BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis 2.1.1. Defenisi - Karakteristik Penderita Sinusitis di RSUP H. Adam Malik Medan pada Tahun 2011

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sinusitis

  2.1.1. Defenisi

  Menurut Kamus Kedokteran Dorland (2002), sinusitis adalah peradangan sinus, biasanya sinus paranasales; mungkin purulen atau nonpurulen, akut atau kronik.

  Tipe-tipe peradangan ini dinamakan sesuai dengan sinus yang terkena. Ethmoid sinusitis adalah peradangan sinus ethmoidalis, disebut juga ethmoiditis. Frontal sinusitis adalah peradangan sinus frontalis. Maxillary sinusitis adalah peradangan sinus maxillaris, disebut juga antritis. Sphenoid sinusitis adalah peradangan sinus sphenoidalis, disebut juga sphenoiditis. (Kamus Kedokteran Dorland, 2002)

  2.1.2. Etiologi

  Adapun penyebab sinusitis umumnya adalah karena adanya infeksi yang diinisiasi oleh mikroorganisme, yaitu:

  1. Sinusitis virus akut Mayoritas utama oleh sinusitis episodik adalah disebabkan oleh infeksi virus. Kebanyakan virus Infeksi Saluran Pernafasan Atas adalah disebabkan rhinovirus. Akan tetapi korona virus, influenza A dan B, parainfluenza, adenovirus, dan enterovirus adalah agen kausatif. Virus rhinovirus, influenza, dan paravirus adalah virus primer patogenik, pada 3- 15% pasien dengan sinusitis akut. Sekitar 0,5%-2%, pasien dengan sinusitis viral bisa berlanjut menjadi sinusitis bakterial akut (Ah See K, 2008)

  2. Sinusitis bakterial akut Sangat sering terkait dengan Infeksi Saluran Pernafasan Atas oleh virus, dan juga alergi, trauma, neoplasma, granulomatosa dan penyakit inflamasi, faktor lingkungan, infeksi gigi, variasi anatomi. Hal ini diakibatkan karena perannya yang bisa merusak mukosilia normal dan akan mempredisposisi infeksi bakterial.

  Antara lain adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus dan Moraxella catarrhalis. (Itzhak Brook, 2012)

  influenzae,

  3. Invasif sinusitis fungal akut Sangat jarang sinusitis disebabkan oleh fungi. Sinusitis fungi (cth, sinusitis fungal allergi) akan terlihat serupa dengan kelainan saluran napas bagian bawah dan bronchopulmonarry asppergillos allergy.

  Bipolaris dan spesies Curvullaria adalah fungi yang paling sering terdapat pada sinusitis fungal alergi Data yang paling meyakinkan menyebutkan, pada dewasa disebabkan oleh Haemophyllus Influnzae dan Streptococcus Pneumoniae sebagai patogen yang paling sering ditemukan. Hal ini terhitung dengan 65% strains bakteri yang signifikan ditemukan. Bakteri lainnya yang terlibat antara lain Neisseria sp.,

  Streptococcus pyogenes (grup A), dan streptococcus alpha-haemolytic. Untuk

  infeksi campuran akan didapati dengan pertumbuhannya yang berat, akan tetapi kultur yang paling aktif tumbuh adalah organisme yang tunggal. Ditemukan 11 virus dari 70 spesimen positif; antara lain 6 rhinovirus, 3 virus dan 2

  influenza A

  virus parainfluenza. (Ellen, R. Wald, 1985)

2.1.3. Epidemiologi

  Sinusitis mempengaruhi sekitar 35 juta orang per tahun di Amerika dan jumlah yang mengunjugi rumah sakit mendekati 16 juta orang. Menurut National

  

Ambulatory Medical Care Survey (NAMCS), kurang lebih dilaporkan 14 %

  penderita dewasa mengalami sinusitis yang bersifat episodik per tahunnya dan seperlimanya sebagian besar didiagnosis dengan pemberian antibiotik. Pada tahun 1996, orang Amerika menghabiskan sekitar $3.39 miliyar untuk pengobatan sinusitis. Sekitar 40 % sinusitis akut merupakan kasus yang bisa sembuh dengan sendirinya tanpa diperlukan pengobatan. Penyakit ini terjadi pada semua ras, semua jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan dan pada semua kelompok umur. (Lucas JW; Schiller JS; Benson V,2001)

  Wanita memiliki angka episodik yang lebih tinggi dibandingkan pria, disebutkan karena wanita lebih sering dekat dengan anak-anak. Dimana persentase kejadiannya, wanita 20,3% sedangkan pria 11,5%. (Itzhak Brook, 2012)

  Diestimasikan bahwa 0,5% infeksi saluran pernafasan atas memiliki komplikasi sinusitis akut. Keabsensian dari defenisinya yang tepat, bagaimanapun estimasinya mungkin tidak akurat. Ini seperti menjatuhkan angka antara 0,5% dan 5,0%. Untuk orang dewasa rata-rata 2 hingga 3 kali mengalami pilek per tahun dan anak-anak 6 sampai 8 kali. (Ellen, R.Wald,1985)

2.1.4. Manifestasi Klinis

  Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas (terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari. Gejala subjektif terdiri dari gejala sistemik, yaitu demam dan rasa lesu, serta gejala lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain. Pada sinusitis maksila, nyeri terasa dibawah kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus, hingga terasa di gigi. Nyeri alih terasa di dahi dan depan telinga. Pada sinusitis etmoid, nyeri di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri di bola mata atau belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis. Pada sinusitis frontal, nyeri terlokalisasi di dahi atau di seluruh kepala. Pada sinusitis sfenoid, rasa nyeri di verteks, oksipital, retro orbital, dan di sfenoid.

  Sinusitis dapat dicurigai bila ditemukan 2 kriteria mayor + 1 minor atau 1 mayor + 2 minor (W, Fokkers; V, Lund; J, Mullol: 2007).

Tabel 2.1 Karakteristik Mayor dan Minor Sinusitis Kriteria Mayor Kriteria Minor

  Nyeri wajah/nyeri wajah saat ditekan Sakit kepala Kongesti/rasa penuh di wajah Demam dan lemas Sumbatan hidung Halitosis Sekret nasal purulen/aliran post nasal Sakit gigi berubah warna Hiposmia/anosmia Batuk Demam (akut) Nyeri, rasa tertekan, penuh pada telinga

  Gejala objektif, tampak pembengkakan di daerah muka. Pada sinusitis maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis etmoid jarang bengkak, kecuali bila ada komplikasi.

  Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, frontal, dan etmoid anterior tampak mukopus di meatus medius. Pada sinusitis etmoid posterior dan pada sfenoid, tampak nanah keluar dari meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak mukpus di nasofaring (post nasal drip).

  o

  Pada anak dengan demam tinggi (>39

  C), ingus purulen, dan sebelumnya menderita infeksi saluran nafas atas, patut dicurigai adanya sinusitis akut, terutama jika tampak edema periorbital yang ringan. Khusus pada anak-anak, gejala batuk jauh lebih hebat pada siang hari tetapi terasa sangat mengganggu pada malam hari, kadang disertai serangan mengi. Keluhan sinusitis akut pada anak kurang spesifik dibandingkan dewasa. Anak sering tidak mengeluh sakit kepala dan nyeri muka. Biasaya yang terlibat hanya sinus maksila dan etmoid. (Kapita Selekta Kedokteran, 2001)

2.1.5. Patofisiologi

  Patofisiologi sinusitis terkait pada 3 faktor:

  1. Obstruksi jalur drainase sinus Hal ini akan mencegah drainase mukus normal. Ostium bisa tertutup oleh pembengkakan mukosa, ataupun penyebab lokal (cth, trauma, rhinitis). Penyakit sisitemik yang mengakibatkan berkurangnya mukosilia, termasuklah cystic fibrosis, alergi respiratori, dan diskinesia silia primer (Sindrom Kartagener), bisa menjadi faktor predisposisi akut sinusitis pada kasus yang jarang. Pasien dengan immunodefisiensi juga akan meningkatkan resiko munculnya sinusitis akut.

  Obstruksi mekanis disebabkan oleh polip nasal, benda asing, deviated septa, atau tumor bisa menyebabkan penyumbatan ostium. (Itzhak brook, 2012)

  Ostium sinus paranasalis adalah kunci dari patologi pada area sinus. Faktor yang mempredisposisikan obstruksi ostium bisa disebabkan oleh pembengkakan mukosa dan bisa dikarenakan obstruksi mekanik. Ketika sudah muncul obstruksi komplit dari ostium, akan ada peningkatan transien dalam tekanan intrasinus diikuti oleh pembentukan tekanan negative intrasinus. Pertukaran gas dalam kavitas sinus juga akan terganggu jika ostium obstruksi. Dalam hal ini, maka apar atus mukosiliar cukup kuat berkaitan dengan perubahan pasokan

  dalam oksigen (Ellen, R. Wald, 1985)

  2. Rusaknya fungsi silia Berdasarkan fisiologi sinus, drainase sinus bukan bergantung pada gravitasi melainkan pada mekanisme transport silia. Fungi silia yang buruk bisa disebabkan berkurangnya sel epitel silia, aliran udara yang tinggi, virus, bakteri atau siliatoxin dari lingkungan, mediator inflamasi, berdempetannya 2 permukaan mukosa, luka, dan sindrom Kartagener.

  Kerja silia dipengaruhi oleh faktor genetik,seperti sindrom Kartagener. Sindrom Kartagener terkait dengan silia immobile, menyebabkan retensi dari sekresi sehingga menjadi faktor predisposisi infeksi sinus. Fungsi sinus juga akan menurun dengan adanya pH yang rendah, anoxia, rokok, racun kimia, dehidrasi, dan obat-obatan (antikolinergik dan antihistamin).

  Terpapar dengan toxin bakteri juga bisa menyebabkan menurunnya fungsi silia. Abses dental ataupun prosedur yang menghubungkan antara kavitas oral dan sinus bisa menyebabkan sinusitis dengan mekanisme ini. Sebagai tambahan, kerja silia bisa dipengaruhi apabila habis kontak dengan virus.

  Udara dingin juga menghentikan epithelium silia, mengakibatkan pada kerusakan gerakan silia, serta retensi sekresi pada kavitas sinus. Pada kebalikannya, menginhalasai udara yang kering menyebabkan penggumpalan mukus sinus, dan menyebabkan sekresi berkurang. (Itzhak brook, 2012)

  Kelainan dari apparatus mukosiliari dalam hubungannya berkurang patensi dari ostia sinus adalah patofisiologi utama bahkan pada sinusitis akut. Faktor yang bisa mengganggu transport mukosiliari normal termasuk udara dingin dan panas; perubahan mukus; obat-obatan dan kimiawi; infeksi virus; kelainan kongenital seperti immotil cilia syndrome. Silia dengan pola mikrotubular abnormal merupakan yang paling sering selama periode akut, dengan kedua tambahan di sentral mikrotubular dan mikrotubular supernumeri terkait dengan struktur perifer. Motilitas normal dari silia dan adhesivitas dari lapisan mukosa biasanya melindungi peitelium respirasi dari invasi bakteri. (Ellen, R. Wald,1985)

  3. Berubahanya kualitas dan kuantitas mukus Sekresi sinonasal memiliki peran yang penting pada rhinosinusitis.

  Mukus menyelimuti garis sinus paranasal tersebut, mengandung mukoglikoprotein, immunoglobulin, dan sel inflammatori. Ini terdiri dari 2 lapisan, yaitu lapisan serosa dimana silia recover dari active beat mereka, kemudian lapisan viskos dimana sebagai transportasi silia.

  Jika komposisi mukus berubah, sehingga mukus memproduksi viskos lebih banyak (cth, cycstic fibrosis), transport ke ostium akan lebih pelan, dan lapisan gel menjadi lebih tebal. (Itzhak brook, 2012)

  Silia bisa dikalahkan hanya jika di medium fluida. Perubahan pada mukus, seperti cystic fibrose atau asthma, bisa mengganggu aktivitas silia. Adanya material purulen pada infeksi sinus akut bisa mengganggu gerakan silia dan efeknya akan diperparah dengan penutupan ostium. (Ellen, R. Wald, 1985)

  2.1.6. Pemeriksaan Penunjang

  1. Transiluminasi Akan memberikan informasi objektif atas kondisi sinus maksila dan frontal. Jika sinus normal, tiga hal harus diperhatikan: (1) refleks pupil merah, (2) bayangan sinar bulan sabit yang sesuai dengan posisi kelopak mata bawah, (3) sensasi sinar dalam mata jika kelopak mata tertutup.

  2. Cairan Radioopak Dengan menyuntikkannya ke dalam sinus, terlebih pada sinus maksila dan sfenoid. Dengan adanya cairan itu rongga sinus tampak jelas tergambar, shingga penebalan mukosa dan adanya polip dapat diketahui, dan ketidaksamaan ukuran dan bentuk dapat tergambar dengan tepat. Mukosa yang sakit tampak sebagai daerah yang tidak terisi, diantara massa minyak dan tepi tulang. (Ballenger, 1997)

  2.1.7. Diagnosa dan Terapi

  1. Metode pertukaran (Displacement) Hal ini agar obat dapat masuk ke sel-sel etmoid, sinus maksila dan sfenoid.

  Tekniknya adalah kepala pasien diturunkan ke posterior, sehingga dagu dan kanalis auditorius eksterna berada dalam satu garis vertikal. Kemudian cavum nasi pada satu sisi diisi dengan 2 sampai 3 ml cairan radioopak yang dipertukarkan. Dengan memiringkan kepala ke sisi homolateral akan meningkatkan kemungkinan cairan menutupi ostium sinus. Saat pasien menaikkan palatum molenya, tekanan negatif 180 mmHg diberikan secara hilang timbul di nares pada sisi yang diisi, dan pada sisi lainnnya ditutup dengan jari. Roentgen diambil pada 24 dan 72 jam untuk memastikan waktu pengosongan. Pada keadaan normal, sinus harus kosong dalam 96 jam.

  2. Irigasi diagnostik Pada banyak kasus, diagnosis pasti akan adanya pus tidak dapat diketahui tanpa irigasi diagnostik. Hal ini dilakukan dengan cara sama seperti untuk terapi, melalui ostium alami atau melalui pungsi. Bahan untuk kultur atau usapan dapat diambil dari cairan pada saat pencucian. (Ballenger, 1997)

2.1.8. Penatalaksanaan

  Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik sampai semua gejala hilang. Jenis amoksisilin, ampisilin, eritromisin, sefaklor monohidrat, asetil sefuroksim, trimetoprim sulfometoksazol, amoksisilin-asam klavulanat, dan klaritromisin telah terbukti secara klinis. Jika dalam 48-72 jam tidak ada perbaikan klinis, diganti dengan antibiotik untuk kuman yang menghasilkan beta laktamase, yaitu amoksisilin dan ampisilin dikombinasi dengan asam klavulanat. Diberikan pula dekongestan untuk memperlancar drainase sinus. Bila perlu diberikan analgesik untuk menghilangkan nyeri; mukolitik untuk mengencerkan, meningkatkan kerja silia, dan merangsang pemecahan fibrin.

  Pemberian steroid intranasal, kadang diperlukan untuk mengurangi edema di daerah kompleks osteomeatal, terutama bila dicetuskan oleh alergi. Apabila terdapat komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau nyeri yang hebat akibat tertahannya sekret oleh sumbatan, sehingga perlu dirujuk untuk dilakukan tindakan bedah. (Kapita Selekta Kedokteran, 2001)

Dokumen yang terkait

Karakteristik Penderita Sinusitis di RSUP H. Adam Malik Medan pada Tahun 2011

3 52 55

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Karakteristik Pasien Penderita Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012-2013

0 2 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Thalasemia - Karakteristik Penderita Thalasemia yang Dirawat Inap di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011 - April 2014

0 0 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Retina 2.1.1. Anatomi Retina - Karakteristik Penderita Retinoblastoma di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2011 – Desember 2013

0 0 26

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Anak - Karakteristik Anak Yang Menderita Leukemia Akut Rawat Inap di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2012

0 0 19

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Definisi - Karakteristik Penderita Retinoblastoma Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011 – 2012

0 0 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cutaneous Larva Migrans 2.1.1. Definisi - Karakteristik Penderita Cutaneous Larva Migrans di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2008-2012

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi - Karakteristik Pasien Retinoblastoma Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2008-2011

0 0 25

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tekanan Darah 2.1.1. Definisi Tekanan Darah - Gambaran Tekanan Darah pada Penderita Stroke Fase Akut di RSUP H. Adam Malik Medan

0 0 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. TELINGA 2.1.1. Anatomi Telinga - Hubungan Diabetes Melitus dengan Gangguan Pendengaran di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012

0 0 13