PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR DALAM PROSES EKSEKUSI HIPOTEK ATAS KAPAL LAUT.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR DALAM PROSES EKSEKUSI HIPOTEK ATAS KAPAL LAUT
OLEH NAMA : APRISMA
NIM: 1020115025
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG 2012
(2)
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR DALAM PROSES EKSEKUSI HIPOTEK ATAS KAPAL LAUT
INTISARI
Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan menyebutkan Bank adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Kredit yang diberikan tersebut bank harus mempertanggungjawabkannya karena dananya berasal dari masyarakat. Selain itu fungsi bank adalah sebagai penggerak pembangunan nasional untuk meningkatkan perekonomian, menjaga stabilitas nasional demi kemakmuran masyarakat. Pada saat memberikan kredit Bank akan menganalisis nya dengan melihat watak, kemampuan, modal , jaminan, dan kondisi ekonomi dari si debitur. Jaminan merupakan pengganti ketika debitur mengalami kegagalan dalam pengembalian kredit nya. Salah satu bentuk jaminan kebendaan tersebut adalah Hipotek Kapal Laut, dengan ukuran 20 m³ dan telah didaftar pada kantor Syahbandar. Ketika debitur wanprestasi atas utangnya, kreditur dapat langsung mengeksekusi objek jaminan tersebut.
Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan bagaimana tata cara eksekusi hipotek atas kapal laut yang dijadikan jaminan kredit pada lembaga perbankan, dan untuk menjelaskan usaha-usaha yang dilakukan untuk melindungi hak kreditur dalam pelaksanaan eksekusi hipotek kapal laut, serta untuk menjelaskan perlunya peraturan tentang penahanan kapal untuk kelancaran eksekusi hipotek kapal laut dalam UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan pendekatan yang bersifat kualitatif, dengan jenis penelitian deskriptif analisis. Data primer diperoleh dengan melalui teknik wawancara terhadap orang-orang yang berwenang dan terkait dengan hipotek kapal laut. Sedangkan untuk memperoleh data sekunder dilakukan dengan studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa tata cara eksekusi hipotek kapal laut berdasarkan Pasal 224 HIR dengan menggunakan kekuatan Eksekutorial Akta Hipotek, dengan Parate Eksekusi Pasal 1178 ayat (2), kreditur dapat secara langsung mengajukan penjualan lelang dengan klausul kuasa sendiri ( eigenmatiche verkoop), dengan cara Litigasi yang diatur pada Pasal 118 HIR kreditur dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, dan dengan cara dibawah tangan atas kesepakatan kedua belah pihak. Sedangkan usaha-usaha yang dilakukan untuk melindungi hak kreditur adalah dengan adanya pengikatan objek jaminan, dengan adanya asuransi, sebagai antisipasi ketika debitur wanprestasi. Perlunya Lembaga Penahanan Kapal untuk kelancaran eksekusi hipotek kapal laut dalam UU Pelayaran, karena kapal sifatnya benda bergerak, berlayar sampai melampaui yuridiksi suatu negara ketika dieksekusi tidak berada ditempat, sehingga terciptanya kepastian hukum dalam pelaksanaan eksekusinya.
(3)
LEGAL PROTECTION AGAINST CREDITORS
IN THE PROCESS OF EXECUTION OF SHIP MARINE MORTGAGE ABSTRACT
Article 1 paragraph 2 of The Act Number 10 of 1998 About Banking mention Bank is a business entity which collects funds from the public in the form of savings and channel them to the public in the form of loans. Loans must be held accountable for the bank's funds come from the public. Besides functioning as an engine of development banks is nasonal to boost the economy, maintain national stability for the prosperity of society. At the time of its bank credit will be analyzed by looking at the character, capacity, capital, collateral, and economic condition of the debtor. Guarantee a replacement when the debtor has failed to return his credit. One form of security rights is Mortgage Marine, with a size of 20 m3 and has been listed on Syahbandar office. When a debtor defaults on its debts, creditors can directly execute the collateral objects.
The purpose of this study to explain how the procedures for the execution of a mortgage on a ship used as collateral on loans banking institutions, and to explain the efforts being made to protect the rights of mortgage lenders in the execution of the ship, as well as to explain the need for regulation of the containment vessel for the smooth ship mortgage executed in Law. 17 of 2008 on Shipping. The method used in this research is normative, with an approach that is qualitative, descriptive research with analysis. The primary data obtained through interview techniques against those who authorized and linked to mortgage ships. As for the secondary data obtained with library research. Based on these results it can be concluded that the execution of the mortgage procedure under Article 224 of ships by force eksekutorial HIR Mortgage Deed, by parate execution paragraph of Article 1178 (2), the creditor can not directly apply to the auction sale its own power clause (eigenmatiche verkoop), Litigation manner set out in Article 118 HIR creditor can file a lawsuit to the District Court, and by hand under the agreement of both parties. While efforts were made to protect the rights of creditors are guaranteed by the binding object, in the presence of insurance, as anticipated when the debtor defaults. The need for detention institutions for the smooth execution of the mortgage Ship ships in Shipping Law, because its objects moving ship, sailing up beyond the jurisdiction of a country when it is executed is not in place, thus creating legal certainty in the implementation of the execution.
(4)
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur saya panjatkan doa kepada Allah swt , karena atas berkat dan rahmatnya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu saya mengucapkan terimakasih kepada :
1. Orang tua yang saya muliakan, suami, anak-anak yang saya sayangi, dan saudara-saudaraku yang selalu mendoakan, dan memberikan kasih sayang , perhatian, dorongan, dan semangat;
2. Bapak Dr. Werry Darta Taifur, selaku Rektor Universitas Andalas
3. Bapak Prof. Dr.Yuliandri, S.H, M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas;
4. Bapak Yoserwan, S.H, M.H, L.L.M, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Andalas;
5. Bapak Frenadin Ade Gustara, S.H, M.S, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Andalas;
6. Bapak Dr. Kurniawarman, S.H, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Andalas;
7. Bapak Dr. Busyra Azheri, S.H, M.H, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Andalas;
8. Bapak Dr. Dahlil Marjon, S.H, M.H, selaku dosen Pembimbing I yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini;
(5)
ii
9. Bapak Tasman S.H, M.H, selaku dosen Pembimbing II yang telah sabar,dan memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan tesis ini
10. Bapak Dr. Busyra Azheri ,S.H, M.H, dan Bapak Yoserwan ,S.H, M.H, L.L.M, sebagai dosen penguji ;
11. Para dosen yang yang telah memberikan ilmunya kepada saya selama menjalankan studi di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Andalas;
12. Seluruh Staff pengelola Magister Kenotariatan Universitas Andalas ;
13. Tak lupa juga untuk nara sumber, Ibu Notaris Haryanti, S.H, Ibu syukriah, S.H, M.M, Bapak Prof. Dr. Teguh Sulistia, S.H, M.H, Bapak Hengki Andora,S.H, L.L.M, Bapak Hakim Tinggi Gatot Supramono, Ibu Herry Suksessy, S.H,
14. Para sahabat dan adik-adik di Mkn 2010 Popi, Yanti, Elga Yanti, Rince, Darmayenti, Reni, Fandi, Iqbal,Melly, Zul, Pak Dt. Novrial, Dian, Nina, Mes, untuk masukan, support , sharing dan saran yang sangat berharga dalam pembuatan tesis ini, serta teman-teman dan sahabat-sahabat yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Akhir kata, saya berharap Allah Swt berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu selama ini. Atas kekurangan dan keterbatasan ilmu yang penulis miliki, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini sangat jauh dari sempurna. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran serta kritik dari semua pihak demi kesempurnaan tesis ini. Akhir kata penulis menghaturkan doa semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu hukum. Amiin.
Padang, 24 Oktober 2012 Penulis
(6)
iii DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... i
Daftar Isi ... iii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Keaslian Penelitian ... 8
F. Kerangka Konseptual ... 8
G. Kerangka Teori... 17
H. Metode Penelitian... 22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIPOTEK ... 27
2.1.1 Pengertian dan Kaitan dengan Hukum Benda ... 27
2.1.2 Hipotek dalam Undang-Undang Penerbangan ... 29
2.1.3 Hipotek Kapal ... 31
2.2 KAPAL LAUT SEBAGAI OBJEK HUKUM JAMINAN ... 33
2.2.1 Kapal Laut Sebagai Benda Modal ... 33
2.2.2 Status Hukum Kapal Laut dalam Hukum Perdata ... 35
2.2.3 Sumber Hukum Pendaftaran Kapal Laut ... 36
2.2.4 Proses Pendaftaran Kapal Laut ... 38
2.2.5 Jaminan Hipotek Atas Kapal Laut ... 45
2.2.6 Akibat Hukum Pendaftaran Hipotek kapal Laut ... 52
2.2.7 Jaminan Kebendaan Lainnya atas Kapal Laut ... 55
2.3 PERJANJIAN KREDIT ... 59
2.3.1 Pengertian dan Istilah Kredit ... 59
2.3.2 Pengertian Perjanjian Kredit ... 62
2.3.3 Dasar Hukum Perjanjian Kredit ... 64
2.3.4 Analisis dan Momentum Terjadinya Perjanjian Kredit .. 66
(7)
iv
2.3.6 Sifat Perjanjian Kredit ... 74
2.3.7 Jangka Waktu Perjanjian Kredit... 76
2.3.8 Faktor Penyebab Terjadinya Wanprestasi ... 77
2.3.9 Hapusnya Perjanjian Kredit ... 77
2.3.10 Perjanjian Kredit Dengan Akta Notaris ... 80
2.4 EKSEKUSI ... 86
2.4.1. Pengertian Eksekusi ... 86
2.4.2. Asas-Asas Eksekusi ... 87
2.4.3. Macam-Macam Eksekusi ... 90
2.4.5. Eksekusi yang Tidak Dapat Dijalankan ... 92
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1. Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Hipotek Kapal Laut Yang di Jadikan Jaminan Kredit Pada lembaga Perbankan … 94 3.2. Usaha-usaha yang Dilakukan Untuk Melindungi Hak Kreditur Dalam Pelaksanaan Eksekusi Hipotek Kapal yang Sedang Berlayar ... 101
3.3. Alasan-alasan Tidak Adanya Pengaturan Tentang Penahanan Kapal Dalam Eksekusi Hipotek Kapal Dalam UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran... 111
BAB IV PENUTUP ... 117
4.1 Kesimpulan ... 117
4.2 Saran ... 118
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(8)
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka pembangunan nasional di bidang perekonomian dan dunia usaha, diperlukan dukungan modal yang cukup besar. Modal tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber, yang salah satunya berasal dari fasilitas pinjaman atau kredit yang diberikan oleh bank. Dalam pemberian fasilitas kredit, perbankan pada dasarnya mengharapkan pelunasan utang yang diperoleh dari hasil usaha debitur. Namun demikian, sebaliknya, tidak dapat dijamin bahwa setiap debitur selalu memperoleh keuntungan dari usahanya. Kendala yang demikian itu bisa disebabkan karena pengaruh keadaan bisnis pada umumnya, maupun faktor kelemahan debitur itu sendiri1.
Pemberian kredit merupakan kegiatan yang berisiko tinggi. Bank harus mampu menganalisis dan memprediksi suatu permohonan kredit untuk dapat meminimalkan resiko yang terkandung di dalam penyaluran kredit tersebut. Penilaian terhadap calon debitur adalah faktor yang sangat penting untuk menentukan tingkat resiko yang bakal dihadapi bank. Selain itu juga ketatnya persaingan antar bank karena liberalisasi dan globalisasi, terutama untuk meningkatkan investasi, serta perlunya menjaga kepercayaan masyarakat oleh bank tersebut supaya tetap eksis dalam usahanya. Berdasarkan kepercayaan dari masyarakat, bank dapat memobilisasi dana dari masyarakat untuk ditempatkan di bank tersebut dan menyalurkannya kembali dalam bentuk utang atau kredit serta memberikan jasa- jasa perbankan lainnya.
1
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 298.
(9)
Pasal 1 angka 2 Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan Bank adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan bentuk- bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sebagai lembaga intermediary, dana yang dipinjamkan oleh bank kepada debitur adalah dana yang berasal dari simpanan nasabah yang harus dikembalikan berikut dengan bunganya sesuai dengan perjanjian peminjaman antara bank dengan debitur. Untuk mendapatkan kepastian pengembalian pinjaman debitur tersebut, dibutuhkan jaminan yang pasti, sehingga jaminan memiliki peranan yang penting bagi bank dalam memberikan fasilitas kredit jika suatu hari nanti terjadi hambatan dalam pengembalian kredit oleh debitur.
Selain itu jaminan juga dapat menunjang perkembangan dan kemajuan dari masyarakat, hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip 5C yang selalu dijalankan oleh bank dalam memberikan kredit kepada calon nasabahnya. Prinsip 5 C tersebut antara lain, Character (watak), Capacity (kemampuan), Capital (modal), Collateral (jaminan), dan condition of economic (kondisi ekonomi)2.
Dalam menyalurkan kredit, bank juga melihat kondisi ekonomi secara keseluruhan. Biasanya dalam kondisi pertumbuhan yang terus meningkat bank mengadakan ekspansi kredit secara besar-besaran, sedangkan dalam kondisi ekonomi yang mengalami krisis bank akan mengurangi penyaluran kreditnya3.
Pada prinsipnya penyaluran kredit tidak selalu harus dengan jaminan kredit, sebab jenis usaha dan peluang bisnis yang dimiliki debitur pada dasarnya sudah merupakan jaminan atas prospek usaha itu sendiri. Hanya saja, jika suatu kredit dilepas tanpa agunan, kredit itu akan
2
Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal 25.
3
(10)
memiliki risiko yang sangat besar karena jika investasi yang dibiayai mengalami kegagalan atau tidak sesuai dengan perhitungan semula4. Oleh karena itu kredit yang diberikan oleh bank tentu memerlukan jaminan untuk mendapatkan pelunasan utang debitur.
Salah satu bentuk jaminan kebendaan tersebut adalah kapal. Kapal sebagai sarana transportasi merupakan benda yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan kalau dijaminkan untuk meningkatkan modal usaha dalam hukum jaminan dikenal dengan hipotek. Kapal yang dapat dijadikan jaminan hipotek tersebut yang berukuran 20 m³, dan telah didaftar pada pejabat yang berwenang untuk mengeluarkan akta pendaftaran kapal laut yaitu Pejabat Pendaftar Dan Pencatat Balik Nama pada kantor syahbandar.
Kapal setelah dilakukan pendaftaran dapat dijadikan sebagai jaminan utang dengan pembebanan hipotek kapal. Kapal yang dibebani hipotek tetap dikuasai debitur dan dapat dipergunakan untuk berlayar sesuai fungsinya. Berhubung kapal yang dihipotekan tetap dapat berlayar kesana- kemari, ketika debitur wanprestasi atas utangnya, maka ketika di eksekusi mendapat kesulitan karena kapal tidak berada ditempat, sehingga hak-hak kreditur tidak terjamin dalam pemenuhan piutangnya yang mencerminkan tidak adanya kepastian hukum terhadap hak kreditur.
Untuk mengantisipasi ketika di eksekusi kapal tidak berada ditempat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran Pasal 222 telah mengatur tentang kapan suatu kapal dapat ditahan atau disita ketika adanya suatu perkara perdata dan pidana. Dalam perkara perdata kapal hanya dapat ditahan / sita apabila adanya klaim pelayaran, misalnya adanya kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh pengeoperasian kapal, kerusakan terhadap lingkungan, biaya-biaya tentang perbaikan kapal, pengangkatan, penyelamatan kapal dan awak
4 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Buku Satu, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal 115.
(11)
kapal, biaya pengangkutan barang atau penumpang diatas kapal yang tertuang dalam perjanjian pencarteran atau lainnya, atau karena kerusakan kapal dan barang karena terjadinya peristiwa kecelakaan dilaut (general averege). Klaim–klaim tersebut sebenarnya merupakan tuntutan ganti rugi kepada pemilik kapal/ pengusaha yang diajukan oleh awak kapal atau pihak ketiga. Tetapi terhadap kepentingan eksekusi hipotek kapal tidak diatur. Padahal penahan kapal dapat sebagai antisipasi untuk memperlancar eksekusi hipotek kapal. Sehingga undang-undang ini masih mempunyai kekurangan karena tidak mengatur tentang penahan kapal untuk kelancaran eksekusi hipoteknya.
Seperti diketahui eksekusi dilakukan apabila pihak debitur telah melanggar perjanjian kredit yang telah disepakati bersama (wanprestasi). Perjanjian kredit dengan jaminan kapal laut merupakan kredit investasi yang jumlah kreditnya sangat besar dan kapal yang berlayar juga sangat berisiko untuk mudah terbakar, tenggelam, di bajak, kapal kandas atau terjadinya kecelakaan tubrukan di laut. Oleh karena itu bank sangat berhati-hati ketika menyalurkan kreditnya dengan mempertimbangkan dalam memilih nasabah atau debitur dan kondisi perusahaan tersebut sehingga kredit yang diberikan dalam jumlah yang besar tersebut dapat kembali dengan aman. Selain itu berdasarkan pasal 4 Undang- Undang Perbankan nomor 7 Tahun 1992 mengatakan Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasinonal ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat.
Pada dasarnya segala apa yang disyaratkan sebelum dan sesudah kredit diberikan adalah merupakan usaha pengamanan kredit. Untuk mendapatkan kepastian dan keamanan dari kreditnya, langkah-langkah yang diambil bank dalam melindungi hak nya tersebut dapat bersifat prefentif dan represif. Bersifat prefentif adalah melindungi hak nya supaya tidak terjadi
(12)
wanprestasi antara lain menganalisa kredit, mengatur administrasi, mengikat jaminan, mengasuransi dan mengawasi jalannya kredit serta mengadakan pembinaan dengan cara-cara pendekatan dan bimbingan yang konstruktif. Sedangkan yang bersifat represif adalah tindakan atau usaha yang dilakukan bank ketika kredit tersebut mengalami kemacetan.
Pada saat ini pengaturan hipotek kapal laut tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Selain itu juga ada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Dengan banyaknya peraturan yang mengatur tersebut menurut Mariam Darus Badrulzaman, bahwa hukum Hipotik Kapal merupakan bangunan hukum yang rapuh dan dalam prakteknya akan menghadapi kesulitan untuk menegakan kepastian hukum yang pada ujungnya akan dapat menghambat akses globalisasi dan pembangunan.5
2.Perumusan masalah
Berdasarkan paparan yang disampaikan dalam latar belakang diatas, maka ada beberapa permasalahan ingin diketahui dalam penelitian nantinya. Permasalahan tersebut adalah:
2.1. Bagaimana tata cara pelaksanaan eksekusi hipotek kapal laut yang dijadikan jaminan kredit pada lembaga perbankan?
2.2. Usaha-usaha apakah yang dilakukan untuk melindungi hak kreditur dalam pelaksanaan eksekusi hipotik kapal laut yang sedang berlayar ?
2.3. Mengapa peraturan jaminan hipotek tidak mengatur tentang pelaksanaan eksekusi terhadap hipotek kapal laut yang sedang berlayar?
3. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan tesis ini adalah:
5
. Mariam Darus Badrulzaman, Serial Hukum Perdata II Kompilasi Hukum Jaminan, cetakan ke I, CV. Mandar Maju, Jkt, 2004.
(13)
3.1. Untuk menjelaskan tata cara pelaksanaan eksekusi hipotek kapal laut.
3.2. Untuk menjelaskan usaha-usaha apakah yang dilakukan untuk melindungi hak kreditur dalam pelaksanaan eksekusi hipotik kapal laut.
3.3. Untuk menjelaskan mengenai alasan pelaksanaan eksekusi Hipotek Kapal Laut tidak diatur dalam Undang-Undang Pelayaran
3. Manfaat Penelitian
Dengan tercapainya tujuan penelitian sebagaimana tersebut diatas, maka hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat ganda, baik manfaat praktis maupun manfaat teoritis antara lain sebagai berikut :
4.1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum khususnya yang berkaitan dengan perjanjian kredit dengan jaminan hipotek kapal terhadap hak-hak kreditur dan debitur yang dapat memenuhi kebutuhan dan menunjang perkembangan dan kemajuan ekonomi masyarakat. Pengaturan mengenai hipotek kapal yang dijadikan jaminan bagi pelunasan kredit masih diatur dalam KUHPerdata dan KUH Dagang dan undang- undang pelayaran. Hal ini berbeda dengan jaminan benda-tidak bergerak lainnya yang sudah diatur dalam Hak Tanggungan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Banyaknya peraturan yang mengatur hipotek kapal tidak mencerminkan kepastian hukum.
(14)
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbang saran dan informasi yang berguna bagi para praktisi hukum tentang perjanjian kredit dengan jaminan hipotek kapal laut baik mengenai klausula, doktrin dan keputusan pengadilan sehingga dapat menemukan hukumnya.
5. Keaslian Penelitian
Penelitian yang pernah dilakukan mengenai topik yang relatif sama dengan yang ingin diteliti oleh penulis adalah penelitian yang dilakukan oleh :
1. Dian Anggraini Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun 2008, dengan judul penelitian “Pemasangan Jaminan Hipotik Kapal Laut dan Pelaksanaan Eksekusinya Sebagai Pelunasan Pinjaman”. Penelitian yang dilakukan oleh Dian Anggraini memfokuskan diri pada tata cara pemasangan Jaminannya dan eksekusinya.
2. Anis Idham Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun 1980, dengan judul “Beberapa Permasalahan Pranata Jaminan Hipotek Kapal Laut serta Pelaksanaannya Dalam Hukum Maritim Indosesia”. Dari kedua Penelitian ini ada persamaan dan perbedaannya. Persamaan nya sama-sama membahas mengenai eksekusinya, sedangkan Perbedaannya terletak pada fokus penelitian. Penelitian penulis terletak pada perlindungan hukum krediturnya. Jadi hak-hak kreditur yang ingin dilihat dalam penelitian ini.
6. Kerangka Konseptual
6.1. Perlindungan hukum terhadap kreditur
Perlindungan hukum terhadap kreditur pada hakikatnya adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada hak-hak kreditur dalam pemberian kredit sehingga tercapainya keadilan6 baik yang terdapat dalam peraturan-peraturan
6
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistim Hukum Nasional, Kencana Prenada Media Group, Surabaya, 2008, hal 358
(15)
hukum maupun dalam perjanjian- perjanjian antara kreditur dan debitur. Sedangkan Perlindungan Hukum tersebut ada yang bersifat prefentif dan represif7.
Bersifat prefentif maksudnya segala upaya yang dilakukan oleh kreditur untuk menjamin hak-hak nya dalam pemberian kredit sebelum terjadinya wanprestasi oleh debitur. Sedangkan Perlindungan hukum bersifat represif adalah segala upaya yang dilakukan oleh kreditur untuk menjamin hak-haknya dalam perjanjian kredit setelah terjadinya wanprestasi oleh debitur. Dengan demikian perlindungan hukum ditujukan untuk memperkecil resiko, bahkan sampai pada menghilangkan resiko yang mungkin timbul maupun sudah timbul/ terjadi.
Menurut Dr.Sutan Remi Sjahdeini,S.H., upaya preventif adalah untuk mencegah agar kredit yang diberikan oleh bank tidak menjadi bermasalah atau bila akhirnya kredit itu bermasalah dapat melakukan upaya-upaya represif agar kredit tersebut dapat diselamatkan atau dapat dibayar kembali oleh nasabah.
Menurut Philipus. M. Hadjon membagi perlindungan hukum menjadi 2 (dua), yaitu: perlindungan hukum preventif maksudnya perlindungan hukum yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan/ pendapat sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif, sehingga perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Dengan adanya perlindungan hukum yang bersifat preventif ini mendorong pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan asas fries ermessen, dan rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut. Sedangkan perlindungan hukum represif adalah perlindungan hukum yang berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa.
7 Mgs. Edy Putra tje’ Aman, Kredit Perbankan, Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yokyakarta,1985, hal 39.
(16)
Bentuk penyelesaian tersebut yaitu melalui pengadilan, lembaga banding administrasi (instansi pemerintah), badan-badan khusus yang merupakan badan yang terkait dan berwenang untuk menyelesaikan suatu sengketa antara lain Peradilan Administrasi Negara, Kantor Urusan Perumahan, Badan Sensor Film, Panitia Urusan Piutang Negara.
Menurut Sudikno Mertokusumo8 Perlindungan hukum adalah: Adanya jaminan hak dan kewajiban untuk manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun didalam hubungan dengan manusia lainnya. Kepentingan manusia yang dilindungi oleh hukum biasa disebut hak dan memberikan wewenang kepada seseorang untuk melakukan perbuatan dapat dipersamakan kepada siapun dan sebaliknya setiap orang harus menghormati hak itu.
6.2. Pengertian Kredit
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga9.
Berdasarkan pengertian diatas, maka unsur-unsur yang terdapat dalam kredit dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak bank atas prestasi yang diberikannya kepada nasabah debitur yang akan dilunasinya sesuai jangka waktu yang diperjanjikan;
b. Waktu, yaitu adanya jangka waktu tertentu antara pemberian kredit dan pelunasannya di mana jangka waktu tersebut sebelumnya terlebih dahulu telah diepakati bersama antara pihak bank dan nasabah debitur;
8
Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum, Liberty, Yokyakarta, 2000, hal 25
9
(17)
c. Prestasi, yaitu adanya objek tertentu berupa prestasi dan kontra prestasi pada saat tercapainya persetujuan atau kesepakatan perjanjian pemberian kredit antara bank dan masalah debitur berupa uang dan bunga atau imbalan ;
d. Resiko, yaitu adanya resiko yang mungkin terjadi selama jangka waktu antara pemberian dan pelunasan kredit tersebut, sehingga untuk mengamankan pemberian dan menutup kemungkinan terjadinya wanprestasi dari nasabah debitur, maka diadakan pengikatan jaminan atau agunan10.
Kredit bermasalah selalu ada dalam kegiatan perkreditan Bank karena Bank tidak mungkin menghindarkan adanya kredit bermasalah. Bank hanya berusaha menekan seminimal mungkin besarnya kredit bermasalah agar tidak melebihi ketentuan Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan11.
Bank Indonesia melalui Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor : 31/147/KEP/DIR tanggal 12 Nopember 1998 memberikan penggolongan mengenai kualitas kredit apakah kredit yang diberikan Bank termasuk performing loan ( tidak bermasalah) atau kredit bermasalah (non performing loans). Kualitas yang dimaksud dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Lancar;
b. Dalam Perhatian Khusus; c. Kurang Lancar;
d. Diragukan, dan e. Macet 12
10
Johannes Ibrahim, Bank Sebagai Lembaga Intermediasi Dalam Hukum Positif, Penerbit Utomo, 2004, hal. 92.
11
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Penerbit Alfabeta Bandung, 2004, hal. 263.
12
(18)
Suatu kredit bermasalah dikategorikan macet jika terdapat tunggakan pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari (9 bulan lebih)13.
6.3 Perjanjian kredit
Perjanjian kredit adalah perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur , dimana kreditur berkewajiban untuk memberikan uang atau kredit kepada debitur, dan debitur berkewajiban untuk membayar pokok dan bunga, serta biaya-biaya lainnya sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati antara keduanya14.
Unsur-unsur perjanjian kredit adalah: adanya subjek hukum, adanya objek hukum, adanya prestasi, adanya jangka waktu.
6.4. Pengertian Jaminan
Menurut Pasal 2 Ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit dikemukakan bahwa jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan perjanjian. Sedangkan menurut Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, “Segala kebendaan si berutang (debitur), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan untuk segala perikatan pribadi debitur tersebut”. Dari ketentuan pasal ini mengandung asas bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap utangnya, tanggung jawab yang mana berupa tanggung jawab moral dan tanggung jawab hukum.
Adapun fungsi jaminan adalah untuk meyakinkan bank atau kreditur, bahwa debitur mempunyai kemampuan untuk mengembalikan atau melunasi kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan persyaratan dan perjanjian kredit yang telah disepakati bersama.
13
Ibid, hal. 264
14
(19)
6.5. Pengertian Hipotik
Hipotik itu sendiri adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan bagi suatu perikatan15. Kontruksi hukum dari pengertian tersebut mengacu pada pembebanan terhadap benda tidak bergerak. Sedangkan yang termasuk benda-benda tak bergerak adalah hak atas tanah, kapal laut, dan pesawat terbang.
Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan maka hipotik atas tanah tidak berlaku lagi. Sedangkan benda tidak bergerak, seperti kapal laut tetap berlaku ketentuan- ketentuan tentang hipotik sebagaimana yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Adapun ukuran kapal lautnya 20 m3, serta telah terdaftar. Sedangkan dibawah ukuran itu berlaku ketentuan tentang jaminan fidusia . Hipotik Kapal Laut
Prosedur dan syarat-syarat pembebanan hipotik kapal laut adalah : kapal yang sudah terdaftar dan dilakukan dengan membuat akta hipotik ditempat dimana kapal semula terdaftar, kapal yang dibebani hipotik harus jelas tercantum dalam akta hipotik, adanya perjanjian kredit, nilai kredit, nilai hipotik yang dikhususkan pada nilai kapal, seyogyanya sesuai dengan nilai kapal dan dapat dilakukan dengan mata uang apa saja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan prosedur pembebanannya antara lain adanya grosse akta pendaftaran/balik nama, perjanjian kredit, Surat Kuasa Membebankan Hipotik (SKMH), Akta Pembebanan Hipotik (APH)
Pada prinsipnya sifat perjanjian dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian assesoir, perjanjian pokok merupakan perjanjian untuk mendapatkan fasilitas kredit
15
(20)
dari bank. Sedangkan perjanjian assesoir merupakan perjanjian tambahan. Perjanjian pembebanan hipotik kapal laut merupakan perjanjian assesoir atau tambahan. Keberadaan perjanjian hipotik kapal ini adalah tergantung pada perjanjian pokoknya.
Sejak terjadinya pembebanan hipotik kapal laut, maka sejak saat itulah timbul akibat bagi kedua belah pihak. Hak pemberi hipotik adalah tetap menguasai bendanya, mempergunakan bendanya, melakukan tindakan penguasaan asal tidak merugikan pemegang hipotik, berhak menerima uang pinjaman. Kewajiban pemberi hipotik adalah membayar pokok beserta bunga pinjaman uang dari jaminan hipotik, membayar denda atas keterlambatan melakukan pembayaran pokok pinjaman dan bunga. Sedangkan hak pemegang hipotek adalah memperoleh penggantian bunga daripadanya untuk pelunasan piutangnya (verhaal) jika debitur wanprestasi, memindahkan piutangnya karena hipotik bersifat assesoir, maka dengan berpindahnya hutang pokok maka hipotek ikut berpindah.
Mengenai jangka waktu berlakunya hipotik termasuk perjanjian kredit yang berjangka waktu panjang (long term loan) yaitu kredit yang berjangka waktu lebih dari 3 tahun. Kredit dengan jangka waktu panjang ini pada umumnya adalah kredit investasi yang bertujuan menambah modal perusahaan dalam rangka untuk melakukan rehabilitasi, ekspansi( perluasan), dan pendirian proyek-proyek baru.
6.7. Hapusnya Hipotik Kapal Laut
Didalam Pasal 1209 KUH Perdata diatur tentang hapusnya hipotek yaitu hapusnya perikatan pokok, pelepasan hipotek oleh kreditur dan pengaturan urutan tingkat oleh pengadilan. Perjanjian Hipotik Kapal bukan hak perorangan (in personam), tetapi merupakan Hak Kebendaaan (in rem). Hak kebendaannya bersifat absolut. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1198 KUH Perdata. Maksudnya kreditor dapat menuntut haknya atas benda objek hipotik
(21)
ditangan siapa pun objek itu berada untuk menerima pembayaran atasnya, serta dapat dipertahankan kepada siapa pun.
Hak kebendaan hipotik juga bersifat droit de suite (tetap melekat ditangan siapa benda itu berada). Kreditur berhak mengambil pelunasan pembayaran utang debitur meskipun kapal itu telah berpindah ketangan pihak ketiga.
6.8. Pengertian Eksekusi
Eksekusi merupakan tindakan hukum yang dilakukan secara paksa oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara. Oleh karena itu, eksekusi adalah tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terdapat dalam Pasal 195 sampai 224 HIR dan Pasal 206 sampai Pasal 258 RBG .
7. Kerangka Teoritis
Dalam penulisan ini akan dipakai teori yang akan menunjang dan merupakan masukan dalam penelitian ini. Teori merupakan suatu penjelasan yang bersifat rasionl dan harus berkesusaian dengan objek yang dipermasalahkan dan harus didukung dengan adanya fakta yang bersifat empiris agar dapat diuji kebenarannya16.
Kerangka teori merupakan masukan eksternal bagi peneliti yang dapat digunakan sebagai kerangka pemikiran , atau buku-buku, pendapat, tesis, mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan yang dijadikan sebagai bahan perbandingan, pegangan teoritis apakah disetujui atau tidak dengan pegangan teori. Diharapkan akan memberi wawasan berpikir untuk menemukan sesuatu yang benar sesuai dengan tujuan penelitian.17
16
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 2010, hal 7
17
(22)
Adapun teori yang dipakai adalah : 1. Teori Perlindungan Hukum
Menurut Satjipto Rahardjo Perlindungan Hukum adalah upaya untuk memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Adapun hak-hak yang hendak dilindungi dalam penulisan ini adalah kepentingan/ hak dari kreditur untuk dapat terjaminnya pengembalian kredit yang diberikan kepada debitur. Ketika debitur wanprestasi kreditur mendapatkan kepastian akan pelaksanaan kemudahan eksekusinya, sebagai pengganti pembayaran utang debitur tersebut. Dengan adanya grosse akte hipotek yang mempunyai kekuatan yang disamakan dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap seharusnya hak-hak kreditur dapat terjamin pengembalian haknya.
2. Asas Kepastian Hukum
Menurut Muchtar Kusumaatmadja18 Asas Kepastian Hukum adalah bagaimana tujuan hukum itu sebenarnya yaitu untuk tercapainya kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan bagi setiap insan manusia selaku anggota masyarakat yang plural dan interaksinya dengan insan yang lain tanpa membedakan asal usul dari mana dia berada.
Asas kepastian hukum adalah untuk mengetahui dengan tepat aturan apa yang berlaku dan apa yang dikehendaki daripadanya. Asas kepastian hukum sangat menentukan eksistensi hukum sebagai pedoman tingkah laku dalam masyarakat. Hukum harus memberi jaminan kepastian tentang aturan hukum. Aturan mengenai pelaksanaan eksekusi ketika debitur wanprestasi yang ada dalam Pasal 118 jo Pasal 121 HIR apabila melalui proses Litigasi dan Pasal 224 HIR jo Pasal 195 HIR apabila melalui kekuatan Eksekutorial yang ada dalam grosse
18 Muchtar Kusumaatmadja dan Arief. B. Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Bandung Alumni, 2000, hal 49
(23)
akta, atau melalui Parate Eksekusi, Kreditur Berdasarkan Kuasa Sendiri menjual barang hipotek tanpa campur tangan pengadilan seperti yang diatur dalam Pasal 1178 (2) KUHPerdata, memberikan kepastian hukum terhadap kreditur dalam melindungi haknya ketika debitur wanprestasi.
3. Teori Perjanjian
Perjanjian kredit lahir setelah kreditur dan debitur sepakat menandatangani akta perjanjian kredit tersebut. Sesuai dengan salah satu Teori Perjanjian yaitu Teori Penerimaan ( ontvangstheorie) yang mengatakan perjanjian lahir atau terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. Pihak yang menawarkan tersebut adalah kreditur setuju dan sepakat untuk menandatangani akta perjanjian kredit tersebut bersama dengan debitur.
Dengan ditandatanganinya perjanjian antara kreditur dan debitur maka perjanjian kredit tersebut mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak sesuai dengan pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dikenal dengan asas “Pacta Sun Servanda”. Dengan demikian debitur harus mematuhi bunyi perjanjian tersebut.
Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal19. Sedangkan menurut Handri Raharjo, perjanjian adalah suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan subjek hukum yang lain berkewajiban melaksanakan
19
(24)
prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum20.
Sah nya perjanjian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah: Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal. Karena perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok maka perjanjian kredit harus memenuhi syarat- syarat sah nya perjanjian tersebut. Apabila perjanjian pokok tidak memenuhi syarat sah nya perjanjian maka perjanjian jaminan yang merupakan assesoirnya menjadi tidak sah pula. Bila debitur menyetujui dan menandatangani perjanjian tersebut maka berarti debitur menyetujui syarat- syarat kontrak dan demikian itu tidak bertentangan dengan asas perjanjian.
Menurut Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari bunyi pasal tersebut sangat jelas terkandung asas:
a. Konsensualisme, adalah perjanjian itu telah terjadi jika telah ada konsesus antara pihak-pihak yang mengadakan kontrak. Kesepakatan tersebut lahir sejak detik tercapainya sepakat. Perjanjian itu sah sejak tercapainya kata sepakat . kesepakatan adalah kesesuain kehendak dan faham antara kedua belah pihak.
b. Kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebas mengenai apa yang diperjanjikan, bebas pula menentukan bentuk kontraknya, dengan syarat perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan baik dengan peraturan perundangan-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum, maupun kesusilaan.
c. Pacta sunt servanda, artinya kontrak itu merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (mengikat), maksudnya para pihak yang membuat perjanjian harus mematuhi
20
(25)
isi perjanjian tersebut dan mengikat bagi kedua belah pihak. Bagi para pihak yang melanggar perjanjian diharuskan membayar ganti kerugian Pasal 1243 KUHPerdata.
d. Asas Kepercayaan, maksudnya para pihak dalam perjanjian saling percaya dan yakin akan melaksanakan kewajibannya.
e. Asas Keseimbangan, maksudnya adanya kesetaraan prestasi antara dua pihak yang melaksanakan perjajian.
f. Asas Moral dan Asas Kepatutan, maksudnya kepantasan, kelayakan, kesusilaan. Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata yaitu “persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan dan kebiasaan dan undang-undang. Asas kepatutan dan kesusilaan disini berkaitan dengan isi perjanjian
g. Asas Kepastian Hukum, maksudnya memberikan perlindungan bagi para pihak dalam perjanjian. Aspek kepastian hukum memberikan jaminan unntuk terlaksananya perjanjian dan dapat dituntut pertanggungjawaban atas pemenuhan perjanjian. Ketika debitur wanprestasi kreditur dapat mengunakan grosse akta hipotek yang disamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
8. Metode Penelitian 8.1. Pendekatan Masalah
Menurut Bambang Sunggono, Penelitian pada dasarnya adalah merupakan suatu upaya pencarian dan bukannya sekedar mengamati dengan teliti terhadap sesuatu objek yang mudah terpegang ditangan21. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan dengan metode Yuridis Normatif yang bersifat analitis, melalui bahan-bahan kepustakaan dan penelitian lapangan yaitu menganalisa dokumen-dokumen terutama RUU Tentang Pelayaran. Metode Yuridis Normatif
21
(26)
adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 22
8.2. Sifat penelitian.
Penelitian ini bersifat deskriptif, Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian deskriptif ini mempunyai dua ciri-ciri pokok yaitu :
a. Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang) atau masalah-masalah yang bersifat aktual.
b. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah-masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interpretasi rasional
Selanjutnya dikatakan pula bahwa pelaksanaan metode-metode deskriptif tidak terbatas hanya sampai pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data itu23.
8.3. Sumber dan Jenis data.
Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
8.3.1. Data primer.
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari penelitian lapangan. Data ini diperoleh berdasarkan pembahasan RUU Pelayaran yang berhubungan dengan Hipotek Kapal Laut dan wawancara terhadap orang-orang yang berwenang dan terkait dengan Hipotek Kapal.
8.3.2. Data sekunder.
22
Soerjono Soekamto, op cit hal 43
23
Handari Nawawi dalam Soejono, Metode Penelitian Hukum, Penerbit Rhineka Cipta Jakarta, 2003, hal. 23.
(27)
Data sekunder merupakan data penunjang dari data primer yang diperoleh dari bahan-bahan literatur atau bahan-bahan yang didapat melalui penelitian kepustakaan untuk yang dilaksanakan mendapatkan bahan-bahan :
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari norma atau kaedah dasar, peraturan-peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, diantaranya:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
c. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan d. Undang-Undang No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
e. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran yang mengatur mengenai hipotik kapal.
f. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang perkapalan
g. Instuksi Presiden No.5 Tahun 2005 tentang Jaminan Asuransi Terhadap Objek Hipotik 2) Bahan hukum skunder, yaitu bahan-bahan penelitian yang berasal dari literatur berupa
buku-buku atau makalah-makah.
8.4. Teknik pengumpulan data.
Teknik pengumpulan data yang dilaksanakan dengan studi kepustakaan dengan menelaah bahan-bahan hukum dari buku-buku mengenai perjanjian kredit dan penjaminan hipotik kapal dan mencari beberapa peraturan perundang-undangan serta studi dokumen hukum dan melakukan wawancara dengan pihak terkait antara lain :
1. Pejabat Bank atau yang ditunjuk 2. Syahbandar tempat pendaftaran kapal 3. Praktisi hukum
(28)
8.5. Pengolahan data dan analisis data.
8.5.1. Pengolahan data
Pengelolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data dilapangan sehingga siap pakai untuk dianalisis.24 Setelah data yang diperlukan berhasil diperoleh, maka penulis melakukan pengolahan terhadap data tersebut. Dengan cara editing yaitu dengan cara meneliti kembali terhadap catatan-catatan, berkas-berkas, informasi dikumpulkan oleh para pencari data yang diharapkan dapat meningkatkan mutu kehandalan data yang hendak di analisis. Selanjutnya semua data yang diperoleh diolah melalui proses
8.5.1.1. Editing (pengeditan data)
Data yang telah diperoleh merupakan data yang masih mentah sehingga belum bisa langsung dijadikan bahan kajian. Oleh karena itu tidak seluruhnya yang dimasukkan sebagai data kajian akan tetapi dipilih data-data yang diperlukan dan berkaitan dengan permasalahan, sehingga diperoleh data yang lebih terstruktur dan valid untuk dikaji sehubungan dengan judul penelitian yang nantinya akan diambil kesimpulan.
8.5.1.2. Coding ( pengkodean data)
Coding adalah pemberian tanda-tanda terhadap data yang telah diperoleh. Dengan demikian akan didapat data yang valid untuk dilakukan analisa untuk pengambilan kesimpulan nantinya.
8.5.2. Analisis data.
24
(29)
Berdasarkan data yang diperoleh, kemudian dianalisis secara yuridis dan dipaparkan secara kualitatif, yaitu penggambaran hasil penelitian dengan menggunakan kalimat-kalimat, agar hasil penelitian ini lebih mudah dipahami. Apabila terdapat data yang kuantitatif, penulis akan mencatumkannya di dalam hasil penelitian demi kelengkapan informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti atau sebagai data pendukung.
(1)
prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum20.
Sah nya perjanjian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah: Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal. Karena perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok maka perjanjian kredit harus memenuhi syarat- syarat sah nya perjanjian tersebut. Apabila perjanjian pokok tidak memenuhi syarat sah nya perjanjian maka perjanjian jaminan yang merupakan assesoirnya menjadi tidak sah pula. Bila debitur menyetujui dan menandatangani perjanjian tersebut maka berarti debitur menyetujui syarat- syarat kontrak dan demikian itu tidak bertentangan dengan asas perjanjian.
Menurut Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari bunyi pasal tersebut sangat jelas terkandung asas:
a. Konsensualisme, adalah perjanjian itu telah terjadi jika telah ada konsesus antara pihak-pihak yang mengadakan kontrak. Kesepakatan tersebut lahir sejak detik tercapainya sepakat. Perjanjian itu sah sejak tercapainya kata sepakat . kesepakatan adalah kesesuain kehendak dan faham antara kedua belah pihak.
b. Kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebas mengenai apa yang diperjanjikan, bebas pula menentukan bentuk kontraknya, dengan syarat perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan baik dengan peraturan perundangan-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum, maupun kesusilaan.
c. Pacta sunt servanda, artinya kontrak itu merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (mengikat), maksudnya para pihak yang membuat perjanjian harus mematuhi
20
(2)
isi perjanjian tersebut dan mengikat bagi kedua belah pihak. Bagi para pihak yang melanggar perjanjian diharuskan membayar ganti kerugian Pasal 1243 KUHPerdata.
d. Asas Kepercayaan, maksudnya para pihak dalam perjanjian saling percaya dan yakin akan melaksanakan kewajibannya.
e. Asas Keseimbangan, maksudnya adanya kesetaraan prestasi antara dua pihak yang melaksanakan perjajian.
f. Asas Moral dan Asas Kepatutan, maksudnya kepantasan, kelayakan, kesusilaan. Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata yaitu “persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan dan kebiasaan dan undang-undang. Asas kepatutan dan kesusilaan disini berkaitan dengan isi perjanjian
g. Asas Kepastian Hukum, maksudnya memberikan perlindungan bagi para pihak dalam perjanjian. Aspek kepastian hukum memberikan jaminan unntuk terlaksananya perjanjian dan dapat dituntut pertanggungjawaban atas pemenuhan perjanjian. Ketika debitur wanprestasi kreditur dapat mengunakan grosse akta hipotek yang disamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
8. Metode Penelitian 8.1. Pendekatan Masalah
Menurut Bambang Sunggono, Penelitian pada dasarnya adalah merupakan suatu upaya pencarian dan bukannya sekedar mengamati dengan teliti terhadap sesuatu objek yang mudah terpegang ditangan21. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan dengan metode Yuridis Normatif yang bersifat analitis, melalui bahan-bahan kepustakaan dan penelitian lapangan yaitu menganalisa dokumen-dokumen terutama RUU Tentang Pelayaran. Metode Yuridis Normatif
21
(3)
adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 22
8.2. Sifat penelitian.
Penelitian ini bersifat deskriptif, Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian deskriptif ini mempunyai dua ciri-ciri pokok yaitu :
a. Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang) atau masalah-masalah yang bersifat aktual.
b. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah-masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interpretasi rasional
Selanjutnya dikatakan pula bahwa pelaksanaan metode-metode deskriptif tidak terbatas hanya sampai pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data itu23.
8.3. Sumber dan Jenis data.
Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
8.3.1. Data primer.
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari penelitian lapangan. Data ini diperoleh berdasarkan pembahasan RUU Pelayaran yang berhubungan dengan Hipotek Kapal Laut dan wawancara terhadap orang-orang yang berwenang dan terkait dengan Hipotek Kapal.
8.3.2. Data sekunder.
22
Soerjono Soekamto, op cit hal 43
23
Handari Nawawi dalam Soejono, Metode Penelitian Hukum, Penerbit Rhineka Cipta Jakarta, 2003, hal. 23.
(4)
Data sekunder merupakan data penunjang dari data primer yang diperoleh dari bahan-bahan literatur atau bahan-bahan yang didapat melalui penelitian kepustakaan untuk yang dilaksanakan mendapatkan bahan-bahan :
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari norma atau kaedah dasar, peraturan-peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, diantaranya:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
c. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan d. Undang-Undang No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
e. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran yang mengatur mengenai hipotik kapal.
f. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang perkapalan
g. Instuksi Presiden No.5 Tahun 2005 tentang Jaminan Asuransi Terhadap Objek Hipotik 2) Bahan hukum skunder, yaitu bahan-bahan penelitian yang berasal dari literatur berupa
buku-buku atau makalah-makah.
8.4. Teknik pengumpulan data.
Teknik pengumpulan data yang dilaksanakan dengan studi kepustakaan dengan menelaah bahan-bahan hukum dari buku-buku mengenai perjanjian kredit dan penjaminan hipotik kapal dan mencari beberapa peraturan perundang-undangan serta studi dokumen hukum dan melakukan wawancara dengan pihak terkait antara lain :
1. Pejabat Bank atau yang ditunjuk 2. Syahbandar tempat pendaftaran kapal 3. Praktisi hukum
(5)
8.5. Pengolahan data dan analisis data. 8.5.1. Pengolahan data
Pengelolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data dilapangan sehingga siap pakai untuk dianalisis.24 Setelah data yang diperlukan berhasil diperoleh, maka penulis melakukan pengolahan terhadap data tersebut. Dengan cara editing yaitu dengan cara meneliti kembali terhadap catatan-catatan, berkas-berkas, informasi dikumpulkan oleh para pencari data yang diharapkan dapat meningkatkan mutu kehandalan data yang hendak di analisis. Selanjutnya semua data yang diperoleh diolah melalui proses
8.5.1.1. Editing (pengeditan data)
Data yang telah diperoleh merupakan data yang masih mentah sehingga belum bisa langsung dijadikan bahan kajian. Oleh karena itu tidak seluruhnya yang dimasukkan sebagai data kajian akan tetapi dipilih data-data yang diperlukan dan berkaitan dengan permasalahan, sehingga diperoleh data yang lebih terstruktur dan valid untuk dikaji sehubungan dengan judul penelitian yang nantinya akan diambil kesimpulan.
8.5.1.2. Coding ( pengkodean data)
Coding adalah pemberian tanda-tanda terhadap data yang telah diperoleh. Dengan
demikian akan didapat data yang valid untuk dilakukan analisa untuk pengambilan kesimpulan nantinya.
8.5.2. Analisis data.
24
(6)
Berdasarkan data yang diperoleh, kemudian dianalisis secara yuridis dan dipaparkan secara kualitatif, yaitu penggambaran hasil penelitian dengan menggunakan kalimat-kalimat, agar hasil penelitian ini lebih mudah dipahami. Apabila terdapat data yang kuantitatif, penulis akan mencatumkannya di dalam hasil penelitian demi kelengkapan informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti atau sebagai data pendukung.