Makalah Membangun Spiritualitas Kerja da (1)

A. Pendahuluan
Kemajuan dan kemunduran suatu bangsa sangat erat kaitannya dengan
sumber daya manusia sebagai subjek dari pelaku kerja. Apabila sumber daya
manusianya memiliki kinerja yang baik, maka akan berpengaruh besar terhadap
kemajuan bangsa. Sebaliknya, ketika sumber daya manusia tidak sesuai dengan
budaya kerja sebagaimana mestinya, maka akan berpengaruh terhadap
kemunduran suatu bangsa.
Meski demikian, bekerja dapat dimaknai sebagai sarana untuk memenuhi
kebutuhan hidup agar manusia dapat eksis dalam kehidupan di dunia. Oleh karena
itu, dalam skala yang lebih besar, pekerjaan memiliki arti agar manusia dapat
eksis dalam kehidupan untuk menggapai kesuksesan dan kesejahteraan jasmani
dan rohani.
Bekerja dalam upaya mencari nafkah merupakan rutinitas seseorang (daily
activities), sehingga seseorang yang bekerja harus memiliki energi spiritual yang
baik untuk mengisi ruang pekerjaanya tersebut. Dalam hal ini mereka bekerja
bahkan terjun ke dunia bisnis dalam rangka mengikuti kata hati sekaligus
menjalankan perintah Ilahi, di samping untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan demikian, pekerjaan yang bernilai beribadah, menjadi jalan untuk
menggapai rezeki, dan berupaya sebanyak-banyaknya untuk memberikan manfaat
tidak hanya terhadap diri sendiri, namun juga kepada orang lain.
Dalam Islam, penciptaan manusia digambarkan Allah swt. sebagai makhluk

yang paling baik bentuknya (fii ahsani taqwim). Sebagai makhluk yang secara
jasmani dan rohani baik tersebut, manusia memiliki berbagai macam kebutuhan.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, manusia harus bekerja, karena kebutuhan
itu tidak secara otomatis melainkan harus diaplikasi melalui sebuah usaha.1
Oleh karenanya, bekerja untuk mencari nafkah menjadi kewajiban manusia
dengan harus memiliki motivasi spiritualitas, sehingga bekerja tidak hanya
mengejar masalah dunia ansich, namun harus diiringi oleh nilai-nilai ilaihiyah
(esoteris). Banyak pekerjaan yang dilakukan yang orientasinya hanya menjurus
kepada sifat duniawi semata (hubbuddunya) akan berujung pada kasus seperti
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Kapitalisme (memonopoli seluruh usaha); dan

1

Sudirman Tebba, Bekerja dengan Hati, (Jakarta: Bee Media Indonesia, 2008), hal. 10

1

hal buruk lainnya. Padahal subtansinya, bekerja bisa dijadikan sebagai suatu
ibadah.
Kombinasi antara bekerja dan ibadah sangat perlu ditekankan. Apabila

seseorang memiliki energi spiritualitas dalam bekerja, akan sangat memungkinkan
pekerjaan yang diusahakan akan mempu menyeimbangkan antara bekerja sebagai
pemenuhan kebutuhan di dunia, dan bekerja sebagai bekal di akhirat dengan
menanamkan nilai-nilai spiritual dalam bekerja.
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis akan berupaya memaparkan
dimensi spiritualitas bekerja dalam usaha menjadikan kerja sebagai ladang amal
dan ibadah sekaligus sebagai sinergitas dengan orientasi utama bekerja dalam
pembentukan karakter ikhlas bekerja. Hal ini penting, mengingat begtitu banyak
hal-hal negatif yang dilakukan apabila kerja tanpa dilandasi keikhlasan. Dengan
rumusan masalah pada aspek dimensi spiritual dalam kerja ikhlas; sinergitas nilainilai spiritual dalam bekerja; sehingga dengan demikian akan terwujud
kesempurnaan kerja yang sesuai dengan kemaslahatan dan fitrah manusia dan
mendapat ridho daripada Allah swt.
B. Dimensi Spiritual dalam Kerja Ikhlas
1. Pengertian Kerja dan Ikhlas
Kerja Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan sesuatu
yang harus dilakukan.2 Sedangkan secara terminologi, Yusuf Qardhawi dalam
bukunya Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan Terjemahan Syafri Halim
mengatakan bahwa kerja merupakan suatu usaha yang dilakukan seseorang,
baik sendiri ataupun bersama orang lain untuk memproduksi suatu kondisi atau
memberikan jasa.3 Sedangkan Tata Tasmara dalam bukunya Etos Kerja Islami

menyimpulkan bahwa kerja adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dengan
mengerahkan seluruh aset, pikiran, dan zikirnya untuk mengaktualisasikan
dirinya sebagai hamba Allah swt. yang menempatkan dirinya sebagai bagian
dari masyarakat yang terbaik (khairul ummah).4

2

Ana Retnoningsih dan Suharso, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang: CV. Widya
Karya, 2009), hal. 174
3
Yusuf Qardhawi, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan Terj. Syafri Halim, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), hal. 25
4
Tata Tasmara, Etos Kerja Islami, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hal. 42

2

Dari beberapa definis di atas, dapat disimpulkan bahwa kerja adalah suatu
upaya memenuhi kebutuhan lahir dan batin untuk keperluan di dunia dan bekal
di akhirat kelak. Bekerja bukan hanya sekedar memperoleh penghasilan,

namun bekerja merupakan perintah Allah swt. untuk menjadikan manusia
bermanfaat bagi sesama. Selain itu, akan diperoleh berbagai pengalamanm
kreatifitas, dan siap untuk menghadapi tantangan zaman globalisasi.
Istilah kerja dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari
rezeki untuk mencukupi kebutuhan hidup dan keluarga hanya dengan
menghabiskan waktu mulai dari pagi hingga siang, siang hingga malam, dan
terus menerus hingga tidak mengenal lelah. Akan tetapi kerja mencakup segala
bentuk amalan dan keberkahan bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan
bangsa.5
Sementara, Ikhlas berasal dari kata akhlasa yang secara bahasa berarti
bersih, murni, dan jernih. Sedangkan para ulama mendefiniskan kata ikhlas
dengan

beragam

pendapat.

Menurut

Imam


al-Qusyairi

an-Naisabury

menyatakan apabila seseorang memiliki sifat ikhlas, maka ia akan menjadikan
Allah swt. sebagai satu-satunya tujuan hidup, meskipun yang dilakukannya
untuk mengurangi penderitaan sesama manusia namun ia akan selalu
membantu orang-orang dengan niat karena Allah swt. Adapun ikhlas menurut
al-Imam al-Masy’ari adalah kesamaan antara amalan lahir maupun batin
seorang hamba.6
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kerja ikhlas adalah usaha atau
kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan di dunia,
sebagai bekal di akhirat yang di mana usaha tersebut dilakukan dengan hati
yang bersih dan suci tanpa dinodai oleh pengaruh-pengaruh yang bersifat dunia
semata.
2. Kaitan Spiritualitas dan Kerja Ikhlas
Penting untuk mengetahui seperti apa ukuran keikhlasan dalam diri.
Karena hal ini, kita dapat menakar dan berkeyakinan terhadap pekerjaan yang
dilakukan. Apakah pekerjaan yang dilakukan untuk kepentingan dunia dan

5
6

Tata Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami, (Jakarta: Gema Insani. 2002), hal. 21
Ahmad Zacky El-Syafa, Kitab Para Pencari Ilmu, (Yogyakarta: Mutiara Media, 2014),

hal. 39

3

seisinya, atau karena wanita (hubbuddun yaa). Karena pekerjaan itu harus
diawali dan dilandasi dengan niat untuk menghasilkan nilai-nilai spiritual.
Namun, apakah keikhlasan dapat diukur atau ditimbang? Untuk mengukur
keikhlasan merupakan sebuah rahasia yang lembut sehingga samar dan
tersembunyi untuk disadari. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya untuk
mengukur kemurniannya.
Ikhlas hanya dapat diukur melalui hati masing-masing individu. Ikhlas
memiliki aksi yang nyata. Di mana aksi itu dilakukan tanpa pamrih yang
memberikan nilai tambah yang sangat besar. Dengan kata lain, untuk menjadi
ikhlas maka seseorang dituntut harus aktif dan tidak boleh pasif. Misalnya

seorang guru yang rela mendidik murid dengan segenap hati dan
kemampuannya walaupun tidak memperoleh upah, imbalan, dan balasan yang
sepadan. Guru itu memberikan pembinaan yang terbaik walaupun tidak
mendapat pujian dari orang-orang sekalipun dan guru itu pun tidak menuntut
pujian atas usahanya. Inilah yang dikatakan sebagai ikhlas yang sesungguhnya.
Hal ini sejalan dengan hadits Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan dari
Abu Hurairah ra.:

‫ ا ا نن‬:‫ل ص‬
‫ نقانل نرلسوللولل ا ل‬:‫عن نله نقانل‬
‫عنن ا نابى لهنري ننرنة نراضني ا ل‬
‫ل ن‬
‫ن‬
‫ل ل ني نن نظ للر ا انلى ا ننجنسا امن نك لنم نول ن ا انللى لصنوارلكنم نول نكانن ي نن نظ للرا انلى قلللو‬
‫ا ن‬
.‫ابك لنم‬

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak melihat (menilai) bentuk tubuhmu dan
tidak pula menilai kebagusan wajahmu, tetapi Allah melihat

(menilai) keikhlasan hatimu.” (HR. Muslim)

Dengan bekerja secara ikhlas, maka akan menambah nilai satisfaction,
yaitu pekerjaan yang tidak hanya sekedar output yang dapat memberikan rasa
kepuasan secara lahir dan batin.7
Kerja ikhlas yang memiliki nilai-nilai spiritual memiliki beberapa
indikator yang bisa dijadikan barometer, diantaranya:
Pertama, tidak terpengaruh oleh pujian atau celaan orang lain; Kedua, tidak
menuntut apapun terhadap kebaikan yang dilakukan terhadap orang lain;
7

Komaruddin Chalil, Etos Kerja Berbasis Spiritual, (Bandung: Siinnergy Publishing,
2011), hal. 105

4

Ketiga, selalu beramal walaupun dalam keadaan sendiri atau dikeramaiannya;
Keempat, tidak menyombongkan diri dihadapan orang; Kelima, jika beramal
pasti secara diam-diam tanpa sepengetahuan orang; Keenam, antara
keberhasilan dan kegagalan dijadikan sebagai hal yang sama; Ketujuh,

istiqomah dalam berpendirian; Kedelapan, Ringan tangan dan selalu merasa
nikmat untuk beramal; Kesembilan, sejalan dan searah antara kemauan hati
dengan perilaku; Kesepuluh, tidak fanatik dengan golongan, kelompok, dan
membeda-bedakan orang.
Itulah beberapa indikator keikhlasan yang memiliki nilai-nilai spiritual
yang bisa dijadikan sebagai barometer untuk diterapkan dalam bekerja dan
berkarya.
C. Sinergitas Nilai-Nilai Spiritual dalam Bekerja
Ukuran kualitas kerja seseorang memiliki tingkatan tersendiri. Seseorang
yang memiliki tingkat spiritualitas kerja yang tinggi umumnya memiliki motivasi
kerja yang tinggi dan menghasilkan pekerjaan yang maksimal hingga mampu
menghasilkan karya terbaik. Sedangkan seseorang yang tingkat spiritualitas
kerjanya rendah, mengindikasikan dirinya akan bekerja hanya untuk kepentingan
dirinya yang bisa merugikan orang lain bahkan sulit untuk meraih hasil yang
maksimal dalam pekerjaannya.
Melihat hal di atas, maka perlu adanya sebuah penggabungan nilai-nilai
spiritualitas dalam bekerja. Untuk membangun kualitas bekerja disertai nilai-nilai
spiritualitas maka dibutuhkan beberapa langkah praktis, yakni:
1. Kerja Cerdas dan Keras: Spiritualisasi Bekerja
Kerja cerdas yang memiliki nilai-nilai spiritual akan menuntut seseorang

untuk memiliki ilmu dalam bekerja. Kerja cerdas memiliki kaitan yang
signifikan terhadap spiritualitas dalam bekerja, karena di dalam pekerjaan yang
dilakukan diharapkan akan memberikan karya terbaik. Oleh karenanya pekerja
harus memiliki kecerdasan untuk memahami segala situasi dan kondisi ketika
bekerja. Seperti jika seseorang menemukan tantangan, kesulitan, dan hambatan
tentu dituntut untuk mampu keluar dari kondisi dan situasi sulit tersebut.
Namun, untuk bisa melakukan hal tersebut, tentunya diperlukan kecerdasan
dalam berpikir dan bertindak.

5

Ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang sedang menekan dirinya
untuk bekerja secara maksimal dengan paksaan dan dorongan yang yang keras
dari atasannya, maka dalam menanggapi hal tersebut ia tanggapi dengan sikap
yang sabar. Dia dituntut untuk mampu menerima dorongan dan tekanan dari
atasannya tersebut dengan pikiran-pikiran yang positif. Dari sinilah pentingnya
untuk memiliki kecerdasan dalam berpikir dan bertindak yang notabene
kecerdasan tersebut diperoleh dari menuntut ilmu dan keilmuan yang dimiliki.
Dalam al-Qur’an diisyaratkan tentang pentingnya ilmu bagi seseorang
yang ingin melakukan pekerjaan. Hal tersebut dijelaskan pada Q.S. alMujaadilah ayat 11:


‫ح‬
‫نيآا ني نلنهال ناذي ننن آنمن لنوآا انذااقيننل ل نك لنم تنفن نسلحنواافى ال ننمجال ااس نفانفنسلحنواي نفننس ا‬
‫ل‬
‫ل ال ناذي ننن آنمن لنواامن نك لنم‬
‫ل ل نك لنمج نوا انذااقينل ان نلشلزنوانفان نلشلزنواي ننرنفاع ا ل‬
‫ا ل‬
(۱۱) ‫خابينرر‬
‫ت قلى نوا ل‬
‫نوال ناذي ننن لاولتواال ناعل ننم ندنرنجا ت‬
‫ل ابنما تننعنمل لنونن ن‬
Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya
Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan:
"Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orangorang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Mujaadilah
(58): 11)
Menurut Khazanah Pengetahuan yang dikutip dalam buku Syaamil alQur’an Miracle The Reference: Mudah, Sahih, Lengkap, dan Komprehensif,
ayat di atas menunjukkan bahwa orang berilmu sangat dicintai oleh Allah swt.
Hal inilah yang dapat mengukur kualitas sumber daya manusia ketika memiliki
ilmu yang bermanfaat. Selain sebagai dimensi kualitas seseorang, ilmu juga
sebagai dimensi derajat seseorang dihadapan Allah swt. contoh dalam
kehidupan dunia, kuantitas kerja seorarang dokter kalah jauh dari tukang
becak, dalam dalam hal kualitas income (pendapatan), seorang dokter jauh
lebih besar pendapatannya. Hal ini karena orang menghargai ilmu yang
dimiliki sang dokter.8
8

Muhammad Saifuddin, Syamil al-Qur’an Miracle The Reference, (Bandung: Sygma
Publishing, 2010), hal. 1084

6

Selain itu, kerja cerdas juga memiliki kaitan dengan perihal lainnya, yaitu
kerja keras. Karena jika hanya kecerdasan tanpa dibarengi dengan kerja keras
sebagai tindakan aplikatifnya, maka akan menjadi tidak maksimal. Di mana
ketika seseorang hanya cerdas dalam mengelola suatu pekerjaan tentu akan
kurang bila tidak digairahkan dengan kerja keras, sehingga ia tidak malas
dalam bekerja. Demikianlah tuntutan agama yang bisa diterapkan oleh manusia
dalam hal kerja keras dan kerja cerdas.
2. Kerja Kualitas dan Tuntas: Orientasi Proses dan Kesempurnaan (Hasil)
Dalam bekerja, yang dinilai bukan pada apa yang dikerjakan. Akan tetapi
kecemerlangan
menjalankannya,

pikiran

dalam

menatanya,

dan

ketepatan

cara-cara

kekuatan
yang

hati

dalam

dilakukan

dalam

penyelesaiannya. Inilah subtansi dari pekerjaan tuntas dan berkualitas.9
Masalah yang dihadapi terkadang adalah ketepatan seseorang dalam
meningkatkan kualitas diri tidak sebanding dengan ketepatan dari masalah
yang dihadapinya. Padahal untuk meraih pekerjaan yang berkualitas, laju
kemampuan diri harus lebih laju dari masalah yang dihadapi. Oleh karena itu,
masalah harus dihadapi, tetapi harus fokus pada peningkatan percepatan dan
kualitas diri.
Setiap insan tentu mendambakan kesempurnaan dalam bekerja, kendatipun
kesempurnaan itu sangat sulit untuk dilakukan. Akan tetapi, sekurangkurangnya seseorang harus terus bergerak ke arah kesempurnaan. Karena sikap
optimis yang dijadikan perisai ketika menghadapi berbagai masalah. Masalah
bisa menjadi keuntungan bahkan juga menjadi kerugian. Setiap kondisi harus
menjadi inspirasi untuk refleksi dan evaluasi diri. Apakah kondisi hari ini lebih
baik, stagnan, atau justru lebih buruk? Ketiga kondisi ini tidak boleh dibiarkan
berlalu begitu saja menghancurkan potensi diri.
Ada beberapa kriteria kerja berkualitas, diantaranya:
a. Setiap pekerjaan harus dilakukan dengan petunjuk yang benar agar
pelaksanaan pekerjaan tersebut menghasilkan keuntungan, apalagi hasilnya
tentu akan berpengaruh terhadap dirinya sendiri.

9

Komaruddin Chalil, Etos Kerja Berbasis Spiritual, (Bandung: Siinnergy Publishing,
2011), hal. 175

7

b. Setiap pekerjaan yang berkualitas harus memiliki penasehat dan
pengawasan yang menyerukan kebaikan dan mencegah terjadinya hal-hal
yang memicu kesalahan.
c. Setiap pekerjaan harus dilaksanakan dengan usaha yang optimal dan kuat,
serta harus memiliki kesiapan yang benar-benar matang dalam menekuni
pekerjaannya agar kualitas pekerjaannya menguntungkan.
d. Ukuran kualitas kerja harus diukur dari banyaknya manfaat dan kebaikan
yang terkandung didalamnya dan menghindari penumpukan pekerjaan yang
atau sikap melalaikan pekerjaan.
e. Penanaman sikap untuk berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan
(fastabiqul khairaat) agar pekerjaan yang dilakukan menghasilkan nilai
berkualitas dalam penilaian Allah swt. dan dalam penilaian sesama manusia
baik itu pimpinan, rekan kerja, karyawan, keluarga, dan lain sebagainya.
Kerja kualitas adalah yang berorientasi pada proses lalu kerja tuntas yang
berorientasi pada hasilnya (kesempurnaannya). Kerja tuntas lebih menekankan
pada aspek penyelesaian secara cepat dan tepat dengan hasil yang maksimal
lalu segera menyelesaikan pekerjaan yang lain untuk menghindari penumpukan
pekerjaan. Hal ini senada dengan firman Allah swt.:

(۷) ‫ب‬
‫نفاانذانفنر ن‬
‫غ ن‬
‫ت نفان ننص ن‬

Artinya: “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (QS. al-Insyirah (94):
7)
Ayat di atas mengindikasikan bahwa saat bekerja, lakukan dengan segera
dan selesaikan secepatnya. Namun, dilakukan dengan penuh perhatian dan
saksama. Tuntaskan satu pekerjaan dan bersenang hati menyambut pekerjaan
lainnya. Karena di mana saat tidak ada tumpukan pekerjaan, maka beban kerja
berikutnya akan lebih ringan. Hati, jiwa, dan raga akan berpadu dengan bekerja
lebih maksimal dan fokus untuk menggapai prestasi berikutnya.10
Oleh karena itu, pekerjaan harus dituntaskan, selesaikan, dan maksimalkan
di rumah, kantor, masyarakat dan di manapun agar ketika kerja tuntas berhasil
dilakukan maka bisa dijadikan sebagai pedoman dalam beraktifitas sehari-hari.

10

Muhammad Saifuddin, Syamil al-Qur’an Miracle The Reference, (Bandung: Sygma
Publishing, 2010), hal. 1199

8

Hal tersebut dijelaskan dalam al-Qur’an tentang kesuksesan dari kerja kualitas
dan kerja tuntas:

) ‫( انراجاعني ا انلي نرانباك نرااضينةة نمنراضي نةة‬۲۷) ‫نيآا ني نتلنهاالن نفنلس ال نلمط ننمئان نلة‬
(۳۰) ‫خل اني نجن ناتني‬
‫( نواند ل‬۲۹) ‫ي‬
‫( نفاند ل‬۲۸
‫خل اني افني اعنبااد ن‬

Artinya: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati
yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah
hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.” (QS. al-Fajr
(89): 27-30)
3. Elan Vital Spiritualitas Bekerja
Islam mengajarkan kepada umatnya bahwa bekerja merupakan perintah
Allah swt., sehingga dalam bekerja terdapat norma, aturan, dan etika yang
harus diperhatikan. Dalam al-Qur’an, terdapat petunjuk mengenai norma,
aturan, dan etika dalam bekerja pada QS. al-Jumu’ah ayat 10:

‫نفا انذاقلاضين ا‬
‫ل ا لا‬
‫ت ال نصنلولة نفان نتناشلرنواافى ال نا ننراض نوانبتنلغنوا امنن نفنض ا‬
(۱۰) ‫ل نكاثينةرا ل ننعل نك لنم تلفنل نلحنونن‬
‫نوانذلكلرواا ن‬

Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung.” (QS. al-Jumu’ah (62): 10)

Ayat di atas, terdapat tiga hal yang memiliki korelasi mengenai norma,
aturan, dan etika dalam bekerja. Tiga hal tersebut yakni menunaikan shalat
(shalat); mencari karunia Allah (kerja); dan mengingat Allah swt. (dzikir).
Ketiga hal ini saling bersinergi untuk ditanamkan dan diterapkan dalam nilainilai spiritualitas bekerja.
Sinergi tiga hal di atas, memberikan edukasi bahwa sebelum bekerja
harus melakukan sholat (ibadah) untuk menata niat secara murni dan bersih
ketika melakukan pekerjaan dengan meluruskan niat, tujuan, dan memohon
petunjuk kepada Allah swt. agar ketika bekerja mendapat hidayah dan bernilai
ilahiyah (ibadah).
Setelah meluruskan niat, manusia dituntut untuk bekerja sesuai dengan
bidang dan profesinya masing-masing. 11 Sehingga dari hasil kontemplasi dalam
ibadah sholat sebelum bekerjalah yang mendorongnya melakukan pekerjaan
11

Lihat QS. al-Israa’ (17): 84

9

yang halal dan baik yang bernilai ibadah kepada Allah dan dilandasi dengan
nilai-nilai profesionalitas, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:

‫عنة‬
‫إانذا ا لنسن نند ال ننملر إانلى ن‬
‫غينار ا ننهل ااه نفان نتناظلر ال نسا ن‬

Artinya: “Apabila urusan tidak ditangani oleh yang ahlinya (profesional),
maka tunggulah waktunya (kehancuran).” (HR. Muslim)

Namun pada waktu bekerja dilakukan, pekerjaan itu harus diiringi
dengan dzikir dan mengingat Allah swt. Dzikir dalam arti menghayati,
merenungi, memaknai, dan melibatkan hati dalam bekerja. Sehingga pekerjaan
yang diiringi dengan dzikir kepada Allah swt. akan membawa ketenangan jiwa
dan semangat yang menggebu-gebu dalam melakukan pekerjaan.
Dengan demikian, ketiga hal tersebut diaplikasikan dengan baik dan
benar maka seseorang akan berada pada keadaaan (ahwal) ketentraman jiwa
dan batinnya, terpuaskan jiwanya, bahkan mendapatkan kebahagiaan di dunia
dan di akhirat. Dengan pekerjaan yang halal dan baik itu jugalah yang
menyelamatkan manusia di akhirat kelak.
Pada surah al-‘Ashr juga terdapat tiga hal sebagai impikasi dari shalat;
kerja; dan dzikir (QS. al-Jumu’ah: 10) di atas. Sebagaimana firman Allah swt.
dalam QS. al-‘Ashr ayat 1-3:

‫ا ا نلاال ناذي ننن‬

(۲) ‫خنستر‬
‫( ا ا نن ال نا ان ننسانن ل نافني‬۱) ‫نوال ننعنصار‬
‫ل‬
‫عامللواال نصل انح ا‬
(۳) ‫ت نوتننوانصنواابال ننحق نل نوتننوانصنواابال نصنبار‬
‫آنمن لنوانو ن‬

Artinya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. al-‘Ashr
(103): 1-3)
Pada ayat di atas, terdapat tiga hal yang bersinergi. Tiga hal tersebut
adalah iman; amal shaleh; dan nasehat. Shalat; kerja; dan dzikir yang terdapat
pada surah al-Jumu’ah ayat 10 di atas memiliki implikasi yang ada pada surah
al-‘Ashr ayat 1-3. Artinya ibadah itu didasari oleh iman. Iman dapat
meluruskan niat, hati, akal, dan pikiran. Hal tersebut dapat dilakukan melalui
ibadah sholat; yang berimplikasi pada kerja yang memiliki nilai amal shaleh
karena dengan bekerja seseorang akan memperoleh pahala dan jika tidak
mendapatkan pahala maka akan sia-sia pekerjaan yang dilakukannya.

10

Oleh karena itu, pekerjaan harus bernilai amal shaleh, karena bekerja
merupakan perintah Allah swt. maka bekerjanya harus sesuai dengan perintah
Allah swt. karena jika bekerjanya sesuai dengan perintah Allah swt.
(spiritualitas), maka amal shaleh itulah yang akan diperoleh. Bekerja yang
didasari dengan iman tidak boleh terlepas dari nasehat. Nasehat merupakan
bagian dari dzikir kepada Allah swt. Nasehat yang dimaksud adalah berupa
arahan, diskusi, mengarahkan orang jika ada suatu hal yang tidak diketahui,
menolong orang, dan menjaga setiap perkataan.
Jadi dapat dipahami bahwa shalat harus didasari oleh iman, bekerja
memiliki nilai amal shaleh, dan untuk mempertahankan nilai amal shaleh maka
dzikir menjadi peranan penting sebagai bentuk nasehat menasehati dalam
kebaikan dan ketaqwaan kepada Allah swt.
D. Kesimpulan
Bekerja untuk mencari nafkah menjadi kewajiban bagi manusia untuk
memiliki motivasi spiritualitas, sehingga bekerja tidak hanya mengejar masalah
dunia ansich, namun harus diiringi oleh nilai-nilai ilaihiyah (esoteris). Apabila
pekerjaan dilakukan dengan nilai-nilai spiritual, tentu akan pekerjaan itu menjadi
ibadah di sisi Allah swt. yang menjadikan manusia selamat di dunia dan di
akhirat.
Kombinasi antara bekerja dan ibadah sangat perlu ditekankan. Apabila
seseorang memiliki energi spiritualitas dalam bekerja, akan membuat seseorang
mampu menyeimbangkan antara bekerja sebagai pemenuhan kebutuhan di dunia,
dan bekerja sebagai amal untuk bekal di akhirat yang tentunya dengan sinergi
nilai-nilai spiritual dalam bekerja.
Adapun sinergitas nilai-nilai spiritual dalam bekerja tersebut yakni:
Pertama, Kerja Cerdas dan Keras sebagai Spiritualitas Bekerja; Kedua, Kerja
Kualitas dan Tuntas sebagai Orientasi Proses dan Kesempurnaan (Hasil); Ketiga,
Elan Vital Spiritualitas Bekerja. Dengan demikian, dimensi spiritualitas bekerja
dalam usaha menjadikan kerja sebagai ladang amal dan ibadah sekaligus sebagai
sinergitas dengan orientasi utama bekerja dalam pembentukan karakter ikhlas
bekerja. Hal ini penting, mengingat banyak hal-hal negatif yang dilakukan apabila
kerja tanpa dilandasi keikhlasan dan nilai-nilai spiritual didalamnya.
Wallahua’lamu bimuroodihi

11

E. Daftar Pustaka
Chalil, Komaruddin. 2011. Etos Kerja Berbasis Spiritual. Bandung: Siinnergy
Publishing.
El-Syafa, Ahmad Zacky. 2014. Kitab Para Pencari Ilmu. Yogyakarta: Mutiara
Media.
Hawa, Sa’id. 2010. Tazkiyatun Nafs; Intisari Ihya Ulumuddin. Jakarta: Pena
Pundi Aksara.
Qardhawi, Yusuf. 1995. Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan Terj. Syafri Halim,
Jakarta: Gema Insani Press.
Saifuddin, Muhammad. 2010. Syaamil al-Qur’an Miracle The Reference.
Bandung: Sygma Publishing.
Suharso, dan Ana Retnoningsih. 2009. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Semarang: CV. Widya Karya.
Tasmara, Tata. 1995. Etos Kerja Islami. Jakarta: Gema Insani.
___________. 2002. Membudayakan Etos Kerja Islami. Jakarta: Gema Insani.

12