

b. Tahap resistensi : tubuh menggunakan seluruh kemampuannya untuk melawan reaksi stress.

c. Tahap kelelahan : sumber daya habis, resistensi menurun. Penyakit atau kematian datang.

C. Depresi

1. Definisi Depresi

Depresi adalah gangguan mental umum yang menyajikan dengan mood depresi, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau rendah diri, tidur terganggu atau nafsu makan, energi rendah, dan hilang konsentrasi. Masalah ini dapat menjadi kronis atau berulang dan menyebabkan gangguan besar dalam kemampuan individu untuk mengurus tanggung jawab sehari-harinya (WHO, 2011). Episode depresi biasanya berlangsung selama 6 hingga 9 bulan, tetapi pada 15-20% penderita bisa berlangsung selama 2 tahun atau lebih.

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada


(56)

pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri. Depresi juga merupakan sebuah kondisi yang dapat disebabkan oleh defisiensi relatif salah satu atau beberapa aminergik neurotransmiter (noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps neuron di SSP ( Kaplan, 2007). Hal Ini diperkuat oleh Abdul Nasir (2011) Depresi adalah keadaaan emosional yang ditandai kesedihan yang sangat, perasaan bersalah, menarik diri, kehilangan minat tidur dan melakukan hubungan sex juga hal yang menyenangkan lainnya. Orang yang mengalami depresi memiliki cirri: (a) Sulit berkonsentrasi, kata monoton, suara pelan, (b) Memilih untuk sendirian dan berdiam diri, atau justru tak bisa diam, (c) Sulit menemukan solusi permasalahan.

2. Penyebab Depresi

Dasar penyebab depresi yang pasti tidak diketahui, banyak usaha untuk mengetahui penyebab dari gangguan ini. Menurut Kaplan, faktor-faktor yang dihubungkan dengan penyebab depresi dapat dibagi atas: faktor biologi, faktor genetik dan faktor psikososial. Dimana ketiga faktor tersebut juga dapat saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.

a. Faktor Biologi

Faktor neurotransmiter: Dari biogenik amin, norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Norepinefrin hubungan yang dinyatakan oleh penelitian ilmiah dasar antara turunnya regulasi reseptor B-adrenergik dan respon antidepresan secara klinis memungkinkan indikasi peran sistem noradrenergik dalam depresi. Bukti-bukti


(57)

lainnya yang juga melibatkan presinaptik reseptor adrenergik dalam depresi, sejak reseptor reseptor tersebut diaktifkan mengakibatkan penurunan jumlah norepinefrin yang dilepaskan. Presipnatik reseptor adrenergik juga berlokasi di neuron serotonergik dan mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan. Dopamin juga sering berhubungan dengan patofisiologi depresi. Faktor neurokimia lainnya seperti gamma aminobutyric acid (GABA) dan neuroaktif peptida (vasopressin dan opiate endogen) telah dilibatkan dalam patofisiologi gangguan mood,

b. Faktor Genetik

Data genetik menyatakan bahwa faktor yang signifikan dalam perkembangan gangguan mood adalah genetik. Pada penelitian anak kembar terhadap gangguan depresi berat pada anak, pada anak kembar monozigot adalah 50%, sedangkan dizigot 10-25% (Sadock & Sadock, 2010). Menurut penelitian Hickie et al., menunjukkan penderita late onset depresi terjadi karena mutasi pada gene methylene

tetrahydrofolate reductase yang merupakan kofaktor yang terpenting dalam

biosintesis monoamin. Mutasi ini tidak bisa diketemukan pada penderita early onset depresi .

c. Faktor Psikososial

Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan dimana suatu pengamatan klinik menyatakan bahwa peristiwa atau kejadian dalam kehidupan yang penuh ketegangan sering mendahului episode gangguan mood. Suatu teori menjelaskan bahwa stres yang menyertai episode pertama akan menyebabkan perubahan fungsional neurotransmitter dan sistem pemberi tanda intra neuronal yang akhirnya perubahan


(1)

KARAKTERISTIK SUBJEK N

o Keterangan

Subjek

R I S Y

A. Karakteristik Korban

1 Suku Batak Jawa Aceh Aceh

2 Agama Islam Islam Islam Islam

3 Umur 39 Tahun 43 Tahun 48 Tahun 38 Tahun

4 Pendidikan Akhir

S2 S2 S2 D4

5 Pekerjaan PNS PNS PNS PNS

6 Jabatan Kepala Bidang Kepala Bidang Sekretaris Bidan

Desa 7 Penghasilan

gaji perbulan

3 s/d 5 Juta > 5 Juta > 5 Juta 3 jt s/d 5 Juta 8 Penghasilan

tambahan

Dosen presenter - Bidan

mandiri

9 Perawakan Tomboy Modis Tomboy modis

B. Karakteristik Pasangan Korban

1 Suku Jawa Jawa Aceh Aceh

2 Agama Islam Islam Islam Islam

3 Umur 43 Tahun 47 Tahun 52 Tahun 45 Tahun

4 Pendidikan Akhir

S2 S1 S1 S1

5 Pekerjaan PNS Swasta PNS PNS

Lapas

6 Jabatan Kepala Bidang Pemilik F.Copy Staf

7 Penghasilan gaji perbulan

< 3 jt < 3 jt < 3 jt 3 – 5 jt

8 Penghasilan tambahan

Dosen Tidak ada Tidak ada Tidak ada

9 Perawakan Pria Sopan Pria Sopan Pria

bertempramen

Pria bertempra men

C. Perempuan Bekerja

1 Alasan bekerja Membantu perekonomian keluarga (-) exis diri

Membantu perekonomian keluarga (+) exis diri

Membantu perekonomian keluarga (+) exis diri

Membantu perekono mian keluarga (+) exis diri


(2)

3 Jabatan Kepala Bidang Kepala Bidang Sekretaris Bidan Desa 4 Penghasilan

perbulan

3 s/d 5 jt > 5 jt > 5 jt < 3 jt

5 Penghasilan tambahan

Dosen Tak ada Tak ada Tak ada

6 Beban kerja Padat Padat Padat Ringan

7 Izin bekerja Diizinkan Diizinkan Diizinkan Diizinkan

8 Dukungan Didukung Tak didukung Tak didukung Tak

didukung

D. Karakteristik Perkawinan

1 Awal Perkenalan

Senior di kampus Dikenalkan teman Dikenalkan saudara

Dikenalka n Teman

2 Lama Pacaran 7 tahun 5 tahun 1 tahun 2 bulan

3 Hubungan dengan mertua

Sangat dekat Tidak dekat Sangat dekat Sangat

dekat 4 Hubungan

dengan keluarga

Sangat dekat Tidak Dekat Tidak Dekat Sangat

dekat

5 Usia

Perkawinan

15 tahun 17 tahun 26 tahun 13 tahun

6 Jumlah Anak 2 (1 laki-laki, 1 perempuan)

4 (3 laki-laki, 1 perempuan)

3 (1 perempuan, 2 laki-laki)

1 laki-laki

7 Keadaan Rumah Tangga

Rumah sendiri Keluarga inti + 1 anak yatim

Rumah sendiri Keluarga inti

Rumah sendiri Keluarga inti

Keluarga inti Rumah sendiri

E. Karakteristik Kekerasan dalam Rumah Tangga

1 Penyebab kekerasan

- Perselingkungan - Persaingan karir - Keuangan

-Perselingkungan -Persaingan karir -Keuangan

- Pengaruh keluarga besar - Keuangan

Pengaruh keluarga besar

2 Jenis Kekerasan

- Psikis - Fisik - Ekonomi - Seksual

- Psikis - Fisik - Ekonomi - Seksual

- Psikis - Ekonomi - Seksual

- Fisik - Seksual

3 Usia

Perkawinan Awal terjadinya kekerasan


(3)

mempertahank an perkawinan

- Sayang anak - Suami berubah

- Karir

- Suami berubah

- Karir - Ibadah

anak - Karir - ibadah

5 Dampak - Rendah diri

- Merasa tak berguna - Trauma

- Rendah diri - Cemas

- Emosi tak stabil

- Rendah diri - Cemas - Emosi tak

stabil

- Rendah diri - malu

F. Karakteristik Ketidakstabilan Emosi

1 Mudah sedih Sering Sering Sering Sering

2 Randah diri Sering Sering Sering Sering

3 Merasa tak berguna

Sering Sering Sering Sering

4 Marah Kadang-kadang Sering Kadang-kadang

Kadang-kadang

5 Kecewa Kadang-kadang Kadang-kadang Sering Sering

6 Bahagia Sering Sering Sering Sering

7 Rasa bersalah Sering Sering Sering Sering

8 Jijik Kadang-kadang Kadang-kadang Kadang-kadang

Kadang-kadang

9 Malu Sering Sering Sering Sering

10 Cemas Sering Sering Sering Sering

G. Karakteristik Aktivitas Seksual

1 Frekuensi / minggu

2x 3-4x Tak menentu Tak

menentu

2 Orgasme Pura-pura Pura-pura Pura-pura Pura-pura

3 Motivasi Seks - Takut dosa - Menambah

pengalaman seks - Ingin diakui

lebih dari selingkuhan - Menyenangkan

suami

- Takut dosa - Menyenangkan

suami

- Menyenangkan suami

- Takut dosa - Menyenangka

n suami

- Takut dosa - Menyen

angkan suami

4 Gangguan nyeri seksual

Dyspereunia Dyspereunia Dyspereunia Dyspereun

ia 5 Perasaan saat

berhubungan

- Sering berpura-pura

- Kadang terpaksa

Sering berpura-pura

Sering berpura-pura

Sering berpura-pura


(4)

Thema I : Kekerasan dalam rumah

tangga pada perempuan bekerja

Faktor Penyebab

Jenis KDRT

Reaksi Perempuan

- Perselingkuhan - Keuangan - Campur Tangan

Keluarga Besar - Perasaan Superior

Suami

- Gabungan - Tunggal

- Mendiamkan - Membuat anak

tenang - Melapor pada

keluarga suami - Menghabiskan uang

untuk bersenang-senang

Thema II : Dampak KDRT pada

Kestabilan Emosi

- Rendah diri

- Mudah sedih/tersinggung - Mudah marah

- Sedikit mengalami bahagia

Thema III : KDRT pada Aktivitas

Seksual

Frekuensi Hubungan seks/minggu

Orgasme

Motivasi Melakukan Seks

• 2 – 3x • > 3x

• Tak Menentu • Orgasme • Tak Pernah • Berpura-pura

• Takut berdosa • Melayani Suami • Ingin dapat


(5)

Kisi – Kisi Thema

No Tema Sub Tema Kategori Kata Kunci R I S A

1 Kekerasan dalam rumah tanggaa pada perempuan pekerja

Faktor Penyebab Peselingkuhan - Berapa kali selingkuh - Orang dikenal

- Orang tak dikenal

4x 3x 1x

- - -

2x 1x 1x

1X 1X -

Keuangan - Penghasilan perbulan lebih

besar dari suami

- Adanya penghasilan tambahan diluar gaji

√ √

√ √

√ √

√ √

Campur tangan keluarga

- Intervensi mertua - Intervensi ipar

-

√ √- √-

Perasaan inferior suami - Meremehkan dalam kata-kata - Merendahkan dalam tindakan

√ √-

√ √√

Jenis Kekerasan dalam Rumah Tangga

Fisik - Menendang

- Mencekik - Memukul

√ √ √

-

- - -

√ √ √

Psikis - Menghina dengan bahasa kotor

- Merendahkan dengan cacian - Perselingkungan

-

√ √

√ √ √

-

-

-

-

Ekonomi - Kebutuhan rumah tangga tidak

mencukupi

√ √ √ -

Seksual - Memaksa melakukan hal yang

tidak diinginkan - Memaksa melakukan

hubungan seks ditempat yang tak diinginkan

√ √

√ √

√ √

√ √


(6)

No Tema Sub Tema Kategori Kata Kunci R I S A

Reaksi Perempuan

Mendiamkan - Tak melaporkan kepada yang

berwajib namun melawan dgn kata

- membuat anak tenang

- melapor pada keluarga suami - menghabiskan uang untuk

menyengkan diri

√ √ √ √

√ √ √ √

√ √ √ √

√ √ √ √

2 Dampak KDRT

pada

ketidakstabilan emosi

- Rendah diri - Trauma - Mudah marah - Cemas

√ √

-

√ √ √ √

√ √

-

√ √ √ √

3 Dampak KDRT

pada aktivitas seksual

Frekuensi

hubungan seksual per minggu

- 2 – 3x - > 3x

- Tak menentu

- -

- -

-

-

-

-

Orgasme - Tidak pernah

- Berpura-pura - Orgasme

- -

-

-

-

-

-

- Motivasi

melakukan hubungan seks

- Takut berdosa - Melayani suami - Ingin diakui

-

√ √

√ √ √

√ √ √

√ √ √

Gangguan Seksual

- Sakit jika berhubungan - Merasa jijik