Tahap perkembangan buah kacang (2)

A. Definisi Masa Dewasa
1. Sisi Biologis.
Suatu periode dalam kehidupan individu yang ditandai dengan pencapaian
kematangan tubuh secara optimal dan kesiapan bereproduksi (berketurunan)
2. Sisi psikologis.
Periode dalam kehidupan individu yang ditandai dengan ciri-ciri kedewasaan atau
kematangan, diantaranya : emotional stability, sense of reality, tidak menyalahkan
orang lain jika menghadapi kegagalan, toleransi dan optimistis.
3. Sisi pedagogis.
Suatu periode dalam kehidupan yang ditandai dengan :


Sense of responsibility.



Prilaku normatif (nilai-nilai agama)



Memiliki pekerjaan untuk penghidupan.




Berpartisipasi aktif dalam bermasyarakat.

B. Periode Perkembangan Masa Dewasa.
Masa dewasa dibagi menjadi 3 periode (Hurlock, 1968), yaitu:
1. Masa Dewasa Awal (Early Adulthood = 18/20 tahun – 40 tahun).


Secara biologis merupakan masa puncak perumbuhan fisik yang prima dan
usia tersehat dari populasi manusia secara keseluruhan (healthiest people in
population) karena didukung oleh kebiasaan-kebiasaan positif (pola hidup sehat).



Secara psikologis, cukup banyak yang kurang mampu mencapai kematangan
akibat banyaknya masalah dihadapi dan tidak mampu diatasi baik sebelum
maupun setelah menikah, misalnya: mencari pekerjaan, jodoh, belum siap
menikah, masalah anak, keharmonisan keluarga, dll.




Tugas-tugas perkembangan (development task) pada usia ini meliputi :
pengamalan ajaran agama, memasuki dunia kerja, memilih pasangan hidup,
memasuki pernikahan, belajar hidup berkeluarga, merawat dan mendidik anak,
mengelola rumah tanggga, memperoleh karier yang baik, berperan dalam
masyarakat, mencari kelompok sosial yang menyenangkan.

2. Masa Dewasa Madya/Setengah Baya (Midle Age = 40 – 60 tahun).



Aspek fisik sudah mulai agak melemah, termasuk fungsi-fungsi alat indra, dan
mengalami sakit dengan penyakit tertentu yang belum pernah dialami (rematik,
asam urat, dll).



Tugas-tugas perkembangan meliputi : memantapkan pengamalan ajaran

agama, mencapai tanggung jawab sosial sebagai warga negara, membantu anak
remaja belajar dewasa, menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan
pada aspek fisik, mencapai dan mempertahankan prestasi karier, memantapkan
peran-perannya sebagai orang dewasa.

3. Masa Dewasa Lanjut / Masa Tua (Old Age = 60 – Mati).


Ditandai dengan semakin melemahnya kemampuan fisik dan psikis
(pendengaran, penglihatan, daya ingat, cara berpikir dan interaksi sosial).



Tugas-tugas perkembangan meliputi : Lebih memantapkan diri dalam
pengamalan

ajaran-ajaran

agama. Mampu


menyesuaikan

diri

dengan

:

menurunnya kemampuan fisik dan kesehatan, masa pensiun, berkurangnya
penghasilan dan kematian pasangan hidup. Membentuk hubungan dengan orang
seusia dan memantapkan hubungan dengan anggota keluarga.


Faktor-faktor penyebab kegagalan melaksanakan tugas perkembangan,
yaitu :
1. tidak adanya bimbingan untuk memahami dan menguasai tugas,
2. tidak ada motivasi menuju kedewasaan.
3. kesehatan yang buruk,
4. cacat tubuh,
5. tingkat kecerdasan rendah.




Prilaku menyimpang (maladjustment) akibat tidak mampu menyelesaikan
tugas-tugas perkembangan (terutama aspek agama) adalah : berzina, konsumsi
miras dan naza, menelantarkan keluarga, sering ke hiburan malam, biang keladi
kerusuhan (preman / provokator), melecehkan norma dalam masyarakat.

Dari uraian diatas, salah satu tugas perkembangan masa dewasa adalah
pemantapan kesadaran beragama. Terdapat asumsi bahwa semakin bertambah usia
seseorang maka semakin mantap kesadaran beragamanya. Namun kenyataannya,
tidak sedikit orang dewasa dengan perilaku yang bertentangan dengan nilai agama.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perjalanan kehidupan beragama seseorang
adalah karena keragaman-keragaman :



pendidikan agama semasa kecil (menerima, tidak menerima),




pengalaman menerapkan nilai-nilai agama (intensif, jarang, tidak pernah),



corak pergaulan dengan teman kerja (taat beragama, melecehkan),



sikap terhadap permasalahan hidup yang dihadapi (sabar, frustasi, depresi)



orientasi hidup (materialistis-hedonis, moralis-agamis).

C. Karakteristik Perkembangan Mahasiswa.
1. Usia Mahasiswa sebagai Fase Usia Dewasa awal.


Kenniston (Santrock dalam Chusaini, 1995: 73).


Masa dewasa awal adalah masa muda yang merupakan periode transisi antara
masa dewasa dan masa remaja yang merupakan masa perpanjangan kondisi
ekonomi dan pribadi sementara, hal ini ditunjukkan oleh kemandirian ekonomi dan
kemandirian membuat keputusan.


Lerner (1983 : 554).

Fase dewasa awal adalah suatu fase dalam siklus kehidupan yang berbeda dengan
fase-fase sebelum dan sesudahnya, karena merupakan fase usia untuk membuat
suatu komitmen pada diri individu.


Erikson (1959, 1963).

Fase usia dewasa awal merupakan kebutuhan untuk membuat komitmen dengan
menciptakan suatu hubungan interpersonal yang erat dan stabil serta mampu
mengaktualisasikan diri seutuhnya untuk mempertahankan hubungan tersebut.



Ciri-ciri umum perkembangan fase usia dewasa awal (Hurlock, 1991: 247252) :

1.

Masa pengaturan (mulai menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa),

2.

Usia reproduktif (masa produktif memiliki keturunan),

3.

Masa bermasalah (muncul masalah-masalah baru seperti pernikahan),

4.

Masa ketegangan emosional (pada wilayah baru dgn permasalahan baru),

5.


Masa keterasingan sosial (memasuki dunia kerja dan kehidupan keluarga),

6.

Masa komitmen (menentukan pola hidup dan tanggung jawab baru),

7.

Masa ketergantungan (masih tergantung pada pihak lain),

8.

Masa perubahan nilai (orang dewasa awal ingin diterima oleh anggota
kelompok orang dewasa),

9.

Masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru,


10.

Masa kreatif (masa dewasa awal adalah puncak kreatifitas).



Fase dewasa awal jika dikaitkan dengan usia mahasiswa pada fase ini
menunjukkan bahwa peran, tugas dan tanggung jawab mahasiswa bukan hanya
pencapaian keberhasilan akademik, melainkan mampu menunjukkan perilaku dan
pribadi untuk mengeksplorasi berbagai gaya hidup dan nilai-nilai secara cerdas
dan mandiri, yang menunjukkan penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan
baru dan harapan sosial yang baru sebagai orang dewasa.
2. Aspek-aspek Perkembangan Dewasa Awal.

Aspek-aspek perkembangan yang dihadapi usia mahasiswa sebagai fase usia
dewasa awal (Santrock, 1995 : 91-100) adalah:
1.

Perkembangan fisik. Pada fase dewasa awal adalah puncak perkembangan
fisik dan juga penurunan perkembangan individu secara fisik.


2.

Perkembangan

seksualitas. Terjadi

sikap

dan

prilaku

seksual

secara

heteroseksual dan homoseksual.
3.

Perkembangan

kogitif. Menggambarkan

efisiensi

dalam

memperoleh

informasi yang baru, berubah dari mencari pengetahuan menuju menerapkan
pengetahuan itu (Schaise, 1997).
4.

Perkembangan karir. Suatu individu ketika memulai dunia kerja yang baru
harus menyesuaikan diri dengan peran yang baru dan memenuhi tuntutan karir
(Heise, 1991 ; Smither, 1998).

5.

Perkembangan sosio-emosional. Menggambarkan hubungan sosial individu
dengan lingkungannya yang terdiri dari 3 fase yaitu fase pertama (menjadi
dewasa dan hidup mandiri), fase kedua (pasangan baru yang membentuk
keluarga baru (Goldrick, 1989)), dan fase ketiga (menjadi keluarga sebagai orang
tua dan memiliki anak).

3. Tugas-Tugas Perkembangan Dewasa Awal.
Menurut Havigurst (1961:259-265),
adalah:
a. Memilih Pasangan Hidup.

tugas-tugas

perkembangan

dewasa

awal



Calon pasangan mempersiapkan diri untuk memilih dan menemukan yang
cocok, selaras dengan kepribadian masing-masing dan juga menyesuaikan
dengan kondisi dan latar belakang kehidupan kedua calon keluarga masingmasing.



Keputusan memilih sampai menentukan pasangan hidup adalah tanggung
jawab baik pihak laki-laki maupun perempuan dengan pertimbangan dari pihak
orang tua, keluarga dan bantuan pihak-pihak lain yang dipandang mampu.



Menurut Norman (1992) :

– Pemenuhan kebutuhan merupakan faktor utama dalam memilih pasangan
pernikahan, karena kebutuhan dan sifat individu dapat berlainan satu sama lain,
beberapa orang akan lebih memilih pasangan yang melengkapi dirinya.
– Pernikahan yang dilandasi kebutuhan saling melengkapi terjadi akibat daya tarik
lawan jenis (opposites attract). Akibatnya ada individu dengan peran/figur dominan
(memberikan simpati, cinta dan perlindungan) terhadap pasangannya yang bersifat
patuh atau submissive (memperoleh simpati, cinta dan perlindungan). Peran
dominan lazimnya oleh suami dan peran isti bersifat submissive, apabila yang terjadi
kebalikannya maka akan terjadi konflik sosial.
– Dalam suatu pasangan, sifat saling melengkapi tidak menuntut adanya kompromi
antarindividu

sebaliknya

individu

yang

karakternya

bertentangan

dengan

pasangannya harus mengadakan kompromi dengan pasangannya.
– Kebudayaan sangat berpengaruh dalam penentuan pasangan hidup, dimana
definisi kebudayaan melahirkan istilah kriteria ideal dan standar ideal seleksi calon
pasangan. Pertama menetapkan kriteria ideal bagi calon pasangan, jika tidak
terpenuhi maka ditetapkan standar ideal pada individu yang dicintai.
b. Belajar Hidup Dengan Pasangan Nikah.
Pada dasarnya adalah proses menyesuaikan dua kehidupan individu secara
bersama-sama dengan cara belajar menyatakan dan mengontrol perasaan masingmasing pasangan seperti kemarahan, kebencian, kebahagiaan, kasih sayang,
kebutuhan biologis, sehingga seseorang hidup dengan hangat dan harmonis.
Perbedaan latar belakang orang tua dan keluarga harus diperhatikan dalam proses

penyesuaian dan pembelajaran lebih lanjut dalam menempuh keluarga bahagian
dan sejahtera.
c. Memulai Hidup Berkeluarga.


Pasangan baru yang memulai kehidupan berkeluarga akan memperoleh
banyak pengalaman baru yang penting bagi pasangan dan kehidupan keluarga,
seperti hubungan seksual pertama, hamil pertama, punya anak pertama, konflik
pertama dan interaksi sosial dengan keluarga pasangan.



Dalam tugas perkembangan ini, Havigurst menguraikannya dari berbagai
sudut pandang sebagai berikut:

1. Sifat tugas.
Memiliki anak pertama dengan sukses merupakan manifestasi keberhasilan
pernikahan dan cenderung ukuran kesuksesan hadirnya anak berikutnya.
2. Dasar biologis.
Melahirkan anak adalah suatu proses biologis, terlebih tugas melahirkan anak
pertama merupakan suatu proses biologis dan psikologis.
3. Dasar psikologis.
Secara psikologis, pria dan wanita memiliki suatu tugas untuk menjadi ayah dan ibu.
Tugas ini akan sulit bagi wanita yang takut atau benci ide mengenai kehamilan,
sebaliknya akan mudah bagi wanita dengan sosok keibuan.
4. Dasar budaya.
Masalah kehamilan pertama merupakan masalah yang muncul secara pandangan
budaya bagi kelompok sosial ekonomi kelas menengah dan kelas bawah dari suatu
kelompok budaya tertentu.
5. Implikasi sosial dan pendidikan.

Keberhasilan pada aspek ini memerlukan jenis pengetahuan tertentu bagi suami dan
istri, sikap serta peran dan tanggung jawab yang sepenuhnya dalam kehidupan
berkeluarga serta memiliki keturunan.
d. Memelihara anak.
Hadirnya anak menjadikan tugas, peran dan tanggung jawab yang lebih besar bagi
pasangan suami istri karena mereka tidak hanya memikirkan lagi kehidupan mereka
sendiri, tetapi juga belajar memenuhi kebutuhan anak sehingga anak mencapai
perkembangan secara optimal.
e. Mengelola rumah tangga.
Kehidupan keluarga dibangun dengan kesiapan keseluruhan baik fisik dan mental
yang bergantung pada kesiapan dan keberhasilan dalam mengelola rumah tangga
sesuai peran, tugas dan tanggung jawab masing-masing.
f. Mulai bekerja.
Dalam menghadapi tugas perkembangan ini, pria dewasa awal sering menunda
mencari calon pasangan hidup sebelum memperoleh pekerjaan. Berbeda dengan
wanita dewasa awal yang cenderung belum aktif menghadapi tuntutan pekerjaan.
g. Bertanggung jawab sebagai warga negara.
Individu dewasa awal sebaiknya mulai menunjukkan rasa tanggung jawab bagi
kesejahteraan baik bagi keluarga, tetangga, kelompok masyarakat, sebagai warga
negara atau organisasi politik.
h. Menemukan kelompok sosial yang serasi.
Pernikahan menunjukkan tujuan dan langkah awal menemukan kelompok sosial
yang serasi. Bersama-sama sebagai pasangan mencari teman baru, orang-orang
seumur mereka dan dengan orang dimana mereka dapat mengembangkan suatu
kehidupan sosial jenis baru.

D. Periode Dewasa Awal Sebagai Masa Persiapan Pernikahan
1. Konsep Dasar Pernikahan.


Terdapat beberapa definisi pernikahan yaitu :

– Pernikahan adalah suatu ikatan yang terjalin diantara laki-laki dan perempuan
yang telah memiliki komitmen untuk saling menyayangi, mengasihi, dan melindungi
berdasarkan syariat agama.
– Menurut Sigelman & Shaffer (1995 : 401), pernikahan adalah suatu transisi
kehidupan yang mencakup pengambilan peran baru (sebagai suami atau istri) dan
menyesuaikan dengan kehidupan sebagai pasangan.
– Menurut McGoldrick (1989), pernikahan adalah adanya keterikatan yang sah
antara dua jenis kelamin yang berbeda sebagai pasangan baru (new couple), dan
berasal dari keluarga serta latar belakang kehidupan bahkan kebudayaan yang
berbeda.
– Menurut Norman (1992), pernikahan adalah ikatan terdekat yang terjadi pada dua
orang yang disiapkan untuk kebutuhan hidup bersama menuju cita-cita yang dapat
tercapai, keharmonisan yang dipertahankan, dan perintah Tuhan yang dijalankan.


Berdasarkan beberapa definisi diatas, disimpulkan bahwa pernikahan adalah
ikatan yang terjalin secara sah antara laki-laki dan perempuan dalam menjalani
peran hidup yang baru secara bersama menuju harapan dan cita-cita sesuai
dengan perintah dan ajaran agama.



Memahami dan menyikapi secara positif makna dan hikmah pernikahan
adalah bekal kesiapan diri untuk menikah.dengan tujuan agar masing-masing
pasangan dapat mengetahui, memahami, serta menyikapi nilai-nilai pernikahan
dalam membangun kehidupan keluarga yang serasi dan sejahtera.



Ciri-ciri usia dewasa awal yang memiliki sikap positif terhadap pernikahan
adalah :
1. Mau mempelajari hal ihwal pernikahan.
2. Meyakini pernikahan adalah jalan mensahkan hubungan seks pria-wanita.
3. Meyakini pernikahan merupakan ajaran agama yang sakral (suci).
4. Mau mempersiapkan diri menempuh jenjang pernikahan.
2. Syarat Pernikahan.



Individu harus memahami hikmah pernikahan dan memiliki sikap positif
terhadap pernikahan. Selain itu juga harus memahami persyaratan yang
diperlukan, yaitu :
1. Kematangan fisik (wanita setelah usia 18-20 tahun dan pria usia 25
tahun).
2. Kesiapan materi (suami wajib memberi nafkah kepada istri).
3. Kematangan psikis (pengendalian diri, tidak mudah tersinggung, tidak
kekanak-kanakan,

toleransi,

hormat

dan

menghargai

orang

lain,

memahami karakteristik pribadi istri/suami).
4. Kematangan moral-spiritual (memahami dan terampil dalam masalah
agama, melaksanakan ajaran agama, dapat mengajarkan agama kepada
anak).


Menurut Papalia & Olds, dalam buku Human Development (1995), bahwa
dari segi kesiapan fisik, usia terbaik untuk menikah bagi perempuan adalah 19-25
tahun. Kesiapan usia sangat berpengaruh dalam memulai kehidupan berkeluarga
dan sebagai pengasuh anak pertama (the first time parenting).
3. Beberapa Kondisi yang Mempengaruhi Kesulitan Penyesuaian Pernikahan.

a. Persiapan pernikahan yang terbatas. Ini mengakibatkan terbatasnya persiapan
pengetahuan, pemahaman, dan ketrampilan-ketrampilan (komunikasi, berelasi,
membesarkan anak, bergabung dengan keluarga, mengelola keuangan) yang
bermanfaat untuk kehidupan keluarga.
b. Perbedaan konsep tentang peran atau tugas dalam pernikahan. Perbedaan
konsep akan memicu konflik dalam pernikahan dan cenderung terjadi pada
pasangan yang berbeda agama, budaya, kelas sosial dan pola asuh.
c. Cepat menikah. Pernikahan yang terlalu cepat misalnya ketika pendidikan belum
selesai atau ketika ekonomi belum independent akan menghilangkan kesempatan
memperoleh pengalaman yang bermanfaat bagi pernikahan, bahkan akan
memunculkan

masalah

(suka

marah,

cepat

cemburu)

yang

menghalangi

penyesuaian pernikahan.
d. Memiliki konsep-konsep yang tidak realistik tentang pernikahan. Orang dewasa
yang menghabiskan hidupnya di perguruan tinggi, tanpa upaya memperoleh
pengetahuan, pemahaman dan pengalaman tentang kehidupan berkeluarga
cenderung memiliki konsep yang tidak realistik tentang pernikahan dan akibatnya

akan mempersulit dirinya dalam melakukan penyesuaian dalam pernikahan dan
kehidupan berkeluarga.
e. Pernikahan campur. Pernikahan lintas budaya dan lintas agama biasanya
mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian dengan orang tua dan keluarga
pasangan masing-masing.
f. Masa perkenalan yang singkat. Akibatnya pasangan kurang cukup mengenal dan
memahami pribadi masing-masing terutama memahami hambatan-hambatan yang
berpotensi menjadi menjadi masalah dalam relasi mereka.
g. Konsep romantik tentang pernikahan. Banyak orang dewasa masih memiliki
konsep romantik seperti masa remaja yang sering tidak realistik.
h. Tidak memiliki identitas. Jika seorang pria merasa diperlakukan istri sebagaimana
istri memperlakukan anggota keluarga lain, teman dan rekan kerja, atau seorang istri
merasa mendapat penghormatan sebagai ibu sama dengan perhormatan yang
diberikan suami kepada ibu keluarga lain, maka mereka akan kehilangan identitas
sebagai individu dan sulit melakukan penyesuaian dalam pernikahan.
Hurlock (1980:292) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
pasangan dalam melakukan penyesuaian dalam pernikahan sebagai berikut :
1.

Konsep pasangan yang ideal. Seorang pria atau wanita dalam memilih
pasangan dibimbing oleh konsep pasangan ideal dalam pikirannya.

2.

Pemenuhan kebutuhan. Penyesuaian dalam pernikahan semakin mudah
ketika kebutuhan masing-masing suami-istri terpenuhi.

3.

Kesamaan latar belakang. Suami-istri yang memiliki latar belakang yang
sama terutama kesamaan pola asuh dalam keluarga, budaya, dan agama akan
memudahkan dalam melakukan penyesuaian.

4.

Minat dan kepentingan bersama. Keinginan dan harapan-harapan yang sama
sebuah pasangan akan membawa kearah penyesuaian yang lebih baik.

5.

Kesamaan nilai-nilai. Kesamaan makna dan nilai-nilai yang dimiliki pasangan
dapat memudahkan mereka dalam melakukan penyesuaian.

6.

Konsep peran. Suami dan istri yang memiliki konsep yang sama tentang
peran, tugas, tanggung jawab, akan lebih mudah dalam melakukan penyesuaian.

7.

Perubahan dalam pola hidup. Penyesuaian memiliki makna perubahan
terhadap pola hidup, mengubah kebiasaan, mengubah hubungan, mengubah
kegiatan. Perubahan pola hidup selalu diikuti oleh ketegangan-ketegangan
emosional yang dapat berkembang menjadi suatu masalah yang mengganggu.