HIPOSPADIA PROKSIMAL, UKURAN STENT URETRA ≤ 8 F DAN USIA SAAT OPERASI > 4 TAHUN MERUPAKAN FAKTOR RISIKO PANCARAN URIN YANG LEMAH PADA PASIEN HIPOSPADIA PASCA URETROPLASTI TEKNIK TUBULARIZED INCISED PLATE.

(1)

i

TESIS

JUDUL

HIPOSPADIA PROKSIMAL, UKURAN

STENT

URETRA

≤ 8

F DAN USIA SAAT OPERASI > 4 TAHUN

MERUPAKAN FAKTOR RISIKO

PANCARAN URIN YANG LEMAH PADA PASIEN

HIPOSPADIA PASCA URETROPLASTI

TEKNIK

TUBULARIZED INCISED PLATE

YULIUS WIMBO SINADHI SAKSONO

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

HIPOSPADIA PROKSIMAL, UKURAN

STENT

URETRA

8 F DAN USIA SAAT OPERASI > 4 TAHUN

MERUPAKAN FAKTOR RISIKO

PANCARAN URIN YANG LEMAH PADA PASIEN

HIPOSPADIA PASCA URETROPLASTI

TEKNIK

TUBULARIZED INCISED PLATE

YULIUS WIMBO SINADHI SAKSONO NIM 1014028203

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

ii

HIPOSPADIA PROKSIMAL, UKURAN

STENT

URETRA

8 F DAN USIA SAAT OPERASI > 4 TAHUN

MERUPAKAN FAKTOR RISIKO

PANCARAN URIN YANG LEMAH PADA PASIEN

HIPOSPADIA PASCA URETROPLASTI

TEKNIK

TUBULARIZED INCISED PLATE

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana

YULIUS WIMBO SINADHI SAKSONO NIM 1014028203

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

ii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 11 MEI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

dr. Gede Wirya Kusuma Duarsa,M.Kes.,Sp.U NIP 196809252005011001

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Dr.dr.Gde Ngurah Indraguna Pinatih,M.Sc.Sp.GK NIP 195805211985031002

Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH,PhD NIP 19430215196021001

Prof.Dr.dr.A.A. Raka Sudewi, SpS(K) NIP 195902151985102001


(5)

vii

LEMBAR PENGESAHAN Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal 11 MEI 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No. 2068/UN14.4/HK/2016, tanggal 9 Mei 2016

Penguji Ujian Tesis adalah :

1. dr. Gede Wirya Kusuma Duarsa, M.Kes., SpU 2. Prof. dr. Nyoman Tigeh Suryadhi, MPH, PhD 3. Dr. dr. Anak Agung Gde Oka, SpU

4. dr. I.N.W. Steven Christian, SpB(K)Onk 5. DR. dr. Wayan Sudarsa, SpB(K)Onk


(6)

vii ESIS


(7)

ii

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat – Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis dengan judul “Hipospadia Proksimal, Ukuran Stent Uretra ≤ 8 F dan Usia Saat Operasi > 4 Tahun Merupakan Faktor Risiko Pancaran Urin yang Lemah pada Pasien

Hipospadia Pasca Uretroplasti teknik Tubularized Incised Plate”.

Karya tulis ini adalah salah satu persyaratan dalam menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Bedah Umum di Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.

Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi – tingginya penulis haturkan kepada :

dr. Gede Wirya Kusuma Duarsa, Mkes., SpU selaku pembimbing utama penelitian yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan inspirasi, bimbingan, dan nasehat sehingga mempermudah penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini. Prof. dr. Nyoman Tigeh Suryadhi, MPH, PhD selaku pembimbing metodologi dan statistik dalam penelitian ini yang telah memberikan bimbingan dan masukan untuk memperlancar penyelesaian karya tulis ini.

Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, SpBS(K) selaku Kepala Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di program studi Bedah Umum. Dr. Ketut Wiargitha, SpB(K) Trauma selaku Ketua Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan dr. Putu Anda Tusta Adiputra, SpB(K)Onk. sebagai Sekretaris


(8)

vii

Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan pendidikan. Dr. Ida Bagus Darma Putra, SpB – KBD dan Seluruh Staf Pengajar Departemen / SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar sebagai guru dan teladan penulis yang dengan penuh dedikasi dan kesabaran telah banyak memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis selama mengikuti pendidikan Bedah Umum dan dalam menyelesaikan karya tulis ini.

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK, selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedik yang telah memberikan kesempatan mengikuti program Combined Degree. Dr. Anak Ayu Sri Saraswati, MKes selaku Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar di lingkungan rumah sakit yang beliau pimpin. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD–KEMD, selaku rektor Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan belajar di universitas yang beliau pimpin. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS (K) selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti pendidikan combined degree di program yang beliau pimpin. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang

telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Pendidikan Spesialis Bedah Umum di fakultas yang beliau pimpin.

Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada istri penulis dr. Rensa, SpPD dan putra penulis Rafael Jogo Sinadhi, serta orang tua penulis, (Alm) PC Samsiyono, Mg Sri Mulyati, (Alm) Severinus Jogo Sonny dan Hetty Flora atas cinta kasih, motivasi, dan dukungan yang tiada henti selama penulis menjalani pendidikan spesialis ini.


(9)

vii

Terakhir kepada dr. Teguh Dwi Nugroho, dr Deasy, dr. Agung Tananjaya serta seluruh rekan PPDS I Bedah Umum atas kerjasama, dukungan dan bantuannya dalam proses penelitian serta selama proses pendidikan dan juga tak lupa kepada seluruh staf dan paramedis di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah, seluruh staf sekretariat Bedah, serta paramedis di Instalasi Rawat Inap Bedah, Instalasi Rawat Jalan Bedah, dan staf badan koordinator pendidikan RSUP Sanglah Denpasar.

Akhir kata, penulis memohon maaf bila ada kesalahan ataupun kekurangan dalam penyusunan karya tulis ini dan berharap semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya.

Denpasar, Mei 2016


(10)

ii ABSTRAK

Hipospadia Proksimal, Ukuran Stent Uretra ≤ 8 F dan Usia Saat Operasi > 4 Tahun Merupakan Faktor Risiko Pancaran Urin Yang Lemah Pada Pasien

Hipospadia Pasca Uretroplasti Teknik Tubularized Incised Plate

Terapi utama hipospadia adalah dengan operasi, tujuannya untuk memperbaiki secara fungsional dan kosmetik. Teknik operasi yang paling sering dipakai dengan hasil yang baik adalah teknik Tubularized Incised Plate (TIP) yang biasanya banyak digunakan untuk koreksi hipospadia distal, namun belakangan dipakai pula untuk hipospadia proksimal.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor seperti: tipe hipospadia proksimal, ukuran stent uretra ≤ 8 F dan usia saat operasi > 4 tahun sebagai faktor risiko lemahnya pancaran urin pada pasien hipospadia pasca uretroplasti teknik TIP. Rancangan penelitiannya adalah case control study dengan jumlah subyek masing-masing kelompok 20 pasien. Subyek merupakan pasien hipospadia yang telah menjalani operasi di RS Sanglah sejak Januari 2012 – Desember 2015 yang memenuhi kriteria inklusi. Kemudian dilakukan pengukuran pancaran urin maksimal (Qmax) dan hasilnya dibandingkan dengan nilai normal. Didapatkan hasil median Qmax pada kelompok kasus (Qmax ≤ 10 ml/detik) sebesar 9,54 ml/detik, sedang pada kelompok kontrol (Qmax > 10 ml/detik) sebesar 22,49 ml/detik. Pada kelompok kasus ada 16 subyek dengan hipospadia proksimal, 14 subyek dengan ukuran stent ≤ 8 F, dan 9 subyek dengan usia saat operasi > 4 tahun, dari masing-masing 20 pasien. Dimana OR pada tipe hipospadia proksimal 16 (CI 2,8-101;p<0,05). Sedangkan ukuran stent uretra ≤ 8 F memiliki OR 1,9 (CI 0,4-8,6; p 0,327), dan umur saat operasi > 4 tahun memiliki OR 0,7 (CI 0,2-2,8; p 0,527).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tipe hipospadia proksimal merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap terjadinya pancaran urin yang lemah pada pasien hipospadia pasca uretroplasti teknik TIP.

Kata Kunci: Hipospadia proksimal, stent uretra, uretroplasti, Tubularized Incised Plate


(11)

ii ABSTRACT

Proximal Hipospadias, Urethral Stent size ≤ 8 F and Age of Operation > 4 years as a Risk Factors of Weak urinary stream on Hipospadias Patient after

Tubularized Incised Plate Uretroplasty

Operation is the only therapy for hypospadias whereas the aims of the operation are to restore functional and cosmetical physiology. There are so many different technic evolve since this abnormality discovered. The most wide spread use is Tubularized Incised Plate technic by Snodgrass. This technic usualy use to correct distal hipospadias, but nowdays began to use as the alternate method for proximal hypospadias

The aim of this study are to prove several factors i.e. proximal hypospadias type, urethral stent size ≤ 8 F and age of operation > 4 year as a risk factors of weak urinary stream on hipospadias patient after undergone TIP urethroplasty. This is a cross sectional study using 40 subject, 20 subject each group. Subject consisted of hypospadias patient who undergone operation at Sanglah hospital during January 2012 until December 2015 that matched with the inclusion criterias. We perform Qmax measurement to all this patients, and the result then compared with the normal Qmax poin (>10 ml/second).The result shows median Qmax is 9,54 ml/s and 22,49 ml/s for case and control group respectively. On the case group (Qmax ≤ 10 ml/second) 16 subject with proximal hypospadias, 14 with urethral stent ≤ 8 F, and 9 subjek with age of operation > 4 years. OR for proximal hypospadias type is 16 ( CI 2,8-101 and p 0,001), OR for urethral stent size ≤ 8 F is 1,9 ( CI 0,4-8,6 and p 0,327), and the OR for age of operation > 4 years is 0,7 ( CI 0,2-2,8 and p 0,527).

This result shows that the real factor that influencing the insident of weak urinary stream in hypospadias patient post uretroplasty TIP technic is the proximal hypospadias type.

Keywords: Proximal hypospadias, urethral stent, urethroplasty, Tubularized Incised Plate,


(12)

ii

DAFTAR ISI

Halaman JUDUL.... ... i

LEMBAR PENGESAHAN ...v

LEMBAR BUKTI UJI TESIS ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... 18 BAB IError! Bookmark not defined.PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not

defined.

1.1 Latar Belakang Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 1.2 Rumusan Masalah ... Error! Bookmark not defined. 1.3 Tujuan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 1.3.1 Tujuan Umum ... Error! Bookmark not defined. 1.3.2 Tujuan Khusus ... Error! Bookmark not defined. 1.4 Manfaat Penelitian ... Error! Bookmark not defined. BAB IIError! Bookmark not defined.TINJAUAN KEPUSTAKAAN ... Error!

Bookmark not defined.

2. 1. Definisi, Epidemiologi dan Etiologi Hipospadia ... Error! Bookmark not defined.

2. 2. Tipe Hipospadia ... Error! Bookmark not defined. 2. 3. Terapi Hipospadia ... Error! Bookmark not defined.


(13)

vii

2. 4. Teknik Operasi Hipospadia... Error! Bookmark not defined. 2. 5. Komplikasi Pasca Operasi Hipospadia .... Error! Bookmark not defined. 2. 6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Komplikasi Pasca Operasi Hipospadia ... Error! Bookmark not defined. 2.6.1 Tipe hipospadia ... Error! Bookmark not defined. 2.6.2 Teknik operasi yang dipakai ... Error! Bookmark not defined. 2.6.3 Penggunaan stent uretra ... Error! Bookmark not defined. 2.6.4 Waktu operasi ... Error! Bookmark not defined. 2. 7. Menilai Pancaran Urin ... Error! Bookmark not defined.

BAB IIIError! Bookmark not defined.KERANGKA BERPIKIR, KONSEP , DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... Error! Bookmark not defined. 3.1 Kerangka Berpikir ... Error! Bookmark not defined. 3.2 Hipotesis Penelitian ... Error! Bookmark not defined. BAB IVError! Bookmark not defined.METODE PENELITIAN ... Error!

Bookmark not defined.

4.1 Rancangan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 4.3 Subyek dan Sampel Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 4.3.1 Populasi target ... Error! Bookmark not defined. 4.3.2 Populasi terjangkau ... Error! Bookmark not defined. 4.3.3 Sampel penelitian ... Error! Bookmark not defined. 4.3.4 Besar sampel ... Error! Bookmark not defined. 4.3.5 Teknik pengambilan sampel ... Error! Bookmark not defined. 4.3.6 Kriteria pemilihan sampel ... Error! Bookmark not defined. 4.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... Error! Bookmark not


(14)

vii

4.4.1. Klasifikasi Variabel Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 4.4.2. Definisi operasional ... Error! Bookmark not defined. 4.5 Prosedur Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 4.6 AlurPenelitian ... Error! Bookmark not defined. 4.7 Analisis Data ... Error! Bookmark not defined. BAB VError! Bookmark not defined.HASIL DAN PEMBAHASAN ... Error!

Bookmark not defined.

5. 1 Hasil Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 5. 2 Pembahasan... Error! Bookmark not defined. BAB VIError! Bookmark not defined.SIMPULAN DAN SARAN... Error!

Bookmark not defined.

6. 1 Simpulan ... Error! Bookmark not defined. 6. 2 Saran ... Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined. LAMPIRAN - LAMPIRAN ... Error! Bookmark not defined.


(15)

ii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1. Klasifikasi hipospadia ... Error! Bookmark not defined. Gambar 2. 2. Gambaran klinis Hipospadia ... Error! Bookmark not defined. Gambar 2. 3. Tahapan dalam urethroplasty teknik TIP ... Error! Bookmark not

defined.

Gambar 43.1. Konsep Penelitian ... Error! Bookmark not defined. Gambar 54.1.Skema Rancangan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. Gambar 64.2. Alur Penelitian ... Error! Bookmark not defined. Gambar 75.1. Grafik frekuensi berdasarkan usia, Qmax, dan tipe hipospadia


(16)

ii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Parameter Uroflowmetry menurut usia dan gender ... Error! Bookmark not defined.

Tabel 24.1. Tabel 2x2 ... Error! Bookmark not defined.2 Tabel 25.1. Karakteristik usia saat operasi berdasarkan tipe hipospadia Error! Bookmark

not defined.

Tabel 35.2 Karakteristik Qmax berdasarkan tipe hipospadia ... Error! Bookmark not defined.

Tabel 45.3. Karakteristik Qmax berdasarkan usia saat operasi ... Error! Bookmark not defined.

Tabel 5.4. Karakteristik Subyek Berdasarkan Kelompok Kontrol dan Kasus ... Error! Bookmark not defined.

Tabel 65.5. Hasil Analisis Bivariabel Hipospadia Proksimal, Ukuran Stent Uretra ≤ 8 F dan Usia Saat Operasi > 4 Tahun Merupakan Faktor Risiko Pancaran Urin Yang Lemah Pada Pasien Hipospadia Pasca Uretroplasti Teknik Tubularized Incised Plate ... Error! Bookmark not defined. Tabel 75.6. Hasil Analisis Multivariabel Hipospadia Proksimal, Ukuran Stent Uretra ≤ 8

F dan Usia Saat Operasi > 4 Tahun Merupakan Faktor Risiko Pancaran Urin Yang Lemah Pada Pasien Hipospadia Pasca Uretroplasti Teknik Tubularized Incised Plate ... Error! Bookmark not defined.


(17)

ii

DAFTAR SINGKATAN

F : French

GAP : Glans Approximation Procedures MAGPI : Meatal Advancment Glansplasty

OR : Odds Ratio

Qmax :Q maximal Qavg : Q Average

TIF : Transverse Island Flap TIP : Tubularized Incised Plate > : Lebih besar


(18)

ii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Kelaikan Etik ... Error! Bookmark not defined. Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian ... Error! Bookmark not defined. Lampiran 3 Data Subyek Penelitian ... Error! Bookmark not defined. Lampiran 4 Analisis Statistik ... Error! Bookmark not defined. Lampiran 5 Persetujuan Penelitian... Error! Bookmark not defined. Lampiran 6 Data Deskriptif Pasien Hipospadia Sanglah 2009-2015... Error! Bookmark not defined.


(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Kelahiran sebagai suatu proses alamiah selain menghasilkan bayi normal, sebagian lainnya memiliki kemungkinan disertai suatu kelainan kongenital/bawaan. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya kelainan tersebut, baik yang sudah dipahami maupun yang sedang diteliti. Usaha untuk terus mencari solusinya masih berlanjut.

Salah satu kelainan kongenital yang dapat terjadi pada bayi laki-laki adalah hipospadia. Kelainan ini merupakan kelainan kongenital kedua paling sering pada pria, ditemukan dengan angka kejadian sekitar 1 dalam 300 kelahiran (Snodgrass dan Bush, 2014). Etiologinya masih belum begitu jelas, namun diyakini bahwa kelainan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik dan hormonal, serta paparan polutan dari lingkungan (Djakovic et al, 2008; Demir et al, 2014). Hipospadia didefinisikan sebagai suatu kelainan bawaan yang ditandai dengan adanya abnormalitas dari letak meatus uretra yang bukan berada di ujung penis melainkan di bagian ventral dari penis, dengan disertai abnormalitas bentuk penis dimana penis melengkung ke arah ventral (chordae), serta adanya kekurangan atau deficiency dari kulit preputium di bagian ventral penis (Lambert et al, 2011). Kelainan ini memberikan pengaruh terhadap fungsi miksi, reproduksi dan kosmetik (Snodgrass dan Bush, 2014).


(20)

2

Hipospadia dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan letak meatusnya, dimulai dari yang paling distal yaitu: tipe glanular, kemudian subcoronal, mid-shaft, proximal penile, penoscrotal, scrotal dan yang paling distal tipe perineal. Derajat hipospadia ditentukan dari letak meatusnya dan ada atau tidaknya/berat ringannya chordae (Hadidi et al, 2004).

Terapi satu-satunya untuk kondisi ini adalah dengan operasi, dengan tujuan untuk memperbaiki defek anatomisnya dan mengembalikan fungsi fisiologisnya. Hasil operasi yang maksimal sangatlah penting karena apabila hal tersebut tidak tercapai dengan baik maka akan menimbulkan permasalahan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak dalam hal fisiologis dan psikososial. Bentuk penis yang melengkung serta muara uretra yang tidak berada di ujung penis akan menyulitkannya dalam melakukan miksi karena aliran urine akan mengarah ke belakang atau ke bawah dan bukan ke arah depan. Demikian pula bila anak nanti tumbuh dewasa, kelainan bentuk tersebut akan menyulitkannya dalam melakukan coitus dan ejakulasi (Gonzalez danLudwikowski, 2011).

Operasi repair hipospadia atau disebut juga uretroplastimerupakan operasi yang sulit dan membutuhkan ketrampilan yang tinggi (Winberg et al, 2014). Sejak mulai diketemukannya kelainan ini sampai sekarang, telah lebih dari 300 teknik operasi dikembangkan, hal ini menunjukkan bahwa belum ada teknik yang menjadi gold standard dalam penanganannya, disamping itu merefleksikan pula masih tingginya kejadian komplikasi yang timbul dari teknik yang telah dipakai (Winberg et al, 2014). Teknik operasi yang paling banyak digunakan saat ini adalah yang diperkenalkan oleh Snodgrass tahun 1994, yaitu teknik Tubularized


(21)

3

Incised Plate (TIP) (Andersson et al, 2015). Secara umum tekniknya adalah dengan melakukan insisi midline sampai ke urethral plate melebarkannya sampai mencukupi untuk dibentuk menjadi neo urethra. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa teknik ini memberikan angka komplikasi yang cukup rendah dan angka keberhasilan yang cukup tinggi (Springer et al, 2011).

Komplikasi yang timbul pasca operasi tersebut dapat terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah: usia saat dilakukan operasi, dikatakan bahwa operasi pada usia dini akan memberikan hasil yang lebih baik dengan komplikasi yang lebih rendah, namun usia yang terlalu dini juga akan memberikan sejumlah dampak baik bagi pasien diantaranya paparan terhadap zat anestesi yang terlalu dini, kemudian bagi operator, ukuran penis yang terlalu kecil akan pula memberikan kesulitan dalam teknik operasinya. Faktor berikutnya adalah derajat hipospadianya (dilihat dari posisi muara uretra dan ada atau tidaknya chordae), semakin proksimal suatu muara uretra akan memberikan resiko terjadinya komplikasi yang lebih tinggi. Faktor selanjutnya adalah pemakaian stent pada uretra, serta teknik operasi yang dipilih disamping juga kemampuan dari ahli bedahnya sendiri turut berperan (Bayne dan Jones, 2010). Pemakaian stent uretra pasca pembuatan uretra baru bertujuan untuk menjaga patensi saluran yang baru, dan supaya tidak terjadi stenosis pada tempat sambungan sekaligus membantu mengalirkan urin dari buli (Hadidi et al, 2004). Meskipun masih ada kontroversi yang menyebutkan bahwa uretroplasti tanpa pemasangan stent dapat dilakukan (Mousavi dan Aarabi, 2014) namun banyak pakar berpendapat penggunaan stent sangat penting. Di RS Sanglah semua teknik


(22)

4

repair hipospadias menggunakan pemasangan stent. Sedangkan mengenai ukuran stent yang ideal dengan risiko komplikasi yang kecil belum banyak jurnal yang membahasnya.

Dari sekian macam komplikasi yang dapat terjadi, yang paling sering adalah fistula urethrocutan, diikuti oleh meatal stenosis, stricture urethra, diverticulum urethra, glans dehiscence,persistant chordae dan tampilan kosmetis yang kurang memuaskan (Bayne dan Jones 2010; Springer et al, 2014). Adanya komplikasi tersebut dapat menimbulkan dampak diantaranya adalah gangguan pada pancaran urin, dimana kekuatan pancarannya menjadi melemah atau tersendat. Kelainan ini sering kali tidak memberikan keluhan sehingga sering terlewatkan atau tidak disadari oleh pasien (Eassa et al, 2012; Spinoit dan Hoebeke, 2015). Bila hal ini dibiarkan maka akan dapat menimbulkan dampak yang cukup serius sampai kerusakan ginjal.

Metode noninvasif untuk mengukur pancaran urin yang paling banyak dipakai adalah dengan menggunakan uroflowmeter. Dengan alat ini dapat diukur berapa pancaran urin rata-rata (Qavg), pancaran urin maksimal (Qmax) , jumlah urin yang keluar (Voiding Volume), serta dapat terlihat pola pancaran urinnya (flow pattern) . Dari semua parameter tersebut, yang paling penting untuk menilai fungsi miksi adalah Qmax (Yang et al, 2011).

Penelitian mengenai kekuatan pancaran urine pasca operasi hipospadia yang dikaitkan dengan faktor-faktor risiko perioperatif yang mempengaruhinya masih sangat jarang, dan belum pernah dilakukan terutama di Bali, oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk meneliti mengenai perihal tersebut.


(23)

5 1.2 Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu:

1. Apakah tipe hipospadia proksimal merupakan faktor risiko pancaran urin yang lemah pada pasien hipospadia pasca uretroplasti teknik TIP?

2. Apakah ukuran stent uretra ≤ 8 F merupakan faktor risiko pancaran urin yang lemah pada pasien hipospadia pasca uretroplasti teknik TIP?

3. Apakah usia saat dilakukan operasi > 4 tahun merupakan faktor risiko pancaran urin yang lemah pada pasien hipospadia pasca uretroplasti teknik TIP?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor risiko terjadinya pancaran urin yang lemah pada pasien hipospadia pasca uretroplasti teknik TIP.

1.3.2 Tujuan Khusus Untuk Mengetahui bahwa :

1. Tipe hipospadia proksimal merupakan faktor risiko pancaran urin yang lemah pada pasien hipospadia pasca uretroplasti teknik TIP.

2. Ukuran stent uretra ≤ 8 F merupakan faktor risiko pancaran urin yang lemah pada pasien hipospadia pasca uretroplasti teknik TIP.

3. Usia saat dilakukan operasi > 4 tahun merupakan faktor risiko pancaran urin yang lemah pada pasien hipospadia pasca uretroplasti teknik TIP.


(24)

6

1.4 Manfaat Penelitian Manfaat Akademis:

- Dapat sebagai bahan pelengkap acuan penelitian selanjutnya mengenai hipospadia.

Manfaat Praktis:

1. Dengan didapatkan pengaruh dari faktor-faktor risiko tersebut terhadap lemahnya pancaran urin pada pasien hipospadia pasca uretroplasti, maka sejak awal dapat diantisipasi dan bila memungkinkan dihindari.

2. Dapat sebagai bahan pelengkap acuan untuk edukasi bagi orang tua mengenai risiko yang mungkin timbul pasca operasi hipospadia.

3. Dapat merupakan metode penapisan sederhana untuk mengetahui adanya komplikasi pasca uretroplasti yang dapat dilakukan sendiri oleh orang tua pasien.


(25)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2. 1. Definisi, Epidemiologi dan Etiologi Hipospadia

Hipospadia didefinisikan sebagai suatu defek dalam pembentukan aspek ventral dari penis yang disertai dengan abnormalitas dari meatus uretra dimana meatus uretra berada di proksimal dari ujung penis dan letaknya di bagian ventral dengan bentuk penis yang melengkung ke arah ventral (dengan atau tanpa chordae) serta adanya defisiensi dari kulit preputium bagian ventral atau disebut pula dorsal hood (Lambert et al, 2011). Merupakan kelainan kongenital yang sering terjadi pada bayi laki-laki, dengan angka kejadian mencapai 1 dari 300 kelahiran (Snodgrass dan Bush, 2014).

Penyebab terjadinya kelainan ini masih belum diketahui dengan pasti. Namun diyakini bahwa hal ini terjadi karena adanya gangguan pada pembentukan urethral plate secara genetik yang dipengaruhi secara hormonal dan enzimatik. Sebagian menyebutkan ada kaitannya dengan abnormalitas pada metabolisme androgen, dan disrupsi endokrin (Baskin dan Ebbers, 2006). Insidennya yang cenderung meningkat dimungkinkan karena pengaruh polusi lingkungan yang makin tinggi, dalam hal ini banyaknya paparan zat-zat yang mengandung estrogen seperti jenis pestisida tertentu, obat-obatan herbal dan lain sebagainya (Djakovic et al, 2008; Kalfa et al, 2011).


(26)

2

2. 2. Tipe Hipospadia

Secara umum pembagian tipe hipospadia didasarkan pada letak dari meatusnya. Sejumlah pakar telah menyusun pembagian tersebut, dimulai dari Smith yang membagi hipospadia menjadi tiga derajat, derajat satu bila letak meatusnya dari corona sampai shaft penis bagian distal, derajat dua mulai dari distal shaft sampai penoscrotal junction, derajat tiga mulai dari penoscrotal junction sampai ke perineum. Kemudian menyusul pakar-pakar lain dengan klasifikasinya. Namun klasifikasi-klasifikasi tersebut tidak terlalu memperhitungkan berat ringannya chordae dan pengaruhnya terhadap lokasi muara uretra. Barca pada tahun 1973 menyusun pembagian hipospadia berdasarkan letak muara uretra setelah dilakukan release dari curvatura penis (Hadidi et al, 2004).

Gambar 2. 1.


(27)

3

Hipospadia distal lebih banyak dijumpai pada populasi barat, sedang hipospadia proksimal lebih banyak di Asia (Subramaniam et al, 2011).

Gambar 2. 2.

Gambaran klinis Hipospadia A. Glandular. B. Subcoronal. C. Midshaft. D. Penoscrotal. E. Scrotal. F. Perineal (Baskin dan Ebbers, 2006)

2. 3. Terapi Hipospadia

Penatalaksanaan satu-satunya untuk hipospadia adalah dengan operasi. Tujuan dari prosedur ini secara ringkas ada 5, yaitu: untuk mendapatkan bentuk penis yang lurus, memposisikan muara uretra di ujung penis, menormalkan kembali fungsi ejakulasi dan berkemih, membuat uretra yang adekuat dengan kaliber yang sama serta bentuk kosmetik dari penis dan glans penis yang simetris. Di mana langkah-langkah prosedurnya dapat disusun sebagai berikut:


(28)

4

1. Chodectomy - Orthoplasty (meluruskan penis), 2. Urethroplasty, 3. Meathoplasty dan Glanuloplasty, 4. Scrotoplasty dan 5. Skin coverage (Baskin dan Ebbers, 2006; Snodgrass dan Bush, 2014).

2. 4. Teknik Operasi Hipospadia

Selama beratus tahun sejak pertama kali didokumentasikannya kasus hipospadia pada zaman Kerajaan Romawi, telah berkembang berbagai macam teknik operasi hipospadia (Lambert et al, 2011). Ada sekitar 300 jenis teknik yang dikembangkan, hampir setiap ahli bedah memiliki variasi dan teknik tersendiri. Hal ini menunjukkan bahwa belum ada teknik yang paling sempurna (gold standard) untuk terapi hipospadia. Pemilihan teknik yang digunakan untuk koreksi hipospadia umumnya bergantung dari letak muara dari uretranya, meskipun demikian preferensi dari ahli bedahnya pun turut berperan. Teknik yang banyak dipakai dan dianggap cukup baik dengan resiko komplikasi yang lebih rendah adalah teknik Tubularized Incised Plate (TIP) yang ditemukan oleh Snodgrass. Teknik ini biasanya dipakai untuk mengkoreksi hipospadia yang muara uretranya ada di midshaft, atau shaft penis yang letaknya di distal. Prinsip dasar teknik ini adalah membuat insisi midline sampai ke urethral plate yang disesuaikan sehingga bidang yang dihasilkan dapat dibuat suatu neourethra. Sejalan dengan perkembangan teknologi dan material bedah, teknik ini mulai banyak digunakan untuk hipospadia proksimal dengan hasil operasi yang cukup baik.

Tahapan operasi untuk teknik TIP ini secara umum adalah: pertama identifikasi dari urethral platenya, buat rancangan bagian yang akan diinsisi.


(29)

5

Kemudian lakukan insisi longitudinal pada kedua sisi urethral plate sepanjang garis batas urethral plate dan glans wing selanjutnya yang sangat penting adalah membuat insis pada garis tengah urethral plate. Kemudian dilakukan pemasangan stent sebagai penyangga urethra baru, dan dilanjutkan dengan dilakukan penjahitan tubularisasi. Jahitan pada uretra baru kemudian dilapisi dengan flap dari fascia dartos, kemudian ditutup dengan kulit.

Gambar 2. 3.


(30)

6

Untuk muara penis yang terletak di glandular dapat digunakan teknik Meatal Advancement Glansplasty (MAGPI) atau dapat pula menggunakan teknik Glans Approximation Procedures (GAP). Teknik lain yang juga umum dipakai adalah Mathieu’s procedures. Untuk Hipospadia yang letaknya di proksimal khususnya di penoscrotal, scrotal maupun perineal, teknik-teknik yang biasa dipakai adalah Onlay technique, Duckett-flap, dan juga teknik operasi two step ( Hadidi et al, 2004; Djakovic et al, 2008).

2. 5. Komplikasi Pasca Operasi Hipospadia

Meskipun dengan teknik dan sarana operasi yang semakin berkembang operasi repair hipospadia masih merupakan suatu prosedur yang sulit dan rentan terhadap timbulnya komplikasi pasca operasi. Struktur organ dan jaringan penyokongnya yang halus dan rentan, suplai pembuluh darah dari flapnya yang sangat tergantung pada jaringan di sekitarnya, uretra baru yang dekat sekali dengan urine dan perineum membuatnya rentan terhadap infeksi dan juga pasien yang masih anak-anak yang umumnya kurang kooperatif merupakan sejumlah faktor yang dapat menghalangi keberhasilan operasi (Bayne dan Jones, 2010).

Komplikasi yang dapat terjadi pasca operasi hipospadi secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu

1. Komplikasi segera

Komplikasi ini dapat terjadi segera setelah operasi atau beberapa hari kemudian. Yang termasuk dalam komplikasi segera diantaranya adalah: iskemia jaringan, perdarahan dan hematoma, infeksi luka operasi dan terbukanya luka operasi (wound dehiscence). Pencegahan untuk terjadinya


(31)

7

komplikasi ini adalah dengan penanganan jaringan yang hati-hati saat operasi dengan memperhitungkan pasokan darah untuk flap yang dibuat. Apabila komplikasi ini muncul biasanya penanganannya secara konservatif, bila tidak membaik mungkin diperlukan operasi berikutnya untuk debridement luka atau bila perlu dilakukan revisi (Bayne dan Jones, 2010).

2. Komplikasi lambat

Komplikasi ini muncul dalam hitungan hari, bulan bahkan tahun. Yang termasuk dalam komplikasi lambat ini adalah:

- Urethrocutaneus fistula

Merupakan komplikasi yang paling terjadi, dan semakin komplek tipe hipospadia dan operasinya resiko terjadinya fistula semakin tinggi. Komplikasi ini dapat terjadi oleh berbagai macam sebab diantaranya karena edema yang mengganggu suplai darah, adanya infeksi dan hematoma yang mengganggu penyembuhan luka pada uretra baru, adanya obstruksi di distal sehingga menyebabkan tekanan yang tinggi saat kencing yang mengakibatkan lepasnya jahitan di bagian proksimal. Penanganannya tergantung pada ukuran dan letak fistulanya. Bila fistulanya kecil biasanya dapat menutup sendiri, namun bila ukurannya besar kemungkinan akan membutuhkan tindakan operasi untuk menutupnya.

- Striktur uretra

Merupakan komplikasi kedua tersering. Umumnya striktur ini terjadi pada tempat anastomose jahitan seperti di meatus, kamudian di akhir penutupan glans, ataupun juga pada bagian proksimal jahitan uretra baru. Striktur ini


(32)

8

biasanya nampak jelas kurang dari 3 bulan setelah operasi yang ditandai dengan lemahnya pancaran urin, anak harus mengedan saat kencing, pancaran urin yang menyebar atau adanya infeksi pada traktus urinarius. Keluhan ini apabila masih ringan seringkali tidak terlalu diperhatikan dan sering terlewatkan. Dan bila terus dibiarkan dapat menimbulkan komplikasi yang lebih serius seperti pyelonefritis bahkan gagal ginjal. Penyebab terjadinya striktur diantaranya adalah desain uretra baru yang kurang baik, jahitan yang terlalu tegang, spatulasi pada lokasi anastomosis yang kurang adekuat. Penatalaksanaannya dapat dengan konservatif yaitu dengan dilatasi atau endoskopi, bila tidak berhasil atau apabila strikturnya panjang maka perlu dilakukan revisi urethroplasti.

- Komplikasi lainnya yang mungkin terjadi adalah divertikulum uretra, persisten chordae, komplikasi meatal dan komplikasi lain dalam uretra serta masalah psikiatri (Bayne dan Jones, 2010).

2. 6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Komplikasi Pasca Operasi Hipospadia

Beberapa faktor diyakini berperan dalam menentukan hasil operasi, diantaranya adalah:

2.6.1 Tipe hipospadia

Dari pemeriksaan fisik yang seksama akan diperoleh data mengenai letak dari meatusnya, ada tidaknya chordae serta ada tidaknya kelainan kongenital lain yang menyertai. Hipospadia tipe proksimal disebutkan berhubungan dengan resiko terjadi komplikasi yang lebih besar dibandingkan letak yang lebih distal


(33)

9

karena uretra baru akan ukurannya akan lebih panjang dengan resiko terjadinya kegagalan yang lebih tinggi. Demikian pula dengan adanya chordae akan turut berperan dalam terjadinya resiko komplikasi pasca operasi (Bayne dan Jones, 2010).

2.6.2 Teknik operasi yang dipakai

Pemilihan teknik operasi yang tepat sesuai dengan kondisi hipospadia memegang peranan yang penting pula dalam keberhasilan operasi dan mencegah timbulnya komplikasi pasca operasi. Secara umum teknik operasi yang digunakan dapat diklasifikasikan berdasarkan prosedur rekonstruksi uretranya, yaitu teknik advancement, tubularisasi, dan penggunaan flap atau graft.

Untuk hipospadia distal, contoh teknik advancement yang digunakan adalah teknik MAGPI (Meatal Advancement and Glanuloplasty), merupakan teknik yang sering dipakai untuk hipospadia tipe glandular. Rerata komplikasinya cukup rendah dan reoperasi umumnya jarang terjadi. Namun kadangkala bentuk meatus yang dihasilkan kurang natural. Kemudian teknik tubularisasi untuk hipospadia distal adalah teknik TIP (Tubularized Incised Plate), merupakan teknik yang paling banyak digunakan dan paling berkembang dengan resiko komplikasi yang rendah dan hasil kosmetik dan fungsional yang baik. Namun teknik ini kurang sesuai untuk digunakan pada prosedur operasi dua tahap. Teknik tubularisasi selanjutnya untuk distal hipospadia adalah teknik GAP (Glans Approximation Plasty). Dapat digunakan pada urethral plate yang cukup lebar sehingga dapat langsung ditutup tanpa membutuhkan insisi pada platenya. Sedangkan teknik flap untuk hipospadia distal adalah dengan menggunakan


(34)

10

Teknik Mathieu. Teknik ini lebih dahulu ditemukan dibanding TIP dan telah cukup berkembang dan mengalami banyak modifikasi. Pengunaannya tergantung dari penilaian dan preferensi dari ahli bedahnya. Resiko komplikasinya cukup rendah dan banyak dipengaruhi oleh keahlian dari operator.

Untuk hipospadia mid-shaft dapat menggunakan teknik onlay island flap. Sedang untuk yang proksimal dibagi menjadi dua, yaitu teknik satu tahap dan dua tahap. Untuk teknik satu tahap yang sering digunakan adalah teknik TIF (Transverse Island Flap), TIP dan teknik Koyanagi-Nonomura. Sedangkan teknik dua tahap biasanya digunakan teknik Bracka (Subramaniam et al, 2011).

Pemilihan teknik yang tepat dengan disertai kemampuan dari ahli bedahnya akan sangat berperan terhadap keberhasilan operasi dan resiko terjadinya komplikasi pasca operasi.

2.6.3 Penggunaan stent uretra

Pemasangan stent ini penting untuk menjaga patensi dari uretra baru yang dibuat, agar tidak kolaps dan juga untuk mencegah terjadinya striktur maupun stenosis. Meskipun masih ada perbedaan pendapat mengenai perlu tidaknya pemakaian stent ini (Radwan et al, 2012), namun sebagian besar ahli berpendapat bahwa pemasangan stent ini bermanfaat. Mereka memilih untuk mempertahankan stent selama 7-10 hari. Sedang sebagian lainnya berpendapat bahwa mempertahankan stent dalam waktu lama di dalam uretra yang baru akan menyebabkan iritasi dan mengganggu proses penyembuhan (Hadidi et al, 2006).

Mengenai ukuran yang tepat untuk stent yang digunakan belum ada patokan standarnya. Ukuran yang biasa digunakan adalah 6,8,10 dan 12 F,


(35)

11

disesuaikan dengan usia dan diameter lumen uretra. Pemakaian stent ini juga dikaitkan dengan resiko terjadinya komplikasi berupa bladder spasme (Turial et al, 2010). Apakah ukuran dari stent tersebut juga berkaitan dengan timbulnya komplikasi pasca operasi belum ada penelitian yang menyebutkan hal tersebut (Subramaniam et al, 2011).

2.6.4 Waktu operasi

Disebutkan bahwa usia ideal untuk operasi pada pasien hipospadi adalah sebelum anak mulai sekolah, dengan usia ideal antara 6-12 bulan. Alasannya pada usia tersebut anak belum dapat mengingat trauma suatu operasi, belum menyadari mengenai persepsi tubuh dan identitas seksualnya, dan juga belum berinteraksi sosial dengan teman-teman seusianya. Sehingga tidak akan mengganggu perkembangan emosional dan psikisnya (Weber et al, 2009). Namun permasalahannya pada usia tersebut ukuran penis masih sangat kecil sehingga memberikan kesulitan lebih dalam teknik operasinya. Kisaran usia yang ideal berikutnya adalah antara 2,5 – 4 tahun atau 4 – 5 tahun. Sejalan dengan bertambahnya usia maka resiko untuk terjadinya komplikasi juga semakin meningkat (Yildiz et al, 2013).

2. 7. Menilai Pancaran Urin

Salah satu komplikasi yang sering muncul adalah gangguan pada pancaran urin pasca operasi. Umumnya orang tua atau pun pasien tidak terlalu menyadari adanya abnormalitas ini karenanya sering tidak diperhatikan, atau karena tidak terlalu dikeluhkan. Gangguan ini dapat muncul dapat sebagai akibat dari komplikasi operasi berupa adanya striktur uretra, meatal stenosis maupun


(36)

12

compliance atau tahanan dari dinding urethra yang tidak sama. Namun dapat juga terjdai karena sebab lain misalnya adanya gangguan neurologis pada kandung kencing (bladder spasme), adanya penyakit pada ginjal yang mempengaruhi fungsi dan produksi urin, adanya trauma pada penis atau perineum yang menyebabkan kerusakan uretra, adanya infeksi pada saluran kencing sehingga mengakibatkan rasa nyeri saat kencing.

Metode untuk mengukur pancaran urin telah berkembang sejak pertama kali diperkenalkan oleh Johansen pada tahun 1953 dengan menggunakan gelas ukur dan stopwatch. Saat ini alat yang paling sering digunakan adalah Uroflowmetry. Metode yang dipakai sederhana dan tidak invasif. Dengan alat ini dapat diukur berapa pancaran urin rata-rata (Qavg), pancaran urin maksimal (Qmax), Volume urin yang dikeluarkan (Vvoid).

Pada penelitian ini karena ketidaktersediannya alat uroflowmetry maka peneliti menggunakan metode lain untuk mengukur pancaran urine maksimal. Dalam penelitian sebelumnya oleh Hadiwidjadja (2000), Qmax dapat ditentukan dengan cara mengkalikan Qavg dengan suatu konstanta yang didapatkan dari penelitian tersebut yang besarnya adalah 2,07. Qavg sendiri dapat diperoleh dengan membagi volume urin dengan waktu yang diperlukan untuk kencing. Jumlah minimal volume urin yang dianggap bermakna dan dapat diukur adalah bila volumenya > 100 cc dalam sekali pengukuran (Spinoid et al, 2015).

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari sejumlah penelitian, nilai normal pancaran urin pada anak-anak bervariasi. Gupta dan Sankhwar (2013)


(37)

13

merangkum hasil penelitiannya tentang Uroflowmetry Nomograms pada anak yang sehat usia 5-15 tahun disusun dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 2.1.

Parameter Uroflowmetry menurut usia dan gender (Gupta dan Sankhwar, 2013)

Mean + SD Uroflowmetry

Parameters

Age 5-10 Yrs Age 11-15 Yrs

Boys Girls P Value Boys Girls P Value

Voided vol (ml)

120,93 ± 61,56

169,12 ±

125,01 0,006

214,93 ± 129,10

218,45 ±

118,09 0,55

Qmax (ml/sec)

15,26 ±

4,54 17,98± 6,06 <0,0001

22,50 ± 7,24

27,16 ±

9,37 <0,0001

Qavg (ml/sec)

7,68 ±

3,26 9,19 ± 4,23 0,002

10,78 ± 4,03

13,48 ±

5,21 <0,0001 Time to Qmax

(sec)

3,59 ±

2,48 3,93 ± 3,24 0,85 5,23 ± 4,84 4,28 ± 3,25 0,1

Flow time (sec)

14,25 ± 7,86

15,82 ±

8,45 0,15

17,83 ± 9,15

15,19 ±

7,15 0,002

Dalam tabel ini nilai normal Qmax untuk anak laki-laki usia 5-10 tahun adalah 15,26 ± 4,54 ml/detik dan untuk usia 11-15 tahun sebesar 22,50 ± 7,24 ml/detik. Berdasarkan data tersebut pada penelitian ini diambil patokan untuk menentukan nilai Qmax normal adalah bila hasilnya lebih dari 15,26 – 4,54 = 10,72 dibulatkan menjadi 10 ml/detik.


(1)

biasanya nampak jelas kurang dari 3 bulan setelah operasi yang ditandai dengan lemahnya pancaran urin, anak harus mengedan saat kencing, pancaran urin yang menyebar atau adanya infeksi pada traktus urinarius. Keluhan ini apabila masih ringan seringkali tidak terlalu diperhatikan dan sering terlewatkan. Dan bila terus dibiarkan dapat menimbulkan komplikasi yang lebih serius seperti pyelonefritis bahkan gagal ginjal. Penyebab terjadinya striktur diantaranya adalah desain uretra baru yang kurang baik, jahitan yang terlalu tegang, spatulasi pada lokasi anastomosis yang kurang adekuat. Penatalaksanaannya dapat dengan konservatif yaitu dengan dilatasi atau endoskopi, bila tidak berhasil atau apabila strikturnya panjang maka perlu dilakukan revisi urethroplasti.

- Komplikasi lainnya yang mungkin terjadi adalah divertikulum uretra, persisten chordae, komplikasi meatal dan komplikasi lain dalam uretra serta masalah psikiatri (Bayne dan Jones, 2010).

2. 6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Komplikasi Pasca

Operasi Hipospadia

Beberapa faktor diyakini berperan dalam menentukan hasil operasi, diantaranya adalah:

2.6.1 Tipe hipospadia

Dari pemeriksaan fisik yang seksama akan diperoleh data mengenai letak dari meatusnya, ada tidaknya chordae serta ada tidaknya kelainan kongenital lain yang menyertai. Hipospadia tipe proksimal disebutkan berhubungan dengan resiko terjadi komplikasi yang lebih besar dibandingkan letak yang lebih distal


(2)

karena uretra baru akan ukurannya akan lebih panjang dengan resiko terjadinya kegagalan yang lebih tinggi. Demikian pula dengan adanya chordae akan turut berperan dalam terjadinya resiko komplikasi pasca operasi (Bayne dan Jones, 2010).

2.6.2 Teknik operasi yang dipakai

Pemilihan teknik operasi yang tepat sesuai dengan kondisi hipospadia memegang peranan yang penting pula dalam keberhasilan operasi dan mencegah timbulnya komplikasi pasca operasi. Secara umum teknik operasi yang digunakan dapat diklasifikasikan berdasarkan prosedur rekonstruksi uretranya, yaitu teknik advancement, tubularisasi, dan penggunaan flap atau graft.

Untuk hipospadia distal, contoh teknik advancement yang digunakan adalah teknik MAGPI (Meatal Advancement and Glanuloplasty), merupakan teknik yang sering dipakai untuk hipospadia tipe glandular. Rerata komplikasinya cukup rendah dan reoperasi umumnya jarang terjadi. Namun kadangkala bentuk meatus yang dihasilkan kurang natural. Kemudian teknik tubularisasi untuk hipospadia distal adalah teknik TIP (Tubularized Incised Plate), merupakan teknik yang paling banyak digunakan dan paling berkembang dengan resiko komplikasi yang rendah dan hasil kosmetik dan fungsional yang baik. Namun teknik ini kurang sesuai untuk digunakan pada prosedur operasi dua tahap. Teknik tubularisasi selanjutnya untuk distal hipospadia adalah teknik GAP (Glans Approximation Plasty). Dapat digunakan pada urethral plate yang cukup lebar sehingga dapat langsung ditutup tanpa membutuhkan insisi pada platenya. Sedangkan teknik flap untuk hipospadia distal adalah dengan menggunakan


(3)

Teknik Mathieu. Teknik ini lebih dahulu ditemukan dibanding TIP dan telah cukup berkembang dan mengalami banyak modifikasi. Pengunaannya tergantung dari penilaian dan preferensi dari ahli bedahnya. Resiko komplikasinya cukup rendah dan banyak dipengaruhi oleh keahlian dari operator.

Untuk hipospadia mid-shaft dapat menggunakan teknik onlay island flap. Sedang untuk yang proksimal dibagi menjadi dua, yaitu teknik satu tahap dan dua tahap. Untuk teknik satu tahap yang sering digunakan adalah teknik TIF (Transverse Island Flap), TIP dan teknik Koyanagi-Nonomura. Sedangkan teknik dua tahap biasanya digunakan teknik Bracka (Subramaniam et al, 2011).

Pemilihan teknik yang tepat dengan disertai kemampuan dari ahli bedahnya akan sangat berperan terhadap keberhasilan operasi dan resiko terjadinya komplikasi pasca operasi.

2.6.3 Penggunaan stent uretra

Pemasangan stent ini penting untuk menjaga patensi dari uretra baru yang dibuat, agar tidak kolaps dan juga untuk mencegah terjadinya striktur maupun stenosis. Meskipun masih ada perbedaan pendapat mengenai perlu tidaknya pemakaian stent ini (Radwan et al, 2012), namun sebagian besar ahli berpendapat bahwa pemasangan stent ini bermanfaat. Mereka memilih untuk mempertahankan stent selama 7-10 hari. Sedang sebagian lainnya berpendapat bahwa mempertahankan stent dalam waktu lama di dalam uretra yang baru akan menyebabkan iritasi dan mengganggu proses penyembuhan (Hadidi et al, 2006).

Mengenai ukuran yang tepat untuk stent yang digunakan belum ada patokan standarnya. Ukuran yang biasa digunakan adalah 6,8,10 dan 12 F,


(4)

disesuaikan dengan usia dan diameter lumen uretra. Pemakaian stent ini juga dikaitkan dengan resiko terjadinya komplikasi berupa bladder spasme (Turial et al, 2010). Apakah ukuran dari stent tersebut juga berkaitan dengan timbulnya komplikasi pasca operasi belum ada penelitian yang menyebutkan hal tersebut (Subramaniam et al, 2011).

2.6.4 Waktu operasi

Disebutkan bahwa usia ideal untuk operasi pada pasien hipospadi adalah sebelum anak mulai sekolah, dengan usia ideal antara 6-12 bulan. Alasannya pada usia tersebut anak belum dapat mengingat trauma suatu operasi, belum menyadari mengenai persepsi tubuh dan identitas seksualnya, dan juga belum berinteraksi sosial dengan teman-teman seusianya. Sehingga tidak akan mengganggu perkembangan emosional dan psikisnya (Weber et al, 2009). Namun permasalahannya pada usia tersebut ukuran penis masih sangat kecil sehingga memberikan kesulitan lebih dalam teknik operasinya. Kisaran usia yang ideal berikutnya adalah antara 2,5 – 4 tahun atau 4 – 5 tahun. Sejalan dengan bertambahnya usia maka resiko untuk terjadinya komplikasi juga semakin meningkat (Yildiz et al, 2013).

2. 7. Menilai Pancaran Urin

Salah satu komplikasi yang sering muncul adalah gangguan pada pancaran urin pasca operasi. Umumnya orang tua atau pun pasien tidak terlalu menyadari adanya abnormalitas ini karenanya sering tidak diperhatikan, atau karena tidak terlalu dikeluhkan. Gangguan ini dapat muncul dapat sebagai akibat dari komplikasi operasi berupa adanya striktur uretra, meatal stenosis maupun


(5)

compliance atau tahanan dari dinding urethra yang tidak sama. Namun dapat juga terjdai karena sebab lain misalnya adanya gangguan neurologis pada kandung kencing (bladder spasme), adanya penyakit pada ginjal yang mempengaruhi fungsi dan produksi urin, adanya trauma pada penis atau perineum yang menyebabkan kerusakan uretra, adanya infeksi pada saluran kencing sehingga mengakibatkan rasa nyeri saat kencing.

Metode untuk mengukur pancaran urin telah berkembang sejak pertama kali diperkenalkan oleh Johansen pada tahun 1953 dengan menggunakan gelas ukur dan stopwatch. Saat ini alat yang paling sering digunakan adalah Uroflowmetry. Metode yang dipakai sederhana dan tidak invasif. Dengan alat ini dapat diukur berapa pancaran urin rata-rata (Qavg), pancaran urin maksimal (Qmax), Volume urin yang dikeluarkan (Vvoid).

Pada penelitian ini karena ketidaktersediannya alat uroflowmetry maka peneliti menggunakan metode lain untuk mengukur pancaran urine maksimal. Dalam penelitian sebelumnya oleh Hadiwidjadja (2000), Qmax dapat ditentukan dengan cara mengkalikan Qavg dengan suatu konstanta yang didapatkan dari penelitian tersebut yang besarnya adalah 2,07. Qavg sendiri dapat diperoleh dengan membagi volume urin dengan waktu yang diperlukan untuk kencing. Jumlah minimal volume urin yang dianggap bermakna dan dapat diukur adalah bila volumenya > 100 cc dalam sekali pengukuran (Spinoid et al, 2015).

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari sejumlah penelitian, nilai normal pancaran urin pada anak-anak bervariasi. Gupta dan Sankhwar (2013)


(6)

merangkum hasil penelitiannya tentang Uroflowmetry Nomograms pada anak yang sehat usia 5-15 tahun disusun dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 2.1.

Parameter Uroflowmetry menurut usia dan gender (Gupta dan Sankhwar, 2013)

Mean + SD Uroflowmetry

Parameters

Age 5-10 Yrs Age 11-15 Yrs

Boys Girls P Value Boys Girls P Value

Voided vol (ml)

120,93 ± 61,56

169,12 ±

125,01 0,006

214,93 ± 129,10

218,45 ±

118,09 0,55

Qmax (ml/sec)

15,26 ±

4,54 17,98± 6,06 <0,0001

22,50 ± 7,24

27,16 ±

9,37 <0,0001

Qavg (ml/sec)

7,68 ±

3,26 9,19 ± 4,23 0,002

10,78 ± 4,03

13,48 ±

5,21 <0,0001 Time to Qmax

(sec)

3,59 ±

2,48 3,93 ± 3,24 0,85 5,23 ± 4,84 4,28 ± 3,25 0,1

Flow time (sec)

14,25 ± 7,86

15,82 ±

8,45 0,15

17,83 ± 9,15

15,19 ±

7,15 0,002

Dalam tabel ini nilai normal Qmax untuk anak laki-laki usia 5-10 tahun adalah 15,26 ± 4,54 ml/detik dan untuk usia 11-15 tahun sebesar 22,50 ± 7,24 ml/detik. Berdasarkan data tersebut pada penelitian ini diambil patokan untuk menentukan nilai Qmax normal adalah bila hasilnya lebih dari 15,26 – 4,54 = 10,72 dibulatkan menjadi 10 ml/detik.