BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Penambahan Zat Aditif Minyak Nilam (Patchouli Oil) Ke

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Nilam

2.1.1. Sejarah Singkat

  Tanaman nilam menjadi salah satu penghasil minyak atsiri utama di Indonesia. Minyak atsiri juga dikenal dengan nama minyak terbang atau minyak eteris (essential oilatau

  

volatile). Sementara itu, minyak yang dihasilkan oleh tanaman nilam disebut dengan

  minyak nilam (patchouli oil). Minyak ini antara lain digunakan sebagai zat pengikat (fiksatif) dalam industri parfum, sabun, hair tonic, dan beberapa industri kosmetika. Minyak tersebut diperoleh dari hasil penyulingan (destilasi) daun dan tangkai tanaman nilam.

  Di belahan dunia timur, terutama India, tumbuhan nilam (Gambar 2.1) sudah dikenal sejak zaman purba sebagai bahan pengharum atau pewangi. Di India, daun nilam yang telah kering digunakan sebagai repelenatau pengusir serangga pada kain. Kain-kain yang telah diberi daun nilam tadi kemudian diekspor ke Eropa, sehingga aroma nilam dikenal di negara-negara Eropa. Pada pertengahan abad ke-19, pabrik- pabrik tekstil di Prancis mengimpor daun nilam kering untuk produk tekstil mereka.Selanjutnya, daun nilam juga diintroduksi ke Inggris. Dewasa ini, tanaman nilam dari India hampir seluruhnya diproduksi dan diperdagangkan dalam bentuk minyak. Minyak nilam juga banyak digunakan dalam pembuatan sabun dan kosmetika, karena dapat dicampur dengan jenis minyak atsiri lainnya, seperti minyak cengkeh, geranium, dan akar wangi. Aroma minyak nilam sangat kaya dan tahan lama, bahkan tetap terasa sampai seluruh minyaknya menguap.

  Seiring dengan perkembangan zaman, dan semakin meningkatnya kebutuhan manusia pada kesehatan dan kebugaran, minyak nilam banyak digunakan sebagai bahan baku untuk aromaterapi, karena aromanya yang sangat khas.

  Minyak nilam bersifat fiksatif terhadap bahan pewangi lain, sehingga dapat mengikat bau wangi dan mencegah penguapan zat pewangi tersebut sehingga bau wanginya tidak cepat hilang alias lebih tahan lama.Selain itu, minyak nilam juga membentuk bau yang khas dalam suatu campuran. Karena itu, minyak nilam sendiri sebenarnya sudah bisa disebut dengan parfum karena baunya memang enak dan wangi (Manoi .2007).

Gambar 2.1 Tumbuhan tanaman nilam

2.1.2. Kandungan Kimia Minyak Nilam Lingkungan tumbuh (agroklimat) mempengaruhi kandungan dan mutu minyak nilam.

  Kandungan minyak nilam dari dataran rendah lebih tinggi daripada nilam dataran tinggi. Namun, nilam dataran tinggi memiliki kandungan patchouli alkohol lebih tinggi daripada dataran rendah. Kandungan patchouli alkohol inilah yang menjadi salah satu penentu tingginya kualitas minyak nilam.Minyak nilam (gambar 2.1) mengandung beberapa senyawa, antara lain kariofilen (17,29%), α-patchoulien (28,28%), buenesen (11,76%), dan patchouli alkohol(40,04%). Sementara itu, kandungan minyak dalam batang, cabang, atau ranting jauh lebih kecil (0,4-0,5%) daripada bagian daun (5-6%). Standar mutu minyak nilam belum seragam untuk seluruh dunia. Setiap negara menentukan sendiri standar minyak nilamnya. Indonesia menetapkan standar mutu minyak nilam untuk ekspor dengan berat jenis 0,943-0,983, indeks bias 1,504-1,514, bilangan ester maksimum 10,0, bilangan asam 5,0, warna kuning muda sampai cokelat, dan tidak tercampur dengan bahan lain (Tabel 2.1). Sebelum dikirim ke eksportir, biasanya minyak nilam harus diuji terlebih dahulu untuk menentukan kualitasnya (Hayani. 2005). H C 3 H C 3 CH 3 OH H C 3 CH 2 CH 3 CH 3 H C 3 CH

3

H C 3 O CH 3 H C Caryophylen Oksida

  beta-caryophyliene Patchouli Alkohol 2 Gambar 2.2. Struktur molekul dari beberapa senyawa yang terdapat pada minyak

  nilam

Tabel 2.1. Persyaratan mutu standar minyak nilam SNI 06-2385-1998 adalah sebagai berikut : Jenis Uji Satuan Persyaratan

  • – 1. Warna Kuning muda sampai coklat tua

  2. Bobot jenis 0,943 – 0,983 –

  20

  3. Indeks bias nD 1,504 – 1,514 –

  • – 4. Kelarutan dalam Etanol 90% Larutan (jerni) atau opalesensi ringan

  

pada dalamsuhu 20 C ± 3 C perbandingan volume 1:10

  • – 5. Bilangan asam Maks 5,0
  • – 6. Bilangan ester Maks 10,0

  7. Zat-zat asing

  • – 7.1. Lemak Negatif –

7.2. Minyak kruing Tidak nyata

  • – 7.3. Alkohol tambahan Negatif –

  7.4. Minyak pelican Negatif Hayani (2005)

2.1.3. PerkembanganTeknologi Pengolahan Minyak Nilam

  Minyak nilam dihasilkan melalui proses penyulingan, sebelum proses penyulinganbiasanya dilakukan perlakuan pendahuluan terhadap bahan yang akan disuling. Perlakuan tersebut dapat dengan beberapa cara yaitu dengan pengecilan ukuran, pengeringan atau pelayuan dan fermentasi (Ketaren, 1985). Pengolahan minyak nilam dilakukan dengan proses destilasi. Proses destilasi adalah suatu proses perobahan minyak yang terikat di dalam jaringan parenchym cortex daun, batang dan cabang tanaman nilam menjadi uap kemudian didinginkan sehingga berobah kembali menjadi zat cair yaitu minyak nilam.(Manoi.2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi rendemen minyak nilam antara lain; jenis tanaman, umur tanaman, waktu panen perubahan bentuk daun (pengecilan ukuran daun) dan teknik penyulingan untuk memperoleh minyak atsiri yang memadai jumlahnya untuk diteliti. Untuk mendapatkan minyak nilam biasanya dilakukan melalui destilasi, dimana dalam hal ini ada tiga metode penyulingan yang digunakan dalam industri minyak atsiri, yaitu:

  1. Penyulingan dengan air (hydrodistillation)

  2. Penyulingan dengan air dan uap (hydro and steam distillation)

  3. Penyulingan dengan uap langsung (steam distillation)

  4. Perbedaan antara distilasi uap langsung dengan hidrodistilasi adalah pada distilasi uap langsung tidak terjadi kontak langsung antara sampel dengan air, sedangkan hidrodistilasi sampelnya dicelupkan ke dalam air mendidih. Dalam setiap metode penyulingan bahan tumbuhan, baik dengan penyulingan uap, penyulingan air dan uap atau penyulingan air minyak atsiri hanya dapat diuapkan jika kontak langsung dengan uap panas. Minyak dalam jaringan tumbuhan mula-mula terekstraksi dari kelenjar tanaman dan selanjutnya terserap pada permukaan bahan melalui peristiwa osmosis. Lamanya penyulingan yang dilakukan pada setiap tumbuhan tidak sama satu dengan yang lain tergantung pada mudah atau tidaknya minyak atsiri tersebut menguap, dua sampai delapan jam tersebut secara maksimal. Metode penyulingan air banyak diterapkan di negara-negara berkembang karena alatnya yang cukup sederhana dan praktis. Beberapa bahan lebih baik disuling dengan penyulingan air, misalnya bunga mawar. Bahan tersebut akan menggumpal jika disuling dengan uap, sehingga uap tidak dapat berpenetrasi kedalam bahan, uap hanya akan menguapkan minyak atsiri yang terdapat dipermukaan gumpalan. Tetapi metode penyulingan ini juga mempunyai kelemahan, yaitu adanya penggunaan suhu yang tinggi (Pino, 1997) yang dapat mengakibatkan dekomposisi minyak (hidrolisis ester, polimerisasi ). Keuntungan dari metode ini antara lain adalah tidak menggunakan pelarut yang beracun, biaya murah, mampu mengisolasi senyawa termolabil tanpa diikuti denaturasi karena dilakukan pada temperatur rendah, juga kemungkinan untuk memperoleh produk baru dengan komposisi yang biasanya diperoleh dengan teknik destilasi. Namun demikian metode ini juga mempunyai kekurangan yaitu dalam hal penentuan kondisi untuk ekstraksi minyak atsiri dari tumbuhan tertentu (Manoi.2007).

2.1.4. Perkembangan Teknologi Penggunaan Minyak Nilam

  Salah satu kendala yang dialami adalah masih terbatasnya sasaran ekspor minyak nilam karena importir yang membeli minyak nilam Indonesia masih minim. Sejak munculnya kompetitor baru seperti Philipina dan China, daya saing minyak nilam di pasaran internasional menjadi lebih ketat. Pada-hal saat ini banyak sekali produk hilir minyak nilam yang muncul baik sebagai bahan kosmetika, aroma terapi, parfum dan obat-obatan. Selama dua dekade sejak tahun enam puluhan, sebagian besar produk minyak nilam diarahkan sebagai zat pengikat pada industri parfum. Komponen utama dalam minyak nilam yang di-pakai sebagai zat pengikat tersebut hanya ”pachouli alkohol”.

  Berdasarkan kenyataan ini, sudah saatnya Indonesia tidak lagi melakukan ekspor minyak nilam mentah, tetapi harus dilakukan peningkatan nilai tambah dari produk minyak nilam tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menyiapkan teknologi pengolahan minyak nilam ditingkat ekportir, sehingga produk yang diekspor kepasaran internasional adalah berupa komponen-komponen minor lainnya yang sesuai dengan perkembangan industri saat ini.

  Minyak nilam adalah minyak atsiri yang diperoleh dari daun, batang dan cabang nilam dengan cara penyulingan. Minyak yang dihasilkan terdiri dari komponen bertitik didih tinggi seperti patchouli alkohol, patchoulen, kariofilen dan non patchoulenol yang berfungsi sebagai zat pengikat (fixsative) (Ketaren, 1985). Jenis minyak nilam bersifat fixsative, oleh karena itu minyak nilam banyak digunakan oleh industri parfum, sabun dan kosmetika atau obat-obatan bahkan juga sebagai pestisida dan zat aditif pada bahan bakar solar (Manoi .2007).

2.2. Biodisel

  Sebagian besar kebutuhan energi dunia diperoleh dari minyak bumi (petroleum), batubara dan gas bumi dengan pengecualian energi listrik dan energi nuklir. Bagaimanapun juga sumber-sumber ini sifatnya terbatas dan suatu saat akan habis. Oleh karenanya pencarian alternatif sumber-sumber energi merupakan hal yang penting. Penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar alternatif untuk mesin diesel menjadi semakin menarik dengan semakin menipisnya sumber-sumber energi dari minyak bumi. Minyak nabati merupakan sumber energi yang dapat diperbaharui dan potensial dimana kandungan panasnya mendekati bahan bakar petroleum.

  Biodiesel adalah bahan bakar nabati yang dibuat dari minyak nabati melalui proses esterifikasi, transesterifikasi. Bahan bakar yang berbentuk cair ini bersifat menyerupai solar (Tabel 2.2), sehingga sangat prospektif untuk dikembangkan. Biodiesel memiliki kelebihan lain dibanding dengan solar, yaitu bahan bakar ramah lingkungan karena menghasilkan emisi yang jauh lebih baik (Free sulpur, Smoke number rendah ) dengan memanfaatkan salah satu jenis bahan bakunya RBDPO(Hanif.2009). RBDPO dihasilkan dari minyak kelapa sawit (CPO). Proses pengolahan buahkelapa sawit menjadi CPO dan kemudian dilanjutkan dengan pembuatan RBDPO adalahsebagai berikut: Minyak kelapa sawit mentah dapat diolah menjadi minyak goreng (RBD palm olein) dan RBD Stearin. Dalam proses pengolahan tersebut zat-zat pengotor seperti air, mineral-mineral logam, zat-zat lendir dan asam lemak bebas perlu dihilangkan melaluiproses pemurnian. Demikian juga dalam CPO

3 PO

  2HC OH

  masih terdapat campuran antara gliserida padat dan gliserida cair, maka perlu dilakukan pemisahan secara kristalisasi fraksinasi. Langkah-langkah proses yang dilakukan untuk RBDPO adalah sebagai berikut:

  a. Menghilangkan zat-zat lendir (gum) didalam CPO dalam hal ini dilakukan dengan penambahan Asam Pospat (H

  4

  b. Proses Bleaching pada tahap ini dilakukan pemucatan sekaligus penghilangan mineral- mineral logam pengotor dengan penambahan bahan pemucat bleaching earth untuk mendapatkan Bleaching Palm Oil

  ) untuk mengendapkan zat lendir tersebut dan akan menghasilkan Degumming Palm Oil c. Proses Deodorization pada tahap ini dilakukan penghilangan bau sekaligus juga penghilangan asamlemak bebas melalui destilasi vakum. Zat-zat yang bersifat steam volatile akan keluar bersama asam lemak bebas sehingga sebagai residu dihasilkan Refinery Bleaching Deodorization Palm Oil . Gambaran potensi tersebut dapat dilihat dari uji performansi dan sifat-sifat fisik biodiesel yang dihasilkan (Manurung.2007).Reaksi kimia proses transesterifikasi trigliserida menjadi metil ester dengan metanol sebagai senyawa pengesterifikasi dengan menggunakan katalis KOH, adalah sebagai berikut:

  2HC O C R 1 O

  HC

  O C R 2 O

  1 C O O CH 3 R

  OH

  • 3 CH

  HC

  • R

  3 OH

  2HC OH Metanol Gliserol

  2 C O O CH 3 R

  3 C O O CH 3 Metil Ester

  (RBDPO)

  2HC O C R 3 O Trigliserida

Tabel 2.2 Standar Mutu Biodiesel

  Parameter Batas nilai Metode uji

  o

  Massa Jenis pada suhu 40 C Kg/m3 850-890 ASTM D1928

  o

  Viskositas kinematik pada suhu 40 C 2.3 -6.0 ASTM D445 Angka Setana Min 51 ASTM D613

  o

  Titik Nyala (Mangkok Tertutup) C Min 100 ASTM D 93

  o

  Korosi Bilah Tembaga (3 Jam, 50

  C) Maks No 3 ASTM D130 Air dan Sedimen, %-vol Maks 0,05 ASTM D2709 Temperatur Distilasi , 9 C Maks 360 ASTM D1160 Kadar ester alkil, %-b Maks 96,5 Dihitung

  Sumber : Forum Biodiesel Indonesia, 2006

2.3. Bahan Bakar Diesel (Solar)

  Bahan bakar minyak diesel / solar umumnya berasal dari minyak bumi yang terdiri dari beberapa senyawa hidrokarbon yang mempunyai berat berbeda dan juga mengandung senyawa organik sulfur. Minyak diesel adalah produk destilat fraksi tengah dari minyak mineral yang kurang volatil dan dengan titik didih pada suhu

  o o

  antara 250 C – 370 C . Hidrokarbon yang terkandung dalam bahan diesel antara lain parafin, naphtan, olefin, dan aromatik. Selain menghasilkan energi, pembakaran sumber energi fosil khususnya bahan bakar solar juga melepaskan gas-gas antara lainkarbondioksida (CO

  2 ), nitrogen oksida (NO x ) dan sulfur dioksida (SO 2 ) yang menyebabkan pencemaran udara.(Bangun.2010).

  .

Tabel 2.3. Kualitas Minyak Solar Parameter Spesifikasi Metode Uji

  o

  Densitas pada suhu 15 C 815 – 870 ASTM D1298 Angka Setana Min 48 ASTM D976 Viskositas Kin 40 C 1,6 – 5,8 ASTM D445

  Titik Nyala (Flash Point) C maks 150 ASTM D-130 Korosi Bilah Tembaga Maks No 1 ASTM D130 Temperatur distilasi 90% Vol C Maks 370 ASTM D86 Warna (Colour) Maks 3,0 ASTD6045 Sumber : Spesifikasi Solar dari Dirjen Migas 2.4 . Biosolar

  Pencampuran bio-diesel dengan minyak solar biasanya diberikan sistem penamaan tersendiri, seperti B2, B3 atau B5 yang berarti campuran bio-dieseldan minyak solar yang masing-masing mengandung 2%, 3%, dan 5% biodiesel. Sedangkan B20 atau B100 merupakan campuran bio-diesel dan minyak solar yang masing-masing mengandung 20% dan 100% biodiesel. Pada umumnya konsentrasi tertinggi yang sudah dioperasikan secara komersial adalah B20, walaupun biodiesel dapat dicampur dengan minyak solar padaberbagai konsentrasi tanpa merusak atau memodifikasi mesin, tetapi memerlukan penggantian paking karet pada beberapa peralatan karena spesifikasinya disesuaikan untuk bahan bakar minyak.Pada kenyataannya pencampuran minyak solar dengan biodiesel tidaklah semudah yang diperkirakan orang. Walaupun hanya mengatur konsentrasi saja, tetapi dalam jumlah yang besar akan terjadi masalah bila konsentrasi biodiesel tidak sesuai dengan yang seharusnya. Teknologi pencampur biodiesel dengan minyak solar ternyata ada enam jenis teknologi yang dapat diterapkan di Indonesia yaitu pencampuran Splash pada tanki terminal, pencampuran. Sekuensial pada rak pipa pengisian, pencampuran Sekuensial pada loading arm pengisian, dan pencampuran Injeksi pada rak pipa, kemudian 2 teknologi pencampur lainnya adalah pencampuran langsung pada lokasi industri serta pencampuran dengan Injeksi di Stasiun Pengisian bahan Bakar Umum (Boedoyo .2006)

2.5. Zat Aditif

  Zat aditif terdiri dari dua macam, yaitu aditif sintesis (aditif buatan) nitrat, peroxidedan bioaditif (berasal dari tumbuhan). Telah banyak penelitian dalam melakukanreformulasi bahan bakar ini. Terobosan yang semakin tajam dalam pemilihan aditifpada bahan bakar adalah aditif organik (bioaditif) yang berasal dari tumbuhanalam. Indonesia merupakan produsen utama beberapa minyak esensial, sepertiMinyak Nilam (Patchouli Oil), Minyak Akar Wangi (Vertiver Oil), Minyak SerehWangi (Cintronella Oil), Minyak kenanga (Cananga Oil), Minyak Kayu Putih(Cajeput Oil), Minyak Sereh Dapur (Lemon Grass), Minyak Cengkeh (Cloves

  Oil ),Minyak Cendana (Sandal wood Oil), Minyak Pala (Nutmeg Oil), Minyak

  KayuManis (Cinamon Oil), Minyak Kemukus(CubeOil) dan Minyak Lada (PepperOil)(Kadarohman.2009).

  Alternatif untuk meningkatkan efisiensi hasil pembakaran bahan bakar danmengurangi pencemaran adalah mereformulasi bahan bakar dengan zat aditif yangberfungsi untuk memperkaya kandungan oksigen dalam bahan bakar mengemukakan zat aditif‘penyedia oksigen’ pada bahan bakar solar berperan untuk meningkatkan bilangan setana (cetane number), sehinggapembakaran menjadi lebih sempurna.Minyak atsiri dapat larut dalam minyak solar dan hasil analisis terhadapkomponen penyusunnya banyak mengandung atom oksigen (Kadarohman.2003),yang diharapkan dapat meningkatkan pembakaran bahan bakar dalam mesin.Hallain yang cukup penting dari struktur senyawa penyusun minyak atsiri, adalahterdapat senyawa dalam bentuk siklis dan rantai terbuka, yang diharapkan dapatmenurunkan kekuatan ikatan antar molekul penyusun solar sehingga prosespembakaran akan lebih efektif. Berdasarkan uraian di atas penting untuk diteliti mengenai karakterisasi bioaditif dari minyak nilam serta uji kinerjanya terhadap mesin diesel yang menggunakan bahan bakar biosolar.

2.6. Pemakaian Bioaditif terhadap Bahan BakarBiosolar

  Golongan senyawa yang dapat digunakan sebagai aditif bahan bakar biosolar diantaranya adalah golongan minyak atsiri. Golongan minyak atsiri biasanya mengandung senyawa aromatis. Pada umumnya biosolar yang mengandung kadar aromatis yang tinggi memiliki berat jenis besar dan bilangan setana yang lebih rendah. Namun demikian minyak cengkeh, sereh, kayu putih, terpentin terbuktik memberi hasil yang baik karena mempunyai ukuran molekul besar dan molekulnya mengandung atom oksigen.Minyak ini dapat larut dalam bahan bakar, dan dari hasil analisis terhadap komponen penyusunnya banyak mengandung oksigen yang dapat meningkatkan laju pembakaran, sehingga pembakaran bahan bakar dalam mesin menjadi lebih sempurna. Hal lain yang cukup penting dari ruang struktur senyawa penyusun minyak tersebut yaitu berada dalam rantai terbuka yang dapat menurunkan kekuatan ikatan antar molekul penyusun bahan bakar sehingga proses pembakaran akan lebih efektif dan sempurna. Aditif bahan bakar diesel sangat dianjurkan sebagai penyokong untuk meningkatkan performan mesin, irit bahan bakar tenaga yang dihasilkan besar dan mengurangi tingkat emisi gas buang dan ramah lingkungan (Silaban. 2010)

  Beberapa jenis zat aditif dengan kandungan oksigen berbeda-beda yang telah diujicobakan pada suatu penelitian didapatkan bahwa masing-masing zat aditif tersebut mempunyai pengaruh yang berbeda-beda. Dari beberapa penelitian sebelumnya penambahan aditif berbasis senyawa nitrat pada solar yang diblending dengan biodisel untuk mendapat bahan bakar baru emisi rendah dan hemat pemakaian (Munawir.2006). Minyak cengkeh juga memiliki potensi untuk dijadikan bioaditif karena memiliki kinerja tinggi dalam menurunkan laju komsumsi bahan bakar sebesar 4,43 % (Kadorahman.2009). Emisi gas buang yang dihasilkan oleh pembakaran pada umumnya berdampak negatif terhadap lingkungan sehingga terjadi pencemaran lingkungan (tidak ramah lingkungan) pengaruh zat aditif dapat menurunkan emisi gas buang sehingga pencemaran udara dapat diperkecil .

2.7. Emisi Gas Buang

  Proses pembakaran yang terjadi di dalam ruang bakar merupakan serangkaian proses kimia yang melibatkan campuran bahan bakar berupa HC dengan oksigen. Proses

  2 x

  pembakaran ini menghasilkan empat macam gas buang, berupa CO , CO, NO , dan HC. Keempat macam gas buang ini terbentuk pada proses pembakaran sempurna dan tidak sempurna. Proses pembakaran bahan bakar dengan udara dapat menghasilkan panas, dan untuk memperbanyak panas yang dihasilkan pada saat pembakaran maka dapat dilakukan dengan cara menyepurnakan proses pembakaran. Penyempurnaan proses pembakaran dapat dilakukan dengan cara memberikan udara lebih pada saat proses pembakaran dan dengan cara menyempurnakan proses percampuran bahan bakar dengan udara melalui turbulensi yang baik. Dengan demikian akan diperoleh hasil pembakaran yang optimal dan sebagai konsekuensinya akan diperoleh panas pembakaran yang lebih besar dibandingkan dengan proses pembakaran normal. Hal ini dapat menghemat penggunaan bahan bakar yang di bakar untuk menghasilkan panas pembakaran(Silaban.2010)

  Untuk menghasilkan tenaga pada kendaraan bermotor memerlukan reaksi kimia berupa pembakaran senyawa hidrokarbon. Hidrokarbon yang biasa digunakan adalah

  8

  18

  2

  2

  2

  oktana. Pada dasarnya, reaksi yang terjadi adalah: C H + 25O

  8CO + 9H O. Ini adalah pembakaran yang terjadi secara sempurna walaupun masih terdapat polutan, yaitu karbon dioksida (CO

  2 ). Tetapi pada praktiknya, pembakaran yang terjadi tidak

  selalu sempurna, yaitu karbon yang tidak berikatan sempurna dengan oksigen sehingga terdapat sisa karbon monooksida (CO) yang menjadi polutan berbahaya Pada negara- negara yang memiliki standar emisi gas buang kendaraan yang ketat, ada 5 unsur dalam gas buang kendaraan yang akan diukur yaitu senyawa HC, CO, CO

  2 , O 2 dan

  senyawa NO x . Sedangkan pada negara-negara yang standar emisinya tidak terlalu ketat, hanya mengukur 4 unsur dalam gas buang yaitu senyawa HC, CO, CO

  2 dan O 2 , termasuk Indonesia. (Amril. 2010).

  2.7.1. Hidrokarbon

  Hidrokarbon yang didapat di gas buang kendaraan menunjukkan adanya BBM yang tidak terbakar dan terbuang bersama sisa pembakaran. Apabila suatu senyawa hidrokarbon terbakar sempurna (bereaksi dengan oksigen) maka hasil reaksi pembakaran tersebut adalah karbondioksida (CO

  2 ) dan air (H

  2 O). Walaupun rasio

  perbandingan antara udara dan bahan bakarsudah tepat dan didukung oleh desain ruang bakar mesin saat ini yang sudah mendekati ideal, tetapi tetap saja sebagian dari BBM seolah-olah tetap dapat “bersembunyi” dari api saat terjadi proses pembakaran dan menyebabkan emisi HC pada ujung knalpot cukup tinggi. (Naibaho.2009)

  2.7.2. Karbon Monoksida (CO)

  Gas karbonmonoksida adalah gas yang relative tidak stabil dan cenderung bereaksi dengan unsur lain. Karbon monoksida, dapat diubah dengan mudah menjadi CO

  2

  dengan bantuan sedikit oksigen dan panas. Saat mesin bekerja dengan AFR yang tepat, emisi CO pada ujung knalpot berkisar 0.5% sampai 1% untuk mesin yang dilengkapi dengan sistem injeksi atau sekitar 2.5% untuk mesin yang masih menggunakan karburator. Dengan bantuan air injection sistem atau CC, maka CO dapat dibuat serendah mungkin mendekati 0%. (Naibaho.2009)

  2.7.3. Karbon Dioksida (CO )

2 Konsentrasi CO

  2 menunjukkan secara langsung status proses pembakaran di ruang

  bakar. Semakin tinggi maka semakin baik. Saat AFR berada di angka ideal, emisi CO

  2

  berkisar antara 12% sampai 15%. Apabila AFR terlalu kurus atau terlalu kaya, maka emisi CO

  2 akan turun secara drastis. Apabila CO 2 berada dibawah 12%, maka kita

  harus melihat emisi lainnya yang menunjukkan apakah AFR terlalu kaya atau terlalu kurus. Perlu diingat bahwa sumber dari CO ini hanya ruang bakar dan CC. Apabila

  

2 CO

  2 terlalu rendah tapi CO dan HC normal, menunjukkan adanya kebocoran pipa pembuangan. (Naibaho.2009).

  2.7.4. Oksigen (O 2 )

  Konsentrasi dari oksigen di gas buang kendaraan berbanding terbalik dengan konsentrasi CO . Untuk mendapatkan proses pembakaran yang sempurna, maka kadar

  2

  oksigen yang masuk ke ruang bakar harus mencukupi untuk setiap molekul hidrokarbon. Dalam ruang bakar, campuran udara dan bahan bakar dapat terbakar dengan sempurna apabila bentuk dari ruang bakar tersebut melengkung secara sempurna. Kondisi ini memungkinkan molekul bahan bakar dan molekul udara dapat dengan mudah bertemu untuk bereaksi dengan sempurna pada proses pembakaran. Tapi sayangnya, ruang bakar tidak dapat sempurna melengkung dan halus sehingga memungkinkan molekul bahan bakar seolah-olah bersembunyi dari molekul oksigen dan menyebabkan proses pembakaran tidak terjadi dengan sempurna. (Naibaho.2009).

  2.7.5. Pengendalian Emisi Gas Buang

  Tingkat polusi udara dari mesin kenderaan tidak hanya di pengaruhi Oleh teknologi pembakaran yang diterapkan dalam sistim itu saja tetapi juga dipengaruhi oleh mutu bahan bakar yang dipakai. Emisi gas buang yang dihasilkan oleh pembakaran kenderaan bermotor pada umumnya berdampak negatif terhadap lingkungan . Untuk mengatasi kenderaan bermotor diesel yang menghasilkan emisi gas buang yang relatif besar sehingga terjadi pencemaran lingkungan ( tidak ramah lingkungan) dipergunakan bahan bakar yang dapat menurunkan emisi gas buang sehingga pencemaran udara dapat diperkecil atau bahan bakar ini ramah lingkungan . Sesuai Keputusan Menteri Lingkungan hidup no 141 tahun 2003 dimana untuk standar CO : 4 %, HC : 500 ppm, CO :12 % dan O : 2 %.

  2

  

2

2.8. Kromatografi Gas – Spektrometri Massa (GC-MS)

  GC-MS merupakan metode pemisahan senyawa organik yang menggunakan dua metode analisis senyawa yaitu Kromatografi gas (GC) untuk menganalisis jumlah senyawa secara kuantitatif dan SpektrometriMassa (MS) untuk menganalisis struktur molekul senyawa analit.Gas kromatografi merupakan salah satu tehnik spektroskopi yang menggunakan prinsip pemisahan campuran berdasarkan perbedaan kecepatan migrasi komponen-komponen penyusunnya. Gas kromatografi biasa digunakan untuk mengidentifikasi suatu senyawa yang terdapat pada campuran gas dan juga menentukan konsentrasi suatu senyawa dalam fase gas.

  Spektroskopi massa adalah suatu metode untuk mendapatkan berat molekul dengan cara mencari perbandingan massa terhadap muatan dari ion yang muatannya diketahui dengan mengukur jari-jari orbit melingkarnya dalam medan magnetik seragam.

  Penggunaan kromatografi gas dapat dipadukan dengan spektroskopi massa. Paduan keduanya dapat menghasilkan data lebih akurat dalam mengidentifikasi senyawa yang dilengkapi dengan struktur molekulnya.Kromatografi gas ini juga mirip dengan destilasi fraksinasi, karena kedua proses memisahkan komponen dari campuran terutama berdasarkan pada perbedaan titik didih atau tekanan uap. Namun destilasi fraksional biasanya digunakan untuk memisahkan komponen-komponen dari campuran pada skala besar sedangkan GC dapat digunakan pada skala yang lebih kecil

  Sekarang ini sistem GC-MS sebagian digunakan sebagai peran utama untuk analisa makanan dan aroma, petroleum, petrokimia dan zat-zat kimia di laboratorium. Kromatografi gas merupakan kunci dari suatu teknik anlitik dalam pemisahan komponen mudah menguap, yaitu dengan mengkombinasikan secara cepat analisa sehingga pemecahan yang tinggi mengurangi pengoperasian. Keuntungan dari kromatografi gas adalah hasil kuantitatif yang bagus dan harganya lebih murah. Sedangkan kerugiannya tidak dapat memberikan indentitas atau struktur untuk setiap puncak yang dihasilkan dan pada saat proses karakteristik yang didefenisikan sistem tidak bagus.Pada metode analisis GC-MS adalah dengan membaca spektra yang terdapat pada kedua metode yang digabung tersebut.Pada spektra GC jika terdapat bahwa dari sampel mengandung banyak senyawa, terlihat dari banyaknya puncak (peak) dalam spektra GC tersebut. Berdasarkan data waktu retensi yang sudah diketahui dari literatur, bisa diketahui senyawa apa saja yang ada dalam sampel.

  Selanjutnya adalah dengan memasukkan senyawa yang diduga tersebut ke dalam instrument spektroskopi massa. Hal ini dapat dilakukan karena salah satu kegunaan dari kromatografi gas adalah untuk memisahkan senyawa-senyawa dari suatu sampel. Setelah itu, didapat hasil dari spektra spektroskopi massa pada grafik yang berbeda.Informasi yang diperoleh dari kedua tehnik ini yang digabung dalam instrument GC-MS adalah hasil dari masing-masing spektra.Untuk spektra GC, informasi terpenting yang didapat adalah waktu retensi untuk tiap-tiap senyawa dalam sampel. Sedangkan untuk spektra MS bisa diperoleh informasi mengenai massa molekul relative dari senyawa sampel tersebut (Guenther. 1990)