Pengelolaan lahan kering di Bali dan pengembangan tanaman cendana.

(1)

KAJIAN PUSTAKA

PENGELOLAAN LAHAN KERING DI BALI

DAN

PENGEMBANGAN TANAM CENDANA

Oleh

Tatiek Kusmawati

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

UDAYANA

2015


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa maka tulisan tentang Pengelolaan Lahan kering di Bali Melalui Pengembangan Tanaman Cendana (Santulum album L.) dapat diselesaikan. Tulisan ini memaparkan tentang kriteria penciri persyaratan tumbuh tanaman, arahan pengembangan penggunaan lahan kering di Bali, gambaran kesesuaian biofisik lahan kering di Bali untuk pengembangan tanaman cendana serta potensi/kesesuaian lahan untuk pengembangan tanaman cendana pada lahan kering di Bali.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak terdapat kekurangan, mengingat kemampuan dan keterbatasan sumber yang didapatkan. Oleh karena itu penulis berharap adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca agar tulisan ini lebih sempurna.

Dari uraian singkat ini penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan informasi para pembaca.

Denpasar, April 2015


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ……….. i

KATA PENGANTAR ……….. ii

DAFTAR ISI ……….. iii

I.PENDAHULUAN ……….. 1

1.2.Rumusan Masalah dan Batasan-Batasan ……….. 3

1.3. Tujuan dan Sasaran ……….. 4

1.4. Metode Pengkajian ... 4

1.5. Lokasi Pengkajian ……….. 5

II.KRITERIA PENCIRI PERSYARATAN TUMBUH TANAMAN ……….. 6

III. ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN KERING DI BALI ……….. 8

IV. GAMBARAN KESESUAIAN BOIFISIK LAHAN KERING DI BALI UNTUK PENGEMBANGAN TANAMAN CENDANA ……….. 11

2.1. Iklim ……….. 11

2.2. Tanah ……….. 11

2.3. Penggunaan Lahan dan Vegetasi ……….. 12

2.4.Managemen Lahan ……….. 12

V. KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN TANAMAN CENDANA PADA LAHAN KERING DI BALI ……….. 13

VI. KESIMPULAN ………. 14

DAFTAR PUSTAKA ………. 15 LAMPIRAN


(4)

(5)

I.PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Sejalan dengan meningkatnya aktivitas pembangunan dan pesatnya peningkatan jumlah penduduk, kebutuhan akan lahan pertanian semakin meningkat pula. Namun demikian persoalan yang dihadapi adalah makin sulitnya mendapatkan lahan lahan subur dan produktif, sementara lahan sawah yang menjadi tulang punggung pertanian tanaman pangan saat ini menghadapi tantangan semakin besar seperti alih fungsi lahan di Bali sukar dibendung dan saat ini lahan lahan sawah banyak yang kekurang air. Oleh karena itu paradigm lahan sawah sebagai tulang punggung pertanian yaitu sebagai pemasok utama produksi pangan nasional harus ditinggalkan. Saat ini dengan semakin meningkatnya kebutuhan untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dengan makin meningkatnya persaingan global, maka tidak dapat dibantah lagi bahwa kebijakan pertanian di Bali khususnya harus berpaling ke lahan lahan kering termasuk lahan kering marginal(kritis). Lahan lahan tersebut mempunyai luasan cukup besar yang nampaknya mempunyai potensi dan peluang cukup tinggi untuk dimanfaatkan. Berdasarkan data dari Balai Pengelolaan Daerah Aliaran Sungai Unda Anyar (2009), luas lahan kritis di Bali yang berada di luar maupun di dalam kawasan hutan mencapai 305.035 Ha. Dimasa depan pertanian lahan kering diharapkan bukan hanya dapat mendukung program ketahanan pangan, tetapi juga dapat menjadi motor perekonomian daerah dan nasional yang tangguh.

Pengembangan lahan kering di Bali nampaknya di masa depan mempunyai peluang lebih besar dibandingkan lahan sawah karena : (1) Dapat dikembangkan sebagai komoditi andalan, (2) mendukung program ketahanan pangan, (3) memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional, (4) mengentaskan kemiskinan dan membuka lapangan kerja di Pedesaan.

Walaupun sebenarnya potensi lahan kering cukup besar, akan tetapi lahan kering mempunyai agroekosistem yang secara in herent lebih rapuh, lebih tertinggal dan kurang berkembang serta kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah dibandingkan dengan agroekosistem lahan sawah


(6)

Lahan kering agar dapat diberdayakan bagi pembangunan pertanian berkelanjutan maka diperlukan pengelolaan lahan berkelanjutan yang sesuai dengan kemampuan dan kesesuaiannya. Artinya bukan hanya mampu meningkatkan kualitas ataupun produktivitas lahan maupun mutu sumberdaya lingkungan, tetapi juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah.

Pengelolaan lahan kering berkelanjutan (sustainable upland management) adalah sistem pertanian yang mengandalkan managemen sumberdaya lahan untuk memenuhi kelangsungan hidup manusia tanpa banyak menurunkan mutu dari sumberdaya lahan lingkungannya tersebut. Artinya sistem pertanian berkelanjutan mampu menghasilkan produksi dan pendapatan petani saat ini. Sementara itu mutu sumberdaya lahan yang digunakan untuk berproduksi tersebut tetap lestari untuk diberdayakan oleh generasi berikutnya. Selain itu sistem pertanian berkelanjutan juga harus layak secara lingkungan, teknis, ekonomis, dan sosial.

Managemen lahan kering secara benar dan berkelanjutan saat ini sangat diperlukan dan mendesak untuk diterapkan di Bali, mengingat telah banyak terjadi degradasi lahan. Managemen lahan agar dapat dilakukan secara baik, maka diperlukan suatu teknologi managemen lahan yang tepat guna dan tepat sasaran (spesifik lokasi) sesuai dengan keragaan (kualitas/karakteristik) sumberdaya lahan yang bersangkutan.

Memperoleh teknologi yang tepat sasaran diperlukan pendekatan interdisiplin untuk mengidentifikasi prioritas pengembangan dan uji coba teknologi yang mampu menjawab permasalahan dalam pemanfaatan sumberdaya lahan secara komprehensif. Perlu adanya kajian yang mendalam dari Perguruan Tinggi untuk menemukan teknologi yang tepat guna dalam meningkatkan produktivitas lahan kering, pendapatan petani, pelestarian lingkungan dan diterima oleh masyarakat. Penelitian/pengembangan teknologi pengelolaan sumberdaya lahan harus dapat menjawab keinginan dan permasalahan petani, oleh karena itu dalam kegiatannya harus diawali dengan pemilihan komoditas yang mempunyai prospek pasar yang menjanjikan dan komoditas tersebut memang benar-benar cocok untuk kawasan tertentu.

Tanaman cendana (Santalum album L.) merupakan tanaman yang mempunyai nilai ekonomis tinggi sebagai bahan baku industry. Di Bali, kayu cendana digunakan


(7)

untuk kerajinan patung, kipas, acara ritual keagamaan, dan juga industry kosmetik karena kandungan minyaknya mempunyai aroma yang harum dan lembut.

Berdasarkan syarat tumbuhnya, tanaman cendana tumbuh dengan baik di Pulau Timor yang mempunyai iklim kering yang jelas, atau berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951) memiliki tipe iklim D dan E, dengan curah hujan 625 mm – 1625 mm/th dan jumlah bulan kering 7 – 8 bulan, suhu udara 18 – 35 o C. Ketinggian tempat 50m – 1000 m dari permukaan laut, jenis tanah Regosol, Mediteran, dan Litosol dengan bahan induk batuan volkanik dan kapur, pH tanah sedang sampai netral (pH 6,59 – 7,0). Drainase tanah baik, permeabilitas agak cepat, kadar N total sedang, P2O5 sedang sampai

tinggi, K2O rendah sampai tinggi (Hamzah, 1976 dalam Surata, 2005).

Melihat gambaran umum dari persyaratan tumbuh tanaman cendana tersebut, tampaknya beberapa wilayah lahan kering di Bali dapat dikembangkan untuk tanaman cendana. Namun untuk tujuan pengembangannya secara intensif perlu kajian kesesuaian lahan secara lebih mendalam untuk melihat gambaran special wilayah kecocokan pengembangannya. Dalam tulisan ini dipaparkan data hasil – hasi penelitian sebelumnya dari beberapa wilayah lahan keringdi Bali yang mempunyai Zona agroklimat cukup dari beberapa wilayah lahan kering di Bali.

1.2. Rumusan Permasalan dan Batasan-Batasan

1.2.1. Rumusan Permasalahan

a. Bagaimana arahan pengembangannya berdasarkan kondisi biofisik lahan yang dimilikinya

b. Bagaimana tingkat kesesuaian lahan kering di Bali untuk pengembangan tanaman cendana

c. Bagaimana kondisi biofisik sumberdaya lahan kering di daerah Bali untuk pengembangan tanaman cendana

1.2.2. Batasan batasan

a. Lahan kering yang dimaksudkan disini adalah kawasan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air baik secara permanen maupun musimam dengan sumber air berupa air hujan maupun air irigasi (Arsyad, 2010)


(8)

b. Lahan marginal adalah lahan lahan yang memilki sejumlah factor pembatas, dan bila diusahakan memerlukan tambahan input untuk meningkatkan produktivitasnya.

c. Lahan kritis adalah lahan lahan yang telah mengalami kerusakan cukup berat sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang diharapkan

d. Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan dari sebidang lahan untuk tujuan pengembangan yang ditentukan/diinginkan terutama tanaman cendana.

e. Arahan pengembangan yang dimaksud disini adalah strategi/usha yang dilakukan untuk tujuan pengembangan sumberdaya lahan berdasarkan tingkat kesesuaian lahan dan faktor faktor pembatas yang dimilikinya.

1.3. Tujuan dan Sasaran

1.3.1. Tujuan

Tujuan pengkajian adalah untuk memberikan gambaran secara umum tentang kondisi biofisik lahan kering di Bali dan potensi/kesesuaiannya dikaitkan untuk pengembangan tanaman cendana

1.3.2. Sasaran

a. Memberikan arahan dalam strategi pengembangan lahan kering

b. Melakukan kajian secara umum potensi biofisik lahan kering di Bali serta tingkat kesesuaiannya secara umum untuk pengembangan tanaman cendana

1.4. Metode Pengkajian

1.4.1. Metode pengumpulan data

Pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi yaitu mempelajari dan mengkaji dari laporan hasil hasil penelitian sebelumnya.

1.4.2. Metode analisis data

Metode pengkajian menggunakan metode diskriptif yaitu suatu metode untuk mengkaji sesuatu objek/suatu kondisi. Dalam konteks ini suatu kondisi yang dianalisis adalah kondisi biofisik lahan kering di Bali. Tujuannya adalah untuk


(9)

memberikan makna terhadap data/informasi dari beberapa dokumen laporan hasil hasil penelitian sebelumnya.

1.4.3. Lokasi pengkajian

Lokasi pengkajian adalah beberapa wilayah lahan kering di Bali yang mempunyai zone agroklimat memungkinkan untuk pengembangan tanaman cendana. Pembatas wilayah pengkajian dimaksudkan disini adalah untuk menghindari adanya keinginan pengembangan di semua wilayah lahan karena akan dapat mengubah fungsi tata guna lahan yang telah sesuai dengan fungsinya (untuk menghindari alih fungsi lahan).


(10)

II. KRITERIA PENCIRI PERSYARATAN TUMBUH TANAMAN

Semua jenis tanaman untuk dapat tumbuh dan berproduksi, memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu yang kemungkinan berbeda antara satu tanaman dengan tanaman .lainnya.

Secara teknis pertumbuhan tanaman dan faktor-faktor yang mempengaruhinya merupakan faktor penting dalam suatu system usaha tani. Tingkat produksi yang dicapai akan memuaskan hanya jika dalam usaha tani tersebut dilakukan pengelolaan tanaman dan habitatnya dengan baik.

Pertumbuhan dan produksi tanaman ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor genetik yang merupakan sifat tetap dari tanaman dan faktor lingkungan yang dapat berubah setiap saat (Tisdale dan Nelson, 1975). Faktor lingkungan merupakan faktor yang menentukan tingkat pertumbuhan dari suatu gen tertentu. Namun walaupun dari masing-masing indikator tumbuh sangat tergantung pada sifat genetik tanaman, namun sifat genetik ini masih dapat berubah akibat pengaruh lingkungan sehingga akan terbentuk fenotipe tertentu. Faktor lingkungan yang sangat penting peranannya adalah faktor tanah, iklim dan topografi. Kondisi dari sifat-sifat tanah tidak saja menentukan kemampuan menyediakan hara bagi tanaman, tetapi juga menentukan daya jelajah akar tanaman sebagai organ pengambil hara dan penegak tanaman (Sys dan Debaveye, 1991). Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman ditentukan oleh kondisi sifat fisik, kimia, biologi, dan kondisi pengharaan dalam tanah. Atas dasar pemikiran ini maka dalam sitem evaluasi lahan disusun serangkaian criteria penciri yang terdiri atas unsure tanah, iklim dan topografi. Hal tersebut dimaksudkan untuk tujuan evaluasi fisik lahan secara semi kuantitatif. Sedangkan dalam evaluasi lahan kuantitatif selain factor-faktor tersebut di atas juga harus diperhitungkan aspek sosial dan ekonomi.

Kriteria penciri adalah variable yang telah diketahui mempunyai pengaruh terhadap hasil atau output yang diperoleh atau masukan (input) yang diperlukan untuk suatu jenis penggunaan lahan tertentu. Jadi kriteria penciri menunjukkan sampai seberapa jauh kualitas atau kondisi lahan yang ada dapat memenuhi kebutuhan atau persyaratan yang diperlukan dalam penggunan lahan. Ukuran-ukuran tersebut menunjukkan tingkat kesesuaian dari sebidang lahan.


(11)

Persyaratan tumbuh yang diperlukan oleh masing-masing tanaman mempunyai batas minimum, optimum dan maksimum. Untuk menentukan kelas kesesuaian lahan maka persyaratan ini dijadikan dasar dalam penyusunan criteria kelas kesesuaian lahan yang dikaitkan dengan kualitas dan karakteristik lahan. Dapat disimpulkan bahwa dalam introduksi suatu komoditas pertanian ke suatu tempat harus diperhatikan dengan seksama persyaratan tumbuh dari komoditas yang ingin dikembangkan tersebut.


(12)

III. ARAHAN PENGEMBANGAN/PENGGUNAAN LAHAN KERING DI BALI

Seperti diketahui bahwa hasil penilaian kesesuaian lahan harus dapat menunjukkan pilihan untuk pengelolaan penggunaan lebih lanjut. Asumsi yang dapat digunakan adalah bahwakelas kesesuaian lahan dikelompokkan berdasarkan atas jumlah, jenis, dan intensitas dari faktor pembatasnya, sehingga penetapan alternative perencanaan pengelolaan dalam penggunaan lahan selayaknya berdasarkan pada:

1. Hasil evaluasi lahan yaitu hasil diskripsi kualitas/karakteristik biofisik lahan, kelas/subkelas/unit pengelolaan lahan, uji produktivitas lahan setelah diberikan masukan, jaminan harga/pemasaran hasil serta kondisi social ekonomi setempat. Perlunya rancangan dalam arahan pengembangan/penggunaan lahan kering adalah untuk perbaikan/kelestarian lahan, peningkatan kesejahteraan masyarakat. Komponenpenting yang harus diperhatikan adalah kebutuhan input/masukkan yang diperlukan untuk perbaikan lahan yang bersangkutan. Faktor pertama yang harus dipertimbangkan dalam penentuan alternatif tipe penggunaan lahan adalah faktor iklim (zona agroklimat), karena perannanya sangat menentukan apakah suatu jenis tanaman dapat tumbuh dan berproduksi melalui suhu dan ketersediaan air. Banyak dijumpai bahwa secara vegetatif tanaman tumbuh dengan subur, akan tetapi tidak berproduksi secara maksimal, atau kualitas hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sebagai contoh, tanaman anggur secara vegetatif akan dapat tumbuh subur di Denpasar, tapi tidak akan dapat berproduksi secara maksimal baik kuantitas maupun kualitasnya karena faktor suhu dan ketersediaan air tidak sesuai persyaratan tumbuh tanaman anggur. Disamping itu pembatas iklim terutama suhu udara merupakan faktor pembatas yang sulit/tidak dapat diperbaiki, sehingga bila faktor tersebut sebagai pembatas, akan menurunkan potensi/kesesuaiannya untuk penggunaan tertentu. Secara umum faktor pembatas di luar faktor iklim bila sifatnya tidak terlalu ekstrim biasanya masih bisa diatasi dengan memperbaiki pengelolaan yang sesuai dengan kebutuhannya.

2. Hasil pengujian langsung terhadap kesesuaian lahan potensialnya. Artinya terlebih dahulu kita harus mencoba secara langsung dengan indikator tanaman yang ingin


(13)

dikembangkan setelah dilakukan perbaikanterhadap faktor pembatas yang dimiliki oleh sumberdaya lahan yang bersangkutan. Namun cara ini memerlukan waktu yang lama sehingga dengan pendekatan data biofisik sumberdaya lahan yang benar-benar akurat, maka hasil evaluasi lahan biasanya sangat membantu dalam menentukan arahan penggunaan/pengelolaan lahan. Penelitian-penelitian yang detail sangat diperlukan guna memperoleh data potensi biofisik sumberdaya lahan yang akurat. Berdasarkan hasil kajian kondisi biofisik, secara umum lahan kering di Bali, serta potensi/kesesuaian dan faktor-faktor pembatas dalam pengembangnya maka diarahkan beberapa hal :

a. Melakukan tindakan konservasi

Melihat tingginya tingkat erosi pada lahan kering di Bali, maka tindakan konservasi dengan teknologi spesifik lokasi (pembuatan terasering, peningkatan persentase penutupan lahan dengan managemen pengelolaan tanaman yang memadai dan sebagainya. Mutlak dan mendesak untuk dilaksanakan dalam mencegah terjadinya perluasan lahan-lahan kritis dan kerusakan lingkungan di Bali.

b. Memberikan tambahan bahan organik dan hara ke dalam tanah

Sesuai dengan faktor pembatas yang dimilik oleh lahan kering di Bali Khususnya kandungan bahan organik dan kandungan hara adalah rendah, maka dalam arahan pengembangannya perlu dilakukan penambahan bahan organik maupun pupuk dengan unsur nitrogen ke dalam tanah.

c. Menekan terjadinya alih fungsi lahan

Hindari alih fungsi lahan-lahan kering yang telah produktif untuk komoditas tertentu apalagi lahan tersebut telah memiliki keunggulan yang spesifik untuk pengembangan komoditas tertentu. Bila memungkinkan perlu dilakukan penataan kembali untuk mengembalikan fungsi peruntukan masing-masing kawasan dalam pengelolaan lahan kering di Bali sehingga tercipta keseimbangan ekologis.

d. Peningkatan kualitas sumberdaya masyarakat tani

Diperlukan pembinaan yang intensif dan berkelanjutan dalam peningkatan kualias sumberdaya manusia khususnya kepada masyarakat petani pengguna lahan


(14)

sehingga mereka mampu dan mau melakukan konservasi dan rehabilitasi lahan pada lahan garapannya sendiri.

e. Penerapan sitem Agroforestri (wanatani)

Sistem wanatani untuk pengelolaan lahan kering di Bali nampaknya sangat cocok untuk diterapkan saat ini. Sistem wanatani adalah suatu metode penggunaan lahan secara optimal, yang mengkombinasikan system-system produksi biologis yang berotasi pendek dan panjang (kombinasi produksi kehutanan dengan produksi biologis lainnya) dengan berdasarkan azas kelestarian. Sistem wanatani terdiri atas komponen pohon dan bukan pohon ditanam dalam asosiasi yang rapat dengan tujuan memaksimumkan hasil jangka panjang produk yang diinginkan. Hasil umumnya didapatkan baik dari pohon maupun bukan pohon, secara langsung maupun tidak langsung (D.J. Conor, Australia dalam Arsyad, 2010) bahwa Sistem wanatani ini antara lain dapat berupa kombinasi antara tanaman kehutanan dengan tanaman pangan (agrisilviculture), antara tanaman kehutanan dengan ternak (silvofasture), kombinasi antara tanaman kehutanan dengan tanaman pangan dan ternak (agrosilvopasture).

Aspek biofisik yang menguntungkan dengan penerapan system wanatani ini adalah pemanfaatan ruang dapat menjadi lebih efisien. Pengaturan komposisi jenis tanaman, struktur tanaman dan pola tanam yang tepat, maka lapisan atas, tengah dan bawah dari tanah dapat terisi dengan baik. Contoh pemilihan jenis-jenis tanaman yang mempunyai kedalaman akar yang berbeda untuk menekan persaingan unsur hara. Selain itu dengan menerapkan system wanatani secara tepat diharapkan dapat menjamin kelestarian lingkungan yang salah satu indikasinya adalah dapat menekan limpasan permukaan dan menekan tingkat erosi yang lebih besar.


(15)

IV. GAMBARAN KESESUAIAN BIOFISIK LAHAN KERING DI BALI UNTUK PENGEMBANGAN TANAMAN CENDANA

2.1. Iklim

Berdasarkan penggolongan iklim menurut Schmit dan Ferguson (1951), maka beberapa daerah lahan kering di Bali yang mempunyai tipe iklim D dan E yang cukup potensial untuk pengembangan tanaman cendana antara lain : Kabupaten Buleleng yaitu di Kecamatan Grokgak, Seririt, Kubu Tambahan, dan Tejakula. Kabupaten Karangasem yaitu Kecamatan Kubu, Karangasem/Seraya, Abang dan Kecamatan Manggis. Kabupaten Klungkung yaitu di Kecamatan Dawan dan Nusa Penida. Kabupaten Bangli yaitu di Kecamatan Kintamanai. Kabupaten Badung yaitu di KecamatanKuta Selatan/Bukit Jimbaran, dan Kabupaten Jembrana yaitu di Kecamatan Melaya.

Rata-rata suhu udara bulanan terendah untuk dataran rendah berkisar 25,6 – 26,9oC yang jatuh pada bulan Juni dan Juli, sedangkan rata-rata bulanan tertinggi adalah 27,3 – 32,7oC yang jatuh pada bulan Oktober dan Nopember atau Nopember dan Desember. Rata-rata suhu bulan terendah untuk dataran tinggi berkisar 16,4 – 19,7oC yang jatuh pada bulan Juli dan Agustus, sedangkan rata-rata suhu udara bulanan tertinggi untuk daerah dataran tinggi sekitar 20,9 – 22,7oC yang jatuh paga bulan Maret dan April.

2.2. Tanah

Berdasarkan Peta Tanah Tinjau, Pulau Bali yang dipadankan dengan Klasifikasi Tanah system Taksonomi (Soil Survey Staff, 1998), beberapa wilayah lahan kering yang disebutkan di atas memiliki bererapa jenis tanah yaitu: (a) Jenis tanah Mediteran dipadankan dengan Alfisols, Mollisols, Inceptisols dengan inklusi Vertisols; Jenis Regosol dipadankan dengan Inceptisols, Entisol; Jenis tanah Latosol dipadankan dengan Alfisols, Inceptisols; Jenis Litosol dipadankan dengan Alfisos, Inceptisols, Entisols dari subgroup Lithic/tanah-tanah dangkal.

Beberapa sifat fisik tanah dari jenis-jenis tersebut di atas adalah : tekstur tanah berkisar dari lempung berliat, lempung, lempung liat berdebu, lempung berdebu, lempung berpasir, pasir berlempung hingga berpasir. Permeabilitas tanah berkisar dari


(16)

agak lambat sampai cepat/sangat cepat. Drainase tanah baik sampai sangat baik dan kedalaman efektif tanahdari sangat dangkal sampai dalam (15 - > 150 cm).

Beberapa sifat kimia dan kesuburan tanahnya antara lain : KTK tanah berkisar dari sangat rendah sampai tinggi; kejenuhan basa (KB) berkisar dari tinggi sampai sangat tinggi; pH tanah dari agak masam sampai netral; Bahan Organik tanah berkisar dari sangat rendah sampai sedang; N-total tanah berkisar dari rendah sampai sangat rendah; P2O5 bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi; K2O berkisar dari rendah sampai

tinggi. Kesuburan tanahnya tergolong sedang sampai tinggi. Salinitas tanahnya tergolong sangat rendah dan bahaya erosi bervariasi dari rndah sampai sangat berat. Beberapa karakteristik/kualitas lahan dari berbagai wilayah lahan kering di Bali dapat dilihat pada Tabel 1 (Lampiran).

2.3. Penggunaan lahan dan vegetasi

Penggunaan lahan kering di Bali dibedakan atas : tegalan; kebun campuran, reboisas/penghijauan, semak belukar, padang rumput, hutan, dan kawasan konservasi.

2.4. Managemen lahan

Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan pengamatan langsung di lapangan, managemen pengelolaan lahan kering di Bali khususnya menunjukkan bahwa 60 – 70 % petani lahan kering masih menggunakan managemen rendah, dan selebihnya menggunakan managemen sedang. Hal ini dibuktikan dengan beberapa indicator antara lain; kurangnya penggunaan sarana produksi seperti pupuk baik pupuk organik maupun anorganik, penanaman bibit yang yang kurang terjamin kualitasnya, kurangnya pemeliharaan/perawatan tanaman. Petani masih jarang yang melakukan tindakan konservasi lahan terutama pada lahan lahan miring, penataan tanaman (jenis, kombinasi serta jarak tanamnya) belum dilaksanakan dengan baik. Masih banya petani yang bertanam dengan system coba coba tanpa menyesuaikan dengan potensi/kesesuaian lahannya serta masih banyak lahan lahan kering yang mempunyai tingkat penutupan lahan yang sangat rendah (<30%). Hal-hal seperti disebutkan sebelunya, bila tidak dilakukan penataan penggunaan lahan dengan segera, maka sudah dapat dipasikan akan semakin bertabah luas lahan-lahan marginal/kritis di Bali.


(17)

V. POTENSI/KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN TANAMAN CENDANA PADA LAHAN KERING DI BALI

Berdasarkan potensi biofisik sumberdaya lahan kering di Bali seperti yang dipaparkan di atas, serta persyaratan tumbuh tanaman cendana, maka wilayah-wilayah lahan kering yang telah disebutkan sebelumnya secara actual mempunyai tingkat kesesuaian lahan dari cukup sesuai (S2) sampai sesuai marginal (S3), dengan perkiraan factor pembatas ketersediaan hara khususnya nitrogen dan retensi hara (pH tanah-tanah yang agak masam, bahan organik yang tergolong rendah sampai sangat rendah), bahaya erosi terutama pada lahan-lahan dengan tingkat bahaya erosi berat hingga sangat berat. Di lahan-lahan kering faktor pembatas yang tidak kalah penting adalah air. Namun dari jenis-jenis faktor pembatas yang diperkirakan dengan teknologi managemen lahan yang memadai masih memungkinkan untuk diatasi, misalnya ketersediaan hara N (nitrogen) ditambahkan dengan pupuk yang mengandung unsur nitrogen, pH tanah yang agak masam dapat ditambahkan dengan sedikit pengapuran. Rendahnya kandungan bahan organik dapat dilakukan dengan penambahan bahan organic baik berupa pupuk kandang, kompos, pupuk hijau atau pengembalian sisa-sisa tanaman kedalam tanah. Sedangkan kalau air yang menjadi faktor pembatas maka pada lahan tersebut perlu dilakukan pemulsaan baik dengan sisa-sisa tanaman maupun dengan plastik (khusus pada tanaman yang baru tumbuh), juga dapat dilakukan dengan irigasi tetes.


(18)

VI. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan mengenai kondisi lahan-lahan di Bali dan tingkat kesesuaian lahan untuk pengembangan tanaman cendana, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Melakukan pengelolaan lahan kering berkelanjutan serta memahami dan mentaati

segala kaidahnya guna mencegah meluasnya lahan-lahan kering marginal/kritis di Bali.

2. Agar tetap terjamin keseimbangan agroekosistem, sedapat mungkin dihindari terjadinya alih fungsi lahan terutama pada lahan-lahan subur yang telah diusakan secara intensif.

3. Perlu bersikap hati-hati dengan selalu berpedoman pada potensi biofisik/kesesuaian lahannya serta persyaratan tumbuh dari tanaman yang bersangkutan dan prospek pemasaran hasil yang jelas dan terjamin bila mengintroduksi suatu tanaman tertentu. 4. Berdasarkan kondisi biofisik lahan kering terutama kondisi zona agroklimatnya, maka

beberapa daerah di Bali (antara lain di daerah/Kecamatan Grokgak,Kubu, Abang, Nus Penida, Kintamani, Bukit Jimbaran bahkan di Melaya), cukup memungkinkan untuk pengembangan tanaman cendana dengan tingkat kesesuaian actual berkisar dari cukup sesuai (S2) sampai sesuai marjinal (S3) sebagai faktor pembatasnya adalah retensi hara (ph dan bahan organic tanah), ketersediaan hara (unsur N), dan bahaya erosi. Bila diarahkan untuk tujuan pengembangan, maka faktor-faktor pembatas tersebut harus diperhitungkan.

5. Perlu dilakukan kajian yang mendalam secara terpadu dalam rangka pengembangan tanaman cendana di Bali, sehingga secara teknis, dan social ekonomi dapat dipertanggung jawabkan.


(19)

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad Sitanala, 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi kedua.IPB Press. Bogor Balai Pengelolaan DAS Unda Anyar. 2009. Laporan penyusunan data spasial lahan

kritis Propinsi Bali.

FAO. 1976. A Framework for land evaluation. FAO Soil Buletin No.32.

Lembaga Penelitian Tanah, 1980. Evaluasi kesesuaian lahan. Lembaga Penelitian Tanah. Proyek penelitian pertanian penunjang transmigrasi, Bogor.

Schmidt and Ferguson. 1951. Rainfall types based on wet and dry period rations for Indonesia with Western New Guinea. Verhand 42. Direktorat Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.

Soil Survey Staff. 2010. Keys to Soil Taxonomy, eleventh Edition NRCS-USDA, Washington, DC.

Surata, I.K. 2005. Prospek pengembangan hutan tanaman cendana (Santalum Album L.) di Propinsi Bali. Makalah seminar pada Expose hasil penelitian Balai Litbang kehutanan Bali dan Nusa Tengara, 16 Nopember 2005 di Denpasar Bali

Sys,C.E. Van Ranst and J. Debaveye, 1991. Land Evaluation Part I. Principles in land evaluation and crop production calculation. International Training Centre for post-Graduate Soil Scientist University Ghent.

Tisdale, S. L. and W.L. Nelson. 1975. Soil fertility and fertilizers. 3rd.ed. The Mac


(20)

Keterangan :

CL = Clay Loam ST = Sangat Tnggi S = Sand T = Tinggi SL = Sandy Loam S = Sedang LS = Loamy Sand R = Rendah

SiL = Silt Loam SR = Sangat Rendah L = Loam


(1)

IV. GAMBARAN KESESUAIAN BIOFISIK LAHAN KERING DI BALI UNTUK PENGEMBANGAN TANAMAN CENDANA

2.1. Iklim

Berdasarkan penggolongan iklim menurut Schmit dan Ferguson (1951), maka beberapa daerah lahan kering di Bali yang mempunyai tipe iklim D dan E yang cukup potensial untuk pengembangan tanaman cendana antara lain : Kabupaten Buleleng yaitu di Kecamatan Grokgak, Seririt, Kubu Tambahan, dan Tejakula. Kabupaten Karangasem yaitu Kecamatan Kubu, Karangasem/Seraya, Abang dan Kecamatan Manggis. Kabupaten Klungkung yaitu di Kecamatan Dawan dan Nusa Penida. Kabupaten Bangli yaitu di Kecamatan Kintamanai. Kabupaten Badung yaitu di KecamatanKuta Selatan/Bukit Jimbaran, dan Kabupaten Jembrana yaitu di Kecamatan Melaya.

Rata-rata suhu udara bulanan terendah untuk dataran rendah berkisar 25,6 – 26,9oC yang jatuh pada bulan Juni dan Juli, sedangkan rata-rata bulanan tertinggi adalah 27,3 – 32,7oC yang jatuh pada bulan Oktober dan Nopember atau Nopember dan Desember. Rata-rata suhu bulan terendah untuk dataran tinggi berkisar 16,4 – 19,7oC yang jatuh pada bulan Juli dan Agustus, sedangkan rata-rata suhu udara bulanan tertinggi untuk daerah dataran tinggi sekitar 20,9 – 22,7oC yang jatuh paga bulan Maret dan April. 2.2. Tanah

Berdasarkan Peta Tanah Tinjau, Pulau Bali yang dipadankan dengan Klasifikasi Tanah system Taksonomi (Soil Survey Staff, 1998), beberapa wilayah lahan kering yang disebutkan di atas memiliki bererapa jenis tanah yaitu: (a) Jenis tanah Mediteran dipadankan dengan Alfisols, Mollisols, Inceptisols dengan inklusi Vertisols; Jenis Regosol dipadankan dengan Inceptisols, Entisol; Jenis tanah Latosol dipadankan dengan Alfisols, Inceptisols; Jenis Litosol dipadankan dengan Alfisos, Inceptisols, Entisols dari subgroup Lithic/tanah-tanah dangkal.

Beberapa sifat fisik tanah dari jenis-jenis tersebut di atas adalah : tekstur tanah berkisar dari lempung berliat, lempung, lempung liat berdebu, lempung berdebu, lempung berpasir, pasir berlempung hingga berpasir. Permeabilitas tanah berkisar dari


(2)

agak lambat sampai cepat/sangat cepat. Drainase tanah baik sampai sangat baik dan kedalaman efektif tanahdari sangat dangkal sampai dalam (15 - > 150 cm).

Beberapa sifat kimia dan kesuburan tanahnya antara lain : KTK tanah berkisar dari sangat rendah sampai tinggi; kejenuhan basa (KB) berkisar dari tinggi sampai sangat tinggi; pH tanah dari agak masam sampai netral; Bahan Organik tanah berkisar dari sangat rendah sampai sedang; N-total tanah berkisar dari rendah sampai sangat rendah; P2O5 bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi; K2O berkisar dari rendah sampai

tinggi. Kesuburan tanahnya tergolong sedang sampai tinggi. Salinitas tanahnya tergolong sangat rendah dan bahaya erosi bervariasi dari rndah sampai sangat berat. Beberapa karakteristik/kualitas lahan dari berbagai wilayah lahan kering di Bali dapat dilihat pada Tabel 1 (Lampiran).

2.3. Penggunaan lahan dan vegetasi

Penggunaan lahan kering di Bali dibedakan atas : tegalan; kebun campuran, reboisas/penghijauan, semak belukar, padang rumput, hutan, dan kawasan konservasi.

2.4. Managemen lahan

Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan pengamatan langsung di lapangan, managemen pengelolaan lahan kering di Bali khususnya menunjukkan bahwa 60 – 70 % petani lahan kering masih menggunakan managemen rendah, dan selebihnya menggunakan managemen sedang. Hal ini dibuktikan dengan beberapa indicator antara lain; kurangnya penggunaan sarana produksi seperti pupuk baik pupuk organik maupun anorganik, penanaman bibit yang yang kurang terjamin kualitasnya, kurangnya pemeliharaan/perawatan tanaman. Petani masih jarang yang melakukan tindakan konservasi lahan terutama pada lahan lahan miring, penataan tanaman (jenis, kombinasi serta jarak tanamnya) belum dilaksanakan dengan baik. Masih banya petani yang bertanam dengan system coba coba tanpa menyesuaikan dengan potensi/kesesuaian lahannya serta masih banyak lahan lahan kering yang mempunyai tingkat penutupan lahan yang sangat rendah (<30%). Hal-hal seperti disebutkan sebelunya, bila tidak dilakukan penataan penggunaan lahan dengan segera, maka sudah dapat dipasikan akan semakin bertabah luas lahan-lahan marginal/kritis di Bali.


(3)

V. POTENSI/KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN TANAMAN CENDANA PADA LAHAN KERING DI BALI

Berdasarkan potensi biofisik sumberdaya lahan kering di Bali seperti yang dipaparkan di atas, serta persyaratan tumbuh tanaman cendana, maka wilayah-wilayah lahan kering yang telah disebutkan sebelumnya secara actual mempunyai tingkat kesesuaian lahan dari cukup sesuai (S2) sampai sesuai marginal (S3), dengan perkiraan factor pembatas ketersediaan hara khususnya nitrogen dan retensi hara (pH tanah-tanah yang agak masam, bahan organik yang tergolong rendah sampai sangat rendah), bahaya erosi terutama pada lahan-lahan dengan tingkat bahaya erosi berat hingga sangat berat. Di lahan-lahan kering faktor pembatas yang tidak kalah penting adalah air. Namun dari jenis-jenis faktor pembatas yang diperkirakan dengan teknologi managemen lahan yang memadai masih memungkinkan untuk diatasi, misalnya ketersediaan hara N (nitrogen) ditambahkan dengan pupuk yang mengandung unsur nitrogen, pH tanah yang agak masam dapat ditambahkan dengan sedikit pengapuran. Rendahnya kandungan bahan organik dapat dilakukan dengan penambahan bahan organic baik berupa pupuk kandang, kompos, pupuk hijau atau pengembalian sisa-sisa tanaman kedalam tanah. Sedangkan kalau air yang menjadi faktor pembatas maka pada lahan tersebut perlu dilakukan pemulsaan baik dengan sisa-sisa tanaman maupun dengan plastik (khusus pada tanaman yang baru tumbuh), juga dapat dilakukan dengan irigasi tetes.


(4)

VI. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan mengenai kondisi lahan-lahan di Bali dan tingkat kesesuaian lahan untuk pengembangan tanaman cendana, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Melakukan pengelolaan lahan kering berkelanjutan serta memahami dan mentaati

segala kaidahnya guna mencegah meluasnya lahan-lahan kering marginal/kritis di Bali.

2. Agar tetap terjamin keseimbangan agroekosistem, sedapat mungkin dihindari terjadinya alih fungsi lahan terutama pada lahan-lahan subur yang telah diusakan secara intensif.

3. Perlu bersikap hati-hati dengan selalu berpedoman pada potensi biofisik/kesesuaian lahannya serta persyaratan tumbuh dari tanaman yang bersangkutan dan prospek pemasaran hasil yang jelas dan terjamin bila mengintroduksi suatu tanaman tertentu. 4. Berdasarkan kondisi biofisik lahan kering terutama kondisi zona agroklimatnya, maka

beberapa daerah di Bali (antara lain di daerah/Kecamatan Grokgak,Kubu, Abang, Nus Penida, Kintamani, Bukit Jimbaran bahkan di Melaya), cukup memungkinkan untuk pengembangan tanaman cendana dengan tingkat kesesuaian actual berkisar dari cukup sesuai (S2) sampai sesuai marjinal (S3) sebagai faktor pembatasnya adalah retensi hara (ph dan bahan organic tanah), ketersediaan hara (unsur N), dan bahaya erosi. Bila diarahkan untuk tujuan pengembangan, maka faktor-faktor pembatas tersebut harus diperhitungkan.

5. Perlu dilakukan kajian yang mendalam secara terpadu dalam rangka pengembangan tanaman cendana di Bali, sehingga secara teknis, dan social ekonomi dapat dipertanggung jawabkan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad Sitanala, 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi kedua.IPB Press. Bogor

Balai Pengelolaan DAS Unda Anyar. 2009. Laporan penyusunan data spasial lahan kritis Propinsi Bali.

FAO. 1976. A Framework for land evaluation. FAO Soil Buletin No.32.

Lembaga Penelitian Tanah, 1980. Evaluasi kesesuaian lahan. Lembaga Penelitian Tanah. Proyek penelitian pertanian penunjang transmigrasi, Bogor.

Schmidt and Ferguson. 1951. Rainfall types based on wet and dry period rations for Indonesia with Western New Guinea. Verhand 42. Direktorat Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.

Soil Survey Staff. 2010. Keys to Soil Taxonomy, eleventh Edition NRCS-USDA, Washington, DC.

Surata, I.K. 2005. Prospek pengembangan hutan tanaman cendana (Santalum Album L.) di Propinsi Bali. Makalah seminar pada Expose hasil penelitian Balai Litbang kehutanan Bali dan Nusa Tengara, 16 Nopember 2005 di Denpasar Bali

Sys,C.E. Van Ranst and J. Debaveye, 1991. Land Evaluation Part I. Principles in land evaluation and crop production calculation. International Training Centre for post-Graduate Soil Scientist University Ghent.

Tisdale, S. L. and W.L. Nelson. 1975. Soil fertility and fertilizers. 3rd.ed. The Mac


(6)

Keterangan :

CL = Clay Loam ST = Sangat Tnggi

S = Sand T = Tinggi

SL = Sandy Loam S = Sedang LS = Loamy Sand R = Rendah

SiL = Silt Loam SR = Sangat Rendah L = Loam