perbedaan efektivitas larutan salin hipe

1

ABSTRAK
PERBEDAAN EFEKTIVITAS LARUTAN SALIN ISOTONIK DAN
HIPERTONIK TERHADAP TINGKAT KELUHAN GEJALA KLINIS
PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK
Nurmala Shofiyati, Made Setiamika, Ari Natalia
Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Latar Belakang : Rinosinusitis Kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa
hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala ≥ 12 minggu. RSK
ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung tersumbat atau
obstruksi atau sekret nasal (anterior, posterior nasal drip). Keadaan ini ditambah
nyeri wajah spontan atau pada penekanan, berkurangnya atau kehilangan sensasi
penghidu. Untuk mengukur beratnya gejala dapat digunakan Visual analog scale
(VAS). Perbaikan gejala klinis terjadi akibat mekanisme kerja dari cuci hidung
dengan larutan salin hipertonik yang bekerja membilas mukosa hidung dari zat-zat
iritan sehingga proses inflamasi dapat ditekan serta memperbaiki fungsi transpor
mukosilia pada mukosa hidung dan sinus paranasal.
Tujuan : Penelitian ini untuk membuktikan perbedaan efektivitas pada pemberian

larutan salin isotonik dan hipertonik terhadap tingkat keluhan gejala klinis
penderita RSK.
Bahan dan Cara : Penelitian eksperimental murni dengan desain RCT. Sampel
terdiri dari dua kelompok: RSK yang mendapat larutan salin isotonik dan
hipertonik. Tiap kelompok terdiri dari 20 sampel. Keluhan gejala klinis dilakukan
pre dan post memakai VAS. Analisis data menggunakan uji t tidak berpasangan.
Hasil : Untuk keluhan hidung tersumbat, rata-rata penurunan skor VAS pada
kelompok larutan salin isotonik adalah 1,20 sedangkan pada kelompok larutan
salin hipertonik adalah 2,60 dan perbedaan tersebut secara statistik dinyatakan
signifikan (p < 0,001). Untuk keluhan pilek, rata-rata penurunan skor VAS pada
kelompok larutan salin isotonik adalah 1,50 sedangkan pada kelompok larutan
salin hipertonik adalah 2,80 dan perbedaan tersebut secara statistik dinyatakan
signifikan (p = 0,001). Untuk keluhan nyeri wajah, rata-rata penurunan skor VAS
pada kelompok larutan salin isotonik adalah 0,90 sedangkan pada kelompok
larutan salin hipertonik adalah 2,05 dan perbedaan tersebut secara statistik
dinyatakan signifikan (p = 0,003). Untuk keluhan gangguan penghidu, rata-rata
penurunan skor VAS pada kelompok larutan salin isotonik adalah 0,45 sedangkan
pada kelompok larutan salin hipertonik adalah 1,30 dan perbedaan tersebut secara
statistik dinyatakan signifikan (p = 0,026).
Kesimpulan : Larutan salin hipertonik lebih efektif dalam menurunkan tingkat

keluhan gejala klinis penderita rinosinusitis kronik dibandingkan larutan salin
isotonik.

2

Kata Kunci :gejala klinis, VAS, larutan salin isotonik, larutan salin hipertonik,
rinosinusitis kronik.
ABSTRACT

Background : Chronic rhinosinusitis (CRS) is an inflammation of the mucosa of
the nose and paranasal sinuses with periods of symptoms ≥ 12 weeks. CRS is
characterized by two or more symptoms, which one of them is nasal congestion or
obstruction or nasal discharge (anterior, posterior nasal drip). This situation
accompanied with spontaneous facial pain or pressure, reduction or loss of
sensation of smell. Visual analog scale (VAS) can be used to measure the severity
of the symptoms.
Aim : This study to prove the difference in the effectiveness of the administration
of isotonic and hypertonic saline solution to the complaint rate of clinical
symptoms of patients with CRS.
Result : For nasal congestion complaints, the average reduction of VAS score in

group using isotonic saline solution was 1.20 while in the hypertonic saline group
was 2.60. For colds complaints, the average reduction in VAS score in isotonic
saline solution group was 1.50 while in the hypertonic saline group was 2.80. For
facial pain complaints, an average reduction in the VAS score in isotonic saline
group was 0.90 while in the hypertonic saline group was 2.05. For smell disorders
complaints, the average reduction in VAS score in isotonic saline solution group
was 0.45 while in the hypertonic saline group was 1.30.
Conclusion : The use of hypertonic saline solution in the nasal washing treatment
were more effective than the use of isotonic saline solution in lowering the level
of clinical symptoms complaints of patients with CRS.
Keyword: clinical symptom, VAS, isotonic saline solution, hypertonic saline
solution, chronic rhinosinusitis.

3

BAB I
PENDAHULUAN

A.


Latar Belakang
Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus

paranasal dengan jangka waktu gejala ≥ 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih
gejala, salah satunya berupa hidung tersumbat atau obstruksi atau sekret nasal
(anterior, posterior nasal drip). Keadaan ini ditambah nyeri wajah spontan atau
pada penekanan, berkurangnya atau kehilangan sensasi penghidu serta temuan
endoskopik berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus
medius dan atau edema/ obstruksi mukosa primer pada meatus medius, dan atau
temuan CT Scan berupa perubahan mukosa pada kompleks osteomeatal dan atau
sinus paranasal (Fokkens et al, 2012).
Di Indonesia data epidemiologi yang pasti mengenai prevalensi rinosinusitis
kronik masih belum jelas. Data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia
tahun 2003 menyatakan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat
jalan di rumah sakit. Data dari Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan
Tenggorok Bedah Kepala dan Leher (THT-KL) RS. Cipto Mangunkusumo
menunjukkan angka kejadian rinosinusitis yang tinggi, yaitu 300 penderita (69%)
dari 435 penderita rawat jalan poli rinologi yang datang selama periode Januari–
Agustus 2005. Data di bagian Rinologi-Alergi THT-KL Rumah Sakit Hasan
Sadikin pada tahun 2011 tercatat 46% kasus rinosinusitis (Candra et al., 2013). Di


4

poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta tercatat sepanjang tahun 2014
angka kejadian rinosinusitis kronik sebanyak 204 kasus (13,01%) dari 1567
pasien rawat jalan rawat jalan.
Penelitian yang dilakukan oleh Amaruddin et al., pada tahun 2006,
melakukan penelitian pada 22 sampel, gejala yang paling sering adalah hidung
tersumbat (100%), ingus purulen (95,5%), nyeri wajah (91%), gangguan penghidu
(59,1%). Hidung tersumbat juga merupakan gejala yang paling sering timbul
sebanyak 80%, diikuti oleh ingus purulen 72%, gangguan penghidu 68 % dan
nyeri sinus dan wajah sekitar 64% (Ryan et al., 2011). Untuk mengukur beratnya
gejala dapat digunakan Visual analog scale (VAS). Penggunaan VAS telah
terbukti relevan secara klinis dalam mengukur tingkat berat tiap gejala subyektif
yang dirasakan pasien rinosinusitis kronik. Penilaiannya dilakukan dengan cara
menilai berat ringannya keluhan berdasarkan gambar dan dianalogikan ke dalam
skala 0 yaitu tidak mengganggu sampai skala 10 yaitu keluhan yang sangat
mengganggu (Fokkens et al., 2012; Pradana et al., 2012; Bubun et al., 2009).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai efisiensi dari cuci
hidung dalam menurunkan gejala klinis rinosinusitis kronik. Harvey et al meneliti

tentang perbandingan antara cuci hidung dengan terapi topikal lainnya dalam
memperbaiki gejala klinis penderita rinosinusitis kronis. Berdasakan penelitian
tersebut didapatkan bahwa cuci hidung dengan NaCl 0,9% cukup berperan dalam
mengurangi gejala klinis dari rinosinusitis kronis dengan mekanisme menurunkan
produksi postnasal drip, sekresi cairan, mempercepat perbaikan mukosa dan
mengurangi gejala sumbatan hidung. Perbaikan gejala klinis terjadi akibat

5

mekanisme kerja dari cuci hidung yang bekerja membilas mukosa hidung dari zatzat iritan sehingga proses inflamasi dapat ditekan serta memperbaiki fungsi
transpor mukosilia pada mukosa hidung dan sinus paranasal (Arnold, et al., 2007;
Giger, 2010; Kumar, et al., 2013)
Di RSCM Jakarta, NaCl 0,9% telah digunakan sebagai cuci hidung untuk
menjaga stabilisasi fungsi hidung dan sinus paranasal. Sub divisi Rinologi RSCM
telah mengeluarkan beberapa leaflet mengenai manfaat dan tatacara cuci hidung
dengan tujuan sosialisasi penggunaan cuci hidung pada penderita infeksi hidung
dan sinus paranasal. Kelompok studi Rinologi Indonesia berpendapat bahwa
penggunaan cuci hidung selain mengurangi proses inflamasi lokal pada hidung,
juga dapat membersihkan debu-debu yang tersaring pada siliar-siliar epitel hidung
sehingga iritasi mukosa dan proses infeksi dapat dicegah. Di RSUP Dr. M. Djamil,

penggunaan cuci hidung dengan NaCl 0,9% sudah dilakukan pada penderita
rinosinusitis kronis dengan hasil perbaikan gejala klinis pada beberapa pasien
(Kumar, et al., 2013).
Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan perbedaan perbaikan tingkat
keluhan gejala klinis yang dinilai secara subyektif dengan Visual Analog Scale
(VAS) pada pemberian larutan salin hipertonik dan isotonik penderita rinosinusitis
kronik.

6

B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat perbedaan efektivitas antara pemberian larutan salin isotonik
dan hipertonik terhadap tingkat keluhan gejala klinis pada penderita rinosinusitis
kronik?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk membuktikan perbedaan efektivitas pada pemberian larutan salin
isotonik dan hipertonik terhadap tingkat keluhan gejala klinis penderita
rinosinusitis kronik.


2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui efektivitas pemberian larutan salin isotonik dan
hipertonik terhadap tingkat keluhan gejala klinis pilek penderita
rinosinusitis kronik.
b. Untuk mengetahui efektivitas pemberian larutan salin isotonik dan
hipertonik terhadap tingkat keluhan gejala klinis hidung tersumbat
penderita rinosinusitis kronik.
c. Untuk mengetahui efektivitas pemberian larutan salin isotonik dan
hipertonik terhadap tingkat keluhan gejala klinis nyeri di sekitar wajah
penderita rinosinusitis kronik.

7

d. Untuk mengetahui efektivitas pemberian larutan salin isotonik dan
hipertonik terhadap tingkat keluhan gejala klinis penurunan penghidu
penderita rinosinusitis kronik.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat ilmiah

Hasil penelitian dapat memberikan informasi dan pengetahuan mengenai
pemberian larutan cuci hidung salin isotonik dan hipertonik pada
penderita rinosinusitis kronik.
2. Manfaat Klinis
Hasil penelitian ini sebagai dasar pemberian larutan salin isotonik dan
hipertonik dalam mengurangi tingkat keluhan gejala klinis penderita
rinosinusitis kronik.

E. Originalitas Penelitian
Penelitian tentang Perbedaan efektivitas pada pemberian larutan salin
hipertonik dan isotonik terhadap tingkat keluhan gejala klinik penderita
rinosinusitis kronik belum pernah dilakukan di RSUD Dr.Moewardi Surakarta.
Penelitian lain yang terkait dengan judul penelitian ini adalah :

Peneliti,
Tahun

Judul

Variabel


Hasil

8

Abdul et al.

Efektifitas larutan

Rinosinusitis

Pemberian larutan cuci

(2009)

cuci hidung air

Kronik

hidung air laut steril


laut steril pada

Kualitas

sebagai terapi tambahan

penderita

hidup

akan memperbaiki

Rinosinusitis

patensi hidung dan

Kronis

kualitas hidup penderita

berdasarkan

rinitis kronis

patensi hidung dan

dibandingkan dengan

kualitas hidup

hanya terapi standar

Nezamoddin

Normal Saline

Rinosinusitis

saja.
Larutan salin hipertonik

et al. (2011)

Versus Hypertonic

Kronik,

(3%) lebih efektif untuk

3% Saline: It’s

larutan salin

irigasi hidung

Efficacy in Non-

hipertonik,

dibandingkan larutan salin

Acute Rhinosinusitis

gejala klinik

isotonik pada rinosinusitis
kronis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

9

A. Anatomi dan Fisiologi Hidung
1. Anatomi Hidung
Hidung merupakan organ yang penting karena fungsinya sebagai pelindung
dari lingkungan luar yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar
dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat dibedakan:
paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan, dibawahnya kubah kartilago
yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobolus hidung yang
mudah digerakkan (Ballenger, 2003; Krouse and Stachler, 2006).
Hidung luar dibentuk oleh tulang keras dan tulang rawan, jaringan ikat serta
otot-otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan lubang hidung. Hidung dalam
terdiri atas struktur yang membentang dari os internum disebelah anterior hingga
koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi
berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi
dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. pintu depan atau nares
anterior dan pintu belakang nares posterior berhubungan dengan nasofaring
(Ballenger, 2003).
Vestibulum adalah bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi,
tepat dibelakang nares anterior.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise
(Ballenger, 2003).
Tiap kavum nasi dibatasi 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior,

10

konkha media dan konkha inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah
konkha inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil
lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema. Konka
suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan
suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior
dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha
media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut
meatus superior (Ballenger, 2003; Krouse and Stachler, 2006).
Meatus medius merupakan celah yang penting karena disini terdapat muara
dari sinus maksilla, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Infundibulum
adalah bagian yang terletak di balik meatus medius dinding lateral di bagian
anterior. Ada suatu muara atau fisura yang menghubungkan meatus medius
dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan
medial infundibulum membentuk tonjolan yang dikenal sebagai prosesus
unsinatus (Ballenger, 2003).
Perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri etmoidalis
anterior, arteri etmoidalis posterior, arteri sfenopalatina. Bagian bawah rongga
hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna Bagian depan
hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis (Ballenger, 2003).
Hidung dipersarafi oleh saraf sensoris terutama berasal dari cabang
oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Rongga hidung lainnya,

11

sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion
sfenopalatinum (Ballenger, 2003).
Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian menyebar di mukosa yang melapisi bagian atas
konka superior dan bagian septum yang (Ballenger, 2003).
2. Fisiologi Hidung
Fungsi hidung adalah sebagai fungsi penghidu, filtrasi, menyiapkan keadaan
udara agar sesuai dengan suhu tubuh. Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau
lebih, 85 % -90% disaring didalam hidung dengan bantuan transpor mukosilia
(Ballenger, 2003; Beule, 2010).
Menurut Mangunkusumo (2001) fungsi utama hidung yaitu Sebagai jalan
nafas, alat pengatur kondisi udara, penyaring udara, indra penghidu, resonansi
suara, turut membantu proses bicara, reflek nasal (Beule, 2010; Busquets, 2010).

B. Anatomi dan Fungsi Sinus Paranasal
1. Sinus maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal terbesar. Bentuknya segitiga,
dengan dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut
fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila,
dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya
adalah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum.
Ostium sinus maksila berada disebelah superior dinding medial sinus dan

12

bermuara ke hiatus semilunaris berjalan melalui infundibulum etmoid (Ballenger,
2003).
2. Sinus etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhirakhir ini dianggap paling penting, merupakan sumber infeksi bagi sinus-sinus
lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya
dibagian posterior (Steven, 2000).
Bagian anterior sinus bermuara ke meatus medius dan bagian posterior yang
bermuara ke meatus superior. Sel anterior dan posterior dipisahkan oleh lempeng
tulang transversal yang tipis. Tempat perlekatan konka media pada dinding lateral
hidung juga merupakan patokan letak perbatasan kelompok sel-sel anterior dan
posterior. Kelompok sel anterior terdapat didepan dan bawahnya sedang
kelompok posterior ada diatas dan belakangnya (Steven, 2000; Ballenger, 2003).
3. Sinus frontal
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada
lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak digaris tengah. Kurang lebih 15 %
orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5 % sinus
frontalnya tidak berkembang. Sinus frontalis dipisahkan oleh tulang yang relatif
tipis dari orbita dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal
mudah menjalar kedaerah ini. Sinus frontal ini berdrenase melalui ostiumnya dan
bermuara ke meatus media (Ballenger, 2003).
4. Sinus sphenoid

13

Masing-masing sinus sphenoid berhubungan dengan meatus superior
melalui celah kecil menuju ke resesus spheno-etmoidalis.. Batas-batasnya ialah
sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah
inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus
dan arteri karotis interna dan disebelah posteriornya berbatasan dengan fosa
serebri posterior didaerah pons (Steven, 2000; Ballenger, 2003).
5. Fungsi sinus paranasal
Fungsi sinus paranasal antara lain: sebagai pengatur kondisi udara (air
conditioning), sebagai penahan suhu (thermal insulators), membantu resonansi
suara, membantu keseimbangan kepala, sebagai peredam perubahan tekanan
udara, membantu produksi mucus (Steven, 2000).

C. Kompleks Osteo Meatal (KOM)
Bagian ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal
(KOM). KOM adalah bagian dari sinus etmoid anterior. Pada potongan koronal
sinus paranasal, gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga diantara konka
media dan lamina papirasea. Isi dari KOM terdiri dari infundibulum etmoid yang
terdapat di belakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus frontalis, bula
etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.
Ostium ini biasanya terbentuk dari membran. Umumnya, ostium adalah saluran
yang panjangnya 3 mm atau lebih. Serabut saraf dan pembuluh-pembuluh darah
biasanya masuk kedalam sinus melalui ostium atau bagian dinding nasoantral
yang terbentuk dari membrane (Steven, 2000).

14

D. Rinosinusitis Kronik
1. Definisi
Rinosinusitis menurut European Position Paper on Rinosinusitis and Nasal
Polyps 2012 (EPOS 2012) dapat didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan
sinus paranasal yang dikarakteristik oleh dua atau lebih gejala, salah satunya harus
berupa

hidung

tersumbat/

obstruksi/

kongesti

atau

nasal

discharge

(anterior/posterior nasal drip), nyeri atau tekanan pada wajah, penurunan atau
menghilangnya daya penghidu. Sedangkan berdasarkan tanda dari endoskopi
rinosinusitis merupakan polip hidung dan atau mukopurulen dari meatus medius
dan atau edema pada meatus medius dan berdasarkan perubahan CT scan
ditemukan mukosa yang berubah diantara ostiomeatal complex dan atau sinus
(Fokkens et al., 2012).
2. Etiologi
Faktor etiologi dari rinosinusitis kronik antara lain:
a. Infeksi virus dan bakteri
Infeksi

virus

yang

menyerang

hidung

dan

sinus

paranasal

menyebabkan udim mukosa dengan tingkat keparahan yang berbeda. Virus
penyebab tersering adalah coronavirus, rhinovirus, virus influenza A, dan
respiratory syncytial virus (RSV). Selain jenis virus, keparahan oedem
mukosa bergantung pada kerentanan individu. Infeksi virus influenza A dan
RSV biasanya menimbulkan udim berat. udim mukosa akan menyebabkan
obstruksi ostium sinus sehingga sekresi sinus normal menjadi terganggu.
Pada keadaan ini ventilasi dan drainase sinus masih mungkin dapat kembali

15

normal, baik secara spontan atau efek dari obat-obat yang diberikan
sehingga terjadi kesembuhan. Apabila obstruksi ostium sinus tidak segera
diatasi (obstruksi total) maka dapat terjadi pertumbuhan bakteri sekunder
pada mukosa dan cairan sinus paranasal. Pada saat respons inflamasi terus
berlanjut dan respons bakteri mengambil alih, lingkungan sinus berubah ke
keadaan yang lebih anaerobik. Flora bakteri menjadi semakin banyak
(polimikrobial) dengan masuknya kuman anaerob, Streptococcus pyogenes
(microaerophilic streptococci), dan Staphylococcus aureus. Perubahan
lingkungan bakteri ini dapat menyebabkan peningkatan organisme yang
resisten dan menurunkan efektivitas antibiotik akibat ketidakmampuan
antibiotik mencapai sinus. Infeksi menyebabkan 30% mukosa kolumnar
bersilia mengalami perubahan metaplastik menjadi mucus secreting goblet
cells, sehingga efusi sinus makin meningkat (Heldin et al, 2009).
b. Alergi
Alergen menyebabkan respons inflamasi dengan memicu rangkaian
peristiwa yang berefek pelepasan mediator kimia dan mengaktifkan sel
inflamasi. Limfosit T helper 2 (Th 2) menjadi aktif dan melepaskan
sejumlah sitokin yang berefek aktivasi sel mastosit, sel B dan eosinofil.
Berbagai sel ini kemudian melanjutkan respons inflamasi dengan
melepaskan lebih banyak mediator kimia yang menyebabkan oedem
mukosa dan obstruksi ostium sinus (Heldin et al, 2009).
c. Infeksi Dentogenik

16

Infeksi gigi (infeksi dentogenik) pada gigi rahang atas merupakan
salah satu faktor risiko rinosinusitis kronik. Dasar sinus maksila adalah
prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga sinus maksila
hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang
tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar
gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung
ke sinus / melalui pembuluh darah dan limfe. Biasanya sinusitis dentogen
pada sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus purulen
dan nafas bau busuk. Pengobatannya harus meliputi pencabutan atau
perawatan gigi yang terinfeksi dan pemberian antibiotika spectrum luas dan
terkadang dibutuhkan kombinasi dengan antibiotik untuk kuman anaerob,
terkadang perlu dilakukan irigasi sinus maksila (Puglisi, 2011; Longhini,
2011).
Rinosinusitis

kronik

dentogenik

terjadi

apabila

membran

Scheneiderian teriritasi atau robek sebagai akibat infeksi gigi, trauma
maksilaris, benda asing kedalam sinus dan lain-lain. Rinosinusitis
dentogenik dapat terjadi melalui 2 mekanisme: dapat menjalar ke sinus
melalui ruang pulpa gigi yang menyebabkan peridontitis. Mekanisme kedua
melalui infeksi kronik dan destruksi dari soket gigi yang disebut marginal
periodontitis (Costa, 2007).
Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya; usia, malnutrisi,
defisiensi imun, obstruksi mekanik seperti septum deviasi, hipertrofi konkha

17

media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung
(Becker,2011).
Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
rinosinusitis kronik. Hal ini disebabkan penderita diabetes mellitus berada dalam
kondisi immunocompromised atau turunnya sistem kekebalan tubuh sehingga
lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti rinosinusitis.

3. Patofisiologi
Sinus berhubungan dengan rongga hidung melalui celah sempit yang
disebut ostium. Ostium mengalirkan sekret ke rongga hidung. Sinus maksilaris,
sinus frontalis, dan sinus ethmoidalis mengalirkan sekret ke meatus media.
Beberapa sinus ethmoidalis juga bermuara ke meatus superior, yang merupakan
ruang yang dibentuk oleh tulang konka superior. Sinus maksilaris, sinus frontalis,
dan sinus sphenoidalis adalah sinus yang soliter, sinus ethmoidalis terdiri dari
beberapa rongga-rongga yang kecil, terstruktur seperti sarang lebah. Hal ini
menunjukkan bahwa sinus ethmoidalis mempunyai variasi pola drainasenya.
Sinus sphenoidalis bermuara ke resesus sphenoethmoidalis, terletak antara tulang
konka superior dan septum nasi. Udara dan mukus masuk dan keluar sinus
melalui ostium sinus. Hidung dan sinus menghasilkan lendir untuk menjaga
hidung dan jalan pernapasan bagian atas lembab. Di antara yang penting peran
fisiologis dari sinus adalah humidifikasi, pemanasan udara inspirasi, dan eliminasi
partikel-partikel asing. Humidifikasi dan pemanasan udara terinspirasi melalui
sekresi dari kelenjar serosa, yang dapat menghasilkan cairan sampai 1-2 liter per

18

hari. Sekresi sel goblet dan kelenjar mukus memfasilitasi eliminasi dari partikelpartikel asing. Mukus sangat efektif dalam mengangkut partikel yang lebih besar
dari 3-5 mikro hingga 80%, tidak hanya patogen anorganik tetapi juga 75% dari
bakteri yang memasuki hidung. Mucus blanket juga berfungsi sebagai sistem
pertahanan tubuh mempunyai struktur yang sangat dinamis, terus menerus
diperbarui setiap 10-20 menit. Adanya antigen akan merangsang sistem kekebalan
tubuh, pergerakan dari epitel bersilia, mendorong mukus kearah ostium sinus,
kemudian mengalirkan ke rongga hidung. Mukus tersebut kemudian didorong ke
nasofaring untuk ditelan, dan patogen tersebut akan dihancurkan oleh sekresi
asam lambung (Becker, 2011).
Edema mukosa hidung pada penderita rinosinusitis kronik menyebabkan
terjadinya gangguan ventilasi serta obstruksi ostium sinus sehingga meningkatkan
retensi musin dan berakhir dengan terjadinya proses infeksi. Mukosa kavum nasi
dan sinus paranasal memproduksi sekitar satu liter musin per hari yang
dibersihkan oleh transport mukosiliar. Obstruksi Kompleks Osteomeatal (KOM)
akan mengakibatkan akumulasi dan stagnasi cairan, membentuk lingkungan yang
lembab dan suasana hipoksia yang ideal bagi pertumbuhan kuman patogen.
Obstruksi KOM dapat disebabkan oleh berbagai kelainan anatomis seperti septum
deviasi septum, konka bulosa, konka paradoks, sel Haller (etmoidal infraorbital),
prosesus unsinatus horizontal dan anomali kraniofasial, dan sebagainya (Busquets,
2006; Hauptman, 2007).

19

4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan rinosinusitis kronik dapat berupa terapi medikamentosa
dan tindakan bedah. Berdasarkan pedoman terapi rinosinusitis PERHATI-KL
Kelompok Studi Rinologi tahun 2007, penatalaksanan rinosinusitis kronik berupa
pemberian antibiotik lini kedua Amoksilin klavulanat/ Ampisilin sulbaktam,
Cephalosporin generasi kedua, makrolid dan terapi tambahan. Terapi tambahan
Dekongestan oral, Kortikosteroid oral dan atau topikal, mukolitik, antihistamin
pada pasien alergi (Soetjipto, 2007).
Penggunaan larutan cuci hidung dengan salin terbukti aman bagi anakanak, orang dewasa, kehamilan maupun usia lanjut. Pencucian hidung dengan
larutan salin isotonis dapat diberikan sebagai terapi tambahan pada rinosinusitis,
rinitis alergi, infeksi saluran napas atas dan pasca pembedahan sinus.
Kontraindikasi penggunaan terapi ini adalah trauma wajah yang belum sembuh
sempurna, gangguan neurologis dan muskuloskeletal. Tidak ada peneliti yang
melaporkan adanya efek samping yang serius terhadap penggunaan larutan salin
isotonis ini. Keluhan yang sering ditemui adalah rasa tidak nyaman dan cemas
pada saat penggunaan awal larutan tersebut (Papsin et al., 2003; Rabago et al.,
2009).
Pencucian hidung dilakukan dengan mengalirkan larutan salin ke dalam
kavum nasi menggunakan teknik irigasi maupun semprot. Teknik irigasi dilakukan
dengan memanfaatkan gaya gravitasi menggunakan tekanan tangan dengan
syringe atau neti pot, sedangkan teknik pencucian hidung dengan semprot

20

menggunakan kemasan botol semprot yang bertekanan positif rendah (Rabago et
al., 2009).
Tindakan pembedahan diindikasikan pada rinosinusitis kronik yang gagal
dengan terapi konservatif. Tindakan pembedahan dapat berupa irigasi sinus atau
bedah sinus endoskopi fungsional (Busquets, 2006).

Gambar 2.1. Bagan penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip berdasarkan
EPOS 2012 (Fokken et al., 2012).
E. Pengaruh Pemberian Larutan Salin pada Rinosinusitis Kronik
1. Larutan Salin Isotonik
Larutan salin telah banyak digunakan pada terapi rinosinusitis kronik. Jenis
larutan salin yang paling banyak digunakan adalah larutan salin isotonik 0,9%,
tetapi akhir-akhir ini semakin banyak penelitian yang meneliti penggunaan larutan
salin hipertonik pada penderita rinosinusitis kronik. Larutan salin isotonik adalah

21

suatu larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut yang sama (tekanan
osmotik yang sama) dengan konsentrasi didalam sel (Hernandez, 2007; Robago,
2009).
Cuci hidung dengan larutan salin isotonik terbukti efektif dalam
menurunkan gejala klinis rinosinusitis kronik. Mekanisme pasti terjadinya belum
diketahui, namun dikatakan cuci hidung dapat memperbaiki fungsi mukosa
sinonasal melalui beberapa efek fisiologis, yaitu; pencucian langsung koloni
mikroorganisme patogen dan zat iritan pada permukaan mukosa hidung,
pengurangan mediator inflamasi, pengurangan udem pada mukosa, pengurangan
sekresi musin, peningkatan transpor mukosilia dengan meningkatkan frekuensi
gerakan silia. Cuci hidung dengan larutan salin isotonik digunakan sebagai terapi
tambahan beberapa penyakit sinonasal (termasuk rinosinusitis akut, rinosinusitis
kronis, rinitis alergi, dan penyakit sinonasal lainnya) (Culig, 2010; Satdhabudha,
2012; Wei, et al., 2011).
2. Larutan Salin Hipertonik
Larutan hipertonik adalah larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut
yang lebih tinggi daripada didalam sel. Dikarenakan ada perbedaan konsentrasi
sehingga secara fisiologis larutan didalam sel akan bergerak ke luar sel untuk
menyeimbangkan konsentrasi zat didalam dan luar sel (Halperin, 2009).
Larutan salin hipertonik merupakan larutan alkali ringan. Suasana alkali
menyebabkan palut lendir berada dalam fase sol sehingga sekret bersifat kurang
viskus. Pemberian larutan salin hipertonik menyebabkan keadaan hiperosmolar di
saluran pernapasan sehingga terjadi pelepasan kalsium dan prostaglandin E2 dari

22

intraseluler, peningkatan availabilitas adenosine triphosphate pada aksonema silia
dan peningkatan ciliary beat. Larutan hipertonis juga memiliki efek mukolitik
pada konsentrasi NaCl 7%. Larutan salin hipertonik memiliki efek antibakteri
serta dapat mengurangi udema mukosa (Garavello, et al., 2003; Lee, et al., 2003).
Pengangkutan aktif terjadi pada penggunaan cairan hipertonik, dimana
substansi melewati membran sel dari daerah yang berkonsentrasi rendah ke daerah
yang berkonsentrasi tinggi (Hernandez, 2007).
Penambahan salin hipertonik pada epitel telah diuji secara eksperimental
hasilnya adalah terjadi peningkatan ASL kembali normal dalam waktu singkat.
Natrium dan Klorida memasuki sel sebagai respon pemberian salin hipertonik.
Menginduksi sejumlah konsentrasi Na dan Cl keluar dari sel melalui daerah
basolateral. Salin hipertonik yang menginduksi peningkatan konsentarasi NaCl
pada permukaan ASL menghasilkan perbedaan grandien sehingga air dapat
bergerak transepitelial dan pada arah yang berlawanan yang dibangkitkan oleh ion
transpor aktif, yaitu secara osmotik air berpindah melalui submukosa ke ASL.
Aliran air terjadi terus menerus selama kurang lebih 30-40 detik mengikuti aliran
hiperosmotik dan selama periode equilibrasi NaCl diserap dengan arah yang
berlawanan

melalui

transeluler

dan

paraseluler.

Terdapat

mekanisme

elektrochemical yang mendorong Cl- diserap melalui apikal membran. Sehingga
Cl- masuk melalui paraseluler dan transeluler melalui Cl cahnnel untuk
menyeimbangkan Na+ yang masuk melalui transeluler. Mekanisme ini berusaha
untuk menyeimbangkan tingkat absorbsi Cl- melalui transepitel dengan absorbsi

23

Na+ yang relatif tinggi. Sehingga penyerapan air menjadi lebih tinggi pada ASL
(Beule, 2010; Zhang, et al, 2011).

Gambar 2.2. Salin Hipertonik menarik air untuk rehidrasi ASL dan mengencerkan
mukus (dikutip dari Rogers, 2007)
Larutan hipertonik yang paling banyak digunakan adalah NaCl 3%. Untuk
penggunaan NaCl dengan konsentrasi yang lebih tinggi masih dihindari oleh
karena dapat menyebabkan cell injury (Hernandez, 2007).

F. Tehnik Cuci Hidung
Cuci hidung dilakukan dengan melakukan penyemprotan cairan ke bagian
superolateral kavum nasi dalam posisi duduk atau posisi berdiri, dengan kepala
condong ke kanan atau kekiri dengan sudut sekitar 45 0 sehingga satu lubang
hidung berada di atas lubang hidung sisi lain. Hidung dicuci dengan cara
mengalirkan cairan cuci hidung pada lubang hidung yang berada di atas sehingga
cairan keluar dari lubang hidung sisi lain. Pada saat proses cuci hidung
berlangsung, dianjurkan bernafas melalui mulut. Alat cuci hidung difiksasi pada
bagian superior dari lubang hidung. Buang napas perlahan melalui kedua lubang

24

hidung setelah proses pencucian selesai untuk membersihkan sisa-sisa cairan dan
(Miwa et al., 2007).

G. Visual Analog Scale
Rasa tidak nyaman adalah pengalaman manusia yang keberadaannya dapat
dikomunikasikan melalui deskripsi linguistik. Terdapat tiga dimensi yang bisa
dinilai yaitu sensorik-diskriminatif, afektif-motivasional dan kognitif-evaluatif.
Dimensi sensorik-diskriminatif meliputi aspek sensorik, termasuk intensitas dan
lokasi. Dimensi afektif-motivasional mencerminkan aspek emosi dan perlawanan
terhadap rasa tidak nyaman tersebut. Dimensi kognitif-evaluatif mencerminkan
pengertian terhadap arti dan konsekuensi rasa tidak nyaman tersebut termasuk
dampak terhadap kualitas hidup (Dauphin et al., 2000).
Visual Analog Scale yang paling sederhana adalah garis horisontal lurus
pada ukuran yang tertentu, misalnya 10 cm. Batas akhir didefinisikan sebagai
batas ekstrim limit dari parameter yang diukur. Pada beberapa penelitian orientasi
dari kiri kekanan, tetapi ada juga penelitian yang menggunakan VAS dengan
orientasi vertikal. Scott dan Huskisson melaporkan tidak ada perbedaan antara
VAS vertical dan horizontal pada survey yang melibatkan 100 subyek, 23
Beberapa penulis mengatakan bahwa penambahan deskripsi sepanjang garis dapat
mempengaruhi distribusi hasil. Bilangan seharusnya tidak ditempatkan pada VAS,
karena nomor pilihan seperti 5 dan 10 akan menarik pasien. VAS baris polos
(garis absolut atau ditandai) berjalan dari kiri ke kanan adalah skala yang tidak
bias dan direkomendasikan (Dauphin et al.,2000).

25

Menurut EPOS beratnya gejala rinosinusitis kronik dapat dibagi menjadi
ringan, sedang, berat, dimana derajat ringan gejala rinosinusitis bila skor ≤3,
derajat sedang skor >3−7, dan derajat berat skor >7−10 untuk menilai berat
ringannya gejala pasien diminta untuk memberikan jawaban pada skala VAS
tentang keluhan/gangguan yang dirasakannya (Fokken et al., 2012).

Gambar. 2.3. Penilaian berdasarkan VAS.
Kelebihan VAS yaitu pengukuran yang sederhana, murah, tidak tergantung
bahasa dan tersedia di semua fasilitas kesehatan. VAS sering digunakan untuk
mengukur intensitas dan frekuensi berbagai gejala khususnya nyeri. Kekurangan
VAS,

dipengaruhi

usia

dan

tingkat

pengetahuan

pasien

memfokuskan

perhatiannya pada gejala dapat mempengaruhi persepsi seseorang (Dauphin et al.,
2000).

H. Kerangka Berpikir
Faktor etiologi:
- Infeksi (bakteri, virus, jamur)
- Infeksi gigi rahang atas
- Alergi

Faktor Predisposisi:
- Faktor lingkungan (iritan, polutan)
- Malnutrisi
- Defisiensi imun
- Obstruksi mekanik (variasi anatomi)

26

Mukosa hidung dan sinus paranasal

Viskoelastisitas mukus

Gerakan silia

Edema mukosa

RINOSINUSITIS KRONIK
Tingkat keluhan gejala klinis yang dinilai dengan VAS :
- Hidung tersumbat
- Pilek
- Nyeri tekan di wajah - Penurunan penghidu
Larutan salin isotonik
Larutan salin hipertonik
-Viskoelastisitas mukus
- Gerakan silia
- Edema mukosa
Perbaikan tingkat keluhan gejala klinis yang dinilai dengan VAS :
- Hidung tersumbat
- Pilek
- Nyeri tekan di wajah - Penurunan penghidu

J. Hipotesis
Larutan salin hipertonik lebih efektif dalam memperbaiki tingkat keluhan
gejala klinis penderita rinosinusitis kronik dibandingkan larutan salin isotonik.

27

BAB III
METODE DAN PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi
Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD
Boyolali. Penelitian dilakukan pada bulan januari 2016.

28

B. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan desain
penelitian Randomized Control Trial pre dan post test design dengan double
blind, yaitu subjek dan peneliti tidak mengetahui siapa yang mendapatkan
perlakuan I dan II. Peneliti meminta bantuan kepada manager penelitian untuk
memberikan label A untuk larutan salin isotonik dan label B untuk larutan salin
hipertonik kemudian diberikan kepada subjek penelitian.
Penelitian menggunakan 2 kelompok sampel yaitu kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol. Adapun kedua kelompok sampel tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Kelompok perlakuan adalah penderita rinosinusitis yang mendapat terapi
Amoksilin klavulanat 625 mg 3 x 1 tablet, dekongestan pseudoephedrin 60
mg/triprolidin HCl 2,5 mg 3 x 1 tablet dan mukolitik ambroxol 3 x 30 mg,
kortikosteroid methylprednisolone 8 mg 3 x 1 tablet dan larutan salin
hipertonik NaCl 3%.
2. Kelompok kontrol adalah penderita rinosinusitis yang mendapat terapi
Amoksilin klavulanat 625 mg 3 x 1 tablet, dekongestan pseudoephedrin 60
mg/triprolidin HCl 2,5 mg 3 x 1 tablet dan mukolitik ambroxol 3 x 30 mg,
kortikosteroid methylprednisolone 8 mg 3 x 1 tablet dan larutan salin isotonik
NaCl 0.9%.

29

Pada penelitian ini dilakukan pre test yaitu pemeriksaan tingkat keluhan
gejala klinik awal dan post test yaitu pemeriksaan tingkat keluhan gejala klinik
akhir.

C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi target penelitian ini adalah penderita rinosinustis kronik.
Populasi terjangkau adalah penderita rinosinusitis kronik yang berobat di
Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL.
Kriteria Inklusi dan Eksklusi :
a. Kriteria Inklusi :
1.

Menderita rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS 2012.
Rinosnusitis kronik merupakan inflamasi pada hidung dan sinus
paranasal yang dikarakteristik oleh 2 atau lebih gejala, salah
satunya harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau
nasal discharge (anterior/posterior nasal drip), nyeri atau
tekanan pada wajah, penurunan atau menghilangnya daya
penciuman. Sedangkan berdasarkan tanda dari endoskopi
rinosinusitis merupakan polip hidung dan atau mukopurulen dari
meatus medius dan atau edema pada meatus medius dan
berdasarkan perubahan CT scan ditemukan mukosa yang berubah
diantara osteomeatal complex dan atau sinus.

2.

Berusia lebih dari 18 – 60 tahun

3.

Bersedia diikutsertakan dalam penelitian

30

b. Kriteria Eksklusi :
1. Pasien dengan obstruksi mekanik (massa tumor di hidung, septum
deviasi, konka bulosa, polip).
2. Pasien dengan riwayat operasi hidung dan sinus.
3. Tidak sedang dalam pemakaian obat tetes hidung jangka panjang.
4. Diabetes Mellitus.
5. Penderita immunocompromized (HIV).
6. Malnutrisi. Dinilai dari IMT adalah: ukuran antropometri massa
tubuh yang ditentukan dengan membagi berat badan dalam
kilogram dengan tinggi badan dalam meter kuadrat. Kriteria dibagi
menjadi underweight bila IMT 0,05). Pada kelompok yang
diberi larutan salin isotonik jumlah pasien laki-laki (55,0%) lebih banyak
dibandingkan jumlah pasien perempuan (45,0%), sedangkan pada kelompok
yang diberi larutan salin hipertonik jumlah pasien laki-laki (40,0%) lebih
sedikit dibandingkan jumlah pasien perempuan (60,0%). Meskipun begitu
pengujian statistik menunjukkan bahwa perbedaan distribusi tersebut tidak
signifikan (p=0,342; p>0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
karakteristik demografis pasien pada kedua kelompok eksperimen termasuk
homogen.

B. Deskripsi Skor VAS pada Kelompok yang Diberi Perlakuan Cuci Hidung
dengan Larutan Salin Isotonik

40

Ada 4 jenis gejala klinis yang dikeluhkan pasien yang diamati dalam
penelitian ini yaitu hidung tersumbat, pilek, nyeri wajah, dan gangguan
penghidu. Tingkat keluhan dinyatakan dengan skor VAS yang dideskripsikan
dengan nilai mean dan standar deviasi. Uji beda skor VAS antara sebelum dan
sesudah pemberian terapi cuci hidung dengan larutan salin isotonik dilakukan
dengan paired samples t test (apabila data memenuhi syarat normalitas) atau
wilcoxon signed rank test (apabila data tidak memenuhi syarat normalitas).
Deskripsi skor VAS sebelum dan sesudah pemberian terapi cuci hidung
dengan larutan salin isotonik dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Deskripsi Skor VAS Sebelum dan Sesudah Pemberian Terapi Cuci
Hidung dengan Larutan salin Isotonik
Gejala Klinis
Sebelum Terapi Sesudah Terapi
p1
Hidung tersumbat
< 0,001*
4,80  2,07
3,60  1,82
Pilek

4,35  2,35

2,85  1,95

< 0,001*

Nyeri wajah

4,20  2,28

3,30  2,03

< 0,001*

Gangguan penghidu

2,05  2,33

1,60  1,79

0,007*

Keterangan:

1

Uji beda pada keempat gejala klinis dilakukan dengan wilcoxon signed rank
test karena data tidak memenuhi syarat normalitas berdasarkan uji shapirowilk (uji normalitas direkomendasikan untuk sampel < 50).

* p < 0,05 artinya perbedaan signifikan.

Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa skor VAS keempat gejala
klinis pada kelompok pasien yang diberi perlakuan cuci hidung dengan larutan
isotonik mengalami penurunan dari sebelum ke sesudah terapi. Rata-rata skor
VAS gejala hidung tersumbat menurun dari 4,80 menjadi 3,60 dan penurunan
ini secara statistik dinyatakan signifikan (p < 0,001). Rata-rata skor VAS
gejala pilek menuru

Dokumen yang terkait

Analisis perbedaan pendapatan bersih pedagang pracangan Nasi dan Daging di Pasar Sumbersuko Kec. Curahdami Kab. Bondowoso

0 5 45

Analisis perbedaan pendapatan budi daya Mina Padi dan budi daya tanaman padi di Desa Glagahwero Kecamatan Panti Kabupaten Jember -

0 10 55

Analisis perbedaan pendapatan dan efisiensi usahatani kedelai insus dan non insus di kecamatan Jenggawah kabupaten Jember tahun 2001

1 8 70

Analisis perbedaan pendapatan dan efisiensi usaha tani sistem mira padi dan sistem tanah padi biasa di desa Plalangan kecamatan Kalisat kabupaten jember Musim tanam 1909/2000

0 6 73

Analisis perbedaan kepuasan kerja, motivasi dan prospek karier auditor berdasarkan pespektif gender : studi empiris auditor eksterual di kap jakarta

0 20 119

Analisis persepsi perbandingan perbandingan efektivitas iklan TV: Yamaha MOI Honda Vario: studi kasus FEB UIN Syarif Hidayatullah

1 27 148

Perbedaan prestasi siswa dalam pembelajaran pendidikan Agama Islam berdasarkan perbedaan latar belakang sekolah (studi kasus di SMA Darussalam Ciputat)

3 28 72

Korelasi efektivitas kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru di SMP Riyadhul Jannah Ciseeng Bogor

3 36 89

Uji efektivitas ekstrak lengkuas merah (Alpina purpurata K.Schum) dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan bakteri Escherichia coli dengan metode disc diffusion.

4 24 70

Pengaruh peran dan kinerja auditor internal terhadap efektivitas sistem pengendalian internal : studi empiris perguruan tinggi badan layanan umum di wilayah Provinsi DKI Jakarta dan Banten

1 18 0