Peranan keluarga terhadap perkembangan kecerdasan emosional anak

(1)

Dalam penulisan skripsi ini penulis memilih judul “Peranan Keluarga Terhadap Perkembangan Kecerdasan Emosional Anak”. Keluarga merupakan kesatuan hidup bersama yang pertama dikenal oleh anak. Oleh karena itu keluarga disebut sebagai ”Primary Community”, yaitu sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama.

Melalui berbagai penelitian dan kajian, diketahui bahwa bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Fungsi utama keluarga adalah sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasaan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Berbagai problema akhlak atau emosional yang dihadapi para pemuda, seperti narkotika, penyimpangan seksual, tidak disiplin, lari dari rumah, egois dan berbagai problema lainnya secara langsung bersumber dari pendidikan yang salah dari kedua orang tuanya atau orang tua yang tidak peduli terhadap pendidikan anak-anaknya.

Dari kecil anak dipelihara dan dibesarkan oleh dan dalam keluarga. Segala sesuatu yang ada dalam keluarga, baik yang berupa benda-benda dan orang-orang serta peraturan-peraturan dan adat istiadat yang berlaku dalam keluarga itu sangat berpengaruh dan menentukan corak perkembangan anak-anak. Bagaimana cara mendidik yang berlaku dalam keluarga itu, demikianlah cara anak itu mereaksi terhadap lingkungannya.

Keluarga sebagai suatu faktor dasar dalam pembentukan kepribadian anak dimana anak akan menyerap seluruh pengalaman yang ditangkap inderanya tanpa seleksi, pengalaman itu tidak akan hilang dan akan membentuk pola kepribadian.


(2)

Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia hingga hari pembalasan.

Salah satu sarat untuk menyelesaikan studi dan mencapai gelar sarjana Strata Satu (S-1) di Perguruan Tinggi termasuk di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta adalah membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Dalam rangka itulah penulis membuat skripsi ini dengan judul :”PERANAN KELUARGA TERHADAP PERKEMBANGAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK”.

Selama pembuatan skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dihadapi dan dialami penulis, baik yang menyangkut segi pengaturan waktu, pengumpulan bahan (data) maupun masalah pembiayaan dan lain sebagainya. Namun, berkat hidayah,’inayah Allah SWT dan dengan usaha yang sungguh-sungguh disertai dorongan dan bantuan berbagai pihak, maka segala kesulitan dan hambatan itu dapatdiatasi dengan sebaik-baiknya.Oleh karena itu, penulis merasa wajib memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, Yang Maha Agung dan mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga serta menyampaikan penghargaan yang setinggi-tigginya kepada semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya skripsi ini; terutama kepada Dr.Sururin, MA. yang telah membimbing dan mengarahkan serta memberikan petunjuk-petunjuk dan nasihat-nasihat yang berharga kepada penulis.

Selanjutnya, ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan pula kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Ketua dan Sekretaris Jurusan PAI, FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(3)

4. Ibu Dr. Sururin, M.A. selaku dosen pembimbing yang dengan bimbingan dan kesabarannya meluangkan waktu dan pikiran, perhatian serta arahan untuk membimbing skripsi ini

5. Bapak Dr. Abdul Fattah Wibisono, M.A. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama perkuliahan berlangsung

6. Pimpinan dan seluruh staff administrasi Perpustakaan Utama, Perpustakaan FITK yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk meluangkan waktu dengan membaca dan meminjamkan buku-buku kepada penulis yang digunakan sebagai referensi yang berkaitan dengan skripsi ini

7. Ayah ibuku tercinta dan tersayang, yang selalu mencurahkan doa, perhatian dan kasih sayangnya setiap saat

8. Teman-teman PAI se-angkatan (2006), khususnya kelas A dan SEJARAH yang telah memberikan semangat, masukan dan saran bagi penulis sehingga selesainya skripsi ini. Pastikan tali silaturahim kita tetap terjalin sampai akhir hayat

9. Teman-teman yang telah meminjamkan referensi-referensi yang terkait dengan skripsi ini, diantaranya Rahmah Khairunnisa, Railla Rafika, Zam-Zam Firdaus, Kholidatunnur “Younk”. Sukses selalu untuk kalian.

10.Kakak-kakak senior. Kak Miratul Hayati yang telah membimbing proposal skripsi saya secara non-teknis, perhatiannya sangat berarti untuk penulis. Kak Khairona Agustina yang telah meminjamkan banyak referensi untuk perkuliahan

11.Bapak dan ibu jamal selaku pemilik kost. Terima kasih atas sarana dan pra-sarananya sehingga memudahkan penulis untuk berangkat dan pulang dari kampus tanpa harus jauh-jauh ke rumah


(4)

14.Dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu penulisan skripsi ini.

Hanya harapan dan do’a semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak yang telah berjasa dalam membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya kepada Allah jualah penulis serahkan segalanya dalam mengharapkan keridhoan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi masyarakat umumnya dan bagi penulis, khususnya keluarga, anak dan keturunan penulis kelak. Amien

Jakarta, 03 Agustus 2010

Penulis


(5)

ABSTRAK ... ...i

KATA PENGANTAR ... ..ii

DAFTAR ISI ... ..v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...………….……….……..1

B. Identifikasi Masalah………...………..6

C. Pembatasan Masalah………...……….7

D. Perumusan Masalah………...………….……...7

E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian ………...…….…………7

2. Manfaat Penelitian………...………8

F. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian……….…………...………8

2. Sumber Data……….………..……….………8

3. Metode Pengolahan Data……….………9

4. Metode Penulisan………...10

5. Sistematika Penulisan……….10

BAB II KELUARGA A. Pengertian Keluarga……….………...…………...12

B. Tujuan Berkeluarga……….…………...………16

C. Fungsi dan Peranan Keluarga 1. Fungsi Keluarga………...………...….………..16

2. Peranan Keluarga………...………19

3. Peranan Keluarga Bagi Pendidikan Anak…………...…………...20


(6)

B. Ranah Kecerdasan Emosional Menurut

Goleman……….………....….….…..26 C. Ranah Kecerdasan Emosional Menurut Howard

Gardner………..………...….…….31 D. Perbandingan Kecerdasan Emosional Menurut Daniel Goleman dan

Howard Gardner; Sebuah Analisis………..……..….32 E. Kecerdasan Emosional Melengkapi Kecerdasan Intelektual…………...33 F. Fungsi Emosi Sebagai Pengembangan Intelektual………35

BAB IV KETERKAITAN ANTARA KELUARGA DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK

A. Keluarga Sebagai Wahana Pertama dan Utama Pendidikan Karakter

Anak………..………...…..………..39 B. Aspek-Aspek Penting dalam Pendidikan Karakter Anak……..…...……41 C. Pola Asuh Menentukan Keberhasilan Pendidikan Karakter Anak dalam

Keluarga ………..………..…………42 D. Pengaruh Lingkungan Keluarga Terhadap Pendidikan Anak-Anak……...47

BAB V UPAYA-UPAYA UNTUK MENGEMBANGKAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK

A. Peran Orang Tua………50

B. Peran Lingkungan Keluarga………..64

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan……….….………..68

B. Saran……….….………68


(7)

(8)

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu Pendidikan Agama Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Jurusan Pendidikan Agama Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Jurusan Pendidikan Agama Islam pada fakultas Ilmu Tarbiiyah dan Keguruan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Agustus 2010

Aditya Ramadhan NIM: 106011000028


(9)

ix ix


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keluarga merupakan kesatuan hidup bersama yang pertama dikenal oleh anak. Oleh karena itu keluarga disebut sebagai “Primary Community”, yaitu sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama.1

Keluarga disebut sebagai lingkungan pertama karena dalam keluarga inilah anak pertama kalinya mendapatkan pendidikan dan bimbingan. Dan keluarga disebut sebagai lingkungan pendidikan yang utama karena sebagian besar hidup anak berada dalam keluarga, maka pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak ialah di dalam keluarga.

Tetapi banyak orang tua yang tidak menyadari hal ini. Para orang tua menyerahkan pendidikan anak sepenuhnya kepada sekolah atau pesantren. Mereka menganggap lembaga-lembaga itu seperti bengkel ketok magic yang dapat menyulap anak bengal menjadi insan shaleh dalam hitungan jam. Orang tua banyak yang beranggapan bahwa anak penyejuk mata dan jiwa itu seperti

fast food yang dapat dipesan antar, yang penting orang tua punya uang untuk itu. Sebagian orang tua lupa, bahwa anak penyejuk mata dan jiwa itu adalah hasil

       


(11)

dari sebuah proses pembentukan yang berkesinambungan. Jika di sekolah anak-anak diajari nilai-nilai Islam, maka setiba di rumah seringkali nilai-nilai itu dilunturkan oleh kenyataan bahwa orang tuannya sendiri tidak shalat dan tidak menunjukkan nilai-nilai Islam.2 Orang tua zaman sekarang yang pada umumnya pasangan suami-istri yang berkarier atau bekerja dari pagi hingga malam, beranggapan bahwa untuk mengembangkan pribadi anak dengan mendidik dan mengajar serta memperbaiki dan memperhalus tingkah laku anak didik ialah tugas utama guru atau ustadz di sekolah maupun pesantren.

Hal itu tidaklah salah, tetapi perlu diluruskan. Sebelum menyerahkan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah, orang tua harus “membentuk karakter” anak di dalam keluarga. Orang tua harus menanamkan nilai-nilai agama, perilaku terpuji, kedisiplinan dan bagaimana bersikap terhadap orang yang lebih tua atau guru dan teman sebaya. Di samping memberikan pengajaran, yang paling terpenting ialah memberikan keteladanan. Percuma kalau anak diajarkan akhlak terpuji tetapi orang tuanya berakhlak buruk, tak akan berpengaruh jika anak diajarkan setiap pagi harus bangun pukul setengah lima tetapi orang tuanya tidak pernah sholat shubuh bahkan kesiangan. Teladan ini melahirkan gejala identifikasi positif, yakni penyamaan diri dengan orang yang ditiru dan hal ini penting sekali dalam rangka pembentukan kepribadian.3 Pengaruh orang tua sangat penting bagi anak. Pengkhianatannya atas amanat akan menjadi kejahatan yang panjang. Seorang anak datang ke dunia dengan hati yang bersih dan fitrahnya selalu menghadap kepada agama yang benar. Kemudian orang tuanya melakukan tindak pengrusakan terhadap fitrahnya dengan mencabut benih-benih iman dari hatinya dan menanamkan penyakit dan kedengkian di dalam jiwanya.4

Imam Ibnul Qayim berkata, “Berapa banyak orang yang mencelakakan anaknya di dunia dan akhirat dengan menyia-nyiakan pendidikannya dan

       

2 Muhammad Rasyid Dimas, 25 

Cara Mempengaruhi Jiwa&Akal Anak,( Pustaka Al‐ Kautsar : Jakarta,2006), hal. X 

3 Hasbullah, Dasar

Dasar Ilmu Pendidikan, (PT Raja Grafindo Persada : Jakarta,2006),   hal. 42 

4 Dr.Anas Ahmad Karzun, Anak 


(12)

membantunya mengikuti syahwat. Namun demikian, mereka tetap berpikir bahwa dirinya telah memuliakan anaknya. Padahal dia telah merendahkannya. Mereka berpikir bahwa dirinya telah menyayanginya. Padahal mereka telah berbuat zalim kepadanya. Oleh karena itu, mereka tidak akan mendapatkan manfaat dari anaknya, baik di dunia maupun di akhirat. Jika engkau menemukan kerusakan pada anak-anak, maka sebagian besar penyebabnya adalah orang tua.”5

Salah satu fungsi keluarga ialah fungsi sosialisasi, yaitu fungsi keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam keluarga, anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadiannya.6

Tapi saat ini, banyak orang tua yang cukup puas dan senang ketika anak-anaknya mendapat nilai akademik yang bagus, tetapi tak cukup peduli terhadap sikap dan tingkah laku anak di luar rumah. Apakah anak sudah mengaplikasikan nilai-nilai kejujuran, konsisten, memiliki komitmen, dapat menjalin hubungan sosial dengan orang lain, berintegritas tinggi, berpikiran terbuka, memiliki kepercayaan diri, adil, empati, sabar, bijaksana, rasa semangat dan lain sebagainya ? Berdasarkan hasil survey di AS tentang IQ, ternyata ditemukan sebuah paradoks yang membahayakan. Skor IQ anak-anak makin tinggi, kecerdasan emosi mereka justru menurun.7 Hal ini juga terjadi di Indonesia, banyak anak-anak pintar dan cerdas tapi mereka lebih mudah depresi, lebih cepat putus asa dan mudah marah. Jika kita perhatikan fenomena kehidupan rumah tangga sekarang ini, kita akan menemukan bahwa banyak kedua orang tua sangat perhatian terhadap kesehatan fisik anak-anak mereka. Jika salah satu anak mereka terserang penyakit, mereka akan sibuk dan bergegas untuk mengobatinya. Akan tetapi jika salah satu anak-anak mereka terserang penyakit dalam akhlak dan perilakunya, mereka tidak terlalu mempedulikannya dan tidak

       

5 Dr.Anas Ahmad Karzun, Anak 

Adalah Amanat, (Qisthi Press :Jakarta, 2006), hal. 4 

6 Drs.Alisuf Subri, Ilmu Pendidikan, (CV Pedoman Ilmu Jaya : Jakarta,1999), hal 15  7 Daniel Goleman, Working 

With Emotional Intelligence, (New York : Bantam  Books,1999), hal.13 


(13)

merasa sebagai suatu kesalahan. Kemudian keduanya sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka tidak peduli dan tidak menyadari musibah itu.

Disinilah pentingnya peranan keluarga di dalam melatih dan mengembangkan aspek emosional anak yang akan berpengaruh terhadap sikap dan tingkah laku anak di dalam maupun di luar rumah. Keluarga, yang di dalamnya termasuk orang tua dan saudara-saudara yang tinggal satu rumah, harus menciptakan suasana yang kondusif, edukatif dan menyenangkan agar anak-anak memiliki mental yang sehat dan emosi yang stabil. Berbeda jika di rumah tidak terdapat keharmonisan, orang tua selalu bertengkar sehingga suasana di rumah selalu tegang, pastinya akan berdampak buruk pada mental dan emosi anak.

Oleh karena itu, nasib seorang anak sampai batas tertentu berada di tangan kedua orang tuanya, dan ini terkait dengan tingkat pendidikan keduanya, dan sampai sejauh mana perhatian yang diberikan keduanya dalam mendidik dan mengajar anak-anaknya. Jika seorang ayah dan ibu benar-benar menunaikan kewajibannya maka ia telah menjamin kebahagiaan dan masa depan yang cerah bagi mereka. Di samping itu, mereka juga akan memperoleh keuntungan dengan memiliki anak-anak seperti ini, dan dengan itu berarti mereka telah melakukan pelayanan yang besar kepada masyarakat. Karena mereka telah mendidik individu-individu yang berkualitas dan berguna, dan mempersembahkannya kepada masyarakat. Dengan demikian, orang tua yang semacam ini akan mendapat kemuliaan di dunia dan di akhirat.

Sebaliknya jika mereka bersikap lalai dan masa bodoh dalam menunaikan tanggung jawab besar ini, berarti mereka telah melakukan pengkhianatan dan tindak kejahatan besar kepada anak-anaknya, karena dengan memberikan pendidikan yang salah berarti mereka telah menyiapkan berbagai kesengsaraan bagi anak-anaknya, dan pengkhianatan seperti ini tidak akan dibiarkan tanpa balasan pada hari akhirat. Di samping itu, akibat dari pendidikan yang buruk terhadap anak akan dirasakan juga oleh kedua orang tua di dunia ini.


(14)

Berbagai problema yang dihadapi para pemuda, seperti penyimpangan seksual, tidak disiplin dan tidak taat pada peraturan, kecanduan narkotika, pengangguran, tindak pencurian, tindak kejahatan, bunuh diri, lari dari rumah, putus asa, resah dan gelisah, tidak mempunyai semangat hidup, mementingkan diri sendiri, tidak percaya diri, lemah kemauan, egois, merendahkan diri sendiri dan berpuluh-puluh problema akhlak lainnya yang menimpa para pemuda, secara langsung bersumber dari pendidikan yang salah dari kedua orang tuanya atau setidaknya hal ini mempunyai peranan yang besar dalam masalah ini.8

Tiga belas abad yang lalu, John Lock berulang-ulang mengatakan bahwa “akal anak merupakan halaman-halaman putih yang dapat anda ukir dengan kebaikan dan belajar”. Berbeda halnya dengan pendidikan dan pengajaran pada saat dewasa, di dalamnya banyak ditemui kesulitan-kesulitan sebagaimana yang disebutkan oleh peribahasa, “kucing besar tidak akan dapat terdidik”.9 Sebagian ayah tidak memperhatikan pendidikan anaknya sejak masih kecil. Dampaknya, ketika anak-anak menapaki usia remaja, mereka akan sulit dibiasakan kepada kebaikan, dan mereka justru mudah menjadi manusia-manusia yang menyimpang. Mereka mudah meninggalkan sholat atau malas melakukannya. Dia akan bergabung dengan teman-teman yang jahat. Ketika itu ayah baru menyadari dan ia baru ingin meluruskan penyimpangan itu. Ia berpikir bahwa dengan satu kata atau satu peringatan, ia akan mampu mengembalikan air ke salurannya. Namun ternyata, ia berhadapan dengan kenyataaan yang pahit, karena anaknya justru terus berperilaku menyimpang. Itulah akibat penyia-nyiaan pendidikan akhlak anak sejak kecil.

Jadi, jelas bahwa pendidikan dan bimbingan anak sejak usia dini mempunyai pengaruh lebih besar terhadap perkembangan emosional (yang akan berdampak pada perilaku) anak jika dibandingkan dengan pendidikan pada usia remaja atau beranjak dewasa. Keluarga sebagai suatu faktor dasar dalam

       

8 Ibrahim Amini, Agar 

Tak Salah Mendidik, (Al‐Huda : Jakarta,2006), hal.112 

9 Muhammad Rasyid Dimas, 25 

Cara Mempengaruhi Jiwa&Akal Anak,( Pustaka Al‐ Kautsar : Jakarta,2006), hal. 4 


(15)

pembentukan kepribadian anak dimana anak akan menyerap seluruh pengalaman yang ditangkap oleh inderanya tanpa seleksi, pengalaman itu tidak akan hilang dan akan membentuk pola kepribadian. Oleh karenanya, keluarga menempati urutan pertama dan utama dalam rangka pelaksanaan, pembinaan, dan pengembangan moral anak. Pendidikan yang diterima anak dari orang tuanya merupakan dasar dari pembinaan dan pengembangan moral selanjutnya.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat sebuah karya ilmiah dengan judul “ Peranan Keluarga Terhadap Perkembangan Kecerdasan Emosional Anak”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa betapa pentingnya kontribusi keluarga agar proses perkembangan aspek emosional anak berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Berdasarkan kenyataan yang ada, maka alasan saya membahas peran keluarga disebabkan timbulnya beberapa masalah, antara lain :

a. Tidak adanya kontribusi dari keluarga berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan emosional anak

b. Kurangnya kesadaran orang tua bahwa keluarga sebagai lingkungan pendidikan yang utama dan pertama

c. Mayoritas orang tua lebih menekankan IQ daripada EQ

d. Sebagian orang tua belum memberikan keteladanan yang baik sebagai modal utama pembentukan kepribadian anak

e. Orang tua kurang memperhatikan sikap dan perilaku anak

f. Aspek emosional anak sangat dipengaruhi oleh keadaan dan kondisi keluarga.


(16)

C. Pembatasan Masalah

Agar penulisan skripsi ini mempunyai arah dan tujuan yang jelas, maka penulis membatasi masalah pada peran keluarga terhadap perkembangan kecerdasan emosional anak.

a. Peranan keluarga ialah tindakan, kewajiban orang tua terhadap anaknya baik dalam mendidik, membimbing, melindungi dan menghidupi dengan cara-cara yang tepat dan kondisi keluarga tempat si anak tinggal.

b. Kecerdasan emosional ialah kemampuan anak untuk memahami perasaan dan emosi diri sendiri maupun orang lain, sehingga bisa berinteraksi dengan baik. Kecerdasan emosi juga melahirkan sifat dan sikap positif seperti percaya diri, jujur, rendah hati, sabar, empati, bijaksana dan lain sebagainya.

c. Usia anak dibatasi 3-6 tahun. Karena pada usia ini, proses perkembangan anak sangat pesat. Menurut Freud, pembentukan kepribadian dan kecerdasan anak terjadi pada masa lima tahun pertama. Masa ini merupakan masa peka ketika anak mudah sekali menerima rangsangan baik dari dalam maupun dari luar dirinya.10

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan pokok, yaitu :

“Bagaimana peranan keluarga terhadap perkembangan emosional anak ?”

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

       

10 Indra Soefandi dan S.Ahmad Pramudya, Strategi 

megembangkan Potensi Kecerdasan  Anak, (Bee Media Indonesia, Jakarta: 2009), 


(17)

a. Untuk mengetahui peranan keluarga terhadap perkembangan kecerdasan emosional anak.

b. Untuk mengetahui upaya-upaya dari keluarga dan orang tua dalam mengoptimalkan perkembangan emosi anak.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukkan bagi keluarga dalam rangka mendidik anak.

b. Dapat memberikan kontribusi dalam rangka mengoptimalkan pelaksanaan pendidikan karakter di dalam keluarga.

c. Untuk memperluas paradigma berpikir dan khazanah keilmuan dalam bidang pendidikan Islam di dalam keluarga

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Berdasarkan objek penelitian ini, jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan deskriptif analitis, maka kajian ini murni menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode study pustaka. Yaitu berusaha mengungkap dan menemukan secara sistematis berbagai data mengenai peran keluarga sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama di dalam mendidik kecerdasan emosional anak.

2. Sumber Data

Jenis data peneliti kumpulkan dari berbagai sumber teks yang berkaitan dengan pokok permasalahan (data primer) dan sumber-sumber teks pendukung (sekunder) yang berkaitan dalam penelitian ini. Untuk sumber data primer, peneliti mengggunakan buku yang berjudul :


(18)

a. Data Primer (Primary Sources):

1. 25 Cara Mempengaruhi Jiwa&Akal Anak, karangan Muhammad Rasyid Dimas

2. Melejitkan Kecerdasan Emosi (EQ) Buah Hati, karangan Al.Tridhonanto

3. Anak Adalah Amanat, karangan Dr.Anas Ahmad Karzun

4. Melejitkan Kecerdasan Intelektual&Emosional Sang Buah Hati, karangan Dyah Pitaloka, S.Psi

5. Emotional Intelligent Parenting, karangan Amaryllia Puspasari

6. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, karangan Drs. M. Ngalim Purwanto, MP.

b. Data Sekunder (Secondary Sources):

Untuk sumber data sekunder, penulis menggunakan buku yang berjudul: 1. Pendidikan Dalam Keluarga, karangan Dr. M.I. Soelaeman

2. Strategi Mengembangkan Potensi Kecerdasan Anak, karangan Drs.Indra Soefandi dan S. Ahmad Pramudya S.E

3. Ilmu Jiwa Agama, karangan Prof. DR. Hj. Zakiah Daradjat 4. EQ Anak VS EQ Orang Tua, karangan Tutu April.A Suseno

3. Metode Pengolahan Data

Metode yang digunakan untuk mengolah data adalah metode deskriptif yaitu data yang telah dikumpulkan ditelaah dan dikaji secara objektif dan proporsional untuk kemudian dianalisis secara komprehensif sehingga akan nampak jelas rincian jawaban atau permasalahan yang dibahas atau dicari jawabannya.


(19)

4. Metode Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi 2007” yang disusun oleh Tim Penyusun Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari enam bab, yang setiap bab terdiri atas beberapa sub yang saling berkaitan, yaitu :

BAB I, bab ini terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II, dalam bab ini dijelaskan hal-hal yang berkaitan dengan keluarga yang terdiri dari pengertian keluarga, tujuan berkeluarga, fungsi dan peranan keluarga.

BAB III, bab ini menjelaskan tentang kecerdasan emosional yang terdiri dari pengertian kecerdasan emosional, ranah utama menurut Goleman, ranah utama menurut Howard Gardner dan kecerdasan emosional melengkapi kecerdasan intelektual.

BAB IV, bab ini menjelaskan keterkaitan antara keluarga dengan kecerdasan emosional.

BAB V, bab ini menjelaskan pembahasan inti, yaitu tentang upaya-upaya yang mengoptimalkan perkembangan kecerdasan emosional di dalam keluarga.

BAB VI, sebagai penutup, bab ini berisi kesimpulan dari uraian yang terdapat dalam bab-bab sebelumnya dan saran-saran yang merupakan kontribusi pemikiran dari penulis, ditujukkan kepada segala pihak yang


(20)

mempunyai tanggung jawab terhadap pembinaan perkembangan kecerdasan emosional terhadap anak khususnya bagi orang tua yang mempunyai anak.


(21)

BAB II KELUARGA

1. Pengertian Keluarga

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia keluarga adalah: “Ibu, bapak dengan seisi rumah, orang seisi rumah yang menjadi tanggungan dalam masyarakat, kesatuan kerabat yang sangat mendasar dalam masyarakat.”1

Sedang pengertian keluarga menurut Rohiman Notowidegdo adalah: “Suatu institusi sosial terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari sepasang suami istri dan anak-anak yang terkait oleh hubungan biologis, sosial, ekonomi dan psikologi.”2

Dari pengertian di atas, melihat pengertian keluarga secara sempit yang dapat diartikan bahwa keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Sedangkan pengertian keluarga secara luas adalah: “Suatu keluarga inti dengan

       

1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus 

Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta:  PT.Bina Pustaka,1988), cet.Ke‐1, hal.326 

2 Rohiman Notowidegdo, Ilmu 

Sosial Dasar, (Jakarta : Pustaka Anta, 1992). Cet.Ke‐4,  hal.22 


(22)

adanya tambahan dari sejumlah orang lain baik yang sekerabat yang secara bersama-sama hidup dalam satu rumah tangga dengan keluarga inti.

Orang-orang yang sekerabat tersebut bisa berasal dari pihak suami maupun dari pihak istri seperti kakek, nenek, paman, bibi dan saudara sepupu. Sedangkan orang lain yang dapat mewujudkan adanya keluarga luas dari suatu keluarga inti adalah pembantu rumah tangga dan pesuruh yang hidup bersama keluarga inti.

Dengan melihat pengertian keluarga secara sempit dan luas, maka dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah suatu komunitas masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang di dalamnya juga terdapat kerabat dari pihak suami dan istri serta orang lain yang dapat hidup bersama dalam suatu rumah tangga.

2. Tujuan Berkeluarga

Pembentukan keluarga dalam Islam bermula dengan terciptanya hubungan suci yang terjalin antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim melalui perkawinan yang sah dengan memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan berdasarkan syariat Islam.

Sudah barang tentu semua orang yang akan menikah mempunyai tujuan dalam perkawinan. Tujuan-tujuan tersebut selalu baik, misalnya untuk memperoleh keturunan, menjaga martabat, melindungi wanita dan untuk memelihara akhlak dan moral, yang kesemuanya itu dilakukan untuk menciptakan suatu keamanan dan keselamatan manusia dari perbuatan perzinahan.

Begitu juga dalam membentuk suatu komunitas keluarga terdapat beberapa tujuan yang tentu saja terdapat beberapa tujuan yang tentu saja memberikan dampak positif dalam kehidupan individu dan masyarakat, sebab dengan berkeluarga berarti telah mempertahankan kelangsungan hidup manusia secara turun temurun, serta melestarikan agama Allah SWT di muka bumi.


(23)

Tujuan perkawinan adalah sebagai berikut :

a. Membina kehidupan rumah tangga/keluarga yang rukun, tenang dan bahagia (sakinah)

b. Untuk memperoleh rasa mawaddah, yaitu merasa diri satu nasib dan sepenanggungan, susah sama menderita dan bila senang, maka sama-sama berbahagia.

c. Saling asih, asuh dan asah (rahmah) dengan penuh cinta kasih.3

Sedangkan tujuan perkawinan lebih jelas tercantum dalam undang-undang RI No.1 tahun 1974 tentang perkawinan Bab I pasal 1 yang berbunyi : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (berumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”4

Dari tujuan perkawinan tersebut maka tujuan terpenting dalam keluarga, menurut syariat Islam adalah sebagai berikut :

a. Mengatur Kebutuhan Biologis

Sejak manusia diciptakan di muka bumi ini, Allah SWT telah memberikan dan menetapkan berbagai kebutuhan, di antara kebutuhan tersebut adalah kebutuhan akan biologis (kebutuhan hubungan seksual). Kebutuhan ini sudah merupakan fitrah manusia dan manusia harus menyalurkan kebutuhan tersebut dengan baik.

Pernikahan merupakan suatu sarana yang halal untuk laki-laki dan perempuan melakukan suatu hubungan. Islam menghargai segala sesuatu yang dapat menghantarkan pada tercapainya tujuan-tujuan mulia dalam melestarikan sejarah kehidupan manusia yang telah diangkat sebagai khalifah di muka bumi.5

       

3 Ahmad Usman,Petunjuk 

Membina Keluarga Bahagia, (Semarang : CV.Toha Putra,  1976). Cet.Ke‐1, hal.54. 

4 R.Subekti, al

Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata, (Jakarta : PT.Pradnya Paramita,  1990), cet.Ke‐22, hal.449 

5 Abu Ahmad Muhammad Naufal, Langkah 

Menggapai Kebahagiaan Berumah Tangga,  (Yogyakarta : Al‐Husna Press, 1994), cet.Ke‐1, hal.13 


(24)

b. Melestarikan Keturunan yang mulia

Bila pertemuan seorang laki-laki dan perempuan dalam jenjang pernikahan dipandang sebagai suatu tujuan, maka dalam segi lain dipandang sebagai suatu sarana untuk terwujudnya keturunan yang mulia.

Selanjutnya keturunan merupakan buah pernikahan, sebab tujuan penciptaan alam oleh Allah SWT, adanya manusia dan kesempurnaanya. Anak yang shaleh menurut pandangan Islam merupakan amal kewajiban bagi kedua orang tua, yang membuahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.6

Selain sebagai suatu amal kebajikan bagi orang tua, anak merupakan unsur perhiasan serta kemegahan hidup di dunia selain harta benda. Anak merupakan harta yang tidak ternilai harganya. Anak merupakan suatu kebanggaan bagi kedua orang tuanya, namun hendaknya kebanggan tersebut bukan dari sekedar dari jumlah banyaknya anak, akan tetapi orang tua harus pula memikirkan dan bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan yang baik bagib anaknya, agar kelak menghasilkan generasi-generasi baru yang beriman, bertakwa serta berkualitas. Karena di hari kiamat nanti Rasulullah SAW lebih merasa bangga mempunyai umat yang berkualitas bukan sekedar umat yang kuantitas.

c. Merasakan hidup bersama

Dengan adanya perkawinan seorang suami istri dapat hidup bersama dalam membina istri dalam membina rumah tangga yang penuh cinta kasih, karena itu keduanya harus dapat bekerja sama untuk saling melengkapi satu sama lain. Dalam berkeluarga suami adalah pemimpin bagi istri, anak dan keluarganya. Selain itu juga seorang suami harus mengerjakan kewajiban-kewajibannya yang lain yaitu mencari nafkah, mengurus kehidupan keluarga, berjuang menegakkan agama Allah dan menciptakan perdamaian seta keselamatan bagi keluarganya.

Semua tugas itu tidak akan dilaksanakan tanpa adanya pendamping di sisinya, yakni istri yang shalehah. Istri yang senantiasa membantu menyertai serta

       

6 Ibrahim Amini, Kiat 

Memilih Jodoh Menurut Al‐Quran dan Sunnah, (Jakarta : Lentera,  1996), cet.Ke‐1, hal.18 


(25)

menghiburnya atau bahkan yang mampu meringankan beban hidupnya serta menjaga rumah dan memelihara anak-anaknya.

Dengan demikian, maka suami istri harus dapat bekerja sama dalam menjalankan semua tugas dan kewajibannya dalam berkeluarga, sehingga dapat melahirkan dan mendidik anak-anak yang shaleh dan berkualitas.

3. Fungsi dan Peranan Keluarga

a. Fungsi Keluarga

Dalam kehidupan manusia, keperluan dan hak kewajiban, perasaan dan keinginan keluarga sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan diri seseorang dan akan binasalah pergaulan seseorang bila orang tua tidak menjalankan tugasnya sebagai pendidik.

Secara sosiologi keluarga dituntut berperan dan berfungsi untuk menciptakan suatu masyarakat yang aman, tentram, bahagia dan sejahtera, yang kesemuanya itu harus dijalankan oleh keluarga sebagai lembaga social yang terkecil. Dalam buku keluarga muslim dalam masyarakat modern, dijelaskan bahwa : “Berdasarkan pendekatan budaya keluarga sekurang-kurangnya mempunyai tujuh fungsi, yaitu fungsi biologis, edukatif, religius, protektif, sosialisasi, rekreatif dan ekonomi.”7

1. Fungsi Biologis

Fungsi biologis keluarga berhubungan dengan “pemahaman-pemahaman kebutuhan biologis anggota keluarga”.8 Di antara kebutuhan biologis ini kebutuhan akan keterlindungan fisik guna melangsungkan kehidupannya, keterlindungan kesehatan, keterlindungan dari rasa lapar, haus, kedinginan, kepanasan, kelelahan, kesegaran fisik. Termasuk juga kebutuhan biologis ialah kebutuhan mendapatkan keturunan dengan melahirkan anak-anak sebagai generasi penerus dan dengan kata lain kelanjutan identitas keluarga.

2. Fungsi Edukatif

       

7 Jalaludin Rakhmat dan Mukhtar Gandaatmaja, Keluarga 

Muslim dalam Masyarakat  Modern, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1994),cet.Ke‐2, hal.20‐21 

8 M.I. Soelaeman, Pendidikan 


(26)

Yang dimaksud fungsi edukatif ialah “fungsi keluarga yang berkaitan dengan pendidikan anak khusussnya serta pembinaan pendidikan anggota keluarga pada umumnya.”9 Fungsi ini mengharuskan setiap orang tua mengkondisikan kehidupan keluarga menjadi situasi pendidikan yang dapat mendorong anak-anak untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada tujuan pendidikan.

Dalam melaksanakan fungsi edukatif ini keluarga sebagai salah satu tri pusat pendidikan, dalam hal ini orang tua memegang peranan utama dalam proses pembelajaran anaknya terutama dikala mereka belum dewasa. Kegiatan pembelajaran orang tua antara lain melalui asuhan, pembiasaan dan contoh teladan.

3. Fungsi Religius

Fungsi ini berkaitan dengan kewajiban keluarga untuk memperkenalkan dan mengajak anak serta anggota keluarga lainnya dalam kehidupan beragama dengan melakukan semua kegiatan yang sesuai dengan ajaran-ajaran dan ketentuan agama dengan menuju keridhoan-Nya.

4. Fungsi Protektif

Fungsi protektif (perlindungan) dalam keluarga ini berfungsi “memelihara merawat dan melindungi si anak baik fisik maupun sosialnya.”

Fungsi ini menangkal pengaruh kehidupan pada saat sekarang dan masa yang akan datang.

5. Fungsi Sosialisasi

Fungsi sosialisasi berkaitan dengan mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik, dalam melaksanakan fungsi ini “keluarga membentuk kepribadian anak melalui intreraksi social, mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dalam masyarakat yang kesemuanya itu dilakukan dalam rangka perkembangan kepribadiannya.”

6. Fungsi Ekonomis

Fungsi ekonomis keluarga meliputi “pencarian nafkah, perencanaan serta pembelajaran dan manfaatnya.” Pada dasarnya yang mengemban kesejahteraan

       

9 M.I. Soelaeman, Pendidikan 


(27)

keluarga, termasuk pencarian nafkah keluarga. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa istri tidak diperkenankan mencari nafkah, namun dalam keadaan demikian tanggung jawab yang diemban oleh seorang suami tidaklah diserahkan istri sepenuhnya karena hal ini dilakukannya untuk masa depan anak-anak dan keluargannya.

7. Fungsi Rekreatif

Fungsi ini tidak harus dengan kemewahan serba ada, melainkan melalui penciptaan suasana kehidupan yang tenang dan damai. Fungsi rekreatif ini juga dapat membawa anggota keluarga dalam merealisasikan dirinya dalam suasana yang bebas dan nyaman sebagai selingan dari kesibukan sehari-hari. Hal ini dapat juga di dapat dengan mencari hiburan di alam segar bersama keluarga.

Dengan melihat fungsi keluarga di atas, hendaknya dalam pelaksanaan fungsi haruslah seiring sejalan antara yang satu dengan fungsi yang lain, ketujuh fungsi tersebut tidak dapat dipisahkan. Sebuah keluarga tanpa fungsi biologis, maka keluarga akan punah, tidak ada generasi penerus yang akan melanjutkan identitas keluarga. Tanpa fungsi edukatif generasi yang dilahirkan akan berantakan, tanpa fungsi religius generasi akan tersesat, tanpa fungsi protektif tidak ada ketentraman dan kedamaian dalam keluarga, tanpa fungsi sosialisasi akan muncul generasi-generasi yang memiliki sifat individual yang tinggi, tanpa fungsi rekreatif rumah tangga terasa membosankan dan meliputi kejenuhan dan tanpa fungsi ekonomis kesejahteraan rumah tangga akan goyah.

Sedangkan H.Ali Akbar mengemukakan tentang fungsi keluarga sebagai berikut:

1. Tempat istirahat sesudah kerja fisik mencari nafkah 2. Menumbuhkan rasa cinta kasih dan melestarikannya

3. Mendidik anak (kedua orang tua ialah guru pertama dan utama dalam bidang ini

4. Mendidik diri sendiri dalam bidang agama seperti sholat berjama’ah dan membaca Al-Qur’an


(28)

5. Mendidik anak dalam beribadah, ketabahan, ketekunan belajar, kesabaran, akhlak, bertutur kata, berpakaian dan lain sebagainya 6. Mendiddik anak dalam bidang kasih sayang, baik di antara mereka

maupun terhadap family dan orang lain di tengah masyarakat 7. Mendidik manajemen perbelanjaan untuk tidak boros

8. Mendidik anak dalam menyelesaikan pertikaian dengan musyawarah.10

b. Peranan Keluarga

Setiap keluarga terdiri atas beberapa anggota keluarga yang masing-masing anggota keluarga memiliki peranannya sendiri-sendiri sesuai dengan kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan, sehingga menambah keharmonisan kehidupan keluarga.

Dalam keluarga sosok seorang ibu sangat diperlukan sebagai pendidik dasar bagi anak-anaknya, maka dari itu seorang ibu hendaklah seorang yang bijaksana dan pandai mendidik anak-anaknya. Sesuai dengan fungsi serta tanggung jawabnya sebagai anggota keluarga. Peran ibu dalam pendidikan anak-anaknya adalah sebagai berikut :

1) Sumber dan pemberi kasih sayang 2) Pengasuh dan pemelihara

3) Tempat mencurahkan isi hati

4) Pengatur kehidupan dalam rumah tangga 5) Pembimbing hubungan pribadi

6) Pendidik dalam segi emosional11

Bukan saja peran seorang ibu yang sangat dibutuhkan dalam keluarga. Tetapi peran seorang ayah juga lebih sangat dibutuhkan dalam membentuk perkembangan keluarga. Adapun peranan ayah sebagai berikut :

       

10 Ali Akbar, Merawat 

Cinta Kasih Untuk Mewujudkan Keluarga Sejahtera, Membina  Keluarga Bahagia, (Jakarta: Pustaka Antara, 1996), cet.ke 54  

11 M.Ngalim Poerwanto, Ilmu 

Pendidikan (Teoritis dan Praktis), Bandung : PT.Remaja  Rosdakarya, 1995), cet.Ke‐8, hal.82 


(29)

1) Sumber kekuasaan dalam keluarga

2) Penghubung intern keluarga dalam masyarakat/dunia luar 3) Pemberi perasaan aman bagi seluruh anggota keluarga 4) Pelindung terhadap ancaman dari luar

5) Hakim yang mengadili jika terjadi perselisihan 6) Pendidik dalam segi-segi rasional.

Begitu pentingnya peranan yang harus dimainkan orang tua dalam mendidik, sehingga banyak pakar pendidikan, seperti yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa “Alam keluarga itu buat tiap-tiap orang adalah alam pendidikan yang permulaan.”12 Maksudnya adalah bahwa orang tua pendidik, penuntun dan pengajar yang pertama bagi anak-anaknya.

Peranan keluarga sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan jiwa anak, apabila orang tua salah mendidik maka anaknya pun akan mudah terbawa arus kepada hal-hal yang tidak baik, maka dengan adanya peranan masing-masing hendaknya orang tua saling melengkapi sehingga dapat membentuk keluarga yang utuh dan harmonis dan dapat menjalankan perintah agama dengan sebaik-baiknya.

c. Peranan Keluarga Bagi Pendidikan Anak

Anak merupakan titipan (amanah) dari Allah SWT. Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci, sebagaiman sabda Rasulullah SAW :

ﺎ آ

ﺎﺴ

وأ

اﺮﺼ

وأ

ادﻮﻬ

اﻮ ﺄ

ةﺮﻄ ا

ﺪ ﻮ

ﻻإ

دﻮ ﻮ

ءﺎ ﺪ

ﺎﻬ

نﻮﺴﺤ

ه

ءﺎ

ﺔ ﻬ

ﺔ ﻬ ا

Setiap anak dilahirkan itu dalam keadaan suci, maka orang tuanyalah yang menjadikan anak menjadi yahudi, nasrani dan majusi”. (HR. Muslim).13

Hadits di atas menyatakan orang tua merupakan pemeran utama dalam mendidik anak-anaknya. Secara kodrati bayi dilahirkan dalam keadaan suci, keluargalah yang membesarkannya menjadi baik atau buruk. Keluarga dan

       

12 Abudin Nata, Filsafat 

Pendidikan Islam, (Jakarta : logos wacana Ilmu, 1997), cet.Ke‐1,  hal.115 

13 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Al‐Musriyah: Al Maktabah Maktabuha, 1924), Juz 16, 


(30)

pendidikan dalam keluarga berpengaruh, bahkan dapat menghilangkan sifat-sifat khas yang diwarisinya. Yang dimaksud fitrah dalam hadits di atas ialah potensi yang dibawa oleh anak semenjak lahir. Orang tua dalam hal ini bertanggung jawab untuk selalu mengembangkan potensi tersebut agar lebih baik. Dalam konsep Islam, keluarga adalah penanggung jawab utama terpeliharanya potensi tersebut.

Para ahli pendidikan dan para ahli ilmu jiwa sepakat bahwa menanamkan pendidikan pada anak sejak dini (dalam rumah tangga) adalah masalah yang strategis. Kita ketahui bahwasannya pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama. Disini anak didik sepanjang waktu dan meliputi berbagai bidang kehidupan, seperti kesehatan, kebersihan, sopan santun pergaulan, disiplin pribadi, tanggung jawab, kerja sama, pengenalan kehidupan keagamaan dan lain sebagainnya. Hal ini akan mempunyai pengaruh yang sangat mendalam bagi pembentukan kepribadian anak dan watak kepribadiannya di masa yang akan datang, karenanya, suatu rumah tangga yang di dalamnya penuh dengan liputan kasih sayang dan suasana keislaman, maka akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang wajar. Sedangkan dalam suatu rumah tangga yang di dalamnya telah terputus hubungan kasih sayang dan cinta, penuh dengan suasana muram, maka dari rumah tersebut akan tumbuh pribadi-pribadi yang tidak diinginkan. Mereka kelak akan menjadi beban bagi masyarakat dan orang-orang yang berada dalam rumah itu sendiri.

Hubungan orang tua yang efektif penuh kemesraan dan tanggung jawab yang didasari oleh kasih sayang yang tulus, menyebabkan anak-anaknya akan mampu mengembangkan aspek-aspek kegiatan manusia yang pada umumnya ialah kegiatan yang bersifat individual, kegiatan social dan keagamaan.14

Suasana keluarga yang baik sekurang-kurangnya harus ditunjang oleh 3 faktor antara lain:15

1. Keluarga dapat memberikan suasana emosional yang baik bagi anak-anak, misalnya perasaan senang, aman, disayangi dan dilindungi.

       

14 Hasan Basri, Keluarga Sakinah, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar 1995) cet. Ke ‐2, hal.90  15 Drs. Hery Noer Aly, MA, Ilmu 

Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999) cet. Ke‐2,  hal.212‐217 


(31)

Suasana ini dapat tercipta apabila kehidupan rumah tangga diliputi suasana yang sama.

2. Mengetahui dasar-dasar kependidikan terutama yang berkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap perkembangan mental anak. Lebih lanjut, orang tua juga bertanggung jawab pada tujuan dan isi pendidikan yang diberikan kepada anaknya. 3. Bekerja sama dengan lembaga pendidikan dimana orang tua

memberikan amanatnya dalam mendidik anaknya. Bentuk kerja sama ini antara lain menyangkut anak belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dari lembaga pendidikan tersebut.

Berdasarkan pandangan di atas, Pendidikan Islam dalam kerangka tauhid harus melahirkan dua kemestian strategis sekaligus, yaitu:

1. Menjaga keharmonisan untuk meraih kehidupan yang abadi dalam hubungannya dengan Allah.

2. Melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan dalam hubungannya dengan alam lingkungan dan sesamanya.

Menurut Utami Munandar bahwa secara umum keluarga (orang tua) mempunyai tiga peranan terhadap anak, yaitu :16

1. Perawatan fisik anak, agar anak belajar tumbuh berkembang dengan sehat.

2. Proses sosialisasi anak, agar anak menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.

3. Kesejahteraan psikologi dan emosional anak.

Segala sesuatu yang telah dilakukan oleh orang tua kepada anak merupakan pembinaan kebiasaan yang akan tumbuh menjadi tindakan moral di kemudian hari. Dengan kata lain, setiap pengalaman anak baik yang diterimannya melalui penglihatan, pendengaran dan perlakuan pada waktu kecil akan menjadi

       

16 Utami Munandar, Membina 

Keluarga Bahagia, (Jakarta: Pustaka Anatra, 1992), cet.  Ke‐2, hal.174 


(32)

kebiasaan yang akan tumbuh di kemudian hari. Karena itulah orang tua sangat penting dan besar pengaruhnya terhadap pendidikan anak.

Dengan demikian, keluarga memiliki peranan yang sangat strategis dalam pembentukan kepribadian anak yang tangguh. Oleh karena itu, di bawah ini akan dibahas secara rinci mengenai peranan masing-masing anggota keluarga dalam menyiapkan generasi yang berkepribadian tangguh.

1. Peranan Ayah

Pria adalah pemimpin bagi kaum wanita. Ayah adalah sebagai pemimpin dalam keluarga, pemimpin bagi istri dan anak-anaknya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran :

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”. (QS.an-Nisa/4: 34)


(33)

Dari riwayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa secara fitrah, baik secara fiologis maupun psikologis maka suami yang mempunyai otoritas dan tegas untuk memimpin, membela dan melindungi keluarga.17

Adapun peran seorang ayah dalam keluarga, Singgih dan Y. Singgih D. Gunarsa mengatakan antara lain :

a. Ayah sebagai pencari nafkah

b. Ayah sebagai suami yang dapat memberikan rasa aman c. Ayah berpartisipasi dalam pendidikan anak

d. Ayah sebagai pelindung atau tokoh yang tegas, bijaksana dan mengasihi keluarga.18

2. Peranan Ibu

Sebagaimana ayah, maka ibu pun mempunyai peranan yang sangat

Sentral dan penting dalam keluarga. Dengan adanya peran serta dari seorang ibu, maka akan terciptalah keluarga yang bahagia. Adapun peranan ibu yang dimaksud antara lain :

a. Memenuhi kebutuhan fisiologis dan praktis

b. Peranan ibu dalam merawat dan mengurus keluarga dengan sabar, mesra dan konsisten’

c. Peran ibu sebagai pendidik yang mampu mengatur dan mengendalikan anak.

d. Ibu sebagai contoh tauladan

e. Ibu sebagai manajer yang bijaksana f. Ibu memberi rangsangan dan pelajaran g. Peran ibu sebagai istri

       

17 Ali Akbar, Merawat 

Cinta Kasih Untuk Mewujudkan Keluarga Sejahtera, Membina  Keluarga Bahagia, (Jakarta: Pustaka Antara, 1996), cet.ke 30 

18 Singgih D.Gunarsa dan Y D.Gunarsa, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 


(34)

Tugas dan tanggung jawab di atas merupakan syarat yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh suami istri dalam hal ini peranan ayah dan ibu dalam keluarga.

Apabila kesemuanya itu dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka akan terciptalah keluarga yang harmonis dan bahagia.


(35)

BAB III

KECERDASAN EMOSIONAL A. Pengertian Kecerdasan Emosional

Istilah “Kecerdasan Emosional” pertama kali dilibatkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Solovey dari Harvard University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan.1

Menurutnya kualitas-kualitas itu meliputi : empati, mengungkapkan dan memahami perasan, mengendalikan amarah, kemandirian, menyesuaikan diri, disukai, kemampuan menyelesaikan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat.

Menurut Bar-Ojn kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan, kompetensi, dan keterampilan yang dapat mempengaruhi keberhasilan seseorang

      

1 Tutu April A.Suseno, EQ 

Anak VS EQ Orang Tua, (Yogyakarta: Diglossia Printika, 2009),   hal. 2 


(36)

dalam mengatasi tuntutan oleh tekanan lingkungan dan secara langsung memepengaruhi seluruh kesejahteraan psikologi individu.2

Menurut Goleman Emotional Intelligence adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligen (to manage our emotional life with intelligence) menjaga keselarasan emosi dan mengungkapkannya (the appropriatnesss emotion and its expression) melalui keterrampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan social.3

Dalam definisi Goleman yang lainnya, kecerdasan emosional yaitu kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.4 Kecerdasan emosi mencakup kemampuan yang berbeda-beda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Meskipun IQ tinggi tapi kecerdasan emosi rendah tidak banyak membantu. Banyak orang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi bawahan orang yang IQ-nya lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan kecerdasan emosi.5 Berikut ini akan dijabarkan mengenai keselarasan atau lebih popular dengan Ranah utama Goleman.

B. Ranah Kecerdasan Emosional Menurut Goleman

1) Kesadaran Diri

Orang dengan kecakapan ini :

a. Tahu emosi mana yang sedang mereka rasakan dan mengapa

      

2 Sri Lanawati, Hubungan 

antara EI dan IQ Dengan Prestasi Belajar, Tesis, (Jakarta,  Universitas  Indonesia,1999), hal.66 

3 Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, (Jakarta:Pt Gramedia Pustaka Utama,2000), cet 

ke‐1, hal.53 

4 Agus Nggermanto, Quantum Quotient, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2002), hal.98  5 Agus Nggermanto, Quantum Quotient,……… hal.99 


(37)

b. Menyadari keterkaitan antara perasaan mereka dengan yang mereka pikirkan, perbuat, dan katakan

c. Mengetahui bagaimana perasaan mereka mempengaruhi kinerja

d. Mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan sasaran-sasaran mereka.6

Menurut Richard kecakapan ini memusatkan perhatian, kesadaran tentang adanya instrument ukur batiniah dan sinyal-sinyal samar yang menginformasikan perasaan sebagai pedoman untuk menuntun kerja. Instrumen tersebut biasa dikenal dengan intuisi yang bekerja di dalam logika bawah sadar. Intuisi berkaitan dengan kemampuan mengindra pesan-pesan dari gudang penyimpanan memori emosi kita tempat tersimpannya kebijaksanaan dan kearifan sendiri. Kemampuan ini terdapat di pusat kesadaran diri.

Kesadaran diri menuntut seseorang untuk dapat mengenal, memahami kualitas, intensitas dan durasi emosi yang sedang berlangsung. Kesadaran akan intensitas emosi dapat member informasi sejauh mana individu dipengaruhi oleh kejadian itu. Intensitas emosi yang tinggi cenderung memotivasi individu untuk bereaksi dibandingkan intensitas emosi yang rendah.

Sungguh sangat tidak beruntung bagi orang-orang yang rendah emosinya karena orang-orang ini tidak mengenali emosinya sendiri. Dengan kata lain mereka buta emosi, terhalang dari dunia realitas yang sangat penting untuk sukses dalam hidup secara keseluruhan, termasuk kerja. Apabila individu tidak mampu untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya, dia berada dalam kekuasaan perasaan. Karena itu, tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya akan berakibat buruk bagi pengambilan keputusan akan masalah.7 Dengan demikian orang yang tidak mengenal emosinya sendiri maka yang lebih tampak dan lebih detail adalah dunia luar

      

6 Daniel Goleman, (Alih Bahasa: Alex Tri Kantjoro), Kecerdasan 

Emosi Untuk Mencapai  Puncak Prestasi, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2003), cet ke‐5, hal.84‐342 

7Al.Tridhonanto, Melejitkan 

Kecerdasan Emosi (EQ) Buah Hati. (Jakarta, PT Elex Media  Komputindo : 2009), hal. 6 


(38)

dibandingkan dunia batiniahnya. Mereka juga susah membedakan emosi yang baik dan yang tidak, ini dikarenakan rentang emosi yang terbatas. Sebuah emosi sangat erat kaitannya dengan hati dimana di dalam hati sebuah perkara baik dan buruk dapat dibedakan secara nyata. Namun hati yang sesuai dengan fitrahlah yang dapat melakukan itu dan bukan hati yang buta.

Ari Ginanjar Agustian menjelaskan untuk mendapatkan hati yang sesuai fitrah dengan cara : mengingat nama-nama Allah secara berulang-ulang, melalui ucapan, pikiran, dan hati sekaligus mampu mendorong pikiran menjadi suci dan bersih, sehingga membekas di hati. Ucapan Subhanallah (Maha Suci Allah) harus ditetapkan untuk membangun kekuatan pikiran bawah sadar, sehingga akan mendarah daging di dalam diri kita menjadi suatu kekuatan, itulah yang disebut “Repetitive Magic Power”, yang akan menghilangkan pengaruh-pengaruh buruk.8

2) Pengendalian Diri

Pengendalian diri adalah kemampuan mengendalikan emosi sendiri dan mengelola emosi agar dapat terungkap dengan selaras.

Orang dengan kecakapan ini :

a. Mengelola dengan baik perasaan-perasaan impulsif dan emosi-emosi yang menekan mereka. Perasaan seseorang dikatakan dikelola dengan baik, bila individu mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan, dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu.9

b. Tetap teguh, tetap optimis, dan tidak goyah bahkan dalam situasi yang paling berat

c. Berpikir dengan jernih dan tetap terfokus kendati dalam tertekan

      

8 Ary Ginanjar Agustian, ESQ 

Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta:  Arga,2002), cet ke‐7, hal.46 

9Al.Tridhonanto, Melejitkan 

Kecerdasan Emosi (EQ) …………, ,hal. 7   


(39)

Tujuan pengendalian emosi itu adalah keseimbangan dan keselarasan dalam mengungkapkan emosi.

3) Motivasi Diri

Motivasi diri adalah kemampuan untuk bertahan dan terus berusaha menemukan banyak cara untuk mencapai tujuan. Orang yang memiliki motivasi diri cukup terampil dan fleksibel dalam menemukan cara alternatif agar sasaran tercapai atau mengubah sasaran jika sasaran tidak mungkin tercapai juga cukup mampu memecahkan tugas yang amat berat menjadi tugas kecil yang mudah dijalankan.10

Kecakapan motivasi seseorang diantaranya :

a. Dorongan Berprestasi : Dorongan untuk meningkatkan atau memenuhi standar keunggulan.

Orang dengan kecakapan ini :

1) Berorientasi kepada hasil, dengan semangat juang tinggi untuk meraih tujuan dan memenuhi standard

2) Menetapkan sasaran yang menantang dan berani mengambil resiko yang telah dipenuhi

3) Mencari informasi sebanyak-banyaknya guna mengurangi ketidakpastian dan mencari cara yang lebih baik

4) Terus bekerja untuk meningkatkan kinerja mereka

b. Komitmen : setia pada visi dan sasaran perusahaan atau kelompok Orang dengan kecakapan ini :

1) Siap berkorban demi pemenuhan sasaran perusahaan yang lebih penting

2) Merasakan dorongan semangat dalam misi yang lebih besar

      

10 Sri Lanawati, Hubungan 

antara EI dan IQ Dengan Prestasi Belajar, Tesis, (Jakarta,  Universitas  Indonesia,1999), hal.63 


(40)

3) Menggunakan nilai-nilai kelompok dalam pengambilan keputusan dan penjabaran pilihan-pilihan

4) Aktif mencari peluang guna memenuhi misi kelompok

c. Inisiatif dan Optimisme: kedua kecakapan kembar yang menggerakan orang untuk menangkap peluang dan membuat mereka menerima kegagalan dan rintangan sebagai awal keberhasilan.

Orang dengan kecakapan inisiatif diantaranya: 1) Siap memanfaatkan peluang

2) Mengejar sasaran lebih daripada yang tidak prinsip bila perlu agar tugas dapat dilaksanakan

3) Berani melanggar batas-batas atau aturan-aturan yang tidak prinsip bila perlu agar tugas dapat dilaksanakan

4) Mengajak orang lain melakukan sesuatu yang tidak lazim dan bernuansa peluang.

Orang dengan kecakapan optimisme diantaranya:

1) Tekun dalam mengejar sasaran kendati banyak halangan dan kegagalan

2) Bekerja dengan harapan untuk sukses bukannya takut gagal.

3) Memandang kegagalan atau kemunduran sebagai situasi yang dapat dikendalikan ketimbang sebagai kekurangan pribadi.

4) Empati

Empati adalah kemampuan dalam membaca emosi orang lain, kemampuan merasakan perasaan orang lain melalui keterampilan membaca pesan non-verbal : nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah dan sebagainya.11 Wahana pikiran rasional

      

11 Daniel Goleman, (Alih Bahasa:T.Hermaya) Emotional Intelligence, (Jakarta:Gramedia 

Pustaka Utama,1999), cet ke‐8, hal.136   


(41)

adalah kata-kata, sedangkan wahana emosi adalah pesan non verbal. Orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal, menunjukkan lebih pandai menyesuaikan diri secara emosional, lebih popular, lebih mudah bergaul dan lebih peka.

5) Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial adalah kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain, kemampuan membaca reaksi dan perasaan orang lain. Ada beberapa keterampilan social yang diungkapkan oleh Daniel Goleman :

a. Memiliki taktik untuk melakukan persuasi b. Mengirimkan pesan yang jelas dan meyakinkan

c. Kepemimpinan : membangkitkan insipirasi dan memandu kelompok dengan orang lain

d. Manajemen konflik : negosiasi dan pemecahan silang pendapat.

e. Kolaborasi dan Kooperasi : kerja sama dengan orang lain demi tujuan bersama

Keterampilan social juga sangat berpengaruh untuk menciptakan sebuah keputusan suatu masalah dalam kelompok, sehingga keterampilan ini mutlak diperlukan guna mencapai mufakat.

C. Ranah Kecerdasan Emosional Menurut Howard Gardner

Kecerdasan emosi menurut Howard Gardner terdiri dari dua kecakapan yaitu intrapersonal intelligence dan interpersonal intelligence.

Kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence) terkait dengan kepandaian untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Kecerdasan ini menuntut seseorang untuk memahami, bekerja sama, dan berkomunikasi. Serta

      

11 Lauren Schmidt, Jalan 

Menuju 7 Kali Lebih Cerdas, (Bandung: Kaifa,2002), cet ke‐1, hal.36   


(42)

memelihara hubungan baik dengan orang lain.12 Sedangkan kecerdasan intrapersonal tidak cepat puas dengan hasil pekerjaan mereka. Mereka memiliki pengetahuan dengan dirinya, terutama kepekaan terhadap nilai, tujuan dan perasaan mereka. Sifat-sifat tersebut membuat mereka mandiri, penuh percaya diri, punya tujuan, dan disiplin.13

Seperti yang diajarkan Islam bila seseorang telah memahami dirinya sendiri dengan baik maka akan baik pula mengenal dan memahami orang lain yang berpangkal pada pengenalan Tuhan.

D. Perbandingan Kecerdasan Emosional Menurut Daniel Goleman dan Howard Gardner; Sebuah Analisis

Perbandingan Kecerdasan Emosional Menurut Daniel Goleman dan Howard Gardner

Ranah Daniel Goleman Ranah Howard Gardner

a. Kesadaran Diri (mengenal emosi dalam diri)

b. Pengendalian Diri (sabar, teguh, optimis dan tidak goyah)

c. Motivasi Diri (dorongan

berprestasi, komitmen, inisiatif dan optimisme)

d. Empati

e. Keterampilan Sosial

a. Interpersonal Intelligence

(mampu bekerja sama dan berkomunikasi)

b. Intrapersonal Intelligence

(mandiri, penuh percaya diri, punya tujuan dan disiplin)

      

12 Lauren Schmidt, Jalan 

Menuju 7 Kali Lebih Cerdas, (Bandung: Kaifa,2002), cet ke‐1, hal.36 

13 Lauren Schmidt, Jalan 


(43)

Daniel Goleman lebih spesifik dan detail dalam membagi unsur-unsur kecerdasan emosional, akan tetapi ranah kesadaran diri, pengendalian diri dan motivasi diri bisa masuk ke ranah intrapersonal intelligence Howard Gardner. Sedangkan ranah empati dan keterampilan sosial Goleman bisa masuk ke ranah

interpersonal intelligence Gardner.

Sejauh pengamatan penulis, belum banyak dari kalangan ilmuwan muslim dan para ulama yang membahas tentang kecerdasan emosional, menurut definisi yang penulis buat, kecerdasan emosional menurut perspektif Islam adalah kemampuan seseorang untuk mengenal atau peka terhadap hati nuraninya atau sesuai kehendak fitrah. Sebagai contoh, pengendalian diri adalah suatu ranah kecerdasan emosional yang dibuat Goleman. Salah satu unsur pengendalian diri ialah sifat sabar, jika seseorang ditimpa musibah, pasti hati nurani selalu berkata “bersabarlah” atau jika kita melihat pengemis dengan pakaian lusuh meminta-minta kepada kita, pasti suara hati berkata “sedekahlah untuk pengemis itu”. Jika mampu mengikuti kehendak hati nurani, maka orang tersebut memiliki kecerdasan emosional.

Hati nurani selalu mengajak manusia kepada kebenaran dan kebaikan, karena suara hati ialah petunjuk Tuhan yang dianugerahkan kepada setiap umat manusia

E. Kecerdasan Emosional Melengkapi Kecerdasan Intelektual

Kecerdasan dalam arti umum merupakan suatu kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memahami dan menyadari terhadap apa yang dialaminya baik melalui pikiran, perkataan dan perbuatan. Dalam berpikir biasanya seorang individu mengalama berbagai hal terhadap apa yang dialaminya sehingga dia mampu untuk merangkai, merumuskan, membandingkan dan menganalogikan.14

      

14 Al.Tridhonanto, Melejitkan 


(44)

Seorang yang dikatakan cerdas apabila ia dapat bereaksi secara logis dan mampu melakukan sesuatu yang berguna terhadap apa yang dialami lingkungannya.

Sebelumnya para ahli perkembangan manusia menemukan kecerdasan yang sifatnya kognitif atau dikenal dengan istilah kecerdasan intelektual sebagai kecerdasan yang mutlak. Kecerdasan intelektual atau dikenal dengan IQ (Intelligence Quotient) ialah kemampuan seseorang dalam beradaptasi dengan lingkungan dengan menggunakan akal sehat sehingga dalam hal ini berhubungan dengan pemahaman seseorang. Karena itu, pada saat itu teori kesuksesan individu diukur dari sejauh mana IQ dimiliki seseorang. Bila individu memiliki IQ yang tinggi, ia pun memiliki harapan untuk sukses dibanding individu yang memiliki IQ rendah.

Namun lambat laun teori itu menjadi perdebatan diantara ahli-ahli psikologi perkembangan. Pada kenyataanya, individu yang memiliki IQ tinggi tidak selalu sukses, malah sebaliknya, dimana individu yang memiliki IQ menengah bahkan rendah mampu meraih sukses dengan sempurna. Seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya bahwa banyak anak-anak pintar dan cerdas di Indonesia maupun di negara-negara lainnya, tapi mereka lebih mudah depresi, lebih cepat putus asa dan mudah marah. Sepertinya, dalam kasus tersebut terdapat kejannggalan. Dan, kejanggalan tersebut disikapi sepenuhnya oleh Daniel Goleman, yakni seorang ahli psikologi perkembangan dari Universitas Harvard, Amerika Serikat.15

Goleman memaparkan beberapa hasil penelitiannya mengenai kecerdasan lain dalam kejiwaan manusia, dalam bukunya yang berjudul Emotional Intelligence yang diterbitkannya pada tahun 1995. Ia mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu orang lain, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Beliau juga mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan

      

15 Al.Tridhonanto, Melejitkan 


(45)

dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasaan, serta mengatur keadaan jiwa.

Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang mampu menempatkan emosi secara tepat, memilah kepuasaan dan mengatur suasana hati.

Lambat laun teori kecerdasan emosional inipun disempurnakan oleh ahli psikologi perkembangan tepatnya pada tahun 1999, yakni oleh Cooper dan Sawaf. Mereka berpendapat bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energy dan pengaruh yang manusiawi. Di dalam kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain. Selain itu, mampu menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energy emosi dalam kehidupan sehari-hari.

Di tahun yang sama, dua orang ahli perkembangan juga memiliki pendapat mengenai kecerdasan emosional. Dua orang ahli tersebut bernama Howes dan Herald.16 Mereka juga berpendapat bahwa kecerdasan emosional komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Emosi manusia berada di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi, bila diakui dan dihormati, kecerdasan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.

Dari pendapat-pendapat para ahli di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kecerdasan emosioanal menuntut manusia agar dapat mengembangkan kemampuan emosionalnya dan kemampuan sosialnya. Kemampuan emosional sendiri meliputi sadar akan keadaan emosi diri sendiri, kemampuan mengelola emosi, kemampuan memotivasi diri, dan kemampuan menyatakan perasaan kepada orang lain.

Apabila ditinjau lebih dalam, ternyata terdapat tiga unsur yang pokok mengenai kecerdasan emosional, yakni mengenai kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri), kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial

      

16 Al.Tridhonanto, Melejitkan 

Kecerdasan Emosi (EQ)………... hal 5   


(46)

(kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki orang lain). Ketiga unsur pokok inilah yang membentuk kecerdasan emosional secara utuh.

F. Fungsi Emosi Sebagai Pengembangan Intelektual

Menurut Amaryllia Puspasari, fungsi emosi sebagai pengembangan intelektual diantaranya:

1. Fungsi pengatur terhadap pertumbuhan jiwa.

Emosi yang terlatih dapat mengembangkan tingkat kedewasaan seseorang, dalam arti lain semakin kita mengerti pemahaman emosi kita semakin kita tahu cara pengendaliannya.17

Anak yang dikembangkan dengan dilatih emosi secara intensif oleh orang tuanya tentu akan memahami arti emosi bagi dirinya dan orang lain. Anak tahu ketika ibunya senang, ia dapat meminta mainan kesukaanya tanpa perlu omelan panjang dan tidak memakan waktu lama. Tentunya, anak akan mengerti bahwa jangan meminta mainan kepada ibunya ketika ibunya sedang dalam kondisi tidak menyenangkan. Sang anak berpikir jangankan membeli mainan, bisa saja dia menjadi korban ibunya.

Rasa empati tidak akan muncul dengan sendirinya. Anak yang diajarkan untuk berbagi dengan saudaranya baik dalam hal mainan maupun makanan, ia memiliki konsep konsep terhadap empati yang berbeda dengan anak yang di didik individualistic. Beberapa penelitian psikologi menunjukkan behwa anak tunggal umumnya memiliki kesulitan terhadap memahami arti berbagi dibandingkan dengan anak yang memiliki saudara, meskipun kadangkala mereka memiliki pencapaian akademis yang lebih baik. Langkah awal untuk mengajarkan anak agar bersikap lebih peduli adalah dengan menerima anak dengan kelebihan dan kekurangannya. Selain itu anak perlu diberikan contoh. Perlihatkan simpati orang tua pada perasaan anak maupun orang lain, untuk menumbuhkan rasa empati anak pada lingkungan

      

17 Amaryllia Puspasari, Emotional 

intelligence Parenting, (Jakarta: PT Elex Media  Komputindo, 2009) hal.10 


(47)

sekitarnya. Memberikan anak tanggung jawab yang ringan misalnya membereskan mainannya. Mengajak si kecil bersosialisasi juga dapat menumbuhkan sifat peduli. Dalam pergaulan, dia akan melihat pentingnya sikap berbagi dan saling memperhatikan orang lain.18

Empati dapat berkembang dan membantu pembentukan intelektualitas. Keterbukaan seseorang akan banyak membantu orang tersebut dalam mengumpulkan pesan emosi yang sangat berguna dalam pembentukan kemampuan verbalnya. Anak yang memiliki empati tentu akan memiliki kemampuan mengorganisasikan bahasa dalam berkomunikasi kepada setiap orang.

2. Memahami dan melakukan anallisis terhadap emosi; memperkaya pengetahuan terhadap emosi.

Emosi harus terus menerus dilatih untuk menjadi kaya. Seorang anak yang memiliki interaksi social yang tinggi dengan teman sebayanya, saudaranya maupun orangtuanya tentu akan memiliki pengetahuan emosi yang lebih kaya dibandingkan anak sebayanya yang memilki interaksi social lebih rendah.

Kebiasaan seorang kakak menjahili adiknya adalah sebagian perilaku anak untuk mengendalikan emosi. Ia melihat kalau ia menunjukan mimik lucu pada wajahnya, adiknya akan tertawa, kalau ia berteriak-teriak disamping adiknya, adiknya akan menangis karena terkejut. Kalau ia mencubit pipi adiknya, adiknya akan menangis kesakitan. Respons yang berbeda yang ditimbulkan oleh adik mengenalkan arti emosi kepada sang kakak.

Pengetahuan akan emosi akan membantu pengembangan intelektual, terutama dalam bidang studi yang berkaitan dengan adanya kausal (sebab akibat) seperti sejarah dan bahasa, juga akan membantu proses pemahaman logika sederhana.19

      

18 Dyah Pitaloka, Melejitkan 

Kecerdasan Intelektual&Emosional Buah Hati, (Yogyakarta:  Lentera Media, 2009), hal. 102 

19 Amaryllia Puspasari, Emotional 

intelligence ………. hal.12   


(48)

3. Emosi sebagai penunjang pola berpikir.

Mungkin hanya beberapa orang yang menyadari bahwa emosi sangat menunjang pola berpikir. Kecenderungan seorang anak dapat berpikir kreatif apabila berada di sekeliling orang yang menciptakan emosi positif seperti membuat dirinya senang, tenang dan bersemangat, pasti dipahami oleh seluruh orang tua. Sebaliknya dalam kondisi yang tidak menyenangkan, tentu seorang anak akan sulit berpikir.

Kadang kala kesulitan seorang anak dalam mempelajari matematika lebih disebabkan adanya ketakutan yang berlebihan, akibatnya soal matematika yang mudah terlihat menjadi sulit untuk dikerjakan. Mengapa? Ternyata guru yang tegas dan keras serta tidak segan untuk menghukum lompat kodok kepada murid, menyebabkan seorang anak menjadi cemas dan tidak mampu menyerap maupun memahami pelajaran matematika yang diberikan. Namun, apakah terjadi kepada semua murid? Ternyata tidak, murid yang memiliki kecerdasan emosi yang cukup tinggi melihat bahwa tekanan tersebut merupakan salah satu tantangan untuk terus maju dan berkembang.20

Anak yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi memiliki kesempatan untuk mengembangkan pola berpikirnya menjadi lebih baik karena ia mengurangi tekanan maupun kecemasan yang disebabkan oleh pengaturan emosi yang tidak tepat dan berlebihan.

4. Persepsi, penghargaan, dan ekspresi emosi.

Ekspresi terbentuk dari emosi, pola asuh anak selalu melibatkan emosi. Normalnya ketika orang tua melakukan kontak dengan anaknya selama proses pengasuhan maka orang tua membina keterikatan emosi.21 Anak menyadari bahwa apabila dia menangis maka sang ibu akan mendekatinya dan menanyakan apa yang terjadi dengan wajah berusaha melindungi anaknya. Terbentuklah adanya persepsi emosi pada sang anak, bahwa ibunya menyayanginya dan melindunginya apabila

      

20 Amaryllia Puspasari, Emotional 

intelligence ………. hal.13 

21 Amaryllia Puspasari, Emotional 


(49)

anak merasa terancam dan tidak nyaman. Akhirnya dari ekspresi emosi yang orang tua timbulkan menimbulkan bentukan persepsi emosi pada seorang anak.


(50)

BAB IV

KETERKAITAN ANTARA KELUARGA DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK

A. Keluarga sebagai Wahana Pertama dan Utama Pendidikan Karakter Anak

Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika keluarga-keluarga yang merupakan fondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah masyarakat - seperti kejahatan seksual dan kekerasan yang merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat - merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga.1 Orang tua adalah pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak. Kepribadian orang tua, sikap dan

      

1 

Melly Latifah, “Peranan Keluarga Dalam Pendidikan Karakter Anak”, dari 


(51)

gaya hidup mereka, merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang bertumbuh itu. Sikap anak terhadap guru agama dan pendidikan agama di sekolah sangat dipengaruhi oleh sikap kedua orang tuanya terhadap agama dan guru agama khususnya.2

Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Fungsi utama keluarga adalah ”sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga, sejahtera”.

Menurut pakar pendidikan, William Bennett, keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan.3 Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya.

Hubungan orang tua sesama anak sangat mempengaruhi pertumbuhan jiwa anak. Hubungan yang serasi, penuh pengertian dan kasih sayang, akan membawa kepada pembinaan pribadi yang tenang, terbuka dan mudah dididik, karena dia mempunyai kesempatan yang cukup dan baik untuk bertumbuh dan berkembang. Tapi hubungan orang tua yang tidak serasi, banyak percekcokan dan perselisihan akan membawa anak kepada pertumbuhan pribadi yang sukar dan tidak mudah dibentuk, karena anak tidak mendapatkan suasana yang baik untuk berkembang, sebab selalu terganggu oleh suasana orang tuanya.4 Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit

      

2 

Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT Bulan Bintang,2003), Cet.16, hal. 67 

3 

Melly Latifah, “Peranan Keluarga Dalam ………. 

4 


(52)

bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Dalam mendidik anak, sekolah melanjutkan pendidikan anak-anak yang telah dilakukan orang tua di rumah. Berhasil atau tidaknya pendidikan di sekolah bergantung pada dan dipengaruhi oleh pendidikan di dalam keluarga. Pendidikan keluarga adalah fundamen atau dasar dari pendidikan anak selanjutnya, baik di sekolah maupun di masyarakat.5 Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.

B. Aspek-aspek Penting dalam Pendidikan Karakter Anak

Untuk membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Ada tiga kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental.

1. Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya) merupakan dasar

penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepada orang lain (trust) pada anak. Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya. Menurut Erikson, dasar kepercayaan yang ditumbuhkan melalui hubungan ibu-anak pada tahun-tahun pertama kehidupan anak akan memberi bekal bagi kesuksesan anak dalam kehidupan sosialnya ketika ia dewasa. Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak.

2. Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan karakter anak karena lingkungan

      

5 

M.Ngalim Poerwanto, Ilmu Pendidikan (Teoretis dan Praktis), Bandung : PT.Remaja  Rosdakarya, 1995), cet.Ke‐8, hal.79 


(53)

yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi bayi. Pengasuh yang berganti-ganti juga akan berpengaruh negatif pada perkembangan emosi anak. Menurut Bowlby, normal bagi seorang bayi untuk mencari kontak dengan hanya satu orang (biasanya ibu) pada tahap-tahap awal masa bayi. Kekacauan emosi anak yang terjadi karena tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah kesulitan makan pada anak. Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan anak yang optimal.6

3. Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Tentu saja hal ini membutuhkan perhatian yang besar dari orang tua dan reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya. Menurut pakar pendidikan anak, seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus, menggendong, dan berbicara kepada anaknya) terhadap anaknya yang berusia usia di bawah enam bulan akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang kreatif.

C. Pola Asuh Menentukan Keberhasilan Pendidikan Karakter Anak dalam Keluarga

Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter) pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orangtua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang dan lain-lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras

      

6 


(1)

68

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapatlah penulis simpulkan sebagai berikut:

Keluarga mempunyai peranan penting dalam mengembangkan kecerdasan emosional anak, karena keluarga merupakan wahana untuk mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak. Peran lingkungan keluarga di dalam mengembangkan dan mendidik aspek emosional anak diantaranya: Menciptakan suasana yang baik dalam lingkungan keluarga, setiap anggota keluarga melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing, menghindari segala sesuatu yang dapat merusak pertumbuhan jiwa anak, misalnya saling mengejek sesama anggota keluarga dan memberi kesempatan kepada anak untuk bergaul dengan teman-temannya di luar lingkungan keluarga.

B. Saran-saran

1. Kepada para orang tua, hendaklah memberikan keteladanan yang baik, mendidik dan mengajarkan pendidikan agama sejak dini dengan kasih sayang dan persahabatan. Seperti ungkapan yang telah penulis paparkan sebelumnya,


(2)

69

”Jika anak dibesarkan dengan celaan, dia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, dia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyayangi diri. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.”

2. kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat hendaklah lebih dekat dengan kehidupan anak-anak dan ikut berpartisipasi pada kegiatan anak-anak. Para tokoh agama hendaknya menyampaikan kisah-kisah moral islami, agar anak bisa mengerti tentang akhlak dan moral nabi, sahabat-sahabat nabi dan para ulama terdahulu yang sudah teruji akhlaknya, sehingga anak-anak bisa mencontoh sifat dan perilaku mereka.

3. Kepada guru dan para pendidik, hendaknya mencintai anak-anak muridnya, ilmu yang menjadi spesifikasinya dan profesinya. Kondisi mental anak-anak tergantung dari kecintaan guru terhadap mereka dan profesinya, semakin besar kecintaan itu maka semakin baik kondisi mental dan emosional murid. Para guru juga harus menggunakan strategi dan metode mengajar yang bervariasi agar anak-anak murid merasa senang dan tidak stres ketika proses belajar-mengajar. Keteladanan yang baik juga harus diberikan guru kepada murid, karena pendidikan yang efektif ialah dengan teladan dibanding dengan kata-kata.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A.Suseno Tutu April, EQ Orang Tua VS EQ Anak. Yogyakarta:Diglossia Printika, 2009.

Agustian, Ary Ginanjar, ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Arga,2002

Ahmad Karzun, Anas, Anak Adalah Amanat. Jakarta: Qisthi Press, 2006

Amini, Ibrahim, Agar Tak Salah Mendidik. Al-Huda : Jakarta,2006.

Amini, Ibrahim, Kiat Memilih Jodoh Menurut Al-Quran dan Sunnah. Jakarta : Lentera, 1996.

Bisri, H.A. Fulex, Ketika Orang Tua Tak Lagi Dihormati, Mujahid Grafis: Bandung, 2004.


(4)

Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT Bulan Bintang,2003.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT.Bina Pustaka,1988.

E.Shapiro, Lawrence, Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.

Goleman, Daniel Alih Bahasa: Alex Tri Kantjoro, Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta: Gramedia Pustaka, 2003

Goleman, Daniel, Kecerdasan Emosional. Jakarta:Pt Gramedia Pustaka Utama,2000

Goleman, Daniel, Working With Emotional Intelligence. New York : Bantam Books,1999

Hasbullah. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta,2006.

Indra Soefandi dan Ahmad Pramoedya, Strategi megembangkan Potensi Kecerdasan Anak. Bee Media Indonesia, Jakarta: 2009

Jalaludin Rakhmat dan Mukhtar Gandaatmaja, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994

Lanawati, Sri, Hubungan antara EI dan IQ Dengan Prestasi Belajar, Tesis. Jakarta, Universitas Indonesia,1999


(5)

Latifah, Melly “Peranan Keluarga Dalam Pendidikan Karakter Anak”, dari www.blogspot.com, 1 Maret 2008

Muhammad Naufal, Abu Ahmad, Langkah Menggapai Kebahagiaan Berumah Tangga. Yogyakarta: Al-Husna Press, 1994.

Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: logos wacana Ilmu, 1997

Nggermanto, Agus, Quantum Quotient. Bandung: Penerbit Nuansa: 2002

Notowidegdo, Rohiman, Ilmu Sosial Dasar. Jakarta : Pustaka Anta, 1992.

Pitaloka, Dyah, Melejitkan Kecerdasan Intelektual&Emosional Sang Buah Hati. Yogyakarta: Lentera Media, 2009.

Poerwanto, M.Ngalim, Ilmu Pendidikan (Teoritis dan Praktis). Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 1995.

Puspasari, Amaryllia, Emotional Intelligent Parenting. Jakarta: PT Gramedia, 2009.

R.Subekti, al-Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta : PT.Pradnya Paramita, 1990

Rasyid Dimas, Muhammad, 25 Cara Mempengaruhi Jiwa&Akal Anak. Pustaka Al-Kautsar : Jakarta,2006

Schmidt, Lauren, Jalan Menuju 7 Kali Lebih Cerdas., Bandung: Kaifa,2002


(6)

.

Subri, Alisuf, Ilmu Pendidikan. CV Pedoman Ilmu Jaya : Jakarta,1999.

Tridhonanto, Al., Melejitkan Kecerdasan Emosi (EQ) Buah Hati. Jakarta: PT Gramedia, 2009

Usman, Ahmad, Petunjuk Membina Keluarga Bahagia. Semarang : CV.Toha Putra, 1976


Dokumen yang terkait

Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Sikap Siswa dalam Pembelajaran Bermuatan Multikultural di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda (YPSIM)

0 47 150

Hubungan Kecerdasan Emosional Ibu dengan Perilaku Memelihara Kesehatan Gigi dan Mulut Serta Indeks Plak Gigi Anak di TK.Y.P Kristen Andreas Medan

1 42 53

Komunikasi Antar Pribadi Ayah Dan Perkembangan Kecerdasan Emosional Anak Remaja (Studi Korelasional tentang Pengaruh Komunikasi Antar Pribadi Ayah terhadap Perkembangan Kecerdasan Emosional Anak Remaja di SMA Swasta Al- Ulum, Medan)

0 44 140

Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Perilaku Delinkuen Pada Remaja Laki-Laki

8 51 85

Pengaruh Kecerdasan Emosional Dan Spiritual Terhadap Sikap Etis Mahasiswa Akuntansi Dipandang Dari Segi Gender (Studi Pada Perguruan Tinggi Negeri Di Kota Medan)

8 82 161

IMPLEMENTASI POLA ASUH SINGLE PARENT TERHADAP PERKEMBANGAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK PRA IMPLEMENTASI POLA ASUH SINGLE PARENT TERHADAP PERKEMBANGAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK PRA SEKOLAH DI TK PERTIWI REMBUN NOGOSARI BOYOLALI.

0 1 12

PERANAN ORANG TUA TERHADAP PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK Peranan Orang Tua Terhadap Perkembangan Sosial Emosional Anak Kelompok B Di TK Pertiwi 1 Sine Sragen Tahun Ajaran 2011/2012.

0 1 15

PERANAN ORANG TUA TERHADAP PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK Peranan Orang Tua Terhadap Perkembangan Sosial Emosional Anak Kelompok B Di TK Pertiwi 1 Sine Sragen Tahun Ajaran 2011/2012.

0 0 16

Perkembangan Kecerdasan Emosional and Mo

0 0 21

Peranan Keluarga dalam Pendidikan Emosional Anak

0 0 10