BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku 2.1.1 Definisi Perilaku - Gambaran Perilaku Ibu Tentang Penanganan Awal Diare Dalam Mencegah Terjadinya Dehidrasi Pada Balita Di Kelurahan Tegal Sari Mandala Iii Kecamatan Medan Denai Tahun 2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku

2.1.1 Definisi Perilaku

  Perilaku dari segi biologis adalah kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Secara umum yang dimaksud perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Sunaryo (2006), perilaku adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respon serta dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Robert Kwick (1974) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Skinner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya rangsangan pada seseorang,dan kemudian orang tersebut memberikan respons. Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Dimana determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

  1. Faktor internal, ialah karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan, misalnya: tingkat emosional, jenis kelamin, genetik, tingkat kecerdasan, dan sebagainya.

  2. Faktor eksternal, ialah lingkungan , baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya. Faktor lingkungan merupakan faktor dominan yang mewarnai seseorang (Notoatmodjo, 2007)

2.1.2 Domain Perilaku

  Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia kedalam tiga domain, ranah atau kawasan yaitu: kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotor (psychomotor). Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan (Notoatmodjo, 2007).

1. Pengetahuan

  Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Tanpa pengetahuan seseorang tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi. Ada empat macam pengetahuan (Widodo, 2006), yaitu: 1.

  Pengetahuan Faktual (Factual knowledge) Pengetahuan yang berupa potongan - potongan informasi yang terpisah-pisah atau unsur dasar yang ada dalam suatu disiplin ilmu tertentu. Pengetahuan faktual pada umumnya merupakan abstraksi tingkat rendah. Ada dua macam pengetahaun faktual yaitu pengetahuan tentang terminologi (knowledge of terminology) mencakup pengetahuan tentang label atau simbol tertentu baik yang bersifat verbal maupun non verbal dan pengetahuan tentang bagian detail dan unsur-unsur (knowledge of specific

  

details and element ) mencakup pengetahuan tentang kejadian, orang, waktu dan

informasi lain yang sifatnya sangat spesifik.

  2. Pengetahuan Konseptual Pengetahuan yang menunjukkan saling keterkaitan antara unsur-unsur dasar dalam struktur yang lebih besar dan semuanya berfungsi bersama - sama.

  Pengetahuan konseptual mencakup skema, model pemikiran, dan teori baik yang implisit maupun eksplisit. Ada tiga macam pengetahuan konseptual, yaitu pengetahaun tentang kelasifikasi dan kategori, pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi, dan pengetahuan tentang teori, model, dan sruktur.

  3. Pengetahuan Prosedural Pengetahuan tentang bagaimana mengerjakan sesuatu, baik yang bersifat rutin maupun yang baru. Seringkali pengetahuan prosedural berisi langkah-langkah atau tahapan yang harus diikuti dalam mengerjakan suatu hal tertentu.

  4. Pengetahuan Metakognitif Mencakup pengetahuan tentang kognisi secara umum dan pengetahuan tentang diri sendiri. Penelitian-penelitian tentang metakognitif menunjukkan bahwa seiring dengan perkembangannya siswa menjadi semakin sadar akan pikirannya dan semakin banyak tahu tentang kognisi, dan apabila siswa bisa mencapai hal ini maka mereka akan lebih baik lagi dalam belajar.

  Dimensi proses kognitif dalam taksonomi yang baru yaitu: 1. Menghafal (Remember) Menarik kembali informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang. mengkondisikan agar “mengingat” bisa menjadi bagian belajar bermakna, tugas mengingat hendaknya selalu dikaitkan dengan aspek pengetahuan yang lebih luas dan bukan sebagai suatu yang lepas dan terisolasi. Kategori ini mencakup dua macam proses kognitif: mengenali (recognizing) dan mengingat (recalling).

  2. Memahami (Understand) Mengkonstruk makna atau pengertian berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki, mengaitkan informasi yang baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki, atau mengintegrasikan pengetahuan yang baru ke dalam skema yang telah ada dalam pemikiran siswa. Karena penyusunan skema adalah konsep, maka pengetahuan konseptual merupakan dasar pemahaman. Kategori memahami mencakup tujuh proses kognitif: menafsirkan (interpreting), memberikan contoh (exemplifying), mengkelasifikasikan (classifying), meringkas (summarizing), menarik inferensi (inferring), membandingkan (comparing), dan menjelaskan (explaining).

  3. Mengaplikasikan (Applying)

   Mencakup penggunaan suatu prosedur guna menyelesaikan masalah atau

  mengerjakan tugas. Oleh karena itu mengaplikasikan berkaitan erat dengan pengetahuan prosedural. Namun tidak berarti bahwa kategori ini hanya sesuai untuk pengetahuan prosedural saja. Kategori ini mencakup dua macam proses kognitif: menjalankan (executing) dan mengimplementasikan (implementing).

  4. Menganalisis (Analyzing) Menguraikan suatu permasalahan atau obyek ke unsurunsurnya dan menentukan bagaimana saling keterkaitan antar unsur-unsur tersebut dan struktur membedakan (differentiating), mengorganisir (organizing), dan menemukan pesan tersirat (attributting).

  5. Mengevaluasi Membuat suatu pertimbangan berdasarkan kriteria dan standar yang ada. Ada dua macam proses kognitif yang tercakup dalam kategori ini: memeriksa (checking) dan mengritik (critiquing).

  6. Membuat (create) Menggabungkan beberapa unsur menjadi suatu bentuk kesatuan. Ada tiga macam proses kognitif yang tergolong dalam kategori ini, yaitu: membuat

  (generating), merencanakan (planning), dan memproduksi (producing) (Widodo,2006).

  Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang antara lain: 1.

  Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah pula bagi mereka untuk menerima informasi dan pada akhirnya makin banyak pengetahuan yang mereka miliki.

  2. Pekerjaan Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman

  3. Umur Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis (mental), dimana pada asfek psikologi ini, taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa.

  4. Minat Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap seseuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang mendalam.

  5. Pengalaman Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami oleh individu baik dari dalam dirinya ataupun dari lingkungannya. Pada dasarnya pengalaman mungkin saja menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi individu yang melekat menjadi pengetahuan pada individu secara subjektif.

  6. Informasi Kemudahan seseorang untuk memperoleh informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru (Wahid dkk, 2007)

2. Sikap

  Sikap adalah merupakan reaksi atau respons seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap dalam kehidupan sehari-hari adalah merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas tapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku (Wahid Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok : 1.

  Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek 2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek 3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)

  Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini,pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Menurut WHO, adapun ciri-ciri sikap sebagai pribadi terhadap objek atau stimulus. berikut: 1.

  Pemikiran dan perasaan (Thoughts and feeling) hasil pemikiran dan perasaan seseorang, atau lebih tepat diartikan pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus.

  2. Adanya orang lain yang menjadi acuan (Personal refrences) merupakan faktor penguat sikap untuk sikap untuk melakukan tindakan akan tetapi tetap mengacu pada pertimbangan-pertimbangan individu.

  3. Sumber daya (Resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk bersikap positif atau negative terhadap objek atau stimulus tertentu dengan pertimbangan kebutuhan dari pada individu tersebut.

  4. Sosial budaya (Culture) berperan besar dalam mempengaruhi pola pikir seseorang untuk bersikap terhadap objek atau stimulus tertentu (Notoatmodjo, 2007). Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan : 1.

  Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).

  2. Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

  3. Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

  4. Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

  Fungsi sikap dibagi menjadi empat golongan, yakni : 1. Sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Sikap adalah sesuatu yang bersifat

  communicable artinya sesuatu yang mudah menjalar sehingga mudah pula menjadi milik bersama.

  2. Sebagai alat pengatur tingkah laku. Kita tahu bahwa tingkah laku anak kecil atau binatang umumnya merupakan aksi-aksi yang spontan terhadap sekitarnya. Antara perangsang dan reaksi tidak ada pertimbangan tetapi pada orang dewasa dan yang sudah lanjut usianya, perangsang itu pada umumnya tidak diberi reaksi secara spontan akan tetapi terdapat adanya proses secara reaksi terhadap sesuatu yang disisipkannya yaitu sesuatu yang berwujud pertimbangan-pertimbangan atau penilaian-penilaian terhadap perangsang itu.

  Jadi antara perangsang dan reaksi terhadap sesuatu yang disisipkannya yaitu sesuatu yang berwujud pertimbangan-pertimbangan atau penilaian-penilaian terhadap perangsang itu sebenarnya bukan hal yang berdiri sendiri tetapi merupakan sesuatu yang erat hubungannya dengan cita-cita orang, tujuan hidup orang, peraturan-peraturan kesusilaan yang ada dalam bendera, keinginan-keinginan pada orang itu dan sebagainya.

  3. Sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman. Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa manusia di dalam menerima pengalaman-pengalaman dari dunia luar sikapnya tidak pasif tetapi diterima secara aktif artinya semua pengalaman yang berasal dari luar itu tidak semuanya dilayani oleh manusia tetapi juga manusia memilih mana-mana yang perlu dan mana yang tidak perlu dilayani. Jadi semua pengalaman ini diberi penilaian lalu dipilih.

  4. Sebagai pernyataan kepribadian. Sikap sering mencerminkan kepribadian seseorang. Ini sebabnya karena sikap tidak pernah terpisah dari pribadi yang mendukungnya. Oleh karena itu dengan melihat sikap-sikap pada obyek- obyek tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi orang tersebut.

  Jadi sikap sebagai pernyataan pribadi. Apabila kita akan mengubah sikap sesorang kita harus mengetahui keadaan sesungguhnya dari sikap orang tersebut dengan mengetahui keadaan sikap itu kita akan mengetahui pula mungkin tidaknya sikap tersebut dapat diubah dan bagaimana cara mengubah

3. Tindakan Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior).

  Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan faktor dukungan (support) praktik ini mempunyai beberapa tingkatan : 1.

  Persepsi (perception) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.

  2. Respon terpimpin (guide response) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat kedua.

  3. Mekanisme (mecanism) Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mancapai praktik tingkat tiga.

  4. Adopsi (adoption) Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2007).

2.1.3 Perubahan Perilaku

  Menurut WHO yang dikutip dalam Soekidjo (2007), perubahan perilaku dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu:

  a. Perubahan Alamiah (Natural Change)

  Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota-anggota masyarakat didalamnya juga akan mengalami perubahan.

  b. Perubahan Terencana (Planned Change) Perubahan perilaku ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh subjek.

  Didalam melakukan perilaku yang telah direncanakan dipengaruhi oleh kesediaan individu untuk berubah, misalnya apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan didalam masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat menerima inovasi atau perubahan tersebut dan sebagian orang lagi sangat lambat menerima inovasi atau perubahan tersebut.

2.1.3.1 Teori Stimulus Organisme (S - O – R)

   Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan

  perilaku tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme. Artinya, kualitas dari sumber komunikasi (sources) sangat menentukan keberhasilan perubahan perilaku seseorang, kelompok, atau masyarakat. Hosland, et

  

al (1953) dalam buku Soekidjo (2010) mengatakan perubahan perilaku pada

  hakikatnya adalah sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut a.

  Stimulus (rangsang) yang diberikan kepada organism dapat diterima atau ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus tersebut tidak efektif dalam mempengaruhi perhatian individu, dan berhenti di sini. Tetapi bila stimulus diterima oleh organism berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut efektif.

  b.

  Apabila stimulus telah mendapatkan perhatian dari organisme (diterima) maka ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan ke proses berikutnya.

  c.

  Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap).

  d.

  Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan perilaku). Selanjutnya teori ini mengatakan bahwa perilaku dapat berubah hanya apabila stimulus (rangsang) yang diberikan benar-benar melebihi dari stimulus semula.

  Stimulus yang dapat melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan organisme ini faktor

  reinforcement memegang peranan penting.

  Proses perubahan perilaku berdasarkan S-O-R ini dapat digambarkan sebagai berikut:

  Teori S - O - R

  Organisme Reaksi

  • Perhatian Stimulus

  (perubahan sikap)

  • Pengertian - penerimaan

  Reaksi (perubahan praktek)

Gambar 2.1 Kerangka Teori SOR

2.2 Diare

2.2.1 Pengertian Diare

  Diare merupakan penyakit yang lazim ditemukan pada masa balita. Diare merupakan suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau tidak seperti biasanya. Perubahan yang terjadi berupa peningkatan volume, keenceran, dan frekuensi dengan atau tanpa lendir darah, seperti lebih dari tiga kali sehari dan pada neunatus lebih dari empat kali sehari (Hidayat,2008). Menurut Anik Maryunani (2010), diare merupakan buang air besar dalam bentuk cairan lebih dari tiga kali dalam satu hari, dan biasanya berlangsung selam dua hari atau lebih.

  Diare dapat terjadi dengan dua macam mekanisme. Yang pertama disebut diare sekretorik, yaitu usus mensekresikan cairan secara berlebihan akibat kerusakan dinding usus. Kerusakan dinding usus ini dapat terjadi akibat penempelan virus, bakteri jahat, atau parasit pada dinding usus. Yang kedua disebut sebagai diare osmotik, dimana tidak terjadi penyerapan air dalam usus, sehingga cairan yang masuk dalam tubuh melalui saluran pencernaan keluar begitu saja bersama tinja (Assiddiqi,2009).

  Berdasarkan lamanya, diare dibagi menjadi tiga, yaitu: diare akut, diare persisten dan diare kronis. Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang dari dua minggu, diare persisten berlangsung selama dua sampai empat minggu, dan diare kronis berlangsung lebih dari 4 minggu (Sofwan, 2010).

  Diare akut pada anak termasuk penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya (self-limited disease), hanya terkadang para orang tua khawatir melihat keadaan anaknya sehingga diperlukan terapi dan penanganan agar penyakit dapat lebih tertangani dengan optimal dan cepat sembuh. Dehidrasi atau kekurangan cairan merupakan penyebab utama kematian akibat diare, dan anak akan mudah sekali kekurangan cairan-cairan karena komposisi air didalam tubuhnya yang lebih besar ketimbang orang dewasa. Prinsip terapi diare yang umumnya diberikan pada anak sekarang ini adalah pengantian cairan yang hilang dari dalam tubuh (Sofwan, 2010).

2.2.2 Diare Pada Balita

  Diare pada anak (balita) merupakan masalah pencernaan. Diare yang terjadi pada anak merupakan salah satu alasan umum yang membuat orangtua membawa diare setiap tahunnya. Diare akut memegang porsi terbesar dengan angka kejadian sekitar 85% dari seluruh kejadian diare pada anak. Angka kematian dilaporkan sekitar 8 dari 1.000 anak, dan kebanyakan disebabkan oleh dehidrasi (Sofwan, 2010).

  Diare sifatnya bisa menular. Penyakit ini dapat ditularkan melalui tinja yang mengandung kuman diare, air sumur atau air tanah yang telah tercemar kuman diare, makanan dan minuman yang telah tekontaminasi kuman penyebab diare atau lantaran tidak mencuci tangan sebelum memberikan makanan atau minuman pada balita (Hamdani,2008).

2.2.3 Penyebab Diare Pada Balita

  Tubuh balita masih sangat rentan terhadap unsur asing karena balita belum memiliki sistem kekebalan tubuh yang memadai. Sehingga, jika anggota keluarga terutama ibu tidak hati-hati dengan kebersihan diri sendiri, secara tidak langsung dapat memberikan media penyakit pada tubuh balita. Misalnya saja, setelah kerja seharian ibu lupa mencuci tangan dan langsung menimang balita. Secara tidak langsung kuman atau apapun yang menempel pada tangan ibu akan berpindah pada tubuh bayi. Jika tangan ibu mengandung kuman atau bakteri, maka balita akan mudah terinfeksi suatu penyakit (Sarasvati, 2010).

  Diare pada balita pada umumnya dapat dilihat dari jumlah cairan yang keluar melalui BAB yang lebih banyak dari cairan yang masuk. Frekuensi BAB yang lebih dari tiga kali sehari. Jadi, harus diberi banyak cairan supaya tidak terjadi dehidrasi (Nagiga dan Arty, 2009).

  Pola buang air besar (BAB) pada balita berbeda dengan orang dewasa. Pada sudah bisa dianggap diare, sedangkan pada balita hal tersebut dikatakan normal. Orang tua memiliki peranan penting dalam menilai pola buang air besar anak sehari- hari. Anak dikatakan diare jika buang air besar lebih sering, lebih encer, dan lebih banyak dari biasanya. Selain itu, perlu juga diperhatikan warna dan baunya. Karena ada kemungkinan warna dan bau BAB yang tidak seperti biasanya disebabkan oleh infeksi atau sebab lainnya (Sofwan, 2010).

  Pada balita konsistensi tinja lebih diperhatikan daripada frekuensi buang air besar (BAB). Hal ini dikarenakan frekuensi BAB pada balita lebih sering dibandingkan orang dewasa, bisa sampai lima kali dalam sehari. Frekuensi BAB yang sering pada balita belum tentu dikatakan diare apabila konsistensi tinjanya seperti sehari pada umumnya. Yang perlu diketahui adalah orangtua tidak memberi obat pemampat feses atau tinja. Sebab jika tinja mampat kuman tidak akan mati, tapi justru akan berkumpul didalam usus. Lebih baik kuman dikeluarkan dulu melalui BAB. Setelah kuman habis otomatis diare akan berhenti dengan sendirinya.(Sarasvati, 2010).

  Diare bisa disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain akibat infeksi usus, karena kekurangan gizi, kelaparan, kekurangan zat putih telur, atau yang paling umum adalah karena tidak tahan terhadap makanan tertentu. Diare dapat disertai dengan rasa nyeri pada perut (kram) karena aktivitas usus yang berlebihan, kehilangan nafsu makan, muntah, dan penurunan berat badan (Maryunani, 2010)

  Banyak hal yang dapat menyebabkan diare, dibawah ini akan dijelaskan penyebab diare (Sarasvati, 2010) yaitu:

  1. Infeksi virus Virus yang paling banyak menimbulkan diare adalah rotavirus. Infeksi karena rotavirus ditemukan pada anak sekitar 60% dan merupakan penyebab diare berair

  (watery diarrhea) yang seringkali dikaitkan dengan dehidrasi.

  2. Infeksi bakteri Bakteri seperti Shigella, Vibrio cholera, Salmonella (non thypoid),

  

Campylobacter jejuni maupun Esherichia coli bisa merupakan penyebab diare pada

anak.

  3. Parasit Infeksi akibat parasit juga dapat menyebabkan diare. penyakit giardiasis misalnya. Penyakit ini disebabkan parasit mikroskopik yang hidup dalam usus.

  4. Antibiotik Jika anak (balita) mengalami diare selama pemakaian antibiotik, mungkin hal ini berhubungan dengan pengobatan yang sedang dijalaninya. Antibiotik bisa saja membunuh bakteri baik dalam usus selama pengobatan. Konsultasikan pada dokter mengenai hal ini. Namun, jangan hentikan pengobatan pada anak sampai dokter memberikan persetujuan.

  5. Makanan dan minuman Terlalu banyak jus, terutama jus buah yang mengandung sorbitol dan kandungan fruksosa yang tinggi, atau terlalu banyak minuman manis dapat membuat

  6. Alergi makanan Alergi makanan merupakan reaksi sistem imun tubuh terhadap makanan yang masuk. Alergi makanan dapat menyebabkan berbagai reaksi dalam waktu singkat maupun setelah beberapa jam, salah satunya adalah reaksi yang menyebabkan diare.

  7. Intoleransi makanan Berbeda dengan alergi makanan, intoleransi makanan tidak dipengaruhi oleh sistem imun. Contohnya intoleransi makanan adalah intoleransi laktosa. Anak yang mengalami intoleransi laktosa, artinya anak tersebut tidak cukup memproduksi lactase, suatu enzim yang dibutuhkan untuk mencerna laktosa (yaitu gula dalam susu sapi dan produk susu lainnya).

2.2.4 Dehidrasi Pada Balita Akibat Diare

  Diare sebenarnya merupakan salah satu mekanisme perlindungan untuk mengeluarkan sesuatu yang merugikan tubuh, misalnya racun. Namun, banyaknya cairan yang keluar saat mengalami diare bisa mengakibatkan proses dehidrasi. Diare menyebabkan kehilangan garam (natrium) dan air secara cepat, yang sangat penting untuk kelangsungan hidup. Jika air dan garam tidak digantikan dengan cepat, tubuh akan mengalami dehidrasi. Bila penderita diare banyak sekali kehilangan cairan tubuh maka hal ini dapat menyebabkan kematian terutama pada bayi dan balita. Kematian terjadi jika kehilangan sampai 10% cairan tubuh (Sudarmoko, 2011).

  Gejala adanya dehidrasi dapat dikenali dalam tiga golongan menurut Nagiga dan Ni Wayan Arty (2009) yaitu:

  1. Dehidrasi ringan Pada keadaan ini penderita biasanya tidak menunjukkan gejala yang menonjol. Bila terjadi pada balita biasanya mereka menjadi rewel, terlihat lesu, lemah dan sering haus.

  2. Dehidrasi sedang Pada balita gejala dehidrasi sedang akan lebih mudah dikenali. Balita mulai menjadi gelisah, sering menangis, kehausan, mata akan terlihat lebih cekung, buang air kecil menjadi jarang dan kulit menjadi keriput. Bila dicubit perutnya akan lama kembali ke keadaan normal. Bila menemukan gejala ini, orang tua harus segera membawa anaknya ke pelayanan kesehatan.

  3. Dehidrasi berat Keadaan dehidrasi yang sudah memburuk dan memerlukan perawatan serius.

  Derajat dehidrasi berdasarkan kehilangan berat badan:

Tabel 2.1 Derajat dehidrasi berdasarkan kehilangan berat badan

  

Derajat dehidrasi Penurunan berat badan

  Tidak dehidrasi < 5 %

  Dehidrasi ringan sedang 5-10 % Dehidrasi berat

  > 10 %

2.2.5 Penanganan dan Pecegahan Diare Pada Balita

  Sakit adalah suatu kondisi yang dapat menimpa setiap orang. Kondisi ini sebagian dapat diupayakan pencegahannya. Orangtua khususnya ibu harus mengetahui bagaimana harus bersikap menghadapi kondisi anak yang sedang sakit sebelum mendapatkan perawatan petugas kesehatan, antara lain meliputi pengetahuan umum mengenai diagnosis penyakit (seperti panas, batuk, flu, diare, dan luka), tindakan yang diperlukan, pengobatan, dan upaya lainnya yang berkaitan. Orang tua sebaiknya mampu memberikan pengobatan yang efektif (Widoyono, 2010).

  Diare pada anak termasuk penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya (self

  Penanganan diare pada anak (balita) cukup sederhana yaitu dengan memberikan cairan oralit sesuai dengan jenis atau tingkat diare yang diderita anak.

  

limited disease ), hanya terkadang para orangtua khususnya ibu khawatir melihat

  keadaan anaknya sehingga perlu diterapi dan penanganan agar penyakit dapat lebih tertangani dengan optimal dan cepat sembuh (Purnamasari, 2011) Diare umumnya ditularkan melalui 4 F, yaitu Food, Feces, Fly and Finger. Oleh karena itu upaya pencegahan diare yang praktis adalah dengan memutus rantai penularan tersebut. Beberapa upaya yang mudah diterapkan adalah :

  • Penyiapan makanan yang higienis
  • Penyediaan air minum yang bersih
  • Kebersihan perorangan
  • Cuci tangan sebelum makan
  • >Pemberian ASI eksl
  • Buang air besar pada tempatnya (WC, toilet)
  • Tempat buang sampah yang memadai
  • Berantas lalat agar tidak menghinggapi makanan
  • Lingkungan hidup yang sehat (Sarasvati, 2010)

2.2.6 Pemberian Cairan Tambahan Untuk Diare

  Ada 3 jenis rencana terapi (Departemen Kesehatan Repubik Indonesia. 2008) yaitu:

1. Rencana Terapi A : Penanganan Diare di Rumah

  Digunakan untuk mengatasi diare tanpa dehidrasi, meneruskan terapi diare di rumah, memberikan terapi awal bila anak terkena diare lagi. Cairan rumah tangga yang dianjurkan seperti oralit, makanan cair (sup, air tajin), air matang. 4 aturan perawatan dirumah : 1.

  Beri cairan tambahan Ibu memberikan cairan tambahan sedikit-sedikit tapi sering dari mangkuk/cangkir/gelas. Jika anak muntah, tunggu 10 menit. Kemudian lanjutkan dengan lebih lambat. Lanjutkan pemberian cairan tambahan sampai diare berhenti.

Tabel 2.2 Kebutuhan oralit per kelompok umur Umur Jumlah oralit yang diberikan tiap BAB Jumlah oralit yang disediakan di rumah

  < 12 bulan 50-100 ml 400 ml/hari ( 2 bungkus) 1-4 tahun 100-200 ml 600-800 ml/hari ( 3-4 bungkus) > 5 tahun 200-300 ml 800-1000 ml/hari (4-5 bungkus) 2.

  Beri tablet Zinc selama 10 hari 3. Lanjutkan pemberian makan 4. Kapan harus kembali ke pelayanan kesehatan

2. Rencana Terapi B: Penanganan Dehidrasi Ringan/ Sedang dengan Oralit

  Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi ringan dan sedang, dengan cara ; dalam 3 jam pertama, berikan 75 ml/KgBB.

1. Tentukan jumlah oralit untuk 3 jam pertama

  Jumlah oralit yang diperlukan = berat badan ( dalam kg) x 75 ml Digunakan umur hanya bila berat badan anak tidak diketahui.

Tabel 2.3 Pemberian Oralit Umur Sampai 4 Bulan 4-12 Bulan 1- 2 Tahun 2- 5 Tahun

  Berat Badan < 6 kg 6-10 kg 10-12 kg 12-19 kg Jumlah Cairan

  200-400 ml 400-700 ml 700-900 ml 900-1400 ml 2. Cara memberikan cairan oralit :

  • Minumkan sedikit–sedikit tetapi sering dari cangkir, gelas atau mangkuk
  • Jika anak muntah, tunggu 10 menit, kemudian berikan lagi lebih lmbat
  • Lanjutkan ASI selama anak mau 3.

  Berikan tablet Zinc selama 10 hari 4. Setelah 3 jam :

  • Ulangi penilaian dan klasifikasi kembali derajat dehidrasinya
  • Pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan pengobatan
  • Mulailah memberi makan anak

3. Rencana Terapi C: Penanganan Dehidrasi Berat dengan Cepat

  Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi berat. Pertama- tama berikan cairan intravena, nilai setelah 3 jam. Jika keadaan anak sudah cukup baik maka berikan oralit (kira-kira 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum dan berikan juga tablet Zinc. Setelah 1-3 jam berikutnya nilai ulang anak dan pilihlah rencana pengobatan yang sesuai.

2.2.7 Pendoman WHO Dalam Penanganan Diare

  Sampai saat ini, para ahli dan dokter anak di seluruh dunia masih mencari dan melakukan penelitian tentang penanganan diare pada anak yang paling optimal. WHO (World Health Organization), melalui anak cabangnya yang mengurusi anak-anak (UNICEF), sering mengadakan pertemuan untuk membahas hal ini.

  Saat ini, penanganan diare pada anak masih berpedoman pada kesepakatan WHO yang disebut 5 Ways to Threat Diarrhea , di Indonesia dikenal dengan Lintas Diare (Lima Langkah Tuntaskan Diare). Lima pendoman tersebut adalah (Sofwan, 2010): 1.

  Berikan oralit formula baru 2. Berikan Zinc selama 10 hari berturut-turut 3. Teruskan ASI-makan 4. Antibiotik selektif 5. Nasihat untuk ibu dan keluarga

1. Pemberian Oralit Formula Baru

  Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memperoleh formula oralit. Dan telah terbukti bahwa oralit dapat menurunkan angka kematian akibat dehidrasi. Oralit ini sangat berperan penting dalam mengatasi kehilangan cairan dan elektrolit tubuh. Karena oralit juga mengandung elektrolit yang hilang bersama keluarnya tinja (Maryunani, 2010).

  Langkah pertama dalam menangani diare pada anak adalah memberikan oralit. Oralit diberikan mulai dari pertama kali anak diare sampai diare berhenti. Pada waktu anak diare, selain cairan yang keluar melalui feses, ada garam tubuh yang ikut hilang bersama cairan tersebut. Garam tubuh tersebut berupa garam elektrolit seperti Natrium (Na), Kalium (K), Klorida (CI), Glukosa, dan Karbonat. Garam-garam elektrolit ini berguna untuk menjaga keseimbangan elektrolit di dalam tubuh. Jika tubuh kekurangan cairan dan garam-garam ini, maka dapat terjadi dehidrasi dan gangguan fungsi organ dan tubuh lainnya (Sofwan, 2010).

  Secara umum, ada dua bentuk oralit yaitu dalam bentuk larutan yang sudah siap saji dan dalam bentuk bubuk. Keduanya dapat diperoleh dengan mudah di puskesmas, toko obat, dan apotek, serta tidak memerlukan resep dokter untuk membelinya. Harganya juga cukup terjangkau.

  Berdasarkan penelitian diketahui bahwa oralit formula baru memiliki beberapa kelebihan dibandingkan oralit formula lama, yaitu (Sofwan, 2010):

1. Mengurangi volume feses hingga 25% 2.

  Mengurangi efek mual-muntah hingga 30% 3. Mengurangi pemberian cairan melalui intravena (infuse) bila anak perlu dirawat

  Cara penggunaan oralit adalah dengan melarutkan satu bungkus oralit dalam 1 gelas (200 ml) air putih (boleh hangat atau biasa saja). Untuk melarutkan oralit, gunakan air matang yang telah dingin, dan tidak boleh menggunakan air mendidih. Larutan yang telah 24 jam tidak boleh digunakan lagi. Semua isi bungkusan dilarutkan dalam 200 ml air. Oralit diberikan setiap kali anak menceret sebanyak 10 ml per kg berat badan anak. Jumlah yang di minum disesuaikan dengan usia dan tingkat keparahan diarenya. Aturan pakai oralit yaitu (Kementerian Kesehatan RI 2011) :

Table 2.4 Aturan Pemakaian Oralit

  Mencegah dehidrasi Mengatasi dehidrasi Usia (tiap buang air besar/ Selanjutnya tiap 3 jam pertama

  BAB) BAB >11 bulan 0,5 gelas 1,5 gelas 0,5 gelas 1-4 tahun 1 gelas 3 gelas 1 gelas >5 tahun 1,5 gelas 6 gelas 1,5 gelas Dewasa 2 gelas 12 gelas 2 gelas

  Oralit dapat digantikan dengan cairan rumah tangga seperti sup, air tajin, air kelapa, dan larutan gula garam. Namun pada anak diare jangan diberikan minuman seperti soft drink atau kopi. Larutan gula garam dapat dibuat dengan mudah di rumah. Caranya adalah dengan 1 sendok teh gula ditambah ¼ sendok teh garam dilarutkan dalam 1 liter air putih (Purnamasari,2011).

2. Berikan Zinc selama 10 hari berturut-turut

  Langkah kedua yang perlu dilakukan untuk menangani diare adalah memberikan Zinc (seng) selama 10 hari berturut-turut. Zinc adalah zat gizi mikro yang ada di dalam tubuh dan berguna untuk menjaga kesehatan dan pertumbuhan anak. Zinc akan ikut terbuang atau keluar dari dalam tubuh pada saat anak diare, sehingga mengakibatkan jumlah Zinc di dalam tubuh berkurang. Itulah sebabnya dibutuhkan tambahan Zinc untuk menggantikannya. WHO dalam penelitiannya mengemukakan beberapa manfaat zinc (Sofwan, 2010), yaitu: 1.

  Mengurangi angka kejadian diare sebanyak 34% 2. Mengurangi durasi atau lama sakit karena diare akut sampai 20% 3. Mengurangi durasi atau lama sakit karena diare persisten sampai 24% 4. Mengurangi kegagalan terapi atau kematian akibat diare persisten sebanyak

  42% 5. Mengurangi angka pneumonia atau radang paru-paru sebesar 26%

  Pada kasus diare akut, Zinc diberikan minimal 10 hari berturut-turut, satu kali sehari. sekalipun diare telah berhenti, misalnya setelah tiga hari, pemberian Zinc tetap dilanjutkan karena Zinc akan meningkatkan sisitem imun anak dan mengurangi angka kejadian diare berulang hingga 3 bulan ke depan. Saat ini, ada dua bentuk Zinc yang tersedia di Indonesia, yaitu: sirup dan tablet. Zinc diberikan sesuai dengan usia anak. Zinc dalam bentuk tablet perlu dilarutkan dalam air sebelum ditelan. Caranya adalah baru diminum. Efek samping Zinc yang paling sering dilaporkan adalah mual dan muntah. Zinc dapat diberikan bersama-sama dengan obat lainnya, termasuk oralit.

  Zinc dapat diperoleh dengan mudah di toko obat dan apotek, namun harus diakui bahwa harganya cukup mahal. Meskipun demikian, konsumsi Zinc pada saat diare sangat menguntungkan karena biasanya setelah itu anak akan terlihat lebih fit, sehat, dan jarang sakit-sakitan (Sofwan, 2010).

3. Teruskan Pemberian ASI dan Makanan

  Langkah ketiga adalah terus ASI (Air Susu Ibu) dan makan. Pemberian ASI untuk bayi dan balita tetap diteruskan pada saat diare. begitu juga dengan pemberian makanan sehari-hari pada anak yang lebih besar. ASI tidak menyebabkan diare, justru dapat membantu mencegah diare. makanan sehari-hari tetap dilanjutkan dan cobalah perbanyak makanan yang berkuah, seperti sup, sereal, dan kuah sayur-sayuran. Selain digunakan untuk energi, makanan-makanan ini dan juga ASI (bila masih diberi ASI) akan menambah jumlah cairan yang masuk ke dalam tubuh sehingga meminimalkan kemungkinan terjadinya kekurangan cairan atau dehidrasi. Pemberian susu formula (untuk anak yang lebih besar) juga tetap dapat dilanjutkan selama diare (Sofwan, 2010).

  Akibat makanan yang terbuang karena tidak diserap oleh usus, diare dapat menyebabkan gangguan nutrisi. Padahal pada kondisi ini, metabolism tubuh lebih tinggi sebagai upaya melawan infeksi, sehingga nutrisi yang diperlukan pun lebih banyak. Oleh karena itu, bukan suatu hal yang dibenarkan apabila selama diare menjadi takut memberi makan dan minum. Justru makan dan minum ini sangat

  Ketika anak (balita) mengalami diare, orangtua khususnya ibu harus memperhatkan aspek gizi pada anak karena balita masih dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan, sehingga aspek gizi ini sangat penting. Tidak jarang, ketika anak mengalami diare, fokus perhatian orangtua terlalu terpaku pada cara menyembuhkan dan menghentikan diare, sehingga akhirnya lupa untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak. Banyak orangtua ragu serta tidak mengetahui makanan apa yang sebaiknya diberikan ketika anak diare, sehingga akhirnya membatasi makanan yang dikonsumsi. Adapun, makanan yang perlu dihindari ketika anak mengalami diare akut dapat dilihat pada table berikut (Sofwan, 2010) :

Tabel 2.5 Makanan Yang Direkomendasikan dan Yang Perlu Dihindari

  Makan yang direkomendasikan Makanan yang perlu dihindari Makanan yang mengandung tepung

  Minuman dengan pemanis buatan Seperti: beras, kentang, bakmi, biscuit Sereal (bubur, gandum) Minuman bersoda

  Makanan berlemak atau mengandung lemak Sup dalam jumlah tinggi

  Makanan atau minuman yang terbuat dari gula sederhana Yogurt

  Seperti: jus apel buatan, sereal dengan pemanis buatan,dan lain-lain. Sayur-sayuran Buah-buahan

4. Antibiotika Selektif

  Langkah keempat dalam penanganan diare pada anak (balita) adalah antibiotika selektif. Maksudnya adalah adalah cobalah untuk tidak memberikan antibiotika secara sembarangan ketika anak diare. Banyak orangtua yang terkadang “sok pintar” dan langsung memberikan antibiotika ketika anak diare. Terkadang, setelah diberikan antibiotika diare semakin bertambah parah. Seharusnya orang tua lebih berhati-hati dan bijak dalam memberikan pengobatan pada anak. Di dunia medis dikenal istilah antibiotic associated diarrhea atau diare yang disebabkan karena pemberian antibiotika (Sofwan, 2010).

  Antibiotika hanya digunakan untuk membunuh bakteri. Sedangkan diare akibat virus tidak dapat diatasi dengan antibiotik, dan justru bisa semakin memburuk.

  Pemberian antibiotik ini harus sesuai dengan indikasi, sehingga sebaiknya sesuai dengan petunjuk dokter (Ngastiyah, 2005).

  Kerugian utama dari penggunaan antibiotika yang tidak rasional terletak pada sisi ekonomi atau biaya, karena pemberian antibiotika menambah biaya berobat yang mubazir. Kerugian kedua adalah meningkatkan resistensi kuman. Artinya, jika diberikan tidak dalam dosis dan durasi yang tepat justru akan membuat kuman atau bakteri menjadi kebal terhadap antibiotika tersebut. Dan kerugian ketiga adalah kemungkinan diare tidak membaik dan malahan memburuk (antibiotic associated diarrhea). Bila dikonsumsi, antibiotika tidak hanya akan membunuh bakteri jahat yang ada di dalam tubuh, melainkan juga membunuh sebagian bakteri baik yang ada di dalam tubuh, sehingga justru akan menyebabkan ketidakseimbangan bakteri di dalam tubuh (Sofwan, 2010).

5. Konseling Untuk Ibu dan Keluarga

  Sejatinya, langkah kelima tidak termasuk dalam konteks penanganan diare, melainkan lebih kepada edukasi para orangtua mengenai perlunya kewaspadaan bila terjadi hal-hal yang lebih serius terhadap diare yang dialami balita. Langkah ini keadaan balita dan bila terjadi hal-hal yang lebih serius agar segera dibawa kembali ke dokter. Sekalipun diare akut tergolong ringan, tetapi pada beberapa keadaan kesehatan balita dapat memburuk dan bahkan membahayakan jiwa. Dokter dan praktisi kesehatan lainnya perlu mengedukasi para orangtua mengenai cara pembuatan dan pemberian oralit, Zinc dan informasi lain seputar masalah diare akut (Sofwan, 2010).

  Segala kekhawatiran orangtua mengenai keadaan anaknya sebaiknya segera dikonsultasikan dengan dokter. Pelaksanaan utama keberhasilan penanganan diare di komunitas adalah orangtua. Hal ini sangat diperlukan bagi orang tua, terutama ibu, untuk mengenali diare dan membantu penyembuhannya (Nagiga dan Arti, 2009).

2.2.8 Pencegahan Perilaku Berisiko Terjadinya Diare Pada Balita

  Diare pada balita merupakan penyakit yang dapat dicegah. Beberapa perilaku berikut dapat menjadi risiko terjadinya diare pada anak, yaitu:

  1. Pengunaan botol susu Botol susu yang jarang dibersihkan dapat menjadi media transportasi kuman kedalam pencernaan balita. Oleh karena itu perlu untuk selalu mencuci botol susu hingga bersih dan sebaiknya direbus sebelum digunakan lagi, agar kuman yang menempel pada botol susu tersebut dapat mati dalam pemanasan.

  2. Menyimpan makanan masak dalam suhu kamar Makanan masak yang disimpan pada suhu kamar untuk dimakan kemudian, dapat memudahkan terjadinya pencemaran akibat terjadinya kontak dengan permukaan alat-alat yang terpapar. Bila makanan disimpan beberapa jam dalam suhu

  3. Air minum yang tercemar kuman Air minum yang tercemar bisa terjadi melalui dua hal, yaitu tercemar pada sumber airnya dan tercemar pada tempat penyimpanan minumannya.

  4. Tidak cuci tangan setelah buang air besar atau membuang tinja balita Mencuci tangan merupakan hal sederhana dan sangat penting, terutama setelah terpapar dengan sesuatu yang mengandung kuman. Apalagi setelah itu akan menyiapkan makanan. Kuman yang masih menempel pada tangan yang belum dicuci dapat terkontaminasi pada makanan.

  5. Tidak membuang tinja dengan benar Orang sering menganggap tinja balita tidak berbahaya, padahal tinja balita juga mengandung kuman. Demikian juga dengan tinja binatang, juga mengandung kuman.

  6. Pengelolaan dan pembuangan sampah sembarangan Pengelolaan dan pembuangan sampah yang baik supaya makanan tidak tercemar serangga (lalat, kecoa, kutu, lipas, dan lain-lain) (Purnamasari, 2011).

2.3 Kerangka Konsep

  Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Karakteristik:

  • Umur • Pendidikan • Pekerjaan

  Tindakan ibu

  • Jumlah anak

  melakukan penanganan awal diare dalam

  Pengetahuan Sikap mencegah terjadinya

  Sumber informasi: dehidrasi pada

  • Petugas kesehatan

  balita

  • Media Elektronik/ cetak
  • Keluarga • teman

Dokumen yang terkait

Gambaran Perilaku Ibu Tentang Penanganan Awal Diare Dalam Mencegah Terjadinya Dehidrasi Pada Balita Di Kelurahan Tegal Sari Mandala Iii Kecamatan Medan Denai Tahun 2012

16 94 143

Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Ibu dalam Pemberian Parasetamol kepada Anak sebagai Penatalaksanaan Awal Demam di Kelurahan Tegal Sari Mandala II Kecamatan Medan Denai Medan

4 63 100

Analisis Kejadian Campak Pada Anak Balita di Kelurahan Tegal Sari Mandala III Kecamatan Medan Denai Tahun 2010

9 46 139

Perilaku Ibu dalam Mengatasi Gejala Perimenopause di Kelurahan Tegal Sari Mandala III Kecamatan Medan Denai

1 27 107

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku 2.1.1 Konsep Perilaku - Gambaran Perilaku Masyarakat Dalam Pola Pencarian Pengobatan di Desa Doloksaribu Lumban Nabolon, Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir Tahun 2015

0 0 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Perilaku - Gambaran Perilaku Siswa Tentang Seks Pra-nikah di SMA Pencawan Medan Tahun 2014

0 1 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku 2.1.1 Pengertian Perilaku - Gambaran Perilaku Tentang Seks Bebas Pada Pelajar SMA Kemala Bhayangkari 1 Medan Tahun 2012

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku 2.1.1 Pengertian Perilaku - Hubungan Perilaku ibu dalam Penggunaan Kartu Menuju Sehat (KMS) dengan Status gizi Balita di Posyandu Kelurahan Petisah Hulu Kecamatan Medan Baru

0 0 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Balita - Gambaran Perilaku Ibu Yang Menikah Di Usia dini Dalam Pemenuhan Gizi Balita Di Desa Pulau Mungkur Kecamatan Gunung Toar Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau Tahun 2012

0 0 21

II. Sumber Informasi - Gambaran Perilaku Ibu Tentang Penanganan Awal Diare Dalam Mencegah Terjadinya Dehidrasi Pada Balita Di Kelurahan Tegal Sari Mandala Iii Kecamatan Medan Denai Tahun 2012

0 0 23