BAB II PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA A. Pengertian Pengelolaan Lingkungan Hidup - Aspek Hukum Penerapan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Sebagai Upaya Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

BAB II PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA A. Pengertian Pengelolaan Lingkungan Hidup Istilah lingkungan hidup, dalam bahasa Inggris disebut dengan environment, dalam

  bahasa Belanda disebut dengan millieu atau dalam bahasa Perancis disebut dengan

   l’environment.

  Dalam kamus lingkungan yang disusun Michael Allaby, lingkungan hidup itu diartikan sebagai: the physical, chemical and biotic condition surrounding and organism.

  S.J. McNaughton dan Larry L. Wolf mengartikannya dengan semua faktor eksternal yang bersifat biologis dan fisika yang langsung mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi organisme. Prof. Dr. Ir. Otto Soemarwoto, seorang ahli ilmu lingkungan (ekologi) terkemuka mendefinisikannya sebagai berikut: Lingkungan adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita. Sedangkan Prof. Dr. St. Munadjat Danusaputro, SH, ahli hukum lingkungan terkemuka dan Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Padjajaran mengartikan lingkungan hidup sebagai semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang tempat manusia

   berada dan mempengaruhi hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya.

  Pengertian lingkungan hidup juga dirumuskan di dalam Pasal 1 angka 1 UUPPLH, bahwa: “Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu

  26 27 N.H.T. Siahaan, Op.cit., hlm. 4 Ibid sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup

  

  lain.” Berdasarkan beberapa definisi mengenai lingkungan hidup yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diuraikan unsur-unsur yang terdapat di dalam pengertian lingkungan

  

  hidup secara terperinci, antara lain: 1.

  Kesatuan Ruang Maksud kesatuan ruang, yang berarti ruang adalah suatu bagian tempat berbagai komponen lingkungan hidup bisa menempati dan melakukan proses interaksi di antara berbagai komponen lingkungan hidup tersebut. Jadi, ruang merupakan suatu tempat berlangsungnya ekosistem, misalnya ekosistem pantai, ekosistem hutan. Ruang atau tempat yang mengitari berbagai komponen lingkungan hidup yang merupakan suatu ekosistem satu sama lain pada hakikatnya berwujud pada satu kesatuan ruang.

2. Semua Benda

  Benda dapat dikatakan juga sebagai materi atau zat. Materi atau zat merupakan segala sesuatu yang berada pada suatu tempat dan pada suatu waktu. Pendapat kuno mengatakan suatu benda terdiri atas empat macam materi asal (zat asal), yaitu api, air, tanah, dan udara. Dalam perkembangan sekarang empat materi tersebut tidak dapat lagi disebut zat tunggal (zat asal). Perkembangan ilmu pengetahuan alam dan teknologi, materi adalah apa saja yang mempunyai massa dan menempati suatu ruang baik yang berbentuk padat, cair, dan gas. Materi ada yang dapat dilihat dan dipegang seperti kayu, kertas, batu, makanan, pakaian. Ada materi yang bisa dilihat, tetapi tidak

  28 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 2009 29 Sodikin, Penegakan Hukum Lingkungan: Tinjauan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 2-3 bisa dipegang seperti air, ada pula materi yang tidak dapat dilihat dan dipegang seperti udara, memang udara tidak dapat dilihat dan dipegang, tetapi memerlukan tempat.

  3. Daya Daya atau yang disebut juga dengan energi atau tenaga merupakan sesuatu yang memberi kemampuan untuk menjalankan kerja atau dengan kata lain energi atau tenaga adalah kemampuan untuk melakukan kerja. alam lingkungan hidup penuh dengan energi yang berwujud seperti energi cahaya, energi panas, energi magnet, energi listrik, energi gerak, energi kimia, dan lain-lain.

  4. Keadaan Keadaan disebut juga dengan situasi dan kondisi. Keadaan memiliki berbagai ragam yang satu sama lainnya ada yang membantu berlangsungnya proses kehidupan lingkungan, ada yang merangsang makhluk hidup untuk melakukan sesuatu, ada juga yang mengganggu berprosesnya interaksi lingkungan dengan baik. Sebagai contoh misalnya kucing atau musang dalam waktu gelap bukannya tidak bisa melihat justru lebih mempertajam matanya untuk mencari mangsa atau makanannya. Dalam keadaan berisik, pada umumnya orang sulit untuk tidur nyenyak atau pulas. Dalam keadaan miskin masyarakat cenderung merusak lingkungannya.

  5. Makhluk Hidup (termasuk manusia dan perilakunya) Makhluk hidup merupakan komponen lingkungan hidup yang sangat dominan dalam siklus kehidupan. Makhluk hidup memiliki ragam yang berbeda satu sama lainnya.

  Makhuk hidup seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan peranannya dalam lingkungan hidup sangat penting, tetapi makhluk hidup seperti itu tidaklah merusak dan menemari lingkungan, lain halnya dengan manusia.

  Selain definisi lingkungan hidup, disebutkan juga di dalam UUPPLH mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 1 angka 2 UUPPLH merumuskan bahwa: “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan,

  

  pemanfaatan, pengendalian, pengawasan, dan penegakan hukum.” Dalam pengelolaan lingkungan hidup ditegaskan pula kewenangan negara, yaitu hak menguasai dan mengatur oleh negara dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya buatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak memberikan wewenang untuk mengatur peruntukan, pengembangan, penggunaan, penggunaan kembali (daur ulang), penyediaan, pengelolaan dan pengawasan melalui perbuatan hukum dan mengatur pajak serta retribusi lingkungan. Oleh karena itu, wawasan dalam menyelenggarakan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia adalah wawasan nusantara, karena kondisi obyektif geografi nusantara yang terdiri dari ribuan pulau yang tersebar dan terbentang di khatulistiwa serta terletak pada posisi silang yang sangat strategis, memiliki karakteristik

   yang berbeda dengan negara lain.

  Menurut Munadjat, wawasan nusantara adalah cara pandang bangsa dan negara Indonesia tentang diri dan lingkungannya, yang (nyatanya) sarwa-nusantara (bersifat serba nusantara). Wawasan nusantara memandang perwujudan Indonesia sebagai satu kesatuan utuh menyeluruh, baik dari aspek fisik alamiah maupun dari aspek sosial politik

   ialah citra lingkungan hidup nusantara. 30 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 2009 31 32 Sodikin, Op.cit., hlm. 26 Ibid., hlm. 29 Kekayaan sumber daya alam yang terdapat di dalam lingkungan hidup manusia dapat menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat apabila dikelola, diolah dan dimanfaatkan dengan baik dan benar. Hal ini sesuai dengan perintah Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang

33 Dasar 1945 yang berbunyi:

  “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dengan demikian, hal-hal yang berkenaan dengan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat harus diutamakan, tidak terkecuali pengelolaan lingkungan hidup maupun pemanfaatan sumber daya alam yang harus dilakukan secara efektif dan efisien karena menurut Otto Soemarwoto, sumber daya lingkungan mempunyai daya regenerasi dan asimilasi yang terbatas. Selama eksploitasi atau permintaan pelayanan ada di bawah batas daya regenerasi atau asimilasi, sumber daya terbarui itu dapat digunakan secara lestari.

  Akan tetapi, apabila batas itu dilampaui, sumber daya itu akan mengalami kerusakan dan fungsi sumber daya itu sebagai faktor produksi dan konsumsi atau sarana pelayanan akan

   mengalami gangguan.

  Lingkungan mempunyai keterbatasan dalam melakukan proses kehidupannya. Keterbatasan dan kemampuannya untuk menanggulangi proses keseimbangannya itu, lazim disebut dengan daya dukung lingkungan. Menurut Otto Soemarwoto, daya dukung terlanjutkan ditentukan oleh dua faktor, baik faktor biofisik maupun faktor sosial-budaya- ekonomi. Kedua faktor ini saling mempengaruhi. Faktor biofisik penting untuk menentukan daya dukung yang terlanjutkan, yaitu proses ekologi yang merupakan sistem 33 34 Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 4 pendukung kehidupan dan keanekaragaman jenis yang merupakan sumber daya gen. Misalnya, hutan adalah salah satu faktor ekologi dalam sistem pendukung kehidupan. Hutan melakukan proses fotosintesis yang budaya juga mempunyai peranan yang sangat

   penting, bahkan menentukan dalam daya dukung terlanjutkan.

  Lebih jauh Otto Soemarwoto mengatakan bahwa sumber daya lingkungan milik umum sering dapat digunakan untuk berbagai macam peruntukan secara simultan, tanpa suatu peruntukan mengurangi manfaat yang dapat diambil dari peruntukan lain sumber daya yang sama itu. Misalnya, air sungai dapat digunakan sekaligus untuk melakukan proses produksi dalam pabrik, mengangkut limbah, pelayaran sungai, produksi ikan, dan keperluan rumah tangga.

  Bertitik tolak dari pendapat Otto Soemarwoto, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam realitasnya lingkungan merupakan sumber daya yang memiliki kemampuan dalam melakukan regenerasi pada dirinya, apalagi terhadap sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Oleh karena itu, dalam menata lingkungan sebagai sumber daya, maka yang

   perlu dilakukan adalah agar melakukan pengelolaan dengan bijaksana.

B. Sejarah Perkembangan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia

  Di tingkat internasional, Deklarasi Stockholm 1972 dianggap sebagai tonggak pemisah antara rezim hukum internasional klasik dan rezim hukum lingkungan modern.

  Artinya, karena konvensi-konvensi internasional, putusan-putusan pengadilan internasional sebelum Deklarasi Stockholm 1972 dipandang sebagai rezim hukum internasional klasik, sedangkan konvensi-konvensi internasional dan putusan-putusan

  35 36 Ibid., hlm. 3 Ibid., hlm. 4 Pengadilan Internasional setelah Deklarasi Stockholm dipandang sebagai rezim hukum

   lingkungan modern.

  Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Lingkungan Hidup di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan Deklarasi Stockholm tahun 1972 yang memuat 26 prinsip dan 109 dukungan. Hal ini seiring dengan keadaan dan kepentingan negara Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia perlu turut bertanggung jawab dan berkewajiban terhadap pelestarian dan pengembangan lingkungan hidup, baik secara nasional maupun internasional. Bagi Indonesia, yang mempunyai sumber daya alam yang cukup luas, keprihatinan terhadap kelestarian hidup sudah disesuaikan dan dicantukan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat.” Landasan ini merupakan komponen-komponen dasar untuk menyusun dan merumuskan peraturan dan perundangan lingkungan hidup di Indonesia. Atas dasar itu, proses pembuatan peraturan perundangan tentang lingkungan hidup di Indonesia dimulai dari prinsip-prinsip dalam Deklarasi Stockholm khususnya prinsip 17, 21, 22 dan sekaligus merupakan nafas atau landasan dalam penyusunan keinstitusian

   perundangan untuk pelestarian alam.

  Tepat sepuluh tahun setelah berlangsungnya Konferensi Lingkungan Hidup Sedunia (UNCHE, United Nations Conference on the Human Environment, 1972, Stockholm), negara kita berhasil merumuskan satu produk perundangan penting di bidang lingkungan

   hidup.

  Perkembangan selanjutnya, pada 11 Maret 1982, diundangkan sebuah produk hukum mengenai pengelolaan lingkungan hidup, dengan nama Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, sering 37 38 Takdir Rahmadi, Op. cit., hlm. 45 39 Djanius Djamin, Op. cit., hlm. 40-41

  N.H.T. Siahaan, Op. cit., hlm. 152 disingkat dengan UUPLH. Dengan hadirnya Undang-Undang Lingkungan ini, terbukalah lembaran baru bagi kebijaksanaan lingkungan hidup di Indonesia guna terciptanya pengendalian kondisi lingkungan yang memiliki harmoni yang baik dengan dimensi-

   dimensi pembangunan.

  Undang-undang ini kita nilai begitu penting karena Undang-undang ini lahir dalam

  

  situasi sebagai berikut: 1.

  Saat negara kita sedang giatnya melancarkan pembangunan dengan pesat di semua segi kehidupan. Dalam kenyataan, segi apapun yang akan diambil untuk tujuan membangun, Undang-undang ini akan selalu berhadapan dengan aspek ekologi lingkungan hidup. Pembangunan ialah hasil proses dari sumber daya (alam, lingkungan hidup, manusia).

  2. UUPLH adalah Undang-undang pokok yang merupakan dasar peraturan pelaksanaan bagi semua sektor yang menyangkut lingkungan hidup. Undang-undang ini berfungsi sebagai ketentuan payung (umbrella provision) bagi peraturan-peraturan lingkungan hidup yang sudah ada (lex lata) maupun bagi pengaturan lebih lanjut (lex feranda) atas lingkungan hidup.

  3. Corak ekologis negara kita sangat spesifik. Negara kita merupakan wilayah berkepulauan (Nusantara) yang terdiri dari dua pertiga wilayah laut, yaitu terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, serta dua lautan raksasa yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Negara kita memiliki sumber alam yang kaya raya dan dihuni oleh penduduk dengan berbagai corak ragam suku, budaya, agama, tingkatan sosial ekonomi, dan lain-lain.

  40 41 N.H.T. Siahaan, Op. cit., hlm. 34 Op. cit., hlm. 152

  Adapun dasar-dasar pemikiran yang diberikan oleh UUPLH ini adalah konsep perpaduan prinsip-prinsip pembangunan dan lingkungan serta ekologi yang lazim disebut

  

  dengan Prinsip Ecodevelopment, yang dinyatakan sebagai berikut: 1.

  Lingkungan hidup Indonesia adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus kita kembangkan berdasarkan asas keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi; dalam hubungan manusia dengan manusia; dalam hubungannya dengan alam lingkungan; dalam hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa maupun dalam kehidupan lahiriah serta kebahagiaan batiniah.

  2. Sumber daya alam yang dapat digunakan untuk menuju kesejahteraan harus dilestarikan kemampuan ekosistem secara serasi dan seimbang dengan cara bijaksana, terpadu, dan menyeluruh dengan memperhitungkan generasi kini dan mendatang.

  3. Pengelolaan lingkungan berasaskan kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan.

  4. Hanya dalam lingkungan yang serasi dan seimbang dapat tercapai kehidupan optimal.

  UULH 1982 memuat ketentuan-ketentuan hukum yang menandai lahirnya suatu bidang hukum baru, yakni hukum lingkungan karena ketentuan-ketentuan itu mengandung konsep-konsep yang sebelumnya tidak dikenal dalam bidang hukum. Di samping itu, ketentuan-ketentuan UULH 1982 memberikan landasan bagi kebijakan

   pengelolaan lingkungan hidup.

  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup telah menandakan awal pengembangan perangkat hukum sebagai dasar bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup Indonesia sebagai bagian integrasi dari upaya pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa sejak diundangkannya undang- 42 43 Ibid., hlm. 153 Takdir Rahmadi, Op. cit., hlm. 50 undang tersebut, kesadaran lingkungan hidup masyarakat telah meningkat dengan pesat, yang ditandai antara lain oleh makin banyaknya di bidang lingkungan hidup selain swadaya masyarakat. Terlihat pula peningkatan kepeloporan masyarakat dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga masyarakat tidak hanya sekedar berperan

   serta, tetapi juga mampu berperan serta secara nyata.

  Asas-asas hukum yang diadopsi UUPLH 1982 dirasakan banyak membawa kemajuan dalam pembangunan lingkungan. Prinsip dan pola pembinaan lingkungan hidup sedemikian majunya untuk diintroduksikan ke dalam pembangunan nasional dan hendaknya diakui bahwa pengenalan asas-asas itu ke dalam sistem hukum guna memulihkan prinsip pembangunan yang berwawasan lingkungan tidak kalah dengan negara lain. Hanya saja tentunya harus diakui bahwa dalam aspek-aspek pelaksanaannya, negara kita tidak bisa banyak berbicara mengenai hal itu, karena mengenai segala sesuatu

   tentang pelaksanaan asas (konsistensi), kita selalu serba tertinggal dengan negara lain.

  Sejak pengundangan UULH 1982, kualitas hidup di Indonesia ternyata tidak semakin baik dan banyak kasus hukum lingkungan hidup tidak dapat terselesaikan dengan baik. Para pengambil kebijakan di pemerintah, khususnya di lingkungan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan BAPEDAL, berpandangan bahwa kegagalan dari kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia akibat dari kelemahan penegakan hukum UULH 1982. Dan kelemahan penegakan hukum itu bersumber dari UULH 1982

   itu sendiri.

  Perkembangan global mengenai isu lingkungan, terutama setelah berlangsungnya

  

Earth Summit di Rio de Jainero, 1992, yang lebih dikenal dengan KTT Rio telah menjadi

  salah satu alasan mengapa UUPLH 1982 harus direvisi, karena bila melihat hasil-hasil yang dicapai dalam KTT Rio, terlihat bahwa dengan UUPLH 1982 tidak banyak hal yang 44 45 Sodikin, Op.cit., hlm.19 46 N.H.T. Siahaan, Op. cit., hlm. 154

  Takdir Rahmadi, Op. cit., hlm. 50 dapat kita lakukan dalam rangka membuat kebijakan pembangunan lingkungan sesuai

   dengan majunya prinsip-prinsip yang telah diadopsi dalam KTT Rio.

  Deklarasi Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang juga disebut

  

  sebagai The Earth Charter merupakan “soft-law agreements”, yang memuat 27 prinsip kemudian ditambah dengan banyaknya perkembangan mengenai konsep dan pemikiran mengenai masalah lingkungan, serta dengan mengingat hasil-hasil yang dicapai masyarakat dunia melalui KTT Rio tahun 1992, dirasakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 sudah tidak banyak lagi menjangkau perkembangan-perkembangan yang ada sehingga perlu ditinjau dengan membuat penggantinya. Untuk itulah lima tahun kemudian setelah berlangsungnya KTT Rio, dibuat UUPLH yang baru sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982, yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, diundangkan tanggal 19 September 1997 melalui Lembaran Negara No. 68 Tahun 1997.

  UUPLH baru atau UU No. 23 Tahun 1997 memuat berbagai peraturan sebagai respons terhadap berbagai kebutuhan yang berkembang yag tidak mampu diatasi melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982. Demikian juga Undang-undang baru ini dimaksudkan untuk menyerap nilai-nilai yang bersifat keterbukaan, paradigma pengawasan masyarakat, asas pengelolaan dan kekuasaan negara berbasis kepentingan

  47 48 Op. cit., hlm. 154 Beberapa prinsip tersebut menjadi unsur penting konsep pembangunan berkelanjutan, diantaranya: a. prinsip kedaulatan dan tanggung jawab negara (prinsip 2); b. prinsip antargenerasi (prinsip 3); c. prinsip keadilan intragenerasi (prinsip 5 dan 6); d. prinsip keterpaduan antara perlindungan lingkungan hidup dan pembangunan (prinsip 4); e. prinsip tanggung jawab bersama tetapi berbeda (prinsip 7); f. prinsip tindakan pencegahan (prinsip 11); g. prinsip bekerja sama dan bertetangga baik dan kerja sama internasional (prinsip 18, 19, dan 27) h. prinsip keberhati-hatian (prinsip 13); i. prinsip pencemaran membayar (prinsip 16); j. prinsip demokrasi dan peran serta masyarakat (prinsip 10). Op.cit., hlm. 13-14 umum (bottom-up), akses publik terhadap manfaat sumber daya alam, dan keadilan

   lingkungan (environmental jusice).

  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 ini memuat norma-norma hukum lingkungan hidup. Selain itu, Undang-undang ini menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang lingkungan hidup yang berlaku, yaiu peraturan perundang-undangan mengenai perairan, pertambangan dan energi, kehutanan, konservasi sumber daya alam hayati dan

   ekosistemnya, industri, permukiman, penataan ruang, tata guna tanah, dan lain-lain.

  UULH 1997 tetap memuat konsep-kosep yang semula dituangkan dalam UULH 1982, misalnya kewenangan negara, hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, perizinan, AMDAL, penyelesaian sengketa dan sanksi pidana. Selain itu, UULH 1997 memuat konsep-konsep atau hal-hal yang sebelumnya tidak diatur dalam UULH 1982. Misalnya, di bidang hak masyarakat, UULH 1997 mengakui hak masyarakat untuk mendapatkan informasi. Di bidang instrumen pengelolaan lingkungan, UULH 1997 mengatur penerapan audit lingkungan. Di bidang penyelesaian sengketa, UULH 1997 mengatur penyelesaian sengketa melalui pengadilan dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan atas dasar kebebasan memilih para pihak. Di bidang sanksi pidana, UULH 1997 memberlakukan delik formil di samping materil dan delik

   korporasi.

  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 memang belum beperan maksimal sebagai dasar menangani masalah lingkungan dalam hubungannya dengan pembangunan.

  Demikian pula dengan konsep-konsep yang dicapai dalam Deklarasi Rio, belum banyak yang diserap sebagai instrumen hukum dan kebijakan menata lingkungan. Namun dari 49 50 N.H.T. Siahaan, Op. cit., hlm. 35 51 Sodikin, Op.cit., hlm.

  Takdir Rahmadi, Op. cit., hlm. 51 segi landasan hukum, Undang-undang ini dapat dikatakan sudah cukup lebih baik dari

52 Undang-undang sebelumnya.

  Perkembangan terbaru adalah pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor

  32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN Tahun 2009 No. 140) yang menggantikan UULH 1997. Setidaknya ada empat alasan mengapa UULH 1997 perlu untuk digantikan oleh undang-undang yang baru. Pertama, UUD 1945 setelah perubahan secara tegas menyatakan bahwa perkembangan ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Kedua, kebijakan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ketiga, pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup. Ketiga alasan ini belum ditampung dalam UULH 1997. Keempat, UULH 1997 sebagaimana UULH 1982 memiliki celah-celah kewenangan penegakan hukum administratif yang dimiliki Kementerian Lingkungan Hidup dan kewenangan penyidikan penyidik pejabat pegawai negara sipil sehingga perlu penguatan dengan

   mengundangkan sebuah undang-undang baru guna peningkatan penegakan hukum.

C. Tujuan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia

  Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 menyebutkan tujuan pengelolaan

  

  lingkungan hidup:

  52 53 N.H.T. Siahaan, Op. cit, hlm. 36 54 Op. cit, hlm. 51-52

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Nomor 68 Tahun 1997

  “Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

  Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, disebutkan tujuan

  

  pengelolaan lingkungan hidup di dalam Pasal 3, yang berbunyi: “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan: a.

  Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b.

  Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; c. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; d.

  Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; e. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; f. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; g.

  Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; h.

  Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; i. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan j. Mengantisipasi isu lingkungan global.”

  Tujuan lingkungan hidup seperti yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tersebut adalah adanya kata-kata pembangunan berwawasan lingkungan.

  Maksud pembangunan berwawasan lingkungan adalah melaksanakan pembangunan dengan memperhatikan kepentingan lingkungan atau dengan kata lain pembangunan tanpa merusak lingkungan, sehingga akan berguna bagi generasi kini dan generasi

   mendatang. 55 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 2009 56 Sodikin, Op.cit., hlm. 33

  Pembangunan adalah upaya-upaya yang diarahkan untuk memperoleh taraf hidup yang lebih baik. Upaya-upaya untuk memperoleh kesejahteraan atau taraf hidup yang lebih baik merupakan hak semua orang di mana pun berada. Khususnya di negara-negara berkembang, pembangunan merupakan pilihan penting dilakukan guna terciptanya kesejahteraan penduduknya. Upaya di bidang pertanian dilakukan secara ekstentifikasi dan intensifikasi. Lahan diperluas dan pupuk ditingkatkan jumlah maupun mutunya melalui sistem teknologi. Sarana-sarana infrastruktur ditingkatkan seperti jalan, pembangunan irigasi, waduk dan transportasi. Sektor industri dibuka, bukan saja sebagai sarana pendukung bagi pembangunan pertanian, tetapi juga untuk mendapatkan produk manufaktur yang dibutuhkan. Industri selain meningkatkan pendapatan juga berperan untuk menyerap tenaga kerja.

  Dengan demikian pembangunan merupakan sarana bagi pencapaian taraf kesejahteraan manusia. Namun demikian, setiap pembangunan tidak terlepas dari adanya dampak yang merugikan, terutama kepada lingkungan. Lingkungan menjadi semakin rusak berupa pencemaran, dan kerusakan sumber-sumber hayati seperti penipisan cadangan hutan (deforestization), punahnya bermacam-macam biota, baik spesies binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Di samping itu, terjadi pula berbagai penyakit

   sebagai akibat dari pencemaran industri.

  Untuk mengatasi dampak dari pembangunan tersebut, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 mensyaratkan adanya paradigma atau arah baru untuk meningkatkan kualitas hidup bagi rakyat melalui perubahan-perubahan yang didukung oleh seluruh unsur pelaku dan sumber daya alam yang diperlukan, sehingga berkembanglah gagasan

   tentang sustainable development.

  57 58 N.H.T Siahaan 2, Op.cit., hlm. 19 Op.cit., hlm. 33

  Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan salah satu isu yang sangat penting yang menjadi dasar pembicaraan di KTT Rio. Pengertian dari sustainable

  development adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya.

  Definisi ini diberikan oleh World Commission on Environment and Development (Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan) sebagaimana tersaji dalam laporan

   Komisi yang terkenal dengan Komisi Brundtland yang terumuskan berupa: “If it meets the needs of the present without compromising the ability of future generation to meet their own needs.” Sustainable development pada dasarnya sama dengan prinsip Ecodevelopment,

  dimaknakan sebagai pembangunan dengan tidak mengorbankan kepentingan lingkungan atau senantiasa memperhatikan aspek lingkungan (Prinsip 1 dan 2 Deklarasi Stockholm).

  Ecodevelopment diartikan dengan pembangunan berwawasan lingkungan, yang

  kemudian diakomodir dalam sistem kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di

60 Indonesia, diartikan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek

  lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan dan mutu

   hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

  Guna mengubah orientasi dari penekanan (priority) pembangunan (pertumbuhan ekonomi), maka dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) terdapat penekanan yang sama terhadap aspek pembangunan ekonomi dan aspek lingkungan. Lebih dari itu, karena tujuan pembangunan berkelanjutan adalah

  59 60 Op.cit., hlm. 147 61 N.H.T. Siahaan, Op.cit., hlm. 10

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 2009

  kesejahteraan masyarakat, diintegralkanlah aspek sosial budaya, sehingga pembangunan

   berkelanjutan mengandung tiga aspek: ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya.

  Istilah pembangunan berkelanjutan kini telah menjadi konsep yang bersifat subtle

  

infiltration, mulai dari perjanjian-perjanjian internasional, dalam implementasi nasional,

  dan peraturan perundang-undangan. Susan Smith mengartikan sustainable development sebagai meningkatkan mutu hidup generasi kini dengan mencadangkan modal/sumber

  

  alam bagi generasi mendatang. Menurutnya, dengan cara ini dapat dicapai empat hal: 1.

  Pemeliharaan hasil-hasil yang dicapai secara berkelanjutan atas sumber daya yang dapat diperbarui;

2. Melestarikan dan menggantikan sumber alam yang bersifat jenuh (exhaustible

  resources); 3.

  Pemeliharaan sistem-sistem pendukung ekologis; dan 4. Pemeliharaan atas keanekaragaman hayati.

  Sekalipun demikian, kritik terhadap pembangunan berkelanjutan dilontarkan sehubungan dengan berbagai interpretasi yang berbeda-beda terhadapnya. Pihak

  

developmentalism menyoroti pembangunan berkelanjutan sebagai jawaban atas pola

  kecenderungan yang lebih mengedepankan pembangunan dalam segala hal, yang kemudian menjadi suatu paham tersendiri untuk menyelesaikan segala faktor-faktor

   keterbelakangan.

  Pembangunan berkelanjutan ternyata memiliki kelemahan. Kelemahan tersebut dikemukakan oleh A. Sony Keraf, ahli etika yang kemudian menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup (1999-2001). Hal yang pertama, tidak ada sebuah titik kurun waktu yang jelas dan terukur sebagai sasaran pembangunan berkelanjutan. Konsep Pembangunan Berkelanjutan hanya merupakan komitmen, sedangkan realisasinya sulit 62 63 N.H.T. Siahaan 2, Op.cit., hlm. 23 64 Ibid., hlm. 147-148 N.H.T. Siahaan, Op.cit., hlm 12

  diukur dari segi waktu (kapan bisa tercapai). Kedua, paradigma pembangunan berkelanjutan didasarkan kepada cara pandang yang sangat antroposentris, yakni cara pandang bahwa alam hanya sekedar alat pemenuhan kebutuhan material yang tertunda. Ketiga, asumsi bahwa manusia bisa menentukan daya dukung ekosistem lokal dan regional. Mengasumsikan manusia berkemampuan untuk mengetahui batas alam dan mengeksploitasi sumber-sumber alam itu di dalam batas-batas daya dukung tadi. Padahal manusia tidak menyadari bahwa alam memiliki kekayaan dan kompleksitas yang begitu rumit jauh melampaui kekayaan iptek hasil karya manusia. Keempat, paradigma pembangunan berkelanjutan justru bertumpu pada ideologi materialisme yang tidak diuji secara kritis, tetapi diterima begitu saja sebagai benar. Hal yang dilematis di sini adalah semua negara justru dianjurkan untuk mengikuti jalan salah yang ditempuh negara- negara industri, yang terpacu oleh semangat materialisme. Hal yang patut dikoreksi oleh

   pembangunan berkelanjutan justru mengulangi kesalahan yang sama.

  Konsep pemikiran dalam hubungan antara pembangunan dengan lingkungan, muncul pula secara lebih jauh dengan konsep “berkelanjutan ekologi.” Sonny Keraf berpendapat bahwa keberlanjutan ekologi mengandung perhatian penting kepada aspek- aspek lingkungan tetapi dengan tetap menjamin kualitas kehidupan ekonomi dan sosial budaya. Konsep ini berbeda dengan konsep pembangunan berkelanjutan, yakni paradigma yang dianut adalah perhatian pada pembangunan ekonomi sambil

   menekankan kepentingan proporsional atas aspek lingkungan dan aspek sosial budaya.

D. Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia

  Pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya manusia untuk berinteraksi dengan lingkungan guna mempertahankan kehidupan dan mencapai kesejahteraannya. Istilah 65 66 Ibid., hlm. 14-15 N.H.T. Siahaan 2, Op.cit., hlm. 23

  “pengelolaan”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berasal dari kata dasar “kelola”, dan selanjutnya dalam kata kerja mengelola, yang artinya: mengendalikan, menyelenggarakan (pemerintahan dan sebagainya); menjalankan, mengurus (perusahaan,

   proyek, dan sebagainya).

  Jika dilihat dari pengertian di atas, maka kegiatan yang meliputi pengelolaan dapat

  

  dikelompokkan menjadi: 1.

  Proses, cara, perbuatan mengelola; 2. Proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain; 3. Proses yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi; 4. Proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan.

  Keberlanjutan pembangunan di suatu daerah atau negara ditentukan oleh kemampuan daerah atau negara tersebut dalam mengelola lingkungan hidupnya.

  Pendekatan pengelolaan lingkungan dilakukan dengan menata sistem pengelolaannya. Sebab berbicara mengenai pengelolaan, sangat berkaitan dengan pendekatan manajemen. Pendekatan manajemen bertumpu pada kemampuan menata sistem yang berada pada sistem tersebut. Hal inilah yang dapat ditangkap dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 ke Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 ini berkaitan pula dengan filosofi dari masing-masing Undang-undang tersebut.

  Pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982, filosofinya bertumpu pada “hukum lingkungan sebagai payung” dalam artian bahwa semua bidang dapat membentuk peraturan lingkungan sendiri. Sementara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 adalah bagaimana melakukan manajemen terhadap lingkungan tersebut, atau dengan kata lain bahwa lingkungan tersebut dapat dikelola dengan melakukan pendekatan manajemen. 67 68 N.H.T. Siahaan, Op.cit., hlm. 85 Ibid Pendekatan manajemen lingkungan mengutamakan kemampuan manusia dalam mengelola lingkungannya, sehingga pandangan tersebut harus diubah dengan melakukan sebuah pendekatan yang lazim disebut dengan “ramah lingkungan”. Ramah lingkungan menurut Otto Soemarwoto, haruslah juga bersifat mendukung pembangunan ekonomi.

  Betapa pun, kita masih miskin dan kehidupan sebagian besar rakyat kita belumlah layak. Dengan lain perkataan, sikap dan kelakuan prolingkungan hidup tidak boleh bersifat

   antipembangunan ekonomi.

  Di samping itu, diatur pula pengertian pengelolaan di dalam Undang-Undang Nomor

  32 Tahun 2009 yang diikuti dengan kata “perlindungan”, yang mana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem terpadu berupa suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi,

   serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan.

  Namun dalam hal pengelolaan lingkungan hidup, ada beberapa hal penting yang harus diingat. Pertama, hukum lingkungan menjadi dasar dan pedoman dari segala pengelolaan lingkungan hidup. Aspek pengelolaan lingkungan hidup memiliki segi dan cakupan yang sangat luas seperti pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan, penetapan perencanaan tata ruang, menetapkan sistem zona dan baku mutu lingkungan, kebijakan pembuatan/penerapan AMDAL (Analisis mengenai Dampak Lingkungan), perizinan, penegakan hukum (law enforcement), pendayagunaan dan pemberdayaan 69 70 Supriadi, Op.cit., hlm. 32-33 Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

  Lingkungan Hidup, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5059 Tahun 2009 masyarakat, penanggulangan kerusakan lingkungan dan bencana alam, dan sebagainya. Keseluruhan aspek-aspek demikian diatur oleh hukum lingkungan guna tercapainya keberlanjutan lingkungan bagi kesejahteraan manusia.

  Kedua, kekuasaan untuk mengelola lingkungan dan semua sumber daya alam berpusat di tangan negara. Hal ini disadari di samping sebagai konsekuensi dari kedaulatan negara atas teritorialnya (tanah, udara, air, dan segala yang dikandungnya) juga sebagai konsekuensi dari perlunya ada suatu organ kekuasaan berdaulat penuh untuk mengatur, mengelola, mengawasi, dan mengendalikan lingkungan supaya tercapai efektivitas dari tujuan mencapai keberlanjutan lingkungan bagi kesejahteraan manusia.

  Kekuasaan demikian bukan berarti untuk memiliki atau mempergunakan sumber daya alam dan lingkungan secara semena-mena, tetapi adalah dalam rangka kepentingan kesejahteraan masyarakat.

  Ketiga, interaksi lingkungan dengan antarmanusia. Fokus perhatian penting hukum lingkungan dikaitkan dengan bagaimana interaksi atau hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidup. Namun, karena interaksi manusia dengan sesamanya pada akhirnya tidak terlepas dengan pengaruhnya kepada lingkungan maka interaksi antarsesama pun menjadi bagian dari pengaturan hukum lingkungan. Sebab dalam jalinan interaksi pergaulan sosial antara manusia (individu dengan individu lain atau alam masyarakat), konsekuensinya juga menyangkut persoalan lingkungan hidup.

  Esensi lain dari interaksi manusia dengan manusia dalam hubungannya dengan penataan lingkungan hidup, terutama yang menyangkut aspek-aspek tata lingkungan hidup yang bersifat publik dan kebersamaan. Interaksi antara manusia dengan manusia sangat penting artinya bagi lingkungan karena tanpa adanya interaksi demikian akan menimbulkan mismanagement yakni tiadanya tindakan koordinasi untuk menata, memelihara, melindungi, dan mengawasi tata lingkungan, lebih pula kepada yang sifatnya kepentingan umum (publicly use).

  Keempat, keserasian sebagai asas pengelolaan lingkungan hidup. Keserasian berkaitan erat dengan kepantasan bertindak, keseimbangan berinteraksi dengan lingkungan dalam mencapai kesejahteraan. Perilaku yang akhirnya merusak lingkungan seperti menggali tanah sampai merusak ekosistem seperti banjir, longsor atau tandus merupakan lingkungan tidak serasi, karena dalam perbuatan tersebut tidak ada kesiembangan. Hal yang sama pada perilaku lainnya seperti membuang limbah, menebangi hutan tanpa batas, mengeksploitasi barang-barang tambang tanpa memikirkan cadangannya, dan seterusnya. Asas keserasian dapat dijadikan sebagai dasar dari sistem pengambilan keputusan atas berbagai karakteristik dan atau pola-pola spesifik dari semua aspek lingkungan.

  Asas pengelolaan lingkungan hidup seyogyanya memang haruslah berdasarkan penyerasian dan bukan berdasarkan pelestarian. Sebab dengan melestarikan, konotasinya adalah menyebabkan atau membuat lingkungan itu dalam keadaan lestari dan lingkungan tidak boleh diganggu gugat. Lestari pada lingkungan berarti membuat lingkungan berada dalam keadaan status quo dan statis. Jika lingkungannya sifatnya lestari, maka sumber- sumber daya lingkungan tentulah tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan pembangunan pada hal sumber-sumber daya lingkungan adalah salah satu elemen (unsur) mutlak bagi pembangunan. Hanya tentu supaya setiap pemanfaatan sumber-sumber daya lingkungan seyogyanyalah memperhatikan aspek berkelanjutan (sustainability).

  Asas hukum penyerasian lingkungan sebagaimana diuraikan di atas memiliki kaitan dan nilai-nilai dasar falsafah hidup kita sebagaimana dalam Pancasila. Falsafah Pancasila menyatakan, kebahagiaan hidup akan tercipta jika didasarkan atas keselarasan, keseimbangan, baik dalam hal-hal sebagai berikut: dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dalam hubungan manusia dengan alam, dalam hubungan bangsa dengan bangsa lain, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kebahagiaan rohaniah.

  Aspek keberlanjutan (sustainability) merupakan aspek kelima yang harus diperhatikan. Hal ini didasari oleh nilai pembangunan berkelanjutan (sustainable

  

development) , yakni pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masa kini dengan tidak

   mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang mencapai kebutuhannya.

  Selain hak terhadap lingkungan hidup yang baik, Undang-Undang Lingkungan Hidup juga mengatur mengenai kewajiban pengelolaan lingkungan hidup terhadap orang-

  

  perorang. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 67 disebutkan bahwa: “Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan.”

   Selanjutnya bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 68 yang berbunyi:

  “Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: a.

  Memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; b. Menjaga fungsi keberlanjutan lingkungan hidup; dan c. Menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/ atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

  Pemberlakuan Undang-Undang Lingkungan Hidup mempunyai dua pola yang berbeda. Pertama, Undang-Undang Lingkungan Hidup menjadi kaidah dan norma. 71 72 N.H.T. Siahaan, Op.cit., hlm 53-57

Pasal 67 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 2009

  73 Pasal 68 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 2009 Kedua, sebagai salah satu instrumen yang bermaksud untuk mempertahankan, mengendalikan, dan menegakkan kaidah ataupun norma-norma yang dikandungnya.

  Sebagai suatu sistem undang-undang yang perlu ditegakkan, dalam menjalankan Pengawasan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat menggunakan tiga instrumen,

   yaitu: 1). Instrumen administrasi; 2). Undang-undang perdata; dan 3). Hukuman pidana.