MUDA Subjective Well-Being Pada Pasangan Yang Menikah Muda.

(1)

SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASANGAN YANG MENIKAH MUDA

PUBLIKASI ILMIAH

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi

Oleh:

DANIS MISWIYAWATI F100130148

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

1

Subjective Well Being pada Pasangan yang Menikah Muda Danis Miswiyawati

Rini Lestari

Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Miswiyawatidanis17@gmail.com

Abstrak

Individu usia muda sering membandingkan kehidupanya dengan standar kehidupan individu lain atau membandingkan kehidupannya dengan kehidupan individu sebelumnya. Penyesuaian pada perbandingan inilah yang nantinya membawa dampak positif atau negatif dan sejahtera atau tidaknya individu usia muda dalam menjalankan peran barunya sebagai pasangan dalam suatu pernikahan. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan mendeskripsikan subjective well-being pada pasangan menikah muda. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 3 pasang suami istri yang menikah muda. Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi. Hasil penelitian menggambarkan bahwa pasangan yang menikah muda merasakan subjective well-being yang cukup tinggi dalam pernikahan. Subjective well-being terbentuk dalam diri pasangan muda tersebut yaitu pasangan muda dapat menerima kondisi yang telah dialaminya dan bersyukur atas apa yang dialaminya. Secara keseluruhan pasangan muda lebih sering merasakan afek positif daripada afek negatif. Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being pada pasangan yang menikah muda adalah optimisme, memiliki hubungan yang positif, dan memiliki cita-cita.

Kata kunci :Subjective well-being, Menikah,PasanganMuda

Abstract

Young individual often compares their life with another standart or to compare their life with previous living. Adjustments to the comparison is what will bring a positive or negative impact and prosperous young age whether or not the individual in carrying out his new role as a partner in a marriage. The purpose of this study is to determine and describe subjective well-being on a young married couple. This study used a qualitative approach. Subjects in this study were 3 pairs of husband and wife who married young. The collections of data used in this study were interviews. Analysis of the data used in this research is content analysis. The results of the study illustrate that young married couple who feel Subjective well-being enough high in marriage. Subjective well-being established with the young couples that young couples can accept the conditions he has


(6)

2

experienced and grateful for what happened. Overall youn couples often fell more positive affect than negative affect. Factors that influence the subjective well-being on a young married are optimism, positive relationships, have ideals. Keyword : Subjective well-being, Married, Young Couples

1. PENDAHULUAN

Masa remaja memiliki tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Menjalin hubungan yang baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik sesama jenis maupun dengan lawan jenis merupakan salah satu tugas perkembangan tersebut.Individuyang menikah di usia remaja akan dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa seutuhnya, remaja tidak lagi menghadapi tugas perkembangan remaja namun tugas perkembangan dewasa. Remaja yang menikah pada usia 18-19 tahun juga akan memasuki dunia orang dewasa dan mengalami masa remaja yang diperpendek (Fajriyah dan Laksmiwati, 2014).

Pernikahan itu sendiri mengandung makna bahwa pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang sejahtera dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa (Hadikusuma, 2007).Meskipun demikian, tidak semua orang mampu memahami hakikat dan tujuan dari pernikahan yang seutuhnya yaitu mendapatkan kebahagiaan yang sejati dalam berumah tangga (Puspitasari, 2006).

Perundang-undangan No. 1 tahun 1974 telah mengatur mengenai batas usia pernikahan untuk mencegah pernikahan dini. Undang-undang mengenai batas usia pernikahan yaitu pasal 7 ayat (1) yang berbunyi ‘Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun’ (hukumonline.com).

Berdasarkan data BadanPusatStatistik pada tahun 2015, perkawinan usia anak di Indonesia, khususnya perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun sebasar 23%. Perkawinan usia anak di Indonesia cenderung lebih tinggi di wilayah pedesaan dibanding perkotaan (Julianto, 2016). Data menunjukkan sebanyak 10 remaja pria dan 12 remaja wanita asal Sragen diketahui menikah di


(7)

3

bawah umur sepanjang Januari hingga Juni 2016. Faktor hamil di luar nikah mendominasi alasan remaja asal Bumi Sukowati memilih nikah dini (Duhri, 2016) Di desa KR terdapat 4 pasangan yang menikah mudayaitudibawah 20 tahun. Keempat pasangan menyatakan bahwa masing masing dari subjek menikah atas kemauanya sendiri dan tidak ada paksaan dari keluarga atau pihak manapun. Subjek menyatakan bahwa tidak jarang mengalami ketidakpuasan dan permasalahan dalam pernikahanya. Subjek menyatakan bahwa belum merasakan kepuasan yang seutuhnya karena masih sering menghadapi permasalahan dalam pernikahan dan pemikiranya masih belum dewasa serta kadang masih berpikir dangkal dalam penyelesaian masalah tersebut. Selain itu, pendapatan atau keuangan seringkali memicu permasalahan dalam pernikahannya. Subjek juga menyatakan bahwa kebahagiaannya sebelum menikah dengan sesudah menikah berbeda karena subjek mengalami permasalahan dalam pernikahannya dan permasalahan tersebut belum pernah subjek alami saat subjek belum menikah.

Individu yang menikah di usia remaja atau usia muda mengalami masa remaja yang diperpendek sehingga kurang terpenuhinya tugas perkembangan di usia remaja dan mengakibatkan pernikahan usia muda rentan terhadap konflik dan masalah karena belum siap memikul tanggung jawab sepenuhnya sebagai sepasang suami istri. Hal tersebut membuat pasangan yang menikah muda membandingkan antara kehidupan sebelum menikah dan sesudah menikah karena konflik yang dialami setelah menikah tidak pernah pasangan muda alami saat sebelum menikah, sehingga hal ini membawa pasangan muda sejahtera atau tidaknya dalam menjalankan peran sebagai pasangan muda dalam pernikahan.

Kesejahteraan tidak didapatkan begitu saja tanpa adanya usaha untuk mencapainya. Perbedaan kondisi antara sebelum menikah dan sesudah menikah membuat pasangan yang menikah muda perlu melakukan penyesuaian untuk mendapatkan kesejahteraan yang sejati dalam pernikahan. Selain itu, peristiwa yang muncul dalam pernikahan seperti permasalahan atau konflik dan bagaimana cara menyelesaikan permasalahan tersebut dapat menganggu stabilitas kesejahteraan dalam pernikahan.


(8)

4

Menurut Joshi (2010) Subjective well-being tidak sama dengan kebahagiaan meskipun istilah yang digunakan sinonim. Subjective well-being adalah evaluasi individu terhadap kebahagiaan individu. SWB adalah kategori yang luas dari fenomena yang mencakup respon individu terhadap emosional, kepuasan domain, dan penilaian secara umum mengenai kepuasan hidup. SWB terdiri dari dua komponen khas yaitu bagian afektif yang mengacu pada pengaruh baik afek positif (PA) dan tidak adanya pengaruh negatif (NA) dan bagian kognitif.

Wilson (dalam Diener dkk, 2005) menyatakan bahwa faktor kepribadian dan faktor demografis memiliki hubungan dengan subjective well-being. Seseorang yang muda, sehat, berpendidikan bagus, ekstrovert, memiliki self esteem tinggi, optimis, religious, telah menikah, memiliki cita-cita, memiliki semangat kerja, memiliki tingkat kebahagiaan atau subjective well-being yang lebih tinggi daripada individu yang tidak tergolong pada kriteria diatas.

Subjective well-being atau kebahagiaan cenderung relatif stabil dalam sepanjang rentang kehidupan seseorang, tetapi peristiwa tertentu yang dialami individu dapat mengganggu stabilitas tersebut (Docherty, 2007). Permasalahan yang muncul serta tidak terpenuhinya hak dan kewajiban sebagai suami istri dalam pernikahan usia muda merupakan suatu peristiwa yang dapat mengganggu stabilitas subjective well-being atau kesejahteraan subjektif pasangan yang menikah muda.

Berdasarkan uraian-uraian di atas maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian yaitu bagaimana subjective well-being pada pasangan yang menikah muda dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi subjective well-being pada pasangan yang menikah muda.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di desa KR dan di desa TG.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan subjective well-being pada pasangan yang menikah muda. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara.


(9)

5

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu informan penelitian dipilih berdasarkan pertimbangan, kriteria atau ciri-ciri yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian.Kriteria informan penelitian pada penelitian ini yaitu pasangan yang menikah pada usia 11 sampai 20 tahun.Subjek dalam penelitian ini adalah pasangan yang menikah pada usia 17 sampai 20 tahun.

Tabel Informan Penelitian

No Subjek

Usia

Lama

menikah Pekerjaan

Deskripsi subjek Seka rang Saat Menikah 1 AGR

(laki-laki/suami EA)

21 th 19 th

1 th 1 bln

Swasta (buruh pabrik) Belum mempunyai anak. Keluarga inti tinggal dengan orang tua suami. 2 EA

(perempuan /istri AGR)

21 th 19 th Swasta (lembaga kursus bahasa korea) 3 EM

(laki-laki/suami YA)

18 th 17 th

1,5 th Wira swasta (tukang plitur) Mempunyai 1 anak. Keluarga inti tinggal dengan orang tua suami 4 YA

(perempuan /istri EM)

20 th 19 th Swasta (buruh konveksi) 5 RB

(laki-laki/suami YN)

24 th 19 th

4,5 th

Swasta (tukang mebel dan jual burung) Mempunyai 1 anak. Keluarga inti tinggal di rumahsendiri 6 YN

(perempuan /istri RB)

21 th 17 th Wira Swasta (mende sain bunga pernika han)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan wawancara yang sudah dilakukan, rata-rata subjek melakukan pernikahan di usia muda karena keinginan dari diri subjek sendiri untuk


(10)

6

menghindari zina, serta dengan menikah muda maka masih banyak tenaga untuk merawat anak cucu kelak.

Pasangan yang menikah muda juga menilai bahwa pernikahan saat ini sudah mendekati pernikahan yang ideal. Hal ini sesuai dengan teori Eddington dan Shuman (2005) yang menyatakan bahwa individu yang menikah lebih sering merasa bahagia dibandingkan individu yang belum atau tidak menikah. Pernikahan menawarkan keuntungan yang lebih besar bagi pria atau wanita dalam hal emosi positif, namun tidak dalam kepuasan hidup.

Masing-masing subjek masih menyatakan adanya perbandingan antara pernikahan yang dijalani saat ini dengan pernikahan yang ideal. Hal ini sesuai dengan pendapat Eddington dan Shuman (2005) yang menyatakan bahwa pasangan yang menikah muda belum tentu dapat mencapai kepuasan hidup yang didalamnya mencakup kepuasan hidup secara global yang melibatkan persepsi seseorang terhadap perbandingan keadaan hidupnya dengan standar unik yang dimilikinya.

Selama menikah, pasangan yang menikah muda tidak pernah menemui kendala kesehatan. Hal ini sesuai teori yang dikemukakan oleh Sen (dalam Haughton dan Khandker 2006) bahwa status kesehatan merupakan indikator dari karakteristik individu yang memiliki korelasi dengan kebahagiaan individu.

Pasangan yang menikah muda dapat merasakan kepuasan terhadap keluarganya mulai dari orang tua hingga saudara. Menurut Hadikusuma (2007) pola perilaku keluarga yang mencerminkan sinkronisasi dan integrasi di antara anggota keluarga yang juga diindikasikan melalui anggota keluarga merupakan ciri-ciri dari keharmonisan yang diperoleh dari kepuasan anggota terhadap keluarga.

Penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan yang telah ditekunioleh pasangan yang menikah muda dapat memenuhi kebutuhan mulai dari kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan anak. Surya (2001) menyatakan bahwa tidak jarang pria dan wanita yang tercukupi dalam pekerjaan dapat membina rumah tangga yang harmonis, dengan karir yang dimiliki suami dan istri dapat menunjang


(11)

7

kebahagiaan dan kemajuan bagi rumah tangga, karena secara ekonomi dengan bekerja dapat membantu kelangsungan hidup keluarga secara finansial.

Pasangan yang menikah muda setiap hari merasakan afek positif yang meliputisenang dapat satu rumah sehingga bertemu setiap hari dengan pasangan, menghabiskan waktu bersama keluarga dengan cara main dan berkumpul dengan keluarga untuk menjalin kedekatan, bercanda dan bermanja bersama keluarga, serta merasa senang karena merasa disayangi oleh pasangan dan mendapat dukungan dari keluarga.Menurut Duran dan Barlas (2016), individu memiliki subjective well-being yang tinggi jika individu lebih sering menghadapi pengalaman yang menyenangkan daripada yang tidak menyenangkan.

Pasangan yang menikah muda juga merasakan afek negatif yang meliputimerasakan kecemburuan terhadap pasangan, mudah marah-marah, dan mengamuk. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ratnawati (2014) yang menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara kematangan emosi dan keharmonisan keluarga dimana semakin tinggi kematangan emosi maka semakin tinggi keharmonisan keluarga, dan sebaliknya semakin rendah kematangan emosi maka semakin rendah keharmonisan keluarga.

Faktor pertama yang mempengaruhi subjective well-being pada pasangan yang menikah muda adalah optimisme. Menurut Herbyanti (2009) kebahagiaan merupakan hal yang bisa ditumbuhkan oleh setiap individu dengan salah satu cara yang bisa dilakukan yaitu optimis terhadap segala hal yang dilakukan.

Faktor kedua yang mempengaruhi subjective well-being pada pasangan yang menikah muda adalah memiliki hubungan yang positif.Hal ini sesuai dengan teori Pavot dan Diener (dalam Linely dan Joseph, 2004) bahwa hubungan yang positif dengan orang lain berkaitan dengan subjective well-being, karena dengan adanya hubungan yang positif tersebut akan mendapat dukungan sosial dan kedekatan emosional.

Faktor ketiga yang mempengaruhi subjective well-being pada pasangan yang menikah muda adalah memiliki cita-cita. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Wilson (dalam Diener dkk, 2005) bahwa memiliki cita-cita merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi subjective well-being. Individu


(12)

8

yang memiliki cita-cita dalam cara yang positif, akan memiliki kontrol yang baik terhadap hidupnya, sehingga memiliki impian dan harapan yang positif tentang masa depan.

4. PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa pasangan yang menikah muda merasakan kesejahteraan yang cukup tinggi dalam pernikahan. Kepuasan hidup secara umum yang didapat oleh ketiga pasangan muda terlihat dari penilaian subjek terhadap pernikahan yang sudah harmonis dan sudah mendekati pernikahan yang ideal, meskipun terkadang masih terjadi konflik dalam pernikahan. Ketiga pasangan muda juga merasakan kepuasan hidup pada domain tertentu seperti kesehatan, keluarga, pasangan, pekerjaan dan pendidikan yang membuat subjek selalu mensyukuri dan menerima apa yang diperolehnya. Secara keseluruhan pasangan muda lebih sering merasakan afek positif daripada afek negatif.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being pada pasangan yang menikah muda adalah optimisme, memiliki hubungan yang positif, dan memiliki cita-cita.

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan, maka saran yang perlu diperhatikan adalah :

Subjek diharapkan mampu berpikir dan bersikap positif terhadap segala hal yang dialami dalam pernikahan dan selalu menjadi pribadi yang lebih baik dan bijak dalam menjalani kehidupan pernikahan

Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti tema yang sama diharapkan untuk lebih memperdalam faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being pada pasangan yang menikah muda dan menambah kriteria subjek penelitian. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat menambah pertemuan dan menambah durasi wawancara dengan subjek penelitian, karena dalam penelitian ini peneliti hanya melakukan satu kali pertemuan wawancara yang berdurasi kurang lebih satu jam.


(13)

9 DAFTAR PUSTAKA

Diener, E., Lucas, R. E., & Oishii, R. (2005). The Satisfaction with Life Scale. Journal of Personality Assesment, 49, 71-75

Docherty, G. (2007). The Effects of Romantic Dissolution on Well Being. Psychological Bulletin, 127, 276-312

Duhri, M. K. (2016). Sebanyak 22 pasangan di Sragen Melakukan Pernikahan Dini. Solopos. Diunduh dari http://www.solopos.com/2016/08/07/22- remaja-sragen-jalani-pernikahan-dini-terbanyak-dipicu-hamil-duluan-743173

Duran, S., & Barlas, G. U. (2016). Effectiveness of psychoeducation intervention on subjective well-being and self compassion of individuals with mental disabilities. International Journal of Research in Medical Sciences, 4(1), 181-188

Eddington, N., & Shuman, R. (2005). Subjective well-being (Happiness).Continuing Psychology Education:6 Continuing Education Hours. Diunduh dari http://www.texcpe.com/html/pdf/ca/ca-happiness.pdf Fajriyah., & Laksmiwati, H. (2014). Subjective Well-Being pada Pasangan yang

Menikah karena Hamil. Character. 03(2), 1-9

Hadikusuma, H. (2007). HukumPerkawinanIndonesia ;MenurutPerundangan, HukumAdat, &Hukum Agama. Bandung: CV. MandarMaju

Haughton, J., & Khandker, S. (2006). Handbook on Poverty and Inequality. Washington DC: World Bank

Herbyanti, D. (2009). Kebahagiaan (Happiness) pada Remaja di Daerah Abrasi. Jurnal Ilmiah Psikologi, 11(2),

Hukumonline. (n.d). Batas UsiaKawinCegahPernikahanDini :Pengaturanbatasumurperkawinanmemberikepastianhukum.

Diunduhdarihttp://www.hukumonline.com/berita/baca/lt536ced2eafaf5/bat as-usia-kawin-cegah-pernikahan-dini

Joshi, U. (2010). Subjective well-being by Gender. Journal of Economics and Behavioral Studies, 1(1), 20-26

Julianto, A. P. (2016). Pernikahan Usia Dini Bisa Hambat Laju Ekonomi.

Kompas. Diunduh dari

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/07/20/153639126/pernikaha n.usia.dini.bisa.hambat.laju.ekonomi

Linley, P.A., & Joseph, S. (2004). Positive Psychology in Practice. New Jersey: John Wiley & Sons. Inc

Puspitasari, F. (2006). Perkawinan Usia Muda : Faktor-Faktor Pendorong dan Dampaknya terhadap Pola Asuh Keluarga (Studi Kasus di Desa Mandalagiri Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya).Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang


(14)

10

Ratnawati, P. (2014). Keharmonisan Keluarga antara Suami Istri Ditinjau dari Kematangan Emosi pada Pernikahan Usia Dini. Jurnal Psikologi Universitas Semarang. 155-165


(1)

5

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu informan penelitian dipilih berdasarkan pertimbangan, kriteria atau ciri-ciri yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian.Kriteria informan penelitian pada penelitian ini yaitu pasangan yang menikah pada usia 11 sampai 20 tahun.Subjek dalam penelitian ini adalah pasangan yang menikah pada usia 17 sampai 20 tahun.

Tabel Informan Penelitian No Subjek

Usia

Lama

menikah Pekerjaan

Deskripsi subjek Seka rang Saat Menikah

1 AGR

(laki-laki/suami EA)

21 th 19 th

1 th 1 bln

Swasta (buruh pabrik) Belum mempunyai anak. Keluarga inti tinggal dengan orang tua suami. 2 EA

(perempuan /istri AGR)

21 th 19 th Swasta

(lembaga kursus bahasa korea) 3 EM

(laki-laki/suami YA)

18 th 17 th

1,5 th Wira swasta (tukang plitur) Mempunyai 1 anak. Keluarga inti tinggal dengan orang tua suami 4 YA

(perempuan /istri EM)

20 th 19 th Swasta

(buruh konveksi) 5 RB

(laki-laki/suami YN)

24 th 19 th

4,5 th

Swasta (tukang mebel dan jual burung) Mempunyai 1 anak. Keluarga inti tinggal di rumahsendiri 6 YN

(perempuan /istri RB)

21 th 17 th Wira

Swasta (mende sain bunga pernika han)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan wawancara yang sudah dilakukan, rata-rata subjek melakukan pernikahan di usia muda karena keinginan dari diri subjek sendiri untuk


(2)

6

menghindari zina, serta dengan menikah muda maka masih banyak tenaga untuk merawat anak cucu kelak.

Pasangan yang menikah muda juga menilai bahwa pernikahan saat ini sudah mendekati pernikahan yang ideal. Hal ini sesuai dengan teori Eddington dan Shuman (2005) yang menyatakan bahwa individu yang menikah lebih sering merasa bahagia dibandingkan individu yang belum atau tidak menikah. Pernikahan menawarkan keuntungan yang lebih besar bagi pria atau wanita dalam hal emosi positif, namun tidak dalam kepuasan hidup.

Masing-masing subjek masih menyatakan adanya perbandingan antara pernikahan yang dijalani saat ini dengan pernikahan yang ideal. Hal ini sesuai dengan pendapat Eddington dan Shuman (2005) yang menyatakan bahwa pasangan yang menikah muda belum tentu dapat mencapai kepuasan hidup yang didalamnya mencakup kepuasan hidup secara global yang melibatkan persepsi seseorang terhadap perbandingan keadaan hidupnya dengan standar unik yang dimilikinya.

Selama menikah, pasangan yang menikah muda tidak pernah menemui kendala kesehatan. Hal ini sesuai teori yang dikemukakan oleh Sen (dalam Haughton dan Khandker 2006) bahwa status kesehatan merupakan indikator dari karakteristik individu yang memiliki korelasi dengan kebahagiaan individu.

Pasangan yang menikah muda dapat merasakan kepuasan terhadap keluarganya mulai dari orang tua hingga saudara. Menurut Hadikusuma (2007) pola perilaku keluarga yang mencerminkan sinkronisasi dan integrasi di antara anggota keluarga yang juga diindikasikan melalui anggota keluarga merupakan ciri-ciri dari keharmonisan yang diperoleh dari kepuasan anggota terhadap keluarga.

Penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan yang telah ditekunioleh pasangan yang menikah muda dapat memenuhi kebutuhan mulai dari kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan anak. Surya (2001) menyatakan bahwa tidak jarang pria dan wanita yang tercukupi dalam pekerjaan dapat membina rumah tangga yang harmonis, dengan karir yang dimiliki suami dan istri dapat menunjang


(3)

7

kebahagiaan dan kemajuan bagi rumah tangga, karena secara ekonomi dengan bekerja dapat membantu kelangsungan hidup keluarga secara finansial.

Pasangan yang menikah muda setiap hari merasakan afek positif yang meliputisenang dapat satu rumah sehingga bertemu setiap hari dengan pasangan, menghabiskan waktu bersama keluarga dengan cara main dan berkumpul dengan keluarga untuk menjalin kedekatan, bercanda dan bermanja bersama keluarga, serta merasa senang karena merasa disayangi oleh pasangan dan mendapat dukungan dari keluarga.Menurut Duran dan Barlas (2016), individu memiliki subjective well-being yang tinggi jika individu lebih sering menghadapi pengalaman yang menyenangkan daripada yang tidak menyenangkan.

Pasangan yang menikah muda juga merasakan afek negatif yang meliputimerasakan kecemburuan terhadap pasangan, mudah marah-marah, dan mengamuk. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ratnawati (2014) yang menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara kematangan emosi dan keharmonisan keluarga dimana semakin tinggi kematangan emosi maka semakin tinggi keharmonisan keluarga, dan sebaliknya semakin rendah kematangan emosi maka semakin rendah keharmonisan keluarga.

Faktor pertama yang mempengaruhi subjective well-being pada pasangan yang menikah muda adalah optimisme. Menurut Herbyanti (2009) kebahagiaan merupakan hal yang bisa ditumbuhkan oleh setiap individu dengan salah satu cara yang bisa dilakukan yaitu optimis terhadap segala hal yang dilakukan.

Faktor kedua yang mempengaruhi subjective well-being pada pasangan yang menikah muda adalah memiliki hubungan yang positif.Hal ini sesuai dengan teori Pavot dan Diener (dalam Linely dan Joseph, 2004) bahwa hubungan yang positif dengan orang lain berkaitan dengan subjective well-being, karena dengan adanya hubungan yang positif tersebut akan mendapat dukungan sosial dan kedekatan emosional.

Faktor ketiga yang mempengaruhi subjective well-being pada pasangan yang menikah muda adalah memiliki cita-cita. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Wilson (dalam Diener dkk, 2005) bahwa memiliki cita-cita merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi subjective well-being. Individu


(4)

8

yang memiliki cita-cita dalam cara yang positif, akan memiliki kontrol yang baik terhadap hidupnya, sehingga memiliki impian dan harapan yang positif tentang masa depan.

4. PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa pasangan yang menikah muda merasakan kesejahteraan yang cukup tinggi dalam pernikahan. Kepuasan hidup secara umum yang didapat oleh ketiga pasangan muda terlihat dari penilaian subjek terhadap pernikahan yang sudah harmonis dan sudah mendekati pernikahan yang ideal, meskipun terkadang masih terjadi konflik dalam pernikahan. Ketiga pasangan muda juga merasakan kepuasan hidup pada domain tertentu seperti kesehatan, keluarga, pasangan, pekerjaan dan pendidikan yang membuat subjek selalu mensyukuri dan menerima apa yang diperolehnya. Secara keseluruhan pasangan muda lebih sering merasakan afek positif daripada afek negatif.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being pada pasangan yang menikah muda adalah optimisme, memiliki hubungan yang positif, dan memiliki cita-cita.

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan, maka saran yang perlu diperhatikan adalah :

Subjek diharapkan mampu berpikir dan bersikap positif terhadap segala hal yang dialami dalam pernikahan dan selalu menjadi pribadi yang lebih baik dan bijak dalam menjalani kehidupan pernikahan

Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti tema yang sama diharapkan untuk lebih memperdalam faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being pada pasangan yang menikah muda dan menambah kriteria subjek penelitian. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat menambah pertemuan dan menambah durasi wawancara dengan subjek penelitian, karena dalam penelitian ini peneliti hanya melakukan satu kali pertemuan wawancara yang berdurasi kurang lebih satu jam.


(5)

9 DAFTAR PUSTAKA

Diener, E., Lucas, R. E., & Oishii, R. (2005). The Satisfaction with Life Scale. Journal of Personality Assesment, 49, 71-75

Docherty, G. (2007). The Effects of Romantic Dissolution on Well Being. Psychological Bulletin, 127, 276-312

Duhri, M. K. (2016). Sebanyak 22 pasangan di Sragen Melakukan Pernikahan Dini. Solopos. Diunduh dari http://www.solopos.com/2016/08/07/22- remaja-sragen-jalani-pernikahan-dini-terbanyak-dipicu-hamil-duluan-743173

Duran, S., & Barlas, G. U. (2016). Effectiveness of psychoeducation intervention on subjective well-being and self compassion of individuals with mental disabilities. International Journal of Research in Medical Sciences, 4(1), 181-188

Eddington, N., & Shuman, R. (2005). Subjective well-being (Happiness).Continuing Psychology Education:6 Continuing Education Hours. Diunduh dari http://www.texcpe.com/html/pdf/ca/ca-happiness.pdf Fajriyah., & Laksmiwati, H. (2014). Subjective Well-Being pada Pasangan yang

Menikah karena Hamil. Character. 03(2), 1-9

Hadikusuma, H. (2007). HukumPerkawinanIndonesia ;MenurutPerundangan, HukumAdat, &Hukum Agama. Bandung: CV. MandarMaju

Haughton, J., & Khandker, S. (2006). Handbook on Poverty and Inequality. Washington DC: World Bank

Herbyanti, D. (2009). Kebahagiaan (Happiness) pada Remaja di Daerah Abrasi. Jurnal Ilmiah Psikologi, 11(2),

Hukumonline. (n.d). Batas UsiaKawinCegahPernikahanDini :Pengaturanbatasumurperkawinanmemberikepastianhukum.

Diunduhdarihttp://www.hukumonline.com/berita/baca/lt536ced2eafaf5/bat as-usia-kawin-cegah-pernikahan-dini

Joshi, U. (2010). Subjective well-being by Gender. Journal of Economics and Behavioral Studies, 1(1), 20-26

Julianto, A. P. (2016). Pernikahan Usia Dini Bisa Hambat Laju Ekonomi.

Kompas. Diunduh dari

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/07/20/153639126/pernikaha n.usia.dini.bisa.hambat.laju.ekonomi

Linley, P.A., & Joseph, S. (2004). Positive Psychology in Practice. New Jersey: John Wiley & Sons. Inc

Puspitasari, F. (2006). Perkawinan Usia Muda : Faktor-Faktor Pendorong dan Dampaknya terhadap Pola Asuh Keluarga (Studi Kasus di Desa Mandalagiri Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya).Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang


(6)

10

Ratnawati, P. (2014). Keharmonisan Keluarga antara Suami Istri Ditinjau dari Kematangan Emosi pada Pernikahan Usia Dini. Jurnal Psikologi Universitas Semarang. 155-165