1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perbedaan Kesepian antara Remaja Panti Asuhan dan Remaja yang Tinggal dengan Keluarga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan salah satu periode perkembangan yang dialami

  oleh setiap individu. Remaja secara psikologis merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial. Pada masa transisi ini, remaja dipandang dari dua sisi yang berlainan. Pada satu sisi remaja ingin menjadi seorang yang mandiri tanpa bantuan orangtua, namun di sisi lain remaja masih membutuhkan bantuan dari orangtua (Santrock, 2003).

  Remaja yang berada pada masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa menyebabkan statusnya menjadi agak kabur. Baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya. Masa remaja biasanya memiliki energi yang besar, emosi yang kurang terkendali, dan pengendalian diri belum sempurna, sehingga remaja sering mengalami perasaan tidak aman, tidak tenang, dan khawatir kesepian (Ali & Asrori, 2004).

  Remaja juga mengalami perubahan hubungan dalam perkembangan sosial, yaitu mulai memisahkan diri dari orangtua menuju pada keintiman dengan teman- teman sebaya. Perubahan hubungan tersebut memerlukan suatu kesinambungan. Perubahan memisahkan diri dari orangtua tanpa disertai perubahan hubungan remaja menuju teman sebaya akan mengakibatkan remaja mengalami kesepian (Monks dkk, 1998). Hal tersebut diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh

  1 Uruk dan Demir (2003) bahwa peran keluarga terutama orangtua dan peran teman sebaya dapat memprediksi kesepian pada remaja. Remaja yang bermasalah dengan orangtua dan remaja yang tidak memiliki teman atau sahabat sebagai tempat untuk berbagi dapat menyebabkan kesepian pada dirinya.

  Salah satu tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock (1999) adalah membina hubungan dengan teman sebaya. Apabila hubungan tersebut tidak seperti yang diharapkan oleh remaja akan menyebabkan timbulnya perasaan kesepian. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maryati (2007) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penerimaan teman sebaya dengan kesepian pada remaja, dimana semakin negatif penerimaan teman sebaya maka kesepian akan semakin tinggi.

  Interaksi dengan teman sebaya membuat remaja dapat belajar mengenai hubungan timbal balik, menggali prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan, serta dapat meneliti minat dan pandangan teman sebaya untuk mempermudah remaja menyesuaikan dirinya pada aktivitas teman sebaya (Santrock, 2003). Selain itu, dengan adanya interaksi yang akrab dengan teman sebaya, remaja menjalin persahabatan yang dapat meningkatkan harga diri dan kemampuan sosialnya (Kelly & Hansen dalam Desmita, 2005). Namun selain meningkatkan harga diri serta penyesuaian sosial pada remaja, interaksi dengan teman sebaya juga dapat memberikan dampak negatif bagi perkembangan remaja salah satunya adalah penolakan atau tidak diperhatikan oleh teman sebaya dapat mengakibatkan remaja merasa kesepian (Santrock, 2003).

  Masyarakat seringkali menganggap bahwa kesepian banyak dialami oleh individu pada kelompok usia lanjut. Tetapi hasil penelitian yang dilakukan oleh Parlee (dalam Sears, Freedman, dan Peplau, 2009) menunjukkan bahwa dari 40.000 individu, yang seringkali merasa kesepian adalah individu pada kelompok usia remaja yaitu sebanyak 79%. Di sisi lain kelompok individu yang berusia di atas 55 tahun hanya sebanyak 37%.

  Brennan dan Sullivan mengatakan bahwa kesepian lebih intens dan sering terjadi selama masa remaja dibandingkan masa anak-anak dan dewasa. Weiss (1973) juga menekankan bahwa kesepian hanya mungkin terjadi pada masa remaja ketika remaja berusaha membentuk hubungan kelekatan dengan orang lain disamping orangtua, yaitu dengan teman sebaya (dalam Rotenberg & Hymel, 2008). Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Cheng dan Furnham (2002) bahwa salah satu penyebab munculnya perasaan kesepian pada remaja adalah kualitas dan kuantitas hubungan remaja dengan teman sebaya.

  Kesepian pada remaja terjadi karena ketidaksesuaian antara hubungan sosial yang diharapkan dengan hubungan sosial yang didapat.

  Menurut Weiss (dalam Rotenberg & Hymel, 2008) remaja mengalami kesepian dalam kehidupannya baik secara emosional maupun sosial. Masa remaja merupakan masa transisi yang sebagian waktunya dihabiskan bersama teman sebaya. Selama masa transisi ini, remaja memiliki kepuasan yang rendah dengan orangtua sebagai figur kelekatan dan mulai mencari figur kelekatan dalam hubungan yang baru, sehingga dimungkinkan para remaja mengalami kesepian.

  Remaja mengalami kesulitan dalam mengatasi kesepian karena hal tersebut merupakan pengalaman pertama remaja dalam mengubah hubungan yang lekat dengan orangtua kepada hubungan dengan orang lain. Mijuskovic (dalam Rice, 2008) mengungkapkan bahwa sejumlah faktor dapat memberi kontribusi terhadap kesepian yang dialami remaja yaitu adanya rasa kebebasan yang semakin meningkat karena lingkup pergaulan remaja semakin luas, pencarian identitas diri, ketidakjelasan siapa diri remaja dan tujuan hidup yang hendak dicapai, status yang tidak jelas di masyarakat karena remaja tidak dapat disebut sebagai anak-anak lagi dan belum tepat disebut sebagai orang dewasa, serta tanggung jawab yang lebih besar.

  Remaja seringkali mendiskripsikan kesepian yang dialami sebagai kekosongan, kebosanan, dan keterasingan. Remaja lebih sering merasa kesepian ketika merasa ditolak, terasing, dan tidak mampu memiliki peran dalam lingkungannya. Kesepian yang dirasakan adalah karena belum terbentuknya keintiman baru yang berakibat remaja tidak mempunyai hubungan interpersonal yang intim (Rice, 2008).

  Rook dan Wood (dalam Rotenberg & Hymel, 2008) mengatakan bahwa keadaan spesifik dimana terjadi ketidakpuasan terhadap suatu hubungan sosial akan menimbulkan perasaan kesepian. Kesepian terjadi ketika kebutuhan sosial tidak terpenuhi. Pengasingan, penolakan, ketiadaan hubungan yang mendalam, dijauhi karena tidak satupun yang menyukai, akan membuat individu frustrasi dan merasa malu yang kemudian menghasilkan kesepian.

  Kesepian dapat timbul karena kejadian-kejadian atau perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dalam kehidupan individu. Perubahan yang terjadi dalam kehidupan individu ini terbagi menjadi dua tipe yaitu perubahan dalam hubungan sosial individu dan perubahan pada kebutuhan sosial individu atau perubahan keinginan. Perubahan hubungan sosial yang dapat menimbulkan kesepian seperti berpisah secara fisik dengan orang yang dicintai seperti kematian, perceraian, berakhirnya hubungan dengan teman, pindahnya tempat tinggal, keluar dari sekolah, serta memasuki suatu komunitas baru (Sears dkk, 2009). Selain itu, perubahan pada kebutuhan sosial atau perubahan keinginan individu dapat menyebabkan kesepian. Individu memiliki keinginan atau kebutuhan dalam kehidupan sosialnya. Namun jika individu tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam hubungan sosialnya, individu tersebut akan mengalami kesepian.

  Lingkungan yang paling dekat dan paling berpengaruh bagi remaja adalah keluarga. Keluarga sebagai tempat pertama kali bagi remaja dalam menyerap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku untuk dijadikan bagian dari kepribadiannya (Sarwono, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Johnson dkk (2001) menunjukkan bahwa kekohesivitasan keluarga merupakan hal yang dapat menyebabkan remaja mengalami kesepian. Sejalan dengan penelitian Roux (2008) yang mengatakan bahwa sikap remaja terhadap orang tua merupakan prediktor munculnya kesepian pada remaja.

  Keluarga khususnya orangtua memiliki pengaruh yang besar dalam upaya menuntun remaja mengatasi berbagai permasalahan hidup yang dihadapi, memberikan teladan, mengarahkan, dan membantu mengambil keputusan untuk kepentingan remaja (Hardinge & Shryrock, 2002). Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Park Seon Young dan Doh Hyun Sim (1997) yang mengatakan bahwa fungsi keluarga secara signifikan berhubungan dengan kesepian pada remaja. Remaja akan memiliki tingkat kesepian yang tinggi jika terjadi konflik dalam keluarga.

  Keluarga merupakan lingkungan primer bagi individu dari sejak lahir sampai ia meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga sendiri. Peran keluarga yang tepat akan memiliki kontribusi terhadap kompetensi perilaku dan sosial yang baik sehingga remaja akan terhindar dari kesepian. Penelitian yang dilakukan Yu dkk (2005) menyimpulkan bahwa peran dasar keluarga adalah menyediakan lingkungan yang sehat untuk setiap anggota keluarga dalam rangka mencapai perkembangan fisik, psikologi, dan sosial yang baik.

  Interaksi antara orangtua dengan anak merupakan hal yang mendasar dan sangat penting. Interaksi individu dengan orangtua memiliki dampak yang cukup besar terhadap interaksinya dengan orang lain (Baron & Byrne, 2006). Youniss dan Smollar (dalam Agustiani, 2006) mengatakan bahwa hubungan antara anak dengan teman sebaya merupakan refleksi dari hubungan antara orangtua dan anak.

  Kenyataan di lapangan menunjukkan tidak semua remaja tinggal dalam keluarga. Banyak remaja yang hidup terpisah dari keluarganya dan menjalani kehidupan bersama dengan orang lain, seperti harus tinggal di panti asuhan. Panti asuhan sendiri dianggap masyarakat secara umum memiliki sisi negatif dan positif. Sisi negatifnya adalah anggapan umum yang menyatakan bahwa anak- anak yang tinggal dalam sebuah lembaga sosial sejak kecil dalam jangka waktu yang panjang akan meningkatkan resiko terkena psikopatologi serius dalam kehidupannya mendatang. Anggapan ini berkembang sebuah generalisasi secara mutlak bahwa lembaga sosial selalu berbahaya dan harus dihindari selama masih ada pilihan lain. Sisi positifnya menurut masyarakat bahwa anak-anak akan lebih terpenuhi kebutuhannya di panti asuhan, jadi hal itu adalah untuk kebaikan anak itu sendiri (Knudsen, 2001).

  Santrock (2003) mengatakan bahwa pengalaman dini akan penolakan dari orangtua pada masa kanak-kanak, kehilangan hubungan kasih sayang dari orangtua karena peristiwa kematian atau perceraian, dan hubungan yang buruk dengan orangtua dapat menyebabkan remaja lebih peka terhadap kesepian. Hal tersebut terjadi pada anak panti asuhan. Rice (2008) juga menjelaskan bahwa remaja yang kehilangan dukungan dari orangtua akan mengalami perasaan ditinggalkan atau sendirian bahkan dapat pula sampai merasa tertolak, tidak dihargai, tidak diakui, serta remaja merasa tidak mendapatkan perhatian yang dibutuhkan dari orangtua. Bahkan lebih jauh dijelaskan pula bahwa peran dukungan orangtua juga mempengaruhi kemampuan remaja untuk membangun hubungan yang bermakna dengan orang lain. Remaja akan kesulitan membangun hubungan yang baik dengan teman sebaya jika tidak pernah mengalami hubungan yang bermakna dengan orangtua.

  Hubungan sosial individu dimulai sejak individu berada di lingkungan rumah bersama keluarganya. Pengalaman hubungan sosial yang sangat mendalam adalah melalui sentuhan ibu kepada anaknya. Perasaan senang akan hubungan ini menandakan kebutuhan yang mendalam untuk berada di antara orang-orang yang mengasihinya. Gangguan tingkah laku yang terjadi pada anak yang selama hidupnya berada di rumah titipan atau panti asuhan merupakan contoh akibat kurangnya kebutuhan akan kasih sayang dan sentuhan lembut seorang ibu. Pada anak panti asuhan atau yatim piatu tidak ada kesempatan untuk menikmati kasih sayang ayah atau ibu (Ali & Asrori, 2004).

  Groza (2011) mengatakan bahwa panti asuhan dapat berdampak terhadap perkembangan kognitif, emosi, sosial, dan fisik anak selama beberapa periode tertentu. Anak yang tinggal di panti asuhan dapat mengalami masalah emosional dan perilaku, seperti agresif, perilaku antisosial, dan menyebabkan mereka kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai dunia luar.

  Pada kenyataannya pola pengasuhan di panti asuhan sangat tidak memuaskan (Kordi, 2011). Kebanyakan panti asuhan fokusnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kolektif, khususnya kebutuhan materi sehari-hari. Tetapi kebutuhan emosional anak tidak dipertimbangkan. Ketika anak-anak memasuki panti asuhan, mereka diharapkan untuk tinggal sampai lulus dari SMA kecuali jika melanggar peraturan.

  Anak panti asuhan terutama di negara-negara berkembang cenderung mengalami kesepian (Bruno, 2000). Kesepian pada anak panti asuhan terjadi karena anak membutuhkan kasih sayang tetapi tidak mendapatkannya. Anak kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian alamiah yang diberikan secara spontan oleh kebanyakan orangtua. Anak panti asuhan mudah sakit dan tingkat kematian mereka di atas rata-rata. Hal tersebut terjadi akibat sistem kekebalan dalam tubuh mereka harus berkompromi dengan rangsangan dan kasih sayang.

  Remaja panti asuhan dengan keterbatasan jumlah pengasuh dan kurangnya peran pengasuh sebagai pengganti orangtua, bisa saja mengalami kesepian pada dirinya. Seperti yang dikatakan oleh Roternberg dan Hymel (2008) bahwa kesepian pada remaja disebabkan karena kurangnya kasih sayang dari orangtua dan kurangnya perhatian dan dorongan ibu terhadap hubungan antara anak dengan teman sebaya. Anak panti asuhan dengan keterbatasan jumlah pengasuh dan kurangnya peran pengasuh sebagai pengganti orangtua harus berbagi perhatian dan kasih sayang kepada seluruh anak panti asuhan. Sedikitnya pengasuh menyebabkan sedikit pula perhatian dan dorongan terhadap hubungan anak dengan teman sebaya, yang akhirnya berakibat pada perasaan kesepian. Hal tersebut diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudarman (2010) terhadap seorang remaja panti asuhan putri berusia 17 tahun bahwa remaja panti asuhan mengalami kesepian karena kurangnya peran pengasuh dalam menggantikan peran orangtua.

  Menurut Sudarman (2010) terdapat tiga bentuk kesepian yang dialami oleh remaja panti asuhan. Remaja panti asuhan mengalami kesepian karena tidak ada teman berbagi pikiran dan merasa kurang percaya terhadap orang lain. Remaja panti asuhan merasa malu dan minder, kemudian menarik diri atau enggan mengambil resiko dalam situasi-situasi sosial. Kesepian yang ketiga yaitu dimana remaja merasa sedih dan iri karena tidak memiliki orangtua.

  Pada remaja panti asuhan, peran orangtua digantikan oleh pengurus panti. Namun penggantian peran tersebut tidak sepenuhnya dirasakan remaja panti asuhan, bahkan cenderung terabaikan. Tidak terpenuhinya kebutuhan happiness menjadikan remaja panti asuhan merasakan kesedihan mendalam, merasa terbuang, perasaan malu, tertekan, kesepian, tidak percaya diri, dan lebih parah dapat berakibat remaja menjadi stres bahkan depresi (Janiati, 2011).

  Hingga saat ini keadaan dan kondisi anak-anak yang dipelihara dalam suatu lembaga atau panti asuhan belum mendapatkan kehidupan layak seperti yang diharapkan. Hal tersebut disebabkan oleh banyak hal termasuk diantaranya karena jumlah pengasuhan di panti asuhan masih sangat minim. Penelitian Purba (2009) terhadap 21 anak asuh berusia 12-15 tahun di Yayasan SOS Kinderdorf Medan menunjukkan bahwa anak-anak asuh tersebut belum mampu untuk bersosialisasi dengan baik karena masih banyak ditemukan kekurangan dalam pelayanan yang diberikan yaitu pengasuh yang belum mampu memberikan pengasuhan yang baik terhadap semua anak asuh. Kemampuan bersosialisasi yang buruk akan mengakibatkan berkembangnya perasaan kesepian. Menurut Sears (2009) remaja yang tidak mampu menciptakan kehidupan sosial yang memuaskan dan mempunyai penilaian yang buruk tentang dirinya akan menyebabkan timbulnya perasaan kesepian.

  Berdasarkan berbagai penjelasan di atas mengenai pengaruh orangtua dan teman sebaya terhadap tingkat kesepian pada remaja, maka peneliti ingin melihat perbedaan kesepian antara remaja panti asuhan dan remaja yang tinggal dengan keluarga. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian komparasi kuantitatif.

  Melalui penelitian ini akan diperoleh data mengenai perbedaan kesepian antara remaja panti asuhan dan remaja yang tinggal dengan keluarga.

  B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas, maka diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:

  1. Apakah terdapat perbedaan kesepian antara remaja panti asuhan dan remaja yang tinggal dengan keluarga

  2. Apakah terdapat perbedaan kesepian antara remaja panti asuhan dan remaja yang tinggal dengan keluarga berdasarkan dimensi-dimensi kesepian

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kesepian antara remaja panti asuhan dan remaja yang tinggal dengan keluarga.

  D. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik yang bersifat teoritis maupun praktis.

1. Manfaat teoritis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana dalam bidang psikologi khususnya bidang psikologi perkembangan sehingga dapat memperkaya wacana yang membahas tentang perbedaan kesepian antara remaja panti asuhan dan remaja yang tinggal dengan keluarga.

2. Manfaat praktis a.

  Bagi remaja Memberikan informasi kepada remaja dalam mengatasi kesepian serta menyadari pentingnya berinteraksi dengan orang lain agar dapat menjalani kehidupan yang baik dalam lingkungan keluarga maupun di panti asuhan.

  b.

  Bagi orangtua Memberikan informasi kepada orangtua untuk selalu berinteraksi dan menjalin komunikasi yang baik dengan anak agar anak merasa diterima dan memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain.

  c.

  Bagi Pihak Panti Asuhan Memberikan informasi kepada pihak panti asuhan dalam usaha meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya yang ada sebagai bentuk peningkatan kualitas hidup penghuni panti asuhan.

  d.

  Bagi peneliti lain Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan rujukan atau referensi untuk penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan kesepian.

E. Sistematika Penulisan

  Adapun sistematika penulisan dari proposal penelitian ini adalah :

  Bab I : Pendahuluan Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

  Bab II : Landasan Teori Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dinyatakan adalah teori-teori mengenai kesepian, panti asuhan, keluarga, remaja, serta perbedaan kesepian antara remaja panti asuhan dan remaja yang tinggal dengan keluarga.

  Bab III : Metode Penelitian Pada bab ini dijelaskan mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, populasi dan metode pengambilan sampel, instrumen yang digunakan, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisa data.

  Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan Pada bab ini berisi uraian singkat hasil penelitian, interpretasi data, serta pembahasannya. Bab V : Kesimpulan dan Saran Pada bab ini memuat kesimpulan dan saran dari penelitian yang telah dilaksanakan.