Dinamika Faktor Price Sebagai Pemicu Postpurchase Dissonance Pada Konsumen Perempuan

(1)

DINAMIKA FAKTOR PRICE SEBAGAI PEMICU

POSTPURCHASE DISSONANCE PADA KONSUMEN

PEREMPUAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

oleh

REFFONI MASTARIA TARIGAN

091301038

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Dinamika Faktor Price Sebagai Pemicu Postpurchase Dissonance Pada Konsumen Perempuan

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi mana pun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juli 2013

REFFONI MASTARIA TARIGAN 091301038


(3)

Dinamika Faktor Price Sebagai Pemicu Postpurchase Dissonance Pada Konsumen Perempuan

Reffoni Mastaria Tarigan dan Eka Danta Jaya Ginting

ABSTRAK

Postpurchase Dissonance (PPD) merupakan suatu ketidaknyamanan psikologis yang terjadi karena kesenjangan antara kenyataan dengan apa yang diharapkan konsumen terhadap suatu produk. Pengambilan keputusan secara terbatas dan berdasarkan nilai nominal produk tidak akan menghasilkan PPD (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007). Nilai nominal merupakan nilai yang tertera di produk tersebut. Dengan kata lain, nilai nominal itu adalah harga (price) yang ditentukan terhadap barang tersebut.

Konsumen perempuan memiliki peranan penting dalam membeli atau memutuskan suatu pembelian produk. Fenomena yang ditemui di lapangan, ternyata faktor price sering kali menjadi alasan keraguan setelah pembelian yang dialami oleh konsumen perempuan. Faktor price menjadi salah satu bentuk pertimbangan dalam membuat keputusan pembelian. Kecenderungan perempuan berperilaku dengan pikiran yang kurang terkontrol memungkinkan mereka kurang mempertimbangkan faktor price sehingga memicu munculnya PPD.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana faktor price sebagai pemicu PPD pada konsumen perempuan. Dinamika faktor price tersebut akan digambarkan melalui dimensi PPD yang dikemukakan oleh Sweeney, Hausknecht, dan Soutar (2000).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode multiple case study dengan jumlah informan sebanyak 3 (tiga) orang. Prosedur pengambilan


(4)

informan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan theory-based/operational construct sampling. Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Medan. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah metode wawancara mendalam dengan menggunakan metode umum.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor price merupakan faktor penting bagi setiap informan. faktor price merupakan bentuk harapan terhadap produk. Di dalam kasus ketiga informan ini, faktor price terbungkus sebagai suatu harapan terhadap kualitas produk (price-quality scheme).


(5)

Dynamic of Price Factor As a Trigger of Postpurchase Dissonance on Female Consumer

Reffoni Mastaria Tarigan and Eka Danta Jaya Ginting

ABSTRACT

Postpurchase Dissonance (PPD) is a psychological discomfort which happened as a result of a discrepancy between a consumer’s expectation and the reality of the product. Nominal and most limited decision making will not produce postpurchase dissonance (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007). Nominal value is the product price.

Female consumer have important role in purchase and deciding it. Phenomena in field indicates that price factor often as the reason for doubts after purchase by female consumer. Price factor is into consideration in purchase decision. Female’s tendency to behave in a less controlled mind allows them less consider the price factor that triggered PPD.

This research aims to explain how price factor as a triggers of postpurchase dissonance on female consumer. Dynamic of price factor will be describe using theory by Sweeney, Hausknecht, and Soutar (2000).

This research uses qualitative method by multiple case study and takes three informants. The technique of selecting the informants uses theory-based/operational construct sampling. The research takes place in Medan. Meanwhile, the data collection method used is depth interview by common methods.

Result of this study shows that price factor is an important one for all informant. Price factor becomes informant expectation to the products. In this three


(6)

cases, price factor is covered as an expectation to the quality product (price-quality scheme)


(7)

KATA PENGANTAR

Segala hormat dan puji syukur saya naikkan kepada Yesus Kristus, Allah yang hidup untuk segala penyertaan dan kekuatanNya yang telah memampukan saya dalam menghadapi segalanya. Tanpa penyertaanNya saya tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini yang berjudul ” Dinamika Faktor Price Sebagai Pemicu

Postpurchase Dissonance Pada Konsumen Perempuan”, guna memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan pihak lain maka peneliti tidak mampu menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian penelitian ini. Ucapan terima kasih penulis ditujukan kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Psi., psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Eka Danta Jaya Ginting, M.A.,psikolog selaku dosen pembimbing skripsi penulis juga dosen pembimbing akademik penulis yang telah bersedia membimbing, memberikan waktu, tenaga, dan pemikiran, serta memberikan semangat dan saran mulai dari awal penyusunan proposal penelitian ini


(8)

hingga selesai menjadi suatu skripsi. Terima kasih buat setiap bimbingan yang diberikan semoga Bapa yang di sorga membalas semua kebaikan hati Bapak. 3. Ibu Meutia Nauly, M.Si, psikolog dan pak Ari Widiyanta M.Si., psikolog

selaku dosen penguji skripsi. Terima kasih buat setiap kritik dan saran yang ibu berikan untuk penelitian ini.

4. Kak Juli Irmayanti Saragih, M.Psi, psikolog, makasi ya Kak, buat pencerahannya.

5. Dosen-dosen Fakultas Psikologi yang telah membagikan segala ilmu pengetahuan dan pengalaman kepada penulis.

6. Seluruh staf bidang akademik, administrasi, dan perpustakaan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, yang telah melancarkan segala urusan administrasi penulis.

7. Kedua orangtuaku… M. Tarigan dan A.br Sembiring … Atas setiap dukungan doa dan semangatnya untukku selama ini. Terima kasih Tuhan buat orang tua yang selalu mendukung aku. Ini sebagai salah satu bentuk hadiahku bagi kam

duanya Mamak dan Bapak…

8. Bulang Pdt. Ng. Tarigan dan Ribu yang selalu mendoakan dan menyemangati untuk tetap tekun, sabar, dan berintegritas mengerjakan skripsi ini. Cawir

metua kam duana bulang ras ribu…

9. Adikku July yang selalu setia dan bersabar menghadapi tingkah lakuku selama penyusunan skripsi ini. Thank’s my twin’s sister in different size!


(9)

Semangat kuliahnya supaya cepat sarjana ya… Buat adik bungsuku Pebri juga, terima kasih buat setiap doa dan sentilannya supaya semangat mengerjakan skripsi ini. Rajin-rajin belajar jangan keseringan main kam

turang singuda…

10.Sahabat-sahabat Kecebongersku, Ranket, Holy, Mayo, dan Eng. 4 tahun bukan waktu yang lama bersama-sama, terimakasih buat setiap dukungan kalian. Teklelele mantapna kena yah nak! Semoga tetap bersemangat mengerjakan studi lalu kita bisa liburan sama-sama, hahaha….

11.Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) Yesyurun, ada kak Pipin, Bekka, Rani Dian dan Rani Ketaren. Bersyukur bisa mengenal kalian, semoga kita tetap bisa saling menopang dan mendoakan visi pribadi kita ya…

12.Kelompok Kecilku Yedija (Fania dan Janette), makasi ya adek-adek kakak yang selalu semangatin supaya cepat lulus. Kalian juga harus semangat dan jangan kebanyakan main-main ya…

13.Aprina Tarigan, temanku yang ceriwis dan optimis selalu. Terima kasih buat setiap dukungan dan waktunya untuk cerita-cerita. Salam ya buat bule-bule

disana. Sukses menggapai semua mimpi-mimpimu ya nak…

14.Sonya Ginting, calon dokter abad ini. Terima kasih sudah menjadi sahabat suka duka di masa-masa perkuliahan ini. Semoga semangat selalu dan jangan sering galau-galau lagi ya…


(10)

15.Teman-teman GSM dan Permata GBKP Km.4, kak Martha, kak Anta, kak Ida, kak Vhio, Astri, Hesron, bang Icat, Kak Syalom, kak Grace terima kasih buat setiap doa dan dukungannya selama ini. Semoga kita tetap berjaya ya,

hahaha

16.Konco-konco Ketaren, Bopes, Stella, Eka, Anggreni, Ita, Ezra, Andrew, Joel, Agnes, Boy, Reja dan Joy. Ayo semangat kerjain tugas akhirnya, makasi buat dukungannya konco…

17.Teman-teman sekos gang Maju, Jen, Fine, Holy, Niputu, Eca. Semoga kita sukses selalu ya walau udah beda-beda semua tinggalnya, semangat penuh! 18.Alumni XII IPA 1 SMANSAKA 2009 (Choey’s Family), terima kasih buat

saling mendukung dalam studi kita masing-masing. Kapan kita reuni lagi… 19.Teman seperjuanganku angkatan 2009, ayo semangat! Terima kasih buat

setiap kebersamaan kita, walau kata banyak orang angkatan kita cuek-cuek semua tapi makin lama makin dekat satu sama lain, pastinya ngangenin

Buat Katriin, Risma, Tere, Holy, Jeremy makasi bisa diskusi bareng soal kualitatif ya…

20.Buat kakak abang senior awak, Duo Bang Armen dan Bang Hitler yang selalu bantu aku jadi ‘mata-mata’ di kampus, hehehe… Kak Pipin, Kak Rany Monika, Kak Tetty dan Kak Erika Sinaga(makasi ya kak jadi bukunya dan dukungannya), Kak Laura, Kak Rentika, Kak Lala, Kak Ami, Kak Egi, Kak Yulinda, makasi jadi tempat aku selalu bertanya…


(11)

21.Adik-adik angkatan, Mona, makasi ya pinjaman bukunya, Frans, Mega, Egi, Grace, Rahel, Adolf, Brenda, Netova, makasi buat dukungan doanya ya. Semangat kuliahnya ya…

22.Ketiga responden penelitian penulis, terima kasih mau meluangkan waktu untuk mau membagi pengalaman kepada penulis.

23.Semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian penelitian ini, penulis menyampaikan terima kasih atas dukungan yang telah diberikan.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak guna menyempurnakan penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Medan, 04 Juli 2013


(12)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... i

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ..iii

DAFTAR TABEL.. ... vi

DAFTAR SKEMA……… ... ... . vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ... .. vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Permasalahan ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI ... 11


(13)

A.1. Pengertian Postpurchase Dissonance ... 11

A.2. Dimensi Postpurchase Dissonance ... 14

A.3. Faktor Yang Mempengaruhi PPD ... 16

B. Harga (Price) ... 17

B.1. Konsep dan Pengertian Harga (Price) ... 17

B.2. Persepsi Harga (Price Perception) ... 19

B.3. Konsep yang Berhubungan Dengan Persepsi Harga ... 23

C. Perilaku Konsumen Perempuan ... 26

D. Harga (price) sebagai Pemicu Munculnya Postpurchase Dissonance Pada Perempuan... ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 33

A. Pendekatan Kualitatif ... 33

B. Responden Penelitian ... 35

B.1. Karakteristik Responden ... 36


(14)

B.3. Teknik Pengambilan Responden ... 38

B.3. Lokasi Penelitian ... 38

C. Metode Pengumpulan Data ... 39

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 42

E. Kredibilitas Penelitian ... .42

F. Prosedur Penelitian ... .44

F.1. Tahap Persiapan Penelitian ... .44

F.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... .44

F.3. Tahap Pencatatan Data ... .45

G. Prosedur Analisa Data... ... 46

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 33

A. Deskripsi Responden I ... 33

A.1. Hasil Observasi ... 33

A.2. Rangkuman Hasil Wawancara ... 33

A.3. Dinamika Faktor Price Sebagai Pemicu Postpurchase Dissonance pada Responden I ... 33


(15)

B.1. Hasil Observasi Selama Wawancara ... 33

B.2. Rangkuman Hasil Wawancara ... 33

B.3. Dinamika Faktor Price Sebagai Pemicu Postpurchase Dissonance pada Responden II ... 33

C. Deskripsi Responden III ... 33

C.1. Hasil Observasi Selama Wawancara ... 33

C.2. Rangkuman Hasil Wawancara ... 33

C.3. Dinamika Faktor Price Sebagai Pemicu Postpurchase Dissonance pada Responden III ... 33

D. PEMBAHASAN ... 33

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

A. KESIMPULAN ... 33

B. SARAN ... 33

DAFTAR PUSTAKA...47


(16)

DAFTAR SKEMA

Skema II.1. Alur Postpurchase Dissonance dalam Pembelian

Skema II.2. Paradigma Berpikir

Skema II.3. Dinamika Faktor Price Sebagai Pemicu Postpurchase Dissonance

Responden I

Skema II.4.. Dinamika Faktor Price Sebagai Pemicu Postpurchase Dissonance

Responden II

Skema II.5. Dinamika Faktor Price Sebagai Pemicu Postpurchase Dissonance


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Wawancara

Tabel 2. Deskripsi Data Responden I

Tabel 3. Dinamika Faktor Price Sebagai Pemicu Postpurchase Dissonance Pada Responden I

Tabel 4. Deskripsi Data Responden II

Tabel 5. Dinamika Faktor Price Sebagai Pemicu Postpurchase Dissonance Pada Responden II

Tabel 6. Deskripsi Data Responden III

Tabel 7. Dinamika Faktor Price Sebagai Pemicu Postpurchase Dissonance Pada Responden III

Tabel 8. Dinamika Faktor Price Sebagai Pemicu Postpurchase Dissonance


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Paradigma berpikir

LAMPIRAN 2 Pedoman Wawancara

LAMPIRAN 3 Lembar Persetujuan Wawancara

LAMPIRAN 4 Lembar Observasi


(19)

Dinamika Faktor Price Sebagai Pemicu Postpurchase Dissonance Pada Konsumen Perempuan

Reffoni Mastaria Tarigan dan Eka Danta Jaya Ginting

ABSTRAK

Postpurchase Dissonance (PPD) merupakan suatu ketidaknyamanan psikologis yang terjadi karena kesenjangan antara kenyataan dengan apa yang diharapkan konsumen terhadap suatu produk. Pengambilan keputusan secara terbatas dan berdasarkan nilai nominal produk tidak akan menghasilkan PPD (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007). Nilai nominal merupakan nilai yang tertera di produk tersebut. Dengan kata lain, nilai nominal itu adalah harga (price) yang ditentukan terhadap barang tersebut.

Konsumen perempuan memiliki peranan penting dalam membeli atau memutuskan suatu pembelian produk. Fenomena yang ditemui di lapangan, ternyata faktor price sering kali menjadi alasan keraguan setelah pembelian yang dialami oleh konsumen perempuan. Faktor price menjadi salah satu bentuk pertimbangan dalam membuat keputusan pembelian. Kecenderungan perempuan berperilaku dengan pikiran yang kurang terkontrol memungkinkan mereka kurang mempertimbangkan faktor price sehingga memicu munculnya PPD.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana faktor price sebagai pemicu PPD pada konsumen perempuan. Dinamika faktor price tersebut akan digambarkan melalui dimensi PPD yang dikemukakan oleh Sweeney, Hausknecht, dan Soutar (2000).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode multiple case study dengan jumlah informan sebanyak 3 (tiga) orang. Prosedur pengambilan


(20)

informan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan theory-based/operational construct sampling. Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Medan. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah metode wawancara mendalam dengan menggunakan metode umum.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor price merupakan faktor penting bagi setiap informan. faktor price merupakan bentuk harapan terhadap produk. Di dalam kasus ketiga informan ini, faktor price terbungkus sebagai suatu harapan terhadap kualitas produk (price-quality scheme).


(21)

Dynamic of Price Factor As a Trigger of Postpurchase Dissonance on Female Consumer

Reffoni Mastaria Tarigan and Eka Danta Jaya Ginting

ABSTRACT

Postpurchase Dissonance (PPD) is a psychological discomfort which happened as a result of a discrepancy between a consumer’s expectation and the reality of the product. Nominal and most limited decision making will not produce postpurchase dissonance (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007). Nominal value is the product price.

Female consumer have important role in purchase and deciding it. Phenomena in field indicates that price factor often as the reason for doubts after purchase by female consumer. Price factor is into consideration in purchase decision. Female’s tendency to behave in a less controlled mind allows them less consider the price factor that triggered PPD.

This research aims to explain how price factor as a triggers of postpurchase dissonance on female consumer. Dynamic of price factor will be describe using theory by Sweeney, Hausknecht, and Soutar (2000).

This research uses qualitative method by multiple case study and takes three informants. The technique of selecting the informants uses theory-based/operational construct sampling. The research takes place in Medan. Meanwhile, the data collection method used is depth interview by common methods.

Result of this study shows that price factor is an important one for all informant. Price factor becomes informant expectation to the products. In this three


(22)

cases, price factor is covered as an expectation to the quality product (price-quality scheme)


(23)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada hakikatnya, manusia merupakan makhluk sosial dan makhluk individual. Manusia dikatakan makhluk sosial karena manusia pasti memerlukan orang lain dalam kehidupannya mulai dari hal yang kecil dan besar. Manusia juga sekaligus sebagai makhluk individual yang bebas, mandiri memutuskan sendiri apa yang baik dan buruk bagi dirinya. Sama halnya dengan keputusan membeli suatu produk, ada dua faktor dominan yang mempengaruhi yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal mencakup budaya, status sosial, kelompok referensi, dan aktifitas pemasaran sedangkan faktor internal mencakup persepsi, pembelajaran, memori, motif, kepribadian, emosi, dan sikap (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007)

Sub-bagian faktor internal dan eksternal yang berpengaruh juga tergantung pada konsep diri dan gaya hidup yang dianut oleh konsumen. Konsumen berusaha memenuhi keinginan atau kebutuhan yang sesuai dengan konsep diri dan gaya hidupnya yang dapat dilihat secara eksplisit berdasarkan pembelian yang dilakukan. Banyaknya pilihan yang dihadapi dalam membeli suatu produk akan berdampak pada rasa bingung atau ragu yang akan dialaminya ketika memutuskan untuk membeli produk tersebut.


(24)

Sumarwan (2002) mengemukakan bahwa walaupun dijejali oleh banyaknya pilihan banyaknya pilihan produk, keputusan akhir dalam membeli produk tersebut akan tetap ditentukan oleh konsumen. Engel, Blackwell & Miniard (1995) mengatakan bahwa keputusan pembelian dilakukan oleh konsumen akan melalui beberapa tahap, yakni: (1) tahap pengenalan kebutuhan. Pada tahap ini ada perbedaan antara keadaan yang diinginkan dengan keadaan yang sebenarnya yang pada akhirnya akan membangkitkan proses kebutuhan; (2) tahap pencarian informasi. Untuk mencari solusi dari permasalahan dapat diperoleh melalui pencarian internal atau dari dalam diri, dapat juga diperoleh melalui pencarian eksternal seperti mencari informasi dari orang lain, seperti teman, keluarga, kelompok dan sebagainya; (3) tahap evaluasi alternatif. Alternatif yang ada dipersempit sehingga akhirnya dari sekian banyak alternatif yang tersedia, konsumen akan memilih alternatif yang diinginkan; (4) pembelian. Pembelian didasarkan pada alternatif yang telah dipilih; (5) konsumsi. Biasanya tindakan pembelian akan diikuti oleh tindakan mengkonsumsi atau menggunakan produk yang telah dibeli; (6) evaluasi alternatif setelah pembelian. Setelah melakukan pembelian, konsumen akan mengevaluasi apakah alternatif yang telah dipilih sesuai dengan harapan.

Di saat evaluasi setelah pembelian terhadap produk membuat konsumen merasa adanya ketidanyaman seperti keraguan atau kecemasan karena tidak sesuainya produk yang sudah dibeli dengan harapan saat pembelian hal ini disebut


(25)

dengan postpurchase dissonance. Postpurchase dissonance merupakan salah satu bentuk cognitive dissonance dimana terjadi dalam konteks pembelian.

Festinger (dalam Sweeney & Soutar, 2003) mengatakan bahwa cognitive dissonance adalah suatu keadaaan ketidaknyamanan psikologis yang memotivasi seseorang untuk mengurangi keraguan (dissonance) terhadap keputusan yang telah terjadi. Dalam penelitian ini, konsumen menemukan ketidaksesuaian antara harapan pada produk dengan keadaan produk yang sebenarnya dapat berupa kekurangan ataupun keunggulan produk tersebut. Dissonance terjadi karena konsumen harus membuat komitmen yang relatif permanen terhadap produk yang dipilih dan harus mengorbankan fitur menarik dari produk alternatif yang tidak dipilih.

Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007) kemudian mengungkapkan bahwa keraguan yang terjadi pada tahap pasca pembelian dikenal dengan postpurchase dissonance. Hal ini terjadi ksarena kesenjangan antara kenyataan dengan apa yang diharapkan konsumen terhadap suatu produk yang telah diputuskan dibeli. Konsumen akan mencari penguatan (reinforcement) atas keputusan membeli yang telah mereka lakukan untuk menghilangkan keraguan (dissonance) tersebut.

Hoyers & MacInnis (2010) mengungkapkan postpurchase dissonance dapat terjadi pada siapa saja baik dengan status sosial, usia, maupun gender yang berbeda, baik itu pria dan perempuan tetapi pembedanya mungkin dari segi intensitas dan pengalaman yang dialami.


(26)

Berdasarkan data dan survey yang dilakukan terhadap konsumen diketahui ternyata pengalaman dan intensitas pembelian lebih banyak dilakukan oleh perempuan. Data Woman Certified tahun 2011 (dalam wolipop.detik.com)

mengungkapkan bahwa 83 persen konsumen yang berbelanja pada akhir abad ke-20 adalah perempuan. Hal ini berarti hanya menyisakan 17 persen pria yang melakukan proses belanja.

Dalam artikel yang berjudul “Teens: Here Comes the Biggest” (dalam Petersen, 1993) menyatakan bahwa remaja perempuan lebih banyak menghabiskan waktu akhir minggunya untuk belanja dibanding dengan remaja pria yang akhirnya berlanjut hingga masa dewasa. Perempuan mempunyai intensitas lebih banyak dibanding pria dalam kegiatan belanja bahkan ketika masih dalam tahap remaja. Hal ini juga menjadi suatu pembelajaran dari lingkungan yang mempengaruhi terbentuk peran perempuan yang dianggap mempunyai tugas belanja.

Survey dari markeeters.com pada tahun 2011 terhadap konsumen di Indonesia menunjukkan bahwa ternyata konsumen perempuanlah yang memegang peranan penting dalam membeli atau memutuskan akan membeli suatu barang. Survey menunjukkan bahwa 80% orang yang berbelanja adalah perempuan.

Survey di tahun 2005 mengenai kontribusi pendapat antara pria dan wanita di dalam proses pengambilan keputusan pembelian sebuah barang dimana hasilnya wanita hanya memiliki 23% kontribusi pendapat di dalam proses pengambilan keputusan pembelian terutama untuk barang-barang yang cenderung maskulin seperti


(27)

mobil, motor, cat rumah, asuransi, elektronik, komputer, gadget. Kaum prialah yang mendominasi keputusan akhir. Namun, di penghujung akhir tahun 2009 dengan hasil yang sangat mengejutkan dimana kaum hawa telah menguasai 75% kontribusi dalam pengmabilan keputusan akhir pembelian (the marketeers.com, 2011).

Dalam bukunya yang berjudul “Women and Shopping”, Huddleston &

Minahan (2012) melakukan survey yang juga membuktikan bahwa faktanya perempuan di seluruh dunia mengendalikan sebagian besar pengeluaran konsumen (sekitar $20 trilyun), baik itu untuk elektronik, perumahan, furnitur rumah, perjalanan wisata, layanan finansial, atau otomobil-sebuah angka yang berkembang sampai dengan 40% dalam waktu lima tahun mendatang.

Kecanggihan teknologi juga seakan-akan sejalan dengan semakin meningkatnya perempuan sebagai pangsa pasar yang diperhitungkan. Comscore, sebuah perusahaan pemasaran dalam riset globalnya menunjukkan bahwa perempuan menghabiskan waktu surfing internet lebih banyak. Perempuan rata-rata menghabiskan 24,8 jam per minggu, sementara laki-laki 22,9 jam per minggu. Perempuan memang tidak pernah berhenti berbelanja (dalam the-marketeers.com,

2011).

Ahli sosiologi Prancis, Jean Baudrillard menyebutkan bahwa perempuan hidup dalam alam progres modernitas, ia memiliki gairah konsumsi yang tinggi. konsumsi merupakan jawaban untuk membentuk personalitas, gaya, citra, gaya hidup, dan cara diferensiasi status sosial (the-marketeers.com,2011).


(28)

Berdasarkan data dari dalam artikel “Hobi Belanja Bisa Bikin Panjang Umur” (wolipop.detik.com,2011), studi ilmiah menunjukkan bahwa dengan belanja dapat mengaktifkan pusat otak yang mengendalikan produksi hormon dopamin yang memberikan efek bahagia, rileks dalam jangka waktu relatif pendek. Hal ini jugalah yang membuat seringkali perempuan menjadi penguatan bahwa berbelanja itu hal yang menyenangkan untuk dilakukan.

Hoyer & MacInnis (2010) menyatakan bahwa konsumen perempuan lebih sering membeli produk yang menunjukkan simbol dan identitas yang menunjukkan kelekatan atau ikatan dengan orang lain seperti produk kosmetik, kesehatan, sovenir, dan peralatan rumah tangga. Hal ini sejalan dengan nature dan nurture perempuan yang menuntutnya untuk merawat anak, memelihara, menunjukkan kelembutan dan menghargai orang lain. Oleh karena itu, konsumen seringkali diperhadapkan dengan lebih banyak pilihan dibandingkan dengan konsumen pria yang biasanya melakukan pembelian lebih berorientasi kepada diri sendiri.

Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa pengalaman dan intensitas melakukan pembelian lebih banyak dialami konsumen perempuan. Banyaknya alternatif-alternatif produk yang dihadapi membuat munculnya postpurchase dissonance juga lebih besar terjadi. Semakin sulit memilih alternatif, semakin tinggi kemungkinan seseorang konsumen mengalami dissonance (Hawkins, Mothersbaugh,& Best, 2007).


(29)

Pengambilan keputusan secara terbatas dan berdasarkan nilai nominal produk tidak akan menghasilkan postpurchase dissonance (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007). Nilai nominal merupakan nilai yang tertera di produk tersebut. Dengan kata lain, nilai nominal itu adalah harga (price) yang ditentukan terhadap barang tersebut. Berdasarkan teori-teori terdahulu, pengaruh harga produk tidak dibahas secara mendalam apakah mempunyai potensi yang besar yang dapat mengakibatkan munculnya postpurchase dissonance di budaya Barat seperti yang dikemukakan Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007) serta Sweeney & Soutar (2003) sebelumnya.

Fenomena yang terdapat di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Melalui beberapa wawancara personal terhadap beberapa perempuan, faktor price ternyata mempunyai pengaruh bagi mereka ketika melakukan proses pembelian. Faktor price

menjadi salah satu bentuk pertimbangan seseorang dalam membuat keputusan pembelian. Hal ini didukung dari wawancara personal dengan R, seorang mahasiswi Fakultas Psikologi USU:

“Kurasa harga itu sangat penting, kalo mau beli sesuatu ya harus paling diperhatiin itu harganyalah, kira kira sesuai apa enggak.. mahal pun kalo kualitas bahan bagus ya gak masalah sih sebenarnya...” (Sumber: Komunikasi Personal, 22 September 2012)

Hal yang sama juga dialami oleh A, seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya USU juga mendukung bahwa faktor harga (price) menjadi faktor yang penting dalam proses pembelian yaitu:

“ Ada ya banyak hal, e..., tapi yang paling utama itu biasanya harga dan juga


(30)

empatpuluh sih kek gitu. Kalo misalnya barangnya bagus, harganya mahal, ya kan kita harus pikir-pikir juga kan. Kalo barangnya murah, tapi kualitasnya yang rendah kan kita kan juga berpikir gitu kan.” (Sumber: Komunikasi Personal, 29 September 2012)

Berdasarkan wawancara personal tersebut dapat dilihat bahwa faktor price

berperan penting bagi perempuan saat memutuskan membeli suatu produk. Hoyer & MacInnis (2010) menyatakan harga produk atau jasa pelayanan mempunyai pengaruh kritis terhadap keputusan dalam pengenalan, penggunaan, dan pengambilan keputusan.

Meskipun teori ekonomi menyatakan bahwa meningkatnya harga suatu produk akan memungkinkan meningkatnya pembelian , tetapi terlalu rendah suatu harga produk berdasarkan persepsi seorang konsumen malah dapat menimbulkan kecurigaan terhadap kualitas produk yang malah mengurungkan niat untuk membeli. Konsumen mempunyai reaksi yang kompleks dalam menentukan harga. Hal tersebut juga didukung dengan kutipan pernyataan A, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya USU: “kalo menurut saya ya, harga mahal itu...tidak selamanya menentukan kualitas produk itu. Seperti itu...terlalu murah belinya juga pernah,e..., ada sepatu sama baju ya. I think it’s too ... too cheap. Kalo misalnya dari lihat bentuknya, kualitasnya itu terlalu murah untuk itu, jadi saya bingung juga kenapa beli.“ (wawancara personal,28 September 2012)

Berdasarkan wawancara personal tersebut, dapat dilihat bahwa faktor price

yang memicu perasaan bingung pada A tidak hanya terbatas karena persepsi harga yang mahal melainkan karena persepsi harga yang murah. Kebingungan yang dialami A setelah proses pembelian ini tersebut dapat dinyatakan sebagai postpurchase dissonance. Adanya perasaan bingung tersebut juga menunjukkan ketidaknyamanan


(31)

psikologis yang dirasakan A setelah membuat keputusan pembelian seperti yang dinyatakan dalam dimensi emosional postpurchase dissonance yang dikemukakan oleh Sweeney & Soutar (2003).

Contoh nyata yang dapat kita lihat, ketika ada sale dengan diskon besar-besaran di pusat perbelanjaaan, perempuan merupakan subjek utama yang ada dalam situasi tersebut dan rela berdesak-desakan bahkan menghabiskan waktu untuk membanding-bandingkan harga produk yang akan dibeli. Para perempuan yang mementingkan faktor price saat membuat keputusan pembelian juga tidak luput dalam mengalami postpurchase dissonance. Hal ini didukung dengan kutipan pernyataan A, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya USU berikut:

“Oooh iya, pernah sih kemaren. Ee... itu... harganya terlalu mahal ya saya rasa... setelah saya beli. Karena e... produknya tadi yang apa ya... sebenarnya produknya bagus jugak cuman kalau dicompare ke harganya sudah terlalu...apa ya ...bisa di...bilang terlalu ... mahal untuk kelas mahasiswa sih seperti itu. Kalo misalnya untuk orang profesional mungkin itu tidak akan masalah gitu, tapi kalo untuk mahasiswa itu akan terlalu mahal.“

“Ya, kisaran harganya sekitar empat ratus dua puluh sembilan ribu atau lima ratus dua puluh sembilan ribu. Jadi,... i think it’s too much expensive i guess. E... when they promote that is, ee... What we call it... so attractive i guess. Ya... tapi ternyata tak sebagus itu.” (wawancara personal, 28 September, 2012)

Pada pengalaman pembelian A tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor

price produk yang sudah ia beli membuat A merasa bingung atau mengalami

postpurchase dissonance. Ia merasa kecewa telah menghabiskan uang yang berlebihan ketika menyadari bahwa fakta yang ia terima dari produk tersebut.


(32)

Presepsinya terhadap faktor price yang mahal tersebut ternyata tak sesuai dengan produk yang diharapkannya tersebut.

Pengalaman B, seorang siswi SMA Kelas XII juga mendukung bahwa faktor

price itu bisa memicu munculnya postpurchase dissonance, sebagai berikut kutipannya:

“pernah kak, waktu beli celana di Petisah, aku belik kan harganya seratus tujuh

puluh ribu terus kan, pas keluar toko aku baru sadar kalo bahannya itu tipis kali dan ga mungkin keknya seratus tujuh puluh ribu. Jadi gelisah sih kak, tapi mau diapain lagi.” (komunikasi personal, 22 September 2012)

Berdasarkan beberapa fakta yang nyata ada di masyarakat tersebut, bahwa dapat dilihat bahwa faktor price seringkali menjadi pemicu terjadinya postpurchase dissonance pada perempuan. Postpurchase dissonance saat membeli produk, terutama yang berhubungan dengan mereka secara langsung seperti pakaian, alat kosmetik, atau benda-benda yang berhubungan dengan gaya hidup perempuan.

Dalam teori-teori Barat yang membahas postpurchase dissonance, seperti yang dikemukakan Sweeney & Soutar (2003) dan Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007) sebelumnya bahwa faktor price tidak diperhitungkan menjadi salah satu faktor terjadinya postpurchase dissonance. Kemungkinan ini bisa saja terjadi karena memang bentuk keterlibatan konsumen di dunia Barat yang memang cenderung tinggi dengan produk yang ingin dibelinya. Oleh karena itu, berdasarkan fenomena yang ada di lapangan peneliti ingin melihat dinamika postpurchase dissonance yang terjadi pada perempuan yang terjadi dimana faktor price sebagai pemicu utamanya.


(33)

B. Identifikasi Permasalahan

Adapun pertanyaan penelitian ini adalah “Bagaimana dinamika faktor price

sebagai pemicu postpurchase dissonance pada konsumen perempuan?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan dan menjelaskan dinamika faktor price sebagai pemicu postpurchase dissonance pada konsumen perempuan.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Manfaat teoritis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa penelitian ini dapat memperkaya pemahaman dan ilmu pengetahuan di bidang Psikologi Industri dan Organisasi, Bidang Perilaku Konsumen, Psikologi Sosial, serta bidang ilmu Manajemen dan Pemasaran.

2. Manfaat praktis

a. Manfaat praktis ini yaitu dengan adanya gambaran dari hasil penelitian ini diharapkan pihak-pihak yang bergerak dalam bidang perilaku konsumen lebih mengerti dinamika psikologis (postpurchase dissonance) yang


(34)

terjadi pada orang-orang yang mementingkan faktor price dalam membuat suatu keputusan pembelian.

b. Manfaat praktis penelitian ini juga ditujukan kepada pihak-pihak yang bergerak dalam analisa pasar, media massa, biro iklan dan masyarakat umum agar dapat lebih memahami fenomena faktor price yang menjadi pemicu munculnya postpurchase dissonance yang terjadi secara luas di masyarakat.

c. Manfaat lainnya juga sebagai pemicu munculnya penelitian-penelitian lain yang lebih menitikberatkan pada variabel yang seringkali tidak ditemukan dalam teori-teori yang ada namun berpengaruh dalam di lapangan. Selain itu, penelitian ini dapat menambah wawasan individu yang membacanya, khususnya tentang postpurchase dissonance.

E. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisi tentang penjelasan mengenai latar belakang peneliti mengangkat topik tentang dinamika price sebagai pemicu postpurchase dissonance pada perempuan yang didukung dan dilengkapi dengan fakta-fakta yang ada di lapangan, identifikasi permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.


(35)

BAB II : Landasan teori

Berisi teori-teori yang digunakan sebagai landasan penelitian. Dalam penelitian ini akan digunakan teori mengenai cognitive dissonance, dimensi

postpurchase dissonance, dan teori tentang price.

BAB III : Metode Penelitian

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian yang mencakup metode penelitian kualitatif, metode pengumpulan data, dan alat bantu pengumpulan data, karakteristik dan teknik pengambilan subjek, serta prosedur penelitian dan analisis data.

BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

Analisa Data dan Pembahasan berisi pendeskripsian data responden, analisa dan interpretasi data yang dperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan dan diskusi

BAB V Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan, dan Saran yang menjelaskan kesimpulan dari penelitian ini, diskusi mengenai hasil penelitian yang ada serta saran-saran yang dianjurkan mengenai penelitian ini.


(36)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Postpurchase Dissonance

A.1. Pengertian Postpurchase Dissonance

Sebelum membahas tentang postpurchase dissonance, terlebih dahulu perlu dipahami tentang cognitive dissonance. Teori cognitive dissonance ini dikembangkan oleh Leon Festinger pada tahun 1957. Festinger (Loundon dan Bitta, 1993; Sweeney, Hausknecht, dan Soutar, 2000) mendefinisikan cognitive dissonance sebagai berikut:

“Cognitive dissonance is as a psychological state which results when a

person perceives that two cognitions (thoughts), both of which he believes to

be true, do not fit together”

Hal ini berarti bahwa cognitive dissonance ialah keadaan psikologis yang dihasilkan ketika seseorang merasakan bahwa kedua pengertian yang dipercayai sebagai kebenaran, tidak sesuai satu sama lain. Sebagai contohnya, ketika konsumen membuat suatu komitmen – sudah membayar atau memesan suatu produk, khususnya yang harganya mahal seperti sebuah mobil atau laptop. Mereka mungkin mulai merasakan cognitive dissonance ketika mereka berpikir keunikan, kualitas positif dari merek produk yang tidak mereka pilih.


(37)

Festinger (Loundon & Bitta, 1993) menyatakan bahwa ada dua prinsip

cognitive dissonance yaitu (1) dissonance itu membuat tidak nyaman dan akan memotivasi seseorang untuk menguranginya; dan (2) seseorang yang mengalami

dissonance akan menghindari situasi yang menghasilkan lebih banyak dissonance.

Dissonance (ketidaknyamanan) dapat ditimbulkan oleh tiga hal. Pertama, hal yang diterima logika tidak berjalan konsisten, contohnya: semua permen memiliki rasa manis, namun permen yang dibeli tersebut rasanya pahit. Kedua, ketika pengalaman seseorang tidak konsisten, baik antara sikapnya dengan perilakunya; atau di antara kedua perilakunya. Ketiga, ketidaknyamanan (dissonance) dapat terjadi ketika pengharapan tidak tercapai. Di saat cognitive dissonance terjadi setelah suatu pembelian, hal inilah yang dinamakan dengan postpurchase dissonance (Schiffman dan Kanuk, 2004).

Postpurchase dissonance (ketidaknyamanan pasca pembelian) merupakan bentuk cognitive disssonance yang berhubungan dengan ilmu pemasaran. Assael (1992) menyatakan bahwa postpurchase dissonance merupakan suatu keadaan ketidakseimbangan presepsi ketika konsumen merasa terjadi konflik informasi setelah pembuatan keputusan dan mencoba untuk mengubah informasi untuk menyesuaikan dengan perilaku sebelumnya. Ketidaknyamanan pasca pembelian ini terjadi ketika seseorang memutuskan untuk membeli sebuah merek dari berbagai merek dalam kategori produk yang sama.


(38)

Hawkins, Mothersbaugh dan Best (2007) menyatakan bahwa postpurchase dissonance adalah salah satu bentuk keraguan yang terjadi pada tahap pasca pembelian (postpurchase) suatu produk oleh konsumen. Tahap ini sangat kritis bagi para konsumen, dimana pada tahap ini konsumen akan mencari penguatan

(reinforcement) atas keputusan membeli yang telah mereka lakukan.

Hoyers & MacInnis (2010) menyatakan bahwa postpurchase dissonance

adalah adanya suatu perasaan cemas terhadap keputusan yang benar yang telah dibuat dan konsumen akan berusaha untuk menguranginya, khususnya ketika motivasi, kemampuan, dan kesempatan yang ada tinggi. Salah satu cara mengurangi dissonance

tersebut ialah mencari informasi tambahan dari sumber-sumber seperti ahli dan majalah.

Di bawah ini, Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007) membuat suatu diagram yang menggambarkan bagaimana perilaku konsumen yang terjadi dimulai dari saat pembelian barang, dimana beberapa pembelian diikuti dengan fenomena yang disebut

postpurchase dissonance. Hal ini terjadi ketika kosumen meragukan kebijakan pembelian (wisdom of purchase) yang telah dilakukan. Pembelian lainnya diikuti dengan nonuse. Konsumen mengembalikan atau menyimpan barang tersebut tanpa menggunakannya. Kebanyakan pembelian akan berakhir pada penggunaan barang, meskipun juga terjadi postpurchase dissonance pada saat tersebut. Ketidakpuasan mungkin menimbullkan complaint behaviors sedangkan kepuasan (satisfaction) dapat memberikan peningkatan dan pengulangan pembelian kembali dari konsumen.


(39)

Berdasarkan diagram yang ada dibawah ini, dapat disimpulkan bahwa hadirnya postpurchase dissonance dapat mempengaruhi motivasi konsumen untuk kembali membeli produk atau malah menolak sama sekali produk tersebut di masa mendatang.

Skema II.1 Alur Postpurchase Dissonance dalam Pembelian

A.2. Dimensi Postpurchase Dissonance

Sweeney, Hausknecht, dan Soutar (2000) mengemukakan 3 dimensi yang digunakan untuk mengukur Postpurchase Dissonance, yaitu:


(40)

1. Emotional

Ketidaknyamanan psikologis yang merupakan konsekuensi atas keputusan membeli. Keadaan yang tidak nyaman secara psikologis yang dialami oleh seseorang setelah orang tersebut membeli suatu produk yang dirasakan sebagai produk yang penting bagi dirinya, maka dapat dikatakan orang tersebut mengalami postpurchase dissonance.

2. Wisdom of purchase

Kesadaran individu setelah pembelian dilakukan apakah mereka telah membeli produk yang tepat atau mereka mungkin tidak membutuhkan produk tersebut. Setelah proses pembelian dilakukan individu, individu dihadapkan kepada pertanyaan-pertanyaan seputar keputusan membeli yang telah dia lakukan. Apabila individu merasa bahwa keputusan pembelian yang dia lakukan adalah benar, dimana produk yang telah dibeli adalah tepat dan berguna, maka individu cenderung tidak akan mengalami postpurchase dissonance.

3. Concern over deal

Kesadaran individu setelah proses pembelian telah dilakukan, apakah mereka telah dipengaruhi oleh agen penjual (sales staff) terhadap keyakinan mereka sendiri atas terhadap produk yang dibeli. Individu


(41)

yang melakukan keputusan membeli atas dasar pertimbangan diri sendiri (individu merasa bebas dalam memutuskan pembelian terhadap suatu produk) akan dihadapkan pada informasi-informasi dari luar diri individu tersebut yang dapat membuat individu mengalami

postpurchase dissonance.

A.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Postpurchase Dissonance

Hawkins, Mothersbaugh, dan Best (2007) menjelaskan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi postpurchase dissonance, yaitu :

1. The degree of commitment or irrevocability of the decision

Semakin mudah mengubah keputusan, semakin rendah kemungkinan seorang mengalami kebingungan (dissonance). Hal ini dapat terjadi pada saat membeli suatu produk yang memiliki banyak alternatif lainnya dimana masing-masing alternatif memiliki kelebihan ataupun kekurangan yang relatif sama. Dengan demikian keputusan untuk mengubah pembelian terhadap suatu produk seperti di atas tidak akan mengarah kepada

postpurchase dissonance. Keputusan yang telah dibuat tidak mungkin lagi untuk diubah oleh konsumen tersebut.


(42)

2. The importance of the decision to the consumer

Semakin penting keputusan tersebut bagi konsumen, semakin besar kemungkinannya mengalami dissonance. Keputusan seperti ini akan membuat seorang konsumen memikirkan secara matang produk yang hendak dibeli sebelum melakukan pembelian. Oleh karena itu keputusan yang salah dalam membeli suatu produk akan mengarah kepada

postpurchase dissonance yang akan dialami oleh konsumen tersebut.

3. The difficulty of choosing among alternatives

Semakin sulit memilih alternatif, semakin tinggi kemungkinan seorang konsumen mengalami dissonance. Hal ini dikarenakan alternatif yang ada tidak menawarkan kelebihan-kelebihan lainnya yang tidak ada pada produk yang hendak dipilih. Atau dengan kata lain alternatif yang ada tidak dapat menutupi kekurangan yang ada pada produk yang hendak dibeli.

.

4. The individual’s tendency to experience anxiety

Beberapa individu memiliki tingkatan atau kecenderungan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya dalam mengalami rasa cemas. Kecemasan ini dapat disebabkan oleh salah satu trait kepribadian yang dimiliki oleh seorang konsumen yang merupakan bawaan dari lahir (nature) ataupun dikarenakan pengaruh lingkungan (nurture). Oleh karena


(43)

itu, semakin tinggi tingkat kecemasan yang dimiliki oleh seorang individu maka semakin tinggi kemungkinannya mengalami postpurchase dissonance.

Holloway (dalam Loudon & Bitta, 1993) dalam penelitiannya mengenai disonansi yang dialami konsumen menyebutkan bahwa faktor yang menyebabkan keraguan pasca pembelian (postpurchase dissonance) adalah: (1). Adanya sejumlah hal yang menarik dari sejumlah alternatif produk yang tadinya ditolak oleh konsumen; (2). Munculnya faktor negatif dari produk alternatif yang menjadi pilihan utama; (3). Banyaknya alternatif produk yang muncul; (4). Kekacauan kognitif yang muncul pada saat melakukan pemilihan; (5). Keterlibatan kognitif pada produk; (6). Bujukan dan pujian; (7). Ketidaksesuaian atau perilaku yang dipandang negatif pada saat membeli; (8). Ketersediaan informasi; (9). Kemampuan mengantisipasi munculnya disonansi; dan (10). Tingkat pengetahuan dan pengenalan produk.

B. Harga (Price)

B.1. Konsep dan Pengertian Harga (price)

Konsep harga (price) merupakan konsep merupakan satu-satunya konsep unsur bauran pemasaran yang memberikan pemasukan atau pendapatan bagi perusahaan, sedangkan ketiga unsur lainnya (produk, distribusi, dan promosi) menyebabkan timbulnya biaya. Berdasarkan sudut pandang konsumen, harga


(44)

seringkali digunakan sebagai indikator nilai bagaimana harga tersebut dihubungkan dengan manfaat yang dirasakan atas suatu barang atau jasa (Tjiptono, 2004).

Monroe (dalam Tjiptono, 2004) menyatakan harga (price) adalah pengorbanan ekonomis yang dilakukan pelanggan untuk memperoleh produk atau jasa. Selain itu harga menjadi salah satu faktor penting konsumen dalam mengambil keputusan untuk melakukan transaksi atau tidak.

Tjiptono (2004) menyatakan bahwa harga memiliki dua peranan utama dalam proses pengambilan keputusan para pembeli, yaitu peranan alokasi dan peranan informasi.

1. Peranan alokasi dari harga, yaitu fungsi harga dalam membantu para pembeli untuk memutuskan cara memperoleh manfaat atau utilitas tertinggi yang diharapkan berdasarkan daya belinya. Dengan demikian, adanya harga dapat membantu para pembeli untuk memutuskan cara mengalokasikan daya belinya pada berbagai jenis barang dan jasa. Pembeli membandingkan harga dari berbagai alternatif yang tersedia, kemudian memutuskan alokasi dana yang dikehendaki

2. Peranan informasi dari harga, yaitu fungsi harga dalam “mendidik” konsumen mengenai faktor-faktor produk, seperti kualitas. Hal ini terutama bermanfaat dalam situasi di mana pembeli mengalami kesulitan untuk menilai faktor


(45)

produk atau manfaatnya secara objektif. Presepsi yang sering berlaku adalah bahwa harga yang mahal mencerminkan kualitas yang tinggi.

B.2. Persepsi Harga (Price Perception)

Di dalam jurnalnya yang berjudul “Price, Product Information, and Purchase

Intention: An Empirical Study” , Chang & Wildt (1994) menyebutkan bahwa persepsi harga dapat didefenisikan sebagai representasi perseptual konsumen atau persepsi subjektif terhadap harga objektif dari suatu produk. Penelitian sebelumnya mengindikasikan bahwa persepsi harga (sebagai contoh: persepsi konsumen terhadap suatu harga) dibentuk berdasarkan pada harga aktual (objektif) dan harga referensi dari konsumen (Winer, 1986). Penelitian terdahulunya juga mengindikasikan bahwa persepsi kualitas itu dipengaruhi oleh harga dan atribut instrinsik dari produk (Monroe dan Krishnan 1985; Olson dan Jacoby 1972).

Winer (dalam Chang & Wildt, 1994) berpendapat bahwa ketika membuat keputusan pembelian, konsumen seringkali membandingkan harga objektif dengan harga referensi internal, yang merupakan keseluruhan level harga atau kisaran persepsi konsumen pada kategori produk. Di dalam Chang & Wildt (1994), Teori asimiliasi/kontras Sherif dan teori level-adaptasi Helson telah digunakan dalam menggambarkan bagaimana harga objektif dan harga referensi berinteraksi untuk mempengaruhi evaluasi terhadap produk. Semakin tinggi harga referensi akan


(46)

menginduksi konsumen untuk mempersepsikan harga objektif semakin rendah dan begitu juga sebaliknya (Lichtenstein dan Braden 1989; Urbany, Bearden, dan Weilbaker 1988, dalam Chang & Wildt 1994).

Hasil penelitian akhir Chang & Wildt (1994) menghasilkan dukungan bahwa persepsi harga sebagai representasi perseptual dari harga objektif dalam hubungannya dengan harga referensi seperti yang dinyatakan oleh Monroe dan Chapman (1987) dan Zaithmal (1988). Berdasarkan dua variabel harga tersebut, harga objektif menunjukkan pengaruh yang lebih besar dalam mempersepsikan harga, dan pengaruhnya positif, begitu juga sebaliknya dengan harga referensi.

Di dalam kasus lain, informasi harga mungkin tidak akan dievaluasi dengan seksama karena konsumen telah memiliki sebentuk citra harga tertentu bagi setiap toko yang ingin mereka masuki dan konsumen seringkali menganggap tidak perlu lagi memperbandingkan harga di outlet tersebut dengan harga di outlet lainnya (Paul & Olson, 2002).

Paul & Olson (2002) menyatakan bahwa konsumen seringkali tidak berhati-hati dalam menyimpan data harga diingatannya bahkan untuk produk-produk yang mereka beli sekalipun; Alasan utamanya mengapa hal ini terjadi karena konsumen tidak mau melakukann sejumlah usaha yang diperlukan untuk mendapatkan, menyimpan, dan merevisi harga berbagai macam produk yang mereka beli. Untuk sebagian pembelian, di luar yang menggunakan kupon diskon dan tawar-menawar,


(47)

konsumen hanya tinggal membayar berapa saja harga yang ditetapkan atau melupakan rencana pembeliannya. Oleh karena itu, jika mereka memilih untuk membeli, harga tersebut tidak dapat mereka kontrol dan tidak banyak gunanya bagi mereka untuk menyimpan dengan hati-hati informasi harga jika dampaknya tidak berarti banyak bagi penghematan uang. Ringkasnya biaya aktivitas kognitif, biaya upaya perilaku, dan biaya waktu yang ikut terlibat dalam menyimpan informasi harga dan berbelanja dengan seksama sering sekali tidak sesuai dengan besarnya uang yang dapat dihemat.

B.3. Konsep yang Berhubungan Dengan Persepsi Harga

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Donald R. Lichtenstein, Nancy M. Ridgway, dan Richard G. Netemeyer (dalam Budiadi, 2009) telah diidentifikasikan 7 (tujuh) konsep yang berhubungan dengan interpretasi dan presepsi harga (price-related construct).

Dari tujuh konsep yang berhubungan dengan presepsi harga tersebut, lima diantaranya mempengaruhi secara negatif probabilitas pembelian dengan semakin tingginya harga, dan disebut sebagai “peran negatif”. Kelima konsep yang memiliki peran negatif tersebut, yaitu Price Consciousness, Value Consciousness, Coupon Proneness, Sale Proneness, dan Price Mavenism. Dua dari tujuh konsep sisanya memiliki pengaruh terhadap probabilitas pembelian secara positif dengan semakin


(48)

tingginya harga, dan disebut sebagai “peran positif”. Dua konsep yang memiliki peran positif tersebut yaitu Price Schema dan Prestige Sensitivity.

Sedangkan lima faktor yang merupakan reaksi/perilaku konsumen dalam menanggapi harga dan promosi harga, adalah Price Search, Generic Product Purchase, Price Recall, Sale Responsiveness dan Coupon Redemption. Berikut penjelasannya:

a. Kesadaran harga (price consciousness)

Maksud kesadaran harga disini adalah kesadaran konsumen akan pentingnya harga yang rendah dalam membeli produk. Semakin rendah harga semakin dipilih sesuai dengan preferensi terhadap harga rendah. Hal ini dapat melihat sejauh mana pertimbangan konsumen terhadap pentingnya pertimbangan harga yang rendah di atas pertimbangan-pertimbangan lainnya.

b. Kesadaran nilai fisik produk (value consciousness)

Kesadaran nilai fisik produk adalah kesadaran konsumen akan pentingnya nilai produk yang diukur dari harga terhadap wujud/fisiknya. Semakin rendah nilai produk tersebut, sehingga lebih dipilih.

c. Potongan harga (sale proneness)

Konsep ini berkaitan dengan persepsi konsumen mengenai produk-produk yang ditawarkan dalam potongan harga. Potongan harga dianggap


(49)

menguntungkan karena harganya lebih rendah dari harga semestinya. Sejalan dengan hal ini, maka harga rendah dari harga semestinya dan harga rendahlah yang dipilih. Hasilnya, dapat dilihat sejauh mana preferensi konsumen terhadap produk-produk yang dijual dengan potongan harga, yang ditunjukkan oleh persepsi konsumen terhadap pentingnya pertimbangan potongan harga.

d. Harga-kualitas (price quality scheme)

Hubungan harga-kualitas berkaitan dengan anggapan bahwa harga produk sebanding dengan kualitasnya. Semakin tinggi harga semakin dipilih. Karena dianggap mencerminkan kualitas yang bagus. Semakin rendah harga semakin kurang dipilih karena dianggap semakin menurun kualitasnya.

e. Harga-Prestis (Prestige sensitivity)

Hubungan harga-prestis berkaitan dengan anggapan bahwa produk yang dibeli menunjukkan status atau gengsi. Semakin tinggi harga semakin dipilih, karena dianggap semakin memerikan prestige. Semakin rendah harga semakin kurang dipilih karena dianggap semakin berkurang nilai prestisnya.

C. Perilaku Konsumen Perempuan

Perubahan dalam peran gender bagi perempuan adalah hal dramatis, meningkatnya partisipasi dalam tantangan dunia pekerjaan, meningkatnya kekuatan


(50)

kekayaan dan pembelian, dan meningkatnya partisipasi dalam gaya hidup yang aktif. Kelly (1991) juga menyatakan peran perempuan tradisional (sebagai istri, ibu, dan wanita muda) telah berubah setelah semakin maraknya perkembangan pusat-pusat perbelanjaan.

Pusat perbelanjaan yang begitu banyaknya membuat perempuan seringkali dihadapkan dengan banyak pilihan. South& Spitze (1994) menyatakan bahwa berbelanja adalah tipe tugas perempuan (female typed-task). Proses pembelian oleh perempuan dilakukan karena tiga motif utama yaitu: berinteraksi dengan keluarga, faktor manfaat, dan proses pembelian sebagai suatu kesenangan (Lunt dan Livingstone, 1992).

Penguatan dari lingkungan juga seringkali mengidentikkan bahwa perempuan memiliki kecenderungan untuk sering melakukan pembelian barang. Misalnya, sering kali perempuan dianggap sebagai “ratunya belanja”, adanya dukungan sosial baik dari suami, teman, atau diri sendiri yang menguatkan bahwa perempuan identik dengan belanja, belanja merupakan cara melepaskan stres. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Huddleston & Minahan (2012) bahwa bagi konsumen perempuan belanja bukanlah sekedar melakukan pembelian melainkan juga tentang kesenangan, kreativitas, berfoya-foya dan kebebasan.

Stereotip yang dibentuk oleh lingkungan juga membedakan perilaku pembelian pada perempuan. Perempuan lebih mungkin mendapat stereotip terhadap


(51)

merek dari produk-produk fashion daripada produk dengan image mobil (Elliot, 1993).

Peran gender perempuan secara umum biasanya adalah merawat, memelihara kesehatan suami dan anak dan tinggal di rumah menghabiskan sebagian besar waktunya (DeGenova, 2008). Hal ini juga mempengaruhi perilaku membeli perempuan tidak hanya untuk dirinya sendiri tapi juga terhadap orang lain dalam hal ini keluarganya. Perempuan juga cenderung membeli barang-barang simbolis dan mampu mengeskpresikan dirinya, yang berkaitan dengan penampilan dan emosional untuk diri sendiri maupun orang lain (Hoyer & MacInnis, 2010). Dari segi emosional, perempuan mempunyai kecenderungan menunjukkan lebih banyak emosi-emosi negatif seperti rasa takut, nervous, dan cemas selama proses pembelian daripada emosi-emosi positif (Dube & Morgan, 1996).

Pemrosesan informasi dalam otak perempuan juga mendukung perilaku membeli yang perempuan lakukan. Dalam struktur otaknya, otak perempuan lebih aktif pada peripheral vision (Lahey, 2007). Hal ini menyebabkan perempuan berpikir terlebih dahulu secara lebih mendalam baru kemudian bertindak. Pemrosesan informasi untuk menghasilkan suatu respon menjadi lebih lama dan lebih mendetail. Wanita lebih mungkin terlibat lebih dalam suatu rincian produk, menyeluruh, memeriksa pesan dari produk lebih cermat, dan membuat perpanjangan waktu dalam membuat keputusan berdasarkan atribut-atribut produk yang hendak dipilih.


(52)

Meyers-Levy (1989) dalam jurnal “A Hemispheric Interpretation” menemukanbahwa dalam segi kognitif perempuan menggunakan kedua belahan otak mereka untuk sebagian besar tugas sehingga informasi yang ditangkap juga seringkali tidak dipahami secara keseluruhan karena adanya pembagian fokus perhatian terhadap tugas-tugas lainnya.

D. Harga (Price) sebagai Pemicu Munculnya Postpurchase Dissonance pada Konsumen Perempuan

Proses pembelian produk merupakan proses yang mempunyai beberapa tahapan sampai akhirnya seseorang mengambil keputusan pembelian. Hoyers dan MacInnis (2010) menyatakan bahwa faktor harga (price) merupakan salah satu faktor yang berpengaruh kritis terhadap pengenalan, penggunaan, dan pengambilan keputusan pembelian.

Chang & Wildt (1994) mengatakan persepsi terhadap harga (price) terbentuk berdasarkan harga aktual (objektif) dan harga referensi dari konsumen. Harga referensi ( reference price) merupakan suatu standar internal yang dibandingkan dengan harga produk yang ditemukan (Lindsey-Mullikin, 2003). Studi sebelumnya yang dilakukan oleh Olson dan Jacoby (dalam Chang & Wildt,1994) juga mengindikasikan bahwa persepsi kualitas produk dipengaruhi juga oleh faktor harga dan atribut-atribut dalam suatu produk. Sawyer dan Dickson (1984) dan Zeithmal


(53)

(1988) menemukan bahwa faktor harga tidak berhubungan dengan persepsi terhadap nilai (value perception) melainkan secara jelas terbukti bahwa adanya hubungan kuat antara faktor harga dan persepsi kualitas (price-perceived quality).

Zeithmal (1988) menemukan bahwa hubungan antara harga dan persepsi kualitas tersebut diperantarakan oleh persepsi harga (perceived price). Jacoby dan Olson (1977) menunjukkan bahwa konsumen menyamakan antara harga actual produk (actual price) dengan suatu bentuk persepsi harga (price perception). Persepsi harga inilah yang kemudian mempengaruhi terbentuknya persepsi kualitas (quality perception).

Harga aktual (objektif) produk yang ditemukan konsumen akan lebih tinggi, lebih rendah, atau sama dengan harga referensi yang dibuat oleh konsumen. Reaksi konsumen terhadap harga yang tak terduga adalah hal yang menarik untuk diteliti karena potensi harga-harga yang tidak terduga oleh konsumen mempunyai pengaruh terhadap bagaimana persepsi konsumen terhadap nilai produk dan intensi pembelian untuk di masa mendatang.

Festinger (1957) mencetuskan teori cognitive dissonance, menyediakan suatu kerangka berpikir yang berguna untuk mengevaluasi keadaan-keadaan dimana konsumen menemukan bahwa harga produk yang sudah dibayarkannya ternyata berbeda dari harga referensi. Mengingat kembali kepada teori awalnya, yaitu


(54)

seseorang mencari cara untuk menyeimbangkan antara struktur kognitf dengan informasi baru yang ia terima sehingga konsisten dengan belief yang sebelumnya sudah terbentuk seimbang. Di saat informasi baru diproses dan ternyata sesuai dengan

belief awal, maka muncullah dissonance. Ketika dissonance terjadi pada situasi pembelian baik produk maupun jasa hal ini disebut dengan Postpurchase Dissonance. Postpurchase Dissonance merupakan salah satu bentuk cognitive dissonance, dimana seseorang mengalami ketidaknyamanan psikologis berupa kecemasan atau keraguan pasca pembelian karena ketidaksesuaian antara ekspektasi dengan kenyataan produk (Schiffman dan Kanuk, 2000).

Berdasarkan konsep tentang harga referensi (price reference) dapat diketahui bahwa konsumen mengevaluasi harga secara komparatif (Monroe, 2003). Harga referensi dibentuk berdasarkan memori terhadap pengalaman-pengalaman pembelian sebelumnya, persepsi terhadap stimulus yang ada (kontekstual), gabungan dari pengalaman yang berhubungan (temporal), dan informasi dari orang lain (Van Raaij, 1991). Adatation-level theory menyatakan bahwa persepsi harga konsumen berdasarkan harga actual dan harga referensi. Hal ini menunjukkan bahwa harga referensi yang dibuat konsumen tergantung dari bagaimana kisaran harga-harga berbagai produk. Kisaran harga dipengaruhi oleh harga tertinggi dan harga terendah yang titik akhirnya mempengaruhi terjadinya judgement of prices konsumen (Monroe, 2003).


(55)

Berdasarkan assimilation-contrast theory kita mengetahui bahwa ketika dihadapkan dengan sebuah harga yang baru, harga baru akan dapat juga diterima dan menjadi bagian dari penerimaan harga tersebut atau malah ditolak. Ketika konsumen dihadapkan dengan sebuah harga diluar kisaran level kesesuaian yang ia miliki atau

level of acceptanceterhadap harganya maka konsumen tersebut akan mengalami

postpurchase dissonance. Ketika level kesenjangan antara harga actual dan harga referensi cukup jauh, individu akan mencoba untuk mengurangi dissonance yang ada tersebut.

Hoyers & MacInnis (2010) menyatakan bahwa postpurchase dissonance

dapat terjadi pada siapa saja baik dengan status sosial, usia, maupun gender yang berbeda, baik itu pria dan perempuan tapi pembedanya mungkin dari segi intensitas dan pengalaman yang dirasakan. Penelitian Huddleston & Minahan (2012)menunjukkan fakta bahwa konsumen perempuan di seluruh dunia mengendalikan sebagian besar pengeluaran konsumen (sekitar $20 trilyun), baik untuk eletronik, perumahan, furnitur rumah, perjalanan wisata, layanan finansial, atau

automobile. Konsumen perempuan merupakan komunitas yang paling banyak melakukan proses pembelian.

Konsumen perempuan sebagai suatu kelompok gender yang lebihbesar secara kuantitas melakukan proses pembelian juga sangat berpengaruh dalam membuat keputusan akhir pembelian. Berdasarkan survey marketeers(2011), 75% keputusan akhir pembelian dilakukan oleh konsumen perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa


(56)

konsumen perempuan menjadi lebih besar kemungkinannya mengalami ketidaksesuaian setelah pembelian karena intensitas pembelian dan pengalamannya juga lebih banyak.

Faktor harga (price) sebagai salah satu bentuk evaluasi setelah pembelian juga mempunyai peranan bagi konsumen perempuan (Hoyers & MacInnis, 2010). Konsumen perempuan berusaha untuk membeli produk-produk yang secara normal sesuai dengang kapasitas keuangannya (Thrassou, Kone & Panayidou (2008). Hal iini dilakukan untuk menghindari kemungkinan kerugian. Oleh karena itu, konsumen perempuan cenderung membandingkan harga dari satu toko ke toko lain dan berusaha untuk melakukan penawaran harga produk. Hal ini terjadi karena perempuan mempunyai kecenderungan untuk membeli produk-produk dengan harga-harga yang lebih rendah (Black, 2005; Black, 2007; Lai, Wu & Lin, 2008). Oleh karena itu, konsumen perempuan mempunyai pertimbangan besar dalam menentukan harga produk yang akan dibeli. Di saat reference price tidak sesuai dengan actual price


(57)

Kerangka Teoritis

Di Konsumen Perempuan

Pembelian Persepsi Harga (Price Perception) Dimensi : Emotional Wisdom of Purchase Concern over

deal Salah satu faktor yang

menjadi pertimbangan: FAKTOR PRICE Postpurchase Dissonance Konsumen perempuan

Paling banyak melakukan pembelian di berbagai produk

Pembuat keputusan akhir dalam pembelian

 Terbiasa melakukan budgeting price

Cenderung membeli produk dengan harga-harga yang lebih rendah Berusaha menawar


(58)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pendekatan yang akan dipakai, informan penelitian, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, dan prosedur penelitian

A. Pendekatan Kualitatif

Mengingat tujuan dari penelitian ini adalah melihat dinamika price sebagai pemicu postpurchase dissonance pada perempuan maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memungkinkan individu memfokuskan atensi dan mengungkapkan variasi pengalaman yang dijalaninya (Patton, dalam Poerwandari, 2007).

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2007) metode kualitatif memungkinkan peneliti untuk meneliti isu terpilih, kasus-kasus atau kejadian secara mendalam dan detail, fakta berupa kumpulan dan tidak dibatasi oleh kategori yang ditetapkan sebelumnya. Kelebihan metode kualitatif adalah prosedur yang khusus menghasilkan data yang detail dan kaya tentang individu dan kasus-kasusnya.

Penelitian dengan metode kualitatif disebut juga dengan penelitian naturalistik, dimana penelitian ini bersifat atau memiliki karakteristik bahwa datanya


(59)

dinyatakan dalam keadaan sewajarnya atau sebagaimana adanya dengan tidak dirubah dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan (Nawawi & Martini, 1994).

Pendekatan kualitatif sebagai suatu konsep keseluruhan untuk mengungkapkan rahasia sesuatu, dilakukan dengan menghimpun data sewajarnya, menggunakan cara kerja yang sistematis, terarah, dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga tidak kehilangan sifat ilmiahnya (Nawawi & Martini, 1994).

Kelebihan metode kualitatif adalah prosedur yang khusus menghasilkan data yang detail dan kaya tentang individu dan kasus-kasusnya. Kelebihan lainnya adalah menghasilkan data yang mendalam dan detail serta penggambaran yang hati-hati tentang situasi, kejadian-kejadian, orang-orang, interaksi dan perilaku yang teramati (Patton, dalam Poerwandari, 2007).

Suparlan (dalam Patilima, 2005) mengatakan bahwa dalam pendekatan kualitatif yang menjadi sasaran kajian/penelitian adalah kehidupan sosial atau masyarakat sebagai sebuah kesatuan yang menyeluruh. Karena itu penelitian harus dilakukan secara teliti, mendalam, dan menyeluruh untuk memperoleh gambaran mengenai prinsip-prinsip umum atau pola-pola yang berlaku umum sehubungan dengan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan sosial masyarakat yang diteliti sebagai kasus itu sendiri.

Penelitian dengan pendekatan kualitatif memberi kesempatan kepada peneliti untuk mengungkapkan hal-hal yang tersimpan dalam pikiran partisipan, perasaan dan


(60)

keyakinan-keyakinan partisipan yang sulit diungkapkan dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian kualitatif sedikit banyak dapat dianalogikan dengan proses penyelidikan (investigasi), tidak banyak berbeda dengan kerja detektif yang harus mendapat gambaran dan ‘sense’ tentang fenomena yang diselidikinya (Sarantakos, dalam Poerwandari, 2007).

Pemilihan metode kualitatif deskriptif digunakan dalam penelitian ini untuk memperoleh pemahaman utuh dan terintegrasi mengenani interrelasi fakta dan dimensi fenomena tersebut serta karena dalam penelitian ini dinamika price sebagai pemicu postpurchase dissonance haruslah dilihat sebagai suatu proses yang disebabkan tidak hanya sebuah faktor saja, melainkan banyak faktor. Selain itu, bagaimana presepsi individu memandang price juga dapat berbeda-beda. Peneliti juga dapat menemukan hal-hal baru dalam dinamika price sebagai pemicu postpurchase dissonance pada perempuan. Untuk mendapatkan gambaran yang mendalam, luas, dan kemungkinan munculnya hal-hal baru inilah yang membuat peneliti memilih metode multiple case study bersifat deskriptif.

B. Informan Penelitian

B.1. Karakteristik Informan Penelitian


(61)

b. Berusia 21-40 tahun. Kisaran usia dibuat berdasarkan usia tahap perkembangan yang dikemukakan oleh Erickson dalam Papalia (2007) yaitu yang berada tahap perkembangan dewasa awal.

c. Pembelian produk untuk pemakaian diri sendiri. Hal ini berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Sweeney & Soutar (2003) yang menyatakan salah satu karakteristik postpurchase dissonance terhadap produk yang digunakan untuk kepentingan individu tersebut.

B.2. Jumlah Informan Penelitian

Informan dalam penelitian kualitatif tidak diarahkan pada jumlah besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. Pada dasarnya, jumlah informan dalam penelitian kualitatif tidak ditentukan secara tegas di awal penelitian dan tidak diarahkan pada keterwakilan dalam arti jumlah atau peristiwa acak, melainkan pada kecocokan konteks (Sarantakos dalam Poerwandari, 2007).

Pada penelitian ini, jumlah informan yang direncanakan adalah sebanyak 3 (tiga) orang dengan pertimbangan tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk melihat dinamika price sebagai pemicu postpurchase dissonance pada perempuan secara mendalam, dimana fenomena kasus yang hadir tersebut merupakan fenomen


(62)

yang unik dimana dalam teori perilaku konsumen yang ada menyatakan bahwa price

bukan suatu faktor munculnya postpurchase dissonance.

B.3. Teknik Pengambilan Responden

Untuk mendapatkan informan yang sesuai dengan tujuan penelitian, maka peneliti menggunakan prosedur pengambilan sampel berdasarkan teori, atau berdasarkan konstruk operasional (theory-based/ operational construct sampling). Patton, dalam Poerwandari (2007) menyatakan bahwa penelitian ini dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sampel sungguh-sungguh mewakili (bersifat representatif terhadap) fenomena yang dipelajari.

Dalam penelitian ini, peneliti akan mewawancarai perempuan yang mengalami postpurchase dissonance karena faktor price; karena perempuan tersebut telah mengalami postpurchase dissonance yang dipicu oleh presepsinya terhadap

price produk tersebut. Subjek yang diwawancara berdasarkan teori postpurchase dissonance.

B.4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kota Medan dengan mengambil informan yang sesuai dengan karakteristik yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengambilan daerah penelitian tersebut adalah dengan alasan kemudahan untuk mendapatkan responden, mengingat peneliti juga berdomisili di kota Medan. Kemudian lokasi penelitian akan


(63)

ditentukan dengan kesepakatan peneliti dengan responden. Lokasi penelitian dapat berubah sewaktu-waktu dan disesuaikan dengan keinginan dari informan penelitian agar informan merasa nyaman. Lokasi pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan di rumah responden, suatu taman, rumah kost peneliti, dan di sebuah café.

C. Metode Pengumpulan Data

Tipe-tipe pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat objek yang diteliti. Wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus, analisis terhadap karya, analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, studi riwayat hidup adalah jenis pengumpulan data dalam penelitian kualitatif (Poerwandari, 2007).

Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2000) sumber utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan. Kata-kata dan tindakan ini dapat dicatat melalui perekaman suara atau melalui catatan tertulis, pengambilan foto dan statistik. Pencatatan sumber data utama dalam dapat dilakukan dengan wawancara dan observasi yang merupakan hasil gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan bertanya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data dengan wawancara mendalam, observasi saat wawancara, telepon, dan pembicaraan informal.

Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan peneliti untuk memperoleh


(64)

pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat lakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk., dalam Poerwandari, 2007)

Wawancara yang akan digunakan bersifat mendalam (depth interview) di mana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek, secara utuh dan mendalam. Wawancara mendalam juga dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu sesuai dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut (Patton, dalam Poerwandari, 2007). Dengan demikian, wawancara mendalam akan memungkinkan peneliti untuk mengungkap semua aspek-aspek yang ingin diungkap dalam penelitian ini dengan detail.

Selama wawancara dilakukan, peneliti menggunakan pedoman wawancara yang berisi kerangka dan garis besar pokok-pokok pertanyaan disusun sebelum wawancara dilakukan. Pokok-pokok yang dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara berurutan, dan pemilihan dan penggunaan kata-kata untuk wawancara tidak ditentukan sebelumnya dan tetap pada jalur yang direncanakan sesuai kerangka teori. Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan untuk menanyakan sesuatu di luar pedoman untuk menambah keakuratan data penelitian.


(65)

Teknik wawancara yang dilakukan adalah dengan menggunakan teknik

funnelling oleh Smith (dalam Poerwandari, 2007) yaitu memulai dari pertanyaan-pertanyaan yang umum yang makin lama khusus dan makin khusus. Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori dari Hawkins, Best & Motherbaugh (2007) dan Sweeney, Hausknecht & Soutar (2000) tentang faktor-faktor dan dimensi yang mengarah kepada munculnya postpurchase dissonance serta teori tentang presepsi harga yang dikemukakan oleh Peter & Olson (2002). Berdasarkan teori-teori inilah, pedoman wawancara disusun untuk memperoleh data tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya postpurchase dissonance.

Penelitian ini menggunakan observasi sebagai alat tambahan yang dilakukan pada saat wawancara berlangsung untuk melihat reaksi partisipan, antara lain: ekspresi wajah, gerakan tubuh, intonasi suara, melihat bagaimana reaksi calon partisipan ketika peneliti meminta kesediaannya untuk diwawancarai, bagaimana sikap partisipan terhadap peneliti, bagaimana sikap dan reaksi partisipan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, bagaimana keadaan partisipan pada saat wawancara, hal-hal yang sering dilakukan partisipan dalam proses wawancara. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan data tambahan selama wawancara berlangsung.


(66)

D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Menurut Poerwandari (2007) dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu. Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Tape Recorder (Alat perekam)

Suatu wawancara tidak bijaksana jika hanya mengandalkan ingatan saja, karena indera manusia terbatas, yang memungkinkan peneliti untuk melewatkan hal-hal yang tidak terseleksi oleh indera yang mendukung penelitian. Menurut Poerwandari (2001), sedapat mungkin suatu wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata).

Peneliti tidak perlu sibuk untuk mencatat jalannya pembicaraan dengan menggunakan tape recorder. Peneliti dapat berfokus kepada topik pembicaraan, sehingga memungkinkan peneliti juga untuk melakukan observasi yang dapat menambah data atau hal-hal yang mendukung sesuai dengan tujuan penelitian.

2. Pedoman Wawancara

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini bersifat semi terstruktur untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang dibicarakan, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) tentang aspek yang telah dan yang belum dibicarakan.


(67)

Pedoman wawancara berupa open ended question, disusun berdasarkan teori

postpurchase dissonance dan teori price. Pada pelaksanaannya, pedoman wawancara ini tidak digunakan secara kaku. Tidak tertutup kemungkinan bagi peneliti untuk menanyakan hal-hal di luar pedoman wawancara, supaya data yang dihasilkan lebih lengkap dan bervariasi.

3. Lembar Observasi

Peneliti membuat lembar observasi yang sederhana untuk mencatat apa saja yang diobservasi selama wawancara berlangsung baik informan penelitian atau kondisi lingkungan selama wawancara.

E. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif adalah variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif juga terletak pada keberhasilan mencapai tujuan untuk mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan settting, proses, kelompok sosial, atau pola interaksi yang kompleks.

Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian ini, antara lain dengan:


(68)

1. Memilih informan yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam hal ini adalah konsumen perempuan yang mengalami postpurchase dissonance

yang dipicu oleh faktor price.

2. Membuat pedoman wawancara berdasarkan teori postpurchase dissonance

dari Hawkins, Best & Motherbaugh (2007) dan Sweeney, Hausknecht & Soutar (2000) tentang faktor-faktor dan dimensi yang mengarah kepada munculnya postpurchase dissonance.

3. Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan objektif terhadap setting, partisipan, ataupun hal lain yang terkait baik berbagai alternatif konsep, skema, atau metafor yang terkait dengan data untuk memudahkan mengembangkan analisis dan interpretasi nantinya.

4. Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing, dan dosen yang ahli dalam bidang kualitatif untuk berdiskusi, memberikan kritik dan masukan mulai awal kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan peneliti pada kompleksitas fenomena yang diteliti.

5. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses pengumpulan data maupun strategi analisisnya


(1)

LAMPIRAN A . PARADIGMA BERPIKIR

Problem Recognition

Informational Search

Alternative Evaluation & Selection

Outlet Selection & Purchase N S U M E N P E R E M P U A N Postpurchase Processes

Konsep diri & Gaya Hidup Pengaruh internal Pengaruh eksternal Postpurchase Dissonance Emotional Wisdom of Purchase Concern over Deal Bagian dari Menyebabkan/tahapan Mempengaruhi Memicu


(2)

LAMPIRAN B

PEDOMAN WAWANCARA

1) Boleh diceritakan, produk produk apa saja yang sering anda beli untuk keperluan anda secara pribadi?

2) Dapatkah Anda menceritakan ketika membeli produk-produk tersebut, apa yang menjadi faktor paling penting bagi Anda?

3) Dapatkah Anda ceritakan mengapa faktor harga tersebut sangat penting bagi Anda?

4) Coba ceritakan pengalaman Anda membeli produk dengan mempertimbangkan faktor harga nya sebagai yang terutama!

5) Pernahkah Anda merasa setelah membeli produk tersebut Anda merasa sepertinya harganya tidak sesuai? Coba ceritakan.

6) Bagaimana perasaan Anda ketika merasa bahwa harga produk yang Anda beli ternyata tidak sesuai? Coba ceritakan.

7) Dapatkah Anda menceritakan bagaimana cara Anda akhirnya memutuskan

untuk membeli produk tersebut ?

8) Setelah membeli produk tersebut, dapatkah Anda menceritakan bagaimana


(3)

9) Coba ceritakan, seberapa besar pengaruh informasi dari orang lain (seperti misalnya penjual produk, teman, atau media massa, dll) yang membuat Anda semakin ragu atau cemas dengan produk yang sudah Anda beli?


(4)

LAMPIRAN C

INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin Oleh Responden

Tema Penelitian : Dinamika Price Sebagai Pemicu Postpurchase Dissonance Pada Konsumen Perempuan

Peneliti : Reffoni Mastaria Tarigan

NIM : 091301038

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancara sebagai responden dalam penelitian mengenai Dinamika Price Sebagai Pemicu Postpurchase Dissonance Pada Konsumen Perempuan

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiaannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, 2013

(Responden) (Reffoni Mastaria Tarigan)


(5)

LAMPIRAN D

LEMBAR OBSERVASI

Hari/Tanggal :

Lokasi :

Waktu :

Kondisi Deskripsi

Penampilan Fisik

Setting Wawancara

Sikap Tubuh selama wawancara


(6)