LEGALITAS PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL GOLONGAN A BAGI PELAKU USAHA TOKO MODERN MINIMARKET BERDASARKAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR 74 TAHUN 2013 DIKAITKAN DENGAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 6 TAHUN 2015.

(1)

SKRIPSI

LEGALITAS PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL

GOLONGAN A BAGI PELAKU USAHA TOKO

MODERN MINIMARKET BERDASARKAN

PERATURAN PRESIDEN NOMOR 74 TAHUN 2013

DIKAITKAN DENGAN PERATURAN MENTERI

PERDANGAN NOMOR 6 TAHUN 2015

ANAK AGUNG NGURAH YADNYA WIRYA RAHMADI PUTRA NIM. 1116051008

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

  ii

SKRIPSI

LEGALITAS PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL

GOLONGAN A BAGI PELAKU USAHA TOKO

MODERN MINIMARKET BERDASARKAN

PERATURAN PRESIDEN NOMOR 74 TAHUN 2013

DIKAITKAN DENGAN PERATURAN MENTERI

PERDANGAN NOMOR 6 TAHUN 2015

ANAK AGUNG NGURAH YADNYA WIRYA RAHMADI PUTRA NIM. 1116051008

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

  iii

LEGALITAS PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL

GOLONGAN A BAGI PELAKU USAHA TOKO

MODERN MINIMARKET BERDASARKAN

PERATURAN PRESIDEN NOMOR 74 TAHUN 2013

DIKAITKAN DENGAN PERATURAN MENTERI

PERDANGAN NOMOR 6 TAHUN 2015

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

ANAK AGUNG NGURAH YADNYA WIRYA RAHMADI PUTRA NIM. 1116051008

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(4)

  iv

Lembar Persetujuan Pembimbing

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 12 JANUARI 2016

PEMBIMBING I

Dr. I WAYAN WIRYAWAN SH.,M.H. NIP. 19550306 198403 1 003

PEMBIMBING II

A.A. SRI INDRAWATI, S.H.,M.H. NIP. 19571014 198601 2 001


(5)

  v

SKRIPSI TELAH DIUJI PADA TANGGAL 3 MARET 2016

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor : 0186/UN14.4E/IV/PP?2016 Tanggal 18 Februari 2016

Ketua : Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH ( )

19550306 198403 1 003

Sekretaris : A.A. Sri Indrawati, SH.,MH ( )

19571014 198601 2 001

Anggota : Dr. I Made Sarjana, SH.,MH ( ) 19611231 198601 1 001

I Ketut Markeling, SH.,MH ( ) 19541231 198403 1 001

A.A. Gde Agung Darma Kusuma. SH.,MH ( ) 19561115 198602 1 001


(6)

  vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban terakhir sebagai mahasiswa guna melengkapi persyaratan dalam menyelesaikan studi Program Sarjana (S1) pada Fakultas Hukum Universias Udayana. Adapun judul skripsi ini adalah ‘Legalitas Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A Bagi Pelaku Usaha Toko Modern Minimarket Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 Dikaitkan Dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2015”

Penulis menyadari bahwa apa yang tersusun dalam skripsi ini jauh dari apa yang diharapkan secara ilmiah. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Maka dari itu kritik, saran, bimbingan serta petunjuk-petunjuk dari semua pihak sangat diharapkan guna kelengkapan dan penyempurnaan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan yang sangat berbahagia ini dengan segala hormat penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:


(7)

  vii

1. Bapak Prof. Dr. I. Gusti Ngurah Wairocana, S.H.,M.H, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiartha, S.H.,M.H, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H.,M.H, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, S.H.,M.H, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak Anak Agung Gede Oka Parwata, S.H.,MSi, Ketua Program Non Reguler Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Bapak Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja, S.H.,M.Hun, Pembimbing Akademis yang telah membimbing dari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana

7. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H.,M.H. Ketua bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang dengan kesabaran dan meluangkan waktunya untuk memberi arahan dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Ibu Anak Agung Sri Indrawati, S.H.,M.H, Dosen Pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan berkenan meluangkan waktu serta tenaganya dalam memberikan bimbingan hingga terselesainya skripsi ini.


(8)

  viii

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membimbing dan mendidik penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

10.Bapak Ida Bagus Wedha Kusumajaya, S.H., dan Bapak I Gusti Ngurah Darmayuda Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu selama masa perkuliahan.

11.Bapak dan Ibu Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah cukup banyak membantu dalam pengurusan proses administrasi.

12.Bapak dan Ibu Pegawai Perpustakaan Universitas Udayana dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam memperoleh literature yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.

13.Kepada seluruh keluarga besar Fakultas Hukum Universitas Udayana Program Non Reguler.

14.Orang tua penulis Anak Agung Suka Wirya dan Anak Agung Rusmeteri yang tiada hentinya memberikan dukungan, doa dan kasih sayang kepada penulis sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.

15.Seluruh keluarga Jero Gelogor yang telah memberikan semangat dalam menjalankan perkuliahan dari awal sampai dengan terselesainya tugas skripsi ini.


(9)

  ix

16.Sahabat tercinta Wisnu Wisesa, Gusten Keniten, Agung Atut, Agung Santo, Deva Reditya, Arya Pramanta, Ade Friska, Richard Draco, Mathias Hotma, Koming Anantha, Niko Cahyadi, Bennydiktus, Adis Sutha, Riandika, Gung Darma, Surya Radika, seluruh sahabat DKB dan Leak Barak yang selalu memberikan dorongan dan semangat dalam membuat skripsi ini.

17.Teman – teman Fakultas Hukum angkatan 2011 pada khususnya dan seluruh civitas akademis yang telah banyak memberikan dorongan mental dan semangat dalam membuat skripsi.

Akhir kata penulis harapkan skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak pada umumnya dan bagi perkembangan ilmu hukum pada khususnya.

Denpasar, 12 Januari 2016


(10)

  x

DAFTAR ISI

HALAMAN COVER ... ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI………… .. v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... xiii

ABSTRAK ... xiv

ABSTRACT ... xv

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 13

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 13

1.4 Orisinalitas ... 14

1.5 Tujuan Penelitian ... 15

1.5.1 Tujuan umum ... 16

1.5.2 Tujuan khusus ... 16

1.6 Manfaat Penelitian ... 16


(11)

  xi

1.6.2 Manfaat praktis ... 17

1.7 Landasan Teoritis ... 17

1.8 Metode Penelitian ... 23

1.8.1 Jenis penelitian ... 23

1.8.2 Jenis pendekatan ... 24

1.8.3 Sumber bahan hukum... 24

1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum ... 25

1.8.5 Teknik pengolahan dan analisis bahan hukum ... 25

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG LEGALITAS TOKO MODERN DAN MINUMAN BERALKOHOL 2.1. Pengertian Toko Modern ... 26

2.1.1 Regulasi Bagi Toko Modern ... 28

2.1.2 Jenis dan Perbedaan Toko Modern ... 33

2.2. Pengertian Minuman Beralkohol ... 36

2.2.1 Pengadaan, Pengedaran dan Penjualan ... 38

2.2.2 Pengendalian Dan Pengawasan ... 40

BAB III. PENGATURAN PERIJINAN PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL 3.1. Perusahaan Yang Dapat Melakukan Pengadaan dari Luar Negeri ... 42

3.1.1 Ketentuan Sebagai Distributor . ... 44


(12)

  xii

3.1.3 Tata Cara Permohonan Surat Izin Usaha Perdagangan. ... 48

BAB IV. KEPASTIAN HUKUM PERDAGANGAN MINUMAN

BERALKOHOL GOLONGAN A DI MINIMARKET

4.1. Persyaratan Sebagai Pengecer ... 51 4.2. Kewajiban Dan Larangan Bagi Pengecer ... 53 4.3. Tempat Penjualan Sesuai Dengan Peraturan Presiden. ... 54

BAB V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan ... 57 5.2. Saran……… 58

DAFTAR PUSTAKA RINGKASAN


(13)

  xiii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 12 Januari 2016 Yang menyatakan

( A.A. Ngr. Yadnya Wirya R. P.) NIM. 1116051008


(14)

  xiv

ABSTRAK

Tulisan ini berjudullegalitas penjualan minuman beralkohol golongan A bagi pelaku usaha toko modern minimarket berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 dikaitkan dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2015. Penghapusan minimarket sebagai pengecer minuman beralkohol menimbulkan ketidakpastian hukum dalam melakukan kegiatan usaha. Tujuan dari penulisan ini, untuk menganalisa adanya konflik norma dalam Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol (Perpres No.74 Th.2013) yang mengijinkan minimarket menjual minuman beralkohol golongan A dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang

Perubahan kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor

20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol (Permendag No.06 Th.2015) yang menghapuskan minimarket sebagai penjual minuman beralkohol golongan A. Metode yang digunakan dalam tulisan ini metode penelitian normatif dengan menganalisa Perpres No.74 Th.2013 dengan Permendag No.06 Th.2015. Sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap penjualan minuman beralkohol golongan A di minimarket. Kesimpulan tulisan ini peraturan menteri tidak boleh bertentangan dengan peraturan presiden, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap diperbolehkan atau dilarangnya minimarket sebagai penjual minuman beralkohol golongan A.


(15)

  xv

ABSTRACT

This article entitled legality alcoholic beverages of class A for businesses modern store minimarket based on the Presidential Decree Number 74 Year 2013 tied with the Minister Of Trade Regulation Number 6 Year 2015 . To eliminated of the minimarket as retailers of alcoholic beverages to legal uncertainty in conducting business activities. The purpose of this paper, to analyze the existence of a conflict of norms in Presidential Decree Number 74 Year 2013 regarding the Control and Supervision of Alcoholic Beverages (Regulation 74 Year 2013) which allows minimarket selling alcoholic beverages group A with the Minister of Trade Regulation Number 06/M-DAG/PER/1/2015 on Second Amendment to the Regulation of the Minister of Trade Number 20 /M-DAG/PER/4/2014 on Control and Supervision of Procurement, Distribution, and Sale of Alcoholic Beverages (Regulation Number 06 Year 2015) which abolished minimarket as sellers of alcoholic beverages group A. The method used in this paper by analyzing normative research methods Presidential Regulation 74 Year 2013 with Minister of Trade Regulation Number 06 Year 2015. Giving rise to legal uncertainty for the sale of alcoholic beverages in class A minimarket. Conclusion of this article that ministerial regulations must not conflict with the presidential decree, cause giving rise to legal uncertainty allowed or prohibiting minimarket as a seller of alcoholic beverages class A.


(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

Pembangunan mempunyai banyak aspek dan dimensi, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya dan hukum. Suatu bangsa memasuki tahap negara kesejahteraan ditandai dengan berkembangnya hukum yang melindungi pihak yang lemah. Diantara aspek tersebut, pembangunan ekonomi merupakan aspek yang memiliki dimensi yang lebih menonjol dan konkrit karena dampaknya dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang demikian cepat dan maju, menyebabkan banyak regulasi oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah menerbitkan kebijakan – kebijakan yang belum dapat dilaksanakan dan berakibat tidak adanya jaminan kepastian hukum yang berkeadilan bagi masyarakat. Kebijakan – kebijakan yang dituangkan dalam peraturan perundang – undangan yang berkenaan untuk perlindungan berbagai pihak tersebut, dengan mengoreksi industrialisasi yang tidak selalu memberikan kebaikan kepada semua golongan masyarakat. Sektor informal telah banyak menerima tenaga kerja yang pindah dari sektor agraris tetapi tidak dapat ditampung oleh sektor industri dan merupakan salah satu motor penggerak ekonomi rakyat.

Melalui bidang hukum, sektor ini bisa menjadi formal dalam bentuk usaha – usaha kecil. Berbagai usaha kecil ini dalam tahap berikutnya terkait dengan usaha – usaha besar, yang mengharapkan adanya kerjasama yang saling menguntungkan. Untuk mengembangkan mereka perlu dipikirkan bentuk –


(17)

  2 

bentuk perizinan khusus untuk sektor informal, fasilitas hukum dalam hubungannya dengan hak milik, kontrak, dan sebagainya. Keterkaitan usaha besar dengan usaha kecil, bukan berdasarkan atas belas kasihan, tetapi menjadi suatu keharusan dalam negara demokrasi Pancasila berasaskan kekeluargaan. Sektor informal yang paling banyak diminati untuk menunjang perekonomian dengan melakukan jual beli, karena mendapatkan keuntungan yang dapat dimanfaatkan secara langsung. Kegiatan jual beli dalam sejarah suatu bangsa dilakukan pada pasar. Dalam kegiatan jual beli, keberadaan pasar merupakan salah satu hal yang paling penting karena menjadi tempat untuk melakukan kegiatan tersebut selain menjadi salah satu indikator utama kegiatan ekonomi masyarakat di suatu wilayah. Di Indonesia telah lama mengenal pasar sama halnya dengan bangsa – bangsa lain di dunia, yang dikenal lebih dulu dengan nama pasar tradisional. Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia pasar berarti tempat orang berjual beli, sedangkan tradisional dimaknai sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang kepada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun. Berdasarkan arti diatas, maka pasar tradisional adalah tempat orang berjual beli yang berlangsung di suatu tempat berdasarkan kebiasaan.

Di Indonesia, keberadaan pasar tradisional bukan melakukan urusan ekonomi tetapi lebih jauh kepada norma, ranah budaya, sekaligus peradaban yang berlangsung sejak lama di berbagai wilayah di Indonesia. Sebagai pusat kegiatan sosial ekonomi kerakyatan, pola hubungan ekonomi yang terjadi di pasar tradisional menghasilkan terjalinnya interaksi sosial yang akrab antara pedagang – pembeli, pedagang – pedagang, dan pedagang – pemasok yang merupakan


(18)

  3 

warisan sosial representasi kebutuhan bersosialisasi antar individu. Dengan luas wilayah masing – masing daerah di Indonesia yang sangat luas, pasar tradisional, hanya dapat dilakukan pada satu tempat tertentu untuk melayani satu daerah pedesaan dengan waktu yang terbatas. Akibat jarak dan waktu yang terbatas, menyebabkan timbulnya warung – warung kecil untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setiap saat di wilayah lingkungannya masing – masing. Warung – warung kecil tersebut masih tetap keberadaanya pada beberapa wilayah di Indonesia sampai sekarang, yang sudah semakin berkurang perkembangannya setiap tahun akibat modernisasi di bidang perekonomian. Pasar dan warung tradisional mempunyai fungsi dan peranan yang tidak hanya sebagai tempat perdagangan tetapi juga sebagai peninggalan kebudayaan yang telah ada sejak masa lalu. Tanpa disadari bahwa pasar dan warung tradisional bukan satu – satunya menjadi tempat bertemunya penjual dan pembeli sebagai pusat perdagangan di masa sekarang, dengan adanya kegiatan usaha konsep asal yang sama dengan pelayanan dan memberikan pilihan yang lebih banyak kepada masyarakat.

Semakin banyaknya pusat perdagangan lain seperti pasar modern yang berupa toko modern, supermarket dan pusat perbelanjaan, membuat pasar dan warung tradisional ini terpinggirkan oleh arus modernisasi. Pemenuhan kebutuhan hidup itu merupakan tujuan dari kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan yang dapat memberikan perlindungan kepada keluarga atau dirinya bersamaan dengan pemenuhan kebutuhan yang sama dari masyarakat lainnya. Pembangunan ekonomi tersebut telah menghasilkan banyak kemajuan,


(19)

  4 

antara lain kemajuan hal meningkatnya kesejahteraan rakyat. Tidak menutup kemungkinan bahwa kesejahteraan rakyat yang dimaksud hanya dapat dirasakan oleh kelompok atau golongan tertentu, akibat banyaknya rakyat golongan ekonomi lemah yang merupakan hambatan dan permasalahan tersendiri dalam usaha negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara merata. Kemajuan suatu negara atau masyarakat dapat disebabkan oleh kemajuan negara lain. Dalam konteks yang lebih luas dapat dikatakan bahwa perkembangan ekonomi dunia saat ini bergerak sangat cepat dan dinamis. Arus globalisasi merupakan faktor penggerak kemajuan karena negara – negara saling berhubungan antara satu dengan yang lain yang secara bersama – sama pula meningkatkan pembangunan ekonomi. Menurut William Irwin Thomson,1 bahwa dengan dukungan teknologi dan informasi kecepatan perubahan tidak lagi menghitung abad, tahun, atau bulan, tetapi dapat terjadi setiap hari.

Pada dasa warsa terakhir ini atau sering disebut sebagai era globalisasi, batas nonfisik antarnegara semakin sulit untuk membedakannya dan bahkan cenderung tanpa batas atau borderless state. Dampak yang sangat terasa dengan terjadinya globalisasi yakni arus informasi begitu cepat sampai ke masyarakat, yang merupakan pengaruh terhadap cara hidup untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari. Adanya kesenjangan antara total jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar, menjadikan pasar modern melihat peluang untuk membuka kegiatan usaha yang langsung berhadapan dengan masyarakat melakukan kegiatan jual beli dalam bentuk yang lebih kecil melalui jenis toko modern. Kegiatan yang dilakukan

      

1 Sunaryati Hartono, 1996, Globalisasi dan Perdagangan Bebas, BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta, h.12.


(20)

  5 

dengan menjual eceran kepada masyarakat langsung disebut dengan kegiatan usaha retail. Perbedaan antara konsep tradisional dan modern dalam melakukan transaksi jual beli terletak pada penawaran dan harga. Pada pasar atau warung yang bersifat tradisional tempat bertemunya penjual dan pembeli, terjadinya kesepakatan harga dan terjadinya transaksi setelah melalui proses tawar menawar harga, akan tetapi kenyamanan terhadap konsumen tidak menjadi perhatian pada konsep ini. Sedangkan pada pasar atau toko modern, penjual dan konsumen tidak melakukan transaksi secara langsung melainkan konsumen telah disediakan harga yang tertera pada barang – barang yang telah tersedia dan melayani diri sendiri tanpa adanya penawaran yang berakhir dengan transaksi di ruangan yang bersih dengan mengutamakan kenyamanan dalam pelayanan. Kompleksitas ini semakin bertambah manakala dihubungkan dengan pola interaksi kegiatan usaha yang terjalin di masyarakat modern. Implikasi ini telah mengubah wajah perdagangan dan perekonomian dunia menjadi bentuk kegiatan usaha dalam perkampungan global atau business in global village. Kondisi ini dengan tepat digambarkan oleh Daniel Davidson,2 “We are so economically interdependent on one another that so we live in global village”. Globalisasi ekonomi berarti terintegrasinya ekonomi berbagai negara menjadi seolah – olah tanpa dibatasi oleh kedaulatan negara. Salah satu ciri kegiatan usaha yang paling dominan pada globalisasi ekonomi adalah sifatnya bergerak cepat, baik dalam transaksi maupun pergerakan arus barang dan modal. Hal ini mempengaruhi pula terhadap berbagai peraturan di bidang kegiatan usaha ekonomi yang dengan cepat pula mengalami perubahan.

       2Ibid.


(21)

  6 

Globalisasi ekonomi yang ditandai dengan adanya keterbukaan perekonomian dialami hampir semua negara di dunia saat ini, telah membuat sistem perekonomian menjadi terbuka bebas. Apabila perekonomian didasarkan pada mekanisme pasar, maka akan tercipta suatu keseimbangan atau equilibrium. Di tengah arus globalisasi, kita tidak dapat melupakan kehidupan kenegaraan dimana tiga bidang yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Ketiga bidang itu ialah hukum, ekonomi dan politik. Ekonomi dipengaruhi oleh hukum, hukum dipengaruhi oleh politik, politik dipengaruhi oleh ekonomi, dan begitu pula sebaliknya. Kebutuhan akan sistem hukum, sistem ekonomi, dan sistem politik yang stabil merupakan syarat utama dalam membangun suatu negara yang memiliki perekonomian yang kuat, terlebih lagi bagi negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia. Konsep hukum menurut Abdulkadir Muhammad,3 “Hukum adalah segala aturan yang menjadi pedoman perilaku setiap orang dalam hubungan hidup bermasyarakat atau bernegara disertai sanksi yang tegas apabila dilanggar”. Peraturan hukum meliputi dari tingkat yang tertinggi, yaitu undang – undang dasar sampai tingkat yang terendah, yaitu peraturan daerah tingkat kabupaten/ kota, yang menjadi pedoman perilaku setiap orang maupun pelaku usaha. Kebutuhan akan suatu sistem yang sistematis merupakan kebutuhan yang mendasar bagi suatu negara. Hukum tanpa berjalan di jalur yang berfungsi sebagai pondasi, tidak akan berfungsi dengan baik. Begitupun halnya dengan ekonomi, tanpa adanya dukungan oleh suatu sistem tidak akan dapat mencapai tujuan sesuai dengan harapan. Walaupun bidang

      

3 Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perdata Indonesia, Cet.Rev, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad I), h.1.


(22)

  7 

hukum dan ekonomi merupakan bidang kehidupan yang bersifat mandiri, namun di dalam kenyataannya hukum dan ekonomi terkait sangat erat dan saling mempengaruhi. Hubungan saling terkait ini selalu dapat kita temukan di dalam kehidupan sehari – hari, dalam pergaulan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hukum berfungsi sebagai pedoman mengatur perilaku dan perbuatan orang atau badan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Secara umum tujuan hukum untuk:4

a. Menciptakan keamanan, ketertiban, dan keteraturan; b. Mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat;

c. Menegakkan hukum secara konsisten dan tanpa diskriminasi; serta d. Menghargai dan menghormati hak – hak asasi manusia.

Dalam rangka pembangunan ekonomi suatu negara berkembang, hukum harus berperan secara optimal. Agar hukum dapat berjalan dengan optimal, maka diperlukan hukum dalam bentuk yang sistematik. Ini berarti negara berkembang memerlukan suatu sistem hukum yang sistematis. Aspek kelembagaan bagi eksistensi pelaku ekonomi juga memerlukan landasan hukum. Hukum yang memberi landasan kelembagaan usaha sesuai dengan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang selanjutnya akan disingkat UUD 1945 yaitu pelaku usaha swasta, koperasi, Badan Usaha Milik Negara atau BUMN, dan Badan Usaha Milik Daerah atau BUMD, yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang – undangan. Bahwa diperlukan peraturan perundang – undangan yang mengatur bentuk konglomerasi pelaku ekonomi, seperti pelaku

       4Ibid. h. 2.


(23)

  8 

usaha swasta dalam bentuk organisasi jaringan, multinasional dan sebagainya. Aspek kelembagaan pelaku usaha memerlukan landasan hukum yang menegaskan hak dan kewajibannya sebagai entitas bisnis serta ketentuan hukum yang memberi pengaturan pada pengelolaannya.

Perkembangan pasar modern dalam negeri bertambah sangat pesat, yang diawali dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000 tentang bidang usaha tertutup dan terbuka bagi penanaman modal asing yang selanjutnya akan disingkat dengan Keppres Nomor 96 Tahun 2000. Dalam kebijakan tersebut, usaha perdagangan eceran merupakan salah satu bidang usaha yang terbuka bagi pihak asing. Bagi pedagang besar internasional, kebijakan tersebut jelas merupakan peluang yang sangat menjanjikan, karena Indonesia mempunyai pasar yang sangat potensial. Oleh sebab itulah maka peraturan perundang – undangan mengenai pasar modern dan pasar tradisional yang memberikan landasan hukum bagi pelaku usaha tersebut diatas dengan semakin berkembangnya usaha perdagangan, diterbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern yang selanjutnya akan disingkat dengan Perpres Nomor 112 Tahun 2007. Perpres Nomor 112 Tahun 2007 merupakan pengganti ketentuan mengenai Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan dalam Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 145/ MPP/ 1997 dan Nomor 57 Tahun 1997 yang merupakan peraturan pelaksana terhadap kegiatan pelaku usaha toko modern di Indonesia. Pertimbangan Perpres Nomor 112 Tahun 2007 adalah untuk memberdayakan


(24)

  9 

usaha perdagangan eceran dalam skala kecil dan menengah, usaha perdagangan eceran modern dalam skala besar, maka perlu dikembangkan secara serasi pertumbuhan ekonomi pelaku usaha tersebut diatas, dengan saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.

Pasal 1 angka 1 Perpres Nomor 112 Tahun 2007 mencantumkan bahwa, “Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plasa, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya”. Sudah ada perubahan pengertian terhadap pasar, yang dikenal sejak jaman dahulu secara normatif dengan diterbitkannya Perpres Nomor 112 Tahun 2007. Mengenai pasar modern dijelaskan pada Pasal 1 angka 5 yaitu, “Toko modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk perkulakan”. Jadi pasar modern disamakan melalui pengertian toko modern yang dikenal dengan sebutan seperti diatas.

Perpres Nomor 112 Tahun 2007, ini untuk mengatur toko modern secara nasional termasuk mengenai kebijakan sistem penjualan dan jenis barang dagangan. Pasal 3 ayat (3) Perpres Nomor 112 Tahun 2007 menegaskan bahwa, Sistem penjualan dan jenis barang dagangan toko modern adalah sebagai berikut:

a. Minimarket, Supermarket dan Hypermarket menjual secara eceran barang konsumsi terutama produk makanan dan produk rumah tangga lainnya; b. Department Store menjual secara eceran barang konsumsi utamanya

produk sandang dan perlengkapannya dengan penataan barang berdasarkan jenis kelamin dan/ atau tingkat usia konsumen; dan


(25)

  10 

Untuk memberikan kepastian hukum terhadap pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern, Pasal 14 Perpres Nomor 112 tahun 2007 mencantumkan, “ Menteri membuat pedoman tata cara perizinan untuk melakukan usaha pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern”. Dengan ketentuan Pasal 14 Perpres Nomor 112 Tahun 2007, menteri perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan yang selanjutnya akan disingkat dengan Permendag Nomor 53/ M-DAG/ PER/ 12/ 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, yang telah diganti dengan Permendag Nomor 70/ M-DAG/ PER/ 12/ 2013.

Dengan adanya peraturan perundang – undangan mengenai toko modern, jenis barang dagangan minuman beralkohol sebagai salah satu jenis barang dagangan yang dapat diperjual belikan secara eceran pada toko modern, perlu dibuatkan suatu kebijakan baru setelah adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 42 P/ HUM/ 2012 yang menyatakan Keputusan Presiden yang selanjutnya akan disingkat dengan Keppres Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Maka dipandang perlu untuk mengatur kembali pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran, dan penjualan minuman beralkohol sehingga dapat memberikan perlindungan serta menjaga kesehatan, ketertiban dan ketentraman masyarakat dari dampak buruk terhadap penyalahgunaan minuman beralkohol. Untuk itu diterbitkanlah Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol.


(26)

  11 

Minimarket sebagai salah satu jenis toko modern merupakan salah satu tempat yang diperbolehkan untuk menjual minuman beralkohol golongan A sebagai toko pengecer yang dicantumkan pada Pasal 7 ayat (3) Perpres Nomor 74 Tahun 2013 yaitu minuman berallkohol golongan A juga dapat dijual di toko pengecer dalam bentuk kemasan. Sama halnya dengan Perpres Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, menteri perdagangan diberikan mandat untuk membuat kebijakan mengenai pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol yang tercantum pada Pasal 9 Perpres Nomor 74 Tahun 2013. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tersebut, maka diterbitkan Permendag Nomor 20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman beralkohol. Permendag Nomor 20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014 mencantumkan pada Pasal 1 angka 3 bahwa, ”Perusahaan adalah setiap bentuk usaha perseorangan atau badan usaha yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang melakukan kegiatan usaha perdagangan Minuman Beralkohol”. Sangat jelas diatur bahwa yang dapat melakukan kegiatan usaha perdagangan minuman beralkohol dengan bentuk usaha perseorangan atau badan usaha baik yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum. Untuk toko modern jenis minimarket agar dapat melakukan penjualan minuman beralkohol secara eceran diberikan surat keterangan penjual langsung minuman beralkohol golongan A,


(27)

  12 

yang disingkat SKPL – A yang disebutkan pada Pasal 1 angka 19 Permendag Nomor 20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014.

Adanya penghapusan bagi minimarket sebagai penjual langsung minuman beralkohol golongan A melalui Permendag Nomor 06/ M-DAG/ PER/ 1/ 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Permendag Nomor 20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014, dapat mengganggu perkembangan toko modern jenis minimarket yang semakin berkembang dengan kemandirian bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah mengikuti kegiatan usaha perdagangan yang dikuasai oleh pihak asing melalui jaringan toko modern yang dapat membuat persaingan tidak sehat dan ketidak adilan bagi pelaku usaha minimarket secara mandiri. Perubahan terhadap Pasal 14 ayat (3) Permendag Nomor 20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014 yang mencantumkan minimarket, supermarket, hypermarket, toko pengecer lainnya dapat menjual minuman beralkohol golongan A, menjadi hanya dapat dijual di supermarket dan

hypermarket pada Permendag Nomor 06/ M-DAG/ PER/ 1/ 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Permendag Nomor 20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014. Berdasarkan hal tersebut diatas mengingat arti penting UMKM terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia khususnya dalam menjalankan kegiatan usaha untuk mendapatkan keuntungan dengan berasaskan kemandirian dan perlindungan hukum terhadap UMKM maka diperlukannya suatu penelitian hukum yang bersifat normatif untuk mengkaji Permendag Nomor 06 Tahun 2015 dan Perpres Nomor 74 Tahun 2013 dengan menuangkan hasilnya dalam bentuk skripsi dengan judul:


(28)

  13 

“Legalitas Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A Bagi Pelaku Usaha Toko Modern Minimarket Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 Dikaitkan Dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2015”

1.2.Rumusan Masalah

1. Apakah pengaturan perijinan usaha perdagangan minuman beralkohol golongan A bagi minimarket sesuai dengan Perpres Nomor 74 Tahun 2013 dapat dihapuskan menurut Permendag Nomor 06 Tahun 2015 ? 2. Apakah minimarket yang masih menjual minuman beralkohol golongan A

dapat dikenakan sanksi menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2015?

1.3.Ruang Lingkup Masalah

Dengan melihat rumusan permasalahan diatas, untuk memperoleh hasil yang lebih mendalam pembahasan hanya pada ruang lingkup dari regulasi toko modern jenis minimarket terhadap pengendalian dan pengadaan minuman beralkohol golongan A. Maka dalam penulisan ini terbatas pada kebijakan yang diberikan kepada pelaku usaha besar dalam negeri maupun asing dengan peraturan yang ditetapkan oleh kementerian Perdagangan sebagai penjual eceran minuman beralkohol golongan A.

Berkaitan dengan permasalahan yang kedua mengenai perlindungan hukum bagi pelaku usaha, yang masih melakukan kegiatan usaha sebagai pengecer minuman beralkohol golongan A oleh pelaku usaha toko modern jenis minimarket.


(29)

  14 

1.4.Orisinalitas

Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian adapun dalam penelitian kali ini, peneliti akan menampilkan 1 (satu) skripsi dan 1 (satu) thesis terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan “Legalitas Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A Bagi Pelaku Usaha Toko Modern Minimarket Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 Dikaitkan Dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2015”. Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu mewujudkan orisinalitas dari penelitian yang sedang ditulis dengan menampilkan beberapa judul penelitian skripsi dan thesis atau disertasi terdahulu sebagai pembanding.

No. Judul Penulis Rumusan Masalah

1. Skripsi; Perlindungan

Hukum Terhadap Pasar

Tradisional Di Kota

Yogyakarta Menurut

Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Pasar.

Aryo Sedayu

(Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta) Tahun 2011.

1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum

terhadap pasar

tradisional dalam

Perda Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pasar ? 2. Bagaimana peran Dinas

Pengelolaan Pasar Kota


(30)

  15 

membina dan

melindungi pedagang pasar tradisional ?

2. Thesis; Proses

Pembentukan Peraturan

Daerah dan Fungsi

Kekuatan Politik DPRD

Kabupaten Indramayu

Dalam Pembahasan

Pelarangan Minuman

Beralkohol.

Ali Fikri

(Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro,

Semarang) Tahun

2005.

1. Bagaimana proses

pembentukan Perda

saat ini dalam

menanggulangi

pelarangan minuman beralkohol?

2. Bagaimana fungsi

kekuatan politik di

DPRD menanggapi

amanat rakyat yang

diembannya dalam

pembahasan pelarangan minuman beralkohol?

1.5.Tujuan Penelitian

Penelitian ini merupakan karya tulis ilmiah yang wajib dilaksanakan dengan menggunakan kaidah dan metode ilmiah dalam pengembangan ilmu hukum, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai


(31)

  16 

gejala hukum tertentu.5 Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

1.5.1 Tujuan umum

1. Untuk mengetahui secara umum surat izin usaha minuman beralkohol golongan A bagi minimarket sesuai dengan peraturan presiden.

2. Untuk mengetahui secara umum perlindungan hukum terhadap pelaku usaha toko modern jenis minimarket yang masih menjual jenis barang minuman beralkohol golongan A.

1.5.2 Tujuan khusus

1. Untuk lebih memahami secara mendalam mengenai surat izin usaha minuman beralkohol golongan A bagi minimarket sesuai dengan peraturan presiden.

2. Untuk lebih memahami secra mendalam mengenai perlindungan hukum terhadap pelaku usaha toko modern jenis minimarket yang masih menjual jenis barang minuman beralkohol golongan A.

1.6.Manfaat Penelitian

Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan, sudah tentu manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

      

5 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Ed.I, Cet.6, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 35.


(32)

  17 

1.6.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapakan dapat dijadikan bahan kajian atau bahan penelitian lebih lanjut serta sebagai tambahan pengetahuan mengenai pelaku usaha toko modern jenis minimarket.

1.6.2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dan dasar pelaksanaan pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol golongan A bagi pengecer, agar mengetahui hak dan kewajiban pemasok maupun pengecer berdasarkan ketentuan – ketentuan dan asas – asas yang berlaku terhadap pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol golongan A.

1.7.Landasan Teoritis

Hukum mengatur dan menguasai kehidupan didalam berbangsa dan bernegara. Ilmu hukum mempunyai hakikat interdisipliner. Hakikat ini kita ketahui dari digunakannya berbagai disiplin ilmu pengetahuan untuk membantu menerangkan berbagai aspek yang berhubungan dengan kehadiran hukum di masyarakat.6 Adanya landasan teoritis sangat diperlukan dalam suatu penulisan karya ilmiah yang bertujuan untuk membantu penelitian dalam menentukan tujuan dan arah penelitian, memilih konsep yang tepat dalam pokok permasalahan yang dikaji.

Untuk dapat menjual minuman beralkohol, pelaku usaha wajib memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol yang selanjutnya disingkat disingkat SIUP-MB adalah surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha

      


(33)

  18 

perdagangan khusus minuman beralkohol. Pelaku usaha yang memperdagangkan minuman beralkohol golongan A wajib memiliki SIUP-MB, dan apabila sekaligus sebagai pengecer juga wajib memiliki Surat Keterangan Penjual Langsung Minuman Beralkohol golongan A yang selanjutnya disebut SKPL-A. Bahwa minimarket sebagai pengecer minuman beralkohol golongan A wajib memiliki kedua izin tersebut.

Menurut ahli hukum Belanda N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge,7 izin merupakan suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang – undang atau peraturan pemerintah untuk keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan perundang – undangan, pengertian izin dalam arti sempit. Berdasarkan pendapat ini, izin tidak dapat melakukan usaha kecuali diizinkan. Jadi, kegiatan terhadap suatu objek tertentu pada dasarnya dilarang. Seseorang atau badan hukum dapat melakukan usaha atau kegiatan atas objek tersebut jika mendapat dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang mengikatkan perannya dalam kegiatan yang dilakukan oleh orang atau pihak yang bersangkutan. Menurut Prajudi Atmosudirdjo,8 izin atau vergunning adalah suatu penetapan yang merupakan dispensasi pada suatu larangan oleh undang – undang. Selanjutnya larangan tersebut diikuti dengan perincian syarat – syarat, kriteria, dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk mendapat izin, disertai dengan penetapan prosedur dan petunjuk pelaksanaan kepada pejabat – pejabat administrasi negara yang bersangkutan. Ketentuan tentang perizinan mempunyai fungsi, yaitu sebagai

      

7 Philipus M. Hadjon, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, Yuridika, Surabaya, h.2-3. 8Ibid.


(34)

  19 

penertib dan sebagai pengatur. Penertib maksudnya agar usaha atau kegiatan tidak bertentangan satu sama lain, sehingga ketertiban dapat terwujud.

Adrian Sutedi menyatakan, sebagai pengatur dimaksudkan agar usaha atau kegiatan yang dapat dilaksanakan sesuai dengan peruntukkan.9 Perizinan adalah intsrumen yang manfaatnya ditentukan oleh tujuan dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah. Jika perizinan hanya dimaksudkan sebagai sumber pendapatan, akan memberikan dapat negatif atau disinsentif bagi pembangunan. Secara teoretis, perizinan memiliki beberapa fungsi;10

Pertama, sebagai instrumen rekayasa pembangunan. Pemerintah dapat membuat regulasi dan keputusan yang memberikan insentif bagi pertumbuhan sosial ekonomi.

Kedua, fungsi keuangan atau budgetering, yaitu menjadi sumber pendapatan bagi negara. Pemberian izin dilakukan dengan kontraprestasi berupa retribusi perizinan.

Ketiga, fungsi pengaturan atau reguleren, yaitu menjadi instrumen pengaturan tindakan dan perilaku masyarakat.

Adanya penghapusan bagi toko modern jenis minimarket sebagai pengecer jenis barang minuman beralkohol golongan A, dapat menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha minimarket yang tidak memiliki perjanjian distribusi terhadap pengembalian barang yang tidak dapat diperjual belikan. Bagi pelaku usaha toko modern jenis minimarket untuk menjadi pengecer dapat ditunjuk langsung oleh distributor atau pemasok hanya dengan menandatangani pakta integritas penjualan minuman beralkohol golongan A, tanpa membuat perjanjian yang memberikan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. Pakta integritas penjualan minuman beralkohol golongan A tersebut merupakan kebijakan dari pemerintah, yang

      

9 Adrian Sutedi, 2010, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, h. 193.


(35)

  20 

formatnya sudah diatur melalui lampiran Permendag mengatur tentang sanksi yang akan diberikan kepada pengecer apabila melanggar ketentuan di dalam melakukan penjualan minuman beralkohol golongan A. Pakta integritas tidak mengatur mengenai hak yang bagi pelaku usaha minimarket, hanya kewajiban yang harus dijalankan dalam melakukan penjualan minuman beralkohol golongan A. Jadi, sangat jelas bahwa Pakta integritas bukan perikatan atau perjanjian yang dibuat oleh distributor sebagai pemasok dan pelaku usaha minimarket sebagai penjual eceran minuman beralkohol golongan A.

Dalam teori hukum, perjanjian dengan perikatan adalah dua hal yang berbeda, meskipun keduanya memiliki ciri yang hampir sama. Perbedaannya tersebut sebagai berikut:11

1. Perjanjian

a. menimbulkan perikatan atau melahirkan perikatan

b. perjanjian lebih konkret daripada perikatan, artinya perjanjian itu dapat dilihat dan didengar

c. pada umumnya perjanjian merupakan hubungan hukum bersegi dua, artinya akibat hukum dikehendaki oleh kedua belah pihak. Hal ini bermakna bahwa hak dan kewajiban dapat dipaksakan. Pihak – pihak berjumlah lebih dari atau sama dengan 2 sehingga bukan pernyataan sepihak, dan merupakan perbuatan hukum.

sedangkan, 2. Perikatan

      


(36)

  21 

a. perikatan adalah isi perjanjian

b. perikatan merupakan pengertian yang abstrak

c. bersegi satu, hal ini berarti belum tentu menimbulkan akibat hukum karena hak salah satu pihak tidak dapat dituntut, tidak dapat dipaksa pemenuhannya dan merupakan perbuatan hukum biasa.

Dalam mengkaji lebih lanjut mengenai fakta integritas dengan menggolongkannya sebagai perjanjian sepihak dalam tulisan ini, bahwa terdapat beberapa asas – asas yang penting dalam hukum perjanjian yaitu:12

a. Asas kebebasan berkontrak

Setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur dalam undang – undang. Akan tetapi, kebebasan tersebut dibatsai oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang undang – undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan.

b. Asas pelengkap

Asas ini mempunyai arti bahwa ketentuan undang – undang boleh tidak diikuti apabila pihak – pihak menghendaki dan membuat ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan undang – undang. Asas ini hanya mengenai rumusan hak dan kewajiban para pihak.

c. Asas konsensual

Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapai kata sepakat (konsensus) antara pihak – pihak mengenai pokok perjanjian. Sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum.

d. Asas obligatoir

Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak – pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum mengalihkan hak milik. Hak milik baru beralih apabila dilakukan dengan perjanjian yang bersifat kebendaan (zakelijke overeenkomst), yaitu melalui penyerahan (levering).

Dengan pengertian perusahaan yang tercantum pada Permendag Nomor 20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014, bahwa perusahaan adalah setiap bentuk usaha perseorangan

      


(37)

  22 

atau badan usaha yang dimiliki oleh warga negara Indonesia dan berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang melakukan kegiatan usaha perdagangan minuman beralkohol, dalam penelitian ini penulis menggunakan teori – teori badan hukum untuk mengetahui hakikat badan hukum yang mempunyai hak – hak dan kewajiban – kewajiban. Menurut Titik Triwulan Tutik, teori – teori badan hukum sebagai berikut:13

• Teori Fictie

Menurut teori ini badan hukum itu semata – semata buatan negara saja. Hanyalah fictie yakni sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti orang.

• Teori Harta Kekayaan Bertujuan (doel vermogenstheorie)

Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum. Namun teori ini, ada kekayaan (vermogen) yang bukan merupakan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat pada tujuan tertentu.

• Teori Organ (Organnen Theory) dari Otto’van Gierke

Badan hukum menurut teori ini bukan abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang tidak bersubjek. Tetapi badan hukum adalah suatu organisme yang riil, yang menjelma sungguh – sungguh dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan alat – alat yang ada padanya.

• Teori Pemilikan Bersama (Propriete Collectief Theory)

Propriete Collectief Theory disebut juga Gezammenlijke Eigendoms Theori. Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban orang – orang didalam badan tersebut secara bersama – sama. Kekayaan badan hukum adalah kepunyaan bersama – sama anggotanya.

• Teori Kenyataan Yuridis (Juridische Realiteitsleer Theorie)

Teori ini menyatakan bahwa badan hukum itu merupakan suatu realiteit, konkret, riil, walaupun tidak bisa diraba, bukan khayal, tetapi merupakan kenyataan yuridis. Teori ini mengutamakan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja.

      

13 Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 45.


(38)

  23 

1.8.Metode Penelitian

Penelitian hukum adalah segala aktifitas seseorang untuk menjawab permasalahan hukum yang bersifat akademik dan praktis, baik yang bersifat asas- asas hukum, norma – norma hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang berkenaan dengan kenyataan hukum dalam masyarakat.14 Untuk Penelitian ini menggunakan metode yaitu melalui:

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, berawal dari adanya ketidakselarasan dalam norma peraturan perundang – undangan yang menyebabkan peraturan perundang – undangan tersebut menjadi konflik norma. Menurut Peter Mahmud Marzuki,15

“Penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip – prinsip hukum, maupun doktrin – doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. ...penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi...”.

Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang akan menunjang penelitian ini sebagai karya tulis ilmiah yaitu skripsi.

      

14 Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 19. 15 Peter Mahmud Marzuki, 2010, loc.cit.


(39)

  24 

1.8.2 Jenis Pendekatan

Dalam penulisan karya tulis ilmiah untuk skripsi ini, dirasakan perlu untuk menggunakan pendekatan masalah agar tercermin sebagai karya ilmiah. Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan analisis konsep hukum (analitical & conceptual approach) dan pendekatan perundang – undangan (the statute approach). Pendekatan Konseptual dengan menelaah aturan – aturan hukum yang ada terhadap permasalahan toko modern jenis minimarket dalam melakukan kegiatan penjualan minuman beralkoohol golongan A.

Pendekatan undang – undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang – undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.16 Pendekatan analisa konsep hukum digunakan untuk meneliti mengenai konsep daripada perlindungan hukum terhadap pelaku usaha minimarket sedangkan pendekatan perundang – undangan digunakan untuk meneliti ketentuan – ketentuan yang mengatur mengenai toko modern dan minuman beralkohol.

1.8.3 Sumber bahan hukum

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji menyatakan bahwa dalam penelitian hukum normatif bahan – bahan hukum yang dapat digunakan yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.17 Peter Mahmud Marzuki menjelaskan sebagai berikut:18

      

16 Peter Mahmud Marzuki, 2010, op.cit, h. 93.

17 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13


(40)

  25 

1. Sumber bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya memiliki otoritas, yang terdiri dari perundang – undangan, catatan – catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang – undangan.

2. Sumber bahan hukum sekunder adalah berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen – dokumen resmi meliputi buku – buku teks, kamus – kamus hukum, dan jurnal – jurnal hukum.

3. Sumber bahan hukum tersier adalah merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah ensiklopediam indeks kumulatif dan seterusnya.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Untuk menunjang penelitian penulisan skripsi ini, maka teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi dokumentasi yang difokuskan terhadap bahan – bahan hukum primer maupun bahan – bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan toko modern dan minuman beralkohol.

1.8.5 Teknik Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum

Sebelum melakukan pengolahan dan menganalisa, mengumpulkan bahan – bahan hukum yang telah berhasil dikumpulkan selanjutnya melalui metode deskriptif kualitatif, pengolahan data dilakukan dengan menguraikan dan menggambarkan data yang diperoleh dari hasil studi


(41)

  26 

kepustakaan dan studi ketentuan – ketentuan yang mengatur toko modern dan jenis barang yang dapat diperjualbelikan termasuk minuman beralkohol, untuk selanjutnya dibahas dan disajikan secara kualitatif dalam uraian yang mendalam dan sistematis sebagai suatu karya tulis ilmiah yang berbentuk skripsi.


(42)

26 

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG LEGALITAS TOKO MODERN DAN MINUMAN BERALKOHOL

2.1.Pengertian Toko Modern

Pembangunan nasional di bidang ekonomi disusun dan dilaksanakan untuk memajukan kesejahteraan umum melalui pelaksanaan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan dan efisiensi keadilan, serta dengan menjadi keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.Pada pasar modern tidak ditemukan penawaran barang, tidak ada percakapan antara pembeli dengan penjual akan harga yang diinginkan. Harga telah ditentukan dan tidak ada tawar menawar, maka oleh sebab itu tempat jual beli bentuk ini dikatakan sebagai toko modern karena mekanisme penawaran dan pembelian telah ditentukan dengan label – label harga sepihak dari pemilik toko. Hadirnya toko modern masih menimbulkan kontroversial di kalangan masyarakat, ada yang menganggap mengganggu kepentingan masyarakat tertentu dan kalangan pengusaha kecil namun ada yang mendukungnya. Hukum merupakan kunci keberhasilan pembangunan ekonomi, memberikan kepastian terhadap subyek dan obyek hukum dalam setiap kegiatan ekonomi. Dengan berubahnya sistem ekonomi Indonesia dari sistem ekonomi tertutup menjadi sistem ekonomi terbuka, maka pasar sebagai tempat transaksi para penjual dan pembeli barang atau jasa tidak lagi terbatas pada lokasi dan teritorialnya, tetapi sudah merupakan jaringan. Bagi pelaku usaha besar yang mempunyai jaringan yang luas, mempunyai modal besar bersaing dipasar tidak menjadi suatu hambatan untuk menguasai pasar dalam negeri.


(43)

  27

Pengaturan pasar modern di Indonesia diatur pada Perpres Nomor 112 Tahun 2007. Perpres tersebut diterbitkan karena semakin berkembangnya toko modern yang merambah daerah perdesaan, dan merubah peran dan fungsi pasar tradisional. Perpres ini dilatarbelakangi bahwa semakin berkembangnya usaha perdagangan eceran dalam skala kecil dan menengah, usaha perdagangan eceran modern dalam skala besar, maka pasar tradisional perlu diberdayakan agar dapat tumbuh dan berkembang serasi, saling memerlukan, saling memperkuat serta saling menguntungkan dan untuk membina pengembangan industri dan perdagangan barang dalam negeri serta kelancaran distribusi barang, perlu memberikan pedoman bagi penyelenggaraan pasar tradisional dan toko modern. Pengertian toko modern menurut Pasal 1 angka 5 Perpres Nomor 112 Tahun 2007 adalah “toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk minimarket, supermarket, department store, hypermarket ataupun grosir yang berbentuk perkulakan”. Setiap toko modern wajib memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar serta jarak antara toko modern dengan pasar tradisional yang telah ada, serta mewujudkan norma – norma keadilan, saling menguntungkan dan tanpa tekanan dalam hubungan antara pemasok barang dengan toko modern serta pengembangan kemitraan dengan usaha kecil, sehingga tercipta tertib kegiatan usaha dan keseimbangan kepentingan produsen, pemasok, toko modern dan konsumen. Di luar itu perkembangan toko modern di Indonesia, terutama pedagang pengecer telah merambah wilayah – wilayah perdesaan. Tidak sedikit wilayah perdesaan di Indonesia yang telah menjadi wilayah usaha menjanjikan bagi pedagang eceran


(44)

  28

modern. Realitas yang terjadi di wilayah perdesaan ini memiliki pola yang agak berbeda dengan kenyataan yang ada di wilayah perkotaan. Pada wilayah perkotaan, pilihan rasional konsumen dalam berbelanja di toko modern lebih dikarenakan faktor harga, kenyamanan tempat berbelanja dan jaminan atas kualitas barang yang dibeli, tetapi di jika di perdesaan juga disebabkan oleh preferensi lainnya, terutama keinginan masyarakat turut merasakan dampak modernisasi.

Untuk menindaklanjuti ketentuan Perpres Nomor 112 Tahun 2007, diterbitkan Permendag Nomor 53 Tahun 2008 yang telah digantikan oleh Permendag Nomor 70 Tahun 2013 tentang Pedoman Penataan Dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.

2.1.1 Regulasi Bagi Toko Modern

Persaingan toko modern saat ini bisa dikatakan sebagai persaingan global, dimana toko modern dihadapkan dengan perusahaan asing yang membuka cabang toko modern di Indonesia. Apalagi perkembangan toko modern mendorong pertumbuhan sub sektor perdagangan dalam sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sehingga dapat mendorong pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto atau PDRB suatu wilayah. Dorongan pertama dari terbitnya kebijakan yang cenderung berpihak pada pelaku usaha besar dibandingkan berpihak kepada pelaku UMKM pada kegiatan usaha bidang yang sama. Hukum


(45)

  29

saat ini berada pada taraf yang memprihatinkan, yaitu ketika hukum bukan saja tidak efektif, melainkan juga sering menimbulkan permasalahan baru.19

Toko modern berkembang menjadi industri dan tidak hanya dilakukan oleh pelaku usaha di satu lokasi. Pelaku usaha toko modern bermunculan dengan menawarkan tidak hanya ketersediaan barang, tetapi juga menyangkut berbagai hal yang terkait dengan aspek psikologis konsumen. Misalnya menyangkut aspek kebersihan, kenyamanan, bahkan juga menyangkut nama toko modern dicoba ditanamkan di kalangan konsumen, seperti tempat barang murah dengan kualitas bagus, bergengsi dan sebagainya. Kecenderungan ini merupakan sebuah hal yang tidak dapat dihindari lagi dalam perkembangan toko modern pada saat ini. Peningkatan pendapatan masyarakat serta munculnya kemajuan di berbagai bidang menjadi salah satu penyebabnya, yang menjadikan segmen konsumen toko modern tumbuh beraneka ragam. Kebijakan menjalankan perekonomian serta sektor – sektor usaha tertentu pemerintah berkepentingan untuk memperhatikan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat maupun pelaku usaha dalam melakukan kegiatan ekonomi. Pemerintah berkepentingan untuk mengatur kehidupan ekonomi berlandaskan Pancasila, yang memiliki kewajiban dengan mengatur kegiatan – kegiatan usaha yang berpotensi merugikan masyarakat dalam suatu peraturan perundang – undangan.

Perkembangan toko modern yang sangat pesat, diawali dengan kebijakan yang mendukung liberalisasi ritel, antara lain diwujudkan dalam bentuk mengeluarkan kegiatan usaha ritel dari daftar negatif bagi penanaman modal di

      

19 Ahmad Ali, 1987, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yarsih Watampone, Jakarta, h.234


(46)

  30

Indonesia. Kebijakan ini dengan diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000 tentang Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal dan Keputusan Presiden Nomor 118 Tahun 2000 tentang Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal. Kebijakan tersebut telah menyebabkan tidak adanya lagi pembatasan kepemilikan dalam industri ritel. Setiap pelaku usaha yang memiliki modal cukup untuk mendirikan perusahaan ritel di Indonesia, maka dapat segera melakukannya. Akibatnya, pelaku usaha di industri ini terus bermunculan. Hal ini yang kemudian menjadi bertentangan dengan asas kebijakan perdagangan berdasarkan kepentingan nasional. Regulasi mengenai toko modern berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Perpres Nomor 112 Tahun 2007 yaitu; “Lokasi pendirian Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern wajib mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kota, termasuk Peraturan zonasinya”.

Pada Pasal 4 ayat (1) Perpres Nomor 112 Tahun 2007 mengatur ketentuan pendirian Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern wajib:

a. Memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, keberadaan Pasar Tradisional, Usaha Kecil dan Usaha Menengah yang ada di wilayah yang bersangkutan;

b. Memperhatikan jarak antara Hypermarket dengan Pasar Tradisional yang telah ada sebelumnya;

c. Menyediakan areal parkir paling sedikit seluas kebutuhan parkir 1 (satu) unit kendaraan roda empat untuk setiap 60 M2 (enampuluh meter per segi) luas lantai penjualan Pusat Perbelanjaan dan/ atau Toko Modern; dan


(47)

  31

d. Menyediakan fasilitas yang menjamin Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang bersih, sehat (hygienis), aman, tertib dan ruang publik yang nyaman.

Untuk menindaklanjuti Pasal 4 ayat (1) Perpres Nomor 112 Tahun 2007, pedoman mengenai pendirian Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern diatur melalui Permendag Nomor 53/ M-DAG/ PER/ 12/ 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Pada Pasal 3 Permendag Nomor 53/ M-DAG/ PER/ 12/ 2008 mengatur ketentuan pendirian Toko Modern sebagai berikut:

(1) Pendirian Pasar Tradisional atau Pusat Perbelanjaan atau Toko Modern selain Minimarket harus memenuhi persyaratan ketentuan peraturan perundang – undangan dan harus melakukan analisa kondisi ekonomi masyarakat, keberadaan Pasar Tradisional dan UMKM yang berada di wilayah bersangkutan.

(2) Analisa kondisi sosial ekonomi masyarakat dan keberadaan Pasar Tradisional dan UMKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Struktur penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan; b. Tingkat pendapatan ekonomi rumah tangga;

c. Kepadatan penduduk; d. Pertumbuhan penduduk;

e. Kemitraan dengan UMKM lokal; f. Penyerapan tenaga kerja lokal;

g. Ketahanan dan pertumbuhan Pasar Tradisional sebagai sarana UMKM lokal;

h. Keberadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang sudah ada;

i. Dampak positif dan negatif yang diakibatkan oleh jarak antara

Hypermarket dengan Pasar Tradisional yang telah ada sebelumnya;

dan


(48)

  32

Pada Pasal 3 ayat (10) memberikan ketentuan pendirian Minimarket diutamakan untuk diberikan kepada pelaku usaha yang domisilinya sesuai dengan lokasi

Minimarket tersebut.

Dengan pertumbuhan usaha Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang semakin meningkat perlu diikuti dengan peningkatan kepastian usaha dan tertib usaha, untuk mengoptimalkan penataan dan pembinaannya perlu mengatur kembali ketentuan Permendag Nomor 53/ M-DAG/ PER/ 12/ 2008 dengan mencabut dan digantikan Permendag Nomor 70/ M-DAG/ PER/ 12/ 2013. Dalam Permendag Nomor 70/ M-DAG/ PER/ 12/ 2013 dicantumkan pada Pasal 1 angka 1 bahwa;

“Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama – sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Dalam hal pendirian Toko Modern terdapat perubahan regulasi yang mendasar pada Pasal 3 Permendag Nomor 70/ M-DAG/ PER/ 12/ 2013 yaitu sebagai berikut:

(1) Jumlah Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, serta jarak antara Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern dengan Pasar Tradisional atau toko eceran tradisional ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat.

(2) Pendirian Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern wajib mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Pemerintah Daerah setempat dalam menetapkan jumlah serta jarak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan:


(49)

  33

a. tingkat kepadatan dan pertumbuhan penduduk dimasing – masing daerah sesuai data sensus Badan Pusat Statistik tahun terakhir;

b. potensi ekonomi daerah setempat; c. aksesibilitas wilayah (arus lalu lintas);

d. dukungan keamanan dan ketersediaan infrastruktur; e. perkembangan pemukiman baru;

f. pola kehidupan masyarakat setempat; dan/ atau

g. jam kerja Toko Modern yang sinergi dan tidak mematikan usaha toko eceran tradisional di sekitarnya.

Permendag Nomor 70/ M-DAG/ PER/ 12/ 2013, sangat mendukung

liberalisasi ritel dengan memberikan peluang kepada pelaku usaha yang bermodal

besar melalui Pasal 4 bahwa Pelaku Usaha dapat mendirikan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang berdiri sendiri dan/ atau Toko Modern yang terintegrasi dengan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan atau bangunan/ kawasan lain. Selain mengintegrasikan dengan Pasar Tradisional, Pelaku Usaha dapat mendirikan outlet/ gerai Toko Modern yang dimiliki dan dikelola sendiri (company owned

outlet) paling banyak 150 (seratus lima puluh) outlet/ gerai. Dalam hal Pelaku

Usaha telah memiliki Toko Modern sebanyak batas maksimal kepemilikan gerai dan akan melakukan penambahan wajib melakukan kemitraan dengan Usaha Mikro Kecil dan Menengah dengan pola perdagangan umum dan/ atau Waralaba.

2.1.2 Jenis dan Perbedaan Toko Modern.

Dilihat dari bentuk hukumnya, beberapa toko modern diklasifikasikan menjadi perusahaan badan hukum dan perusahaan bukan badan hukum. Perusahaan – perusahaan badan hukum ada yang dimiliki oleh pihak swasta, yaitu


(50)

  34

perseroan terbatas (PT) dan koperasi, ada pula yang dimiliki oleh negara, yaitu perusahaan umum (perum) dan perusahaan perseroan (persero).20 Kata perseroan, berasal dari kata “sero” yang artinya saham atau andil, sehingga perusahaan yang mengeluarkan saham atau sero disebut dengan perseroan, sedangkan yang memiliki sero dinamakan pesero atau lebih dikenal dengan sebutan pemegang saham. Kemudian tentu dipertanyakan, bagaimana halnya dengan perusahaan yang tidak mengeluarkan sero atau saham, tetapi perusahaan tersebut disebut juga dengan nama perseroan.21 Sesuatu yang dapat menjadi subjek hukum adalah manusia (natuurlijkpersoon) dan badan hukum (rechts-persoon).22 Badan hukum sebagai subjek hukum ini, menurut Satjipto Rahardjo merupakan hasil konstruksi fiktif dari hukum yang kemudian diterima, diperlakukan dan dilindungi seperti halnya hukum memberikan perlindungan terhadap manusia. 23 Sejak diterbitkannya Perpres Nomor 112 Tahun 2007, tidak dijelaskan secara jelas mengenai jenis dan bentuk badan usaha untuk melakukan kegiatan usaha toko modern bagi pelaku usaha.

Sesuai yang tercantum pada Pasal 1 angka 5 Perpres Nomor 112 Tahun 2007, “Toko Modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk perkulakan”. Jenis toko modern dapat dibedakan melalui luas lantai dan perizinan yang dimiliki

      

20Abdulkadir Muhammad, 2010 Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,

h. 83. 21 Ibid.

22 Chidir Ali, 1999, Badan Hukum, Alumni, Bandung, h. 14. 23 Satjipto Raharjo, op.cit. h. 69.


(51)

  35

sesuai dengan Perpres Nomor 112 Tahun 2007, yang dijelaskan melalui Permendag Nomor 53/ M-DAG/ PER/ 12/ 2008 dan digantikan Permendag Nomor 70/ M-DAG/ PER/ 12/ 2013 yaitu pada Pasal 6 sebagai berikut:

a. Minimarket, kurang dari 400 m2 (empat ratus meter persegi);

b. Supermarket, lebih dari 400 m2 (empat ratus meter persegi);

c. Department Store, lebih dari 400 m2 (empat ratus meter persegi);

d. Hypermarket, lebih dari 5.000 m2 (lima ribu meter persegi);

e. Perkulakan, lebih dari 5.000 m2 (lima ribu meter persegi).

Luas lantai seperti tersebut diatas dapat mengklasifikasikan jenis dari toko modern yang diatur sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Untuk membedakan toko modern tersebut, dari ketentuan sistem penjualan dan jenis barang dagangan yang harus diterapkan dalam toko modern yang tercantum pada Pasal 7 Permendag Nomor 70/ M-DAG/ PER/ 12/ 2013, yaitu;

a. Minimarket, Supermarket dan Hypermarket menjual secara eceran

berbagai jenis barang konsumsi terutama produk makanan dan/ atau produk rumah tangga lainnya yang dapat berupa bahan bangunan,

furniture, dan elektronik;

b. Department Store menjual secara eceran berbagai jenis barang konsumsi

terutama produk sandang dan perlengkapannya dengan penataan berdasarkan jenis kelamin dan/ atau tingkat usia konsumen; dan

c. Perkulakan menjual secara grosir berbagai jenis barang konsumsi.

Dari ketentuan tersebut dapat dinyatakan bahwa Minimarket, Supermarket dan

Hypermarket tidak dibedakan untuk ketentuan sistem penjualan dan jenis barang

dagangan yang diatur pada Perpres Nomor 112 Tahun 2007 dan Permendag Nomor 70/ M-DAG/ PER/ 12/ 2013.


(52)

  36

2.2. Pengertian Minuman Beralkohol

Minuman beralkohol secara hukum materiil diatur pertama kali pada Keppres Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Pada Pasal 1 Keppres Nomor 3 Tahun 1997, disebutkan yang dimaksud dengan minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi, baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak, maupun yang diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan ethanol atau dengan cara pengenceran minuman mengandung ethanol. Keppres Nomor 3 Tahun 1997 berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 42 P/ HUM/ 2012 yang merupakan putusan atas permohonan keberatan hak uji materiil menyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum, memerintahkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk mencabut Keppres Nomor 3 Tahun 1997. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 42 P/ HUM/ 2012 dipandang perlu untuk mengatur kembali pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran, dan penjual minuman beralkohol sehingga dapat memberikan perlindungan serta menjaga kesehatan, ketertiban dan ketentraman masyarakat dari dampak buruk terhadap penyalahgunaan minuman beralkohol, maka ditetapkan Perpres Nomor 74 Tahun 2013.

Pada Perpres Nomor 74 Tahun 2013 dijelaskan mengenai Minuman Beralkohol dan Minuman Beralkohol Tradisional pada Pasal 1 angka 1 mencantumkan bahwa, “Minuman Beralkohol adalah minuman yang mengandung


(53)

  37

etil alkohol atau etanol (C2H5OH) yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi”. Pasal 1 angka 2 menjelaskan, “ Minuman Beralkohol Tradisional adalah minuman beralkohol yang dibuat secara tradisional dan turun temurun ang dikemas secara sederhana dan pembuatannya dilakukan sewaktu – waktu, serta dipergunakan untuk kebutuhan adat istiadat atau upacara keagamaan”. Terhadap minuman beralkohol ini dikelompokkan dalam golongan – golongan sesuai dengan yang tercantum pada Pasal 3 Perpres Nomor 74 Tahun 2013 yaitu sebagai berikut:

a. Minuman Beralkohol golongan A adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) dengan kadar sampai dengan 5% (lima persen);

b. Minuman Beralkohol golongan B adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) dengan kadar lebih dari 5% (lima persen) sampai dengan 20% (dua puluh persen); dan

c. Minuman Beralkohol golongan C adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) dengan kadar lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 55% (lima puluh lima persen);

Minuman beralkohol tersebut ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan yang meliputi dari produksi dalam negeri atau asal impor serta peredaran dan penjualannya. Perpres Nomor 74 Tahun 2013 ini memasukkan minuman beralkohol golongan A menjadi kelompok minuman keras yang produksi, pengedaran dan penjualannya sebagai barang dalam pengawasan, berbeda dari Keppres Nomor 3 Tahun 1997 yang membebaskan minuman beralkohol golongan A.


(54)

  38

2.2.1 Pengadaan, Pengedaran dan Penjualan

Pengadaan minuman beralkohol golongan A, golongan B, dan golongan C berasal dari produksi dalam negeri dan impor. Untuk pengadaan minuman beralkohol yang berasal dari produksi dalam negeri hanya dapat diproduksi oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin usaha industri dari Menteri Perindustrian sedangkan minuman beralkohol yang berasal dari impor hanya dapat diimpor oleh pelaku usaha yang telah memiliki perizinan impor dari Menteri Perdagangan. Importir Terdaftar Minuman Beralkohol atau IT-MB adalah perusahaan yang mendapatkan penetapan untuk melakukan kegiatan impor minuman beralkohol. Perusahaan industri minuman beralkohol wajib menerapkan proses:

a. fermentasi untuk minuman beralkohol golongan A dan B; dan b. fermentasi dan destilasi untuk minuman beralkohol golongan C.

Perusahaan industri minuman beralkohol dalam melaksanakan produksi harus berpedoman pada cara produksi pangan olahan yang baik sesuai dengan Permen Perindustrian Nomor 75/ M-IND/ 7/ 2010 tentang Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik dan/ atau perubahannya. Wajib menerapkan Standar Nasional Indonesia atau SNI minuman beralkohol yang telah diberlakukan secara wajib, dan memenuhi ketentuan teknis mengenai golongan, jenis produk, proses produksi, mesin dan peralatan produksi, pengendalian mutu serta laboratorium industri minuman beralkohol.

Peredaran minuman beralkohol merupakan kegiatan menyalurkan minuman beralkohol yang dilakukan oleh distributor, sub distributor, pengecer, atau penjual


(1)

2.2. Pengertian Minuman Beralkohol

Minuman beralkohol secara hukum materiil diatur pertama kali pada Keppres Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Pada Pasal 1 Keppres Nomor 3 Tahun 1997, disebutkan yang dimaksud dengan minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi, baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak, maupun yang diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan ethanol atau dengan cara pengenceran minuman mengandung ethanol. Keppres Nomor 3 Tahun 1997 berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 42 P/ HUM/ 2012 yang merupakan putusan atas permohonan keberatan hak uji materiil menyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum, memerintahkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk mencabut Keppres Nomor 3 Tahun 1997. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 42 P/ HUM/ 2012 dipandang perlu untuk mengatur kembali pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran, dan penjual minuman beralkohol sehingga dapat memberikan perlindungan serta menjaga kesehatan, ketertiban dan ketentraman masyarakat dari dampak buruk terhadap penyalahgunaan minuman beralkohol, maka ditetapkan Perpres Nomor 74 Tahun 2013.

Pada Perpres Nomor 74 Tahun 2013 dijelaskan mengenai Minuman Beralkohol dan Minuman Beralkohol Tradisional pada Pasal 1 angka 1 mencantumkan bahwa, “Minuman Beralkohol adalah minuman yang mengandung


(2)

etil alkohol atau etanol (C2H5OH) yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi”. Pasal 1 angka 2 menjelaskan, “ Minuman Beralkohol Tradisional adalah minuman beralkohol yang dibuat secara tradisional dan turun temurun ang dikemas secara sederhana dan pembuatannya dilakukan sewaktu – waktu, serta dipergunakan untuk kebutuhan adat istiadat atau upacara keagamaan”. Terhadap minuman beralkohol ini dikelompokkan dalam golongan – golongan sesuai dengan yang tercantum pada Pasal 3 Perpres Nomor 74 Tahun 2013 yaitu sebagai berikut:

a. Minuman Beralkohol golongan A adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) dengan kadar sampai dengan 5% (lima persen);

b. Minuman Beralkohol golongan B adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) dengan kadar lebih dari 5% (lima persen) sampai dengan 20% (dua puluh persen); dan

c. Minuman Beralkohol golongan C adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) dengan kadar lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 55% (lima puluh lima persen);

Minuman beralkohol tersebut ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan yang meliputi dari produksi dalam negeri atau asal impor serta peredaran dan penjualannya. Perpres Nomor 74 Tahun 2013 ini memasukkan minuman beralkohol golongan A menjadi kelompok minuman keras yang produksi, pengedaran dan penjualannya sebagai barang dalam pengawasan, berbeda dari Keppres Nomor 3 Tahun 1997 yang membebaskan minuman beralkohol golongan A.


(3)

2.2.1 Pengadaan, Pengedaran dan Penjualan

Pengadaan minuman beralkohol golongan A, golongan B, dan golongan C berasal dari produksi dalam negeri dan impor. Untuk pengadaan minuman beralkohol yang berasal dari produksi dalam negeri hanya dapat diproduksi oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin usaha industri dari Menteri Perindustrian sedangkan minuman beralkohol yang berasal dari impor hanya dapat diimpor oleh pelaku usaha yang telah memiliki perizinan impor dari Menteri Perdagangan. Importir Terdaftar Minuman Beralkohol atau IT-MB adalah perusahaan yang mendapatkan penetapan untuk melakukan kegiatan impor minuman beralkohol. Perusahaan industri minuman beralkohol wajib menerapkan proses:

a. fermentasi untuk minuman beralkohol golongan A dan B; dan b. fermentasi dan destilasi untuk minuman beralkohol golongan C.

Perusahaan industri minuman beralkohol dalam melaksanakan produksi harus berpedoman pada cara produksi pangan olahan yang baik sesuai dengan Permen Perindustrian Nomor 75/ M-IND/ 7/ 2010 tentang Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik dan/ atau perubahannya. Wajib menerapkan Standar Nasional Indonesia atau SNI minuman beralkohol yang telah diberlakukan secara wajib, dan memenuhi ketentuan teknis mengenai golongan, jenis produk, proses produksi, mesin dan peralatan produksi, pengendalian mutu serta laboratorium industri minuman beralkohol.

Peredaran minuman beralkohol merupakan kegiatan menyalurkan minuman beralkohol yang dilakukan oleh distributor, sub distributor, pengecer, atau penjual


(4)

langsung untuk diminum di tempat, sesuai yang tercantum pada Pasal 1 angka 5 Permendag Nomor 20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014. Pengecer minuman beralkohol yang selanjutnya disebut Pengecer adalah perusahaan yang menjual minuman beralkohol kepada konsumen akhir dalam bentuk kemasan di tempat yang telah ditentukan. Pengecer dan penjual langsung hanya dapat memperdagangkan minuman beralkohol yang berasal dari Distributor atau Sub Distributor. Untuk penjualan minuman beralkohol golongan A, Distributor atau Sub Distributor wajib bertanggung jawab terhadap pengecer atau penjual langsung yang ditunjuk, sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (3) dan ayat (4) Permendag Nomor 20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014.

Terhadap penjualan minuman beralkohol, sesuai dengan ketentuan Perpres Nomor 74 Tahun 2013 pada Pasal 7 sebagai berikut:

(1) Minuman beralkohol golongan A, golongan B, dan golongan C hanya dapat dijual di:

a. hotel, bar, dan restoran yang memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang – undangan di bidang kepariwisataan;

b. toko bebas bea; dan

c. tempat tertentu selaini huruf a dan b yang ditetapkan oleh Bupati/ Walikota dan Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

(2) Penjualan dan/ atau peredaran Minuman Beralkohol di tempat tertentu yang ditetapkan oleh Bupati/ Walikota dan Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf c tidak berdekatan dengan tempat peribadatan, lembaga pendidikan dan rumah sakit.

(3) Selain tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Minuman Beralkohol golongan A juga dapat dijual di toko pengecer dalam bentuk kemasan. (4) Dengan mempertimbangkan karakteristik daerah dan budaya lokal, Bupati/

Walikota dan Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta dapat menetapkan pembatasan peredaran Minuman Beralkohol di tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3).

(5) Penjualan Minuman Beralkohol dilakukan terpisah dengan barang – barang jualan lainnya.


(5)

2.2.2 Pengendalian dan Pengawasan

Untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan masyarakat dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan, pada Pasal 8 Perpres Nomor 74 Tahun 2013 memberikan kewenangan kepada Bupati/ Walikota dan Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap produksi, peredaran dan penjualan Minuman Beralkohol Tradisional untuk kebutuhan adat istiadat atau upacara keagamaan di wilayah kerja masing – masing.

Menteri Perdagangan melaksanakan pengendalian dan pengawasan untuk peredaran dan penjualan minuman beralkohol dilakukan terhadap IT-MB, Distributor, Sub Distributor, Pengecer, dan Penjual Langsung sesuai dengan ketentuan Pasal 33 Permendag Nomor 20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014 sebagai berikut: a. Menteri dalam melaksanakan pengendalian dan pengawasan peredaran dan penjualan Minuman Beralkohol dapat berkordinasi dengen menteri teknis/ lembaga terkait;

b. Pengendalian dan pengawasan peredaran dan penjualan Minuman Beralkohol dilaksanakan oleh Dirjen Daglu, Dirjen PDN, Dirjen SPK dan/ atau Pemerintah Daerah sesuai tugas pokok dan fungsinya;

c. Dalam melakukan pengawasan peredaran dan penjualan Minuman Beralkohol dibentuk Tim Terpadau oleh Bupati. Walikota di daerah kabupaten/ kota, dan Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta. d. Tim Terpadu sebagaimana yang dimaksud pada huruf c terdiri dari unsur –

unsur:

1. Dinas yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan; 2. Dinas yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perindustrian; 3. Dinas yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan; 4. Dinas yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pariwisata;

5. Dinas yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang keamanan dan ketertiban;

6. Balai Pengawasan Obat dan Makanan sesuai wilayah kerjanya; dan 7. Dinas terkait lainnya.


(6)

Bahwa dengan ketentuan tersebut diatas, pihak – pihak yang terkait terhadap pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat yang mengkonsumsi minuman beralkohol.