BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kajian Putusan No.1554/Pid.B/2012/PN.Mdn)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbuatan Tindak Pidana merupakan hal yang tidak asing lagi bagi kita,

  perbuatan pidana seakan-akan menjadi suatu kebutuhan bagi suatu kalangan individu untuk mengejar ataupun menginginkan sesuatu. Tindak Pidana secara Universal dapat dilakukan oleh semua subjek hukum baik dalam bentuk Tindak Pidana Umum maupun Tindak Pidana Khusus. Teori pemidanaan di Indonesia seakan-akan tidak menjamin perbuatan tindak pidana tidak terjadi, setiap harinya terjadi perbuatan pidana di Indonesia baik di daerah terpencil maupun daerah perkotaan. Perdagangan orang (Human Trafficking)merupakansalah satu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), terorganisir (organized), dan lintas negara (transnational) sehingga dapat dikategorikan sebagai transnational

  organized crime.

  Di Indonesia merupakan salah satu lumbung trafficking dari negara-negara Asia. Dalam sejarah bangsa indonesia perdagangan orang pernah ada melalui perbudakan atau perhambaan. Masa kerajaan-kerajaan di Jawa, Perdagangan Orang terjadi dikalangan Perempuan yang pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Pada masa itu konsep kekuasaan raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia. Kekuasaan raja

   tidak terbatas, hal ini tercemin dari banyaknya selir yang dimilikinya.

3 Farhana Aspek Hukum Perdagangan Orangdi Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2010, hlm 1.

  Koentjaro mengindentifikasikan ada 11 Kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan dan sampai sekarang daerah tersebut masih terkenal sebagai pemasok perempuan untuk diperdagangkan, daerah tersebut adalah Jawa Barat (Indramayu, Karawang, Kuningan) , Jawa Tengah (Pati, Jepara, Wonogiri), Jawa Timur (Blitar, Malang, banyuwangi, Lamongan). Di Bali juga terjadi hal tersebut, misalnya seorang janda dari kasta rendah tanpa dukungan yang kuat dari keluarganya, secara otomatis menjadi milik raja jika raja memutuskan tidak mengambil dan masuk ke lingkungan istana, maka dia akan dikirim ke luar kota untuk menjadi pelacur dan sebagian penghasilannya harus diserahkan kepada raja secara teratur. Perlakuan

   tersebut tidak terbatas di Jawa saja, tetapi kenyataannya juga di seluruh Asia.

  Dalam Prositution in Colonial java dalam DP Chandler and M.C Rickles bahwa prostitusi di Indonesia mengalami puncaknya sekitar tahun 1811, yaitu pada saat perkembangan jalan dari Anyer-Panarukan dan dilanjutkan pembangunan jalan dan stasius kereta api oleh Daendels. Sekarang juga masih terjadi di mana lokalisasi prostitusi dekat stasiun kereta api. Perkembangan prostitusi kedua adalah tahun 1870 ketika pemerintahan Belanda melakukan

   privatisasi perkebunan atau kulturstelsel.

  Sistem feodal tidak sepenuhnya menunjukkan keberadaan perdagangan orang seperti yang dikenal dalam masyarakat modern saat ini, tetapi apa yang dilakukan pada saat itu telah membentuk landasan bagi perkembangan

  4 Ibid., hlm. 2.

  5 Kuntjoro, Memahami Pekerja Seks sebagai Korban Penyakit Sosial, Jakarta : Jurnal Perempuan No. 36/ 2004 Yayasan Jurnal Perempuan, cetakan pertama, Juli 2004, hlm 7. perdagangan orang yang ada pada saat ini. Bentuk perdagangan orang lebih terorganisir dan berkembang pesat pada periode penjajahan Belanda. Kondisi tersebut terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran untuk memenuhi kebutukan masyarakat Eropa. Perdagangan orang berbentuk kerja rodi dan menjual anak perempuan untuk mendapat imbalan materi dan kawin kotrak.

  Begitu juga pada masa penjajahan Jepang, perdagangan orang berbentuk kerja rodi dan komersial seks terus berkembang. Selain memaksa perempuan pribumi menjadi pelacur jepang juga membawa banyak perempuan ke Jawa dari Singapura, Malaysia, dan Hongkong untuk melayani perwira tinggi Jepang. Pada masa itu berbagai cara rekrutmen dilakukan dalam perdagangan orang khususnya perempuan, yaitu : 1.

  Melalui saluran-saluran resmi yang digagas Jepang, di mana perempuan diperas tenaganya dalam pekerjaan massal seperti menjadi pembantu rumah tangga, pemain sandiwara atau sebagai pelayan restoran.

2. Melalui jalur resmi aparat pemerintahan, seperti para carik, Bayan dan

  Lurah dikerahkan untuk mengumpulkan perempuan desa. Pendekatan yang dipergunakan oleh aparat desa adalah cara kekeluargaan, sehingga dalam proses pemberangkatan tiak banyak persoalan. Mereka dijanjikan untuk mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan uang untuk membantu kehidupan keluarga. Padahal perempuan tersebut dijadikan Jugun lanfu, yaitu wanita penghibur baik untuk kalangan militer maupun sipil jepang.

  Mereka dikirim sampai ke Kalimantan dan bahkan ke pulau lain yang

   asing bagi mereka.

  Kondisi kerja eksploitatif biasanya dihadapi oleh para Jugun lafun. Selain dikurung di tempat asing dan tertutup, mereka juga harus bersedia melayani balantera Jepang setiap saat. Apabila mereka menolak, akan mendapat pukulan sehingga dikondisikan untuk tidak mempunyai pilihan kecuali menurut.

  Setelah merdeka, hal tersebut dinyatakan sebagai tindakan melawan hukum. Dieraglobalisasi, perbudakan marak terjadi dalam wujudnya yang ilegal dan terselubung berupa perdagangan orang melalui bujukan, ancaman, penipuan dan rayuan untuk direkrut dan dibawa ke daerah lain bahkan ke luar negeri untuk diperjualbelikan dan diperkerjakan di luar kemauannya sebagai pekerja seks,

   pekerja paksa dan atau bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.

  Kini perdagangan orang merupakan masalah yang menjadi perhatian luas di Asia bahkan di seluruh dunia. Laporan survei Dunia IV tentang perempuan dan Pembangunan (1999) menyebutkan bahwa banyak negara berkembang di Asia seperti Vietnam, Srilangka, Thailand, dan Filipina mengalami hal yang sama, sebagai akibat ketidakpastian dan ketidakmampuan menghadapi persaingan bebas dari konsep liberalisme ekonomi di era globalisasi yang mempunyai dampak cukup kompleks terutama terhadap peningkatan peran dan kedudukan perempuan dalam bidang ekonomi baik tingkat nasional maupun internasional.

   diakses hari selasa tgl 11 Feb 2014 pkl 19.50 Wib

7 Kuntjoro Op cit, hlm 14.

  Perdagangan orang yang mayoritas perempuan dan anak, merupakan jenis perbudakan pada era modren ini merupakan dampak krisis multidimesional yang dialami Indonesia. Dalam pemberitaan saat ini sudah dinyatakan sebagai masalah global yang serius dan bahkan telah menjadi bisnis global yang telah memberikan

  

  keuntungan besar terhadap pelaku. Dari waktu ke waktu pratik perdagangan orang semakin menunjukkan kualitas dan kuantitasnya. Setiap tahun diperkirakan 2 (dua) juta manusia diperdagangkan dan sebagian besarnya adalah perempuan dan anak. Tahun 2005, ILO (International Labour Organization)Global Report on

  

Forced Labour memperkirakan hampir 2,5 juta orang dieksploitasi melalui

  perdagangan orang menjadi buruh diseluruh dunia, dan lebih dari setengah berada di wilayah Asia termasuk Indonesia dan wilayah Pasifik, di mana 40 persen

   (empat puluh persen) adalah anak-anak.

  Kenyataan bahwa yang lebih dominan korban adalah perempuan dan anak karena merekalah kelompok yang sering menjadi sasaran dan dianggap paling rentan. Disadari bahwa perempuan adalah kelompok strategis dan keberlanjutan generasi karena perempuan mempunyai fungsi reproduksi dengan melahirkan keturunan dan merupakan kelompok yang menentukan kualitas keluarga, sedangkan anak adalah tunas, potensi, dan kelompok strategis bagi keberlanjutan bangsa di masa depan yang memiliki ciri-ciri dan sifat yang khusus yang harus dipenuhi dan dijamin hak-haknya agar terlindungi tumbuh kembangnya,

  8 Rachmad Syafaat, Dagang Manusia, cet. 1, Jakarta : Lappera Pustaka Utama, 2003, hlm 1.

  9 Farhana Op cit, hlm 5. kelangsungan hidupnya dan terlindung dari diskriminasi, kekerasan, dan eksploitasi.

  Berbagai hal yang menyebabkan perbuatan tindak pidana perdagangan orang ini terjadi, dapat disebabkan kemiskinan yang struktural seperti tidak mampunyai keluarga untuk mengikuti kenaikan harga bahan pokok memaksa mereka untuk mengirim anggota keluarganya untuk bekerja, ataupun perdagangan orang telah menjadi bisnis global yang telah memberikan keuntungan besar terhadap pelaku dan belum ada mekanisme yang efektif untuk melindungi

   perempuan dan anak yang di eksploitasi tersebut.

  Pada era modren saat ini bila dibandingkan pada era sebelumnya, kejadian ataupun peristiwa perbuatan tindak pidana perdagangan orang memiliki sedikit perbedaan dalam konteks pelaku melakukan perbuatannya, bila pada era kerajaan di Indonesia perbuatan perdagangan orang terlihat dengan penghambaan ataupun dijadikan selir Raja, tetapi pada era modren saat ini korban perdagangan orang biasanya ditipu, diberlakukan tidak manusiawi dan dieksploitasi.

  Bentuk-bentuk eksploitasi itu sendiri diantaranya dengan cara memperlakukan korban untuk bekerja yang mengarah pada pratik-pratik eksploitasi seksual, perbudakan atau bentuk-bentuk perbudakan mordern, perbuatan transplansi organ tubuh untuk tujuan komersial, sampai penjualan bayi yang dimaksudkan untuk tujuan dan kepentingan mendapatkan keuntungan yang

  

besar bagi para pelaku perdagangan orang.

  10 Ibid, hlm 6.

  11 Terence H. Hull Endang S., Gavin W. Jones, Pelacur di Indonesia, cetakan I, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1997, hlm 1-2.

  Salah satu daerah yang menyimpan banyak permasalahan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) perempuan dan anak di indonesia adalah daerah Provinsi Sumatera Utara. Hal ini dikarenakan provinsi sumatera utara dalam pratek perdagangan perempuan dan anak memiliki 3 (tiga) fungsi strategis , yaitu sebagai daerah asal (sening area), daerah penampungan sementara (transit) dan juga sebagai daerah tujuan perdagangan (trafficking). Disisi lain berkaitan dengan posisi geografis daerah sumatera utara yang strategis dan mempunyai aksesblitasi tinggi ke jalur perhubungan dalam dan luar negeri serta kondisi perkembangan daerah Sumatera Utara yang cukup baik diberbagai bidang. Dari 28 kabupaten/ kota se-Sumatera Utara, yang terindetifikasi daerahnya rawan

  

trafficking s ebanyak 12 kabupaten/ kota, antara lain : Medan, Binjai, Deli

  Serdang, Serdang Berdagai, Asahan, Batu Bara, Tanjung Balai, Langkat, Tebing

   Tinggi, Labuhan Batu, Pemantang Siantar,dan Simalungun.

  Bentuk pratek trafficking yang ditangani Sumatera Utara diantaranya adalah trafficking untuk prostitusi atau pelacuran, perdagangan bayi, pekerja rumah tangga, pekerja jermal dan penipuan buruh migran. Namun dari sejumlah data dan bentuk pratek trafficking yang berkembang sebagian besar kasusnya adalah untuk pelacuran, mulai dari trafficking domestik maupun lintas negara. Modus atau alibi sebagian besar adalah bujukan atau iming-iming, yang merupakan pembohongan dan penipuan serta menebar perangkap ke zona-zona

12 Chairul BariahMozasa, aturan-aturan hukum trafficking (perdagangan perempuan dan ,Medan : USU Press, 2005, hlm 2.

  anak) publik, seperti stasiun KA, terminal bus, pelabuhan, ke desa atau kelurahan,

   pinggiran kota bahkan di pusat kota dan tempat-tempat lain.

  Hasil seminar Illegal Migration and Human Trafficking in Woman and

  

Children menunjukkan bahwa tahun 2000 dari 1.683 kasus yang dilaporkan ke

  Kepolisian hanya 1.094 kasus yang diteruskan di Pengadilan. Menurut Sri Redzeki Sumaryoto yang pada waktu itu menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan, tahun 2002, beliau mengatakan bahwa kondisi semacam ini telah menepatkan Indonesia masuk dalam peringkat ketiga yang merupakan peringkat terburuk, sehingga Indonesia merupakan negara yang diasumsikan tidak dengan sungguh-sungguh menangani masalah perdagangan orang ini, tidak memiliki perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat mencegah, melidungi, menolong korban, serta tidak memiliki peraturan perundang-undangan untuk melakukan penghukuman pelaku perdagangan orang. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya memiliki satu pasal saja, yaitu Pasal 297 yang mengatur secara eksplisit tentang perdangan perempuan dan anak laki-laki, tetapi ancaman hukumannya masih ringan. Perdagangan anak juga belum diantisipasi oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada anak dan dinyatakan oleh US Depertemen of State Publication 2005 bahwa Indonesia sebagai negara sumber dan transit perdagangan orang internasional, khusunya untuk tujuan seks komersial dan buruh anak di dunia. pada waktu itu dampak dari perdagangan orang yang terjadi di Indonesia terancam dihentikan seluruh bantuan

13 Emy Suryana, Implementasi Kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Dalam , Medan : 2009 hlm 6.

  Penanggulangan Traffcking perempuan dan anak kemanusiaan dari dunia internasional. Sedangkan pada tanggal 14 Juni 2010 bertajuk “Trafficking in Persons Report 2010,” yang dinyatakan oleh Depertemen

  

of State Publication 2010 bahwa Indonesia telah menempati urutan pertama di

  dunia sebagai pelaku perdagangan manusia, yaitu sekitar 3 (tiga) juta orang yang diperdagangkan. Menurut laporan itu, penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri oleh Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) secara legal maupun illegal telah menjadi sarana Perdagangan Orang (Human

  Trafficking) , Pelacuran (Prostitution), dan Perbudakan Modren (Modern Slavery).

  Sejak awal Indonesia telah mengkriminalisasikan perdagangan orang yang diatur dalam Pasal 297 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ). Akan tetapi, karena perdagangan orang sudah berkembang menjadi kejahatan transnasional yang terorganisir, maka diperlukan adanya pembaharuan komitmen untuk memerangi sebagaimana tertuang dalam Keppres Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak dan gugus tugas yang beranggotakan lintas sektoral untuk implementasinya. Tujuan nasional ini tidak hanya memerangi kejahatan perdagangan orang saja, tetapi juga alam masalah kemiskinan, kurangnya pendidikan dan ketrampilan,

   kurangnya akses, kesempatan dan informasi, serta nilai-nilai sosial budaya.

  Usaha menanggulangi kejahatan perdagangan orang memerlukan sumber daya yang besar dan waktu yang lama, serta konsolidasi antara unsur-unsur penyelenggaraan negara dan juga kerja sama dengan negara-negara lain

  14 http://musniumar.wordpress.com /2011/10/26/ pencegahan-dan-pemulihan-korban-

perdagangan-orang-di-indonesia/ , diakses pada hari Rabu, tanggal 5 Februari 2014, Jam 19:39

  Wib. agarupaya-upaya penanggulangan perdagangan orang dapat berjalan dengan efektif. Dengan usaha bersama yang telah diupayakan dengan lahir Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Keppres Nomor 59 Tahun 2002 tantang RAN Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Keppres 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi seksual Kormesial Anak, dan Keppres Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, serta aksi-aksi nyata dari sektor-sektor terkait, LSM, organisasi kemasyarakatan, kepolisian, dan lain-lain, maka pada akhir bulan Juni 2003 Indonesia telah naik ke peringkat kedua, satu tingkat lebih baik, ini awal yang baik dari sebuah komitmen

   bangsa indonesia.

  Adapun data dari Bareskrim Polri bahwa data kasus perdagangan orang adalah sebagai berikut: tahun 2002 yang lapor 155 kasus selesai 96 kasus, tahun 2003 lapor 138 kasus selesai 88 kasus, 2004 lapor 68 kasus selesai 30 kasus, tahun 2005 lapor 30 kasus selesai 8 kasus, kemudian meningkat menjadi 86 kasus di tahun 2006. Kasus yang sama melonjak dua kali lipat menjadi 177 kasus pada tahun 2007. Namun pada tahun 2007 tersebut dimana Undang-Undang tentang PTPPO disahkan, maka pada tahun 2008 kasus menurun menjadi 88 kasus. Sedangkan Pada tahun 2009, data Badan Reserse Kriminal Kepolisian (Bareskim POLRI) mencatat ada 607 kasus perdagangan manusia sepanjang lima tahun terakhir. Data tersebut secara tidak langsung menyatakan ada 185 kasus pada tahun 2009 yang merupakan pelonjakan besar-besaran dari tahun sebelumnya.

15 Farhana, Op Cit, hlm 8.

  Keseluruhan fakta diatas menunjukkan bahwa implementasi UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTPPO tidak efektif dalam mengatasi tindakan trafficking di

16 Indonesia.

  Di luar dari kasus-kasus yang terdata oleh Polri dan juga kasus-kasus yang di data oleh LSM dan organisasi masyarakat lainnya. Hal yang juga kerap terjadi yaitu TPPO tidak diteruskan ke pihak yang berwajib karena korban atau keluarganya menganggap cukup diselesaikan di antara mereka saja. Jadi, korban tindak pidana perdagangan orang yang tidak dilaporkan tersebut menggambarkan bahwa yang kelihatan sedikit tetapi yang tidak kelihatan banyak.

  Dengan demikian menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat, diikuti dengan modus operandi yang semakin beragam dan kompleks, sehingga dibutuhkan penanganan secara konprehensif dan sinergi. Berlangsungnya lalu lintas perdagangan orang menjadi semakin memprihatinkan dan menyedihkan ketika akibatnya telah membelenggu hak-hak asasi serta kemerdekaan diri korban yang mayoritas perempuan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak yang bersangkutan, yang lebih lanjut akan menghambat juga terhadap proses pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang berpotensi dan berkualitas. Hal mengingat bahwa pada dasarnya perempuan dan anak adalah bagian yang sangat penting bagi kelangsungan dan kualitas hidup penentu masa depan bangsa. Perdagangan orang terkait erat dengan kriminalitas transnasional yang merendahkan martabat bangsa dan negara dimana memperlakukan korban selayaknya barang yang semata sebagai komoditi yang dibeli, dijual, dikirim dan

   diakses pada hari minggu, tanggal 9 Februari 2014, Jam 23:45 Wib. dijual belikan. Sudah seharusnya tindak kejahatan perdagangan orang segera ditanggulangi dan upaya perlindungan secara khusus dilakukan mengingat mereka adalah aset-aset bangsa yang sangat esensial dan potensial. Dan hal tersebut juga yang mendorong penulis mengangkat masalah tindak pidana perdagangan orang yang berjudul “Penerapan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kajian Putusan No. 1554/Pid.B/2012/Pn.Mdn)”.

B. Perumusan Masalah

  Adapun permasalahan yang dapat diajukan dalam menyikapi masalah perdagangan orang adalah sebagai berikut :

1. Faktor-faktor penyebab terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang ? 2.

  Bagaimana Pengaturan Hukum didalam Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ? 3. Bagaimana Penerapan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Putusan No.

  1554/Pid.B/2012/PN.Mdn) ?

C. Tujuan Penulisan

  Adapun yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui peraturan-peraturan yang berkaitan tentang tindak pidana perdagangan orang yang berlaku secara nasional maupun internasional.

  2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang serta dampaknya.

  3. Untuk mengetahui bagaimana Penerapan UU No 21 tahun 2007 tentang PTPPO terhadap Pelaku TPPPO.

D. Manfaat Penulisan

  1. Manfaat secara Teoritis

  Dimana penulisan skripsi ini dapat bermafaat memberikan kontribusi baik dalam bentuk masukan, pemikiran serta menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis, khususnya yang berhubungan dengan perbuatan tindak pidana perdagangan orang yang akhir-akhir ini banyak terjadi dan dapat menjadi bahan kajian yang lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah dalam rangka upaya supermasi hukum yang mana semata mata agar tercapainya dasar tujuan hukum yang meliputi keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.

  2. Manfaat secara Praktis

  Secara praktis penulisan skripsi ini dapat memberikan pengetahuan tentang kasus-kasus tindak pidana perdagangan orang yang terjadi dewasa ini dan bagaimana upaya penanggulangan korban PTPPO sehingga kasus-kasus pidana perdagangan orang tidak akan terjadi lagi, dan juga dapat dijadikan pedoman bagi aparat penegak hukum maupun masyarakat umum dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.

  E. Keaslian Penulisan

  Skripsi ini berjudul Penerapan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kajian Putusan No.1554/Pid.B/2012/Pn.Mdn) diangkat karna penulis ingin mengetahui bagaimana pengaturan hukum tentang tindak pidana perdagangan orang, dan apa sajakah faktor-faktor terjadinya PTPPO dan dampaknya. Yang mana dalam skripsi ini penulis mengkaitkan penerapan UU No 21 tahun 2007 tentang PTPPO dengan Putusan Kasus tindak pidana perdagangan orang. Sepanjang pengamatan dan penelusuran penulis di Fakultas Hukum USU belum ada yang membahasnya ataupun pembahasan judul yang sama. Dan kalaupun ada tulisan yang hampir sama dengan skripsi ini, semua itu akan menambah kazanah dan wawasan untuk memperdalam dan memperluas penulisan. Penulisan ini disusun berdasarkan literatur-literatur yang telah ada, baik dari literatur perpustakaan, media cetak atapun media elektronik. oleh karna itu penulisan skripsi ini adalah karya asli penulis dan apabila ternyata dikemudian hari terdapat judul yang permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggungjawab atas skripsi ini.

  F. Tinjauan Kepustakaan

1. Tindak Pidana Perdagangan Orang

  Sebagaimana kita ketahui tindak pidana perdagangan orang merupakan tindak pidana yang dikategorikan sebagai transnational organized crime yaitu tindak pidana yang teroganisir dan lintas negara, tindak pidana perdagangan orang juga merupakan tindak pidana khusus yang bukan kejahatan biasa tetapi tergolong kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), sehubungan dengan itu sebelum kita lebih lanjut membahas tentang pengertian tindak pidana perdagangan orang alangkah baiknya kita mengetahui pengertian kejahatan dan tindak pidana terlebih dahulu.

2. Pengertian Kejahatan

  Pengertian kejahatan menurut tata bahasa adalah perbuatan atau tindakan yang jahat seperti yang lazim orang mengetahui atau mendengar perbuatan yang jahat adalah pembunuhan, pencurian, penipuan, penculikan, dan lain-lainnya yang dilakukan oleh manusia. Sedangkan di dalam KUHP tidak disebutkan secara jelas tetapi kejahatan itu diatur dalam Pasal 104 sampai Pasal 488 KUHP.

  Adapun pendapat dari para ahli mengenai pengertian kejahatan, sebagai berikut :

   a.

  Menurut Bonger, menyatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari Negara berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definition) mengenai kejahatan.

  b.

  Menurut Rusli Effendy, kejahatan adalah delik hukum (rechts delicten) yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang- undang sebagai peristiwa pidana, tetapi dirasakan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum.

   2002:2, diakses pada hari Selasa, tanggal 25 Maret 2014, Jam 7.48 Wib. c.

  Menurut Arif Gosita, kejahatan adalah suatu hasil interaksi, dan karena adanya interelasi antara fenomena yang ada dan saling mepengaruhi.

  Dimana kejahatan tidak hanya dirumuskan oleh Undang-Undang Hukum Pidana tetapi juga tindakan-tindakan yang menimbulkan penderitaan dan tidak dapat dibenarkan serta dianggap jahat, tidak atau belum dirumuskan dalam undang-undang oleh karena situasi dan kondisi tertentu.

  d.

  Menurut Edwin H. Sutherland, kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan yang merugikan negara dan terhadap perbuatan tersebut negara bereaksi dengan hukuman sebagai upaya pamungkas.

  e.

  Menurut Soesilo, ada dua pengertian kejahatan, yaitu pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis, kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.

  f.

  Menurut Van Bemmelen, kejahatan merupakan suatu tindakan anti sosial yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat, sehingga dalam masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menentramkan

   masyarakat, Negara harus menjatuhkan hukuman kepada penjahat.

   diakses pada hari Selasa, tanggal 25 Maret 2014, Jam 09.05

  Wib.

3. Pengertian Tindak Pidana

  Pengertian tindak pidana yang di muat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang sering disebut dengan

  

strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tersebut tidak memberikan

  penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering dipergunakan oleh pakar hukum pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta

   delik.

   Pengertian tindak pidana menurut para ahli adalah sebagai berikut : a.

  Menurut Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

  b.

  Menurut HJ. Van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat dipersalahkan.

  c.

  Menurut Simons, merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai

   dapat dihukum.

19 Chazawi Adami, Stesel Pidana. Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas

  Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Press, 2010, hlm 53.

   diakses pada hari Selasa, tanggal 25 Maret 2014. Jam 10.23 Wib.

   diakses pada hari Selasa, tanggal 25 Maret 2014, Jam 09.46 Wib. d.

  Menurut Moeljatno tindak pidana adalah Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dengan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

  e.

  Menurut Van Bammelen bahwa elemen-elemen dari strafbaar feit dapat dibedakan menjadi : elementen voor destrafbaarheid van feit, yang terletak dalam bidang objektif karena pada dasarnya menyangkut tata kelakuan yang melanggar hukum dan yang kedua mengenai elementen

  voor destrafbaarheid van dedader yang terletak dalam bidang subjektif

  karna pada dasarnya menyangkut keadaan atau sikap bathin orang yang

  

  melanggar hukum atau adanya kelakuan atau kejahatan. Dimana kesemuanya itu merupakan elemen yang diperlukan untuk menentukan dijatuhkannya pidana sebagaimana diancamkan.

  f.

  Menurut Pompe pembagian elemen strafbaar feit yaitu :

  Wederrechtelijkheid (unsur melawan hukum), Schuld (unsur kesalahan),

   Subsociale (unsur bahaya/ unsur gangguan/ unsur merugikan).

4. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang

  Berbagai pengertian tentang tindak pidana perdagangan orang yang diatur, baik dalam hukum Konstitusi Nasional maupun Instrumen hukum Internasional.

  Adapun pengertian tersebut antara lain :

  22 Menurut Van Bemmelen kejahatan adalah tiap kelakuan yang bersifat tindak susila dan

merugikan, yang menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan didalam masyarakat tertentu,

sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakan atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut., lihat Ibid hlm 77. 23 MuhammadEkaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana ke-2,Medan : USU Press, 2013, hlm 81.

  a. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

  Perdagangan orang dalam KUHP sudah merupakan perbuatan pidana dan diatur secara eksplisit yang mengartikan perdagangan orang adalah “Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”

  

  , Namun bunyi pasal tersebut tidak ada defini secara resmi dan jelas tentang perdagangan orang sehingga tidak dapat dirumuskan unsur-unsur tindak pidana yang dapat digunakan oleh penegak hukum untuk melakukan penuntutan dan pembuktian adanya tindak pidana perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur. Pasal tersebut menyebutkan wanita dan anak laki-laki di bawah umur berarti hanya perempuan dewasa karena wanita sama dengan perempuan dewasa dan anak laki-laki yang masih di bawah umur yang mendapat perlindungan hukum dalam pasal tersebut. Adapun laki-laki dewasa dan anak-anak perempuan tidak mendapat perlindungan hukum.

  

  b. Berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO

  Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyebutkan yang dimaksud dengan TPPO adalah :

  “Setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini”.

  

  “Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, Dimana selanjutnya unsur-unsur tersebut meliputi :

  24 Pasal 297 KUHP.

25 Farhana,Op Cit, hlm 7.

  26 Pasal 1 ayat (2) UU No 21 Tahun 2007 Tentang PTPPO. penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat ataupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi

   atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.

  Kata “untuk tujuan” sebelum kata mengeksploitasi orang tersebut menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil.

  Dengan demikian, yang harus dipahami dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTPPO, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan dalam undang-undang dan tidak dibutuhkan lagi harus mensyaratkan adanya akibat dieksploitasi atau tereksploitasi yang timbul.

  Cara melakukan atau modus operandi pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam UU tersebut merupakan unsur dari tindak pidana perdagangan orang, antara lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan atau penjeratan utang.

c. Berdasarkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2012 Bab XXI mengenai tindak pidana

  

terhadap Kemerdekaan Orang bagian kesatu Perdagangan Orang

  Rancangan Undang-Undang KUHP menyebutkan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah :

  “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia,

  27 Pasal 1 ayat (1) UU No 21 Tahun 2007 Tentang PTPPO. dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori III

   dan paling banyak Kategori IV”.

   Berdasarkan rumusan diatas terdapat tiga elemen yakni :

  1) Setiap orang yang melakukan pengrekrutan, pengiriman, penyerah terimaan orang.

  2) Dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan atau penjeratan utang

  3) Untuk tujuan mengeksploitasi, atau perbuatan yang dapat tereksploitasi orang tersebut.

  d. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

  Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa suatu tindak pidana yang termasuk dalam kategori tindak pidana perdagangan orang ialah : “Setiap anak yang diperdagangkan, menjual atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak 300 juta dan

  

  paling sedikit 60 juta rupiah”

  e. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia

  Undang-Undang tentang Hak Azasi Manusia melarang setiap unsur yang mengandung kejahatan perdagangan orang yang berbunyi : 1)

  Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba

  28 Pasal 552 RUU KUHP 2012 .

  29 http://bagashera.wordpress.com /2012/06/27/ buku-kesatu-rancangan- kuhp - 2012/ diakses pada hari selasa, tanggan 11 Februari 2014, Jam 16.45 Wib.

  30 Pasal 83 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

  2) Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita,

  

  dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang

  f. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

  Menurut Undang-Undang tentang Pengadilan HAM, kejahatan Kemanusiaan meliputi :

  “Salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diketahuinya bahwa serangan tersebut

  

  ditujukan langsung terhadap penduduk sipil” Unsur-unsur pidana dalam pasal ini yaitu serangan yang meluas atau sistematis, yang diketahuinya, ditujukan langsung terhadap penduduk sipil.

  Kejahatan perdagangan orang memenuhi ketiga unsur tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa perdagangan manusia dilakukan oleh organisasi kejahatan yang terorganisir secara sistematis dan profesional dan dilakukan dengan sengaja serta merupakan rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil yang berhubungan dengan kejahatan perdagangan orang.

  g. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 6 tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak

  Peraturan daerah Sumatera Utara memberikan defenisi TPPO yaitu : “Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan anakadalah tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu perbuatan yang memenuhi salah satu unsur-unsur perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan perempuan dan anak dengan menggunakan kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalah gunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi rentan atau penjeratan hutang untuk tujuan dan atau berakibat mengeksploitasi perempuan dan

   anak”.

  31 Pasal 20 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.

  32 Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

  33 Pasal 1 huruf (o) Perda Provsu No 6 Tahun 2004.

h. Berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 49/166 Tahun 1994

  Mendefinisikan istilah trafficking :

  

“Trafficking is the illicit and clandestine movement of person across

national and international borders, largely from developing countries and

some countries with economies in transition, with the ean goal of forcing

women and girl children into sexually or economically oppressive and

exploitative situations for thr profit of recruiters, trafficking, and crime

syndicates, as well as other illegal actives related to trafficking, such as

forced domestik labour, false marriages, clandestine employment and false

adoption”.

  (Perdagangan adalah suatu perkumpulan gelap oleh beberapa orang di lintas nasional dan perbatasan internasional, sebagian besar dari negara- negara yang berkembang dengan perubahan ekonom(inya, dengan tujuan akhir memaksa wanita dan anak-anak perempuan bekerja di bidang seksual dan penindasan ekonomis dan dalam keadaan eksploitasi untuk kepentingan agen, penyalur dan sindikat kejahatan, sebagaimana kegiatan illegal lainnya yang berhubungan denganperdagangan seperti pembantu

   rumah tangga, perkawinan palsu, pekerja gelap dan adopsi).

i. Berdasarkan Global Alliance Againts traffic in Women (GAATW)

  Mendefinisikan istilah perdagangan (trafficking) yaitu : “Tradingisalleffortoractionrelating to therecruitment, sale, transferor

  

receipt ofdeliveryby usingdeceptionto pressures, includingthe use ofthreat

of violenceorabuse of powerbondedwiththe aim ofplacing or

holdingsuchperson, whether for payornottoworkisnotdesirable(domestic

orsexualreproductive) in forced laboror inslavery-like conditions, in an

environmentother than the placewherehe lives,ata timeof deception,pressureordebt bondagefirsttime”.

  (Perdagangan adalah semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan,penjualan, transfer pengiriman atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atas tekanan, termasuk penggunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak untuk kerja yang tidak diinginkan atau domestik seksual atau reproduktif dalam kerja paksa atau dalam kondisi perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat dimana orang itu tinggal, pada waktu

   penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama kali).

  34 Chairul BariahMozasa, Op cit, hlm 4.

  35 Ibid, hlm 5.

  

j. Berdasarkan Protocol To Prevent, Suppress And Punish Trafficking In

Persons, Especially Women And Children, Supplementing The United

Nations Convention Against Transnationalorganized Crime

  Protokol ini memberikan pengertian untuk mencegah serta menghukumperdagangan orang, terutamaperempuan dananak, dimana menjelaskan pengertian TPPO, yaitu :

  

“For the purposes of this Protocol “Trafficking in persons” shall mean

the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons,

by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of

abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of

vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to

achieve the consent of a person having control over another person, for

the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the

exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual

exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to

slavery, servitude or the removal of organs”.

  (Pasal Perdagangan manusia berarti perekrutan, transportasi, transfer,

  penampungan atau penerimaanorangdengan cara ancamanatau penggunaan kekerasanataubentuk pemaksaan lainnya, penculikan, penipuan,penipuan, penyalahgunaankekuasaan atauposisi rentanataudarimemberi atau menerimapembayaran atau keuntunganuntuk mencapaipersetujuan dariorang yang memegang kendaliatas orang lain, untuk tujuaneksploitasi. Eksploitasi termasuk, minimal, eksploitasimelacurkan orang lainatau bentuk lain darieksploitasi seksual, kerja paksaataujasa, perbudakan ataupraktek-praktekserupa perbudakan, perhambaan atau

   pengambilandariorgan”. k. Berdasarkan Trafficking Victims Protection Act (TVPA)

  Undang-Undang Perlindungan Korban Perdagangan Orang Amerika Serikat, menyebutkan perdagangan orang adalah:

  1) Perdagangan seks, dimana tindakan seks komersil diberlakukan secara paksa dengan cara penipuan, atau kebohongan atau dimana seseorang diminta secara paksa melakukan suatu tindakan sedemikian, belum mencapai usia 18 tahun atau

36 Article 3 Nations United 2000, Protocol To Prevent, Suppress And PunishTrafficking

  In Persons, Especially Women And Children, Supplementing The United Nations Convention Against Transnationalorganized Crime.

  2) Merekrut, menampung, mengangkut, menyediakan atau mendapatkan seseorang, untuk bekerja atau memberikan pelayanan melalui paksaan, penipuan atau kekerasan untuk tujuan penghambaan,

   penjerataan hutang atau perbudakan.

5. Pelaku Tindak Pidana menurut KUHP

  terbagi atas dua

  yaitu Orang Perorangan atau Individu(oneperson) dan Badan Hukum.Hal yang sama juga tercermin didalam hukum pidana, yang kerat kali menyebutkan “barang siapa” atau dengan kata “setiap orang” pernyataan demikian merupakan salah satu unsur terpenting untuk menentukan suatu perbuatan adalah perbuatan tindak pidana atau dengan kata lain memenuhi unsur tindak pidana.

  Dalam hukum pidana pengertian pelaku menurut KUHP pelaku dipidana sebagai pelaku yaitu “mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, dan mereka yang sengaja menganjurkan orang lain supaya

  

  melakukan perbuatan” . Kalimat yang mengatakan dipidana sebagai pelaku memberikan perbedaan pendapat dikalangan para pakar hukum pidana, yaitu apakah yang disebut pasal 55 ayat (1) KUHP itu adalah pelaku (dader) atau hanya disamakan sebagai pelaku (alls dader), dalam hal ini ada 2 (dua) pendapat yaitu : a.

  Pendapat yang luas (ekstentif) Pendapat ini memandang sebagai pelaku (dader) adalah setiap setiap orang yang menimbulkan akibat yang memenuhi rumusan tindak pidana, artinya mereka yang melakukan serta memenuhi syarat bagi yang terwujudnya akibat yang

  37 ACILS-IMC-USAID, Panduan Penanganan Anak Korban Perdagangan Manusia, Bandung: Lembaga Advokasi Hak Anak, 2003, hlm 1.

  38 Subjek hukum adalah Segala sesuatu yang mempuyai hak dan kewajiban. Lihat Mudjiono, Sistem Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1997, hlm 43.

  39 Pasal 55 ayat 1 KUHP. berupa tindak pidana. Jadi, mereka semua yang disebut dalam pasal 55 ayat 1 KUHP itu adalah pelaku (dader). Penganut pendapat ini adalah M.v.T, Pompe, Hazewinkel Suringa, Van Hanttum, dan Moeljatno.

   b.

  Pendapat yang sempit (Resktriktif) Pendapat ini memandang (dader) adalah hanyalah orang yang melakukan sendiri rumusan tindak pidana. Jadi, si pelaku (dader) itu hanyalah yang disebut pertama atau mereka yang melakukan perbuatan pasal 55 ayat (1) KUHP, yaitu yang personal (persoonlijk) dan materiil melakukan tindak pidana, dan mereka yang disebut pasal 55 ayat (1) KUHP bukan pelaku (deder), melainkan hanya disamakan saja (ask dader). Penganut pendapat ini adalah H.R. Simons, Van Hamel, dan Jonkers, mereka yang melakukan tindak pidana (zij die het feit

  plgeen) sebagaimana diuraikan oleh Simons, bahwa yang dimaksudkan dengan zij

die het feit plgeen bilamana seseorang melakukan sendiri suatu tindak pidana

(alleendaderschaft).

  6. Pembantu Tindak Pidana menurut KUHP

  Uraian tentang pembantu suatu tindak pidana dalam KUHP meliputi :

   a.

  Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan b.

  Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan

  

7. Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang menurut Undang-Undang

  21 Tahun 2007 tentang PTPPO

  “setiap orang adalah orang perorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang”

  

  40 Chazawi Adami, Op Cit, hlm 62.

  41 Pasal 56 KUHP.

  42 Pasal 1 ayat (4) UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO.

  “Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi

  

  baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.” Hal yang sama juga disebutkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan pelaku tindak pidana perdagangan orang adalah “Setiap orang

  

  Pelaku (dader) tindak pidana perdagangan orang dapat digolongkan menjadi empat kelompok, sebagai berikut : 1)

  Orang perseorangan, yaitu individu/ perorangan yang secara langsung bertindak melakukan perbuatan pidana perdagangan orang.

  2) Kumpulan orang atau kelompok, yaitu kumpulan dua orang atau lebih yang bekerja sama melakukan perbuatan pidana perdagangan orang.

  3) Korporasi, yaitu perkumpulan.organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subjek hukum yang bergerak di bidang usaha yang dalam pelaksanaannya melakukan penyalahgunaan izin yang diberikan.

  4) Aparat, yaitu pegawai negeri atau pejabat pemerintah yang diberi wewenang tertentu namun melakukan penyalahgunaan dari yang

   seharusnya dilakukan.

  Dalam KUHP tidak mengenal subjek tindak pidana berupa korporasi, tetapi dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Dokumen yang terkait

Analisis Juridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

3 59 100

Penerapan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kajian Putusan No.1554/Pid.B/2012/PN.Mdn)

2 99 187

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

1 74 133

Pemalsuan Dokumen Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 (Studi Putusan No. 2960/PID.B/2008/PN.Medan)

0 34 116

Analisa Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Putusan Hakim Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 43 146

Tinjauan Yuridis Terhadap Perdagangan Anak Yang Masih Dalam Kandungan Dihubungkan Dengan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 2 3

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Juridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

0 0 27

BAB II FAKTOR - FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG - Penerapan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kajian Putusan No.1554/Pid.B/20

0 0 40