PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SMP.

(1)

(Penelitian Eksperimen terhadap Siswa Kelas VIII pada Salah Satu SMP Negeri di Kota Bandung Tahun Ajaran 2012/2013)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh Fitrianingsih

0902083

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2013

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SMP


(2)

Oleh Fitrianingsih

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada

Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

© Fitrianingsih 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Juli 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.

PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS


(3)

FITRIANINGSIH

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING:

Pembimbing I

Dr. Jarnawi Afgani Dahlan, M.Kes. NIP. 196805111991011001

Pembimbing II

Drs. H. Maman Suherman, M.Si. NIP. 195202121974121001

Mengetahui

Ketua Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI

Drs. Turmudi, M.Ed., M.Sc., Ph.D. NIP. 196101121987031003

PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS


(4)

ABSTRAK

Fitrianingsih (0902083). Pembelajaran Matematika Melalui Pendekatan

Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMP.

Penelitian ini mengkaji tentang “Pembelajaran Matematika Melalui Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMP”. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuasi eksperimen menggunakan

Randomized Control Group Pretest Posttest Design. Subyek dari penelitian ini

adalah kelas VIII E sebagai kelas eksperimen dan VIII F sebagai kelas kontrol. Pembelajaran di kelas eksperimen dilakukan dengan pendekatan kontekstual, sedangkan kelas kontrol menggunakan pembelajaran secara konvensional. Instrumen dalam penelitian ini meliputi seperangkat alat tes dan angket. Seperangkat alat tes tersebut meliputi soal-soal pretes dan postes mengenai kemampuan koneksi, sedangkan angket digunakan untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual secara signifikan memiliki peningkatan kemampuan koneksi matematis yang lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional. Peningkatan kemampuan koneksi matematis berdasarkan rata-rata indeks gain kelas eksperimen berada pada interpretasi sedang. Sementara itu, hasil pengolahan angket menunjukkan bahwa pada umumnya siswa memberikan sikap positif terhadap pembelajaran matematika melalui pendekatan kontekstual.


(5)

ABSTRACT

Fitrianingsih (0902083). Mathematics Learning through Contextual

Approach to Improve Mathematical Connection Ability of Junior High School Students.

This study investigated about “Mathematics Learning through Contextual Approach to Improve Mathematical Connection Ability of Junior High School Students”. The methodology used in this study was quasi experimental in which randomized control group pretest postest design was conducted. The subject of this study was VIII E as the experimental group and VIII F as the control group. The learning process in the experimental group was conducted by using contextual approach, while the control group was treated by using conventional learning. The instruments of this study involved a set of test, and questionnaire. The test consisted of pretest and postest about connection ability, while questionnaire was used in order to know student’s attitudes towards the learning by using contextual approach. The findings of this study showed that there was significantly better improvement in mathematical connection ability of the students who got the treatment in which the contextual approach was conducted, rather than the students who got the conventional method during the learning process. The improvement of mathematical connection ability based on the average of index gain, experimental class was on the moderate interpretation. Meanwhile, the result of the questionnaire showed that generally the students gave the positive attitudes toward the mathematics learning through contextual approach.


(6)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Definisi Operasional... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 8

A. Kemampuan Koneksi Matematis ... 8

B. Model Pendekatan Kontekstual... 12

C. Pengaruh Pendekatan Kontekstual Terhadap Peningkatan Koneksi Matematis... 15

D. Hipotesis ... 16

BAB III METODE PENELITIAN... 17

A. Metode dan Desain Penelitian ... 17

B. Populasi dan Sampel ... 18

C. Instrumen Penelitian... 18

D. Prosedur Penelitian... 20

E. Analisis Data ... 28

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 33

A. Hasil Penelitian ... 34

1. Gambaran Umum ... 34

2. Aktivitas Pembelajaran di Kelas ... 34

3. Bahan Ajar yang Digunakan ... 36

4. Kemampuan Koneksi Bangun Ruang Siswa... 37

5. Analisis Data Hasil Tes ... 37

B. Pembahasan ... 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 68


(7)

B. Saran ... 68 DAFTAR PUSTAKA ... 69 LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 72


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah modal bagi berkembangnya suatu Negara. Dengan pendidikan yang baik, maka akan dihasilkan pula sumber daya manusia yang baik dan berkualitas untuk pembangunan Negara. Untuk memperoleh hal itu tidak terlepas dari keberhasilan kegiatan belajar mengajar di kelas yang di antaranya meliputi pembelajaran matematika.

Menurut Suherman (2010: 3) pembelajaran pada hakekatnya adalah kegiatan guru dalam membelajarkan siswa, ini berarti bahwa proses pembelajaran adalah membuat atau menjadikan siswa dalam kondisi belajar. Dengan pengertian di atas, pembelajaran matematika harus berprinsip pada

minds-on, hands-on, constructivism, daily life, local material, dan enjoy

(nyaman dan menyenangkan).

Banyak guru yang menggunakan metode ekspositori pada setiap pembelajaran matematika di kelas. Dalam pembelajaran model ekspositori ini guru berperan sebagai pusat informasi utama, sedangkan siswa mengikuti apa yang ditetapkan oleh guru dengan cermat. Metode ini bertujuan agar semua isi pelajaran dapat tersampaikan kepada siswa secara langsung. Hal ini dapat mengakibatkan siswa bersifat pasif dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga hasil yang diperoleh pun kurang baik. Padahal seharusnya guru hanya berperan sebagai fasilitator atau pembimbing agar siswa memperoleh materi pelajaran dengan sebaik-baiknya. Hal ini dapat membuat siswa jenuh dan bosan dengan pelajaran matematika.

Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang menduduki peran penting dalam pendidikan karena dilihat dari manfaatnya, matematika sangat diperlukan untuk mengembangkan pola pikir seseorang. Selain itu matematika juga mempunyai peran yang besar dalam pengembangan ilmu-ilmu lain sehingga dilihat dari waktu yang digunakan dalam pelajaran


(9)

matematika di sekolah, lebih banyak dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya. Serta pelaksanaan pembelajaran matematika pun diberikan pada semua jenjang pendidikan yang dimulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Oleh karena itu, pembelajaran matematika harus diusahakan menarik dan menyenangkan.

Namun hasil-hasil dalam belajar matematika belum mencapai yang diharapkan. Banyak penelitian yang menemukan bahwa hasil belajar matematika siswa di Indonesia masih belum memuaskan. Walaupun hasil Ujian Nasional (UN) mengalami peningkatan dalam setiap tahunnya, namun masyarakat lebih mempercayai bahwa hasil studi PISA atau TIMSS (Trend in

International Mathematics and Science Study) lebih representative dalam

menggambarkan mutu hasil pembelajaran matematika. Studi yang dilakukan TIMSS memperlihatkan peringkat SMP kelas VIII asal Indonesia di tingkat Internasional. Menurut TIMSS 1999 (2000), dari 38 negara peserta, Indonesia berada pada peringkat ke 34 dengan skor rata-rata 403. Sedangkan rata-rata Internasionalnya adalah 487. Sedangkan, TIMSS 2003 (2005) memperlihatkan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke 34 dari 46 negara peserta. Skor rata-rata siswa SMP kelas VIII asal Indonesia adalah 411. Jika dibandingkan dengan Negara ASEAN lainnya, misalnya Malaysia dan Singapura yang memiliki skor rata-rata berturut-turut 508 dan 605. Sementara TIMSS 2007 (2008) memperlihatkan Indonesia yang berada pada peringkat ke 36 dari 49 negara peserta, dengan skor rata-rata 397. Sedangkan skor rata-rata Internasionalnya adalah 500.

Menurut National Council of Teacher of Mathematics/ NCTM (2000: 67), lima standar yang berkembang dalam matematika sekolah yaitu kompetensi pemecahan masalah, penalaran, koneksi, komunikasi dan representasi. Kelima kompetensi ini merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi High-Order Mathematical Thinking (HOMT). Dengan demikian, kompetensi koneksi merupakan salah satu kompetensi tingkat tinggi yang sangat penting untuk dimiliki siswa.


(10)

3

Menurut Ruspiani (2000: 68) kemampuan koneksi matematika adalah kemampuan siswa mengaitkan konsep-konsep matematika baik antar konsep matematika itu sendiri maupun mengaitkan konsep matematika dengan bidang lainnya. Koneksi matematika bertujuan untuk membantu persepsi siswa dengan cara melihat matematika sebagai bagian yang terintegrasi dengan kehidupan. Adapun tujuan pembelajaran koneksi matematika di sekolah menurut Rokhaeni (2011: 3) dapat dirumuskan ke dalam tiga bagian yaitu memperluas wawasan pengetahuan siswa, memandang matematika sebagai suatu keseluruhan yang terpadu bukan sebagai materi yang berdiri sendiri, serta mengenal relevansi dan manfaat matematika dalam konteks dunia nyata.

Proses pembelajaran untuk mencapai semua kompetensi matematis diusahakan menggunakan model dan metode yang sesuai dengan karakteristik dari mata pelajaran matematika melalui aktivitas eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Aktivitas tersebut dapat dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan dan menantang sehingga dapat memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran (Departemen Pendidikan Nasional: 2007).

Dari gambaran permasalahan di atas, terlihat bahwa pembelajaran matematika perlu ditingkatkan. Untuk itu diperlukan solusi yang tepat dalam mengatasi masalah tersebut sehingga diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar matematika sendiri.

Belajar akan lebih terasa manfaatnya ketika materi yang diajarkan itu berguna dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini dibutuhkan kreativitas guru untuk mengaitkan mata pelajaran matematika dengan kehidupan sehari-hari atau sering diistilahkan dengan pembelajaran kontekstual.

Menurut Suherman (2010: 3), pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily

life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan,


(11)

menjadi kondusif, nyaman dan menyenangkan. Prinsip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas siswa. Siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi.

Ada tujuh indikator pembelajaran kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan model lainnya, yaitu:

1. constructivism (konstruktivisme), dalam indikator ini siswa

belajar mengonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri, bukan menerima pengetahuan begitu saja, serta membantu siswa berpikir kritis,

2. inquiry (penyelidikan), dalam indikator ini siswa didorong untuk

aktif dalam menemukan sendiri pengetahuan, sehingga dengan sendirinya siswa akan bisa berpikir kritis,

3. questioning (bertanya), dalam indikator ini guru memancing siswa

agar mampu berpikir kritis untuk mengajukan pertanyaan tentang apa yang belum mereka pahami,

4. modelling (pemodelan), merupakan proses pembelajaran dengan

memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa,

5. learning community (masyarakat belajar), dalam indikator ini

siswa bisa dibagi menjadi beberapa kelompok maupun individual. Jika berkelompok diharapkan anggotanya heterogen agar hasil belajar siswa diperoleh dari hasil kerja sama dengan teman untuk menghilangkan berbagai hambatan akibat terbatasnya pengalaman dan cara pandang siswa. Dengan begitu diharapkan seluruh siswa partisipatif dalam kegiatan pembelajaran tersebut,

6. reflection (refleksi), merupakan berpikir kembali tentang materi

yang baru dipelajari, dan merenungkan kembali aktivitas yang telah dilakukan,

7. authentic assessment (penilaian nyata), merupakan proses yang

dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa.


(12)

5

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pendekatan kontekstual diduga dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa.

Berdasarkan berbagai pemikiran yang telah disampaikan di atas maka penulis tertarik untuk menerapkan pembelajaran dengan model kontekstual untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa, khususnya dalam materi bangun ruang sisi datar (kubus dan balok).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dibahas di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa melalui pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional?

2. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran kontekstual?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang diteliti, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kemampuan koneksi matematis siswa melalui pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Serta untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini tidak terlepas dari manfaat yang diharapkan penulis demi terbentuknya pendidikan Indonesia yang maju. Secara khusus dimaksudkan untuk:

1. Pendidik dan Satuan Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif penggunaan model pembelajaran matematika yang cocok untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.


(13)

2. Peserta didik

Penggunaan model ini diharapkan dapat memfasilitasi potensi peserta didik agar dapat membangun pengetahuan ke arah yang lebih baik.

E. Definisi Operasional

Dengan memperhatikan judul skripsi, ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan agar tidak terjadi perbedaan persepsi antara penulis dan pembaca. 1. Kemampuan koneksi matematis

Kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan dalam mengaitkan antar topik dalam matematika, matematika dengan bidang ilmu lain, serta matematika dengan kehidupan nyata.

2. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual

Suatu pendekatan pembelajaran yang melibatkan suatu interaksi antara pendidik dan peserta didik di mana pendidik mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, dengan mengaitkan komponen-komponen utama pembelajaran efektif, yaitu constructivism (konstruktivisme), inquiry (penyelidikan), questioning (bertanya),

modelling (pemodelan), learning community (masyarakat belajar), reflection (refleksi), dan authentic assessment (penilaian nyata).

3. Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran Konvensional adalah pembelajaran yang menggunakan pendekatan yang biasa digunakan oleh guru matematika di sekolah tempat penelitian. Pembelajaran yang dimaksud adalah pembelajaran yang dimulai dengan penyampaian materi secara eksplanasi dan demonstrasi, pemberian contoh soal oleh guru, dan dilanjutkan dengan pengerjaan soal-soal latihan yang bersifat rutin oleh siswa. Dalam pembelajaran ini guru berperan sebagai pusat dalam pembelajaran dan mendominasi semua kegiatan pembelajaran, sedangkan siswa cenderung pasif dalam


(14)

7

pembelajarannya karena harus mendengarkan uraian guru dalam mengajar.


(15)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode dan Desain Penelitian

Penelitian ini bertujuan menguji pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual terhadap peningkatan koneksi matematis siswa. Karena dalam hal ini penulis bermaksud memberikan perlakuan terhadap dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang bertujuan untuk melihat hubungan sebab akibat yang terjadi melalui pemanipulasian variabel bebas serta melihat perubahan yang terjadi para variabel terikatnya maka dilakukan penelitian kuasi eksperimen. Seperti diungkapkan oleh Ruseffendi (1998) bahwa “penelitian eksperimen adalah penelitian yang bertujuan untuk melihat sebab akibat yang kita lakukan terhadap variabel bebas, dan kita lihat hasilnya pada variabel terikat”. Kelompok yang akan terlibat di dalam penelitian ini yaitu 2 kelompok eksperimen, kelompok kelas eksperimen mendapat pembelanjaran dengan pendekatan kontekstual dan kelompok kelas biasa mendapat pembelajaran model konvensional.

Dengan demikian desain penelitiannya adalah sebagai berikut: A: O X O

A: O O

Ket : A = Pemilihan sampel siswa yang dipilih secara acak kelas O = Pretes atau postes

X = Model pendekatan kontekstual

Pada desain ini, terlihat bahwa kedua kelompok masing-masing diberi pretes, dan setelah mendapatkan pembelajaran diukur dengan postes. Perbedaan hasil anatara pretes dan postes diasumsikan merupakan efek dari kelas eksperimen dan kontrol.


(16)

18

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII semester genap tahun akademik 2012/2013 pada SMPN 4 Bandung yang terdiri dari sepuluh kelas.

2. Sampel Penelitian

Dari populasi tersebut akan diambil dua kelas secara acak. Hal ini dilakukan setelah memperhatikan ciri-ciri antara lain siswa mendapat materi berdasar kurikulum yang sama, siswa diampu oleh guru yang sama, siswa yang menjadi objek penelitian duduk pada kelas yang sama dan pembagian kelas tidak ada kelas unggulan. Pada penelitian ini peneliti diberikan 2 kelas yang akan dijadikan sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol, yaitu 1 kelas sebagai kelas eksperimen yang dikenai pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan 1 kelas sebagai kelas kontrol yang dikenai pembelajaran konvensional.

C. Instrumen Penelitian

Untuk menguji hipotesis dan menarik kesimpulan diperlukan data-data yang benar. Oleh karena itu untuk pengumpulan data-data tersebut dibuatlah seperangkat instrumen. Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa instrumen data kuantitatif dan instrumen data kualitatif.

1. Instrumen Data Kuantitatif

a. Tes Kemampuan Koneksi Matematika.

Tes kemampuan koneksi matematis siswa dikembangkan berdasarkan pada indikator koneksi matematis. Tes yang digunakan adalah tes tertulis berbentuk uraian (subjektif). Soal uraian diberikan dengan tujuan agar penulis dapat melihat proses pengerjaan soal oleh siswa sehingga dapat diketahui apakah siswa sudah mampu memecahkan suatu masalah atau belum.

Tes ini terdiri atas pretes, dan postes. Hal ini dilakukan untuk mengamati perbedaan kelas eksperimen yang mendapat perlakuan


(17)

pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan kelas biasa yang mendapat perlakuan pembelajaran konvensional. Pretes dilaksanakan untuk mengukur kemampuan awal siswa, sementara itu postes dilakukan setelah pembelajaran dilakukan, untuk mengetahui kemampuan koneksi matematis siswa setelah menggunakan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.

2. Instrumen Data Kualitatif a. Angket Respons Siswa

Selain pengumpulan data dengan tes, dalam penelitian ini dilakukan juga pengumpulan data dengan non tes. Karena kadang-kadang yang kita perlukan tidak bisa diperoleh melalui tes (Ruseffendi, 2001: 107). Oleh karena itu digunakan instrumen angket. Instrumen angket yang digunakan untuk mengetahui tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran, bahan ajar, dan guru yang mengajar. Skala yang digunakan dalam angket adalah skala Likert. Ada dua jenis pernyataan dalam skala Likert yaitu pernyataan positif (favorable) dan pernyataan negatif (unfavorable). Setiap pernyataan memiliki empat alternatif pilihan, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).

b. Jurnal Harian

Jurnal harian adalah karangan yang dibuat siswa pada akhir pembelajaran yang berisi tanggapan siswa terhadap pembelajaran yang telah berlangsung. Jurnal harian dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sikap, perasaan, dan respons siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Jurnal harian ini sangat bermanfaat bagi peneliti gunanya sebagai refleksi, yaitu untuk memperbaiki pembelajaran pada pertemuan berikutnya.

c. Pedoman Observasi

Lembar observasi digunakan untuk mengetahui pembelajarannya menggunakan pendekatan kontekstual atau tidak , dan tujuan lain dari lembar observasi adalah memperoleh data tentang aktivitas yang


(18)

20

dilakukan guru dan siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Lembar observasi yang digunakan terdiri dari dua macam lembar observasi, yaitu lembar observasi guru dan lembar observasi siswa. Lembar observasi ini diisi oleh observer yang terdiri dari guru mata pelajaran matematika atau rekan mahasiswa.

D. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan kegiatan sebagai berikut. 1. Tahap Persiapan

Langkah-langkah yang dilakukan dalam tahap ini, yaitu sebagai berikut. a. Identifikasi permasalahan mengenai bahan ajar, merencanakan

pembelajaran, serta alat dan bahan yang akan digunakan. b. Melakukan perizinan tempat untuk penelitian.

c. Menyusun instrumen penelitian. d. Melakukan proses pembimbingan.

e. Melakukan uji coba instrumen yang akan digunakan untuk mengetahui kualitasnya. Uji coba instrumen ini diberikan terhadap subyek lain di luar subyek penelitian, tetapi mempunyai kemampuan yang setara dengan subyek dalam penelitian yang akan dilakukan. f. Analisis kualitas/kriteria instrumen, yang terdiri dari:

1) Uji Validitas

Suherman (2003:110) menyatakan bahwa suatu alat evaluasi disebut valid apabila alat tersebut mampu mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi. Oleh karena itu keabsahannya tergantung pada sejauh mana ketepatan alat evaluasi itu dalam melaksanakan fungsinya. Dengan demikian suatu alat evaluasi disebut valid jika ia dapat mengevaluasi dengan tepat sesuatu yang dievaluasi itu. Untuk menghitung kevaliditasan empirik suatu soal, dihitung dengan koefisien validitas ( ) dengan mengunakan rumus:


(19)

√ ∑ ∑ ∑ ∑

Keterangan:

= Koefisien korelasi antara dua variabel yang dikorelasikan N = Banyak siswa

X = Skor item yang diperoleh siswa Y = Skor total yang diperoleh siswa

Koefisien validitas ( ) diinterpretasikan dengan kriteria seperti tercantum dalam tabel berikut.

Tabel 3.1

Kriteria Validitas Instrumen

Koefisien Validitas ( ) Kriteria

0,90 Validitas sangat tinggi (sangat baik), 0,70 Validitas tinggi (baik),

0,40 Validitas sedang (cukup), 0,20 Validitas rendah (kurang), 0,00 Validitas sangat rendah (kurang),

Tidak valid

Sumber: Suherman(2003:123)

Untuk mengetahui signifikansi nilai validitas digunakan uji-t sebagai berikut:

Keterangan:

koefisien korelasi jumlah siswa

Harga hitung dibandingkan dengan pada tingkat kepercayaan 95% dengan dk=n-2. Kriteria pengujian yaitu jika maka dapat disimpulkan validitas signifikan.

Berdasarkan analisis data hasil uji coba instrumen, validitas butir soal dapat dilihat pada tabel berikut:


(20)

22

Tabel 3.2

Hasil Analisis Validitas Butir Soal Instrumen Tes Nomor

butir soal

Validitas Taraf Signifikansi

Keterangan Kategori Kategori

1 0,59 Sedang 5,5614 1,69 Signifikan Valid 2 0,88 Tinggi 14,9270 1,69 Signifikan Valid 3 0,84 Tinggi 12,2428 1,69 Signifikan Valid 4 0,84 Tinggi 12,3788 1,69 Signifikan Valid 5 0,65 Sedang 6,5522 1,69 Signifikan Valid Keterangan: = koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y

Dari tabel di atas jika validitas dipersentasekan, maka dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.3

Persentase Keseluruhan Validitas Butir Soal

Validitas Jumlah Soal Persentase

Valid 5 100%

Tidak valid 0 0%

2) Uji Reliabilitas

Suherman (2003:131) menyatakan bahwa suatu alat evaluasi (tes dan nontes) disebut reliabel jika hasil evaluasi tersebut relatif tetap yang digunakan pada subjek yang sama. Relatif tetap di sini dimaksudkan tidak tepat sama, tetapi mengalami perubahan yang tidak berarti (tidak signifikan) dan bisa diabaikan. Bentuk soal tes yang digunakan pada penelitian ini adalah soal tes tipe subjektif atau uraian, karena itu untuk mencari koefisien reliabilitas ( ) digunakan rumus alpa yang dirumuskan sebagai berikut:

=

Keterangan:

r11 = Koefisien reliabilitas alat evaluasi

n = Banyaknya butir soal

Jumlah varians skor setiap soal Varians skor total


(21)

Menurut Guilford (Suherman, 2003:139) koefisien reliabilitas diiterpretasikan seperti yang terlihat pada tabel berikut.

Tabel 3.4 Kriteria Reliabilitas

Koefisien Relibilitas ( ) Kriteria

sangat rendah

0,20 rendah

0,40 sedang

0,70 tinggi

0,90 sangat tinggi Sumber: Suherman (2003:139)

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus Alpha, diperoleh bahwa koefisien reliabilitas ( ) sebesar 0,701. Hal ini berarti bahwa tes yang digunakan reliabilitasnya tergolong pada kategori tinggi. Hasil perhitungan koefisien reliabilitas dari tes kemudian diuji dengan menggunakan statistik uji-t pada taraf kepercayaan 95% dan dk=n-2, diperoleh (1,706) dan (6,537). Hal ini menunjukkna bahwa tes pemahaman konsep bangun ruang sisi datar yang digunakan dalam penelitian ini adalah signifikan.

3) Uji Daya Pembeda

Galton (Suherman, 2003:159) berasumsi bahwa suatu perangkat alat tes yang baik harus bisa membedakan antara siswa yang pandai, rata-rata, dan bodoh karena dalam suatu kelas biasanya terdiri dari ketiga kelompok tersebut. Daya pembeda dari sebuah soal menyatakan seberapa jauh kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan antara testi yang mengetahui jawabannya dengan benar dengan testi yang tidak dapat menjawab soal tersebut (testi yang menjawab salah). Dengan kata lain daya pembeda sebuah butir soal adalah kemampuan butir soal itu untuk membedakan antara testi (siswa) yang pandai atau berkemampuan tinggi dengan siswa yang bodoh. Untuk menentukan daya pembeda digunakan rumus sebagai berikut:

Daya pembeda soal dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Suherman, 2003:43):


(22)

24

atau Keterangan:

DP: Daya Pembeda

: Jumlah siswa kelompok atas yang menjawab soal itu dengan benar, atau jumlah benar untuk kelompok atas

: Jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab soal itu dengan benar, atau jumlah benar untuk kelompok bawah

: Jumlah siswa kelompok atas : Jumlah siswa kelompok bawah

Klasifikasi interpretasi daya pembeda (Suherman, 2003:161) dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.5 Kriteria Daya Pembeda

Berdasarkan analisis data hasil uji coba instrumen, daya pembeda untuk tiap butir soal dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.6

Hasil Analisis Daya Pembeda Butir Soal Instrumen Tes Nomor Butir

Soal DP Kriteria

1 6,4 3,5 10 0,29 Cukup

2 12,4 6,8 10 0,56 Baik

3 11,8 2,5 10 0,93 Sangat baik

4 6,7 1,6 10 0,51 Baik

5 7,6 3,3 10 0,43 Baik

Dari tabel di atas jika daya pembeda dipersentasekan, maka dapat dilihat pada tabel berikut:

Daya Pembeda (DP) Kriteria

DP 0,00 Sangat jelek

0,00 Jelek

0,20 Cukup

0,40 Baik


(23)

Tabel 3.7

Persentase Keseluruhan Daya Pembeda

Kriteria Jumlah soal Persentase

Jelek 0 0%

Cukup 1 20%

Baik 3 60%

Sangat baik 1 20%

4) Uji Indeks Kesukaran.

Derajat kesukaran suatu butir soal dinyatakan dengan bilangan yang disebut indeks kesukaran (Suherman, 2003:211). Bilangan tersebut adalah bilangan real pada interval (kontinum) 0,00 sampai dengan 1,00. Soal dengan indeks kesukaran mendekati 0,00 berarti butir soal tersebut terlalu sukar, sebaliknya soal dengan indeks kesukaran mendekati 1,00 berarti soal tersebut terlalu mudah. Untuk mencari indeks kesukaran (IK) digunakan rumus sebagai berikut (Suherman, 2003:45):

atau Keterangan:

IK = Indeks kesukaran

= Jawaban benar kelompok atas = Jawaban benar kelompok bawah = Jumlah siswa kelompok atas = Jumlah siswa kelompok bawah

Untuk menginterpretasikan indeks kesukaran, klasifikasi yang sering digunakan disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.8

Kriteria Indeks Kesukaran

Indeks Kesukaran (IK) Kriteria Soal IK = 0,00 Soal terlalu sukar

0,00 Soal sukar

0,30 Soal sedang

0,70 Soal mudah

IK = Soal terlalu mudah Sumber: Suherman (2003:170)

Berdasarkan analisis data hasil uji coba instrumen, indeks kesukaran tiap butir soal dapat dilihat pada tabel berikut.


(24)

26

Tabel 3.9

Hasil Analisis Indeks Kesukaran Butir Soal Instrumen Tes Nomor Butir

Soal IK Kriteria

1 6,4 3,5 10 0,49 Sedang

2 12,4 6,8 10 0,96 Mudah

3 11,8 2,5 10 0,71 Mudah

4 6,7 1,6 10 0,41 Sedang

5 7,6 3,3 10 0,54 Sedang

Dari tabel di atas jika indeks kesukaran dipersentasekan, maka dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.10

Persentase Keseluruhan Indeks Kesukaran

Kriteria Jumlah soal Persentase

Mudah 2 40%

Sedang 3 60%

Sukar 0 0%

Dari hasil uji coba di atas, maka keseluruhan hasil analisis uji coba di atas dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut.

Tabel 3.11

Analisis Hasil Uji Coba Soal Reliabilitas No.

Soal

Validitas Daya Pembeda Indeks Kesukaran

Ket. Koef. Kriteria Sign. Koef. Kriteria Koef. Kriteria

0.611605 (sedang)

1 0,59 Sedang Signifikan 0.29 Cukup 0.49 Sedang Soal dipakai 2 0,88 Tinggi Signifikan 0.56 Baik 0.96 Mudah Soal

dipakai 3 0,84 Tinggi Signifikan 0.93 Sangat

baik 0.71 Mudah

Soal dipakai 4 0,84 Tinggi Signifikan 0.51 Baik 0.41 Sedang Soal

dipakai 5 0,65 Sedang Signifikan 0.43 Baik 0.54 Sedang Soal

dipakai Instrumen soal seluruhnya berjumlah 5 butir soal. Berdasarkan

hasil pengolahan data tersebut, maka instrumen yang digunakan adalah seluruhnya karena memenuhi syarat sebagai instrumen penelitian.


(25)

h. Menghubungi kembali pihak sekolah untuk mengonsultasikan waktu dan teknis pelaksanaan penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan

Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam tahap ini, yaitu sebagai berikut:

a. Memberikan pretes pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.

b. Melaksanakan kegiatan pembelajaran di kedua kelas tersebut. Di kelas eksperimen, pembelajaran dilakukan dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Sedangkan di kelas kontrol, pembelajaran dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran konvensional.

c. Memberikan postes pada kedua kelas tersebut. d. Malakukan observasi kelas pada setiap pembelajaran.

e. Memberikan jurnal harian pada setiap akhir pertemuan dan angket pada pertemuan terakhir kepada siswa untuk mengetahui kesan dan respon siswa di kelas eksperimen terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan. 3. Tahap Refleksi dan Evaluasi

Pada tahap ini dilakukan pengkajian dan analisis terhadap penemuan-penemuan penelitian serta melihat pengaruh terhadap peningkatan koneksi matematis siswa yang ingin diukur. Selanjutnya, dibuat kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh dan menyusun laporan penelitian.

Tabel 3.12

Jadwal Pelaksanaan Pembelajaran dan Pemberian Tes No. Hari/Tanggal Waktu Materi/Kegiatan

1 Kamis/ 21 Maret 2013 07.00-08.20 Pemberian pretes terhadap kelas eksperimen 2 Jumat/ 22 Maret 2013 07.00-08.20 Pembelajaran pertama di kelas eksperimen 3 Senin/ 1 April 2013 10.40-12.00 Pemberian pretes terhadap kelas kontrol 4 Selasa/ 2 April 2013 10.40-12.00 Pembelajaran pertama di kelas kontrol 5 Kamis/ 4 April 2013 07.00-08.20 Pembelajaran kedua di kelas eksperimen 6 Jumat/ 5 April 2013 07.00-07.40 Pembelajaran ketiga di kelas eksperimen 7 Senin/ 8 April 2013 10.40-12.00 Pembelajaran kedua di kelas kontrol 8 Selasa/ 9 April 2013 10.40-12.00 Pembelajaran ketiga di kelas kontrol

13.00-13.40 Pembelajaran keempat di kelas eksperimen 9 Kamis/ 11 April 2013 07.00-08.20 Latihan di kelas eksperimen

10 Jumat/ 12 April 2013 07.00-08.20 Pemberian postes terhadap kelas eksperimen 10.40-11.20 Latihan di kelas control


(26)

28

E. Analisis Data

Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa cara yakni dengan memberikan ujian (pretes dan postes), pengisian angket, jurnal harian, dan observasi. Data yang diperoleh kemudian dikategorikan ke dalam jenis data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif meliputi data hasil pengisian angket, jurnal harian, dan observasi. Sementara itu data kuantitatif diperoleh dari hasil ujian siswa (pretes dan postes).

Langkah-langkah pengolahan data kuantitatif yang diperoleh sebagai berikut:

1. Analisis Data Kuantitatif

a. Menghitung Deskriptif Statistik Koneksi Matematis

Tes kemampuan koneksi matematis yang diberikan kepada siswa berupa tes tertulis uraian sebagai alat ukur kemampuan koneksi matematis siswa. Oleh karena itu tes disusun berdasarkan indikator kemampuan koneksi matematis.

Sesuai dengan desain penelitian, terdapat dua tes yang dilakukan, yaitu pretes dan postes. Pretes diberikan sebelum perlakuan dengan pendekatan kontekstual untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Postes diberikan setelah perlakuan agar diketahui peningkatan kemampuan siswa setelah diberikan pendekatan kontekstual. Soal-soal yang terdapat pada postes identik dengan soal-soal yang terdapat pada pretes.

Sebelum tes kemampuan koneksi matematis diberikan kepada siswa, terlebih dahulu dilakukan uji coba instrumen kepada siswa di luar sampel yang telah mempelajari materi kubus dan balok. Uji coba instrumen dilakukan untuk mengetahui kualitas instrumen. Uji coba instrumen tes koneksi matematis akan dilakukan kepada siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Gebang.

Hasil tes koneksi matematis siswa SMP Negeri 2 Gebang diberi skor sesuai kriteria penskoran. Penskoran memerlukan rubrik yang sesuai dengan kebutuhan evaluasi. Rubrik yang digunakan untuk


(27)

pemberian skor hasil tes pada penelitian ini yaitu rubrik holistik. Sesuai dengan pendapat Mertler (Mira: 2010) bahwa rubrik holistik digunakan untuk melakukan penskoran terhadap kualitas konten, kemampuan atau pemahaman tertentu secara keseluruhan.

Berikut ini rubrik untuk penskoran tes koneksi matematis Tabel 3.13

Rubrik Penskoran Tes Koneksi Matematis

Skor Kriteria

4 Menunjukkan pemahaman konsep yang benar, diuraikan secara lengkap, kemudian perhitungannya dilakukan dengan benar dan jawaban benar.

3

Menunjukkan pemahaman konsep yang benar, diuraikan secara lengkap, kemudian perhitungannya dilakukan dengan benar tetapi jawaban tidak tepat. Atau jawaban menunjukkan pemahaman konsep yang benar, tetapi tidak diuraikan secara lengkap, kemudian perhitungannya dilakukan dengan benar dan jawaban benar.

2

Menunjukkan pemahaman konsep yang benar, tetapi tidak diuraikan secara lengkap, kemudian perhitungannya dilakukan dengan salah dan jawaban tidak tepat.

1 Tidak menunjukkan pemahaman konsep sama sekali. 0 Tidak menjawab sama sekali.

Setelah data skor hasil uji coba instrumen diperoleh, data tersebut dianalisis untuk diketahui validitas butir soal, reliabilitas tes, daya pembeda butir soal, dan indeks kesukaran butir soal.

b. Pengujian Hipotesis (Uji Signifikansi)

Menguji normalitas distribusi skor pretes, postes, dan gain hasil belajar matematika serta menguji homogenitas varians total skor kemampuan koneksi matematis siswa dari hasil pretes, postes, dan gain dengan menggunakan software SPSS. Uji homogenitas dimaksudkan untuk menguji bahwa setiap kelompok yang akan dibandingkan memiliki variansi yang sama. Dengan demikian perbedaan yang terjadi dalam hipotesis benar-benar berasal dari perbedaan antara kelompok, bukan akibat dari perbedaan yang terjadi di dalam kelompok.

Jika data telah terdistribusi normal dan homogen, maka dilakukan pengujian perbedaan dua rerata dengan menggunakan uji-t. Setelah t hitung didapat, maka t hitung tersebut dibandingkan dengan tabel. Jika


(28)

30

data tidak berdistribusi normal maka dilakukan statistika nonparametrik

Mann-Whitney. Berikut disajikan gambar diagram prosedur pengolahan

data kuantitatif.

Untuk menghitung peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang terjadi sebelum dan sesudah pembelajaran digunakan rumus gain ternormalisasi (N-Gain) yang dikembangkan oleh Meltzer. Pengolahan data dilakukan terhadap skor pretes dan indeks gain. Gain yang diperoleh dinormalisasi oleh selisih antara skor maksimal (Smaks) dengan skor pretes. Hal ini dimaksud untuk menghindari kesalahan dalam menginterpretasi perolehan gain seorang siswa. Gain yang dinormalisasi diperoleh dengan cara menghitung selisih antara skor postes (Spos) dengan skor pretes (Spre) dibagi oleh selisih antara skor maksimal dengan skor pretes. Peningkatan yang terjadi, sebelum dan sesudah pembelajaran dihitung dengan rumus g-faktor (N-Gain) menurut Meltzer & Hake (Andrian, 2006:35) dengan rumus:

Tidak homogen Homogen

Berdistribusi normal Tidak berdistribusi

normal

Data skor pretes dan indeks gain

Uji Normalitas

Uji Homogenitas Uji Perbedaan Dua Rata-rata/

uji non-parametrik (Mann-Whitney)

Uji Perbedaan Dua Rata-rata uji t

Uji Perbedaan Dua Rata-rata uji t’ Gambar 3.1


(29)

Keterangan: g : gain Spre : skor pretes Spos : skor postes Smaks : skor maksimal

Tabel 3.14 Kriteria Tingkat Gain

G Keterangan

7 , 0  g Tinggi 7 , 0 3 ,

0 g Sedang

3 , 0

g Rendah

2. Analisis Data Kualitatif

Adapun langkah-langkah dalam pengolahan data kualitatif yang diperoleh sebagai berikut:

a. Angket

Angket deberikan dengan tujuan mengetahui respon siswa terhadap model yang dikembangkan pada pembelajaran matematika yaitu pendekatan kontekstual. Untuk mengolah data yang diperoleh dari angket, dialakukan dengan menggunakan skala Likert. Data yang diperoleh, kemudian dipersentasikan sebelum dilakukan penafsiran dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

P: persentase jawaban f: frekuensi jawaban n: banyak responden

Setiap jawaban siswa diberi bobot. Pembobotan yang dipakai adalah sebagai berikut:

Tabel 3.15

Kategori Jawaban Angket

Jenis Pernyataan Skor

SS S TS STS

Positif 5 4 2 1


(30)

32

Selanjutnya dilakukan penafsiran dengan menggunakan kriteria persentase angket yang disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 3.16

Interpretasi Persentase Angket

Besar Persentase Tafsiran

Tidak ada

Sebagian kecil

Hampir setengahnya

Setengahnya

Sebagian besar

Pada umumnya

Seluruhnya

b. Jurnal Harian

Menganalisis jurnal harian siswa dengan mengelompokkan kesan siswa kedalam kelompok pendapat atau komentar positif, negatif, biasa, dan tidak berkomentar.

c. Observasi kelas

Data yang terkumpul ditulis dan dikumpulkan dalam tabel berdasarkan permasalahan yang kemudian dianalisis secara deskriptif.


(31)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian hipotesis pada pokok bahasan kubus dan balok untuk kedua kelompok penelitian seperti yang telah diuraikan pada bab IV, dimana setelah dilakukan penelitian terhadap siswa kelas VIII SMP Negeri 4 Bandung diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang menggunakan model pendekatan kontekstual (rata-rata gain=0,50) lebih baik dari pembelajaran konvensional (rata-rata gain=0,42). Selisih skor rata-rata gain ternormalisasi pada kedua kelompok adalah 0,08, maka perbedaan tersebut menunjukkan bahwa kemampuan koneksi matematis siswa yang menggunakan model pendekatan kontekstual lebih tinggi dibandingkan siswa yang menggunakan pembelajaran dengan metode konvensional. 2. Siswa memberikan sikap yang positif terhadap model pembelajaran

menggunakan pendekatan kontekstual. Siswa pun menjadi lebih aktif dan senang berdiskusi dalam memecahkan suatu masalah.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang diperoleh mengenai model pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual, penulis merekomendasikan hal-hal berikut:

1. Model pendekatan kontekstual dapat dijadikan model pembelajaran matematika untuk materi tertentu untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa.

2. Penulis merekomendasikan untuk melanjutkan penelitian terhadap model pendekatan kontekstual untuk kompetensi lain yang ingin dicapai.


(32)

DAFTAR PUSTAKA

Asep, J. (2008). Pengembangan Kurikulum Matematika (Tinjauan Teoritis dan

Historis). Bandung: Multipressindo.

Berns, R.G and Erickson, P.M. (2001). Contextual Teaching and Learning. The

Highlight Zone : Research a Work No. 5. [Online]. Tersedia:

http://www.ncte.org/publications/infosyntesis/highlight05/index.asp?dirid =145&dspid=1/ . [16 April 2012]

Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Republik Indonesia No.41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. [Online]. Tersedia:

http://www.bsnp-indonesia.org/standards-proses.php/ . [16 April 2012] Gordah, E. K. (2009). Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan

Masalah Matematika melalui Pendekatan Open-Ended. Tesis PPS UPI.

Tidak Diterbitkan.

Hardianty, H. (2012). Pengembangan Model Bahan AjarStrategi Pembelajaran

Konflik Kognitif (Cognitive Conflict)untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMP. Skripsi UPI. Tidak Diterbitkan.

Johnson, E. B. (2011). Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan

Belajar Mengajar Mengasyikan dan Bermakna. Bandung: Kaifa.

______. (2011). Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan

Belajar Mengajar Mengasyikan dan Bermakna. Bandung: Kaifa.

Komalasari, K. (2010). Pembelajaran Kontekstual; Konsep dan Aplikasi. Bandung: Refika Aditama.

Kusuma, D. A. (2008). Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematik dengan

Menggunakan Pendekatan Konstruktivisme. [Online]. Tersedia: http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/06/meningkatkan-kemampuan-koneksi-matematik.pdf. [26 Oktober 2009]

Mariana, S. (2011). Penerapan Pendekatan Kontekstual dengan Pemberian Tugas

Mind MapSetelah Pembelajaran terhadap Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMP. Skripsi UPI. Tidak Diterbitkan.

Muslich, M. (2007). KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual;

Panduan Bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengurus Sekolah. Jakarta:

Bumi Aksara.

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. USA: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc.


(33)

Nurhadi. (2002). Pendekatan Kontekstual. Jakarta : Dirjen Dikdasmen.

OECD. (2010). PISA 2009 Result: What Student Know and Can Do, Student

Performance In Reading, Mathematics, and Science (Volume I). OECD:

OECD.

Priyatno, D. (2009). 5 Jam Belajar Olah Data dengan SPSS 17. Yogyakarta: CV Andi Offset.

Rachman, B. (2009). Perbandingan Koneksi Matematik Siswa yang

Pembelajarannya Menggunakan Model Creative Problem Solving (CPS) dengan Siswa yang Pembelajarannya Menggunakan Model Konvensional.

Skripsi UPI. Tidak Diterbitkan.

Rokhaeni, A. (2011). Penerapan Pembelajaran CORE dalam Pembelajaran

Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa.

Skripsi UPI. Tidak Diterbitkan.

Ruseffendi, E. T. (1998). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

_________, E.T. (2001). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang

Non-Eksakta Lainnya. Semarang: CV.IKIP Semarang Press.

_________, E.T. (2003). Dasar-Dasar Penelitian-Penelitian Pendidikan dan

Bidang Non-Eksakta lainnya. Semarang: Ikip Semarang.

Ruspiani. (2000). Kemampuan Siswa dalam Melakukan Koneksi Matematik. Tesis Program Pascasarjana UPI. Tidak Dierbitkan.

Sudjana. (2003). Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Suherman, E. (2003). Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika. Makalah. Jurdikmat FPMIPA UPI: Tidak Diterbitkan.

________, E. dkk. (2003). Strategi pembelajaran matematika kontemporer (Edisi

Revisi). Bandung: JICA UPI.

________, E. dkk. (2010). Handout Belajar dan Pembelajaran Matematika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Sumarmo, U. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan

Kemampuan Komunikasi matematika pada Guru dan Siswa SMP. Laporan penelitian IKIP Bandung. Bandung: Tidak diterbitkan. [Online].

Tersedia: http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/kemampuan-koneksi-matematik-siswa/. [14 Januari 2011]


(34)

71

TIMSS. (2000). International Mathematics Report, Finding from IEA’s Repeat of

The Third International Mathematics and Science Study at The Eighth Grade. Lynch School of Education, Boston College: International Study

Center.

______. (2005). IEA’s TIMSS 2003 International Report on Achievement in the

Mathematics Cognitive Domains, Findings from a Developmental Project.

Lynch School of Education, Boston College: TIMSS & PIRLS International Study Center.

______. (2008). TIMSS 2007 International Report, Finding from IEA’s Trends in

International Mathematics and Science Study at The Fourth and Eighth Grade. Lynch School of Education, Boston College: TIMSS & PIRLS


(1)

31

Keterangan:

g : gain

Spre : skor pretes

Spos : skor postes

Smaks : skor maksimal

Tabel 3.14 Kriteria Tingkat Gain

G Keterangan

7 , 0  g Tinggi 7 , 0 3 ,

0 g Sedang

3 , 0 

g Rendah

2. Analisis Data Kualitatif

Adapun langkah-langkah dalam pengolahan data kualitatif yang diperoleh sebagai berikut:

a. Angket

Angket deberikan dengan tujuan mengetahui respon siswa terhadap model yang dikembangkan pada pembelajaran matematika yaitu pendekatan kontekstual. Untuk mengolah data yang diperoleh dari angket, dialakukan dengan menggunakan skala Likert. Data yang diperoleh, kemudian dipersentasikan sebelum dilakukan penafsiran dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

P: persentase jawaban f: frekuensi jawaban n: banyak responden

Setiap jawaban siswa diberi bobot. Pembobotan yang dipakai adalah sebagai berikut:

Tabel 3.15

Kategori Jawaban Angket

Jenis Pernyataan Skor

SS S TS STS

Positif 5 4 2 1


(2)

32

Selanjutnya dilakukan penafsiran dengan menggunakan kriteria persentase angket yang disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 3.16

Interpretasi Persentase Angket

Besar Persentase Tafsiran

Tidak ada

Sebagian kecil

Hampir setengahnya

Setengahnya

Sebagian besar

Pada umumnya

Seluruhnya

b. Jurnal Harian

Menganalisis jurnal harian siswa dengan mengelompokkan kesan siswa kedalam kelompok pendapat atau komentar positif, negatif, biasa, dan tidak berkomentar.

c. Observasi kelas

Data yang terkumpul ditulis dan dikumpulkan dalam tabel berdasarkan permasalahan yang kemudian dianalisis secara deskriptif.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian hipotesis pada pokok bahasan kubus dan balok untuk kedua kelompok penelitian seperti yang telah diuraikan pada bab IV, dimana setelah dilakukan penelitian terhadap siswa kelas VIII SMP Negeri 4 Bandung diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang menggunakan model pendekatan kontekstual (rata-rata gain=0,50) lebih baik dari pembelajaran konvensional (rata-rata gain=0,42). Selisih skor rata-rata gain ternormalisasi pada kedua kelompok adalah 0,08, maka perbedaan tersebut menunjukkan bahwa kemampuan koneksi matematis siswa yang menggunakan model pendekatan kontekstual lebih tinggi dibandingkan siswa yang menggunakan pembelajaran dengan metode konvensional. 2. Siswa memberikan sikap yang positif terhadap model pembelajaran

menggunakan pendekatan kontekstual. Siswa pun menjadi lebih aktif dan senang berdiskusi dalam memecahkan suatu masalah.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang diperoleh mengenai model pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual, penulis merekomendasikan hal-hal berikut:

1. Model pendekatan kontekstual dapat dijadikan model pembelajaran matematika untuk materi tertentu untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa.

2. Penulis merekomendasikan untuk melanjutkan penelitian terhadap model pendekatan kontekstual untuk kompetensi lain yang ingin dicapai.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Asep, J. (2008). Pengembangan Kurikulum Matematika (Tinjauan Teoritis dan

Historis). Bandung: Multipressindo.

Berns, R.G and Erickson, P.M. (2001). Contextual Teaching and Learning. The

Highlight Zone : Research a Work No. 5. [Online]. Tersedia: http://www.ncte.org/publications/infosyntesis/highlight05/index.asp?dirid =145&dspid=1/ . [16 April 2012]

Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Republik Indonesia No.41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. [Online]. Tersedia: http://www.bsnp-indonesia.org/standards-proses.php/ . [16 April 2012] Gordah, E. K. (2009). Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan

Masalah Matematika melalui Pendekatan Open-Ended. Tesis PPS UPI.

Tidak Diterbitkan.

Hardianty, H. (2012). Pengembangan Model Bahan AjarStrategi Pembelajaran

Konflik Kognitif (Cognitive Conflict)untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMP. Skripsi UPI. Tidak Diterbitkan.

Johnson, E. B. (2011). Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan

Belajar Mengajar Mengasyikan dan Bermakna. Bandung: Kaifa.

______. (2011). Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan

Belajar Mengajar Mengasyikan dan Bermakna. Bandung: Kaifa.

Komalasari, K. (2010). Pembelajaran Kontekstual; Konsep dan Aplikasi. Bandung: Refika Aditama.

Kusuma, D. A. (2008). Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematik dengan

Menggunakan Pendekatan Konstruktivisme. [Online]. Tersedia:

http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/06/meningkatkan-kemampuan-koneksi-matematik.pdf. [26 Oktober 2009]

Mariana, S. (2011). Penerapan Pendekatan Kontekstual dengan Pemberian Tugas

Mind MapSetelah Pembelajaran terhadap Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMP. Skripsi UPI. Tidak Diterbitkan.

Muslich, M. (2007). KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual;

Panduan Bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengurus Sekolah. Jakarta:

Bumi Aksara.

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. USA: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc.


(5)

70

Nurhadi. (2002). Pendekatan Kontekstual. Jakarta : Dirjen Dikdasmen.

OECD. (2010). PISA 2009 Result: What Student Know and Can Do, Student

Performance In Reading, Mathematics, and Science (Volume I). OECD:

OECD.

Priyatno, D. (2009). 5 Jam Belajar Olah Data dengan SPSS 17. Yogyakarta: CV Andi Offset.

Rachman, B. (2009). Perbandingan Koneksi Matematik Siswa yang

Pembelajarannya Menggunakan Model Creative Problem Solving (CPS) dengan Siswa yang Pembelajarannya Menggunakan Model Konvensional.

Skripsi UPI. Tidak Diterbitkan.

Rokhaeni, A. (2011). Penerapan Pembelajaran CORE dalam Pembelajaran

Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa.

Skripsi UPI. Tidak Diterbitkan.

Ruseffendi, E. T. (1998). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

_________, E.T. (2001). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang

Non-Eksakta Lainnya. Semarang: CV.IKIP Semarang Press.

_________, E.T. (2003). Dasar-Dasar Penelitian-Penelitian Pendidikan dan

Bidang Non-Eksakta lainnya. Semarang: Ikip Semarang.

Ruspiani. (2000). Kemampuan Siswa dalam Melakukan Koneksi Matematik. Tesis Program Pascasarjana UPI. Tidak Dierbitkan.

Sudjana. (2003). Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Suherman, E. (2003). Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika. Makalah. Jurdikmat FPMIPA UPI: Tidak Diterbitkan.

________, E. dkk. (2003). Strategi pembelajaran matematika kontemporer (Edisi

Revisi). Bandung: JICA UPI.

________, E. dkk. (2010). Handout Belajar dan Pembelajaran Matematika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Sumarmo, U. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan

Kemampuan Komunikasi matematika pada Guru dan Siswa SMP. Laporan penelitian IKIP Bandung. Bandung: Tidak diterbitkan. [Online].

Tersedia: http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/kemampuan-koneksi-matematik-siswa/. [14 Januari 2011]


(6)

71

TIMSS. (2000). International Mathematics Report, Finding from IEA’s Repeat of

The Third International Mathematics and Science Study at The Eighth Grade. Lynch School of Education, Boston College: International Study

Center.

______. (2005). IEA’s TIMSS 2003 International Report on Achievement in the

Mathematics Cognitive Domains, Findings from a Developmental Project.

Lynch School of Education, Boston College: TIMSS & PIRLS International Study Center.

______. (2008). TIMSS 2007 International Report, Finding from IEA’s Trends in

International Mathematics and Science Study at The Fourth and Eighth Grade. Lynch School of Education, Boston College: TIMSS & PIRLS