PENDAHULUAN Potensi Interaksi Obat Antidepresan Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang Periode Januari September Tahun 2015.

(1)

1

Depresi lebih banyak dijumpai pada seseorang dengan kepribadian tertentu, sedangkan kepribadian banyak ditentukan oleh genetik. Pada keluarga yang salah satu orangtuanya mengalami depresi akan berpeluang 10-15% untuk memiliki anak yang akan menderita depresi dikemudian hari. Disisi lain meskipun anak tidak mempunyai riwayat depresi secara genetik, anak-anak akan belajar untuk meniru perilaku depresi dari orang tuanya. Seseorang yang sehat kepribadian dan jiwanya, bisa saja menderita depresi apabila yang bersangkutan tidak mampu menanggulangi stresor psikososial yang dialami (Yosep, 2010).

Penggunaan obat rasional dalam pelayanan kesehatan di Indonesia masih merupakan masalah. Adanya penggunaan polifarmasi lebih dari 50% menerima 4 atau lebih obat untuk setiap lembar resepnya, penggunaan antibiotika yang berlebihan (43%), waktu konsultasi yang singkat yang rata-rata berkisar 3 menit saja serta tidak adanya kepatuhan (Syamsudin, 2011). Penggunaan antidepresan pada pasien yang mengalami gangguan depresi, banyak dikonsumsi bersamaan dengan obat lain sehingga berpotensi mengakibatkan terjadinya interaksi, prevalensi interaksi obat secara keseluruhan adalah 50% hingga 60%, obat-obatan yang mempengaruhi farmakodinamika atau farmakokinetika menunjukkan prevalensi sekitar 5% hingga 9%. Sekitar 7% efek samping pemberian obat di rumah sakit disebabkan oleh interaksi obat(Syamsudin, 2011).

Obat-obat antidepresan memiliki banyak potensi interaksi dengan obat-obat lain misalnya sertralin dengan heparin (meningkatkan risiko pendarahan), duloxetin dengan tramadol (menyebabkan sindrom serotonin), venlafaxin dan haloperidol yang dapat menyebabkan kardiotoksisitas (Barton, 2011).Penelitian Miguel & Albuquerque, (2011)dalam penelitiannya menunjukkan adanya interaksi obat antidepresan golongan trisiklik dengan obat antineoplastik, yaitu antidepresan trisiklik menghambat isoenzim CYP2C19 dan CYP2D6, selain itu antidepresan golongan SSRI juga dapat menghambat isoenzim


(2)

CYP2C19,sehingga interaksi tersebut dapat mengganggu efektivitasantineoplastikdanmeningkatkantoksisitas.Penelitian Coelh & Brum, (2009)menunjukkan bahwaprevalensi penggunaan antidepresan pada pasien yang hipertensi diabetes (HIPERDIA) adalah 4,37% (29 dari 663 yang dianalisis). Pasien yang diobati HIPERDIA dengan antidepresan, 19 dan 47 terjadi interaksi 23,4% diantaranya terjadi interaksi dengan mekanisme farmakokinetik, 61,7% dengan mekanisme farmakodinamik dan 15,9% berinteraksi sinergisme dari cara penggunaan secara bersamaan sehingga komplikasi yang terjadi disebabkan karena interaksi antara obat antidepresan dengan antihipertensi yang dikombinasi dengan antidiabetik tersebut. Hasil-hasil penelitian interaksi yang bermakna klinis tersebut dan tingginya penggunaan obat antidepresan sepanjang periode Januari - September sebesar 2382di RSJ. Prof. Dr. Soerojo Magelang melandasi dilakukannya studi tentang interaksi obat antidepresan.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, maka dapat dirumuskan satu permasalahan yaitu: Bagaimana gambaran interaksi obat yang berpotensial terjadipada pasien yang mendapatkan terapi antidepresan dengan obat lain di RSJ. Prof. Dr. Soerojo Magelang periode Januari - September tahun 2015?

C.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya potensi interaksi obat yang terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi antidepresan di RSJ. Prof. Dr. Soerojo Magelang periode Januari - September tahun 2015.

D.Tinjauan Pustaka 1. Depresi

a. Definisi

Depresi merupakangangguan mental yang sering terjadi didalam kehidupan seseorang yang ditandai dengan gangguan emosi, motivasi, fungsional gerakan tingkah laku, dan kognitif (Pieter et al., 2011). Depresi merupakan reaksi


(3)

yang normal bila berlangsung dalam waktu yang pendek dengan adanya faktor pencetus yang jelas, lama dan dalamnya depresi sesuai dengan faktor pencetusnya. Depresi merupakan gejala psikotik bila keluhan yang bersangkutan tidak sesuai lagi dengan realitas, tidak dapat menilai realitas dan tidak dapat dimengerti oleh orang lain (Yosep, 2010). Diagnosis gangguan depresi meliputi: perubahan mood yang dikarakterisasi untuk ketersediaan atau ketergantungan yang diikuti oleh beberapa perubahan psikofisiologis seperti gangguan tidur, makan, hasrat seksual, konstipasi, hilangnya kemampuan untuk bekerja dengan orang lain, menangis, keinginan bunuh diri dan tingkah laku yang melambat (Keller & Shapiro, 1981).

b. Jenis-jenis Depresi

1). Depresi Pasca Skizofrenia

Depresi merupakan komplikasi dari episode psikotik. Pasien biasanya mengalami sensasi anhedonia (apatis dan kurang tertarik dengan apapun) yang kuat serta turunnya mood. Mereka juga mengalami insomnia dan turunnya nafsu makan atau libido. Tanda klinis utama dari depresi pasca psikotik adalah penurunan perilaku dan perlambatan psikomotor. Sekitar seperempat pasien skizofrenia dan skizoafektif dengan serangan panik Post-Psychotic Depression (PPD), mengindikasikan bahwa gejala ansietas merupakan gambaran Post-Psychotic Depression (PPD) pada pasien skizofrenia (Mental et al., 2001). 2). Depresi Tipe Skizoafektif

Gangguan skizoafektif merupakan kelainan mental yang ditandai adanya kombinasi antara gejala skizofrenia dan gangguan afektif. Gejala klinis skizoafektif berupa gangguan episodik, gangguan mood maupun gejala skizofrenianya menonjol dalam episode yang sama, baik secara simultan maupun bergantian dalam beberapa hari. Gejala skizofrenia dan manik yang menonjol pada episode penyakit yang sama, maka gangguan ini disebut skizoafektif tipe manik. Pada gangguan skizoafektif tipe depresif. Pasien skizoafektif tipe depresifyang mendapatkan terapi akan menunjukkan perbaikan kondisi klinis dan fungsional meskipun terdapat kecenderungan terjadi gejala kekambuhan.Pasien


(4)

dapat diterapi dengan monoterapi ataupun dengan terapi kombinasi dengan antipsikotik dan antidepresan/ mood stabilizer(Surbakti, 2014).

c. Etiologi dan Patofisiologi

Etiologi gangguan depresi sangat kompleks, tidak hanya dapat dijelaskan secara teori saja, tetapi melibatkan berbagai faktor seperti faktor sosial, perkembangan jiwa, dan biologis. Faktor-faktor tersebut dapat terjadi secara bersamaan maupun tidak (Kando et al,. 2007). Depresi dapat disebabkan oleh perbedaan atau kelainan neurotransmiter di beberapa bagian otak. Beberapa hipotesis seperti defisiensi serotonin, norepineprin, dopamin, GABA dan neurotransmiter peptida atau faktor tropik seperti somatostatin dan hormon tiroid telah berkontribusi pada terjadinya depresi (Mann, 2005). MenurutKando et al., (2007), patofisiologi depresi dapat dijelaskan dalam beberapa teori. Teori amina biogenik menyatakan bahwa depresi disebabkan karena kekurangan (defisiensi) senyawa monoamin terutama noradrenalin dan serotonin. Oleh karena itu, depresi dapat dikurangi oleh obat yang dapat meningkatkan kesediaan serotonin, dan noradrenalin, misalnya MAO inhibitor atau antidepresan trisiklik. Namun teori ini tidak dapat membuktikan mengapa onset obat-obat antidepresan umumnya lama (lebih dari 4minggu setelah pemberian dosis), padahal obat antidepresan dapat meningkatkan ketersediaan neurotransmiter secara cepat.

d. Faktor Penyebab Depresi

Menurut Pieter et al., (2011)dalam buku “Pengantar Psikopatologi untuk Keperawatan”. Depresi bisa disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

1) Faktor Internal a) Stres

Stres adalah kondisi atau peristiwa yang memiliki persamaan dengan pengalaman traumatik seseorang dimasa lalu. Kondisi yang dapat menimbulkan stres antara lain: situasi yang menurunkan harga diri, situasi yang menghambat tujuan penting atau menghadapi dilema yang sangat sulit dipecahkan, penyakit atau gangguan fisik atau abnormalitas yang menyebabkan adanya ide-ide negatif pada kemunduran fisiknya.


(5)

b) Kepribadian

Aspek-aspek kepribadian sangat berperan dalam penentuan tinggi rendahnya dan kerentanan pada depresi seseorang. Kepribadian merupakan ciri khas atau karakteristik yang unik dari diri seseorang.

c) Faktor usia

Berdasarkan laporan penelitian menunjukkan bahwa kelompok orang-orang muda, yakni remaja dan orang dewasa (usia 18-44 tahun) cenderung lebih mudah terserang depresi

d) Faktor biologis

Selama orang mengalami depresi, maka dia memiliki ketidakseimbangan dalam pelepasan neurotransmiter serotonin mayor, norepinefrin, dopamin, asetilkolin, dan asam gama aminobutrik.

2) Faktor Eksternal

Faktor-faktor eksternal yang menyebabkan depresi antara lain:

a) Faktor keluarga, meliputi: kedekatan, interaksi, dan komunikasi antar anggota keluarga, dukungan emosional dari pasangan, dan suasana rumah tangga. b) Faktor lingkungan, meliputi: relasi, peran sosial, dukungan sosial, status

sosioekonomi, dan latar belakang pendidikan.

c) Faktor tekanan hidup, yakni berbagai peristiwa hidup yang dapat menyebabkan stres dan trauma bagi seseorang.

e. Gejala

Diagnosis gangguan depresi dapat dilihat dengan menggunakan kriteria dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 4th editions (DSM-IV) :

1) Penurunan mood hampir sepanjang hari, hampir setiap hari. 2) Berkurangnya minat atau kesenangan dalam semua kegiatan.

3) Nafsu makan turun, berat badan turun secara signifikan tanpa adanya diet. 4) Insomnia atau hipersomnia.

5) Agitasi atau retardasi motorik (gelisah atau perlambatan gerakan motorik). 6) Mudah lelah dan kehilangan energi


(6)

8) Berkurangnya kemampuan untuk berfikir, berkonsentrasi dan terdapat keraguan.

9) Pikiran-pikiran tentang kematian dan rasa ingin bunuh diri.

Dinyatakan depresi bila terpenuhi minimal 5 atau lebih dari 9 gejala hampir setiap hari selama periode 2minggu (Unutzer, 2007).

f. Pengobatan 1) Farmakologi

a) Tricyclic Antidepressants

Obat ini membantu mengurangi gejala-gejala depresi dengan mekanisme mencegah reuptake dari norepineprin dan serotonin di sinaps atau dengan cara mengubah reseptor-reseptor dari neurotransmitter norepineprin dan serotonin. Obat ini sangat efektif, terutama dalam mengobati gejala-gejala akut dari depresi sekitar 60% pada individu yang mengalami depresi. Tricyclic antidepressants yang sering digunakan adalah imipramin, amitriptilin, dan desipramin(Reus, 2004).

b) Monoamine Oxidase Inhibitors

Obat MAO inhibitor bereaksi menghambat kerja enzim MAO sehingga meningkatkan konsentrasi norepineprin (noradrenalinatau NA), serotonin, dopamin dalam otak. Contoh obat adalah fenelzin, tranilsipromid, isokarboksasid, dan iproniazid. Obat tersebut menghambat enzim secara kuat (irreversible) dan tidak selektif baik terhadap enzim MAOA dan MAOB. Obat MAO inhibitor berpotensi toksik karena bisa menyebabkan hipertensi fatal sehingga sudah jarang digunakan (Nugroho,2012).Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs) sama efektifnya dengan Tricyclic Antidepressants tetapi lebih jarang digunakan karena secara potensial lebih berbahaya (Reus, 2004).

c) Selective Serotonine Reuptake Inhibitors and Related Drugs

Obat ini mempunyai struktur yang hampir sama dengan Tricyclic Antidepressants, tetapi SSRI mempunyai efek yang lebih langsung dalam mempengaruhi kadar serotonin. Pertama SSRI lebih cepat mengobati gangguan depresi mayor dibandingkan dengan obat lainnya. Pasien-pasien yang menggunakan obat ini akan mendapatkan efek yang signifikan dalam


(7)

penyembuhan dengan obat ini. Kedua, SSRI juga mempunyai efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat-obatan lainnya. Ketiga, obat ini tidak bersifat fatal apabila overdosis dan lebih aman digunakan dibandingkan dengan obat-obatan lainnya, keempat SSRI juga efektif dalam pengobatan gangguan depresi mayor yang disertai dengan gangguan lainnya seperti: gangguan panik, gejala-gejala pramenstrual (Reus, 2004).

d) Electro Convulsive Therapy

Terapi ini merupakan terapi yang paling kontroversial dari pengobatan biologis. Electro Convulsive Therapy (ECT) bekerja dengan aktivitas listrik yang akan dialirkan pada otak. Elektroda-elektroda metal akan ditempelkan pada bagian kepala, dan diberikan tegangan sekitar 70 sampai 130 volt dan dialirkan pada otak sekitar satu setengah menit. ECT paling sering digunakan pada pasien dengan gangguan depresi yang tidak dapat sembuh dengan obat-obatan, dan ECT ini mengobati gangguan depresi sekitar 50%-60% individu yang mengalami gangguan depresi (Reus, 2004).

2. Non Farmakologi

Selain intervensi farmakologis, psikoterapi juga harus dilakukan setiap kali pasien mampu dan bersedia untuk berpartisipasi. Psikoterapi sendiri tidak dianjurkan untuk pengobatan akut pasien dengan gangguan depresi mayor yang parah dan psikotik. Namun, jika depresi ringan sampai sedang, psikoterapi dapat menjadi pilihan pertama terapi. Efek psikoterapi dan obat-obatan antidepresan dianggap aditif. Namun jika dikombinasikan, pengobatan dapat menguntungkan untuk pasien dengan respon yang baik pada pengobatan dan pasien dengan penyakit kronis. Namun, perlu tambahan seperti terapi kognitif, terapi prilaku dan terapi interpersonal (Kando et al., 2007).

3. Interaksi Obat a. Definisi

Interaksi dapat dikatakan jika ada satu obat yang efeknya berubah akibat adanya obat lain, obat herbal, makanan, minuman maupun bahan kimia yang lain. (Stockley, 2008). Interaksi obat adalah masalah yang penting karena kadar obat yang terlalu tinggi dalam darah dapat mengakibatkan masalah efek samping yang


(8)

merugikan sebaliknya, kadar obat yang terlalu rendah dapat menyebabkan kegagalan terapi (Helmyati et al., 2014).

b. Dampak dan Tipe Interaksi Obat

Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah akibat adanya obat lain (precipitant drug), makanan, atau minuman.Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang dikehendaki (Desirable Drug Interaction), atau efek yang tidak dikehendaki (Undesirable/Adverse Drug Interactions = ADIs) yang lazimnya menyebabkan efek samping obat dan toksisitas karena meningkatnya kadar obat di dalam plasma, atau sebaliknya menurunnya kadar obat dalam plasma yang menyebabkan tidak optimalnya keberhasilan terapi yang dilakukan. Sejumlah besar obat baru yang dilepas di pasaransetiap tahunnya menyebabkan kemungkinan munculnyainteraksi-interaksi baru antar obat akan semakin seringterjadi(Gitawati, 2008).

Interaksi farmasetik merupakan interaksi fisiko-kimiawi antara satu obat dengan obat lain sehingga mengubah (menghilangkan atau menaikkan) aktivitas farmakologik obat. Interaksi farmasetik sering terjadi, misalnya reaksi antara obat-obat yang dicampur dalam cairan secara bersamaan, misalnya dalam infus atau suntikan (Helmyati et al., 2014).

Interaksi farmakokinetik obat terjadi ketika satu obat mengubah konsentrasi obat lain dan menimbulkan efek klinis. Mekanisme interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada tahap absorbsi, metabolisme, distribusi dan ekskresi (Snyder et al., 2012). Eliminasi obat terjadi melalui 2 fase metabolisme, pada fase 1 mengubah obat menjadi metabolitnya melalui oksidasi, reduksi atau hidrolisis, pada fase 2 terjadi reaksi konjugasi antara metabolit dengan substansi endogen sehingga menyebabkan obat mudah untuk diekskresikan (Mihaljevic et al., 2009). Pada fase absorbsi, interaksi obat akan mempengaruhi bioavailabilitas terutama pada obat oral yang memiliki bioavailabilitas rendah. Fase metabolisme dan eksresi akan mempengaruhi klirens, seperti pada obat dengan indeks terapi sempit. Perubahan konsentrasi akibat metabolisme maupun ekskresi pada obat dengan indeks terapi yang sempit akan sangat berpengaruh secara klinis. Pada fase distribusi juga memungkinkan adanya interaksi obat (Snyder et al., 2012).


(9)

Interaksi farmakodinamik adalah perubahan efek obat yang disebabkan oleh obat presipitan karena pengaruhnya pada tempat kerja obat. Interaksi farmakodinamik dapat dibedakan menjadi interaksi langsung dan interaksi tidak langsung (Helmyati et al., 2014).

Interaksi dikatakan minor apabila kemungkinan potensial interaksi yang terjadi kecil dan efek samping dari interaksi tersebut tidak menimbulkan perubahan status klinis pada pasien. Interaksi signifikan adalah kemungkinan adanya potensial interaksi yang terjadi dan efek samping yang terjadi mengakibatkan perubahan status klinis pada pasien, sedangkan interaksi serius adalah jika probabilitas kejadian potensial interaksi tinggi dan efek samping interaksi yang terjadi dapat membahayakan pasien (Stockley, 2008).

c. Potensi Interaksi

Tabel 1 menunjukkan contoh-contoh interaksi yang dapat terjadi pada obat-obat antidepresan dengan obat antipsikotik.

Tabel 1. Interaksi Obat Antidepresan (golongan SSRI) pada Perubahan Kadar Obat Antipsikotik dalam Plasma

No Obat antidepresan Antipsikotik Efek pada konsentrasi

plasma Mekanisme

1. Fluoxetin Clozapin Konsentrasi plasma

naik 40-70%

Menghambat CYP2D6, CYP2C19, CYP3A4) 2. Citalopram/Escitalopram Clozapin Tidak ada perubahan -

3. Citalopram/Escitalopram Risperidon Tidak ada perubahan -

4. Sertralin Clozapin/

Olanzapin

Tidak ada perubahan

-

5. Sertralin Risperidon Peningkatan minimal Menghambat CYP2D6

(Spina & De Leon, 2007) E.Landasan Teori

Obat antidepresan memiliki banyak interaksi yang bermakna klinis dengan obat-obat yang lain. Penelitian Teles et al., (2012)yang berjudul “Warfarin: Pharmacological Profile and Drug Interactions With Antidepressants” menujukkan adanya interaksi antara warfarin dengan obat-obat antidepresan dimana obat-obat tersebut dapat menaikan atau menurunkan efek antikoagulan dari warfarin. Okiyama et al., (1987)dalam penelitiannya “Drug interactions between imipramine and benzodiazepines in rats”menunjukkan adanya interaksi antara imipramin dengan oxazepam dimana efek farmakodinamik dari oxazepam meningkat dengan penggunaan bersama imipramine. Dari sekian interaksi yang


(10)

bermakna klinis antara obat antidepresan ini melandasi adanya penelitian tentang potensi interaksi obat di instalasi rawat inap di RSJ. Prof. Dr. Soerojo Magelang.

F.Keterangan Empiris

Interaksi obat dapat meningkatkan atau menurunkan efek suatu obat, atau menghasilkan efek baru yang tidak diinginkan, setelah dilakukan penelitian ini diharapkan dapat mengetahui angka kejadian adanya potensi interaksi obat pada pasien dengan diagnosis tertentu yang mendapatkan obat antidepresan di instalasi rawat inap dan rawat jalan RSJ. Prof. Dr. Soerojo Magelang periode Januari – September tahun 2015.


(1)

b) Kepribadian

Aspek-aspek kepribadian sangat berperan dalam penentuan tinggi rendahnya dan kerentanan pada depresi seseorang. Kepribadian merupakan ciri khas atau karakteristik yang unik dari diri seseorang.

c) Faktor usia

Berdasarkan laporan penelitian menunjukkan bahwa kelompok orang-orang muda, yakni remaja dan orang dewasa (usia 18-44 tahun) cenderung lebih mudah terserang depresi

d) Faktor biologis

Selama orang mengalami depresi, maka dia memiliki ketidakseimbangan dalam pelepasan neurotransmiter serotonin mayor, norepinefrin, dopamin, asetilkolin, dan asam gama aminobutrik.

2) Faktor Eksternal

Faktor-faktor eksternal yang menyebabkan depresi antara lain:

a) Faktor keluarga, meliputi: kedekatan, interaksi, dan komunikasi antar anggota keluarga, dukungan emosional dari pasangan, dan suasana rumah tangga. b) Faktor lingkungan, meliputi: relasi, peran sosial, dukungan sosial, status

sosioekonomi, dan latar belakang pendidikan.

c) Faktor tekanan hidup, yakni berbagai peristiwa hidup yang dapat menyebabkan stres dan trauma bagi seseorang.

e. Gejala

Diagnosis gangguan depresi dapat dilihat dengan menggunakan kriteria dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 4th editions (DSM-IV) :

1) Penurunan mood hampir sepanjang hari, hampir setiap hari. 2) Berkurangnya minat atau kesenangan dalam semua kegiatan.

3) Nafsu makan turun, berat badan turun secara signifikan tanpa adanya diet. 4) Insomnia atau hipersomnia.

5) Agitasi atau retardasi motorik (gelisah atau perlambatan gerakan motorik). 6) Mudah lelah dan kehilangan energi


(2)

8) Berkurangnya kemampuan untuk berfikir, berkonsentrasi dan terdapat keraguan.

9) Pikiran-pikiran tentang kematian dan rasa ingin bunuh diri.

Dinyatakan depresi bila terpenuhi minimal 5 atau lebih dari 9 gejala hampir setiap hari selama periode 2minggu (Unutzer, 2007).

f. Pengobatan 1) Farmakologi

a) Tricyclic Antidepressants

Obat ini membantu mengurangi gejala-gejala depresi dengan mekanisme mencegah reuptake dari norepineprin dan serotonin di sinaps atau dengan cara mengubah reseptor-reseptor dari neurotransmitter norepineprin dan serotonin. Obat ini sangat efektif, terutama dalam mengobati gejala-gejala akut dari depresi sekitar 60% pada individu yang mengalami depresi. Tricyclic antidepressants yang sering digunakan adalah imipramin, amitriptilin, dan desipramin(Reus, 2004).

b) Monoamine Oxidase Inhibitors

Obat MAO inhibitor bereaksi menghambat kerja enzim MAO sehingga meningkatkan konsentrasi norepineprin (noradrenalinatau NA), serotonin, dopamin dalam otak. Contoh obat adalah fenelzin, tranilsipromid, isokarboksasid, dan iproniazid. Obat tersebut menghambat enzim secara kuat (irreversible) dan tidak selektif baik terhadap enzim MAOA dan MAOB. Obat MAO inhibitor berpotensi toksik karena bisa menyebabkan hipertensi fatal sehingga sudah jarang digunakan (Nugroho,2012).Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs) sama efektifnya dengan Tricyclic Antidepressants tetapi lebih jarang digunakan karena secara potensial lebih berbahaya (Reus, 2004).

c) Selective Serotonine Reuptake Inhibitors and Related Drugs

Obat ini mempunyai struktur yang hampir sama dengan Tricyclic Antidepressants, tetapi SSRI mempunyai efek yang lebih langsung dalam mempengaruhi kadar serotonin. Pertama SSRI lebih cepat mengobati gangguan depresi mayor dibandingkan dengan obat lainnya. Pasien-pasien yang menggunakan obat ini akan mendapatkan efek yang signifikan dalam


(3)

penyembuhan dengan obat ini. Kedua, SSRI juga mempunyai efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat-obatan lainnya. Ketiga, obat ini tidak bersifat fatal apabila overdosis dan lebih aman digunakan dibandingkan dengan obat-obatan lainnya, keempat SSRI juga efektif dalam pengobatan gangguan depresi mayor yang disertai dengan gangguan lainnya seperti: gangguan panik, gejala-gejala pramenstrual (Reus, 2004).

d) Electro Convulsive Therapy

Terapi ini merupakan terapi yang paling kontroversial dari pengobatan biologis. Electro Convulsive Therapy (ECT) bekerja dengan aktivitas listrik yang akan dialirkan pada otak. Elektroda-elektroda metal akan ditempelkan pada bagian kepala, dan diberikan tegangan sekitar 70 sampai 130 volt dan dialirkan pada otak sekitar satu setengah menit. ECT paling sering digunakan pada pasien dengan gangguan depresi yang tidak dapat sembuh dengan obat-obatan, dan ECT ini mengobati gangguan depresi sekitar 50%-60% individu yang mengalami gangguan depresi (Reus, 2004).

2. Non Farmakologi

Selain intervensi farmakologis, psikoterapi juga harus dilakukan setiap kali pasien mampu dan bersedia untuk berpartisipasi. Psikoterapi sendiri tidak dianjurkan untuk pengobatan akut pasien dengan gangguan depresi mayor yang parah dan psikotik. Namun, jika depresi ringan sampai sedang, psikoterapi dapat menjadi pilihan pertama terapi. Efek psikoterapi dan obat-obatan antidepresan dianggap aditif. Namun jika dikombinasikan, pengobatan dapat menguntungkan untuk pasien dengan respon yang baik pada pengobatan dan pasien dengan penyakit kronis. Namun, perlu tambahan seperti terapi kognitif, terapi prilaku dan terapi interpersonal (Kando et al., 2007).

3. Interaksi Obat a. Definisi

Interaksi dapat dikatakan jika ada satu obat yang efeknya berubah akibat adanya obat lain, obat herbal, makanan, minuman maupun bahan kimia yang lain. (Stockley, 2008). Interaksi obat adalah masalah yang penting karena kadar obat yang terlalu tinggi dalam darah dapat mengakibatkan masalah efek samping yang


(4)

merugikan sebaliknya, kadar obat yang terlalu rendah dapat menyebabkan kegagalan terapi (Helmyati et al., 2014).

b. Dampak dan Tipe Interaksi Obat

Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah akibat adanya obat lain (precipitant drug), makanan, atau minuman.Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang dikehendaki (Desirable Drug Interaction), atau efek yang tidak dikehendaki (Undesirable/Adverse Drug Interactions = ADIs) yang lazimnya menyebabkan efek samping obat dan toksisitas karena meningkatnya kadar obat di dalam plasma, atau sebaliknya menurunnya kadar obat dalam plasma yang menyebabkan tidak optimalnya keberhasilan terapi yang dilakukan. Sejumlah besar obat baru yang dilepas di pasaransetiap tahunnya menyebabkan kemungkinan munculnyainteraksi-interaksi baru antar obat akan semakin seringterjadi(Gitawati, 2008).

Interaksi farmasetik merupakan interaksi fisiko-kimiawi antara satu obat dengan obat lain sehingga mengubah (menghilangkan atau menaikkan) aktivitas farmakologik obat. Interaksi farmasetik sering terjadi, misalnya reaksi antara obat-obat yang dicampur dalam cairan secara bersamaan, misalnya dalam infus atau suntikan (Helmyati et al., 2014).

Interaksi farmakokinetik obat terjadi ketika satu obat mengubah konsentrasi obat lain dan menimbulkan efek klinis. Mekanisme interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada tahap absorbsi, metabolisme, distribusi dan ekskresi (Snyder et al., 2012). Eliminasi obat terjadi melalui 2 fase metabolisme, pada fase 1 mengubah obat menjadi metabolitnya melalui oksidasi, reduksi atau hidrolisis, pada fase 2 terjadi reaksi konjugasi antara metabolit dengan substansi endogen sehingga menyebabkan obat mudah untuk diekskresikan (Mihaljevic et al., 2009). Pada fase absorbsi, interaksi obat akan mempengaruhi bioavailabilitas terutama pada obat oral yang memiliki bioavailabilitas rendah. Fase metabolisme dan eksresi akan mempengaruhi klirens, seperti pada obat dengan indeks terapi sempit. Perubahan konsentrasi akibat metabolisme maupun ekskresi pada obat dengan indeks terapi yang sempit akan sangat berpengaruh secara klinis. Pada fase distribusi juga memungkinkan adanya interaksi obat (Snyder et al., 2012).


(5)

Interaksi farmakodinamik adalah perubahan efek obat yang disebabkan oleh obat presipitan karena pengaruhnya pada tempat kerja obat. Interaksi farmakodinamik dapat dibedakan menjadi interaksi langsung dan interaksi tidak langsung (Helmyati et al., 2014).

Interaksi dikatakan minor apabila kemungkinan potensial interaksi yang terjadi kecil dan efek samping dari interaksi tersebut tidak menimbulkan perubahan status klinis pada pasien. Interaksi signifikan adalah kemungkinan adanya potensial interaksi yang terjadi dan efek samping yang terjadi mengakibatkan perubahan status klinis pada pasien, sedangkan interaksi serius adalah jika probabilitas kejadian potensial interaksi tinggi dan efek samping interaksi yang terjadi dapat membahayakan pasien (Stockley, 2008).

c. Potensi Interaksi

Tabel 1 menunjukkan contoh-contoh interaksi yang dapat terjadi pada obat-obat antidepresan dengan obat antipsikotik.

Tabel 1. Interaksi Obat Antidepresan (golongan SSRI) pada Perubahan Kadar Obat Antipsikotik dalam Plasma

No Obat antidepresan Antipsikotik Efek pada konsentrasi

plasma Mekanisme

1. Fluoxetin Clozapin Konsentrasi plasma

naik 40-70%

Menghambat CYP2D6, CYP2C19, CYP3A4) 2. Citalopram/Escitalopram Clozapin Tidak ada perubahan -

3. Citalopram/Escitalopram Risperidon Tidak ada perubahan -

4. Sertralin Clozapin/

Olanzapin

Tidak ada perubahan

-

5. Sertralin Risperidon Peningkatan minimal Menghambat CYP2D6

(Spina & De Leon, 2007) E.Landasan Teori

Obat antidepresan memiliki banyak interaksi yang bermakna klinis dengan obat-obat yang lain. Penelitian Teles et al., (2012)yang berjudul “Warfarin: Pharmacological Profile and Drug Interactions With Antidepressants” menujukkan adanya interaksi antara warfarin dengan obat-obat antidepresan dimana obat-obat tersebut dapat menaikan atau menurunkan efek antikoagulan dari warfarin. Okiyama et al., (1987)dalam penelitiannya “Drug interactions between imipramine and benzodiazepines in rats”menunjukkan adanya interaksi antara imipramin dengan oxazepam dimana efek farmakodinamik dari oxazepam meningkat dengan penggunaan bersama imipramine. Dari sekian interaksi yang


(6)

bermakna klinis antara obat antidepresan ini melandasi adanya penelitian tentang potensi interaksi obat di instalasi rawat inap di RSJ. Prof. Dr. Soerojo Magelang.

F.Keterangan Empiris

Interaksi obat dapat meningkatkan atau menurunkan efek suatu obat, atau menghasilkan efek baru yang tidak diinginkan, setelah dilakukan penelitian ini diharapkan dapat mengetahui angka kejadian adanya potensi interaksi obat pada pasien dengan diagnosis tertentu yang mendapatkan obat antidepresan di instalasi rawat inap dan rawat jalan RSJ. Prof. Dr. Soerojo Magelang periode Januari – September tahun 2015.


Dokumen yang terkait

PENDAHULUAN Potensi Interaksi Obat Antipsikotik Pada Pasien Skizofrenia Dewasa Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Rm. Soedjarwadi Periode Oktober – Desember Tahun 2015.

5 41 13

DAFTAR PUSTAKA Potensi Interaksi Obat Antipsikotik Pada Pasien Skizofrenia Dewasa Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Rm. Soedjarwadi Periode Oktober – Desember Tahun 2015.

0 3 4

PENDAHULUAN Identifikasi Adverse Drug Reactions (ADR) Penggunaan Obat Antidepresan Pada Pasien Depresi Rawat Jalan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta Periode Agustus Tahun 2015.

1 17 10

POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIDEPRESAN DI RUMAH SAKIT JIWA “X” JAWA TENGAH PERIODE JANUARI – SEPTEMBER Potensi Interaksi Obat Antidepresan Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang Periode Januari September Tahun 2015.

1 7 17

POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIDEPRESAN DI RUMAH SAKIT JIWA Prof. Dr. SOEROJO MAGELANG PERIODE Potensi Interaksi Obat Antidepresan Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang Periode Januari September Tahun 2015.

0 2 13

DAFTAR PUSTAKA Potensi Interaksi Obat Antidepresan Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang Periode Januari September Tahun 2015.

0 2 4

EVALUASI TERAPI OBAT ANTIDEPRESAN PADA PASIEN DEPRESI DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA Evaluasi Terapi Obat Antidepresan Pada Pasien Depresi Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta Tahun 2011-2012.

0 2 13

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DAN KEJADIAN SKIZOFRENIA PADA USIA DEWASA MUDA DI RUMAH SAKIT JIWA PROF. DR. SOEROJO MAGELANG.

0 1 9

KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN RAWAT JALAN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA PROF. DR. SOEROJO MAGELANG

0 0 6

HUBUNGAN KEPATUHAN MINUM OBAT DENGAN PERIODE KEKAMBUHAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA: HALUSINASI DI RUMAH SAKIT JIWA PROF. Dr. SOEROYO MAGELANG

0 3 18