BAB I PENDAHULUAN - Analisa Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Putusan Hakim Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan orang yang dikenal dengan istilah Human Trafficking

  merupakan kejahatan yang sangat sulit untuk diberantas dan disebut-sebut oleh masyarakat internasional sebagai bentuk perbudakan masa kini dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia modern. Kejahatan ini terus berkembang secara nasional maupun internasional. Perbudakan moderen merupakan ancaman multidimensi bagi semua bangsa. Selain penderitaan individu akibat pelanggaran hak asasi manusia, keterkaitan antara perdagangan orang dengan kejahatan terorganisir serta ancaman-ancaman keamanan yang sangat serius seperti perdagangan obat-obatan terlarang dan senjata, menjadi semakin jelas. Begitu pula kaitannya dengan keprihatinan kesehatan masyarakat yang serius, karena banyak korban mengidap penyakit, baik akibat dan diperdagangkan ke komunitas-komunitas baru. Sebuah negara yang memilih untuk mengebelakangkan masalah perdagangan manusianya

   membahayakan bangsanya sendiri.

  Perbudakan dan perdagangan budak adalah salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang pertama, yang diakui merupakan

1 Lihat Laporan Mengenai Perdagangan Manusia, Departemen Luar Negeri AS, Kantor Pengawasan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia. 2004.

  kejahatan internasional, walaupun kejahatan itu baru merupakan subyek dan perjanjian internasional yang komprehensif ketika konvensi perbudakan tahun 1926 diadopsi. Bentuk tradisional dari perbudakan dan perdagangan budak memang hampir tidak ada lagi, namun bentuk lain dari perbudakan tetap ada seperti perhambaan (servitude), kerja paksa (forced labour) dan perdagangan orang khususnya wanita dan anak-anak. Larangan perbudakan juga dapat ditemukan hampir di dalam instrument umum hak asasi manusia misalnya

  Pasal 4 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 8 Konvenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Pasal 6 (1) Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia. Dalam situasi konflik bersenjata, semua bentuk perbudakan juga

  

  merupakan pelanggaran terhadap hukum humaniter. Tidak hanya merampas Hak Asasi Manusia, tetapi juga membuat mereka sebagai korban rentan terhadap penganiayaan, siksaan fisik, penyakit dan trauma psikis, bahkan cacat dan kematian terhadap korban.

  Perdagangan orang merupakan salah satu masalah yang perlu erat terkait dengan citra bangsa Indonesia di mata internasional. Apalagi, data Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menunjukan bahwa Indonesia berada di urutan ketiga sebagai pemasok perdagangan perempuan dan anak.

  Suatu tantangan bagi Indonesia untuk menyelamatkan anak bangsa dari keterpurukan. 2 Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2006. Pedoman Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando. Hal. 34.

  Perdagangan manusia dapat mengambil korban dari siapapun, orang- orang dewasa dan anak-anak, laki-laki maupun perempuan yang pada umumnya berada dalam situsi dan kondisi yang rentan. Modus yang digunakan

   dalam kejahatan ini sangat beragam dan juga memiliki aspek kerja yang rumit.

  Khususnya perdagangan perempuan dan anak mempunyai jaringan yang sangat luas. Praktik perdagangan anak yang paling dominan berada di sektor

   jasa prostitusi, dimana kebanyakan korbannya adalah anak-anak perempuan.

  Di samping itu, dalam berbagai studi dan laporan dari NGO menyatakan bahwa Indonesia merupakan daerah sumber dalam perdagangan orang, di samping

  

  juga sebagai transit dan penerima perdagangan orang. Dikenal sedikitnya 10 provinsi di Indonesia yang dijadikan sebagai sumber, 16 provinsi dijadikan

   sebagai tempat transit, dan sedikitnya 12 provinsi sebagai penerima.

  Di Indonesia, berdasarkan hasil pemantauan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hampir sebagian besar daerah di Indonesia terindikasi sebagai daerah asal korban trafficking, baik untuk dalam Sumatera, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur. 3 ELSAM. “Perdagangan Manusia dalam Rancangan KUHP” dalam Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri # 5. September 2005. Hal. 2-3. 4 Chairul Bariah Mozasa. 2005. Aturan-Aturan Hukum Traficking. Medan : Universitas Sumatra Utara Pers. Hal. 2. 5 Lihat Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Jakarta, 2005. 6 Lihat Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, ICMC dan ACILS, Jakarta,

2003. Laporan ini merupakan laporan penting untuk melihat praktek perdagangan orang di

  Indonesia secara lebih komprehensif.

  Sedangkan kota-kota besar yang menjadi daerah transit, antara lain Medan, Dumai, Lampung Selatan, DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, Balikpapan, Makasar, Ternate, dan Serui (Papua). Sebagian besar daerah yang menjadi asal korban tersebut ternyata juga menjadi penampung korban perdagangan orang. Misalnya saja Medan, Lampung Selatan, DKI Jakarta, Bandung, Denpasar, dan sejumlah kota di Papua.

  Masalah kemiskinan tampaknya menjadi alasan utama atas pertanyaan mengapa perdagangan manusia terus mengalami peningkatan sadar tidak sadar

   modus ini sudah menjadi salah satu sumber penghasilan yang menggiurkan.

  Perdagangan orang ke luar negeri mengincar beberapa negara. Korban yang dijaring dari daerah-daerah asal tersebut biasanya dikirim ke sejumlah negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, Arab Saudi, Taiwan, Hongkong, Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Bahkan ada juga yang dikirim hingga ke Perancis dan Amerika

8 Serikat.

  peningkatan. Di samping itu akibat dari kejahatan tersebut korban mengalami penderitaan lahir dan batin, kehancuran masa depan, kecacatan seumur hidup

  7 http://id.shvoong.com/social-sciences/1824479-seribu-wajah-perdagangan- manusia.htm/ Seribu Wajah Perdagangan Manusia . Sabtu, 12 Januari 2006. Download: Senin,

  22 Desember 2009, Pukul 12:59. 8 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). 2009. Melawan Trafficking.

(terakhir

dikunjungi tanggal 9 Desember 2009 Jam 18.50).

  

  bahkan berakibat pada kematian. Data-data tersebut menunjukkan bahwa kasus perdagangan orang amat berbahaya sebab merupakan eksploitasi terhadap anak dan perempuan. Oleh karena itu, untuk memberikan perlindungan terhadap hak anak tersebut diharapkan kepada pemerintah agar benar-benar mensosialisasikan persoalan ini supaya terhindar dari praktek perdagangan orang. Adanya peraturan perundangan-undangan untuk memeranginya serta bersama-sama menanggulanginya.

  Sehubungan dengan perkembangan Perdagangan orang, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Berbagai sambutan positif telah diberikan oleh masyarakat dan ada harapan yang besar akan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Namun demikian, dalam perjalanannya ternyata masih banyak dirasakan adanya kelemahan kebijakan formulasi dalam undang- undang tersebut.

  Selain dengan adanya Undang-Undang No.21 tentang Tindak Pidana progresif dalam rangka pemberantasan tindak pidana perdagangan orang di tingkat regional maupun internasional. Hal tersebut diakibatkan perkembangan dan kemajuan teknologi, informasi, komunikasi dan transportasi membuat semakin berkembang modus kejahatannya yang dalam beroperasinya sering dilakukan secara tertutup dan bergerak di luar hukum. Pelaku perdagangan 9 Rahmad Syafaat. 2002. Perdagangan Manusia. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.

  Hal 11. orang (trafficker) pun dengan cepat berkembang menjadi sindikasi lintas batas negara dengan cara kerja yang mematikan.

  Sebelum adanya Undang-Undang No.21 tentang Tindak Tindak Pidana Perdagangan Orang, sudah banyak peraturan yang dibuat oleh pemerintah dalam pemberantasan perdagangan orang, seperti KUHP, Undang-Undang Nomor 23 tentang Perlindungan Anak, KUHP, Undang-Undang nomor 39 tentang HAM, Konvensi Hak Anak, TAP MPR Nomor XVII Tentang Hak Asasi Manusia, Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Traffiking) Perempuan dan Anak, dan lain sebagainya. Namun peraturan-peraturan tersebut belum memadai tentang Human Trafficking dalam perundang-undangan hukum pidana Indonesia, penggunaan yang paling mungkin untuk mencover kejahatan tersebut juga tersebar dalam berbagai undang-undang.

  Ketentuan pada peraturan-peraturan tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan orang secara tegas dan memberikan sanksi yang terlalu perdagangan orang. Selanjutnya pada tanggal 17 April 2007 pemerintah Indonesia akhirnya mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan perdagangan orang yang mengatur secara khusus tentang tindak pidana perdagangan orang. Undang-undang ini diharapkan mampu menyediakan landasan hukum formil dan materiil sekaligus untuk mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktek perdagangan orang, baik yang dilakukan antar wilayah dalam negeri maupun antar negara, baik oleh pelaku perorangan maupun korporasi.

  Dalam Undang-Undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak restitusi yang harus harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian bagi korban. Undang-undang ini mengatur juga hak korban atas rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh negara khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan orang.

  Berdasarkan penjelasan di atas, maka penyusun berharap lewat analisis putusan hakim antara sebelum dan setelah berlakunya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai tindak pidana perdagangan orang menurut kedua perspektif antara hukum tersebut, sehingga dapat tercapai suatu hasil yang objektif dan sesuai dengan tujuan penulis untuk melakukan penelitian untuk penulisan skripsi yang berjudul:

  “ANALISIS HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI TERHADAP PUTUSAN HAKIM SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG”

B. Rumusan Masalah

  Adapun permasalahan yang dapat di ajukan dalam menyikapi masalah perdagangan orang adalah sebagai berikut :

  1. Bagaimanakah pengaturan hukum perdagangan orang sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang No.21 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan dalam instrumen internasional ?

  2. Apa tujuan, faktor-faktor penyebab perdagangan manusia dan upaya pemberantasannya ?

  3. Bagaimanakah analisa hukum pidana dan kriminologi terhadap putusan kasus perdagangan manusia sebelum dan sesudah berlakunya berlakunya Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang PTPPO ? C.

   Tujuan Penulisan

  Adapun yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui peraturan-peraturan yang berkaitan tentang tindak pidana perdagangan orang yang berlaku secara nasional maupun internasional.

  2. Melalui tulisan ini diharapkan kita mengetahui tujuan, faktor-faktor yang menyebabkan tindak pidana perdagangan orang terjadi dan mengetahui upaya-upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.

  3. Untuk mengetahui kendala-kendala apa yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat dalam memberantas tindak pidana perdagangan orang.

D. Manfaat Penulisan

  Selanjutnya penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat bermanfaat untuk :

  a. Manfaat secara teoritis Penulisan skripsi ini dapat bermanfaat memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengatahuan dan literature dalam dunia akademis, khususnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan tindak pidana perdagangan orang yang dewasa ini banyak terjadi. Dan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah yang dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum di Indonesia.

  b. Manfaat secara praktis Secara praktis penulisan skripsi ini dapat memberi pengetahuan tentang kasus-kasus tindak pidana perdagangan orang yang terjadi dewasa ini dan bagaimana upaya pencegahan sehingga kasus-kasus tindak pidana perdagangan orang tidak akan terjadi lagi. Dan juga sebagai pedoman dan masukan baik bagi aparat penegak hukum maupun masyarakat umum dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah dalam memberantas tindak pidana perdagangan orang.

E. Tinjauan Kepustakaan 1) Pengertian Kejahatan dan Tindak Pidana a. Pengertian Kejahatan

  Secara sederhana definisi kejahatan adalah suatu tindakan yang anti sosial dan pelanggaran terhadap norma-norma yang terdapat di tengah-tengah masyarakat baik norma agama, sosial, kesusilaan atau kesopanan. Kejahatan juga dapat dikatakan sebagai sebuah penyimpangan moral dan mental yang dilakukan seorang atau lebih masyarakat baik di kota maupun pedesaan.

  M.A. Elliot mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu problem dalam masyarakat modern atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum dapat dijatuhi hukuman penjara, hukuman mati dan hukuman denda dan seterusnya. anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari Negara berupa pemberian penderitaan.

  Paul Moedikdo Moeliono kejahatan adalah perbuatan pelanggaran norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan masyarakat sebagai perbuatan yang merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan (negara bertindak).

  J.E. Sahetapy dan B. Maijono Reksodiputro menyatakan bahwa, kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum

   yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.

  Edwin H. Sutherland menyebutkan tujuh unsur kejahatan yang saling bergantungan dan saling mempengaruhi. Suatu perbuatan tidak akan disebut

  

  kejahatan kecuali apabila memuat semua tujuh unsur tersebut . Unsur-unsur tersebut adalah :

  1. Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian.

  2. Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang, harus dikemukakan dengan jelas dalam hukum pidana

  3. Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuatan yang merugikan

  4. Harus ada maksud jahat (mens rea)

  5. Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu hubungan kejadian diantara maksud jahat dengan perbuatan

  10 J.E Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro. 1995. Paradoks dalam Kriminologi.

  Jakarta: Buku Obor. Hal. 14. 11 Edwin H. Sutherland. 1989. Principles of criminology. Nova. Hal. 189.

  6. Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang undang-undang dengan perbuatan yang disengaja atas keinginan sendiri.

  7. Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang. Selanjutnya dapat diuraikan tentang pengertian kejahatan menurut penggunaannya masing-masing :

  1. Pengertian secara praktis : Kita mengenal adanya beberapa jenis norma dalam masyarakat antara lain norma agama, kebiasaan, kesusilaan dan norma yang berasal dari adat istiadat. Pelanggaran atas norma tersebut dapat menyebabkan timbulnya suatu reaksi, baik berupa hukuman, cemoohan atau pengucilan. "Norma itu merupakan suatu garis untuk membedakan perbuatan terpuji atau perbuatan yang wajar pada suatu pihak. sedang pada pihak lain adalah suatu perbuatan tercela. Perbuatan yang wajar pada sisi garis disebut dengan kebaikan dan kebalikannya yang di seberang garis disebut dengan kejahatan. dosa. Setiap dosa diancam dengan hukuman api neraka terhadap jiwa yang berdosa.

  3. Pengertian dalam arti juridis : misalnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Walaupun KUHP sendiri tidak membedakan dengan tegas antara kejahatan dan pelanggaran, tapi KUHP memisahkan kejahatan dan pelanggaran dalam 2 buku yang berbeda. Menurut Memorie van Toelichting, sebagai dasar dari pembedaan

b. Pengertian Tindak Pidana

  Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah

   itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat.

  Sekalipun Hukum Pidana memberikan perhatian utama pada tingkah laku atau perbuatan manusia, khususnya karena perbuatan manusia merupakan penyebab utama terjadinya pelanggaran atas tertib hukum, pembuat undang- undang Belanda berbeda dengan pembuat undang-undang di Jerman, yaitu mereka tidak memilih istilah "perbuatan" "tindak" (handeling) melainkan komisi - De Wal. Dalam catatan-catatan komisi tersebut, pengertian Feit mencakup omne quod fit, jadi keseluruhan kejadian (perbuatan), termasuk

   kelalaian serta situasi dan kondisi lainnya yang relevan.

  Kita akan melihat bahwa ketika undang-undang memformulasikan berbagai bentuk tindak pidana serta unsur-unsurnya. maka kita tidak akan 12 Adami Chazawi. 2002. Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana . Jakarta: Raja grafindo Persada. Hal. 67. 13 Jan Remmelink. 2003. Hukum Pidana. Jakarta: Gramedia. Hal. 85.

  menyinggung hal-hal diatas. Bahkan pokok diatas tidak diuraikan dalam bagian umum pada suatu undang-undang dalam hukum pidana, sekalipun untuk menyatakan bersalah menurut hukum pidana apalagi menjatuhkan sanksi pidana pada seseorang yang tidak memenuhi persyaratan umum diatas tentu akan sulit. Tetapi kita tetap dapat mengandaikan sistem unsur-unsur perumusan tindak pidana pada pihak lain, sebagaimana diuraikan lebih lanjut melalui doktrin dan putusan-putusan pengadilan (rechtspraak), dalam praktiknya

   berfungsi dengan cukup baik sehingga tidak menimbulkan banyak konflik.

  Berkenaan dengan ini kita akan melihat bahwa HR (Heit Reeglement) pada suatu masa mengakui bahwa kesalahan dalam arti ketercelaan tindakan tertentu merupakan unsur utama yang dipersyaratkan untuk menetapkan apakah seorang terdakwa dapat dipidana atau tidak. Dengan cara sama, HR (Heit Reeglement) tidak lagi membatasi penentuan ukuran dapat dipidananya suatu perbuatan hanya berdasarkan undang-undang, melainkan menghendaki agar hal itu dinilai berdasarkan hukum, sekalipun ada beda pendapat tentang apa yang persyaratan bahwa agar suatu perbuatan dapat dipidana, unsur melawan harus terkandung didalamnya.

  Prof Moeljatno, S.H., memberikan arti “perbuatan pidana” mengandung pengertian bahwa: Pertama, adalah kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan, dan yang Kedua, adalah perbuatan pidana tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggung jawab pidana pada orang yang 14 Ibid., melakukan perbuatan pidananya.Apabila disimpulkan, maka perbuatan pidana itu hanya menunjukan sifatnya perbuatan yang terlarang dengan diancam

   pidana.

  Istilah “tindak Pidana” yang dipakai dalam hukum pidana, karena tumbuhnya dari pihak Kementerian Hukum dan HAM, sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek daripada “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkret, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai “ditindak”. Oleh karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang mengggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai

   pula kata perbuatan.

   Teori-Teori dalam Kriminologi

  Teori dalam kriminologi adalah penjabaran secara lebih merinci dari aliran yang ada. Boleh dikatakan, bahwa keberadaan teori adalah perwujudan dari eksistensi aliran itu sendiri. Adapun beberapa teori dalam Kriminologi adalah sebagai berikut : 15 Bambang Poernomo. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana . Jakarta: Ghalia Indonesia.

  Hal. 129. 16 R. Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 60.

  a. Macro Theory (teori yang menjelaskan kejahatan dari struktur sosial dan dampaknya).

  b. Micro Theory (teori yang menjelaskan mengapa seseorang melakukan kejahatan).

  c. Bridging Theory (teori yang menjelaskan kejahatan dari keduanya). Secara garis besar teori-teori kriminologi dikategorikan dalam 3 perspektif : a) Kejahatan dari faktor biologis dan psychologis.

  b) Kejahatan dari faktor sosiologis.

  c) Kejahatan dari faktor lainnya. Usaha-usaha mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri biologis dipelopori oleh F.J. Gall (1758-1828) dan J.K. Spurzeim (1776-1832). Ajaran

  Gall dan Spurzeim melandaskan pada preposisi dasar :  Bentuk luar tengkorak kepala sesuai dengan apa yang di dalamnya dan bentuk dari otak.

   Akal terdiri dari kemampuan dan kecakapan.  Kemampuan dan kecakapan berhubungan dengan bentuk otak dan

   tengkorak kepala.

  Auguste Comte(1798-18570 ) membawa pengaruh penting bagi para tokoh mazhab positif menurutnya ” there could be no real knowledge of social phenomena unless it was based on a positivist. Tokoh yang terkenal

17 George Everett partridge. 2008.“An Outline Of Individual Study,”. Sturgis and Walton company. Hal. 64.

  diantaranya Cesare Lomroso, Enrico Ferri, Raffaela Garafola, Charles Buchman Goring.

  “Cesare Lombroso” seorang Italia yang sering dianggap sebagai “the father of modern criminology” ia menjelaskan kejahatan dari mashab klasik

  

  menuju mashab positif. Lombrosso menggeser konsep “Free Will” dengan determinasi (penelitian ilmiah).

  Perbedaan signifikan antara mashab klasik dan mashab positif adalah bahwa yang terakhir tadi mencari fakta empiris untuk mengkonfirmasi gagasan bahwa kejahatan itu ditentukan oleh berbagai faktor. Dimana para tokoh psikologis mempertimbangkan suatu variasi dari kemungkinan cacat dalam kesadaran, ketidakmatangan emosi, sosialisasi yang tidak memadai dimasa kecil, kehilangan hubungan dengan ibu, dan lain-lain.

  Menurut Cesare Lombroso, ia mengabungkan positivisme comte, evaluasi dari Darwin . ajaran inti dari teorinya menjelaskan tentang penjahat mewakili suatu tipe keanehan fisik, yang berbeda dengan non criminal, dia termanifes dalam karakter fisik yang merefleksikan suatu bentuk awal dari

   evolusi.

  Teori nya tentang “Born Criminal” menyatakan bahwa para penjahat adalah suatu bentuk yang lebih rendah dalam kehidupan, lebih mendekati 18 Cesare Lombroso, A Brief Biography : Brain and Mind, http://en.wikipedia.org/wiki/Cesare_Lombroso (26 Desember 2009). 19 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa. 2003. Kriminologi. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Hal. 37.

  nenek moyang mereka yang mirip kera dalam sifat bawaan dan watak dibandingkan mereka yang bukan penjahat.

  Banyak sekali kritikan terhadap ajaran Lombrosso diantaranya :  A. Lacassagne yang menyatakan masyarakat memiliki penjahat sesuai dengan jasanya. Masyarakat memiliki peranan yang sangat besar dibandingkan faktor-faktor lainnya.

  

   Charles Goring (1852-1934) yang menyatakan ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan secara fisik antara pelaku kejahatan dengan orang “normal”.

  

   Enricco Ferri (1856-1929) seorang murid Lombrosso berusaha menyelamatkan ajaran Lombrosso dengan mengubah rumusan penjahat menjadi

  

  :

  Penjahat= Individu + Sosial + Fisik

  Penjelasan psikologis atas kejahatan berdasarkan empat alur penelitian psikologis yang berbeda telah menguji hubungan kepribadian dengan kejahatan, yaitu:

  1. Melihat pada perbedaan-perbedaan antara struktur kepribadian dari penjahat dan bukan penjahat. 20 Ibid, hlm. 38 21 Ibid,. 22 Ibid, hlm. 40

  2. Memprediksi tingkah laku.

  3. Menguji tingkatan di mana dinamika-dinamika kepribadian normal beroperasi dalam diri penjahat.

  4. Mencoba menghitung perbedaan individual antara tipe-tipe dan

   kelompok pelaku kejahatan.

  Yochelson dan Samenow berpendapat, para penjahat adalah orang yang “marah”, yang merasa suatu sense superioritas, menyangka tidak bertanggung jawab atas tindakan yang mereka ambil, dan mempunyai harga diri yang sangat melambung. Ketika ia merasa ada suatu serangan terhadap harga dirinya, ia akan memberikan reaksi yang sangat kuat, sering berupa kekerasan baik secara fisik maupun mental.

  Sigmund Freud menyatakan dalam teori psikoanalisa bahwa seseorang melakukan perilaku yang terlarang karena hati nurani atau superego-nya begitu lemah atau tidak sempurna sehingga ego-nya (yang berperan sebagai suatu penengah antara superego dan id) tidak mampu mengontrol dorongan- dorongan yang kuat untuk dipuaskan dan dipenuhi).

  Sedangkan teori-teori kejahatan yang menjelaskan kejahatan dari perspektif sosiologis mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan sosial. Teori-teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori umum, yaitu : 23 1. Strain Theories (Teori-Teori Strain).

  Ibid, hlm. 49

  2. Cultural Deviance (Penyimpangan Budaya).

  3. Dan Social Control (Kontrol sosial). Perspektif strain dan penyimpangan budaya, terbentuk antara 1925 dan

  1940, memberi landasan bagi teori-teori sub-cultural. Teori-teori strain dan penyimpangan budaya memusatkan perhatian pada kekuatan-kekuatan sosial (sosial forces) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Sebaliknya, teori kontrol sosial mempunyai pendekatan berbeda: teori ini berdasarkan suatu asumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai konsekuensinya, Teori kontrol sosial mencoba menemukan jawaban mengapa orang tidak melakukan kejahatan.

  Teori-teori kontrol sosial mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sosial membuat aturan-aturannya efektif.

  Teori-teori strain dan penyimpangan budaya keduanya berasumsi bahwa kelas sosial dan tingkah laku kriminal berhubungan, tetapi berbeda dalam hal sifat hubungan tersebut. Para penganut teori strain beranggapan bahwa seluruh budaya dari kelas menengah. Satu nilai budaya terpenting adalah keberhasilan ekonomi. Karena orang-orang dari kelas bawah tidak mempunyai sarana- sarana yang sah (legitimate means) untuk mencapai tujuan tersebut, mereka menjadi frustasi dan beralih menggunakan sarana-sarana yang tidak sah di dalam keputusasaan tersebut. Sangat berbeda dengan itu, teori-teori penyimpangan budaya mengklaim bahwa orang-orang dari kelas bawah memiliki satu set nilai-nilai yang berbeda, yang cenderung konflik dengan nilai-nilai dari kelas menengah. Sebagai konsekuensinya, manakala orang- orang kelas bawah mengikuti sistem nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah melanggar norma-norma konvensional.

3) Pengertian Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang

   Pengertian tentang tindak pidana perdagangan orang sebagai

  terjemahan dari kata "human trafficking" dalam bahasa inggris yang menjadi standar internasional untuk mengidentifikasi segala kegiatan illegal yang berkaitan dengan pemindahan atau transfer manusia dari suatu negara ke negara lain dengan tujuan memperoleh keuntungan secara komersil dengan cara mengeksplotasi sumber daya manusia tersebut tanpa mengindahkan atau menghormati hak-hak azasi manusia. Human trafficking juga dapat diartikan perdagangan manusia. Namun karena penulis lebih mengacu terhadap judul skripsi yaitu Analisis Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Putusan Hakim Sebelum dan Sesudah Berlakunya UU No. 21 Tahun 2007 Tentang mengutamakan istilah perdagangan orang.

  Dengan diundangkannya Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang rumusan tentang kejahatan trafficking atau perdagangan orang yang terdapat dalam undang-undang ini menjadi rujukan utama. Pasal 1 angka 1 menyebutkan: 24

   Bentuk kejahatan perdagangan orang merupakan pengertian yang diberikan oleh  Undang ‐Undang No.21 Tahun 2007 tentang PTPPO, sedangkan dunia Internasional lebih  sering  menggunakan istilah perdagangan manusia. 

  “Human Trafficking atau Tindak Pidana Perdagangan orang adalah

  tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan. penculikan. penyekapan. pemalsuan. penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara,

   untuk tujuan ekspioitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi".

  Menurut Lukmiardi perdagangan manusia dapat berupa eksplotasi sex, pekerjaan, diskriminasi pengupahan, penipuan, atau penyembunyian dan penyesatan informasi serta fakta-fakta hukum, pengisolasian , sampai kepada tindakan-tindakan yang dapat dipersamakan dengan perbudakan dan transfer

   manusia untuk tujuan komersialisasi organ tubuh.

  Dilihat dari perspektif Hukum Pidana, perilaku memperdagangkan perempuan dan anak laki-laki, telah dilarang oleh Pasal 297 KUHP, yang

   laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun.

  Dalam hal ini Buku I KUHP tentang Ketentuan Umum tidak memberikan

  25 Lihat Protokol PBB tahun 2000 untuk Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum

Trafiking terhadap Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara. 26 Lukmiardi, Masalah Penyelundupan Manusia: Tinjauan Khusus Mengenai penyelundupan Perempuan dan Anak-Anak. Paper untuk Trafficking in Person, hal. 1 27 Dikutip dari KUHP terjemahan R. Soesilo, cetakan tahun 1996, Bogor: Politeia, Lihat juga, Harkristuti Harkrisnowo, Laporan Pcrdagangan Manusia di Indonesia, hal. 14 penjelasan mengenai makna 'perniagaan.' Terhadap Pasal ini R. Soesilo, berpendapat bahwa: Sedangkan yang dimaksudkan dengan ‘perniagaan atau perdagangan perempuan’ ialah melakukan perbuatan-perbuatan dengan maksud untuk menyerahkan perempuan guna pelacuran. Masuk pula di sini mereka yang biasanya mencari perempuan perempuan muda untuk dikirmkan ke luar negeri

  

  yang maksudnya tidak lain akan dipergunakan untuk pelacuran” Trafiking, menurut ICMC/ACIL tidak hanya merampas hak asasi tapi juga membuat mereka rentan terhadap pemukulan, penyakit, trauma dan bahkan kematian. Pelaku trafiking menipu, mengancam, mengintimidasi dan melakukan tindak kekerasan untuk menjerumuskan korban ke dalam prostitusi.

  Pelaku trafiking menggunakan berbagai teknik untuk menanamkan rasa takut pada korban supaya bisa terus diperbudak oleh mereka. Menurut ICMC/ACIL,

  

  beberapa cara yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban antara lain :  Menahan gaji agar korban tidak memiliki uang untuk melarikan diri.

   Menahan paspor, visa dan dokumen penting lainnya agar korban tidak dapat bergerak leluasa karena takut ditangkap polisi.

   Memberitahu korban bahwa status mereka ilegal dan akan dipenjara serta dideportasi jika mereka berusaha kabur.

   Mengancam akan menyakiti korban dan/atau keluarganya.

  28 29 Ibid,.

  05.

   Membatasi hubungan dengan pihak luar agar korban terisolasi dari mereka yang dapat menolong.

   Membuat korban tergantung pada pelaku trafiking dalam hal makanan, tempat tinggal, komunikasi jika mereka di tempat di mana mereka tidak paham bahasanya, dan dalam “perlindungan” dari yang berwajib, dan  Memutus hubungan antara pekerja dengan keluarga dan teman.

  Global Alliance Against Traffic in Women (GAATW) mendefinisikan istilah perdagangan (trafficking):

  "Semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan, termasuk penggunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak, untuk kerja yang tidak diinginkan (domestik seksual atau reproduktif) dalam kerja paksa atau dalam kondisi perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat di mana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan

   hutang pertama kali.

  Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 49/166 mendefinisikan istilah “Human trafficking”: "Human Trafficking is the illicit and clandestine

  

movement of personsacross national and international borders, largerly from

deveoping countries and some countries whit economies in transtition, with

the end goal of forcing women and girl children into sexually or economically

oppressive and explotative situations for the profit of recruiters, traffickers,

and crime syndicates, as well as other illegal activitise related to trafficking,

such as forced domestic labour, false marriages, clandestine employment and

30 Chairul Bariah Mozasa, op.cit.,hlm.9

  

false adoption." (Perdagangan Orang adalah suatu perkumpulan gelap oleh

  beberapa orang dilintas nasional dan perbatasan internasional. sebagian besar berasal dari negara-negara yang berkembang dengan perubahan ekonominya, dengan tujuan akhir memaksa wanita dan anak-anak perempuan bekerja dibidang seksual dan penindasan ekonomis dan dalam keadaan eksploitasi untuk keoentinean agen, penyalur. dan sindikat kejahatan, sebagaimana kegiatan illegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan seperti

   pembantu rumah tangga, perkawinan palsu, pekerjaan gelap, dan adopsi).

  Sehingga saat ini belum ada kesatuan yang bisa menggambarkan kejahatan perdagangan orang. Hal ini disebabkan semakin meluasnya dimensi kriminal dari perdagangan orang, sehingga batasan tradisional perdagangan

   manusia/budak menjadi usang.

F. Keaslian Penulisan

  Skripsi ini berjudul Analisis Hukum Pidana Dan Kriminologi

  

Terhadap Putusan Hakim Sebelum dan Sesudah Berlakunya UU No. 21

Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,

  adalah sebuah masalah yang membahas tentang putusan kasus tindak pidana perdagangan orang dari segi kriminologi dan hukum pidana yang sepanjang pengamatan penulis di Fakultas Hukum USU belum ada yang membahasnya. 31 32 Loc.Cit., Alison N. Steward, “International Human Rights Law Group”, 1998, dalam

  

”Perdagangan Perempuan, Migrasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan: Penyebab dan

Akibatnya”, Publikasi Komnas Perempuan, hal. 7.

  Dan apalagi ternyata dikemudian hari terdapat judul dengan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggungjawab terhadap skripsi ini.

G. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian

  Penelitian dalam skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif dan metode penelitian empiris. Metode penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian ini seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma ayng merupakan

  

  patokan perilaku manusia yang dianggap pantas. Sedangkan metode penelitian empiris adalah pada sifat empirisnya sehingga penelitian lapangan

   sebagaimana yang bisa dilakukan oleh peneliti ilmu sosial sebagai rujukan.

  2. Metode pengumpulan data

  Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian sebagai berikut : i. Library Research (Penelitian Kepustakaan), yakni dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan, antara lain buku-buku, pendapat para sarjana, dan lain-lain yang diperoleh dari internet.

  33 Amirudin, zainal Asikin, 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Hal 118. 34 Ade Saptomo, 2009. Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum Empiris Murni: Sebuah Alternatif , Universitas Trisakti, Hal 39. ii. Field Research (Penelitian Lapangan), yakni dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan, dalam hal ini penulis mengadakan penelitian ke Yayasan Pusaka Indonesia.

3. Analisis data

  sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Data yang diperlukan dalam skripsi ini berupa data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang dilakukan dengan mempelajari konsep hukum pidana yang mengatur kejahatan perdagangan orang dalam literatur hukum pidana serta putusan pengadilan. Data tersebut kemudian dianalisa secara kualitatif untuk memperoleh jawaban permasalahan skripsi ini.

H. Sistematika Penulisan

  Untuk lebih mempertegas penguraian isi dari skripsi ini, serta untuk lebih mengarahkan pembaca, maka berikut ini penulis membuat sistematika penulisan/gambaran isi skripsi ini sebagai berikut :

  BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini merupakan pendahuluan yang menguraikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Latar Belakang. Perumusan masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan dan Tinjauan Kepustakaan yang akan membahas Teori-teori kriminologi, Definisi pidana dan tindak pidana, Definisi tindak pidana perdagangan orang, yang diakhiri dengan Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

  BAB

  II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM BERBAGAI UNDANG-UNDANG YANG MENGATURNYA Pada bagian ini akan dibahas mengenai tindak pidana perdagangan orang yang diatur di dalam berbagai ketentuan perundang-undangan sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Instrumen Internasional yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang.

  BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DAN UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASANNYA Pada bab ini akan dibahas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang dan upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam memberantas tindak pidana perdagangan orang.

  BAB IV KASUS DAN ANALISA PUTUSAN. Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan Kasus Posisi Putusan Pengadilan Negeri Medan No.2.743/Pid.B/2006/PN.Mdn dan No. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini dibahas mengenai kesimpulan dan saran sebagai hasil dari pembahasan dan penguraian skripsi ini secara keseluruhan.

Dokumen yang terkait

Analisis Juridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

3 59 100

Penerapan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kajian Putusan No.1554/Pid.B/2012/PN.Mdn)

2 99 187

Analisis Kriminologi Dan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penggelapan Mobil Rental (Analisis 4 Putusan Hakim Pengadilan Negeri)

13 165 94

Pemalsuan Dokumen Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 (Studi Putusan No. 2960/PID.B/2008/PN.Medan)

0 34 116

Analisa Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Putusan Hakim Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 43 146

Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia

9 164 93

Tinjauan Yuridis Terhadap Perdagangan Anak Yang Masih Dalam Kandungan Dihubungkan Dengan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 2 3

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Juridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

0 0 27

BAB II FAKTOR - FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG - Penerapan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kajian Putusan No.1554/Pid.B/20

0 0 40

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kajian Putusan No.1554/Pid.B/2012/PN.Mdn)

0 0 35