Tinjauan Yuridis Pengaturan Legalisasi Aborsi bagi Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Dikaitkan dengan Pembuktian di Pengadilan Berdasarkan Hukum Positif Indonesia.
ABSTRAK
Abortus provocatus dikenal di Indonesia dengan istilah aborsi berasal dari bahasa latin yang berarti pengguguran kandungan karena kesengajaan. Pengaturan aborsi diatur dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, menindaklanjuti hal tersebut pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi. Aborsi telah diatur sedemikian rupa, namun pada kenyataannya masih terdapat permasalahan dalam Pasal 34 PP Kesehatan Reproduksi yang menyatakan bahwa kehamilan akibat perkosaan dapat dibuktikan dengan keterangan penyidik. Berdasarkan pasal tersebut terdapat polemik dalam segi pembuktian tindak pidana pemerkosaan dikarenakan kewenangan untuk menentukan telah terjadinya tindak pidana pemerkosaan berada ditangan “lembaga pengadilan” berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Berdasarkan hal tersebut maka, problematika hukum yang muncul adalah apakah keterangan penyidik dapat dikualifikasikan sebagai alat bukti yang cukup untuk dilaksanakannya aborsi secara legal bagi korban tindak pidana pemerkosaan dan implikasi hukum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam melakukan aborsi tersebut apabila terdapat putusan hakim yang menyatakan bahwa tindak pidana pemerkosaan tidak terbukti.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif dengan menitikberatkan penelitian pada data primer, yang terdiri atas bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang terkait dengan legalisasi aborsi. Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami pembuktian korban pemerkosaan berdasarkan hukum positif Indonesia dan untuk mengkaji dan memahami terkait pengaturan hukum terhadap pihak-pihak yang membantu melakukan aborsi atas adanya putusan hakim yang menyatakan bahwa tindak pidana pemerkosaan tidak terbukti dan tindakan aborsi secara legal telah dilakukan.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kewenangan menentukan terjadinya tindak pidana pemerkosaan berada ditangan lembaga pengadilan, sehingga penyidik perlu mengedepankan hak seseorang sesuai asas Presumption of Innocence, selain hal tersebut
tidak adanya standarisasi ataupun tolak ukur “keterangan penyidik” seperti apa yang
dapat dijadikan dasar untuk korban pemerkosaan melakukan aborsi secara legal, belum lagi pengaturan yang tidak jelas terkait indikasi kehamilan akibat perkosaan dapat dibuktikan dengan keterangan dokter, keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan yang tercantum dalam Pasal 34 ayat 2 PP Kesehatan Reproduksi, terkait apakah keterangan penyidik merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan keterangan dokter, psikolog, dan/atau ahli lain ataupun cukup dengan keterangan penyidik saja maka legalisasi aborsi terhadap korban pemerkosaan dapat dilakukan. Dalam hal penyidik telah memberikan surat keterangan yang dapat digunakan korban pemerkosaan untuk melakukan aborsi secara legal, namun apabila pada proses persidangan dikemudian hari putusan hakim menyatakan bahwa hal tersebutbukan merupakan tindak pidana pemerkosaan melainkan kehamilan akibat hubungan diluar pernikahan, maka penyidik dan pihak-pihak yang membantu (dokter, psikolog) dapat dikenakan sanksi sebagai pihak yang turut serta membantu sesuai dengan pasal 55 KUHP.Terkait hal tersebut perlu adanya revisi terhadap ketentuan legalisasi aborsi dengan cara menyelaraskan peraturan-peraturan terkait aborsi dengan mempertimbangkan aspek sosiologis masyarakat, adat istiadat, etika, kesusilaan, dan agama.
(2)
ABSTRACT
Abortus pravocatus is known in Indonesia as abortion term comes from Latin language that means abortion because of deliberateness. The abortion regulation is regulated in Health Regulations Number 36 Year 2009, conducted that problem, the government issues Government Regulation Number 61 Year 2014 About Reproduction Health. Furthermore, it is regulated, but in reality there is still the problem in Article 34 Government Regulation of Reproduction Health that clarify the pregnant because of rape can be evidenced with investigating officer information. Based on such article, there is polemic from view of criminal evidence, the rape because of competence to determine the
rape action existed in “court institution” based on judge verdict that has decided law
strength (inkracht van gewijsde). Based on such problem, the law problematic that emerges whether investigating officer information can be qualified as valid evidence tool to be implemented abortion legally for rape criminal and the law implication with parties concerned when the judge verdict that clarify the rape criminal cannot be evidenced.
Used method in this research is normative juridical with focus to primary data that consists of primary law material, secondary, and tarsier concerned with abortion legalization. The research in this paper has objective to examine and comprehend the rape victim based on Indonesia law positive and to examine and comprehend about included parties in this case through the judge verdict that clarify it cannot be evidenced and abortion act legally to be done.
The study result concludes that competence to determine the rape criminal well-to-do court institution, so that investigating officer must consider Presumption of
Innocence principle, in addition to standardization or “investigating officer information”
such as a foundation for the rape victim carry out abortion legally, not anymore unclear regulation concerning with pregnant indication that caused by the rape can be evidenced through doctor information, investigating officer, psychology, and/or other specialist about the rape assessment in Article 34 paragraph 2 Government Regulation of Reproduction Health, concerned with whether the information from investigating officer as one unity that cannot be separated with doctor information, psychology, and/or other specialist or enough with information from investigating officer, then abortion legalization through the rape victim can be made. In this case investigating officer gives used information by the rape victim to make abortion legally, but while on court session process father the judge verdict clarify that the case is not the rape criminal, but the pregnant caused by sexual acts outside of marriage, then investigating officer and other parties such as doctor, psychology can be applied the sanction as participation party in this case to assist as with article 55 KUHP. About the revision to abortion legislation by procedure adjusting the regulations concerned with abortion and considering community sociologies aspect, tradition, ethics, morality, and religion.
(3)
Halaman HALAMAN JUDUL
PERNYATAAN KEASLIAN
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PERSETUJUAN PANITIA SIDANG LEMBAR PERSETUJUAN REVISI
ABSTRAK ABSTRACT
KATA PENGANTAR……….…………...…… i
DAFTAR ISI………..……….. vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………..………….…….... 1
B. Identifikasi Masalah………..….……. 8
C. Tujuan Penelitian ………... 8
D. Kegunaan Penelitian ……...………... 9
E. Kerangka Pemikiran………...………... 10
F. Metode Penelitian………...………... 17
(4)
PEMERKOSAAN
A. Hukum Pembuktian ...…...…. 26
1. Pengertian Pembuktian ………... 26
2. Sistem Pembuktian Yang Dianut Oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ………..….…... 30
B. Alat-Alat Bukti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana...………...…..……. 36
C. Keterangan Penyidik..……...…..… 57
1. Pengertian Penyidikan...………... 57
2. Fungsi penyidikan...………... 59
3. Pejabat Penyidik………..……...………..…… 60
4. Tugas dan Kewenangan Penyidik...………. 65
D. Tindak Pidana Pemerkosaan 1. Tindak Pidana Pemerkosaan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana... 70
2. Istilah dan Pengertian Pemerkosaan... 74
BAB III PRAKTEK ABORSI DAN PENGATURANNYA BERDASARKAN HUKUM A. Praktek Aborsi Di Indonesia ……….………...….. 78
1. Aborsi………..……...………..…...… 78
2. Pengertian Aborsi... 83
(5)
B.
Positif Indonesia…... 102 1. Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Menurut Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan…...………… 102 2. Indikasi Kedaruratan Medis Dan Perkosaan Sebagai
Pengecualian Atas Larangan Aborsi………...……… 111
BAB IV ANALISIS KETERANGAN PENYIDIK DAPAT DIKUALIFIKASIKAN SEBAGAI ALAT BUKTI UNTUK DILAKSANAKANNYA ABORSI SECARA LEGAL BAGI KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN DAN IMPLIKASI HUKUM BAGI PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT DALAM MELAKUKAN ABORSI
A. Analisis Keterangan Penyidik Sebagai Alat Bukti Dilaksanakannya Aborsi Secara Legal Bagi
Korban Tindak Pidana Pemerkosaan...… 115 B. AnalisisHukum Bagi Pihak-Pihak Yang Terlibat
Dalam Melakukan Aborsi Dimana Putusan Hakim Menyatakan Bahwa Tindak Pidana Pemerkosaan Tidak Terbukti Dan Tindakan Aborsi Secara
Legal Telah Dilakukan...….. 124 1. Sanksi Hukum Bagi Pihak Yang Melakukan
(6)
Menyatakan Bahwa Tindak Pidana Pemerkosaan Tidak... 132 Terbukti
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…..……….. 138
B. Saran….……….. 141
DAFTAR PUSTAKA CURRICULUM VITAE
(7)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Abortus provocatus yang dikenal di Indonesia dengan istilah aborsi berasal dari bahasa latin yang berarti pengguguran kandungan karena kesengajaan. Pengertian aborsi atau Abortus provocatus adalah penghentian atau pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum waktunya.1 Dengan kata lain “pengeluaran” itu dimaksudkan bahwa keluarnya janin disengaja dengan campur tangan manusia, baik melalui cara mekanik, obat atau cara lainnya.
Saat ini di Indonesia membicarakan hal mengenai aborsi tidak lagi menjadi hal yang tabu karena aborsi yang terjadi sekarang ini sudah menjadi masalah yang cukup aktual. Hal tersebut didukung dengan adanya fakta bahwa saat ini aborsi telah terjadi dimana-mana dan bisa dilakukan oleh berbagai kalangan, baik dilakukan secara legal ataupun dilakukan secara illegal. Permasalahan aborsi di Indonesia sangat perlu ditinjau terkait hal yang berkaitan dengan kedudukan dari hukum aborsi yang berlaku di Indonesia dan juga perlu dilihat dari tujuan perbuatan aborsi tersebut.
1
(8)
Pengguguran kandungan di Indonesia sudah banyak terjadi, biasanya pengguguran kandungan dilakukan oleh para pekerja seks komersial dan remaja wanita yang hamil dikarenakan perilaku seks bebas. Masalah pengguguran kandungan (aborsi) pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dan memiliki kaitan yang erat dengan nilai-nilai serta norma-norma agama yang berkembang di dalam tubuh masyarakat Indonesia. Terkait dengan hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia, pengaturan mengenai permasalahan pengguguran kandungan sendiri, telah diatur di dalam Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, Pasal 349, dan Pasal 350 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disebut KUHP.)
Menurut ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348 KUHP tersebut, dijelaskan bahwa aborsi yang dapat digolongkan menjadi suatu tindak pidana lebih dikenal sebagai abortus provokatus criminalis meliputi tindakan yaitu menggugurkan kandungan (Afdrijing van de vrucht atau vrucht afdrijiving) atau membunuh kandungan (de dood van de vrucht atau vrucht doden).2
Timbulnya permasalahan aborsi tersebut berakar dari adanya konflik keyakinan bahwasanya janin atau fetus memiliki hak untuk hidup dan di sisi lainnya para perempuan merasa bahwa mereka memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, atau yang dalam hal ini adalah menentukan
2
Musa Perdana Kusuma, Bab-bab Tentang Kedokteran Forensik, Jakarta, Ghalia Indonesia,1981, hlm. 192.
(9)
untuk melakukan pengguguran kandungan. Akibat dari konflik yang berkembang terus menerus lahirlah dua kubu yang menganut paham pro-life yang berupaya untuk mempertahankan kehidupan dari janin, dan kubu pro-choice yang mendukung upaya agar perempuan dapat memilih dan menentukan sikap serta nasib atas tubuhnya sendiri yang dalam hal ini adalah aborsi.
Pengaturan aborsi berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia terdapat dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Kesehatan) yang berbunyi :
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(10)
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 Undang-Undang Kesehatan hanya dapat dilakukan apabila:
a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Menindaklanjuti Undang-Undang Kesehatan, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi (untuk selanjutnya disebut PP Kesehatan Reproduksi) yang juga mengatur mengenai aborsi, dalam Pasal 31 PP Kesehatan Reproduksi mengatakan bahwa “Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan : a). Indikasi kedaruratan medis; atau b). Kehamilan akibat perkosaan (Pasal 31 ayat 1PP Kesehatan Reproduksi); Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir (Pasal 31 ayat 2 PP Kesehatan Reproduksi).”
Aborsi telah diatur sedemikian rupa dalam peraturan perundang-undangan maupun peraturan pemerintah sebagai pelaksana peraturan
(11)
perundang-undangan, namun pada kenyataannya masih terdapat permasalahan khususnya aborsi bagi korban pemerkosaan dimana pembuktian aborsi bagi korban pemerkosaan dalam Pasal 34 PP Kesehatan Reproduksi yang menyebutkan bahwa :
(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan
b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.
Berdasarkan Pasal tersebut maka terdapat polemik dalam segi pembuktian tindak pidana pemerkosaan yang menyebabkan aborsi dilegalkan khususnya bagi korban pemerkosaan. Berdasarkan Pasal 34 ayat (2) huruf b PP Kesehatan Reproduksi menyatakan bahwa keterangan penyidik dapat dijadikan alat bukti korban pemerkosaan untuk melakukan aborsi, berdasarkan KUHP perbuatan aborsi merupakan delik (tindak pidana) dan kewenangan untuk menentukan telah terjadinya tindak pidana pemerkosaan berada ditangan “lembaga pengadilan” berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Selain itu terdapat permasalahan mengenai jangka waktu bagi korban pemerkosaan untuk melakukan aborsi dimana waktu 40 hari yang diberikan oleh PP
(12)
Kesehatan Reproduksi untuk legalisasi aborsi akibat pemerkosaan tersebut, tidak akan cukup untuk menunggu proses akhir dari keseluruhan proses yang dilalui oleh seseorang yang diduga melakukan pemerkosaan, lebih lagi jika misalnya seseorang yang diduga itu masih melakukan upaya hukum banding dan kasasi sampai ketingkat Mahkamah Agung (MA), tentu semua proses tersebut membutuhkan waktu yang begitu panjang.
Berdasarkan Pasal 34 PP Kesehatan Reproduksi tersebut terjadi benturan kaidah terhadap indikasi pemerkosaan yang dapat dibuktikan dengan surat keterangan dokter, penyidik, psikolog dan atau ahli lain, sebab melanggar asas praduga tak bersalah (Presumption Of Innocence). Dalam konteks ini ketika belum terbuktinya seorang pelaku tindak pidana pemerkosaan, tanpa adanya putusan pengadilan yang inkracht , maka kepastian terhadap kebenaran kasus tersebut masih belum dapat dipertanggungjawabkan,karena patut diduga kasus tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana pemerkosaan , melainkan karena hasil hubungan di luar pernikahan. Jika ternyata perbuatan legalisasi aborsi telah selesai dilakukan, dan ternyata putusan pengadilan yang berkuatan hukum tetap (inkracht) menyatakan bahwa seseorang yang diduga melakukan tindak pidana pemerkosaan tidak terpenuhi dan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka hal tersebut akan mengakibatkan perempuan yang mengaku sebagai korban tindak pidana pemerkosaan yang sebelum adanya
(13)
putusan pengadilan melakukan aborsi secara legal beserta pihak-pihak yang membantu proses aborsi tersebut akan terjerat sebagai pelaku tindak pidana aborsi.
Berdasarkan uraian di atas sangat jelas terlihat bahwasanya masih terdapat permasalahan terkait legalisasi aborsi khususnya terhadap pembuktian korban pemerkosaan di pengadilan untuk dapat melakukan aborsi secara legal. Penelitian ini merupakan penelitian baru yang menitikberatkan pada persoalan mengenai pembuktian korban tindak pidana pemerkosaan dalam hal untuk dilaksanakannya aborsi secara legal bagi korban tindak pidana pemerkosaan. Oleh karena itu, penulis ingin meneliti lebih mendalam dan membahasnya dalam skripsi penulis yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS PENGATURAN LEGALISASI ABORSI BAGI
KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN DIKAITKAN
DENGAN PEMBUKTIAN DI PENGADILAN BERDASARKAN HUKUM POSITIF INDONESIA”.
(14)
B. Identifikasi Masalah
Dalam penulisan skripsi ini penulis membatasi permasalahan yaitu : 1. Apakah keterangan penyidik mengenai adanya dugaan pemerkosaan
sebagaimana Pasal 34 ayat 2 huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi dapat dikualifikasikan sebagai alat bukti yang cukup untuk dilaksanakannya aborsi secara legal bagi korban tindak pidana pemerkosaan ?
2. Dalam hal terdapat putusan hakim yang menyatakan bahwa tindak pidana pemerkosaan tidak terbukti dan tindakan aborsi secara legal telah dilakukan bagaimana implikasi hukum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam melakukan aborsi tersebut ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian dari skripsi ini yaitu :
1. Untuk mengkaji dan memahami pembuktian korban pemerkosaan berdasarkan hukum positif Indonesia.
2. Untuk mengkaji dan memahami terkait pengaturan hukum terkait pihak-pihak yang melakukan aborsi atas adanya putusan hakim yang menyatakan bahwa tindak pidana pemerkosaan tidak terbukti dan tindakan aborsi secara legal telah dilakukan.
(15)
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan akademis, penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat:
a. Secara teoritis diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengemban ilmu hukum khususnya di dalam bidang hukum pidana.
b. Memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya terkait aspek hukum legalisasi aborsi.
2. Kegunaan praktis, penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam praktik antara lain :
a. Sebagai sumber informasi bagi akademisi, pengamat, masyarakat, pembuat peraturan tentang legalisasi aborsi.
b. Memberikan pedoman bagi Pemerintah khususnya pembuktian korban pemerkosaan dalam hal melakukan aborsi.
c. Sebagai wacana yang dapat dibaca oleh mahasiswa hukum khususnya atau juga masyarakat luas pada umumnya.
(16)
E. Kerangka Pemikiran
Suatu hukum yang baik setidaknya harus memenuhi tiga hal pokok yang sangat prinsipil yang hendak dicapai, yaitu : Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan. Setelah dilihat dan ditelaah dari ketiga sisi yang menunjang sebagai landasan dalam mencapai tujuan hukum yang diharapkan,maka jelaslah ketiga hal tersebut berhubungan erat agar menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam
(17)
membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.3
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.4 Kepastian hukum merupakan suatu sistem yang digunakan untuk mencapai salah satu tujuan hukum, tolak ukur dari kepastian hukum yaitu tidak terdapatnya peraturan/kaidah hukum yang bertentangan satu dengan yang lainnya.
Dalam prakteknya terhadap kepastian hukum masih terdapat banyak permasalahan terkait aturan yang saling bertentangan maupun aturan yang tidak jelas (multitafsir), salah satunya mengenai pengaturan pembuktian mengenai legalisasi aborsi terhadap korban tindak pidana pemerkosaan sebagaimana di atur dalam KUHP, UU Kesehatan dan PP Kesehatan Reproduksi.
3 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana, 2008, hlm.158.
4 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit Citra Aditya Bakti, 1999,
(18)
Kepastian hukum terkait pengaturan pembuktian mengenai legalisasi aborsi terhadap korban tindak pidana pemerkosaan merupakan suatu hal yang hanya bisa dijawab secara normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam arti menjadi sistem norma dengan norma yang lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian.
Pengaturan pembuktian mengenai legalisasi aborsi terhadap korban tindak pidana pemerkosaan haruslah berdasarkan hukum positif yang berlaku. Dalam hal ini seseorang belum dapat dinyatakan bersalah apabila belum terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, oleh karena itu aspek pembuktian memegang peranan menentukan untuk menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan hukuman pidana oleh hakim.
Hakim di dalam menjatuhkan suatu putusan, tidak hanya dalam bentuk pemidanaan, tetapi dapat juga menjatuhkan putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan bebas akan dijatuhkan oleh hakim apabila pengadilan (hakim) berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atau perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sedangkan pada putusan
(19)
lepas dari segala tuntutan hukum yaitu berarti segala tuntutan hukum atas perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam surat dakwaan jaksa/penuntut umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, namun terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana, karena perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, misalnya merupakan bidang hukum perdata, hukum adat dan sebagainya.
Menurut M. Yahya Harahap yang dimaksud dengan pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara yang dibenarkan oleh Undang-Undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.5 Proses pembuktian dalam hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materil. Dalam rangka mencari kebenaran materil, hakim harus hati-hati, cermat dan matang dalam menilai kekuatan pembuktian setiap alat bukti yang diajukan dalam persidangan.
Terdapat beberapa teori pembuktian dalam hukum acara pidana, yaitu: 1. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (Conviction-in
Time);
2. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (Conviction Rasionnee) ;
5 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permsalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (edisi 2) , Cetakan 3, Sinar Grafika, Jakarta : 2002, hlm. 252.
(20)
3. Teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (Positief wettelijk bewijstheorie);
4. Teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewisjtheorie).6
Dalam membuktikan apakah terdakwa bersalah atau tidak dalam suatu perkara pidana, di Indonesia menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Di dalam sistem pembuktian menurut undang-undang-undang-undang secara negatif ( negatief wettelijke bewujs theorie) terdapat unsur dominan berupa sekurang-kurangnya dua alat bukti sedangkan unsur keyakinan hakim hanya merupakan unsur pelengkap. Jadi dalam menentukan apakah orang yang didakwakan tersebut bersalah atau tidak, haruslah kesalahannya dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua jenis alat bukti seperti yang tertuang di dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Pengaturan pembuktian mengenai legalisasi aborsi terhadap korban tindak pidana pemerkosaan dapat melanggar hak asasi manusia apabila aborsi sudah dilakukan tetapi pihak yang diduga pelaku pemerkosaan tidak terbukti bersalah. Berdasarkan Pasal 28 huruf (a) Undang-Undang Dasar 1945 yang
6 Waluyadi. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi, Mandar Maju,
(21)
berbunyi “setiap orang yang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Mengisyaratkan bahwa konstitusi negeri ini melindungi hak hidup warga negara, dengan hak hidup itu negara akan menjaga dan melindungi setiap warganya, sehingga negara melalui alatnya yaitu penegak hukum akan bertindak apabila ada dan diketahui terjadi penghilangan hak hidup manusia. Selanjutnya pengaturan mengenai hak hidup janin diatur dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (untuk selanjutnya disebut sebagai Undang-undang HAM) yang menyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Ketentuan lebih tegas terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang HAM yang menyatakan bahwa setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Berdasarkan hal tersebut maka dibutuhkan perlindungan hukum dalam hal melakukan suatu perbuatan legalisasi aborsi.
Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa, perlindungan hukum merupakan perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum itu pada
(22)
umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan akan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang melanggarnya.7
Istilah perlindungan hukum merupakan istilah yang selalu dikaitkan dengan adanya pencederaan terhadap hak-hak anggota masyarakat baik yang dilakukan oleh sesama masyarakat, maupun oleh penguasa. Philipus M. Hadjon membedakan perlindungan hukum menjadi 2 (dua) macam, yakni :
1. Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang- undangan dengan maksud mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban. Dengan demikian perlindungan preventif merupakan bentuk perlindungan hukum yang diarahkan lagi bagi terlindunginya hak seseorang dari kemungkinan terjadinya pelanggaran oleh orang lain atau pihak ketiga secara melawan hukum. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak, karena dengan
7 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya, Bina Ilmu, 1987,
(23)
adanya perlindungan hukum yang preventif terdorong untuk bersikap hati-hati agar mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.8
2. Perlindungan hukum represif yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang timbul.
Menurut Satjipto Raharjo dalam bukunya berjudul Ilmu Hukum, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.9 Perlindungan hukum memberi jaminan setiap orang untuk memperoleh hak-haknya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi, dimana perlindungan hukum berfungsi juga untuk memberikan keadilan serta dapat menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat.
F. Metode Penelitian
Dalam setiap penelitian pada hakekatnya mempunyai metode penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian.10 Kata metode berasal dari bahasa Yunani “Methods” yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah,maka
8 Philipus M. Hadjon, et. al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press , 2011, hlm. 76.
9 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 54.
10 Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Bandung,
(24)
metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Biasanya diberikan arti-arti sebagai berikut:
1) Logika dari penelitian ilmiah
2) Studi terhadap prosedur dan teknik penelitian 3) Suatu sistem dari prosedur dan teknik penelitian.11
Adapun dalam penulisan skripsi ini,digunakan metode penelitian sebagai berikut :
1) Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini,adapun jenis penelitian atau metode pendekatan yang dilakukan adalah metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) atau disebut juga penelitian hukum kepustakaan,yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.12
Ronny Hanitijo Soemitro menyatakan bahwa penelitian yuridis-normatif terdiri atas :13
11 Soerjono Soekanto, pengantar penelitian hukum, Jakarta, UI Press, 2008, hlm. 5.
12 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan singkat), Jakarta,
Rajawali pers, 2001, hlm. 13-14.
13 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan ke-5, Jakarta,
(25)
a) Penelitian inventarisasi hukum positif b) Penelitian terhadap asas-asas hukum
c) Penelitian untuk menemukan hukum in-konkrito d) Penelitian terhadap sistematika hukum
e) Penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal 2) Sifat Penelitian
Sebagai suatu hasil karya ilmiah yang memenuhi nilai-nilai ilmiah,maka menurut sifatnya penelitian yang dilaksanakan ini dikategorikan sebagai penelitian yang bersifat deskriptif-analitis, maksudnya adalah suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan seperangkat data yang lain.
Artinya penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun dari berbagai pendapat ahli hukum, sehingga diharapkan dapat diketahui gambaran jawaban atas permasalahan mengenai pengaturan legalisasi aborsi bagi korban pemerkosaan terkait pembuktian di pengadilan berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
(26)
3) Pendekatan Dalam Penelitian
Memecahkan suatu isu hukum melalui penelitian hukum memerlukan pendekatan-pendekatan tertentu sebagai dasar pijakan untuk menyusun argumen yang tepat. Adapun macam – macam pendekatan yang akan dipakai dalam penelitian hukum ini yaitu :
a) Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang-undangan ini misalnya dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian antara Undang Dasar dengan Undang, atau antara Undang-Undang yang satu dengan Undang-Undang-Undang-Undang yang lain.
b) Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pendekatan ini menjadi penting sebab pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang dihadapi. Pandangan atau doktrin akan memperjelas ide-ide
(27)
dengan memberikan pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan.
4) Sumber Data
Sebagai penelitian hukum normatif, penelitian ini menitikberatkan pada studi kepustakaan yang telah ditekankan pada pengambilan data sekunder. Adapun sumber data yang digunakan dalam penulisan ini adalah terdiri dari :
a) Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan hukum yang mengikat yang diurutkan berdasarkan hierarki perundang-undangan yang meliputi :
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
(2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. (3) Undang-Undang 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. (4) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan
Reproduksi.
b) Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer, yang meliputi :
(28)
(2) Literatur yang membahas mengenai masalah pembuktian legalisasi aborsi di Indonesia
(3) Literatur yang membahas mengenai masalah Hak Asasi Manusia terkait adanya legalisasi aborsi tersebut.
c) Bahan Hukum Tersier
Yaitu berupa berbagai referensi lainnya yang berkaitan dengan topik penelitian. Bahan hukum tersier ini memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain dapat berupa kamus hukum, kamus bahasa Belanda dan kamus bahasa Inggris serta berbagai majalah hukum dan klipping dari media massa dan internet yang berkaitan dengan masalah yang diteliti tersebut.
5) Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian hukum,dikenal paling sedikit 2 (dua) alat pengumpulan data atau alat penelitian (research instrument), yaitu studi dokumen legalisasi aborsi atau bahan pustaka dan pengamatan terhadap fakta yang terjadi berkaitan dengan topik permasalahan. Kedua alat penelitian tersebut dapat dipergunakan masing-masing maupun secara bergabung.
Studi dokumen, dipakai terhadap kajian buku-buku, hasil penelitian, peraturan perundang-undangan, terbitan berkala seperti majalah
(29)
dan surat kabar yang berkaitan dengan masalah penelitian. Metode yang dipakai untuk mengetahui isi dokumen tersebut adalah analisis isi. Pengamatan yang di gunakan adalah pengamatan berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan yang disesuaikan dengan permasalahan topik.
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan pembahasan dalam skripsi ini, maka penulisan skripsi dibagi menjadi lima bab, yakni sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bagian ini akan menjelaskan secara garis besar mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : ASPEK HUKUM PEMBUKTIAN DALAM TINDAK
PIDANA PEMERKOSAAN
Tinjauan pustaka menguraikan landasan teori untuk menganalisa permasalahan yang akan diteliti. Tinjauan pustaka ini berisi kerangka pemikiran atau teori-teori dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan.
(30)
BAB III : PRAKTEK LEGALISASI ABORSI DI INDONESIA DIKAITKAN DENGAN PEMBUKTIAN KORBAN PEMERKOSAAN BERDASARKAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Pada bagian ini akan membahas mengenai praktek aborsi di Indonesia dikaitkan dengan pembuktian korban tindak pidana pemerkosaan untuk dapat melakukan aborsi secara legal.
BAB IV : ANALISIS KETERANGAN PENYIDIK SEBAGAI
ALAT BUKTI UNTUK DILAKSANAKANNYA
ABORSI SECARA LEGAL BAGI KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN DAN IMPLIKASI HUKUM BAGI PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT DALAM MELAKUKAN ABORSI DALAM HAL PUTUSAN HAKIM MENYATAKAN BAHWA TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TIDAK TERBUKTI
Pada bagian ini akan menjelaskan jawaban terhadap isi pokok dari skripsi ini, yang dapat menjawab pertanyaan yang terdapat dalam identifikasi masalah. Penulis akan melakukan suatu kajian yang bersifat normatif berdasarkan ketentuan hukum pidana positif yang berlaku diIndonesia, yakni Kitab
(31)
Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi terkait dengan legalisasi aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan.
BAB V : PENUTUP
Pada bagian ini akan berisikan simpulan dan saran yang berkaitan dengan pembahasan yang diuraikan.
(32)
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kewenangan untuk menentukan telah terjadinya tindak pidana pemerkosaan adalah berada ditangan “lembaga pengadilan” berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), apabila penyidik memberikan keterangan dalam surat keterangannya tersebut telah terjadinya pemerkosaan, maka menurut hemat penulis pihak penyidik tersebut telah melakukan 2 (dua) pelanggaran sekaligus, yaitu :
(a) Penyidik telah “mengebiri” hak seseorang yang dijamin undang -undang berdasarkan asas hukum pidana yaitu Presumption of Innocence;
(b) Penyidik telah melanggar dan merampas kewenangan lembaga pengadilan untuk membuktikan salah dan tidaknya seseorang secara hukum.
Selain hal tersebut, tidak adanya standarisasi ataupun tolak ukur “keterangan penyidik” seperti apa yang dapat dijadikan dasar untuk korban pemerkosaan melakukan aborsi secara legal, belum lagi pengaturan yang tidak jelas terkait pengaturan mengenai kehamilan akibat
(33)
perkosaan dapat dibuktikan dengan keterangan dokter, keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan yang tercantum dalam Pasal 34 ayat 2 PP Kesehatan Reproduksi, dikarenakan pengaturannya yang kurang jelas dalam hal apakah keterangan penyidik merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan keterangan dokter, psikolog, dan/atau ahli lain atau cukup dengan keterangan penyidik maka legalisasi aborsi terhadap korban pemerkosaan dapat dilakukan selain itu pula waktu yang ditetapkan dalam PP kesehatan reproduksi tersebut sangat singkat yaitu 40 hari sehingga bisa membawa pengaruh kepada penyidik untuk tergesa-gesa memberikan keputusan melalui surat keterangannya untuk melegalkan aborsi bagi korban tindak pidana pemerkosaan.
2. Sanksi hukum bagi pihak-pihak yang terlibat membantu pelaksanaan aborsi secara legal dimana putusan hakim menyatakan bahwa tindak pidana pemerkosaan tidak terbukti
a. Dokter
Berdasarkan Pasal 349 KUHP menyatakan bahwa :
“Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu kejahatan tersebut dalam pasal 346, atau bersalah melakukan atau membantu salah satu kejahatan diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah sepertiganya dan dapat dicabut haknya melakukan pekerjaannya yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan itu”.
(34)
Selain itu dokter, penyidik, psikolog, dan/ahli lain menjadi pihak yang turut serta dalam hal terjadinya kejahatan untuk melakukan aborsi tersebut, yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP :
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau ke- terangan untuk melakukan kejahatan.
Pasal 57
(1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga.
(2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(3) Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.
(4) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.
Namun hal tersebut diatas dapat dikesampingkan apabila terdapat pembelaan dari penyidik, dokter, psikolog atau ahli lain bersangkutan yang bisa membuktikan bahwa masing-masing dari mereka tidak bersalah dan sebenarnya tidak ada niat jahat (mens rea) dari mereka untuk melakukan persekongkolan dengan perempuan tersebut dan mereka hanya semata-mata dikelabui oleh perempuan yang bersangkutan sehingga dalam hal ini masing-masing pihak tersebut wajib melakukan pembelaan pada saat persidangan. Mengenai permasalahan hukuman tergantung pada pertimbangan dari hakim pemeriksa perkara.
(35)
B. Saran
1. Melakukan revisi terhadap Pasal 34 ayat (2) PP Kesehatan reproduksi terkait legalisasi aborsi dengan cara menyelaraskan peraturan terkait aborsi antara Undang-Undang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Tentang Kesehatan Reproduksi dengan ketentuan di dalam KUHP, dan hendaknya agar peraturan tersebut berjalan dengan efektif ada baiknya untuk pemerintah menciptakan suatu hukum acara khusus yang diatur tersendiri dalam suatu peraturan perundang-undangan yang tahapannya mulai dari proses penyelidikan, penyidikan penuntutan hingga proses persidangannya maksimal memakan waktu 30 hari agar masa pembolehan aborsi bagi korban tindak pidana pemerkosaan tidak terlewati serta melindungi kedudukan seseorang tersangka berdasarkan asas presumption of innocence berkaitan dengan kasus tindak pemerkosaan tersebut . Selain itu, perlu adanya standarisasi terkait keterangan penyidik seperti apa yang dapat dikualifikasikan sebagai sarana untuk melakukan aborsi secara legal, dan hendaknya perlu adanya kejelasan terkait keterangan penyidik itu tidak berdiri sendiri melainkan bersama-sama dengan dokter, psikolog, dan ahli lain (kumulatif) sehingga meminimalisir adanya manipulasi. 2. Pemerintah meninjau kembali mengenai aspek pembuktian kehamilan
akibat korban perkosaan agar tidak menimbulkan suatu kesan melegitimasi perbuatan aborsi dalam bentuk apapun.
(36)
3. Penegakan hukum tegas bagi pelaku perkosaan agar memberikan efek jera terhadap pelaku dan mencegah terulangnya kembali kasus pemerkosaan oleh pihak-pihak lainnya dan memberikan bantuan pengobatan untuk korban pemerkosaan baik itu secara kejiwaan, mental maupun spiritual.
(37)
Buku
Abdul Mun’in Idries dan Agung Legowo Tjiptomartono, Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Jakarta: Karya Unipres, 1982
Abdul Wahid, Muhamad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, Malang: Rafika Aditama, 2001
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta , Raja Grafindo Persada, 2001
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2001
C.B. Kusmaryanto,Kontoversi Aborsi, Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, cet. 3, Jakarta: Djambatan, 2002
Ediwarman, Hukum Tentang Pengguguran Kandungan Menurut Pandangan Hukum pidana dan Hukum Islam ,Medan, Fakultas Hukum-USU, 1996
Eny Kusmiran, Kejahatan Reproduksi Remaja Dan wanita, Jakarta, Salemba Medika, 2011
Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Bandung, Nusa Media, 2011
Js, Badudu, dan Sultan Mohamad Zair, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan,1996
(38)
Pustaka Utama, Jakarta, 2005
K. Bertens, Aborsi Sebagai Masalah Etika, Jakarta , Grasindo, 2002
Kusmaryanto, SCJ., Kontroversi Aborsi, Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002
Manopo Abas, Aborsi, Kumpulan Naskah-Naskah Ilmiah dalam Simposium Aborsi di Surabaya, Jakarta, Departermen Kesehatan RI, 1974
Martiman Prodjohamidjodjo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti (Seri Pemerataan Keadilan 10), cet. 1, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983
M. Nurul Irfan, Gratifikasi Dan Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam, Amzah, Jakarta, 2014
Musa Perdana Kusuma, Bab-bab Tentang Kedokteran Forensik, Jakarta, Ghalia Indonesia,1981
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permsalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (edisi 2) , Cetakan 3, Sinar Grafika, Jakarta : 2002
Njowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya, Bina Ilmu, 1987
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana, 2008
(39)
Ghalia Indonesia, 1994Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor, Politeila, 1994, hlm. 218
R.Soesilo, Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminal,Bogor: politea, 1980
R. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita,1991
Rustam Mochtar, Sinopsis Obsetetri, EGC, Jakarta, 1998
Soerjono Soekanto, pengantar penelitian hukum, Jakarta, UI Press, 2008
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan singkat), Jakarta, Rajawali pers, 2001
Taber Ben-zion, Kedaruratan Obsetetri dan Gonekologi, Jakarta, EGC, 1994
Waluyadi. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi, Mandar Maju, Bandung : 2004
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
(40)
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi.
Tautan Internet
Anjari Umarjianto, Meluruskan Persepsi Salah Atas Pengaturan Aborsi Di Peraturan Pemerintah Kesehatan Reproduksi , Diakses Pada Tanggal 14 Mei 2016
http://www.alodokter.com/beban-psikologis-dan-kesehatan-korban-pemerkosaan, diakses pada tanggal 10 Mei 2016
http:www.lbh-apik.or.id/fact-32.htm, Aborsi Dan Hak Atas Pelayanan Kesehatan,Diakses Tanggal 14 Mei 2016
http://irwanashari.blogspot.com/2008/01/Akibat Aborsi.html, diakses tanggal 14 mei 2016
http://www.kebidanan.org/abortus, diakses tanggal 17 Mei 2016
Peraturan Pemerintah Tentang Aborsi Banyak Kelemahan, www. Peradi. Or. Id/ Indek. Php/Berita/Detail, Diakses Pada Tanggal 14 Mei 2016
Sabrina Asril,Pemerintah Anggap Aborsi Solusi Untuk Atasi Trauma Korban Perkosaan, Kompas.Com, Jakarta, Diakses Pada Tanggal 14 Mei 2016
Jurnal
Loqman ,Loebby, Jurnal Obsetri dan Ginekologi Indonesia, Yogyakarta, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2003
(41)
(1)
142
3. Penegakan hukum tegas bagi pelaku perkosaan agar memberikan efek jera terhadap pelaku dan mencegah terulangnya kembali kasus pemerkosaan oleh pihak-pihak lainnya dan memberikan bantuan pengobatan untuk korban pemerkosaan baik itu secara kejiwaan, mental maupun spiritual.
(2)
Daftar Pustaka
Buku
Abdul Mun’in Idries dan Agung Legowo Tjiptomartono, Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Jakarta: Karya Unipres, 1982
Abdul Wahid, Muhamad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, Malang: Rafika Aditama, 2001
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta , Raja Grafindo Persada, 2001
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2001
C.B. Kusmaryanto,Kontoversi Aborsi, Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, cet. 3, Jakarta: Djambatan, 2002
Ediwarman, Hukum Tentang Pengguguran Kandungan Menurut Pandangan Hukum pidana dan Hukum Islam ,Medan, Fakultas Hukum-USU, 1996
Eny Kusmiran, Kejahatan Reproduksi Remaja Dan wanita, Jakarta, Salemba Medika, 2011
Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Bandung, Nusa Media, 2011
Js, Badudu, dan Sultan Mohamad Zair, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan,1996
(3)
Kartono Muhammad, Teknologi Kedokteran dan Tantangan Terhadap Bioetika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005
K. Bertens, Aborsi Sebagai Masalah Etika, Jakarta , Grasindo, 2002
Kusmaryanto, SCJ., Kontroversi Aborsi, Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002
Manopo Abas, Aborsi, Kumpulan Naskah-Naskah Ilmiah dalam Simposium Aborsi di Surabaya, Jakarta, Departermen Kesehatan RI, 1974
Martiman Prodjohamidjodjo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti (Seri Pemerataan Keadilan 10), cet. 1, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983
M. Nurul Irfan, Gratifikasi Dan Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam, Amzah, Jakarta, 2014
Musa Perdana Kusuma, Bab-bab Tentang Kedokteran Forensik, Jakarta, Ghalia Indonesia,1981
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permsalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (edisi 2) , Cetakan 3, Sinar Grafika, Jakarta : 2002
Njowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya, Bina Ilmu, 1987
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana, 2008
(4)
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan ke-5, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor, Politeila, 1994, hlm. 218
R.Soesilo, Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminal,Bogor: politea, 1980
R. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita,1991
Rustam Mochtar, Sinopsis Obsetetri, EGC, Jakarta, 1998
Soerjono Soekanto, pengantar penelitian hukum, Jakarta, UI Press, 2008
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan singkat), Jakarta, Rajawali pers, 2001
Taber Ben-zion, Kedaruratan Obsetetri dan Gonekologi, Jakarta, EGC, 1994
Waluyadi. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi, Mandar Maju, Bandung : 2004
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
(5)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi.
Tautan Internet
Anjari Umarjianto, Meluruskan Persepsi Salah Atas Pengaturan Aborsi Di Peraturan Pemerintah Kesehatan Reproduksi , Diakses Pada Tanggal 14 Mei 2016
http://www.alodokter.com/beban-psikologis-dan-kesehatan-korban-pemerkosaan, diakses pada tanggal 10 Mei 2016
http:www.lbh-apik.or.id/fact-32.htm, Aborsi Dan Hak Atas Pelayanan Kesehatan,Diakses Tanggal 14 Mei 2016
http://irwanashari.blogspot.com/2008/01/Akibat Aborsi.html, diakses tanggal 14 mei 2016
http://www.kebidanan.org/abortus, diakses tanggal 17 Mei 2016
Peraturan Pemerintah Tentang Aborsi Banyak Kelemahan, www. Peradi. Or. Id/ Indek. Php/Berita/Detail, Diakses Pada Tanggal 14 Mei 2016
Sabrina Asril,Pemerintah Anggap Aborsi Solusi Untuk Atasi Trauma Korban Perkosaan, Kompas.Com, Jakarta, Diakses Pada Tanggal 14 Mei 2016
Jurnal
Loqman ,Loebby, Jurnal Obsetri dan Ginekologi Indonesia, Yogyakarta, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2003
(6)
Pustaka Yustisia, Undang Undang Kesehatan dan Rumah Sakit 2009, UndangUndang Nomor 36 tahun 2009 Kesehatan dan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Jakarta, 2010