Studi Komparatif Mengenai Profil Subjective Well-Being pada Pria Usia 18-40 Tahun yang Belum dan Sudah Menikah (Suatu Penilitian pada Jemaat di Gereja "X" Bandung).
v Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK
Berdasarkan Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014, indeks kebahagiaan penduduk yang sudah menikah lebih rendah daripada penduduk yang belum menikah. Penelitian ini menggunakan Teori Subjective well-being (Diener, 2004) untuk mengetahui gambaran perbedaan profil subjective well-being antara jemaat pria yang belum menikah dan sudah menikah di Gereja “X” Bandung.
Terdapat 66 orang jemaat pria yang berpartisipasi dalam penelitian ini yang dipilih berdasarkan teknik purposive sample. Setiap partisipan mengisi kuesioner yang merupakan pengembangan dari Satisfaction with Life Scale (SWLS) yang terdiri dari 21 item dan Scale of Positive and Negative Experience (SPANE) yang terdiri dari 12 item. Subjective Well-Being dihitung dari tingginya jumlah skor kepuasan hidup dari alat ukur SWLS dan perbandingan skor afek positif dan negatif pada alat ukur SPANE. Pengujian hipotesis dengan bantuan SPSS v.20.0 menggunakan chi-square.
Berdasarkan pengolahan data secara statistik, nilai signifikansi terhadap profil subjective well-being adalah 0,00 atau lebih kecil dari α=0,05 yang berarti H0 ditolak. Artinya, terdapat perbedaan profil pada subjective well-being antara responden yang belum menikah dan sudah menikah.
Kesimpulan yang diperoleh adalah pada responden yang belum menikah sebanyak 44,4% memiliki kepuasan hidup rendah, afek dominan positif (Profil 3). Sedangkan, pada responden yang sudah menikah sebanyak 50% memiliki kepuasan hidup tinggi, afek dominan negatif (Profil 2). Peneliti mengajukan saran agar Gereja “X” menambah acara kebersamaan bagi jemaat pria yang belum menikah dan mengembangkan konseling bagi jemaat pria yang sudah menikah. Selain itu, lebih lanjut perlu diteliti mengenai kontribusi faktor-faktor yang memengaruhi Subjective well-being.
(2)
vi Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT
Based on the Happiness Measurement Survey (SPTK) conducted by the Central Bureau of Statistics (BPS) in 2014, the happiness index of the married population is lower than the unmarried population. This research uses Subjective well-being theory (Diener, 2004) to find out the difference of subjective well-being profile between unmarried and married congregation in "X" Church of Bandung.
There are 66 male congregations participating in this study selected based on purposive sample technique. Each participant filled out a questionnaire which was the development of Satisfaction with Life Scale (SWLS) consisting of 21 items and a Scale of Positive and Negative Experience (SPANE) consisting of 12 items. Subjective Well-Being is calculated from the high number of live satisfaction scores from the SWLS measuring instrument and the comparison of positive and negative affects on the SPANE measuring instrument. Hypothesis testing with the help of SPSS v.20.0 using chi-square.
Based on statistical data processing, significant differences for subjective well-being profile is 0,00 or less than α=0,05, means H0 is rejected. It’s mean that there is difference profile of subjective well-being in unmarried and married respondents.
The conclusion obtained is that unmarried male congregation about 44,4% have low satisfaction, dominant positive affect (Profile 3). Whereas, married male congregation about 50% have high satisfaction, dominant negative affect (Profile 2). The researcher proposes that the Church "X" add togetherness events for unmarried male congregations and develop counseling for married male members. Furthermore, it is necessary to examine the contribution of factors influencing the Subjective Well-being.
(3)
vii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI
TALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESATAN ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii
LEMBAR PUBLIKASI………...iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR BAGAN ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB 1 PENDATULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah………..1
1.2.Identifikasi Masalah………..10
(4)
viii Universitas Kristen Maranatha
1.3.1. Maksud Penelitian ... 10
1.3.2. Tujuan Penelitian ... 10
1.4.Kegunaan Penelitian ... 11
1.4.1. Kegunaan Teoretis ... 11
1.4.2. Kegunaan Praktis ... 11
1.5.Kerangka Pemikiran ... 12
1.6.Asumsi Penelitian ... 22
1.7.Hipotesis Penelitian ... 22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Subjective well-being ... 22
2.1.1. Pengertian Subjective well-being ... 22
2.1.2. Komponen Subjective well-being ... 24
2.1.2.1. Penilaian Kognitif ... 25
2.1.2.1.1. Penilaian Umum ... 25
2.1.2.1.2. Penilaian Khusus ... 25
2.1.2.2. Penilaian Afektif ... 26
2.1.2.2.1. Afek Positif ... 26
2.1.2.2.2. Afek Negatif ... 27
2.1.3. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Subjective Well Being ... 28
2.2. Pernikahan ... 33
2.2.1. Definisi Pernikahan ... 33
2.2.2. Tujuan Pernikahan ... 34
(5)
ix Universitas Kristen Maranatha
2.3.1. Pengertian Masa Dewasa Awal ... 34
2.3.2. Perkembangan Sosio-emosi di Masa Dewasa Awal ... 35
2.3.2.1 Gaya Hidup Orang Dewasa... 35
2.4. Pemilihan Pasangan dan Perkembangan Keluarga ... 36
2.4.1. The Importance Of Love ... 36
2.4.2. Transformasi Aturan dalam Rumah Tangga ... 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 38
3.2. Bagan Prosedur Penelitian ... 39
3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 40
3.3.1. Variabel Penelitian ... 40
3.3.2. Definisi Konseptual... 40
3.3.3. Definisi Operasional ... 40
3.4. Alat Ukur Subjective Well-Being... 41
3.4.1. Alat Ukur Satisfaction with Life Scale (SWLS) ... 41
3.4.1.1. Satisfaction with Life Scale (SWLS) ... 41
3.4.1.2 .Prosedur Pengisian Alat Ukur ... 42
3.4.1.3. Sistem Penilaian Alat Ukur ... 43
3.4.2. Alat Ukur Scale of Positive and Negative Experience (SPANE) ... 43
3.4.2.1. Scale of Positive and Negative Experience (SPANE) ... 43
3.4.2.2. Prosedur Pengisian Alat Ukur ... 44
3.4.2.3. Sistem Penilaian Alat Ukur ... 45
(6)
x Universitas Kristen Maranatha
3.4.4. Data Pribadi dan Data Penunjang ... 46
3.4.5. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 46
3.4.5.1. Validitas Alat Ukur... 46
3.4.5.2. Reliabilitas Alat Ukur ... 48
3.5. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 49
3.5.1. Populasi Sasaran ... 49
3.5.2. Karakteristik Populasi ... 49
3.5.3. Teknik Penarikan Sampel ... 50
3.6. Teknik Analisis Data ... 50
3.7. Hipotesis Statistik ... 53
BAB IV TASIL PENELITIAN DAN PEMBATASAN 4.1. Gambaran Sampel Penelitian ... 54
4.2. Hasil Penelitian ... 57
4.2.1. Uji Signifikansi Profil Subjective Well-Being ... 57
4.2.2. Profil Subjective Well-Being (SWB) Pada Kelompok Belum Menikah dan Sudah Menikah ... 58
4.3. Pembahasan ... 59
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan ... 67
5.2.1. Saran Teoretis ... 68
(7)
xi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA ... 69 DAFTAR RUJUKAN ... 71 LAMPIRAN
(8)
xii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Kisi-kisi Alat Ukur SWLS yang Belum Menikah ... 42
Tabel 3.2. Sistem Penilaian Alat Ukur ... 43
Tabel 3.3. Kisi-kisi Alat Ukur SPANE... 44
Tabel 3.4. Sistem Penilaian Alat Ukur ... 45
Tabel 4.1. Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 54
Tabel 4.2. Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan ... 55
Tabel 4.3 .Gambaran Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 56
Tabel 4.4. Gambaran Responden Berdasarkan Pendapatan ... 56
Tabel 4.5. Uji Signifikansi Profil Subjective well-being ... 57
(9)
xiii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1. Kerangka Pemikiran……….21
(10)
xiv Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 : KUESIONER BAGI JEMAAT PRIA YANG BELUM
MENIKAH
LAMPIRAN 2 : KUESIONER BAGI JEMAAT PRIA YANG SUDAH
MENIKAH
LAMPIRAN 3.1 : VALIDITAS SWLS (Belum Menikah)
LAMPIRAN 3.2 : VALIDITAS SPANE (Belum Menikah)
LAMPIRAN 3.3 : VALIDITAS SWLS (Sudah Menikah)
LAMPIRAN 3.4 : VALIDITAS SPANE (Sudah Menikah)
LAMPIRAN 4.1 : RELIABILITAS SWLS (Belum Menikah)
LAMPIRAN 4.2 : RELIABILITAS SPANE (Belum Menikah)
LAMPIRAN 4.3 : RELIABILITAS SWLS (Sudah Menikah)
LAMPIRAN 4.4 : RELIABILITAS SPANE (Sudah Menikah)
LAMPIRAN 5 : PENGUKURAN KOMPONEN KOGNITIF
(11)
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kebahagiaan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan, karena pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk mencari kebahagiaan dalam hidupnya. Setiap individu memiliki ukuran kebahagiaannya masing-masing, sebagian orang mengukur kebahagiaan melalui jumlah materi yang dimilikinya, ada yang beranggapan bahwa kebahagiaan dapat dimiliki melalui badan yang sehat, dan ada juga yang beranggapan bahwa kebahagiaan diwakili oleh perasaan yang berkaitan dengan makna terhadap suatu hal atau kejadian dalam hidupnya.
Utilitarian seperti Jeremy Bentham, beranggapan jika kehadiran kesenangan dan ketiadaan rasa sakit merupakan karakteristik dari kehidupan yang baik. Hal ini membuat utilitarian menjadi pelopor intelektual dari penelitian terhadap subjective well-being yang berfokus pada emosional, mental, kesenangan fisik, dan rasa sakit yang dialami individu. Subjective well-being mencakup konsep yang luas, seperti emosi positif atau pengalaman yang
menyenangkan, rendahnya mood yang negatif, dan memiliki kepuasan hidup yang tinggi (Diener,
Lucas, Oishi, 2005). Seseorang dikatakan memiliki kebahagiaan yang tinggi jika mereka merasa puas dengan kondisi hidup mereka, sering merasakan emosi positif, dan jarang merasakan emosi negatif (Diener dan Larsen dalam Edington, 2005).
Pavot dan Diener (dalam Dewi dan Utami, 2013) menjelaskan subjective well-being atau
kesejahteraan subjektif merupakan salah satu prediktor kualitas hidup individu karena subjective
(12)
2
Universitas Kristen Maranatha
Individu dengan tingkat subjective well-being yang tinggi akan merasa lebih percaya diri, dapat
menjalin hubungan sosial dengan lebih baik, serta menunjukkan performansi kerja yang lebih baik.
Setiap individu mempunyai batasan ideal sendiri yang digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan hidupnya. Oleh karena itu, kepuasan hidup menjadi sangat subjektif tergantung dari batasan ideal yang dimiliki oleh masing-masing individu. Kepuasan hidup tidak terlepas dari bagaimana cara seseorang menilai kualitas hidup yang dimilikinya. Individu biasanya akan merasa puas apabila aspek kehidupan yang dianggap paling penting, seperti misalnya aspek kesehatan, pekerjaan, hubungan sosial, kehidupan dengan pasangan hidup, dan kehidupan dengan keluarga berjalan dengan baik dan sesuai harapan. Individu akan merasa memiliki kualitas hidup yang baik apabila dirinya merasa puas dengan pencapaian yang telah diraihnya (Diener, 2005).
Salah satu implikasi dari teori pengurangan ketegangan adalah kebahagiaan yang terjadi setelah kebutuhan dan tujuan terpenuhi. Dengan kata lain, kebahagiaan adalah keadaan yang diinginkan dan mengarahkan semua aktivitas yang dilakukan individu (Diener, 1999). Respon
individu pada setiap kejadian dalam hidupnya berhubungan dengan emosi, mood, dan perasaan
yang dirasakan. Menurut Diener (2004), cara individu dalam memberikan penilaian mengenai kondisi dan peristiwa di dalam hidupnya dapat dipahami dengan cara meneliti tipe-tipe reaksi afektif yang ditampilkan oleh individu yang bersangkutan.
Subjective well-being merupakan suatu ungkapan perasaan individu mengenai kehidupannya didalam berbagai keadaan yang terjadi dan dialami, baik itu dilihat berdasarkan
kepuasan dan kebahagiaan dalam hidup. Subjective well-beingmemiliki dua komponen, yaitu
komponen kognitif yang merupakan keyakinan atau kepercayaan yang ada pada individu dan
(13)
Universitas Kristen Maranatha berfungsi untuk memperoleh informasi mengenai keseimbangan untuk menemukan atau
mendapatkan subjective well-being yang menyeluruh dalam kehidupan individu (Ed Diener dan
Scollon, 2003). Subjective well-being merupakan penilaian individu terhadap kehidupannya yang
berkenaan dengan kepuasan hidup, seperti pernikahan, pekerjaan, dan rendahnya emosi negatif. Temuan yang dikemukakan oleh Wilson (1967, dalam Diener, 1999) menunjukkan bahwa
antara faktor kepribadian dan demografi memiliki korelasi dengan subjective well-being. Salah
satu karakteristik demografi yang memiliki hubungan positif dengan subjective well-being adalah
status pernikahan. Pernikahan akan memberikan tanggung jawab pada peran yang dilakukan oleh suami maupun istri. Pernikahan juga berarti pendorong bagi pasangan suami istri untuk berusaha sekuat tenaga untuk saling mementingkan kewajiban dalam rumah tangga atau keluarga, agar masing-masing anggota keluarga dapat merasakan kesejahteraan dan ketenangan batin (Hasan, 1988).
Keputusan individu untuk membagi kehidupannya dengan orang lain, umumnya berasal dari kepercayaan bahwa hubungan tersebut adalah hubungan yang spesial dan unik. Individu beranggapan bahwa pasangan mereka akan membuat harmonisasi dalam hubungan, kebahagiaan, dan kesatuan yang intim. Individu beranggapan bahwa mereka dapat memercayai pasangan mereka dan terlepas dari kesulitan yang mungkin terbentang di depan, individu beranggapan bahwa pasangan mereka akan bekerja sama dengan mereka untuk mempertahankan keintiman dalam hubungan mereka (Rodgers & White, 1993).
Terdapat hasil dari penelitian longitudinal yang membuktikan bahwa individu yang bahagia dan well-adjusted cenderung untuk menikah (dan tetap dalam pernikahan) daripada individu lainnya (e.g., Mastekaasa, 1992, 1994; Veenhoven, 1989, dalam Diener, 1999). Banyak peneliti percaya bahwa efek menguntungkan dari pernikahan, seperti perannya sebagai penyangga terhadap kesulitan hidup dan dukungan emosional, serta ekonomi yang diberikannya
(14)
4
Universitas Kristen Maranatha
akan menghasilkan kondisi well-being (e.g., Coombs, 1991; Gove, Style, & Hughes, 1990; Kessler & Essex, 1982, dalam Diener, 1999).
Survei dalam skala besar menunjukkan bahwa orang yang sudah menikah memiliki kebahagiaan yang lebih tinggi daripada orang yang belum pernah menikah sama sekali, bercerai maupun hidup terpisah. Termasuk juga orang dewasa yang tidak menikah namun tinggal serumah dengan pasangan memiliki tingkat kebahagiaan yang signifikan daripada orang yang tinggal sendiri (Kurdek, 1991; Mastekaasa, 1995, dalam Diener, 1999). Hal lain yang juga penting untuk
dicatat dan diperkirakan dapat memengaruhi hubungan pernikahan dan Subjective well-being
yaitu faktor seperti perubahan sosial, karakteristik sosial, dan usia yang spesifik (Glenn & Weaver, 1979; Gove, Hughes, dan Style, 1983, dalam Diener, 1999).
Berdasarkan Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) dengan melibatkan 70.631 rumah tangga yang tersebar di seluruh provinsi, pada kelompok umur 17 tahun hingga 65 tahun yang terdiri dari 50,98% pria dan 49,02% wanita, didapatkan hasil bahwa wanita memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Jika melihat indeks kebahagiaan berdasarkan status pernikahan pada tahun 2014, tingkat kebahagiaan penduduk yang belum menikah mengalami kenaikan 3,78% dari tahun 2013. Sementara indeks kebahagiaan penduduk yang sudah menikah mengalami kenaikan 3,43% atau lebih rendah 0,35% daripada penduduk yang belum menikah (Badan Pusat Statistik, 2014). Sedangkan berdasarkan usia, tingkat kebahagiaan yang paling tinggi adalah kelompok usia 18 hingga 40 tahun yang termasuk usia dewasa awal (Tempo.co).
Efek dari pernikahan mungkin dapat berbeda antara pria dan wanita (Mroczek & Kolarz, 1998, dalam Diener, 1999). Pria yang menikah merasa lebih bahagia dibandingkan pria yang belum menikah. Diener et al (1999) menemukan jika pernikahan membawa keuntungan yang
(15)
Universitas Kristen Maranatha pernikahan meningkatkan perasaan puas seseorang terhadap kehidupannya daripada saat melajang. Pernikahan akan memudahkan seseorang melewati masa-masa sulit.
Namun, jika melihat hasil sensus penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Mei 2010 lalu, dapat dilihat bahwa rata-rata umur individu menikah pertama kali untuk pria
adalah 25,7 tahun (perhitungan Singulate Mean Age at Marriage, BPS, 2010). Kondisi ini
semakin mendekati apa yang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, dimana pria cenderung memilih menikah pada usia 28 tahun. Hal ini menunjukkan anggapan bahwa selama ini laki-laki lebih memilih menunda untuk menikah tampaknya benar adanya. Pada umumnya pria lebih memilih menunda untuk menikah karena alasan-alasan ingin tetap menikmati kebebasan, memikirkan keluarga inti, kestabilan keuangan, dan tidak siap berkomitmen (Wilcox Brad, 2015).
Menurut Brad Wilcox, dosen dan Profesor Sosiologi di Universitas Virginia (2005), sekolah dan karier yang paling banyak dipikirkan pria ketika mereka belum mampu memutuskan untuk menikah. Pria akan bekerja keras meningkatkan karier dalam bekerja. Sebab, karier yang bagus dianggap bisa meningkatkan harga dirinya. Jika menikah, pria yang fokus pada karier cenderung khawatir kehidupan rumah tangga akan menghambatnya mengejar ambisi kariernya. Dengan memiliki karier yang bagus, secara tidak langsung berpengaruh pada tingkat kemapanan ekonomi. Pria beranggapan lebih mudah mencari calon istri ketika memiliki karier yang bagus.
Pria memiliki tanggung jawab untuk mengasihi, melindungi, mencukupi kebutuhan, dan memimpin keluarganya sebagai kepala rumah tangga. Pria yang sudah menikah harus bekerja lebih giat karena banyak kebutuhan yang menjadi tanggung jawabnya, bahkan tidak jarang mereka harus bekerja di luar kota dan mengorbankan waktu bersama keluarga (Allan Petersen, 1989).
(16)
6
Universitas Kristen Maranatha Pelaksanaan pernikahan diatursecara jelas dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12. Dalam pengertiannya menyebutkan bahwa pernikahan merupakan “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Undang-undang ini menyebutkan bahwa pernikahan itu sah bila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Salah satu lembaga yang dapat mengesahkan pernikahan adalah Gereja. Pernikahan menurut agama Kristen dapat dinyatakan sah jika dilangsungkan pemberkatan dan peneguhan di Gereja atas pernikahan tersebut. Pernikahan baru dapat diteguhkan dan diberkati di Gereja apabila calon mempelai memenuhi syarat-syarat yang disarankan oleh pihak Gereja. Salah satu Gereja yang berada di kota Bandung adalah Gereja “X”. Gereja “X” merupakan Gereja protestan yang berpusat di Semarang dan sudah berkembang di berbagai kota di Indonesia, salah satunya adalah di Bandung.
Berdasarkan lokasi, Gereja “X” berada di tengah kota Bandung yang terkenal sebagai kota pendidikan dengan banyak Universitas terkemuka yang ada di Bandung, hal ini memungkinkan individu untuk menuntut ilmu setinggi mungkin dan memperluas wawasan sehingga tidak terjebak dalam pemikiran yang konvensional. Masyarakat di kota-kota besar cenderung bersikap acuh terhadap pernikahan karena dunia pendidikan dan pekerjaan telah menyita hampir seluruh minat dan perhatian mereka.
Gereja “X” Bandung mempunyai misi untuk menyediakan fasilitas berupa tempat, kegiatan atau aktivitas bagi seluruh jemaat. Hal ini terlihat berbagai kegiatan yang diperuntukkan
(17)
Universitas Kristen Maranatha outbond, valentine, serta kegiatan lain agar mereka merasa mendapatkan dukungan dan perhatian dari teman-teman sehingga mereka tidak perlu merasa kesepian dan sendirian walaupun tidak memiliki pasangan. Sedangkan bagi pasangan yang sudah menikah, terdapat seminar mengenai
keluarga, sharing dan diskusi seputar masalah rumah tangga, persekutuan keluarga muda, dan
kegiatan lain yang bertemakan keluarga untuk meningkatkan kualitas hubungan antara suami dan istri berlandaskan Firman Tuhan.
Peneliti melakukan survei awal kepada 10 orang jemaat pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung yang belum menikah dan 10 orang jemaat pria usia 18-40 tahun yang sudah menikah. Dari jemaat yang belum menikah, didapatkan hasil sebagai berikut, lima dari 10 (50%) orang jemaat pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung memiliki kepuasan hidup yang tinggi dan afek dominan positif. Sedangkan, dua dari 10 orang (20%) jemaat pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung memiliki kepuasan hidup yang tinggi dan afek dominan negatif. Serta, dua dari 10 orang (20%) jemaat pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” kota Bandung memiliki kepuasan hidup yang rendah dan afek dominan positif. 1 dari 10orang (10%) jemaat pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung memiliki kepuasan hidup yang rendah dan afek dominan negatif.
Penjabaran dari hasil survei awal di atas adalah sebagai berikut, bentuk kepuasan hidup yang tinggi dan afek dominan positif menurut jemaat pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung, yaitu merasa puas dengan pekerjaan yang dijalani saat ini, merasa puas dengan kondisi keuangan dan merasa bahagia karena memiliki banyak waktu untuk melakukan hobi dan mengembangkan karier, merasa optimis dengan masa depan, serta merasa bangga dengan pencapaian yang sudah diraih di masa muda. Sedangkan bentuk kepuasan hidup yang tinggi dan afek dominan negatif menurut jemaat pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung, yaitu merasa puas dengan pekerjaan yang dijalani saat ini, merasa puas dengan kondisi keuangan, namun merasa tertekan karena lingkungan yang sering menuntutnya agar cepat memiliki pendamping
(18)
8
Universitas Kristen Maranatha hidup, merasa khawatir tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga di masa depan, dan merasa iri dengan orang lain yang sudah memiliki pasangan. Bentuk kepuasan hidup yang rendah dan afek dominan positif menurut jemaat pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung, yaitu merasa belum menemukan pekerjaan yang sesuai dengan harapan hingga saat ini dan merasa belum memiliki kemapanan secara finansial, namun merasa puas dengan pekerjaan yang dijalani saat ini, merasa puas dengan kondisi keuangan dan merasa bahagia karena memiliki banyak waktu untuk melakukan hobi dan mengembangkan karier, merasa optimis dengan masa depan, serta merasa bangga dengan pencapaian yang sudah diraih di masa muda. Bentuk kepuasan hidup yang rendah dan afek dominan negatif, yaitu merasa belum menemukan pekerjaan yang sesuai dengan harapan hingga saat ini dan merasa belum memiliki kemapanan secara finansial, merasa belum menemukan pekerjaan yang sesuai dengan harapan hingga saat ini, dan merasa tertekan karena lingkungan yang sering menuntutnya agar cepat memiliki pendamping hidup, merasa khawatir tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga di masa depan, dan merasa iri dengan orang lain yang sudah memiliki pasangan.
Berdasarkan hasil survei awal terhadap 10 orang jemaat pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung yang sudah menikah, didapatkan hasil sebagai berikut, enam dari 10 orang (60%) jemaat pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung memiliki kepuasan hidup yang tinggi dan afek dominan positif. Sedangkan, satu dari 10 orang (10%) jemaat pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung memiliki kepuasan hidup yang tinggi dan afek dominan negatif. Serta, tiga dari 10 orang (30%) jemaat pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung memiliki kepuasan hidup yang rendah dan afek dominan positif.
Penjabaran dari hasil survei awal di atas adalah sebagai berikut, bentuk kepuasan hidup yang tinggi dan afek dominan positif menurut jemaat pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung, yaitu merasa puas dalam menjalani pernikahan karena adanya dukungan dan
(19)
Universitas Kristen Maranatha keterbukaan dari masing-masing pihak, merasa puas dengan pekerjaan yang dijalani saat ini, merasa puas dengan kondisi keuangan dan merasa bahagia dengan keberadaan pasangan mereka untuk saling berbagi di segala kondisi, merasa optimis dengan masa depan keluarga, dan tidak merasa tertekan atau cemas saat menjalankan peran sebagai suami. Sedangkan bentuk kepuasan hidup yang tinggi dan afek dominan negatif menurut jemaat pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung, yaitu merasa puas dalam menjalani pernikahan karena adanya dukungan dan keterbukaan dari masing-masing pihak, merasa puas dengan pekerjaan yang dijalani saat ini, merasa puas dengan kondisi keuangan, namun merasa cemas dengan kondisi keuangan keluarga di masa depan, merasa kurang diperhatikan pasangan karena pasangan lebih sibuk mengurusi anak, dan merasa sedih karena harus sering meninggalkan keluarga untuk bekerja di luar kota. Bentuk kepuasan hidup yang rendah dan afek dominan positif menurut jemaat pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung, yaitu terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga kurang adanya waktu berkualitas dengan keluarga, kurangnya waktu pribadi untuk melakukan hobi, dan kurangnya waktu untuk berkumpul bersama teman-teman, namun merasa bahagia dengan keberadaan pasangan mereka untuk saling berbagi di segala kondisi, merasa optimis dengan masa depan keluarga, dan tidak merasa tertekan atau cemas saat menjalankan peran sebagai suami.
Dilihat dari hasil survei awal yang telah dilakukan oleh peneliti, maka didapatkan hasil yang bervariasi mengenai penghayatan terhadap kepuasan hidup dan afek yang dirasakan oleh jemaat pria Gereja “X” yang belum menikah dan sudah menikah, yang tergambar dalam 4 profil subjective well-being yang berbeda-beda, yaitu profil 1 (kepuasan hidup tinggi, afek dominan positif), profil 2 (kepuasan hidup tinggi, afek dominan negatif), profil 3 (kepuasan hidup rendah, afek dominan positif), dan profil 4 (kepuasan hidup rendah, afek dominan negatif). Peneliti ingin
melihat bagaimana perbandingan profil subjective well-being yang dihayati oleh jemaat pria usia
(20)
10
Universitas Kristen Maranatha
penelitian dengan judul "Studi Komparatif Mengenai Profil Subjective Well-Being Pada Pria
Usia 18-40 Tahun yang Belum Menikah dan Sudah Menikah”, dengan fokus penelitian yang dilakukan pada jemaat di Gereja “X” Bandung.
1.2. Identifikasi Masalah
Dari penelitian ini, ingin diketahui mengenai bagaimana perbandingan profil Subjective
Well-Being antara pria usia 18-40 tahun yang belum menikah dan sudah menikah, dengan fokus penelitian yang dilakukan pada jemaat di Gereja “X” Bandung.
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian
Maksud penelitian ini adalah memperoleh perbandingan mengenai profil Subjective
Well-Being antara pria usia 18-40 tahun yang belum menikah dan sudah menikah, dengan fokus penelitian yang dilakukan pada jemaat di Gereja “X” Bandung.
1.3.2. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah memperoleh gambaran
mengenai perbandingan profil Subjective Well-Being antara pria usia 18-40 tahun yang
belum menikah dan sudah menikah, dengan fokus penelitian yang dilakukan pada jemaat di
Gereja “X” Bandung. Profil Subjective Well-Being akan diukur dari perpaduan 2 komponen yaitu kognitif (kepuasan hidup) dan afektif (afek positif dan afek negatif).
(21)
Universitas Kristen Maranatha 1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaan Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi bagi ilmu
pengetahuan, terutama dalam bidang Psikologi Perkembangan dan Psikologi Positif.
Memberikan masukan bagi peneliti yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai
subjective well-being, serta menambah wawasan dan informasi khususnya bagi
mahasiswa Psikologi mengenai subjective well-being pria usia 18-40 tahun yang
belum menikah dan sudah menikah, dengan fokus penelitian yang dilakukan pada
jemaat di Gereja “X” Bandung.
1.4.2. Kegunaan Praktis
Sebagai bahan evaluasi diri bagi pria di Gereja “X” Bandung agar dapat menjadi
pribadi yang lebih baik di masa mendatang.
Sebagai bahan masukan untuk Gereja “X” Bandung mengenai subjective
well-being pada pria usia 18-40 tahun yang belum menikah dan sudah menikah, sehingga dapat menjadi masukan dalam mengambil keputusan dan merencanakan kegiatan-kegiatan seperti konseling, seminar mengenai keluarga, rekreasi, dan
kegiatan lainnya yang bertujuan untuk menunjang subjective well-being pria usia
(22)
12
Universitas Kristen Maranatha 1.5. Kerangka Pemikiran
Masa dewasa awal merupakan tahap perkembangan dengan rentang usia 18-40 tahun. Santrock (2012) mengatakan bahwa masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis, terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya. Pada masa dewasa awal, terjadi perkembangan sosio-emosi yang terlihat dari gaya hidup orang dewasa yaitu orang dewasa yang hidup sendiri dan orang dewasa yang menikah. Salah satu keuntungan yang dirasakan orang dewasa dari hidup sendirian adalah adanya otonomi, namun tantangan yang dihadapi biasanya berkaitan dengan keintiman, kesepian, dan menemukan identitas yang positif di tengah masyarakat yang berorientasi pada pernikahan. Sedangkan orang yang menikah memperoleh keuntungan dari pernikahan yaitu tercapainya kesehatan fisik dan mental yang lebih baik dan kehidupan yang lebih panjang. Erikson mendeskripsikan keintiman sebagai proses menemukan diri sekaligus peleburan diri sendiri ke dalam diri orang lain, yang membutuhkan komitmen terhadap orang lain. Menurut Erikson, jika seseorang gagal mengembangkan relasi yang intim di masa dewasa awal, ia akan mengalami isolasi. Keintiman yang memiliki komitmen di dalamnya akan membawa individu melangkah ke jenjang hubungan yang lebih serius yaitu pernikahan.
Lee, Seccombe, & Shehan (1991, dalam Diener, 1999) mendapatkan hasil jika pria yang menikah merasa lebih bahagia dibandingkan pria yang belum menikah. Diener, dkk (dalam Eddington & Shuman, 2005) menemukan bahwa pernikahan menawarkan keuntungan yang lebih besar bagi pria atau wanita dalam hal emosi positif, tapi tidak dalam kepuasan hidup. Lebih jauh lagi, terdapat bukti-bukti bahwa individu yang bahagia memiliki kecenderungan untuk menikah,
keuntungan pernikahan itu sendiri bisa meningkatkan subjective well-being (Mastekaasa, 1995
(23)
Universitas Kristen Maranatha Pria memiliki tanggung jawab untuk mengasihi, melindungi, mencukupi kebutuhan, dan memimpin keluarganya sebagai kepala rumah tangga. Pria yang sudah menikah harus bekerja lebih giat karena banyak kebutuhan yang menjadi tanggung jawabnya, bahkan tidak jarang mereka harus bekerja di luar kota dan mengorbankan waktu bersama keluarga (Allan Petersen, 1989). Hal ini juga dapat dilihat pada jemaat pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung yang sudah menikah dan merasa terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga mereka merasa kurang memiliki waktu berkualitas dengan keluarga. Sedangkan jemaat pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung yang belum menikah, memiliki tanggung jawab untuk menjamin kondisi finansial keluarga mereka di masa mendatang sehingga mereka memilih untuk menunda pernikahan.
Hal yang dirasakan oleh individu yang belum menikah dan sudah menikah merupakan wujud penghayatan dari kepuasan hidup dan kebahagiaan. Kebahagiaan dan kepuasan dalam
hidup merupakan komponen dari konsep kesejahteraan subjektif (Subjective Well-Being) yang
mencakup komponen kognitif dan afektif manusia(Ed Diener dan Scollon, 2003, dalam Diener,
2005). Subjective well-being merupakan suatu penilaian individu terhadap kehidupannya yang
berkenaan dengan kepuasan hidup, seperti pernikahan, pekerjaan, dan rendahnya emosi negatif. Subjective well-being memiliki dua komponen, yaitu komponen kognitif yang merupakan keyakinan atau kepercayaan yang dimiliki individu dan komponen afektif yang merupakan
perasaan yang dimiliki oleh individu. Dua komponen ini berfungsi untuk menarik informasi
mengenai keseimbangan untuk menemukan atau mendapatkan subjective well-being yang
menyeluruh dalam kehidupan individu (Ed Diener dan Scollon, 2003, dalam Diener, 2005). Penilaian kognitif merupakan penilaian individu mengenai kepuasan hidup. Penilaian tersebut dapat dikategorikan menjadi penilaian umum dan penilaian khusus (Diener, Suh, Lucas, dan Smith dalam Lyubomirsky dan Diekerhoof, 2005). Penilaian umum adalah penilaian individu yang bersifat reflektif terhadap kepuasan hidupnya secara menyeluruh (Diener, 2005), sedangkan
(24)
14
Universitas Kristen Maranatha penilaian khusus adalah penilaian individu mengenai kepuasan terhadap aspek-aspek tertentu dalam hidup, seperti aspek kesehatan, kehidupan, pekerjaan, rekreasi, hubungan sosial, kehidupan dengan pasangan hidup dan kehidupan dengan keluarga. Indikator kepuasan hidup yaitu merasa puas dengan kehidupan yang dijalani saat ini, merasa puas dengan pengalaman di masa lalu, serta merasa puas dengan kehadiran orang-orang terdekat yang berpengaruh terhadap kehidupan (Diener, Smith, dan Fujita, 1995, dalam Diener, 1999). Kepuasan hidup yang tinggi pada pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung yang sudah menikah ditandai dengan kepuasan dalam menjalani pernikahan yaitu, adanya dukungan dan keterbukaan dari individu serta pasangannya, merasa puas dengan pekerjaan yang dijalani saat ini, dan merasa puas dengan kondisi keuangan. Pada pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung yang belum menikah, kepuasan hidup yang tinggi ditandai dengan merasa puas terhadap pekerjaan yang dijalani saat ini dan merasa puas terhadap kondisi keuangan. Sedangkan, kepuasan hidup yang rendah pada pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung yang sudah menikah ditandai dengan terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga kurang memiliki waktu berkualitas dengan keluarga, kurangnya waktu pribadi untuk melakukan hobi, dan waktu untuk berkumpul bersama teman-teman. Pada pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung yang belum menikah, kepuasan hidup yang rendah ditandai dengan merasa belum menemukan pekerjaan yang sesuai dengan harapan hingga saat ini dan merasa belum memiliki kemapanan secara finansial.
Menurut Diener (dalam Diener, 2005), penilaian afektif merupakan cara individu dalam memberikan penilaian mengenai kondisi dan peristiwa di dalam hidupnya. Komponen afektif yang bercorak positif dapat dilihat dari adanya perasaan bahagia, senang, dan gembira. Komponen afektif yang bercorak negatif dapat dilihat dari adanya perasaan sedih, cemas, depresi, dan iri. Pada pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung yang sudah menikah komponen afektif yang bercorak positif ditandai oleh adanya perasaan bahagia dengan keberadaan pasangan
(25)
Universitas Kristen Maranatha mereka untuk saling berbagi di segala kondisi, merasa optimistis terhadap masa depan keluarga, dan tidak merasa tertekan atau cemas saat menjalankan peran sebagai suami. Sedangkan pada pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung yang belum menikah komponen afektif yang bercorak positif ditandai oleh adanya perasaan bahagia karena memiliki banyak waktu untuk melakukan hobi dan mengembangkan karier, merasa optimistis terhadap masa depan, dan merasa bangga atas pencapaian yang sudah diraih.
Sedangkan pada pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung yang sudah menikah, komponen afektif yang bercorak negatif ditandai oleh adanya perasaan cemas tentang kondisi keuangan keluarga di masa depan, merasa kurang diperhatikan pasangan karena pasangan lebih sibuk mengurusi anak, dan merasa sedih karena harus sering meninggalkan keluarga untuk bekerja di luar kota. Pada pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung yang belum menikah komponen afektif yang bercorak negatif ditandai oleh adanya perasaan tertekan karena lingkungan yang sering menuntut mereka agar cepat memiliki pendamping hidup, merasa khawatir tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga di masa depan, dan merasa iri terhadap orang lain yang sudah memiliki pasangan.
Penilaian subjective well-being dibentuk dari afek positif atau pengalaman yang
menyenangkan, rendahnya mood negatif, dan memiliki kepuasan hidup yang tinggi (Diener,
Lucas, Oishi, 2005). Seseorang dikatakan memiliki subjective well-being tinggi jika mengalami
kepuasan hidup, sering merasakan afek positif dan sedikit pengalaman yang tidak menyenangkan, serta jarang merasakan afek negatif seperti kesedihan atau kemarahan. Sebaliknya, individu
dikatakan memiliki subjective well-being rendah jika individu tidak merasa puas dengan
kehidupan, sedikit mengalami pengalaman menyenangkan dan sering merasakan afek negatif seperti kemarahan atau kecemasan (Ed Diener, dkk, 2000).
(26)
16
Universitas Kristen Maranatha
Gambaran perbedaan subjective well-being pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung
yang belum menikah dan sudah menikah akan terlihat dari profil subjective well-being yang akan
terbagi menjadi 4 profil yaitu, profil 1 (kepuasan hidup tinggi, afek dominan positif), profil 2 (kepuasan hidup tinggi, afek dominan negatif), profil 3 (kepuasan hidup rendah, afek dominan positif), dan profil 4 (kepuasan hidup rendah, afek dominan negatif).
Profil 1 yaitu Subjective well-being dengan kepuasan hidup yang tinggi dan afek dominan
positif, tergambar pada pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung yang memiliki persepsi yang puas terhadap kondisi kehidupan aktual individu karena sesuai dengan standar/ kriteria kehidupan yang mereka inginkan dan pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung
merepresentasikan mood dan emosi yang bersifat membahagiakan, serta merupakan kombinasi
dari hal-hal yang bersifat menggugah (arousal) dan hal-hal yang bersifat menyenangkan
(pleasantness). Contohnya, pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung memiliki persepsi yang puas tentang standar kehidupan secara global, memiliki persepsi yang puas terhadap kehidupan, memiliki persepsi yang puas terhadap pencapaian hal-hal penting yang diinginkan dalam hidup. Hal tersebut ditampilkan dalam kehidupan yang penuh rasa syukur terhadap semua hal yang terjadi dalam kehidupan mereka. Selain itu, pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung memiliki perasaan yang positif, baik, senang, bahagia, optimistis, dan puas terhadap diri dan kehidupan mereka walaupun realitanya mereka tidak sempurna.
Profil 2 yaitu Subjective well-being dengan kepuasan hidup yang tinggi dan afek dominan
negatif, tergambar pada pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung yang memiliki persepsi yang puas terhadap kondisi kehidupan aktual individu karena sesuai dengan standar/ kriteria kehidupan yang mereka inginkan namun pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung
merepresentasikan mood dan emosi yang bersifat tidak membahagiakan, serta merupakan
(27)
Universitas Kristen Maranatha
menyenangkan (unpleasantness). Contohnya, pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung
memiliki persepsi yang puas tentang standar kehidupan secara global, memiliki persepsi yang puas terhadap kehidupan, memiliki persepsi yang puas terhadap pencapaian hal-hal penting yang diinginkan dalam hidup. Namun di sisi lain pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung memiliki perasaan yang negatif, buruk, tidak senang, cemas, dan takut terhadap diri dan kehidupan mereka.
Profil 3 yaitu Subjective well-being dengan kepuasan hidup yang rendah dan afek
dominan positif, tergambar pada pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung yang memiliki persepsi tidak puas terhadap kondisi kehidupan aktual individu karena tidak sesuai dengan standar/ kriteria kehidupan yang mereka inginkan namun pria usia 18-40 tahun di Gereja “X”
Bandung merepresentasikan mood dan emosi yang bersifat membahagiakan, serta merupakan
kombinasi dari hal-hal yang bersifat menggugah (arousal) dan hal-hal yang bersifat
menyenangkan (pleasantness). Contohnya, pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung
memiliki persepsi tidak/ kurang puas terhadap standar kehidupan secara global, memiliki persepsi tidak/ kurang puas terhadap kehidupan, memiliki persepsi tidak/ kurang puas terhadap pencapaian hal-hal penting yang diinginkan dalam hidup. Namun, di sisi lain pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung memiliki perasaan yang positif, baik, senang, bahagia, optimistis, dan puas terhadap diri dan kehidupan mereka.
Profil 4 yaitu Subjective well-being dengan kepuasan hidup yang rendah dan afek
dominan negatif, tergambar pada pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung yang memiliki persepsi tidak puas terhadap kondisi kehidupan aktual individu karena tidak sesuai dengan standar/ kriteria kehidupan yang mereka inginkan dan pria usia 18-40 tahun di Gereja “X”
Bandung merepresentasikan mood dan emosi yang bersifat tidak membahagiakan, serta
(28)
18
Universitas Kristen Maranatha
tidak menyenangkan (unpleasantness). Contohnya, pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung
memiliki persepsi yang tidak/ kurang puas tentang standar kehidupan secara global, memiliki persepsi yang tidak/ kurang puas terhadap kehidupan, memiliki persepsi yang tidak/ kurang puas terhadap pencapaian hal-hal penting yang diinginkan dalam hidup. Hal tersebut dapat ditampilkan dengan perilaku banyak mengeluh terhadap banyak hal yang terjadi dalam kehidupan mereka. Selain itu pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung memiliki perasaan yang negatif, buruk, tidak senang, cemas, dan takut terhadap diri dan kehidupan mereka.
Temuan yang dikemukakan oleh Wilson (1967, dalam Diener, 1999) menunjukkan bahwa
faktor kepribadian dan demografi memiliki korelasi dengan subjective well-being. Faktor
kepribadian menentukan dasar bagi individu dalam memberikan respons emosional. Sedangkan faktor-faktor demografi terdiri atas pendidikan, pekerjaan, tujuan hidup, status marital, agama,
dan usia. Salah satu karakteristik demografi yang memiliki hubungan positif dengan subjective
well-being adalah status pernikahan.
Faktor tujuan hidup adalah mengenai hal-hal apa saja yang mendorong individu melakukan sesuatu dalam kehidupannya (Austin & Vancouver, 1996 dalam Diener, 1999). Kasser dan Ryan (dalam Diener, 1999) menjelaskan bahwa penelitian dengan menggunakan teori bahwa ketika individu berhasil mencapai tujuan hidup yang pasti maka hal tersebut dapat membuat kebutuhan intrinsik individu terpenuhi, sebaliknya tujuan hidup lainnya (seperti kekayaan, kecantikan, dan kepopuleran) adalah faktor-faktor ekstrinsik dan tidak dapat memenuhi kebutuhan individu. Tujuan hidup yang dimiliki individu harus tepat dengan motif dan kebutuhan yang dimilikinya dan harus sesuai dengan konteks dalam kehidupan individu.
Faktor status marital, orang yang bahagia memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menikah dan berkeluarga. Selain itu, pernikahan dapat memberikan manfaat baik ekonomi dan sosial, namun tingkatan manfaat kemungkinan akan tergantung pada nilai-nilai masyarakat.
(29)
Universitas Kristen Maranatha Diener et al (1998, dalam Diener, 1999) menemukan bahwa pernikahan memberikan manfaat yang lebih besar bagi pria dibandingkan wanita dalam hal afek positif, namun pria dan wanita yang menikah tidak memiliki perbedaan dalam komponen kepuasan hidup.
Faktor agama memiliki korelasi positif terhadap Subjective well-being karena
memberikan keuntungan bagi kondisi psikologis dan sosial individu, terutama ketika religiusitas diukur dari perilaku keagamaan yang dilakukan (seperti kehadiran dalam ibadah, berdoa, dan lainnya). Pengalaman religius dapat memberikan makna pada kehidupan yang dijalani sehari-hari dan juga saat individu mengalami krisis dalam kehidupan. Faktor agama dapat mengurangi munculnya kejadian yang negatif atau meningkatkan munculnya kejadian yang positif dalam kehidupan individu sehingga tidak terlalu memengaruhi dalam hal afektif. Faktor agama dapat meningkatkan rasa percaya diri, kontrol, dan keamanan, serta memberikan kegunaan yang lebih
besar terhadap komponen kognitif dalam Subjective well-being (Ellison, 1991, dalam Diener,
1999).
Faktor usia, menurut Campbell’s (1981, dalam Diener, 1999) menemukan jika orang yang sudah tua merasa tidak puas terhadap segala hal. Namun hal yang berbeda terdapat dalam penelitian terbaru dari Wilson (dalam Diener, 1999) yang menemukan fakta bahwa individu dengan usia yang lebih tua memiliki kondisi kesehatan yang lebih baik dan tetap terlibat dalam berbagai bidang kehidupan daripada generasi yang lebih muda. Dari dua komponen (kepuasan hidup dan afektif) hanya afek positif yang merosot karena pertambahan usia. Okma dan Veenhoven (1996, dalam Diener, 1999) menemukan jika tidak terdapat penurunan komponen kepuasan hidup dalam kehidupan orang dewasa, namun terdapat sedikit penurunan dalam komponen afektif yaitu pada afek positif.
Selain faktor demografi terdapat juga faktor kepribadian yang memengaruhi Subjective
(30)
20
Universitas Kristen Maranatha
berdasarkan teori Big Five Personality (Costa & McCrae), karakteristik extraversion akan
berdampak positif pada Subjective well-being sedangkan karakteristik neuroticism akan
berdampak negatif pada Subjective well-being. Extraversion akan berdampak positif dengan
Subjective well-being karena memiliki kecenderungan karakteristik yang hangat, suka berkumpul, tegas, menyukai kegiatan, mencari kegembiraan, dan memiliki emosi yang positif. Sedangkan neuroticism akan berdampak negatif pada Subjective well-being karena memiliki kecenderungan karakteristik yang cemas, bermusuhan, depresi, impulsif, mudah terluka, dan memiliki kesadaran diri yang rendah.
(31)
Universitas Kristen Maranatha
Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran
Demografi : -tujuan hidup -status marital -agama -usia
Kepribadian Jemaat pria usia 18-40
tahun yang belum menikah di Gereja “X” Bandung
Profil 1 : Kepuasan Hidup Tinggi dan Afek dominan Positif
Profil 2 : Kepuasan Hidup Tinggi dan Afek dominan Negatif
SWB Jemaat Pria usia 18-40
tahun yang sudah menikah di Gereja “X” Bandung
Profil 3 : Kepuasan Hidup Rendah dan Afek dominan Positif
Komponen SWB : 1.Kognitif
- Kepuasan Hidup 2. Afektif
- Positif - Negatif
Profil 4 : Kepuasan Hidup Rendah dan Afek dominan Negatif
(32)
22
Universitas Kristen Maranatha 1.6. Asumsi Penelitian
Pada dasarnya manusia mencari kebahagiaan dalam hidupnya.
Konsep kebahagiaan, dalam psikologi diwakili oleh konsep Subjective well-being.
Subjective well-being pada pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung dibentuk oleh dua komponen, yaitu kepuasan hidup dan afektif (afek positif dan afek negatif) yang dirasakan berbeda-beda oleh setiap individu jemaat.
Perpaduan antara kepuasan hidup dan afektif pada pria usia 18-40 tahun di Gereja “X”
Bandung menghasilkan empat profil Subjective well-being. Empat profil yang muncul
dalam penelitian ini, yaitu :
o Subjective well-being dengan kepuasan hidup yang tinggi dan afek dominan positif o Subjective well-being dengan kepuasan hidup yang tinggi dan afek dominan negatif o Subjective well-being dengan kepuasan hidup yang rendah dan afek dominan positif o Subjective well-being dengan kepuasan hidup yang rendah dan afek dominan negatif
Profil Subjective well-being pada pria usia 18-40 tahun, dimana penelitian dilakukan di
Gereja “X” Bandung berkaitan dengan beberapa faktor, yaitu : pendidikan, pekerjaan,
pendapatan, tujuan hidup jangka pendek dan jangka panjang, social support, kendala, dan
agama.
1.7. Hipotesis Penelitian
Terdapat perbedaan profil subjective well-being antara respoden yang belum menikah dan
(33)
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disampaikan pada bagian
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa :
Pada hasil uji signifikansi profil Subjective well-being ditemukan bahwa terdapat perbedaan profil Subjective well-being antara jemaat pria Gereja “X” Bandung yang
belum menikah danjemaat pria Gereja “X” Bandung yang sudah menikah.
Sebagian besar jemaat pria Gereja “X” Bandung yang belum menikah (44,4%) memiliki kepuasan hidup rendah, afek dominan positif (Profil 3).
Sebagian besar jemaat pria Gereja “X” Bandung yang sudah menikah (50,0%) memiliki kepuasan hidup tinggi, afek dominan negatif (Profil 2).
Faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi perbedaan Subjective well-being pada kelompok jemaat pria Gereja “X” Bandung yang belum menikah dan sudah menikah
adalah faktor pendidikan, pekerjaan, pendapatan, tujuan hidup jangka pendek dan jangka
(34)
68
Universitas Kristen Maranatha 5.2. Saran
5.2.1. Saran Teoretis
Bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian mengenai Subjective well-being
mengenai kontribusi faktor-faktor yang memengaruhi Subjective well-being.
5.2.2. Saran Praktis
Bagi jemaat pria Gereja “X” Bandung yang belum menikah dan sudah menikah dapat mengetahui perbedaan profil Subjective well-being yang mereka miliki untuk nantinya
dapat digunakan sebagai bahan evaluasi diri berdasarkan penghayatan akan pengalaman
hidup (komponen kognitif) dan perasaan yang dirasakan (komponen afektif).
Bagi pihak Gereja “X”, khususnya Gembala Jemaat, pendeta, dan rohaniwan untuk memanfaatkan hasil penelitian ini guna meningkatkan kepuasan hidup pada jemaat pria
yang belum menikah dengan cara secara rutin mengadakan acara kebersamaan seperti
camping, menonton bersama, job fair, ataupun kegiatan lain yang dapat menunjang
kepuasan hidup yang berkaitan dengan pekerjaan maupun kehadiran orang-orang yang
memberikan perhatian kepada individu yang belum menikah.
Bagi pihak Gereja “X”, khususnya Gembala Jemaat, pendeta, dan rohaniwan untuk memanfaatkan hasil penelitian ini guna meningkatkan afek positif pada jemaat pria yang
sudah menikah dengan cara mengadakan konseling yang ditujukan pada individu yang
memiliki permasalahan dalam keluarga, mengadakan seminar yang bertemakan keluarga
dan penanganan konflik dalam keluarga, memperkaya bahan diskusi dalam ibadah khusus
pasutri, ataupun kegiatan lain yang dapat meningkatkan kebersamaan antara suami dan
(35)
BEING PADA PRIA USIA 18
DAN SUDAH
(SUATU PENELITIAN PADA JEMAAT DI
Diajukan untuk menempuh Ujian S Unive
SONDANG RUTH SABRINA SORMIN
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
USIA 18-40 TAHUN YANG BELUM MENIKAH DAN SUDAH MENIKAH
(SUATU PENELITIAN PADA JEMAAT DI GEREJA”X” BANDUNG
SKRIPSI
Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha
Oleh :
SONDANG RUTH SABRINA SORMIN NRP : 1230014
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG
2017
BELUM MENIKAH GEREJA”X” BANDUNG)
(36)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala anugerah dan karunia-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Komparatif Mengenai Profil Subjectije Well-Being Pada Pria Usia 18-40 Tahun yang Belum Menikah dan Sudah Menikah, dengan fokus penelitian di Gereja “X” Bandung”.
Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti mendapatkan bantuan-bantuan yang sangat berarti, baik doa, pengarahan, bimbingan, bantuan, dan dorongan kepada peneliti. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini, peneliti ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Irene P. Edwina, M.Si, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
2. Dra. Sianiwati S. Hidayat, M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing utama yang telah menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga peneliti dapat menyusun skripsi ini.
3. Selly , M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing pendamping yang telah menyediakan waktu untuk memberikan saran, nasihat, dan motivasi dalam menyusun skripsi ini.
4. Dr. Carolina Nitimihardjo selaku dosen wali yang telah mengingatkan dan memberikan dukungan.
5. Pdt. Daud Adoe, selaku Gembala Jemaat Gereja “X” Bandung yang telah membantu dalam mengurus proses pengambilan data dan informasi yang telah diberikan bagi peneliti dalam rangka penyusunan skripsi.
(37)
dalam pengambilan data untuk keperluan penelitian ini.
7. Mama, Petra, juga segenap keluarga peneliti atas doa, semangat, dan dorongannya selama ini.
8. Stella, Dinna, Ivena, Stevina, Nurul, Astri, dan teman-teman lain yang tidak tersebutkan namanya yang telah memberikan dorongan kepada peneliti.
Peneliti menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penelitian ini, namun peneliti berharap agar dalam segala kekurangannya penelitian ini masih dapat memberikan manfaat bagi Fakultas Psikologi dan terhadap jemaat pria di Gereja “X” Bandung. Untuk itu peneliti terbuka terhadap segala saran dan kritik yang dapat membantu penyempurnaan penelitian ini.
Akhir kata peneliti mengucapkan terima kasih dan semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bandung, Mei 2017
(38)
69 Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Stephen A., Ronald M. Sabatelli. (2003). Family Interaction: A Multigenerational Developmental Perspective 3rd Edition. Boston: Pearson Education, Inc.
Argyle, M. (1999). Causes and Correlates of Happiness. Dalam D. Kahneman, E. Diener, & N. Schwarz (Eds.). Well-being: The Foundations of Hedonic Psychology. New York: Russell Sage Foundation.
Diener, E., Emmons, R. A., Larsen, R. J., & Griffin, S. (1985). The Satisfaction with Life Scale. Journal of Personality Assessment, 49, 71-75.
Diener, Ed. Eunkook M. Suh, Richard E. Lucas & Heidi L. Smith. (1999). Subjective well- being: Three decades progress dalam Psychology Bulletin. Psychological Bulletin, Vol. 125 No.2, 276-302.
Diener, Ed. (2000). Subjective Well-Being : The science of happiness and a proposal for a national index. American Psychologist.
Diener, E., Scollon, C. N., Oishi, S., Dzokoto, V., & Suh, E. M. (2000). Positivity and construction of life satisfaction judgement. Journal of Happiness studies. Volume 1, hal 159-176. (http://www.psych.uiuc edu/- ediener, diakses 9 Januari 2016)
Diener, E. dan Scollon, S. (2003). Subjective well-being is desirable, but not the summum bonum. Makalah pada University of Minnesota Interdisiplinary Workshop on well being, October 23-25.
Diener, Ed., Lucas, Richard, E. & Oishi, S. (2005). Subjective well-being : The science of happiness and life satisfaction. Dalam Synder CR, Lopez JS. Handbook of positive psychology (hal 63-73). New York : Oxford University Press.
(39)
Duvall, E., & Miller, C. M. (1985). Marriage and Family Development 6th ed. New York : Harper & Row Publisher.
Eddington, Neil & Shuman, Richard. (2005). Subjective well-being (happiness). Continuing psychology education.
Hadikusuma, H. (2007). Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung : CV.Mandar Maju.
Hidayat, S. S., Prasetya, P. H., Handayani, V., Savitri, J., Azizah, E., Wardani, R., & Rajagukguk, R.O. (2015). Panduan penulisan skripsi sarjana. Bandung : Universitas Kristen Maranatha.
Nazir, Muhammad. (1999). Metode penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Pavot, W. , & Diener, E. (2004). Findings on subjective well-being: Applications to public policy, clinical interventions, and education. Positive psychology in practice, 679 – 692. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Petersen, A. J. (1989). Pria dan dunianya. Jakarta : P.T. BPK Gunung Mulia.
Santrock, John W. (2012). Life span development (edisi ketigabelas, jilid 2). Terjemahan Benedictine Widyasinta. (2012). Jakarta : Erlangga.
Subana & Sudrajat. (2009). Dasar-dasar Penelitian Ilmiah. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Sugiyono. (2006). Statistika untuk penelitian. Bandung : Alfabeta.
Steinberg. L. (2002). Adolesence. New York : The McGraw- Hill Companies. Inc.
Synder CR, Lopez JS. (2002). Handbook of positive psychology. New York : Oxford University Press.
(40)
71
Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR RUJUKAN
Amaliah, W. (2013). Studi deskriptif mengenai profil Subjective well being pada residen tahap re-entry di UPT terapi dan rehabilitasi Badan Narkotika Nasional LIDO. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha : Bandung.
Arianti, J. (2010). Subjective Well-Being (Kesejahteraan Subjektif) dan Kepuasan Kerja Pada Staf Pengajar (Dosen) di Lingkungan Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Jurnal Psikologi Undipvol. Volume 8, No. 2, hal 119-120. ( http://ejournal.undip.ac.id , diakses 20 Maret 2015)
Badan Pusat Statistik. (2010). Singulate mean age at marriage. Diakses dari http:// www.kompasiana.com/ .
Badan Pusat Statistik. (2014). Indeks kebahagiaan Indonesia. Diakses dari
https://www.bps.go.id/Brs/view/id/1117.
Badan Pusat Statistik. (2014). Indeks kebahagiaan 2014 berdasarkan usia. Diakses dari https://www.tempo.co/.
Dewi, J. S. (2013). Perbedaan Subjective well-being pada dewasa awal yang sudah menikah dan yang belum menikah. Fakultas Psikologi Universitas Medan Area : Medan.
Lubis, S. H. (2011). Hubungan antara self-esteem dengan subjective well-being karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah : Jakarta.
NY Times. (9 Januari 2015). Manfaat pernikahan pada level kebahagiaan. Diakses dari https://www.tempo.co/.
(1)
STUDI KOMPARATIF MENGENAI BEING PADA PRIA USIA 18
DAN SUDAH
(SUATU PENELITIAN PADA JEMAAT DI
Diajukan untuk menempuh Ujian S Unive
SONDANG RUTH SABRINA SORMIN
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
STUDI KOMPARATIF MENGENAI PROFIL SUBJECTIVE WELL
USIA 18-40 TAHUN YANG BELUM MENIKAH DAN SUDAH MENIKAH
(SUATU PENELITIAN PADA JEMAAT DI GEREJA”X” BANDUNG
SKRIPSI
Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha
Oleh :
SONDANG RUTH SABRINA SORMIN NRP : 1230014
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG
2017
SUBJECTIVE WELL-BELUM MENIKAH GEREJA”X” BANDUNG)
(2)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala anugerah dan karunia-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Komparatif Mengenai Profil Subjectije Well-Being Pada Pria Usia 18-40 Tahun yang Belum Menikah dan Sudah Menikah, dengan fokus penelitian di Gereja “X” Bandung”.
Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti mendapatkan bantuan-bantuan yang sangat berarti, baik doa, pengarahan, bimbingan, bantuan, dan dorongan kepada peneliti. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini, peneliti ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Irene P. Edwina, M.Si, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
2. Dra. Sianiwati S. Hidayat, M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing utama yang telah menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga peneliti dapat menyusun skripsi ini.
3. Selly , M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing pendamping yang telah menyediakan waktu untuk memberikan saran, nasihat, dan motivasi dalam menyusun skripsi ini.
4. Dr. Carolina Nitimihardjo selaku dosen wali yang telah mengingatkan dan memberikan dukungan.
5. Pdt. Daud Adoe, selaku Gembala Jemaat Gereja “X” Bandung yang telah membantu dalam mengurus proses pengambilan data dan informasi yang telah diberikan bagi peneliti dalam rangka penyusunan skripsi.
(3)
6. Jemaat pria usia 18-40 tahun di Gereja “X” Bandung yang telah membantu peneliti dalam pengambilan data untuk keperluan penelitian ini.
7. Mama, Petra, juga segenap keluarga peneliti atas doa, semangat, dan dorongannya selama ini.
8. Stella, Dinna, Ivena, Stevina, Nurul, Astri, dan teman-teman lain yang tidak tersebutkan namanya yang telah memberikan dorongan kepada peneliti.
Peneliti menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penelitian ini, namun peneliti berharap agar dalam segala kekurangannya penelitian ini masih dapat memberikan manfaat bagi Fakultas Psikologi dan terhadap jemaat pria di Gereja “X” Bandung. Untuk itu peneliti terbuka terhadap segala saran dan kritik yang dapat membantu penyempurnaan penelitian ini.
Akhir kata peneliti mengucapkan terima kasih dan semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bandung, Mei 2017
(4)
69 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Stephen A., Ronald M. Sabatelli. (2003). Family Interaction: A Multigenerational Developmental Perspective 3rd Edition. Boston: Pearson Education, Inc.
Argyle, M. (1999). Causes and Correlates of Happiness. Dalam D. Kahneman, E. Diener, & N. Schwarz (Eds.). Well-being: The Foundations of Hedonic Psychology. New York: Russell Sage Foundation.
Diener, E., Emmons, R. A., Larsen, R. J., & Griffin, S. (1985). The Satisfaction with Life Scale. Journal of Personality Assessment, 49, 71-75.
Diener, Ed. Eunkook M. Suh, Richard E. Lucas & Heidi L. Smith. (1999). Subjective well- being: Three decades progress dalam Psychology Bulletin. Psychological Bulletin, Vol. 125 No.2, 276-302.
Diener, Ed. (2000). Subjective Well-Being : The science of happiness and a proposal for a national index. American Psychologist.
Diener, E., Scollon, C. N., Oishi, S., Dzokoto, V., & Suh, E. M. (2000). Positivity and construction of life satisfaction judgement. Journal of Happiness studies. Volume 1, hal 159-176. (http://www.psych.uiuc edu/- ediener, diakses 9 Januari 2016)
Diener, E. dan Scollon, S. (2003). Subjective well-being is desirable, but not the summum bonum. Makalah pada University of Minnesota Interdisiplinary Workshop on well being, October 23-25.
Diener, Ed., Lucas, Richard, E. & Oishi, S. (2005). Subjective well-being : The science of happiness and life satisfaction. Dalam Synder CR, Lopez JS. Handbook of positive psychology (hal 63-73). New York : Oxford University Press.
(5)
70
Universitas Kristen Maranatha
Duvall, E., & Miller, C. M. (1985). Marriage and Family Development 6th ed. New York : Harper & Row Publisher.
Eddington, Neil & Shuman, Richard. (2005). Subjective well-being (happiness). Continuing psychology education.
Hadikusuma, H. (2007). Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung : CV.Mandar Maju.
Hidayat, S. S., Prasetya, P. H., Handayani, V., Savitri, J., Azizah, E., Wardani, R., & Rajagukguk, R.O. (2015). Panduan penulisan skripsi sarjana. Bandung : Universitas Kristen Maranatha.
Nazir, Muhammad. (1999). Metode penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Pavot, W. , & Diener, E. (2004). Findings on subjective well-being: Applications to public policy, clinical interventions, and education. Positive psychology in practice, 679 – 692. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Petersen, A. J. (1989). Pria dan dunianya. Jakarta : P.T. BPK Gunung Mulia.
Santrock, John W. (2012). Life span development (edisi ketigabelas, jilid 2). Terjemahan Benedictine Widyasinta. (2012). Jakarta : Erlangga.
Subana & Sudrajat. (2009). Dasar-dasar Penelitian Ilmiah. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Sugiyono. (2006). Statistika untuk penelitian. Bandung : Alfabeta.
Steinberg. L. (2002). Adolesence. New York : The McGraw- Hill Companies. Inc.
Synder CR, Lopez JS. (2002). Handbook of positive psychology. New York : Oxford University Press.
(6)
71
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN
Amaliah, W. (2013). Studi deskriptif mengenai profil Subjective well being pada residen tahap re-entry di UPT terapi dan rehabilitasi Badan Narkotika Nasional LIDO. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha : Bandung.
Arianti, J. (2010). Subjective Well-Being (Kesejahteraan Subjektif) dan Kepuasan Kerja Pada Staf Pengajar (Dosen) di Lingkungan Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Jurnal Psikologi Undipvol. Volume 8, No. 2, hal 119-120. ( http://ejournal.undip.ac.id , diakses 20 Maret 2015)
Badan Pusat Statistik. (2010). Singulate mean age at marriage. Diakses dari http://
www.kompasiana.com/ .
Badan Pusat Statistik. (2014). Indeks kebahagiaan Indonesia. Diakses dari https://www.bps.go.id/Brs/view/id/1117.
Badan Pusat Statistik. (2014). Indeks kebahagiaan 2014 berdasarkan usia. Diakses dari https://www.tempo.co/.
Dewi, J. S. (2013). Perbedaan Subjective well-being pada dewasa awal yang sudah menikah dan yang belum menikah. Fakultas Psikologi Universitas Medan Area : Medan.
Lubis, S. H. (2011). Hubungan antara self-esteem dengan subjective well-being karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah : Jakarta.
NY Times. (9 Januari 2015). Manfaat pernikahan pada level kebahagiaan. Diakses dari https://www.tempo.co/.