Penerapan Gugatan Class Action Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

(1)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Jan Bowe, Legal System, The Macquarie University, New South Wales, 1987. Mas Achmad Santosa, SH., LLM., Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan

(Class Actions) dan Hak Gugat Organisasi Lingkungan (Environmental Legal Standing) Seri Informasi Hukum Linkungan, ISCEL, Jakarta, 1997.

Paulus E. Lolutung, SH., Prof., Dr., Penegakan Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1993.

Garry D. Watson, “Class Actions, Canadian Experience”, York University Toronto, 2002.

Deborah R. Hensler, Stanford Law School – The Globalisation of Class Action, An Overview, 2009

Richard L. Marcus, Class Actions in the American Legal System, 2000.

John J. Cound Cs, Civil Procedure Cases and Material, St. Paul Minn West Publishing, 2000.

Moore’s Federal Practice, Excerpts form Moore’s Federal Practice Chapter 23 Class Actions, 2002.

A. Paul Victor and Eva W. Cole, US Private Antitrust Treble Damages Class Actions, New York, 2005.

Justice M. Wilcox, Representative Proceedingsn in the Federal Court : A Progress Report, Australian Bar Review, 1996 – 1997.

Elisabeth Cabrasar and Peter Hacker, Class Actions, California State’s Report, 2002.

Gregory Hansel, Futures Extreme Litigation, An Overview with Judge Wim Terrel Hodges, Chairman of the Judicial Panel on Multydistrict Litigation 19 Me.B.J.16.16, 2004.

Ward K. Branch, James H. Mac Master & John C. Kleefeld Vanvouver, British Columbia – Class Actions Settlement, Issues and Approaches, 2000. Ahmad Yani & Gunawan, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas. Jakarta, PT


(2)

Reza Rahman, Corporate Social Responsibility Antara Teori dan Kenyataan, Yogyakarta, Media Pressindo, 2009.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, 2005.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok.


(3)

BAB III

TINJAUAN HUKUM TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DAN LINGKUNGAN HIDUP

A. Pengertian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Isu tentang tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) adalah suatu topik yang berkenaan dengan etika bisnis. Disini terdapat tanggung jawab moral dari perusahaan baik terhadap karyawan perusahaan maupun kepada masyarakat disekitar perusahaan. Oleh karena itu berkaitan juga dengan moralitas, yaitu sebagai standar bagi individu atau sekelompok orang mengenai benar atau salah, baik atau buruk. Sebab etika merupakan tata cara yang menguji standar moral seseorangn atau standar moral masyarakat.

Disini etika bisnis merupakan pengaturan khusus mengenai moral, benar dan salah. Fokusnya kepada standar-standar moral yang diterapkan dalam kebijakan-kebijakan bisnis, institusi, dan tingkah laku. Dalam konteks ini, etika bisnis adalah suatu kegiatan standar moral dan bagaimana penerapannya terhadap sistem-sistem dan organisasi melalui masyarakat modren yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa, dan kepada mereka yang bekerja di organisasi tersebut. Etika bisnis, dengan kata lain adalah bentuk etika terapan yang tidak hanya menyangkut analisis norma-norma moral dan nilai-nilai moral, tetapi juga menerapkan konklusi analisis ini terhadap lembaga-lembaga, teknologi, transaksi, aktivitas-aktivitas yang kita sebut dengan bisnis.


(4)

Disamping itu tanggung jawab sosial perusahaan berkaitan dengan teori utilitarisme sebagaimana dibicarakan Jeremy Bentham. Menurut teori utilirarisme, suatu perbuatan atau aturan adalah baik, kalau membawa kesenangan paling besar untuk jumlah orang besar (the greatest good for the greatest number), dengan kata lain kalau memaksimalkan manfaat.

Hal itu dapat dipahami dari apabila perusahaan melakukan kegiatan bisnis demi mencari keuntungan dan juga ikut memikirkan kebaikan, kemajuan, dan kesejahteraan masyarakat dengan ikut melakukan berbagai kegiatan sosial yang berguna bagi masyarakat. Kegiatan sosial tersebut sangat beragam bentuknya, misalnya menyumbangkan dan membangun rumah ibadah, membangun sarana dan prasarana dalam masyarakat, membangun fasilitas sosial seperti pembangkit listrik, saluran air, jalan, tempat rekreasi, melakukan penghijauan, menjaga sungai dari pencemaran, atau ikut membersihkan sungai dari polusi, melakukan pelatihan cuma-cuma bagi pemuda yang tinggal di sekitar perusahaan, memberi beasiswa kepada anak-anak dari keluarga yang kurang mampu ekonominya dan seterusnya.

World Business Council for Sustainable Development memberikan definisi Tanggung Jawab Sosial atau corporate social responsibility sebagai berikut :

business’ commitment to contribute to sustainable economic development, working with employees, their families, the local community, and society at large to improve their quality of life27

27

Philip Kotler dan Nancy Lee, Corporate Social Responsibility : Doing the Most Good for Your


(5)

Yaitu komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, bekerja sama dengan para pegawai, keluarga mereka, komunitas lokal, dan masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup bersama.

Lebih lanjut lagi, World Business Council for Sustainable Development menambahkan :

continuing commitment by business to behave ethically, and contribute to economic development, while improving the quality of life of the workforce and their family as well as the local community and society at large28

28

Yusuf Wibisono, Membedah Konsep & Aplikasi CSR (Corporate Social Responsibility),

Yaitu komitmen dunia usaha yang terus menerus untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas.

Corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, dan masyarakat pada umumnya. Sedangkan secara etimologis corporate social responsibility

diartikan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan, sebenarnya tidak ada suatu definisi tunggal mengenai corporate social responsibility.


(6)

Corporate social responsibility menjadi tuntutan yang tidak terelakan lagi dengan munculnya tuntutan komunitas terhadap perusahaan. Perusahaan sadar bahwa keberhasilannya dalam mencapai tujuan bukan hanya dipengaruhi oleh faktor internal semata-mata, melainkan juga oleh komunitas yang berada di sekelilingnya. Ini artinya telah terjadi pergeseran hubungan antara perusahaan dan komunitas. Perusahaan yang semula memposisikan diri sebagai pemberi donasi melalui kegiatan charity dan phylanthropy, kini memposisikan komunitas sebagai mitra yang turut andil dalam kelangsungan eksistensi perusahaan.

Di masa lampau perusahaan-perusahaan tidak terlalu memperdulikan keadaan masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Malahan mereka melakukan sebagala cara yang justru merugikan masyarakat dan juga lingkungan disekitarnya hanya demi memperoleh keuntungan bagi perusahaannya. Hal inilah yang akhirnya dituntut oleh masyarakat yang menjadi sejarah corporate social responsibility bahwa setiap perusahaan harus mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam menjalankan kegiatan usahanya.

Seiring dengan perkembangan jaman, masyarakat semakin sadar akan pentingnya perlindungan atas hak-hak mereka. Lebih jelasnya, masyarakat menuntut tanggung jawab sosial perusahaan. Diakui atau tidak bahwa pada awalnya corporate social responsibility adalah sebagai suatu sogokan dari perusahaan terhadap masyarakat yang sering dirugikan dalam praktek bisnis keuangan.

Di Indonesia sendiri baru beberapa tahun terakhir ini corporate social responsibility mulai sering terdengar. Corporate social responsibility awalnya


(7)

merupakan tindakan sukarela dari perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Namun pada akhirnya corporate social responsibility

bukan lagi hanya merupakan suatu tindakan sukarela dari perusahaan, tetapi sudah menjadi kewajiban yang memang harus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia karena sudah diatur di dalam perundang-undangan di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Dimana bila tidak dilakukan dapat dikenakan sanksi. Demikian halnya di negara-negara lain juga sudah berlaku suatu aturan tentang kewajiban perusahaan untuk melakukan corporate social responsibility.

B. Manfaat Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya, perusahaan memfokuskan perhatiannya kepada tiga hal, yaitu profit atau keuntungan, lingkungan dan masyarakat. Maksud memfokuskan diri kepada profit atau keuntungan adalah dengan diperolehnya laba maka perusahaan dapat memberikan deviden bagi pemegang saham, melakukan pengembangan usaha serta membayar pajak kepada pemerintah. Sedangkan lingkungan maksudnya adalah bahwa dengan memberikan lebih banyak perhatian kepada lingkungan di sekitar perusahaan maka perusahaan dapat ikut turut serta berpartisipasi dalam usaha-usaha pelestarian lingkungan hidup demi terpeliharanya kualitas kehidupan umat manusia dalam jangka waktu yang panjang. Dan perhatian terhadap masyarakat berarti bahwa dalam melakukan aktivitas-aktivitasnya suatu perusahaan harus meningkatkan kompetensi di segala


(8)

bidang sehingga diharapkan mampu dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Business for Social Responsibility, adapun manfaat yang dapat diperoleh oleh suatu perusahaan yang mengimplementasikan corporate social responsibility, antara lain :

a. Peningkatan penjualan dan pangsa pa/sar (increaced sales and market share).

b. Memperkuat posisi nama atau merek dagang (strenghthened brand positioning).

c. Meningkatkan citra perusahaan (enchanced corporate image and clout). d. Meningkatkan kemampuan untuk menarik, memotivasi, dan

mempertahankan pegawai (increased ability to attract, motivate, and retrain employees).

e. Menurunkan biaya operasi (decreasing operting cost).

f. Meningkatkan daya tarik bagi investor dan analisis keuangan (increased appeal to investors and financial analysis).

Lebih lanjut pentingnya corporate social responsibility terlihat dari hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Business for Social Responsibility pada tahun 1999 terhadap 25.000 responden di 23 negara, yang menghasilkan kesimpulan sebagai berikut29

1. 90 % responden mengkehendaki setiap perusahaan untuk memikirkan masalah corporate social responsibility selain keuntungan.


(9)

2. 60 % responden mengatakan bahwa bentuk perusahaan yang bagus itu didasari kepada persepsi pada corporate social responsibility.

3. 40 % responden mengatakan bahwa mereka memiliki pandangan negative atau akan berkata negative terhadap suatu perusahaan yang tidak melakukan corporate social responsibility.

4. 17 % responden mengatakan akan menghindar untuk berhubungan dengan perusahaan yang tidak memiliki corporate social responsibility.

Hasil uraian dan beberapa penelitian diatas menunjukan bahwa corporate social responsibility memberikan banyak keuntungan bagi perusahaan-perusahaan yang mengimplementasikannya. Dengan kata lain, sembari memenuhi kewajiban sosial, suatu perusahaan dapat turut serta meraih keuntungan bisnis. Di Indonesia sendiri hal ini juga pasti akan sangat menguntungkan. Banyak perusahaan-perusahaan yang telah mengimplementasikan corporate social responsibility dan turut memanfaatkannya untuk mendatangkan keuntungan perusahaan, dan tidak lagi memandangnya sebagai suatu kewajiban belaka. Perusahaan-perusahaan yang lain yang belum dapat turut menggunakan pendekatan ini. Perusahaan-perusahaan yang ingin menerapkan corporate social responsibility dapat memilih berbagai macam bentuk inisiatif sosial.

Kotler dan Lee menyebutkan bahwa setidaknya ada 6(enam) opsi atau pilihan untuk “berbuat kebaikan” (six option for doing good) sebagai inisiatif sosial perusahaan yang dapat ditempuh dalam rangka implementasi corporate social responsibility, yaitu30 :


(10)

a. Cause Promotions

Suatu perusahaan dapat memberikan dana atau berbagai macam kontribusi lainnya, maupun sumber daya perusahaan lainnya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas suatu isu sosial tertentu, ataupun dengan cara mendukung pengumpulan dana, partisipasi dan rekruitmen sukarelawan untuk aksi sosial tertentu.

Contohnya perusahaan kosmetika terkemuka di Inggris, The Body Shop, mempromosikan larangan untuk melakukan uji coba produk terhadap hewan. The Body Shop sendiri, mengklaim bahwa produk-produk yang dijualnya tidak diuji cobakan terhadap hewan. Hal ini dapat dilihat pada kemasan produk-produk The Body Shop yang mencantumkan kata-katta Against Animal Testing.

b. Cause Related Marketing

Suatu perusahaan dalam hal ini berkomitmen untuk berkontribusi atau menyumbang sekian persen dari pendapatan perusahaannya dari hasil penjualan suatu produk atau jasa tertentu miliknya untuk isu sosial tertentu.

Contohnya seperti produk unilever yang memberikan sekian persen dari hasil penjualan produk sabun produksinya, Lifebouy, untuk meningkatkan kesadaran hidup bersih dalam masyarakat, dengan cara membangun fasilitas kamar kecil dan wastafel di sekolah-sekolah, terutama di daerah-daerah terpencil. Kemudian Danone, yang juga merupakan produsen air mineral AQUA, yang memberikan sekian persen dari hasil penjualan produk air mineralnya untuk membangun jaringan air bersih di daerah yang sulit air di Indonesia.


(11)

c. Corporate Social Marketing

Suatu perusahaan dapat mendukung perkembangan ataupun pengimplementasian kampanye untuk merubah cara pandang maupun tindakan, guna meningkatkan kesehatan publik, keamanan, lingkungan, maupun kesejahteraan masyarakat.

Contohnya seperti Unilever memproduksi pasta gigi Pepsodent, untuk mendukung kampanye gigi sehat. Kemudian Philip Morris di Amerika Serikat mendorong para orang tua untuk berdiskusi dengan anak-anak mereka mengenai konsumsi tembakau.

d. Corporate Philanthropy

Dalam hal ini, suatu perusahaan secara langsung dapat memberikan sumbangan, biasanya dalam bentuk uang tunai. Pendekatan ini merupakan bentuk implementasi tanggung jawab sosial yang paling tradisional.

Contohnya suatu perusahaan dapat langsung memberikan bantuan langsung uang tunai kepada panti-panti sosial, ataupun apabila bukan berupa uang tunai, dapat juga berupa makanan ataupun peralatan-peralatan yang diperlukan.

e. Community Volunteering

Dalam hal ini, perusahaan dapat mendukung dan mendorong pegawai-pegawainya, mitra bisnisnya, maupun mitra waralabanya untuk menjadi sukarelawan di organisasi-organisasi kemasyarakatakan lokal.


(12)

Contohnya suatu perusahaan dapat mendorong atau bahkan mewajibkan para pegawainya untuk terlibat dalam bakti sosial atau gotong royong di daerah dimana perusahaan itu berkantor. Contoh lainnya adalah seperti perusahaan-perusahaan yang memproduksi komputer ataupun piranti lunak mengirimkan orang-orangnya ke sekolah-sekolah untuk melakukan pelatihan-pelatihan langsung menyangkut keterampilan komputer.

f. Socially Responsible Business Practices

Misalnya perusahaan dapat mengadopsi dan melakuan praktek-praktek bisnis dan investasi yang dapat mendukung isu-isu sosial guna meningkatkan kelayakan masyarakat (community well bring) dan juga untuk melindungi lingkungan. Seperti contohnya Starbucks bekerja sama dengan Conservation International di Amerika Serikat untuk mendukung petani-petani guna meminimalisir dampak atas lingkungan mereka.

C. Bidang-Bidang yang Termasuk Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Dalam perkembangan etika bisnis yang lebih mutakhir, muncul berbagai gagasan yang lebih komprehensif mengenai ruang lingkup tanggung jawab sosial perusahaan ini. Paling kurang sampai sekarang ini sudah ada empat bidang yang dianggap dan diterima sebagai termasuk dalam apa yang disebut sebagai tanggung jawab sosial perusahaan.

Pertama, keterlibatan perusahaan dalam kegiatan-kegiatan sosial yang berguna bagi kepentingan masyarakat luas. Sebagai salah satu bentuk dan wujud


(13)

tanggung jawab sosial perusahaan. Perusahaan diharapkan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan yang terutama sekali dimaksudkan untuk membantu dan memajukan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jadi, tanggung jawab sosial dan moral perusahaan di sini terutama terwujud dalam bentuk ikut melakukan kegiatan tertentu yang berguna bagi masyarakat.

Kedua, perusahaan telah diuntungkan dengan mendapat hak untuk mengelola sumber daya alam yang ada di dalam masyarakat dan lingkungan di sekitarnya tersebut sehingga dapat menghasilkan keuntungan bagi perusahaan tersebut. Demikian pula, sampai tingkat tertentu, masyarakat telah menyediakan tenaga-tenaga proffesional bagi perusahaan yang sangat berjasa mengembangkan perusahaan tersebut. Karena itu, keterlibatan sosial merupakan salah satu cara balas jasa terhadap masyarakat.

Ketiga, dengan tanggung jawab sosial perusahaan melalui berbagai kegiatan sosial, perusahaan memperlihatkan komitmen moralnya untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan bisnis tertentu yang dapat merugikan kepentingan masyarakat luas. Dengan ikut dalam berbagai kegiatan sosial, perusahaan merasa mempunyai kepedulian, mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakat, dan dengan demikian akan mencegahnya untuk tidak sampai merugikan masyarakat melalui kegiatan bisnis tertentu.

Keempat, dengan keterlibatan sosial, perusahaan tersebut dapat menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan masyarakat dan dengan demikian perusahaan tersebut akan lebih diterima kehadirannya dalam masyarakat tersebut. Ini pada gilirannya akan membuat masyarakat merasa memiliki perusahaan


(14)

tersebut, dan dapat menciptakan iklim sosial dan politik yang lebih aman, kondusif, dan menguntungkan bagi kegiatan bisnis perusahan tersebut. Ini berarti keterlibatan perusahaan dalam berbagai kegiatan sosial juga akhirnya punya dampak yang positif dan menguntungkan bagi kelangsungan bisnis perusahaan tersebut di tengah masyarakat tersebut.

Dahulu corporate social responsibility dianggap tidak terlalu perlu untuk diatur didalam suatu peraturan perundang-undangan, karena corporate social responsibility dahulunya digunakan oleh para pengusaha untuk menarik hati masyarakat ataupun dilakukan secara sukarela. Namun, setelah diperhatikan maka

corporate social responsibility ini memang perlu untuk diatur didalam peraturan perundang-undangan agar setiap hak stakeholders dapat dipenuhi.

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau corporate social responsibility

mungkin masih kurang populer di kalangan pelaku usaha nasional. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan secara sukarela ini, sudah biasa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional ratusan tahun yang lalu. Di Indonesia kegiatan corporate social responsibility baru saja dimulai beberapa tahun belakangan ini. Tuntutan masyarakat dan perkembangan demokrasi serta derasnya arus globalisasi dan pasar bebas, sehingga memunculkan kesadaran dari dunia industri tentang pentingnya melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan atau

corporate social responsibility. Bahwa perusahaan memang bertanggung jawab atas apa yang ada disekitarnya.

Corporate social responsibility adalah sebuah komitmen bersama dari seluruh stakeholders perusahaan. Yang diwujudkan dengan tindakan oleh


(15)

perusahaan, dimana komitmen tersebut harus dilaksanakan oleh setiap stakeholders. Jadi sebenarnya dalam melaksanakan corporate social responsibility, sebenarnya perusahaan telah mentaati peraturan yang dibuat sendiri (self regulation) berdasarkan komitmen terhadap stakerholders, berbeda dengan sekedar taat terhadap peraturan pemerintah.


(16)

BAB IV

PENERAPAN GUGATAN CLASS ACTIONS PADA PERUSAHAAN YANG TIDAK MELAKUKAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL

PERUSAHAAN DAN LINGKUNGAN HIDUP

A. Gugatan Perwakilan Kelompok Terhadap Suatu Perseroan Terbatas Latar belakang gugatan Perwakilan Kelompok (class actions) merupakan suatu bentuk gugatan yang melibatkan sejumlah banyak orang yang mengalami penderitaan dan kerugian, sehingga tidak efisien dan praktis apabila gugatan diajukan secara individual atau terpisah-pisah, tetapi diajukan secara kolektif dalam suatu gugatan berdasarkan hukum acara perdata.

Tujuan gugatan class actions, agar supaya proses berpekara lebih ekonomis dan biaya lebih efisien (judicial economy). Tidaklah ekonomis bagi pengadilan jika harus melayani gugatan yang sejenis secara satu per satu. Manfaat ekonomis gugatan class actions ini tidak saja dirasakan oleh penggugat, akan tetapi juga oleh tergugat, sebab dengan pengajuan gugatan secara class actions, tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk melayani gugatan pihak-pihak yang merasa dirugikan. Biaya pengacara melalui mekanisme gugatan class actions ini akan lebih murah daripada gugatan masing-masing individu secara satu per satu, yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ganti kerugian yang akan diterima. Apalagi jika biaya gugatan yang akan dikeluarkan tidak sebanding dengan tuntutan yang diajukan. Mekanisme ini juga untuk mencegah putusan-putusan yang berbeda antara majelis hakim yang satu dengan majelis hakim yang lainnya.


(17)

Dalam praktek gugatan class actions, komponen perwakilan kelompok (class representatives) harus terlebih dahulu dibuktikan kepada Hakim Pengadilan, agar benar-benar dapat menjamin kepentingan dari seluruh anggota kelompok secara jujur dan bertanggung jawab. Selanjutnya untuk menetapkan apakah gugatan merupakan gugatan class action atau gugatan biasa diterapkan mekanisme Preliminary Certification Test kepada anggota kelompok agar melakukan opt in dan opt out. Opt in adalah prosedur yang dilakukan anggota kelompok dengan memberikan penegasan bahwa mereka benar-benar anggota kelompok sedangkan opt out adalah kesempatan anggota kelompok untuk menyatakan dirinya keluar dari class actions dan tidak mengkehendaki jadi bagian dari gugatan.

Mekanisme Preliminary Certification Test tersebut harus dilakukan apabila tuntutan gugatan adalah berupa uang ganti rugi (monetary damages) karena menentukan siapa-siapa yang berhak mendapatkan uang ganti rugi, sedangkan gugatan yang tuntutannya hanya berupa permintaan deklaratif atau

injuction maka mekanisme ini tidak perlu dilakukan.

Setelah pemeriksaan kelayakan kelompok dan pemberitahuan kepada masing-masing anggota kelompok untuk mengambil sikap (opt in dan opt out) barulah pemeriksaan pokok sengketa dilaksanakan.

Di Indonesia prosedur gugatan perwakilan kelompok menurut Peraturan Makamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok harus memenuhi persyaratan formal sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata, yang memuat antara lain :


(18)

h. Identitas secara lengkap dan jelas tentang wakil kelompok.

i. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu per satu.

j. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitannya dengan kewajiban melakukan pemberitahuan.

k. Posita dari seluruh kelompok, wakil kelompok, maupun anggota kelompok baik yang teridentifikasi maupun yang tidak teridentifikasi, dikemukakan secara jelas dan terperinci.

l. Apabila besarnya tuntutan tidak sama dikarenakan sifat dan tingkat kerugiannya berbeda antara satu anggota dengan anggota lainnya, maka dalam satu gugatan perwakilan dapat dikelompokan menjadi berbagai bagian kelompok atau sub-kelompok.

m. Tuntutan atau petitum tentang ganti kerugian harus dikemukakan secara jelas dan terperinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok, termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.

Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompoknya, wakil kelompok tidak disyaratkan memperoleh surat kuasa dari anggota kelompok lainnya31

Pada awal proses pemeriksaan persidangan, Hakim wajib memeriksa dan mempertimbangkan gugatan Perwakilan Kelompok, antara lain :

.

31

Priyatmanto Abdoellah, SH., Class Action, Legal Standing dan Judicial Review dalam Kaitannya dengan Kompetensi PERATUN, Makalah dalam Rangka Bintek Pemprop Bali,


(19)

6. Memenuhi unsur kesamaan fakta, dasar hukum, dan tuntutan. 7. Memiliki bukti yang paling kuat dan meyakinkan.

8. Terpercaya (trustworthy) dan dihormati.

9. Tidak mendahulukan kepentingan pribadi di depan kepentingan anggota kelompok.

10.Mengakar dan mewakili pada masyarakat (legitimasi sosial)32

Sahnya gugatan Perwakilan Kelompok dinyatakan melalui penetapan pengadilan sedangkan apabila dinyatakan tidak sah maka pemeriksaan gugatan ditentukan melalui suatu putusan Hakim (vide Pasal 5 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok).

Bagi gugutan Perwakilan Kelompok yang dinyatakan sah, Hakim selanjutnya memerintahkan kepada penggugat mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan Hakim dengan cara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 dari Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok, yaitu :

.

4. Pemberitahuan melalui media massa baik cetak maupun media massa elektronik.

5. Pemberitahuan melalui pengumuman baik papan pengumuman maupun selebaran yang ditempatkan di kantor-kantor pemerintah, seperti kelurahan, kecamatan, atau desa dan kantor pengadilan.

32


(20)

6. Pemberitahuan yang disampaikan secara langsung kepada tiap individu anggota kelompok sepanjang yang dapat diidentifikasi berdasarkan persetujuan Hakim dan sedapat mungkin praktis, efisien, efektif dan accessible.

Dalam prosedur pemberitahuan (notofikasi) tersebut, anggota kelompok dalam waktu yang telah ditentukan oleh Hakim, diberi kesempatan untuk menyatakan keluar dari anggota kelompok dengan mengisi formulir sebagaimana diatur dalam Lampiran Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok, dan bagi anggota kelompok yang secara hukum tidak terikat dengan putusan pengadilan.

Pada awal pemeriksaan persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara, Hakim berkewajiban mendorong para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkaranya dengan jalur perdamaian.

Dalam hal gugatan ganti rugi dikabulkan, Hakim wajib memutuskan jumlah ganti rugi secara rinci dan jelas, penentuan kelompok dan/atau sub kelompok yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi, dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian seperti halnya kewajiban melakukan pemberitahuan atau notifikasi.

Sebagai gambaran mengenai jenis-jenis kasus yang dimungkinkan untuk menjadi objek gugatan Perwakilan Kelompok (class actions), dibawah ini


(21)

dikemukakan beberapa contoh kasus gugatan Perwakilan Kelompok yang pernah terjadi di beberapa negara, yaitu 33

6. Di Amerika Serikat : kasus Agent Orange (1987), yaitu gugatan yang diajukan oleh ribuan veteran perang Vietnam terhadap pemilik perusahaan/pabrik pembuat bahan kimia beracun yang disebut “Agent Orange” (sejenis dioxin) yang telah menimbulkan penderitaan/cacat fisik dan kerugian kepada para penggugat, dimana Hakim mengabulkan ganti rugi/kompensasi sebesar US $ 250,000,000.- kepada para prnggugat.

:

7. Di Australia : Kasus Nixon Vs Philip Morris (produsen rokok) tahun 2000, yaitu gugatan Nixon yang mewakili sejumlah konsumen rokok produksi Philip Morris yang menderita sejumlah gangguan kesehatan setelah menghisap rokok produksi mereka.

8. Di India : Kasus Bhopal (1985), yaitu gugatan yang diajukan oleh sejumlah korban kebocoran gas beracun dari perusahaan/pabrik kimia “Union Carbide”.

9. Di Philipina : Kasus Minor Oposa (1993), yaitu gugatan yang diajukan oleh 41 anak-anak dibawah umur yang diwakili oleh orang tua mereka terhadap Menteri Lingkungan Hidup Philipina tentang Pembatalan Rencana Penebangan Hutan (logging), dengan alasan penebangan hutan telah menimbulkan penderitaan dan kerugian Para Penggugat serta generasi yang akan datang.

33

Priyatmanto Abdoellah, SH., Class Action, Legal Standing dan Judicial Review dalam Kaitannya dengan Kompetensi PERATUN, Makalah dalam Rangka Bintek Pemprop Bali,


(22)

10.Di Indonesia : Kasus Rokok Bentoel Remaja (1988), yaitu gugatan yang diajukan oleh seorang pengacara R.O. Tambunan, SH. mewakili kepentingan masyarakat yang keberatan atas penggunaan nama rokok “Bentoel Remaja” karena dapat memancing minat konsumen rokok di kalangan remaja.

Kasus Demam Berdarah (1988), yaitu gugatan yang diajukan oleh Muktar Pakpahan, SH. mewakili masyarakat korban wabah demam berdarah di Jakarta melawan Gubernur DKI Jakarta dan Kepala Kantor Wilayah Kesehatan DKI Jakarta.

Pada dasarnya ada 2(dua) pendapat mengenai gugatan Perwakilan Kelompok di Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu :

a. Tidak dapat diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, dengan alasan : - Bahwa tujuan utama gugatan perwakilan kelompok adalah untuk

memperoleh ganti rugi (berupa uang) sedangkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara memiliki tujuan utama untuk pembatalan/ menyatakan tidak sah suatu keputusan Tata Usaha Negara, sehingga lebih tepat diajukan kepada Peradilan Umum.

- Bahwa putusan Peradilan Tata Usaha Negara melekat azas “erga omnes”, yaitu azas yang menyatakan putusan berlaku mengikat publik, sedangkan putusan perdata di Pengadilan Negeri hanya berlaku untuk para pihak saja, sehingga sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara diperlukan gugatan massal karena pihak-pihak yang tidak untuk


(23)

menggugat secara otomatis terikat dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.

b. Dapat diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, dengan alasan :

- Bahwa tuntutan ganti rugi tidak harus menjadi tuntutan utama gugatan Perwakilan Kelompok, dapat juga dengan tuntutan berupa pembatalan dan/atau penerbitan keputusan Tata Usaha Negara yang disertai tuntutan ganti rugi dan “injuction” yaitu tuntutan agar tergugat melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berupa tuntutan agar tergugat menunda pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara yang digugat dan tuntutan agar tergugat menerbitkan dan/atau tidak menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara yang baru.

- Bahwa berlakunya azas “erga omnes” tetap dapat digunakan dalam gugatan perwakilan kelompok, karena dengan gugatan massal akan memberikan akses kepada keadilan (acces to justice) dan memberikan pengaruh/tekanan yang lebih berat kepada tergugat.

Pendapat yang kedua tersebut senada dengan hasil Tim Perumus Diskusi Temu Ilmiah HUT Peradilan Tata Usaha Negara ke XIII, tanggal 11 sampai dengan tanggal 15 Januari 2004 di Medan, yang menyimpulkan bahwa pada prinsipnya gugatan perwakilan kelompok dapat diterapkan di Peradilan Tata Usaha Negara dengan berpedoman kepada Peraturan Makamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok dan disesuaikan dengan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, antara lain :


(24)

a. Syarat pengajuan gugatan tidak didasarkan kepada adanya kerugian, melainkan didasarkan kepada adanya kepentingan sesuai dengan Pasal 53 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.

b. Prosedur penentuan dapat tidaknya suatu gugatan diajukan dengan perwakilan kelompok, ditentukan dalam pemeriksaan persiapan sesuai dengan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Apabila gugatan Perwakilan Kelompok dinyatakan sah, dibuat dalam suatu penetapan. Sedangkan apabila gugatan dinyatakan tidak sah, maka dituangkan dalam suatu putusan.

c. Mengenai pemberitahuan atau notifikasi juga dilakukan dalam tahap pemeriksaan persiapan dengan berpedoman kepada ketentuan Peraturan Makamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok.

Contoh kasus gugatan perwakilan kelompok pada Peradilan Tata Usaha Negara adalah kasus gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Pekan Baru, yang diajukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Reformasi Perjuangan Rakyat Semesta (LSM-RPRS) Kabupaten Karimun yang bertindak untuk dirinya sendiri dan masyarakat Kabupaten Karimun yang memohon pembatalan keputusan Bupati Karimun tentang pemberian izin tempat usaha karaoke dan diskotik atas nama Edi Nomor 17/SI/EKom/1998 tertanggal 12 Agustus 1998 karena diterbitkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan melanggar AAUPB karena didirikan di tempat pemukiman penduduk padat, dekat


(25)

dengan tempat pendidikan dan tempat peribadatan, dalam perkara Nomor 26/G.TUN/2000/PTUN.PBR.

Dalam gugatan tersebut, Majelis Hakim mengabulkan gugatan perwakilan kelompok tersebut dengan alasan :

- Memenuhi persyaratan numerosity, yakni jumlah penggugat demikian banyaknya meliputi penduduk Karimun.

- Memenuhi persyaratan community, yakni adanya kesamaan fakta, peristiwa dengan dasar hukum antara pihak LSM-RPRS Kabupaten Karimun dengan penduduk Karimun.

- Memenuhi persyaratan typically, yakni kesamaan tuntutan agar Bupati membatalkan SITU Karaoke dan Diskotik atas nama Edi.

- Memenuhi persyaratan adequancy of representation, yakni kelompok perwakilan untuk melindungi kepentingan yang diwakili.

Dalam mengabulkan gugatan kelayakan perwakilan kelompok tersebut, Majelis Hakim didasarkan kepada :

- Berdirinya LSM-RPRS Kabupaten Karimun sudah lama (lebih dari 1 tahun).

- Ada pengurus dan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga.

- Sudah sering melakukan kegiatannya di Kabupaten Karimun (kegiatan representatif).

- Mempunyai tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat Karimun hanya saja pada waktu itu oleh karena belum ada hukum acaranya yang baku, Majelis Hakim menggunakan prosedur opt out,


(26)

padahal tidak diperlukan karena penggugat tidak menuntut ganti rugi dan penetapan sah tidaknya gugatan perwakilan kelompok dilakukan setelah adanya pembuktian dari para pihak. Namun meskipun demikian, sampai saat ini mengenai gugatan perwakilan kelompok ke Pengadilan Tata Usaha Negara belum diatur sedangkan gejala dalam masyarakat tentang gugatan tersebut telah ada, maka pada saat ini diperlukan suatu peraturan tertulis yang mengatur tentang tata cara pengajuan gugatan perwakilan kelompok di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Dalam berbagai kegiatan diskusi di kalangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara di seluruh Indonesia disepakati pada prinsipnya menerima gugatan legal standing dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan antara lain :

a. Penjelasan Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyiratkan antara lain : “……. keberadaan organisasi lingkungan hidup diakui memiliki ius standing untuk mengajukan kasus lingkungan hidup ke pengadilan baik ke Pengadilan Umum maupun ke Pengadilan Tata Usaha Negara, tergantung pada kompetensi peradilan yang bersangkutan dalam memeriksa dan mengadili perkara yang dimaksud …….”.

b. Pasal 53 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang intinya pihak yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara adalah seorang atau badan hukum perdata, dalam konteks ini maka suatu organisasi atau Lembaga Swadaya Masyarakat asalkan berbentuk badan


(27)

hukum perdata dan memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Sedangkan objek sengketa yang dapat diajukan dalam gugatan hak organisasi adalah berupa keputusan Tata Usaha Negara seperti keputusan tentang perizinan, sebagaimana dimaksudkan didalam Pasal 18-21 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.

Mengingat berlakunya azas “erga omnes” di Pengadilan Tata Usaha Negara, dimana putusannya berlaku untuk umum maka yang paling efektif diterapkan adalah hak gugat organisasi (legal standing) karena di Pengadilan Tata Usaha Negara tuntutan utamanya bukan ganti rugi dan tidak diperlukan adanya prosedur pemberitahuan atau notifikasi.

B. Hak Gugat Organisasi Terhadap Pelanggaran Lingkungan Hidup Pada Suatu Perusahaan

1. Pengertian dan Ruang Lingkup

Secara umum hak gugat terhadap perbuatan melawan hukum dimiliki atau diberikan kepada seseorang atau orang per orangan dan badan hukum perdata karena doktrin perbuatan melawan hukum menganut azas tiada gugatan tanpa kepentingan hukum. Namun dalam perkembangan prakteknya hukum hak gugat tersebut dimiliki atau diberikan pula kepada organisasi atau lembaga swadaya masyarakat (non governmental organization) yang bergerak di bidang perlindungan lingkungan hidup, perlindungan konsumen, dan bidang-bidang


(28)

lain yang berkaitan dengan perlindungan dan/atau kepentingan umum meskipun organisasi tersebut tidak dirugikan oleh perbuatan melawan hukum tersebut (non interest).

Hak gugat organisasi diakui pertama kali melalui yurisprudensi di Amerika Serikat pada tahun 1972 dalam kasus Sierra Club versus Morton. Yang melahirkan pengertian bahwa hak organisasi lingkungan merupakan salah satu bagian dari hukum standing (standing law), kemudian prinsip-prinsipnya diterima secara luas di berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia.

Di Indonesia, hak gugat organisasi pertama kali diakui oleh peradilan pada tahun 1988, yaitu dengan diterimanya gugatan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WAHLI) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai penggugat yang ditujukan terhadap 5 (lima) instansi pemerintah dan PT. Indorayon Utama selaku tergugat, dalam kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup akibat limbah industri pulp PT. Indorayon Utama di Sumatera Utara.

Kemudian pada tahun 1997, Hak Gugat Organisasi lingkungan hidup terseebut diakomodir/dimuat sebagai pengakuan hukum (legal recognition) dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana dalam Pasal 38 ayat (1) disebutkan : “Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup”. Ketentuan


(29)

tersebut selanjutnya diakui pula oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

2. Persyaratan Hak Gugat Organisasi

Dalam Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyebutkan bahwa organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan apabila dapat memenuhi berberapa persyaratan, yaitu :

a. Berbentuk badan hukum atau yayasan.

b. Dalam Anggaran Dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan secara tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

c. Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan Anggaran Dasarnya.

Dalam gugatan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WAHLI) Versus Presiden Republik Indonesia mengenai kasus pembatalan Surat Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1994 Tentang Bantuan Pinjaman kepada perusahaan Perseroan PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT. IPTN), Majelis Hakim menerapkan pendapat Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung, SH., dan menetapkan persyaratan hak standing Lembaga Swadaya Masyarakat, yaitu :


(30)

a. Tujuan organisasi adalah benar-benar untuk melindungi lingkungan hidup atau menjaga kelestarian alam, dimana tujuan tersebut harus tercantum dalam Anggaran Dasar organisasi yang bersangkutan.

b. Bahwa organisasi tersebut harus berbentuk badan hukum maupun berbentuk yayasan.

c. Bahwa organisasi tersebut harus secara berkesinambungan menunjukan adanya kepedulian terhadap perlindungan lingkungan hidup yang nyata di masyarakat.

d. Bahwa organisasi tersebut harus cukup representatif.

3. Mekanisme Beracara Hak Gugat Organisasi

Organisasi yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 38 ayat (1) Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat mengajukan gugatan ke pengadilan akan tetapi tuntutannya terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu (injuction) atau persyaratan hakim tentang suatu keadaan (deklarasi) bukan berupa tuntutan ganti kerugian (monetary settlement), kecuali biaya perkara atau pengeluaran riil.

Gugatan yang diajukan ke Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri) mengacu kepada ketentuan Hukum Acara Perdata (vide HIR. Stb. 1941 Nomor 44 dan/atau RBG. Stb. 1927 Nomor 227 Jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor


(31)

14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasan Kehakiman yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Thaun 2004 Tentang Peradilan Umum).

Sedangkan gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara mengacu pada ketentuan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara (vide Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004).

4. Beberapa Contoh Kasus Hak Gugat Organisasi di Berbagai Negara Sebagai gambaran mengenai jenis-jenis kasus hak gugat organisasi/ Lembaga Swadaya Masyarakat yang sudah sangat diakui oleh berbagai negara, dibawah ini dikemukakan berberapa contoh kasus yang pernah terjadi di berberapa negara, yaitu34

• Di Amerika Serikat : Kasus Environmental Study Group (ESG) versus Duke Power Co. (1978), dimana penggugat yaitu ESG (sebuah organisasi lingkungan hidup) menggugat pembangunan industri nuklir yang dibangun oleh tergugat didekat tanah penggugat, serta mempersoalkan Undang-Undang tentang tenaga nuklir dalam hal terjadi kecelakaan.

:

• Di Belanda : Kasus Nieuwe Meer (1986) dan Kuvaders (1992), dimana Hoge Raad Belanda memberikan hak gugat bagi Organisasi Lingkungan Hidup (OLH) yang mempersoalkan penimbunan tanah dan bau hasil cemaran lumpur (polluted dredgings) yang diambil dari kanal-kanal di


(32)

Amsterdam, karena OLH tersebut dianggap mempunyai kepentingan untuk mencegah tindakan-tindakan yang merusak daya dukung lingkungan hidup.

• Di Australia : Kasus Yates Security Service Pty. Ltd. versus Keating (1990), dimana penggugat mempersoalkan pembangunan industri yang mengancam sumber mata pencaharian organisasi mereka di bidang pariwisata dan penjualan barang-barang souvenir.

• Di Indonesia : Kasus Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WAHLI) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai penggugat yang ditujukan terhadap 5 (lima) instansi pemerintah dan PT. Indorayon Utama selaku tergugat, dalam kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan, hidup akibat limbah industri pulp PT. Indorayon Utama di Sumatera Utara dan Kasus Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WAHLI) Versus Presiden Republik Indonesia mengenai kasus pembatalan Surat Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1994 Tentang Bantuan Pinjaman kepada perusahaan Perseroan PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT. IPTN).

C. Pendistribusian Tentang Ganti Rugi

Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dari proses prosedur gugatan perwakilan kelompok setelah tahapan-tahapan lainnya yang dikemukakan diatas dilalui seluruhnya.


(33)

Ganti kerugian dapat diberikan kepada anggota kelompok atau sub kelompok setelah dilakukan pemberitahuan atau notifikasi. Dan anggota kelompok atau sub kelompok dapat mengambil ganti rugi yang diterima dengan membuktikan bahwa dirinya juga sebagai korban atau penderita.

Jika gugatan dikabulkan, putusan Hakim harus memuat jumlah ganti kerugian secara rinci, penentuan kelompok atau sub kelompok yang berhak menerima ganti rugi, dan mekanisme pendistribusian ganti kerugian dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses pendistribusian, termasuk penunjukan tim/panel khusus yang terdiri dari pihak penggugat, tergugat, dan pengadilan, atau pihak lain yang dianggap patut, yang bertanggung jawab mengelola dan mendistribusikan dana ganti kerugian kepada anggota kelompok.

Meskipun tahapan penyelesaian ganti kerugian ini hanya bersifat praktis administratif saja, tetapi persoalannya tidak dapat dianggap ringan karena menyangkut soal dana atau uang yang cukup besar dan dapat memicu perpecahan apabila tidak diawasi dan dikelola dengan baik.

Dalam hal gugatan ganti rugi dikabulkan, Hakim wajib memutuskan jumlah ganti rugi secara rinci, penentuan kelompok dan/atau sub kelompok yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian seperti halnya kewajiban melakukan pemberitahuan atau notifikasi. Pada tingkat pembagian ganti kerugian akan dilakukan pemberitahuan lagi kepada anggota


(34)

kelompok, dan anggota kelompok dapat juga mengambil ganti kerugian yang diterima dengan membuktikan bahwa dirinya juga sebagai korban.

Jadi sesuai dengan ketentuan Pasal 9 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok, Hakim wajib memutuskan :

a. Jumlah ganti rugi secara rinci.

b. Penentuan kelompok dan/atau sub kelompok yang berhak. c. Mekanisme pendistribusian ganti rugi.

d. Kewajiban wakil kelompok untuk melakukan pemberitahuan atau notifikasi.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok tidak menentukan jenis-jenis ganti rugi selain daripada ganti kerugian kepada anggota kelompok secara individu yang mengalami kerugian. Sedangkan di Amerika Serikat ganti rugi dapat meliputi35

a. Ganti kerugian secara individual terhadap korban atau yang mengalami kerugian/pernderitaan.

:

b. Ganti kerugian untuk kepentingan komunitas/kolektif yang terkena dampak kerusakan atau ganti kerugian untuk biaya pemulihan lingkungan. c. Ganti kerugian untuk individu atau komunitas yang diperkirakan akan

mengalami kerugian di waktu yang akan datang. Kerugian dimaksud belum terlihat pada saat ini.


(35)

d. Ganti kerugian untuk generasi yang akan datang (future generation).

Untuk keadaan di Indonesia taraf penyelesaian ganti rugi ini akan menimbulkan kesulitan, karena para pihak umumnya enggan untuk berdamai dan perkara akan berlanjut sampai dengan putusan kasasi. Sedangkan pelaksanaan eksekusi suatu putusan adalah wewenang dari Ketua Pengadilan Negeri, yang tidak selalu juga sebagai Hakim yang menyidangkan perkara tersebut. Dan bagaimana membagikan ganti rugi kepada anggota kelompok yang berjumlah sangat banyak dan bukti-bukti apa yang harus diajukan. Oleh karena itu, usulan pembentukan suatu tim atau panel sangat membantu, jika dimohonkan dalam petitum gugatan.

Kemungkinan dapat terjadi bahwa gugatan perwakilan kelompok diajukan di beberapa pengadilan negeri oleh wakil kelompok yang berbeda yang mengatas namakan anggota kelompok tertentu yang sama. Duplikasi gugatan perwakilan kelompok ini, di Amerika Serikat telah diatur secara khusus. Konggres pada tahun 1968 telah menerbitkan peraturan “Judicial Panel on Multidistrict Ligitation” atau umum lebih dikenal dengan istilah “Panel”. Terbitnya peraturan tersebut lebih dipacu karena adanya kebutuhan bahwa pada saat itu muncul kurang lebih 2.000 (duaribu) gugatan class actions atas dugaan pelanggaran antitrust (price fixing) di 35 (tiga puluh lima) pengadilan negeri di berbagai wilayah di Amerika Serikat, melawan perusahaan-perusahaan elektronik36

Peraturan tersebut menyatakan bahwa dalam hal terjadi gugatan yang melibatkan banyak orang dengan permasalahan yang sama di beberapa pengadilan

.

36


(36)

negeri, gugatan tersebut dapat ditransfer ke pengadilan negeri tertentu untuk dilakukan konsolidasi dan koordinasi pada awal pemeriksaan. Penyerahan dilakukan oleh “Judicial Panel on Multidistrict Ligitation”. Dalam menentukan pengadilan mana yang ditunjuk, “Panel” akan memerhatikan kepentingan, kemudahan para pihak, saksi-saksi dan lain-lain yang bersifat efisiensi. Semua gugatan-gugatan, oleh “Panel” akan diserahkan kepada pengadilan yang ditunjuk sebelum diputuskan pre trial proceedings37

Di Australia tampaknya tidak diatur secara khusus, namun dalam prakteknya Hakim akan melakukan tindakan sebagai berikut

.

38

a. Memerintahkan kepada penggugat untuk melakukan koordinasi atau konsolidasi dan/atau melakukan penggabungan menjadi satu gugatan perwakilan kelompok.

:

b. Medelegasikan gugatan kepada satu kesatuan yurisdiksi pengadilan tertentu.

c. Melakukan penilaian tentang kualitas dan kecakapan atau kapabilitas dan kredibilitas wakil kelompok dan/atau kuasanya untuk menentukan pihak mana yang lebih berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok.

Mengenai adanya gugatan perwakilan kelompok yang sama yang diajukan di pengadilan negeri yang berbeda, Peraturan Mahkamah Agung tidak mengaturnya, akan tetapi hal tersebut sebenarnya sulit terjadi di Indonesia, karena proses beracara kita mengacu kepada HIR dan RBG dimana gugatan diajukan antara lain di tempat tinggal/domisili tergugat atau salah satu dari tergugat jika

37


(37)

tergugat terdiri lebih dari satu orang. Namun, jika terjadi duplikasi gugatan, mengenai masalah yang sama, terhadap tergugat yang sama, yang memiliki wilayah usaha yang luas, sehingga gugatan yang sama diajukan di pengadilan negeri yang berbeda oleh wakil kelompok yang berbeda, penulis berpendapat maka tergugat memohon kepada pengadilan agar gugatan perwakilan kelompok tersebut digabungkan. Atas permintaan tersebut Hakim wajib meneruskan kepada Mahkamah Agung untuk ditunjuk pengadilan negeri mana yang ditetapkan untuk memeriksa dan memutuskan perkara tersebut, dengan tembusan kepada pengadilan negeri lain yang juga memeriksa perkara yang sama.

Sebagaimana tujuan dan manfaat gugatan class actions, agar supaya proses berpekara lebih ekonomis dan biaya juga lebih efisien. Manfaat ekonomis ini, tidak saja dirasakan oleh penggugat, akan tetapi juga oleh tergugat, sebab dengan pengajuan gugatan terhadap tergugat yang sama, mengenai hal yang sama, di berbagai tempat yang berbeda, adalah tidak efektif dan tidaklah adil jika tergugat harus berkali-kali melayani gugatan pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang sama mengenai masalah yang sama. Pemeriksaan oleh pengadilan yang berbeda, juga dikhawatirkan dapat berakibat putusan yang berbeda.

Proses acara yang demikian bukanlah hal yang baru bagi pengadilan, karena dalam perkara keberatan terhadap putusan KPPU yang sama, yang diajukan oleh pelaku usaha di beberapa pengadilan yang berbeda, KPPU berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung untuk menunjuk salah satu pengadilan negeri yang berwenang yang juga menerima keberatan dari


(38)

pelaku usaha. Dan pengadilan negeri yang menerima tembusan permohonan penggabungan harus menghentikan pemeriksaan dan menunggu penunjukan dari Mahkamah Agung. Pengadilan yang menerima penunjukan dari Mahkamah Agung yang akan meneruskan pemeriksaan gugatan class actions yang diajukan, sedangkan pengadilan negeri yang tidak ditunjuk harus menyerahkan berkas perkara kepada pengadilan yang ditunjuk.

Dalam praktek negara-negara yang menganut sistem hukum common law, apabila aspek pertanggung jawabannya (liability) telah berhasil dibuktikan oleh penggugat, maka biasanya tergugat menawarkan bentuk dan jumlah kesepakatan, dan kemudian terjadilah perundingan perdamaian antara penggugat dan tergugat. Apabila tercapai kesepakatan, kesepakatan tersebut dituangkan dalam perjanjian kesepakatan perdamaian. Penggugat dan tergugat sendiri yang melakukan penafsiran jenis ganti kerugian dan mekanisme pelaksanaannya. Sebagai perlindungan bagi anggota kelompok, terlebih dahulu Hakim harus memberikan persetujuan terhadap setiap usulan kesepakatan penyelesaian perdamaian yang diajukan.

Praktek yang sering terjadi, tergugat menawarkan usulan kesepakatan, walaupun belum sampai pada tahap pembuktian terhadap masalah pertanggung jawabannya (liability). Hal ini dapat terjadi karena tergugat menyadari bahwa bukti-bukti yang dimiliki penggugat sangat kuat, sehingga untuk menghemat waktu dan biaya, tergugat tidak ingin memperpanjang perkaranya, dan mengajukan penawaran kesepakatan perdamaian, tanpa harus menunggu proses


(39)

pemeriksaan selesai. Baik di Australia maupun di Amerika Serikat sebagian besar perkara gugatan class actions diselesaikan dengan settlement agreement ini39

Dalam proses awal prosedur gugatan class actions dikenal istilah proses sertifikasi, yaitu proses awal untuk menentukan apakah suatu gugatan dapat dilangsungkan melalui prosedur gugatan class actions atau tidak.

. Untuk kondisi di Indonesia dengan mengacu pada Pasal 130 dan 131 HIR, dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008, yang mewajibkan Hakim untuk mendamaikan para pihak di awal persidangan, maka sebaiknya setelah penetapan prosedur gugatan perwakilan kelompok dikabulkan, sebelum dimulainya proses pemeriksaan pokok perkara, Hakim juga mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkaranya melalui mediasi dan/atau perdamaian. Seperti halnya di negara-negara dengan sistem hukum common law, usulan penyelesaian perdamaian yang diajukan oleh para pihak seyogyanya mendapat persetujuan dari Hakim terlebih dahulu, demi untuk melindungi anggota kelompok yang pada umumnya tidak hadir (penggugat absentee).

Jika perdamaian tidak tercapai, maka pemeriksaan pokok perkara diteruskan sampai dengan proses acara seperti dalam proses gugatan biasa, sampai dengan tercapainya suatu keputusan baik gugatan dikabulkan ataupun gugatan ditolak.

D. Mekanisme Gugatan Class Actions.


(40)

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok telah mengatur sebagaimana dijelaskan di atas bahwa pada awal proses pemeriksaan persidangan Hakim wajib memeriksa dan mempertimbangkan kriteria gugatan perwakilan kelompok.

Mekanisme sertifikasi yang diterapkan di Amerika Serikat dilakukan melalui preliminary certification test yang diterapkan di awal persidangan dan sering kali dirasa sebagai beban yang berat dikarenakan sangat menyita banyak waktu dan mengakibatkan proses perkara menjadi mahal. Proses sertifikasi awal yang bersifat formal inilah yang menimbulkan citra bahwa proses sertifikasi merupakan suatu hambatan untuk mendayagunakan prosedur class actions. Dalam prakteknya preliminary certification test melalui dengar pendapat formal (hearing), sering kali lebih rumit, mahal, dan menyita waktu, dibandingkan dengan pemeriksaan atau dengar pendapat tentang substansinya sendiri.

Masalah lain dalam preliminary certification test melalui hearing ini mensyaratkan seluruh anggota kelompok harus sudah diidentifikasikan pada awal proses class actions. Kewajiban identifikasi pada awal proses sering kali menjadi mustahil karena bahan-bahan serta informasi-informasi yang diperlukan untuk melakukan identifikasi yang akurat masih terdapat pada tergugat.

Di Australia mekanisme sertifikasi ini tidak dikenal. Dalam mengesahkan gugatan class actions Hakim cukup bersandar kepada Pasal 33 C


(41)

(1) Federal Court Acts, yaitu cukup menentukan satu common issue yang substansial, maka gugatan class actions dapat dikabulkan dan dilanjutkan persidangannya.

Bagaimana sebaiknya di Indonesia? Prosedur gugatan class actions ini sangat bermanfaat bagi pengembangan hukum dan keadilan di Indonesia, untuk menyederhanakan proses dalam mengajukan gugatan dari kelompok orang yang menderita kerugian yang sama, dan mempunyai kepentingan yang sama. Oleh karena itu, anggota masyarakat di Indonesia pada umumnya secara sosial dan ekonomis masih berada dalam posisi yang rentan, sehingga mereka tidak dapat mencegah atau menangkal pelanggaran yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi dan/atau penguasa/pemerintah terhadap diri mereka. Dengan berpedoman kepada manfaat diatas, dan penyesuaian dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia, serta mempermudah pemeriksaan, maka sebaiknya Hakim dapat memperhatikan hal-hal tersebut.

2. Mekanisme Proses Pemeriksaan Awal

Ada 2 tahap dalam pemeriksaaan awal berkaitan dengan gugatan class actions, yaitu :

a. Pada awal proses pemeriksaan persidangan, atau tahap pengakuan class actions, Hakim wajib memeriksa dan mempertimbangkan kriteria-kriteria dan persyaratan-persyaratan surat gugatan perwakilan kelompok, seperti :


(42)

- Terdapat persamaan fakta dan/atau persamaan hukum yang bersifat substansial dan terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya.

- Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan dalam melindungi anggota kelompok yang diwakili.

Jika persyaratan formal surat gugatan tidak memadai, Hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) , dapat memberikan penjelasan dan nasihat kepada para pihak.

Selanjutnya penggugat wakil kelompok atau pengacara/advocadnya yang harus membuktikan adanya persamaan fakta atau persamaan hukum yang bersifat substansial dan terdapat kesamaan jenis tuntutan diantara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya. Untuk menentukan substansial atau tidaknya persamaan ini, penilaiannya harus dilakukan kasus per kasus.

Dalam proses awal ini kepada tergugat harus diberi satu kali kesempatan untuk memberikan tanggapannya (bukan jawaban substansi perkara). Pada umumnya tanggapan akan berkisar pada (1) wakil kelompok tidak pantas sebagai wakil kelompok karena mempunyai benturan kepentingan, (2) gugatan ini tidak dapat di proses secara class actions, (3) tidak mempunyai persamaan baik fakta maupun hukum antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya.

Dalam tahap permulaan ini, hanya untuk menentukan apakah digunakannya prosedur gugatan class actions dalam perkara tersebut dapat


(43)

dikabulkan atau tidak dapat dikabulkan, sama sekali tidak memeriksa substansi pokok perkara gugatan penggugat.

Meskipun gugatan class actions ini juga termasuk dalam proses berpekara di pengadilan, namun dalam tahap ini belum perlu dilakukan mediasi sebagaimana yang ditentukan dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok, karena belum memasuki taraf pemeriksaan sengketa. Proses mediasi sebagaimana diwajibkan dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok diatas, baru dilakukan setelah Hakim memutuskan bahwa prosedur class actions layak untuk diterapkan dalam kasus a quo, dan setelah dilakukan notifikasi oleh para wakil kelompok, pada tahap awal memasuki taraf pemeriksaan pokok perkara.

Timbul pertanyaan apakah dalam gugatan perwakilan kelompok ini juga dimungkinkan adanya gugatan rekonvensi yang diajukan oleh para pihak yang digugat? Karena dalam hukum acara dikenal adanya gugatan balik, maka dalam proses jawaban pokok perkara, pihak tergugat juga dapat mengajukan gugatan balik. Dan kemungkinan dapat terjadi gugatan pokok permohonan ganti rugi penggugat atau wakil kelompok ditolak, tetapi gugatan rekonvensi dikabulkan. Jika terjadi demikian siapa yang harus bertanggung jawab? Hal ini tidak diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara


(44)

Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok, tetapi anggota kelompok tidak dapat dibebani biaya kontribusi apapun yang timbul dari adanya gugatan class actions tersebut.

Praktek yang berkembang di berbagai negara hanya wakil kelompok yang bertanggung jawab menanggung segala biaya, seperti biaya perkara, biaya notifikasi yang biasanya berjumlah besar apalagi jika digunakan sarana publikasi berupa advertensi di berbagai surat kabar, dan pemberitahuan melalui televisi, dan biaya pengacara/advocad kalau digunakan jasa pengacara/advocad. Dalam praktek perkara gugatan perdata biasa, biaya perkara untuk mengajukan gugatan dan biaya-biaya lain yang timbul dari gugatan tersebut, seperti biaya panggilan saksi, saksi ahli, sita jaminan jika ada, keseluruhannya ini ditanggung terlebih dahulu oleh pihak penggugat, dan biaya-biaya ini keseluruhannya akan dibebankan kepada pihak yang kalah perkara.

Demikian juga dalam perkara gugatan perwakilan kelompok, karena Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok tidak mengatur kepada siapa biaya perkara harus dibebankan, maka kita dapat mengacu kepada gugatan perdata. Biaya perkara, termasuk biaya pemberitahuan/notifikasi dan biaya-biaya lainnya akan ditanggung dan dibayar oleh pihak penggugat/wakil kelompok. Wakil kelompok menanggung resiko membayar biaya perkara yang timbul dari gugatan tersebut, jika gugatan perwakilan kelompok ditolak oleh Hakim. Anggota


(45)

kelompok tidak dapat dibebani membayar biaya-biaya yang timbul dari adanya gugatan perwakilan kelompok ini, kecuali dengan sukarela ikut membantu. Oleh karena itu, pemilihan wakil kelompok harus dilakukan secara hati-hati dan wakil kelompok dianggap memiliki bukti-bukti yang paling kuat. Jika gugatan perwakilan kelompok ini dikabulkan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh wakil kelompok dapat terlebih dahulu dipotongkan dengan ganti kerugian yang telah diperoleh, sebelum dibagikan kepada seluruh anggota kelompok. Pada umumnya wakil kelompok dalam gugatan kelompok memperoleh ganti kerugian yang lebih besar daripada anggota kelompoknya40

b. Sah atau tidaknya gugatan perwakilan kelompok setelah dipertimbangkan oleh Hakim, dituangkan dalam suatu penetapan pengadilan, atau dalam suatu putusan hakim.

.

1. Apabila Hakim memutuskan bahwa penggunaan prosedur gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah dan memenuhi syarat, maka Hakim menerbitkan suatu penetapan, yang mengabulkan penggunaan prosedur class actions, dan memerintahkan kepada wakil kelompok/ advokatnya untuk segera mengajukan usulan model pemberitahuan/ notifikasi. Usulan notifikasi ini lebih dahulu memperoleh persetujuan dari Hakim sesuai dengan konteks gugatannya.

2. Apabila Hakim memutuskan bahwa penggunaan prosedur gugatan perwakilan kelompok dinyatakan tidak sah atau tidak memenuhi syarat,


(46)

maka pertimbangan penolakan tersebut dituangkan dalam suatu putusan, sehingga pemeriksaan perkara gugatan tersebut bersifat final berakhir tanpa perlu memeriksa substansi gugatan penggugat.

3. Mekanisme Pemberitahuan/Notifikasi dan Pernyataan Keluar (Opt Out) Sebelum pemberitahuan diumumkan di media massa, Hakim harus terlebih dahulu menyetujui isi maupun cara melakukan pemberitahuan. Pengadilan dapat memerintahkan agar notifikasi dilakukan melalui iklan surat kabar, radio, ataupun televisi, sesuai dengan kebutuhan dan jenis perkaranya, tetapi hal ini tidak bersifat otomatis. Dapat dilakukan melalui media cetak dan/atau elektronik, kantor-kantor pemerintah/kecamatan/kelurahan/desa, kantor pengadilan, atau secara langsung kepada para anggota kelompok yang bersangkutan sepanjang yang dapat diidentifikasi berdasarkan persetujuan Hakim. Cara pemberitahuan ini berbeda pada setiap kasus per kasus. Yang terpenting sarana pemberitahuan ini harus mampu menjangkau seluruh anggota kelompok.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok, pemberitahuan wajib dilakukan oleh penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok kepada anggota kelompok pada tahapan sebagai berikut :

a. Segera setelah Hakim memutuskan bahwa pengajuan prosedur gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah.


(47)

b. Pada tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti kerugian ketika gugatan dikabulkan.

Notifikasi yang ditentukan dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok lebih sederhana dan lebih fleksibel disesuaikan dengan kondisi dan situasi di Indonesia, dibandingkan dengan ketentuan notifikasi yang disyaratkan pada pengadilan tingkat Federal di Amerika Serikat, yang menentukan notifikasi disamping ditentukan dalam format tertentu, dan atas persetujuan dari Hakim, juga wajib dilakukan pada tahap-tahap :

a. Tahap awal proses gugatan diajukan.

b. Jika terjadi penggantian atau permohonan penggantian wakil kelompok. c. Tahap pendistribusian ganti kerugian yang dikabulkan.

d. Dalam hal ganti kerugian ditolak.

Pada umumnya biaya notifikasi dibebankan kepada wakil kelompok atau pengacara/advokat khusus class actions, yang bersedia menanggung resiko, jika ganti kerugian tidak dikabulkan oleh pengadilan. Pemberitahuan secara individual/orang per orang (personal notice) kepada para anggota kelompok tidak dapat dilakukan, kecuali memenuhi persyaratan praktis (reasonably practiable) dan tidak mahal (not likely to be unduly expensive).

Jika gugatan perwakilan kelompok yang diajukan tersebut tidak menyangkut tuntutan ganti kerugian berupa uang (monetary damages, financial


(48)

damages), hanya mengajukan permintaan deklaratif atau injunction, maka biasanya kewajiban untuk dilakukan notifikasi ini tidak diperlukan lagi.

Pemberitahuan kepada anggota kelompok adalah mekanisme yang diperlukan untuk memberi kesempatan bagi anggota kelompok untuk menentukan apakah mereka menginginkan untuk ikut serta dan terikat dengan keputusan dalam perkara tersebut, atau tidak menginginkannya yaitu dengan cara menyatakan keluar (opt out) dari keanggotaan kelompok. Dalam hal pemberitahuan tersebut juga memuat batas waktu anggota kelompok untuk keluar dari keanggotaan kelompok (opt out), lengkap dengan tanggal dan alamat yang harus dituju untuk menyatakan opt out.

Berbagai yurisdiksi di negara-negara dengan sistem hukum common law, juga menggunakan prosedur opt out ini, yaitu prosedur di mana anggota kelompok yang telah didefinisikan secara umum dalam gugatan, diberitahukan melalui media massa (public notice). Pihak-pihak yang termasuk dalam definisi umum tersebut diberi kesempatan dalam jangka waktu tertentu untuk menyatakan keluar (tidak mau ikut dalam gugatan class actions tersebut), sehingga putusan pengadilan tidak mengikat dirinya. Pihak yang telah menyatakan dirinya keluar dari keanggotaan gugatan perwakilan kelompok, secara hukum tidak lagi terikat dengan keputusan atas gugatan perwakilan kelompok dimaksud.

Menurut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok Pemberitahuan atau notifikasi memuat :


(49)

- Nomor gugatan perkara dan Hakim yang menyidangkan serta memerintahkan dilakukan pemberitahuan.

- Identitas penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok serta pihak tergugat atau para tergugat.

- Penjelasan singkat tentang posisi kasus. - Penjelasan tentang pendefinisian kelompok.

- Penjelasan dari implikasi keturut sertaan sebagai anggota kelompok. - Penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok yang termasuk

dalam definisi kelompok untuk keluar dari keanggotaan kelompok (opt out).

- Penjelasan tentang waktu (bulan, tanggal, jam) pemberitahuan pernyataan keluar (opt out) dapat diajukan ke pengadilan.

- Penjelasan tentang alamat yang ditujukan untuk mengajukan pernyataan keluar (opt out).

- Apabila dibutuhkan oleh anggota kelompok tentang siapa dan tempat yang tersedia bagi penyediaan informasi tambahan.

- Formulir isian tentang pernyataan keluar dari anggota kelompok. - Penjelasan tentang jumlah ganti kerugian yang akan diajukan.

Setelah pemberitahuan dilakukan oleh wakil kelompok kepada anggota kelompok berdasarkan persetujuan Hakim, anggota kelompok dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Hakim diberi kesempatan untuk


(50)

menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok dengan mengisi formulir sebagaimana format yang telah ditentukan41

a. Pemberitahuan (notice) bukan merupakan kewajiban jika tuntutan tidak dalam bentuk ganti kerugian uang (financial damage).

.

Seperti halnya di negara Amerika Serikat dan Australia, sebelum pemberitahuan diumumkan di media massa, pengadilan/Hakim harus terlebih dahulu menyetujui isi maupun cara melakukan pemberitahuan. Di yurisdiksi pengadilan tingkat Federal di Australia, pemberitahuan untuk melakukan opt out ditentukan dalam format tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 33 X dan Order 73 rule 6.

Pasal 33 X dan Pasal 33 Y (4) dan (5) Federal Court of Australia Act, prosedur notifikasi diatur secara rinci sebagai berikut :

b. Pengadilan dapat meminta agar pemberitahuan dilakukan melalui media iklan di media massa, siaran radio atau televisi atau siaran lainnya (terbuka berbagai pilihan mekanisme pemberitahuan).

c. Pemberitahuan secara individual (personal notice) kepada anggota kelompok tidak dapat dilakukan, kecuali memenuhi persyaratan praktis (reasonably practiable) dan tidak mahal (not likely to be unduly expensive).

4. Putusan Hakim dan Ganti Kerugian

Dalam hal gugatan ganti rugi dikabulkan, Hakim wajib memutuskan jumlah ganti rugi secara rinci, penentuan kelompok dan/atau sub kelompok

41


(51)

yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian seperti halnya kewajiban melakukan pemberitahuan atau notifikasi. Pada tingkat pembagian ganti kerugian akan dilakukan pemberitahuan lagi kepada anggota kelompok, dan anggota kelompok dapat juga mengambil ganti kerugian yang diterima dengan membuktikan bahwa dirinya juga sebagai korban.

Jadi sesuai dengan ketentuan Pasal 9 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok, Hakim wajib memutuskan :

a. Jumlah ganti rugi secara rinci.

b. Penentuan kelompok dan/atau sub kelompok yang berhak. c. Mekanisme pendistribusian ganti rugi.

d. Kewajiban wakil kelompok untuk melakukan pemberitahuan atau notifikasi.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok tidak menentukan jenis-jenis ganti rugi selain daripada ganti kerugian kepada anggota kelompok secara individu yang mengalami kerugian. Sedangkan di Amerika Serikat ganti rugi dapat meliputi42

a. Ganti kerugian secara individual terhadap korban atau yang mengalami kerugian/pernderitaan.


(52)

b. Ganti kerugian untuk kepentingan komunitas/kolektif yang terkena dampak kerusakan atau ganti kerugian untuk biaya pemulihan lingkungan. c. Ganti kerugian untuk individu atau komunitas yang diperkirakan akan

mengalami kerugian di waktu yang akan datang. Kerugian dimaksud belum terlihat pada saat ini.

d. Ganti kerugian untuk generasi yang akan datang (future generation).

Untuk keadaan di Indonesia taraf penyelesaian ganti rugi ini akan menimbulkan kesulitan, karena para pihak umumnya enggan untuk berdamai dan perkara akan berlanjut sampai dengan putusan kasasi. Sedangkan pelaksanaan eksekusi suatu putusan adalah wewenang dari Ketua Pengadilan Negeri, yang tidak selalu juga sebagai Hakim yang menyidangkan perkara tersebut. Dan bagaimana membagikan ganti rugi kepada anggota kelompok yang berjumlah sangat banyak dan bukti-bukti apa yang harus diajukan. Oleh karena itu, usulan pembentukan suatu tim atau panel sangat membantu, jika dimohonkan dalam petitum gugatan.

5. Duplikasi Gugatan Perwakilan Kelompok/Multidistrict Ligitation.

Kemungkinan dapat terjadi bahwa gugatan perwakilan kelompok diajukan di beberapa pengadilan negeri oleh wakil kelompok yang berbeda yang mengatas namakan anggota kelompok tertentu yang sama. Duplikasi gugatan perwakilan kelompok ini, di Amerika Serikat telah diatur secara khusus. Konggres pada tahun 1968 telah menerbitkan peraturan “Judicial Panel on Multidistrict Ligitation” atau umum lebih dikenal dengan istilah


(53)

Panel”. Terbitnya peraturan tersebut lebih dipacu karena adanya kebutuhan bahwa pada saat itu muncul kurang lebih 2.000 (duaribu) gugatan class actions atas dugaan pelanggaran antitrust (price fixing) di 35 (tiga puluh lima) pengadilan negeri di berbagai wilayah di Amerika Serikat, melawan perusahaan-perusahaan elektronik43

Peraturan tersebut menyatakan bahwa dalam hal terjadi gugatan yang melibatkan banyak orang dengan permasalahan yang sama di beberapa pengadilan negeri, gugatan tersebut dapat ditransfer ke pengadilan negeri tertentu untuk dilakukan konsolidasi dan koordinasi pada awal pemeriksaan. Penyerahan dilakukan oleh “Judicial Panel on Multidistrict Ligitation”. Dalam menentukan pengadilan mana yang ditunjuk, “Panel” akan memerhatikan kepentingan, kemudahan para pihak, saksi-saksi dan lain-lain yang bersifat efisiensi. Semua gugatan-gugatan, oleh “Panel” akan diserahkan kepada pengadilan yang ditunjuk sebelum diputuskan pre trial proceedings

.

44

Di Australia tampaknya tidak diatur secara khusus, namun dalam prakteknya Hakim akan melakukan tindakan sebagai berikut

.

45

a. Memerintahkan kepada penggugat untuk melakukan koordinasi atau konsolidasi dan/atau melakukan penggabungan menjadi satu gugatan perwakilan kelompok.

:

b. Medelegasikan gugatan kepada satu kesatuan yurisdiksi pengadilan tertentu.

43

Gregory Hansel, Futures Extreme Ligitatio, An Overview with Judge Wim Terrell Hodges, Chairman of the Judicial Panel on Multidistrict Ligitation 9, Hal. 37

44


(54)

c. Melakukan penilaian tentang kualitas dan kecakapan atau kapabilitas dan kredibilitas wakil kelompok dan/atau kuasanya untuk menentukan pihak mana yang lebih berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok.

Mengenai adanya gugatan perwakilan kelompok yang sama yang diajukan di pengadilan negeri yang berbeda, Peraturan Mahkamah Agung tidak mengaturnya, akan tetapi hal tersebut sebenarnya sulit terjadi di Indonesia, karena proses beracara kita mengacu kepada HIR dan RBG dimana gugatan diajukan antara lain di tempat tinggal/domisili tergugat atau salah satu dari tergugat jika tergugat terdiri lebih dari satu orang. Namun, jika terjadi duplikasi gugatan, mengenai masalah yang sama, terhadap tergugat yang sama, yang memiliki wilayah usaha yang luas, sehingga gugatan yang sama diajukan di pengadilan negeri yang berbeda oleh wakil kelompok yang berbeda, penulis berpendapat maka tergugat memohon kepada pengadilan agar gugatan perwakilan kelompok tersebut digabungkan. Atas permintaan tersebut Hakim wajib meneruskan kepada Mahkamah Agung untuk ditunjuk pengadilan negeri mana yang ditetapkan untuk memeriksa dan memutuskan perkara tersebut, dengan tembusan kepada pengadilan negeri lain yang juga memeriksa perkara yang sama.

Sebagaimana tujuan dan manfaat gugatan class actions, agar supaya proses berpekara lebih ekonomis dan biaya juga lebih efisien. Manfaat ekonomis ini, tidak saja dirasakan oleh penggugat, akan tetapi juga oleh tergugat, sebab dengan pengajuan gugatan terhadap tergugat yang sama, mengenai hal yang sama, di berbagai tempat yang berbeda, adalah tidak efektif


(55)

dan tidaklah adil jika tergugat harus berkali-kali melayani gugatan pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang sama mengenai masalah yang sama. Pemeriksaan oleh pengadilan yang berbeda, juga dikhawatirkan dapat berakibat putusan yang berbeda.

Proses acara yang demikian bukanlah hal yang baru bagi pengadilan, karena dalam perkara keberatan terhadap putusan KPPU yang sama, yang diajukan oleh pelaku usaha di beberapa pengadilan yang berbeda, KPPU berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung untuk menunjuk salah satu pengadilan negeri yang berwenang yang juga menerima keberatan dari pelaku usaha. Dan pengadilan negeri yang menerima tembusan permohonan penggabungan harus menghentikan pemeriksaan dan menunggu penunjukan dari Mahkamah Agung. Pengadilan yang menerima penunjukan dari Mahkamah Agung yang akan meneruskan pemeriksaan gugatan class actions yang diajukan, sedangkan pengadilan negeri yang tidak ditunjuk harus menyerahkan berkas perkara kepada pengadilan yang ditunjuk.

6. Perjanjian Kesepakatan Perdamaian (Settlement Agreement)

Dalam praktek negara-negara yang menganut sistem hukum common law, apabila aspek pertanggung jawabannya (liability) telah berhasil dibuktikan oleh penggugat, maka biasanya tergugat menawarkan bentuk dan jumlah kesepakatan, dan kemudian terjadilah perundingan perdamaian antara penggugat dan tergugat. Apabila tercapai kesepakatan, kesepakatan tersebut


(56)

dituangkan dalam perjanjian kesepakatan perdamaian. Penggugat dan tergugat sendiri yang melakukan penafsiran jenis ganti kerugian dan mekanisme pelaksanaannya. Sebagai perlindungan bagi anggota kelompok, terlebih dahulu Hakim harus memberikan persetujuan terhadap setiap usulan kesepakatan penyelesaian perdamaian yang diajukan.

Praktek yang sering terjadi, tergugat menawarkan usulan kesepakatan, walaupun belum sampai pada tahap pembuktian terhadap masalah pertanggung jawabannya (liability). Hal ini dapat terjadi karena tergugat menyadari bahwa bukti-bukti yang dimiliki penggugat sangat kuat, sehingga untuk menghemat waktu dan biaya, tergugat tidak ingin memperpanjang perkaranya, dan mengajukan penawaran kesepakatan perdamaian, tanpa harus menunggu proses pemeriksaan selesai. Baik di Australia maupun di Amerika Serikat sebagian besar perkara gugatan class actions diselesaikan dengan settlement agreement

ini46

Untuk kondisi di Indonesia dengan mengacu pada Pasal 130 dan 131 HIR, dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008, yang mewajibkan Hakim untuk mendamaikan para pihak di awal persidangan, maka sebaiknya setelah penetapan prosedur gugatan perwakilan kelompok dikabulkan, sebelum dimulainya proses pemeriksaan pokok perkara, Hakim juga mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkaranya melalui mediasi dan/atau perdamaian. Seperti halnya di negara-negara dengan sistem hukum common law, usulan penyelesaian perdamaian yang diajukan oleh para


(57)

pihak seyogyanya mendapat persetujuan dari Hakim terlebih dahulu, demi untuk melindungi anggota kelompok yang pada umumnya tidak hadir (penggugat absentee).

Jika perdamaian tidak tercapai, maka pemeriksaan pokok perkara diteruskan sampai dengan proses acara seperti dalam proses gugatan biasa, sampai dengan tercapainya suatu keputusan baik gugatan dikabulkan ataupun gugatan ditolak.

7. Pendistribusian Ganti Kerugian

Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dari proses prosedur gugatan perwakilan kelompok setelah tahapan-tahapan lainnya yang dikemukakan diatas dilalui seluruhnya.

Ganti kerugian dapat diberikan kepada anggota kelompok atau sub kelompok setelah dilakukan pemberitahuan atau notifikasi. Dan anggota kelompok atau sub kelompok dapat mengambil ganti rugi yang diterima dengan membuktikan bahwa dirinya juga sebagai korban atau penderita.

Jika gugatan dikabulkan, putusan Hakim harus memuat jumlah ganti kerugian secara rinci, penentuan kelompok atau sub kelompok yang berhak menerima ganti rugi, dan mekanisme pendistribusian ganti kerugian dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses pendistribusian, termasuk penunjukan tim/panel khusus yang terdiri dari pihak penggugat, tergugat, dan pengadilan, atau pihak lain yang dianggap patut, yang


(58)

bertanggung jawab mengelola dan mendistribusikan dana ganti kerugian kepada anggota kelompok.

Meskipun tahapan penyelesaian ganti kerugian ini hanya bersifat praktis administratif saja, tetapi persoalannya tidak dapat dianggap ringan karena menyangkut soal dana atau uang yang cukup besar dan dapat memicu perpecahan apabila tidak diawasi dan dikelola dengan baik.


(1)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada TuhanYang Maha Kuasa atas segala kasih dan karuniaNya yang dirasakan oleh penulis setiap waktu terkhusus pada saat penulisan skripsi ini. Oleh karena berkahNya maka skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulisan skripsi adalah merupakan salah satu syarat bagi mahasiswa pada umumnya dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada khususnya guna melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul yang penulis bahas dalam skripsi ini adalah PENERAPAN GUGATAN CLASS ACTION DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS. Penulis berharap agar ilmu yang diperoleh selama proses penulisan skripsi dapat bermanfaat dan menjadi bekal pada saatnya nanti bagi penulis dan juga bermanfaat bagi semua yang membacanya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari berbagai kekurangan, baik itu disebabkan karena kekurangan literatur maupun kemampuan penulis sendiri. Oleh karena itu penulis mengharapkan mendapat saran dan kritik yang membangun sehingga penulisan ke depan dapat lebih baik lagi.

Pada kesempatan ini, dengan segala hormat dan kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(2)

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan waktunya untuk membimbing dan mengajari serta memberikan masukan kepada saya dalam penulisan skripsi ini.

6. Bapak Ramly Siregar S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan waktunya untuk membimbing dan mengajari serta memberikan masukan dan memotivasi kepada saya dalam penulisan skripsi ini sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai tepat pada waktunya.

7. Bapak Affan Mukti, S.H., M.Hum., selaku Dosen Wali/Dosen Pembimbing Akademik penulis yang telah memberikan masukan dan arahan kepada penulis selama menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Seluruh Dosen, Staf Pengajar dan juga Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis dan memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan. 9. Kepada orang tuaku tersayang, terutama sekali mama yang tercinta yaitu

Ibu Juliana Chandra atas segala doa dan dukungannya serta kasih sayang


(3)

yang diberikannya selama ini, terutama sekali selama masa penulisan skripsi ini. Berkat beliaulah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

10.Kepada adik saya, Suhardy, yang juga turut membantu dalam penulisan skripsi saya hingga selesai.

11.Kepada seluruh teman-teman saya yang turut membantu saya hingga selesainya skripsi ini, terutama sekali teman-teman stambuk 2003.

12.Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut terlibat dalam penulisan skripsi ini.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak yang mambacanya serta dapat menjadi referensi bagi pihak-pihak yang membutuhkannya. Terima kasih.

Hormat Penulis,


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG GUGATAN CLASS ACTIONS ... 19

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Gugatan Class Actions ... 19

B. Manfaat Gugatan Class Actions ... 30

C. Landasan Hukum Gugatan Class Actions ... 32

D. Persyaratan Gugatan Class Actions ... 38

BAB III. TINJAUAN HUKUM TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DAN LINGKUNGAN HIDUP ... 54

A. Pengertian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ... 54

B. Manfaat Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ... 58


(5)

C. Bidang-Bidang yang Termasuk Tanggung Jawab Sosial

Perusahaan ... 63 BAB IV. PENERAPAN GUGATAN CLASS ACTIONS PADA

PERUSAHAAN YANG TIDAK MELAKUKAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DAN LINGKUNGAN

HIDUP ... 67 A. Gugatan Perwakilan Kelompok Terhadap Suatu

Perseroan Terbatas ... 67 B. Hak Gugat Organisasi Terhadap Pelanggaran Lingkungan

Hidup Pada Suatu Perusahaan ... 78 C. Pendistribusian Tentang Ganti Rugi ... 83 D. Mekanisme Gugatan Class Actions ... 90 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...

A. Kesimpulan ... 110 B. Saran ... 112 DAFTAR PUSTAKA ... 114


(6)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Penerapan Gugatan Class Actions Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Skripsi ini membahas tentang gugatan perwakilan kelompok terhadap suatu perseroan terbatas atas tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh perseroan terbatas. Gugatan perwakilan kelompok atau disebut juga class actions sudah lama dikenal di negara-negara penganut sistem hukum common law dan juga telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 1997.

Gugatan perwakilan kelompok atau class actions telah tercantum dalam beberapa Undang-Undang di Indonesia, dan salah satunya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Jadi sekelompok orang atau organisasi yang merasa dirugikan oleh suatu perseroan terbatas dapat melakukan gugatan secara perwakilan tanpa perlu seluruh penggugat yang mempunyai kesamaan dasar hukum untuk hadir dalam persidangan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memenuhi beberapa persyaratan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normative yang didasarkan kepada bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu invebtarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan serta melakukan penelitian.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana cara menerapkan gugatan class actions pada perusahaan yang tidak melakukan tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan hidup serta bagaimana mekanisasi gugatan class actions sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada prinsipnya gugatan class actions merupakan suatu cara untuk mempermudah pencari keadilan untuk mendapatkan pemulihan hak hukum yang dilanggar melalui jalur keperdataan. Bahwa sangatlah tidak praktis apabila kasus yang menimbulkan kerugian terhadap orang banyak atau masyarakat ataupun suatu organisasi yang memiliki suatu fakta atau dasar hukum yang sama, serta tergugat yang sama, diajukan secara tersendiri-tersendiri sehingga menimbulkan ketidak efisienan bagi pihak yang mengalami kerugian, maupun pihak tergugat bahkan pihak pengadilan sendiri.