T1 752014016 BAB III

BAB III
TEMUAN HASIL PENELITIAN

1. Gambaran Umum Jemaat
Jemaat GKI Lachai Roi Wamena merupakan salah satu jemaat dalam wilayah
pelayanan Klasis GKI Balim Yalimo, yang terletak sekitar kurang lebih 2,5 km sebelah Barat
kota Wamena tepat di tengah lembah Balim. Kota Wamena berada di lembah Agung di atas
puncak pegunungan Jayawijaya. Iklimnya berkisar antara 14,4 dan 25,6 derajat celcius
dengan suhu dingin dan nyaman untuk menjalani kehidupan. Curah hujan rata-rata 2.082
milimeter selama lima tahun, dengan rata-rata 237 hari hujan tiap tahun.1
Jemaat GKI Lachai Roi Wamena terbentuk sejak tahun 1964 sebagai upaya pelayanan
dari jemaat induk GKI Betlehem Wamena kepada beberapa keluarga orang asli Balim
maupun Yali karena mereka beribadah dalam bahasa daerah. Semenjak kira-kira tahun 1975
perkembangan pembangunan dan pemukiman mulai bergerak dari sekitar kota Wamena ke
wilayah HomHom dengan dibangunnya Sekolah Dasar, Puskesmas, Pos Kepolisian dan
Asrama, Perumahan Pegawai, maupun Pasar Sentral Jibama dan lain-lain. Terjadi juga
pembangunan pemukiman penduduk secara spontan maupun oleh para pedagang. Datanglah
ke situ bukan saja orang asli Balim dan Yali, tetapi juga para guru, pegawai negeri, aparat
kepolisian, perawat serta petugas kesehatan dan seterusnya dari berbagai daerah di Papua dan
di Indonesia. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, bertambah juga jumlah warga jemaat
GKI. Jarak yang ditempuh untuk beribadah ke jemaat induk GKI Betlehem Wamena di pusat

kota Wamena dirasakan cukup jauh. Berdasarkan kenyataan ini maka sejak tahun 1980
dimulailah peribadahan dengan dua kategori pelayanan ibadah, yaitu pelayanan ibadah dalam
1

Koentjaraningrat, Bab XIV. Konfederasi Perang dan Pemimpin Dalam Masyarakat Dani; Dalam :
Koentjaraningrat dkk, Irian Jaya. Membangun Masyaraket Majemuk. (Jakarta : Jambatan, 1993), p.258.

29

bahasa daerah untuk jemaat orang asli Balim dan Yali yang berlangsung pada jam 07.0008.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam
09.00-10.00.
Berdasarkan data ststistik sampai dengan akhir tahun 2015, Warga jemaat GKI Lachai
Roi Wamena terdiri dari 348 kepala keluarga (KK) yang berasal dari orang asli Balim dan
Yali, orang Papua dari luar Wamena, yaitu Jayapura, Waropen, Yapen, Biak, Nabire,
Manokwari, Sorong dan seterusnya, orang pendatang dari luar Papua, yaitu Maluku, Toraja,
Jawa, Batak dan lain-lain

dengan jumlah anggota jemaat sebanyak 1155 orang.

Jika


dikategorikan berdasarkan unsur jemaat maka akan nampak jumlah sebagai berikut : jumlah
kaum Bapak (PKB) 307 orang, jumlah kaum ibu (PW) 272 orang, jumlah pemuda (PAM)
148 orang, dan jumlah anak dan remaja (PAR) sebanyak 428 orang. Dengan demikian jemaat
ini memiliki keanggotaan warga jemaat yang majemuk dan multibudaya.
Jemaat GKI Lachai Roi Wamena sejak tahun 2011 dilayani oleh seorang Pendeta, 34
orang Penatua dan 27 orang Syamas. Istri Pendeta Jemaat adalah juga seorang pendeta GKI
yang diberi tugas pokok oleh Klasis GKI Balim Yalimo sebagai Pelayan Jemaat GKI
Putikelek yang berjarak kira-kira 750 meter dari GKI Lachai Roi dan merupakan jemaat asli
orang Wamena. Pelayanan jemaat berlangsung berdasarkan pola umum pelayanan GKI yaitu
persekutuan, kesaksian dan pelayanan kasih berdasarkan urusan-urusan dalam jemaat, yaitu
urusan pekabaran injil, pembinaan jemaat, diakonia, pendidikan, maupun ekonomi, keungan
dan pembangunan.
Pelayanan konseling yang seharusnya menjadi bagian pokok dari program dan
kegiatan Urusan Pembinaan Jemaat tidak nampak dalam Hasil Sidang Jemaat dalam bentuk
tertulis dan terencana, terutama dalam tiga tahun terakhir, yaitu tahun 2012-2015.2 Menurut

2

Majelis Jemaat GKI Lachai Roi Wamena, Hasil Sidang Jemaat 2015. (Wamena: MJ,2015).


30

pendeta Jemaat setempat bahwa tidak nampaknya program pelayanan konseling dalam Hasil
Sidang Jemaat, karena tidak diberikan perhatian kepada pekerjaan pastoral oleh Pelayan
Jemaat sendiri. Salah satu penyebab menurut pendeta adalah karena kondisi cuaca daerah
yang dingin pada sore hingga malam hari yang dapat dijadikan sebagai waktu pelayanan
konseling.3 Ditambah dengan warga jemaat yang dimutasikan bekerja sebagai pegawai
pemerintah maupun polisi/tentara di beberapa daerah pemekaran kabupaten baru seperti di
Yahukimo, Tolikara, Yali maupun Mambramo Tengah dan lain-lain.
Kondisi ini diperkuat dengan pendapat beberapa anggota Majelis Jemaat bahwa apa
yang dikatakan oleh pendeta sebagai pemimpin jemaat diiyakan sebagai suatu perintah dari
atasan kepada bawahan, tetapi juga pendeta dalam banyak hal dipahami sebagai inspirator
dari berbagai program dan kegiatan dalam jemaat. Dikatakan demikian karena pendeta-lah
yang belajar dan dipersiapkan oleh gereja untuk memimpin jemaat-jemaat.4

Konsep

pemikiran ini melekat erat dalam kehidupan Majelis Jemaat dan warga jemaat, sehingga apa
yang menjadi kebijakan dan keputusan pendeta dilakukan sebagaimana disampaikan oleh

pendeta. Kondisi ini disebabkan oleh konsep pendeta sentris yang menempatkan pendeta
sebagai yang mengetahui segala hal dalam kehidupan kerohanian.
Pelaksanaan pelayanan konseling atau lebih tepatnya pelayanan kunjungan kepada
warga jemaat dari pihak pendeta, penatua dan syamas sebagai Majelis Jemaat biasanya
dilakukan pada saat menjelang natal, yaitu pada minggu pertama hingga minggu ketiga bulan
desembar. Dari hasil observasi penulis maupun wawancara dengan pelayan jemaat, maupun
kepada beberapa penatua dan syamas, ditemukan informasi bahwa hal itu pun sebenarnya
hampir merupakan suatu kebiasaan atau tradisi turun-temurun dalam pekerjaan pelayanan
jemaat. Akibatnya banyak diantara warga jemaat tidak terlayani karena ada yang sudah pergi
3
4

Wawancara dengan Pdt. Bram Tanamal tanggal 22 Desember 2015.
Wawancara dengan penatua pada tangga 20 desember 2015.

31

berlibur atau sementara keluar daerah, bahkan tidak cukup waktu untuk melayani kebutuhan
jumlah warga jemaat dengan kemajemukan persoalan kehidupan yang perlu dikomunikasikan
dengan pendeta. Penghambat lain yang terlihat adalah bahwa pada awal bulan desember

sudah menjadi tradisi telah dilaksanakannya perayaan-perayaan natal oleh unsur-unsur
jemaat, kelembagaan adat atau komunitas budaya, instansi pemerintah maupun swasta dan
sebagainya. Hal ini akan menyita waktu pendeta untuk memilih antara melayani ibadah dan
perayaan natal atau memberi perhatian kepada pelayanan konseling dalam jemaat.
Pendeta senior yang adalah suami-istri, mereka telah melayani dalam GKI selama dua
puluh tiga tahun dan menjadikan pekerjaan konseling sebagai prioritas program dan kegiatan
pelayanannya. Dalam suatu percakapan, mereka mengatakan bahwa : “Kegiatan pelayanan
konseling merupakan panggilan dan amanat hakiki yang melekat dalam diri seorang Pendeta
GKI Di Tanah Papua ke manapun ia diutus dan ditempatkan. Sebab dalam Liturgi
Pentahbisan Pendeta GKI maupun Surat Keputusan (SK) peneguhan dan pengangkatan
sebagai Pendeta GKI dalam bagian menetapkan dari SK tersebut pada salah satu diktumnya
menyatakan tentang adanya tiga amanat dan panggilan seorang Pendeta GKI sebagai Pelayan
Firman, yaitu Memberitakan Firman Tuhan, Melayani Sakramen, dan Melaksanakan Pastoral
(yang didalamnya ada konseling)”.5 Jika demikian maka pendeta GKI perlu memberikan
perhatian kepada pelayanan konseling.

2. Realitas Konflik Budaya Suami-Istri Di Jemaat GKI Lachai Roi Wamena
Pada bagian ini penulis hendak memperlihatkan tentang realitas konflik yang terjadi
dalam kehidupan beberapa keluarga di Jemaat GKI Lachai Roi wamena, baik pada pasangan
suami-istri beda budaya maupun pada pasangan suami-istri yang memiliki budaya suku yang

5

Percakapan dengan pendeta senior Januari 2016.

32

sama, yaitu konflik suami-istri sebagai sebuah contoh kasus di Jemaat GKI Lachai Roi
Wamena.
Menurut Pendeta Jemaat bahwa melayani dalam jemaat yang majemuk dari berbagai
suku, memiliki tantangan yang berat karena persoalan dan keperluannya sangat kompleks.
Untuk menjembatani pelayanan dalam jemaat tersebut, maka dalam merencanakan setiap
kegiatan sampai pada tahapan pelaksanaannya, selalu dilaksanakan pertemuan dalam bentuk
rapat dengan melibatkan setiap orang yang mewakili setiap kelompok dan memberlakukan
pelayanan secara merata dalam kehidupan berjemaat, bergeraja dan bermasyarakat. Ada
banyak tantangan yang berkaitan dengan kemajemukan jemaat tersebut, ada banyak cerita
yang harus didengar dari berbagai pihak, kemudian harus ditampung seluruhnya tanpa
membedakan seorang dengan yang lain.6 Artinya bahwa pelayanan yang dilakukan seorang
pendeta dalam konteks jemaat yang majemuk dan multibudaya sedapat-dapatnya harus
mempertimbangkan nilai-nilai persekutuan dan keadilan dalam memberi perhatian maupun
pelayanan yang sama kepada semua anggota jemaat tanpa perbedaan. Jika hal ini tidak

diperhatikan dalam pelayanan oleh pendeta maka akan muncul berbagai sikap dan perilaku
sebagai tanggapan terhadap spiritualitas diri pendeta dan pelaksanaan tugas kependetaan
dalam jemaat.
Berikut adalah hasil penemuan terhadap realitas konflik budaya suami-istri di Jemaat
GKI Lachai Roi Wamena.
2.1. Konflik Budaya Suami Istri Budaya NTT dan Raja Ampat
Suami7 : Bapak A berumur 53 tahun berasal dari daerah Kupang NTT. Ia merupakan anak
ketujuh dari sepuluh bersaudara yang lahir dan besar di Kupang. Ia datang ke
Jayapura sejak berumur lima belas tahun untuk melanjutkan pendidikan dan
6
7

Wawancara dengan Pdt. Bram Tanamal dan Pdt. Enni (istri pendeta) tanggal 20 Desember 2015.
Wawancara tanggal 18 Desember 2015; Konseling tanggal 21 Desember 2015

33

mencari pekerjaan. Bapak A tinggal di Jayapura bersama keluarga ibunya, lalu
menyelesaikan pendidikan sampai mendapat pekerjaan sebagai guru. Kemudian ia
bertugas dan tinggal di kota Wamena hingga sekarang. Pekerjaannya adalah

sebagai

seorang guru yang mengajar pada sebuah sekolah di kota Wamena.

Kedatangannya untuk bekerja sebagai guru di kota Wamena mempertemukannya
dengan istrinya dan membentuk sebuah rumah tangga. Dalam perjalanan
pernikahan mereka takjarang mereka bertemu dengan masalah-masalah dalam
rumahtangga mereka.
Menurut Bapak A, masalahnya hanya merupakan selisih paham antara dirinya
dengan istri dan hal itu dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak terlalu rumit.
Dalam proses penyelesaian masalah suami-istri ini, Bapak A tidak pernah
melibatkan keluarga, baik orang tua dan saudaranya maupun orang tua dan saudara
istrinya.
Cara Bapak A menyelesaikan permasalahan dengan istrinya adalah dengan
berbicara dari hati ke hati dan tidak ingin melibatkan orang lain, seperti orang
tuanya atau orang tua istrinya atau saudaranya maupun saudara istrinya, bahkan
anak-anaknya sekalipun. Kata Bapak A : “jika ada permasalahan yang dianggap
berat, maka sebagai suami yang sering saya lakukan terhadap maitua (istri), adalah
peluk kakinya, mengungkapkan apa yang terjadi, menceritakan kronologis
kejadiannya, lalu akhirinya saya mohon kepada istri untuk memaafkan saya”.

Dengan demikian persoalan dianggap selesai dan kehidupan berjalan normal
kembali seperti biasanya. Jika ada persoalan lain, maka akan dilakukan hal yang
sama untuk berbagai masalah keluarganya.
Bapak

A

berpenampilan

rileks

tetapi

agak

tertutup,

menjaga

kewibawaannya sebagai seorang guru senior dan tua-tua dalam jemaat, menghargai


34

pendeta sebagai pelayan Tuhan, dimata pelayan jemaat Bapak A bersifat playboy,
suka menyembunyikan perbuatan menyimpang dengan kewibawaan dan jabatan.

Istri8

:

Ibu A berumur 43 tahun berasal dari daerah Raja Ampat Papua. Ia merupakan anak
keempat dari sebelas bersaudara yang lahir dan besar di kota Wamena. Pekerjaan
sehari-hari sebagai ibu rumah tangga. Menurut Ibu A, ia dan suaminya tidak ada
masalah sehari-hari di rumah sebagai suami istri, tetapi suaminya selalu hidup
dalam perselingkuhan terus-menerus selama mereka membentuk keluarga dua
puluh lima tahun ini. Hasil perselingkuhan itu telah melahirkan seorang anak dan
kini dipelihara oleh mereka. Ketika ia mendapat informasi atau menemukan bahwa
suaminya berselingkuh, pada tahun-tahun awal selalu terjadi konflik bahkan hingga
kontak fisik dan kekerasan. Tetapi kemudian hal itu terus berulang selama
bertahun-tahun, ia akhirnya pasrah, menerima kenyataan ini dan memilih untuk

berdiam diri. Sampainya ia dalam situasi menerima dan memilih untuk berdiam diri
berpijak pada Nats Alkitab yang selalu digunakan untuk menghadapi kenyataan
hidup suaminya dan merupakan suatu penghiburan dalam hidup yang pasrah itu
adalah “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah
mengeringkan tulang” (Amsal 17:22).

Hal ini dilakukannya hanya untuk

mempertahankan keutuhan keluarga yang sudah dipersatukan oleh Tuhan dalam
pernikahan kudus. Menurut Ibu A bahwa dari gereja dan pelayan jemaat tidak ada
upaya ataupun pelayanan untuk menolong dan menyelesaikan persoalan kami.
Harapannya kalau boleh ada pelayanan pastoral dan konseling dari Pendeta dan
Majelis Jemaat dengan pendekatan-pendekatan untuk belajar dari watak jemaat.
8

Wawancara tanggal 18 Desember 2015; Konseling tanggal 21 Desember 2015

35

Pelayanan gereja dalam konteks ini belumlah menyentuh akar masalah keluarga
kami sebagai warga jemaat.
Ibu A berpenampilan ramah, rileks, selalu memberikan senyuman dan sesekali
tertawa dengan tegar, ia menghargai suami sebagai kepala keluarga dan menjaga
nama baik suaminya sebagai sosok yang dipandang baik oleh jemaat dan
masyarakat. Ibu A rajin beribadah dan melayani sebagai seorang anggota Majelis
Jemaat yang bertanggung-jawab. Di mata pelayan jemaat Ibu A adalah sosok yang
luar biasa karena mampu menerima keberadaan suaminya dan melayani Tuhan
dengan suka-cita.

2.2. Konflik Budaya Suami-Istri Budaya Toraja
Suami 9 : Bapak B berasal dari suku Toraja, berumur 35 tahun anak ketiga dari sepuluh
bersaudara. Berprofesi sebagai buruh (tukang) harian kalau ada panggilan kerja
atau proyek. Bapak B berperawakan kaku, malu-malu dan agak tertutup. Menurut
bapak B masalah yang sering terjadi hanyalah masalah sepele, tetapi diomongkan
dalam kapasitas nada suara yang keras. Jadi masalahnya di penggunaan volume
suara yang terlalu keras, atau cara penyampaian kepada istri dengan nada suara
yang tinggi. Ia juga mengatakan bahwa masalah tidak sering terjadi tetapi
begitulah masalah rumah tangga.
Ketika terjadi masalah yang sering dilakukan oleh bapak B adalah
mendiamkan saja atau mengantung masalah suami-istri. Menurut bapak B
masalah yang sering terjadi antara suami-istri adalah masalah penyampaian yang
tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh istri, karena bapak B lebih sering
menyelesaikan masalah dengan volume suara keras dan nada yang tinggi serta
9

Wawancara tanggal 19 Desember 2015; Konselingl tanggal 21 Desember 2015

36

membiarkan dan menggantung masalah begitu saja. Katanya lagi, jika timbul
masalah ia memilih untuk meninggalkan masalah dan pergi menjauhi istrinya.
Dalam konteks ini bapak B tidak menyelesaikan masalah tetapi menggantungkan
masalah dan menghindarinya. Sikap bapak B demikian terjadi karena cara ia
memahami karakter istrinya sebagai perempuan dimana menurutnya, namanya
juga perempuan, semakin dikasih hati semakin sensitif, jadi dibiarkan saja nanti
juga akan sadar dengan sendirinya.
Jika pada suatu waktu tertentu timbul masalah dengan istri maka masalah
tersebut ternyata tidak menganggu aktifitasnya sebagai buruh dan spiritualitasnya.
Permasalahan yang dialami tersebut tidak menjadi beban bagi bapak B sehingga
didiamkan saja hingga saudara bapak B yang menjabat sebagai majelis jemaat
GKI Lachai Roi meminta pendeta untuk datang mengunjungi bapak B dan
istrinya atas permintaan istri bapak B. Kedatangan pendeta sebenarnya tidak
diharapkan oleh bapak B karena baginya masalah dengan istrinya tidak perlu
dibesar-besarkan tetapi karena pertengkaran sering didengar oleh saudaranya,
sehingga ia menginformasikannya kepada pendeta untuk melakukan kunjungan
kepada bapak B dan istrinya.
Bapak B mengatakan bahwa penyelesaian yang diberikan oleh pendeta adalah
agar bapak B bersama istri segera menikah karena dalam hubungan antara bapak
B dan istrinya belum diikat dalam suatu pernikahan kudus.

37

Istri 10 : Ibu B berasal dari suku toraja, berusia 32 tahun, anak ketiga dari enam
bersaudara, dan sebagai ibu rumah tangga. Menurut ibu B konflik sering terjadi
karena beberapa masalah, yaitu masalah ekonomi keluarga, relasi dengan ibu
mertua, cemburu dengan perempuan lain, kejujuran suami, dan cara atau gaya
penyelesaian konflik.
Menurut ibu B dalam masalah ekonomi sang suami

tidak adil untuk

pembagian biaya hidup. Biaya hidup yang seharusnya cukup untuk kebutuhan
keluarga kecil mereka menjadi tidak cukup karena harus berbagi dengan ibu
mertua yang menuntut lebih dari hasil kerja bapak B sebagai anaknya.
Masalah uang ini paling sering menimbulkan pertengkaran mereka, bahkan
relasi antara ibu B dengan mertuanya menjadi tidak rukun.
Masalah uang yang diberlakukan tidak adil oleh bapak B ini menimbulkan
asumsi-asumsi yang tidak menentu oleh ibu B. Ia menyatakan bahwa
suaminya tidak jujur dan tidak adil karena ibu mertua yang selalu menuntut
lebih dari hasil pekerjaan anaknya. Masalah ini memicu sakit hati ibu B
terhadap ibu mertuanya. Ia menyatakan bahwa ibu mertua pintar kritik orang
tetapi anak-anaknya sendiri tidak dididik dengan benar dan gemar menggosip.
Selanjutnya ibu B juga sering cemburu kepada perempuan lain, karena ia
sering mendapati sms dari perempuan lain dalam hpnya bapak B sehingga ia
protes terhadap suaminya tetapi tidak didengarkan oleh suaminya. Hal ini pun
menimbulkan konflik antara suami-istri. Ketika ada masalah-masalah seperti
yang telah disebutkan di atas, bapak B dan ibu B tidak menyelesaikan masalah
tersebut tetapi meninggalkan masalah-masalahnya menggantung. Bapak B

10

Wawancara tanggal 19 Desember 2015; Konseling tanggal 21 Desember 2015

38

sering emosi dan mengeluarkan nada suara yang keras sehingga memicu emosi
yang sama dari ibu B. Kata ibu B, jika ada masalah antara suaminya dengan
ibunya, bapak B sering melampiaskan emosi kepada istri dan anaknya. Pada
akhirnya ibu B menyimpulkan bahwa semua sumber permasalahan dalam
keluarga dikarenakan oleh ibu mertua, oleh sebab itu ia menyalahkan mertua
karena menuntut bapak B memenuhi kebutuhannya. Jika harapan mertua akan
marah kepada anaknya, lalu dilampiaskan juga oleh anaknya atau bapak B
kepada istri dan anak. Hal ini terjadi terus-menerus.
Jadi menurut ibu B masalah selalu datang karena mertua, ia pun menaruh
dendam, sakit hati, kecewa dan marah sehingga mempengaruhi aktifitas dan
spiritualitasnya.
Ibu B dalam kekecewaannya terhadap suami maupun mertua dan dengan
segala situasi yang ia alami, menanyakan kepada penulis katanya : “saya mau
tanya ke pendeta, apakah berdosa kalau saya mempunyai perasaan seperti ini
terhadap ibu mertua ?” Artinya bahwa ia merasakan adanya suatu kesulitan
besar dalam kehidupan keluarganya dan tidak ada yang mau menolongnya
keluar dari masalah bersama suami dan hal ini sangat mengganggu segala
aktifitasnya.

Ditambah lagi dengan tidak adanya penanganan dari gereja

sehingga saudara dari bapak B yang menjabat sebagai majelis jemaat
mendatangi ibu B.
Penanganan itu pun tidak membuahkan hasil yang maksimal karena ibu B
masih ragu-ragu dengan keputusan pendeta yang menyarankan supaya segera
melakukan pernikahan. Ia masih ragu-ragu dan bertanya-tanya dalam hati
apakah yang akan dilakukannya itu benar ? Ibu B masih terlalu sakit.

39

2.3. Konflik Budaya Suami-Istri Budaya Wamena
Suami 11 : Bapak C berumur 53 tahun, anak ketiga dari tujuh bersaudara, ia bekerja
sebagai pegawai negeri. Bapak C berperawakan malu-malu dan tertutup
dalam mengungkapkan permasalahan-permasalahannya bersama istri. Bapak
C tidak merasa bahwa dalam hubungannya bersama istri ada masalahmasalah tertentu, tetapi bapak C mengakui bahwa ia belum memberikan yang
terbaik dan masih menjadi suami yang mementingkan dirinya sendiri. Bapak
C bekerja terlalu fokus hingga mengabaikan istri, bahkan dalam hal memberi
uang belanja. Bapak C mengakui bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun
belakangan ini, ia tidak memberikan uang sepeser pun untuk istrinya. Ia
memilih untuk menghabiskan uang tersebut sendiri. Ia juga mengatakan
bahwa ia memiliki permasalahan batin yang tidak dapat disampaikan.
Permasalahan batin ini berkaitan dengan relasi dengan istri sehingga ia
memutuskan untuk menghabiskan gajinya sendiri tanpa berbagi.
Kehidupan sehari-hari bapak C menunjukan bahwa ia mengabaikan
permasalahannya dan menganggap keadaan itu seperti biasa saja layaknya
suami-istri, tetapi ia tetap mempunyai permasalahan tersendiri terhadap
istrinya yang terlalu fokus pada pelayanan. Dengan demikian bapak C
mempermasalahkan pelayanan istrinya di Jemaat GKI Lachai Roi Wamena.

Istri 12

: Ibu C berusia 51 tahun anak pertama dari dua orang bersaudara,
pekerjaannya selain sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai seorang petani.

11

Wawancara tanggal 20 Desember 2015; Konseling tanggal 21 Desember 2015

12

Ibid

40

Ibu C dalam hubungannya bersama bapak C selama kurun waktu sepuluh
tahun belakangan ini mengalami pergumulan. Pergumulan itu adalah tentang
kondisi ekonomi keluarga, relasi suami istri dan pelayanan dalam jemaat.
Menurut ibu C, walaupun bapak C bekerja sebagai pegawai negeri
namun tidak membiayai ibu C selama sepuluh tahun terakhir ini. Tindakan
ini dilakukan bapak C dengan alasan karena ibu C mementingkan
pelayanannya di gereja dari pada mengurus bapak C. Suami merasa tidak
diperhatikan karena ibu C sibuk pelayanan.
Ada

kecemburuan dari bapak C terhadap ibu C karena

keterlibatannya dalam pelayanan jemaat. Hal ini menurut ibu C merupakan
ujian dari Tuhan. Sebenarnya bapak C tidak memberikan uang kepadanya
dan ia biasanya hidup dalam kemabukan, perselingkuhan dan berfoya-foya.
Kondisi bapak C seperti tersebut membuat pada akhirnya ibu C hidup tidak
tergantung lagi pada gaji suaminya tetapi ia pun bekerja sendiri menjadi
seorang petani dan menjual hasil tanaman itu untuk membiayai hidupnya
sendiri.
Berpenghasilan sendiri sebagai petani, ibu C tumbuh menjadi sosok
perempuan yang menguatkan perempuan lain yang mengalami hal-hal yang
sama atau bahkan lebih buruk dari dirinya. Ia menyatakan bahwa walaupun
hidupnya bersama suami mengalami pergumulan berat dalam hal ekonomi,
tetapi ia bersyukur dari pergumulannya bersama suami itu ia bertumbuh
menjadi perempuan yang mandiri.
Tentang kecemburuan suami terhadap pelayanan ibu C menurut
bapak

C,

karena

istrinya

lebih

sering

pelayanan

dibandingkan

memperhatikan suami. Ibu C sering memberikan penjelasan jika pulang
41

terlambat atau tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan suami, tetapi
bapak C tetap menggantungkan saja permasalahan mereka dan enggan
membicarakan masalah-masalah tersebut.
Jadi masalah antara ibu C dan bapak C adalah tentang ekonomi dan
pelayanan. Walaupun demikian permasalahan antara ibu C dan bapak C
tidak mengganggu aktivitasnya ibu C sebagai petani dan pelayan.
2.4.

Hasil Temuan terhadap Konflik Budaya Suami Istri Budaya NTT dan Raja
Ampat
Berdasarkan kenyataan dalam kehidupan keluarga di atas sebagai satu contoh realitas

konflik sumi istri beda budaya, maka berikut ini akan dilakukan pengkajian terhadapnya
untuk menemukan penyebab konflik dan budaya yang menyertai konflik tersebut.
Suami (Bapak A) : Bapak A telah mengalami tiga fase dalam kehidupannya. Fase pertama
dialami dalam kehidupan bersama orang tuanya di Kupang dan hal itu
telah berlangsung selama empat belas tahun. Kemungkinan masa
kecilnya dilalui dengan ketakutan karena selalu dimarahi maupun
dipukuli baik oleh kedua orang tuanya maupun kakak-kakanya. Hal itu
nampak dalam kebiasaan bertelut di kaki istrinya dan mohon maaf atas
kesalahannya. Kebiasaan bertelut ini telah dibawah sejak kecil hingga
dewasa sebagai akibat dari konteks pertumbuhan hidupnya. Shiraev dan
Levy menyebut keadaan ini sebagai bagian dari perkembangan manusia
dan sosialisasinya

yang berhubungan dengan perubahan pada fisik,

psikologis dan perilaku sosial yang dialami individu selama rentang
kehidupannya - dari lahir sampai mati. Artinya orang mengalami
perubahan hidup, baik positif maupun negatif, berpindah tempat atau

42

tetap tinggal di suatu tempat.13 Fase kedua dialaminya ketika ia datang
ke Jayapura dan berdomisili di sini sejak berumur lima belas tahun
sampai umur dua puluh satu tahun, selama kurang lebih enam tahun. Ia
bertumbuh pada masa remaja hingga pemuda di luar lingkungan
keluarganya, yaitu bapa, ibu dan saudara-saudara sekandungnya. Ia
tinggal bersama saudara ibunya sambil melanjutkan pendidikan.
Pengalaman ini lebih sulit dan keras jika dibandingkan dengan
kehidupan di Kupang. Ia harus bekerja keras, mengambil hati tantenya,
mencuri waktu untuk belajar, bahkan mungkin ia tidak mempunyai
waktu bermain seperti layaknya banyak remaja dan pemuda. Tetapi ia
berusaha mandiri untuk menyelesaikan pendidikan dan kalau boleh
mendapat pekerjaan yang layak supaya ia bebas dari segala kenyataan
hidup ini. Tujuan hidupnya hanya satu, yaitu menyelesaikan pendidikan
lalu bekerja. Akhirnya fase kedua ini pun ia lalui dengan baik. Tetapi
masalah yang ia temukan dan hal itu berat baginya adalah, ia kehilangan
kasih-sayang. Ia kehilangan kasih sayang dari kedua orang tuanya, dari
saudara-saudara sekandungnya, mungkin juga kasih sayang di masa
remaja dan pemuda dari seorang kekasih tidak ia dapatkan. Apakah kasih
sayang ini akan dia gapai ketika memasuki masa berumah tangga ?
Ataukah ia akan menggunakan masa bekerja untuk merajut kasih sayang
itu di tempat kerja atau di lingkungannya yang baru nanti ? Fase ketiga
merupakan fase

ganda, yaitu fase ketiga awal, dimana ia mendapat

pekerjaan sebagai seorang guru, mendapat penghasilan tetap sebagai

13

Eric B. Shiraev, David A. Levy, Psikologi Lintas Kultural. Pemikiran Kristis dan Terapan Moderen. (Jakarta :
Kencana, 2012), p.280.

43

seorang pegawai negeri dan mendapat awal kasih sayang dari para siswa
siswi di sekolah, ia mendapat penghargaan dan saling menghormati dari
teman sekerja; sedangkan fase ketiga berikutnya adalah ia mulai
memikirkan teman hidup yang akan menjadi istrinya, yaitu seorang
perempuan yang daripadanya ia mendapatkan kasih sayang yang hilang
selama ini. Masalahnya adalah ia telah bertumbuh menjadi seorang yang
plin-plan dalam mengambil keputusan karena ketakutan membuat
kesalahan. Dalam hal berpacaran di masa dewasa, ia dikenal sebagai
seorang playboy. Kemungkinan besar konteks kota Wamena pada masa
tahun 1990 ke atas bahkan sebelumnya merupakan suatu daerah yang
sulit keluar jika telah berada di dalamnya. Populasi kaum lelakinya
sedikit sedangkan kaum perempuannya lebih banyak. Ini juga menjadi
salah satu faktor pemicu keretakan banyak rumah tangga di kota
Wamena.14 Dalam keadaan ini ia menemukan seorang perempuan Raja
Ampat yang kemudian menjadi istri. Setelah memasuki kehidupan
berumah tangga, awalnya dijalani dengan baik, tetapi setelah kelahiran
anak ketiga, keadaan menjadi berubah. Bapak A merasa tidak
diperhatikan oleh istrinya, karena harus mengurus dan mengasuh anak
anak. Kasih sayang yang ia harapkan dari sang istri yang telah ada,
rupanya mulai menjauh dari padanya. Terjadi konflik batin dalam diri
Bapak A karena istrinya pun kurang menyadari akan hal ini atau bahkan
tidak peka budaya suaminya. Pada fese ketiga inilah keadaan semakin
rumit.

Persoalan keluarga semakin tidak menentu. Bapak A kini

menghargai pekerjaannya yang telah diperoleh melalui susah payah dan

14

Percakapan dengan Pendeta yang pernah melayani pada tahun 1990-an di Wamena.

44

kerja keras itu. Ia kurang menghargai keluarganya karena apa yang ia
harapkan dalam keluarga melalui istrinya itu ternyata belum ia temui,
yaitu kasih sayang. Itulah sebabnya Bapak A mencari kasih sayang di
luar rumah dengan cara berselingkuh dan suka mengganti pasangan
selingkuhnya. Sumber konflik berasal dari kebutuhannya akan kasih
sayang yang tidak terpenuhi. Pruit dan Rubin menyebut kebutuhan
seseorang sebagai sumber konflik dengan istilah kepentingan (interes)
adalah perasaan orang mengenai apa yang sesungguhnya ia inginkan.
Perasaan itu cenderung bersifat sentral dalam pikiran dan tindakan orang,
yang membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan nilai (intensi)-nya.15
Rupanya Bapak A cenderung memiliki sikap mempertahankan
kebutuhannya sebagai bagian budaya hidupnya sementara di pihak lain
istrinya tidak peka budaya terhadap kebutuhan suaminya. Artinya bahwa
Bapak A ingin supaya kebutuhannya dipenuhi, sementara di pihak lain
istrinya menghalangi akan kebutuhan Bapak A sebagai bentuk kepuasan
hidup jika kebutuhannya terpenuhi. Akibatnya semakin besar perbedaan
kebutuhan di masing-masing pihak lalu lahirlah konflik. Memang benar
bahwa Bapak A telah melakukan kesalahan dan dosa dari segi iman dan
ketaatan kepada Tuhan, tetapi dalam trangka penanganan konflik ini
maka harus dilakukan kajian terkait dengan konteks sosial dan budaya
suami istri.
Istri (Ibu A) : Ibu A tidak memiliki masalah di masa lalu seperti suaminya. Sebagai anak
keempat dari sebelas bersaudara yang lahir dan besar di kota Wamena, ia
sepertinya berada di rumah sendiri, dekat dengan orang tua sehingga ia
15

Dean G. Pruitt, Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, p.21

45

mengganggap ada sandaran ketika ia mengalami masalah keluarganya.
Sebagai anak keempat, ia berfungsi sebagai kakak dari tujuh orang adiknya.
Di sini ada konsep dan praktek ‘ketuaan’ artinya ia merasa bahwa ia adalah
kakak harus didengar, diikuti dan menjadi panutan, karakter ini telah
bertumbuh dalam hidup keluarganya. 16 Itu berarti bahwa ia tidak mempunyai
persoalan khusus di masa lalu, tetapi ia memiliki persoalan khusus di masa
kini, yaitu persoalan ketidakharmonisan dalam hidup sebagai suami istri.
Dari percakapan dengan Ibu A, penulis mendapat kesan bahwa sebelum
menikah dengan suaminya, ia telah mengenal watak dan karakter hidup
suaminya. Mungkin juga sudah dinasehati oleh orang tua dan keluarganya
supaya ia mempertimbangkan sebelum mengambil keputusan untuk menikah
dengannya tetapi tidak dipedulikannya. Hal ini nampak dalam konsep hidup
dan penangan masalah rumah tangganya, yaitu ia pasrah pada kenyataan
hidup yang dijalani bersama suaminya. Karena itu ia berharap atau
bergantung pada pelayanan gereja. Bagi dia hanya gereja yang dapat
menolongnya keluar dari permasalahannya. Itulah juga yang menjadi salah
satu alasan ia melayani dengan penuh sukacita dalam gereja. Tetapi apa yang
ia harapkan dari pelayanan gereja terhadapnya ternyata tidak terjadi. Ia
kembali pada prinsip hidupnya yaitu pasrah pada kehendak Tuhan. Pruit dan
Rubbin menyimpulkan bahwa konflik biasanya terjadi ketika norma sosial
dalam keadaan lemah atau sedang mengalami perubahan.17 Ketika pelayanan
konseling dari pihak pendeta jemaat menjadi lemah maka konflik semakin
tidak teratasi, apalagi diperkuat dengan aturan, norma dan kebiasaan
perselingkuhan dalam masyarakat yang cenderung dibiarkan berlangsung
16
17

Eric B. Shiraev, David A. Levy, Psikologi Lintas Kultural., p.280.
Dean G. Pruitt, Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, p.32

46

sebagai suatu kebiasaan sekelompok orang untuk mencari kepuasan hidup,
maka konflik dalam keluarga keluarga akan terus meningkat. Akibatnya
banyak di antara suami istri akan datang pada sikap pasrah dan bergantung
pada pihak lain terutama kepada pelayanan gereja.
Ibu A ketika memasuki fase pasrah pada kenyataan karena konflik
dengan suaminya maupun selingkuhannya tidak dapat diselesaikan, maka ia
merubah sikapnya dari sikap contending, yaitu suka bertengkar dengan diri
sendiri atau batinnya dan suaminya menjadi sikap yielding, yaitu suka
mengalah atau pasrah dengan cara menurunkan kemauannya untuk
bertengkar dan bersedia menerima kurang dari yang sebetulnya ia inginkan. 18
Hal ini disampaikan oleh Paul D. Meier (dkk) tentang pembentukan sikap
dan bagaimana sikap itu bisa dipengaruhi dan dirubah.19 Mereka
mengemukakan bahwa sikap terdiri dari pikiran, perasaan dan kecenderungan
untuk bertindak berdasarkan pikiran dan perasaan. Kredibilitas seseorang
yang berusaha mengubah sikap merupakan faktor yang penting dalam
menentukan kesuksesan.20 Dalam konteks pemahaman ini dimengerti bahwa
Ibu A telah merubah konflik pemahaman dalam dirinya karena ia telah
berusaha mempertahankan dua pemikirannya yang saling bertolak belakang,
yaitu bertengkar atau pasrah. Pada akhirnya Ibu A memilih untuk pasrah
yang dinyatakan dalam tindakan dengan harapan ia dapat menerima yang
diinginkannya, yaitu keharmonisan hidup sebagai suami istri berdasarkan
firman Tuhan. Inilah yang sekarang sedang dinantikan. Kapan hal itu terjadi ?
Siapakah yang dapat menolong mereka ? Inilah konflik batin dalam diri Ibu
18

Dean G. Pruitt, Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, p.4-5
Paul D. Meier (eds), Pengantar Psikologi dan Konseling Kristen 1. (Yogyakarta : Andi Offset, 2004), p.181.
20
Ibid, p.181.

19

47

A yang terus dibawa, digumuli dan didoakan setiap waktu. Semakin panjang
waktu pergumulannya, semakin ia akan tertekan dalam dirinaya, sehingga
dalam keadaan sakit sekalipun ia berbuat dan berpenampilan seolah-olah ia
tidak sakit. Kepada penulis Ibu A mengatakan, ia sedang mengidap penyakit
kanker payudara dan sementara diobati melalui terapi herbal. Informasi ini
menyatakan tentang beratnya beban hidup Ibu A tidak seperti yang ia katakan
pada penulis.

Shiraev dan Levy menulis tentang bias bahasa evaluatif

sebagaimana penulis alami bersama Ibu A, di mana bahasa memiliki banyak
fungsi yang salah satunya dan itu yang terpenting adalah membantu kita
untuk mendeskripsikan berbagai macam fenomena, seperti kejadian, situasi,
dan orang : “Apakah itu ?” Tujuan lainnya adalah mengevaluasi fenomena
yang sama : “Apakah itu baik atau buruk ?” Biasanya, kita menganggap
deskripsi adalah objektif, dan evaluasi adalah subjektif.... Jadi istilah yang
kita pakai tidak hanya untuk mendeskripsikan tetapi juga merumuskan apa
yang kita inginkan dan apa yang tidak kita inginkan. 21 Penulis memahami
bahwa ketika ibu A mengatakan : “saya sedang mengidap penyakit kanker
payudara”, Ibu A hendak menyampaikan dua hal kepada penulis, yaitu
ungkapan pasrah pada kenyataan hidup suaminya disebabkan karena
penyakitnya yang rawan kematian. Fase bertengkar telah dirubahnya ke fase
pasrah terutama berada pada titik balik penemuan penyakit dalam dirinya di
satu pihak, dan pilihan untuk melayani Tuhan dengan suka-cita di pihak lain.
Ungkapan pasrah yang dipakai oleh ibu A hendak memformulasikan apa
yang ia inginkan yaitu sembuh dari kesakitannya dan terlepas dari
pergumulan ketidakharmonisan hubungan suami istri dalam keluarganya.

21

Eric B. Shiraev, David A. Levy, Psikologi Lintas Kultural., p.75.

48

2.5. Hasil Temuan terhadap Konflik Budaya Suami-Istri Budaya Toraja
Berdasarkan kenyataan dalam kehidupan keluarga di atas sebagai satu contoh realitas
konflik sumi istri asal Toraja, maka berikut ini akan dilakukan pengkajian terhadapnya untuk
menemukan penyebab konflik dan budaya yang menyertai konflik tersebut.
Suami (Bapak B) : Tujuan utama migrasi spontan hampir semua masyarakat non Papua ke
Papua adalah untuk mencari pekerjaan dan mengembangan usaha
ekonomi mereka. Karena itu segala usaha dan pekerjaan akan ditekuni
untuk mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya. Pekerjaan dan usaha
untuk penghidupan ini begitu penting dan berharga sehingga segala cara
dan pendukungnya akan dikorbankan demi mempertahankan apa yang
telah dicapai.22 Hal ini menurut pengamatan penulis terjadi pada satu
keluarga asal Toraja di Wamena. Dengan keahlian sebagai buruh
bangunan, bapak B telah datang ke Wamena dan bekerja semaksimal
mungkin untuk mendukung kehidupan istri dan anaknya di Wamena
tetapi juga ibunya di kampung halaman. Tanggung-jawabnya terhadap
ibunya masih melekat bersamaan dengan tanggung-jawabnya terhadap
istri dan anaknya. Bapak B memahami pekerjaan sebagai yang utama
sehingga istrinya dilihat sebagai pendukung pekerjaannya. Jika ternyata
istrinya dianggap tidak mendukung apa yang dinginkannya, maka akan
terjadi konflik.
Di sini bapak B bersifat egois, ingat diri dan menganggap
remeh istrinya. Istrinya dianggap merupakan bagian kedua dari
kehidupannya dan pekerjaannya. Pengaruh ibu sangat dominan terhadap
anaknya. Artinya ibu mendapat posisi yang penting dalam komunikasi
22

Wawancara dengan Pendeta senior GKI di Jayapura Februari 2016.

49

keluarganya, sedangkan istrinya tidak mengalami hal itu secara baik.
Untuk mendukung karakter egois dan ingat diri bapak B
tersebut, dalam konflik dengan istrinya, ia selalu menggunakan volume
suara yang keras dengan intonasi yang tinggi. Hal ini dilakukan untuk
membiaskan realitas yang sesungguhnya, sebab volume suara yang
keras dan intonasi yang tinggi merupakan bahasa nonverbal yang
digunakan dalam komunikasinya dengan ibu B sebagai istrinya.
Sarwono menyebut bahasa nonverbal sebagai simbol komunikasi
relatif.23

Artinya

dengan

simbol

tersebut

seseorang

hendak

membenarkan apa yang tidak dikehendaki oleh pihak lain. Di sini
terjadi bias bahasa dan bias asimilasi, yaitu bapak B menggunakan
skema kebenaran dirinya dengan bahasa nonverbalnya untuk
mengalihkan apa yang kelihatan dan terjadi bersama istrinya ke dalam
kosep skema diri sendiri.24
Di satu pihak bapak A secara sadar melakukan bias budaya
terhadap istrinya, tetapi di pihak lain ibu B tidak peka budaya
suaminya. Di sini konflik budayapun terjadi sehingga masing-masing
pihak akan menjalankan pilihannya demi mempertahankan kehidupan
rumah-tangga di mata masyarakat.
Istri (Ibu B) : Pemicu konflik rumah tangga yang utama adalah kehadiran ibu bapak B,
sebagai mertua dalam kehidupan keluarganya. Ibu mertua selalu mengatur
pekerjaan anaknya, mengatur keuangan anaknya bahkan mungkin mengatur
tentang bagaimana suami mengatur istrinya. Akibatnya komunikasi lebih
23
24

Sarlito Sarwono, Psikologi Lintas Budaya, p.59
Eric B. Shiraev, David A. Levi, Psikologi Lintas Kultural, p.75-79.

50

banyak dibangun oleh bapak B dengan ibunya ketimbang dengan istrinya.
Komunikasi antara suami istri yang kurang dibangun ini telah menimbulkan
kecurigaan dari pihak istri terhadap suami. Faktor kejujuran dalam
pembagian keuangan dari pihak bapak B kepada Ibu B telah menjadi salah
satu pemicu konflik dan pertengkaran rumah tangga. Keadaan inilah yang
dimaksud oleh Pruit dan Rubbin

ketika menyimpulkan bahwa konflik

biasanya terjadi ketika norma sosial dalam keadaan lemah atau sedang
mengalami perubahan.25 Kondisi dimana seorang suami wajib secara jujur
menginformasikan tentang hasil kerjanya dan memberikannya kepada istri
baik dalam bentuk uang atau barang adalah hal yang diakui sebagai norma
umum kehidupan suatu keluarga. Ketika norma umum ini lemah dan
mengalami perubahan dalam konteks keluarga bapak B dan ibu B, maka hal
itu menimbulkan ketidak percayaan dan rasa curiga dari pihak istri terhadap
suami atau sebaliknya. Itulah akar munculnya konflik.
Masalah keluarga yang dialami ibu B adalah soal ekonomi keluarga, relasi dengan ibu
mertua, kecemburuan dan seksualitas serta cara penyelesaian konflik oleh
suami. Hal ini nampak ketika ibu B bertanya kepada penulis katanya :
“saya mau tanya ke pendeta, apakah berdosa kalau saya mempunyai
perasaan seperti ini terhadap ibu mertua ?” Artinya bahwa ia merasakan
adanya suatu kesulitan besar dalam kehidupan keluarganya baik masalah
ekonomi keluarga, relasi suami istri, perselingkuhan sampai pada nilai
kejujuran suaminya berpangkal pada sikap dan perilaku ibu mertuanya.
Apakah salah, sebagai menantu dan istri ia bersilang pendapat dengan
mertuanya ? Ungkapan “apakah berdosa” yang dipakai oleh ibu B hendak

25

Dean G. Pruitt, Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, p.32

51

memformulasikan apa yang ia inginkan yaitu : pertama, ia hendak mendapat
kepastian dari tindakannya apakah sesuai dengan kehendak Tuhan ataulah
salah ? Terutama terkait dengan hukum Tuhan, hormatilah ayahmu dan
ibumu.... Dan kedua ungkapan ini hendak mendeskripsikan tentang hal
pemberkatan pernikahan terhadap kehidupan mereka yang ditunda dan
menggantung.

2.6. Hasil Temuan terhadap Konflik Budaya Suami-Istri Budaya Wamena
Berdasarkan kenyataan dalam kehidupan keluarga di atas sebagai satu contoh realitas
konflik sumi istri asal Wamena maka berikut ini akan dilakukan pengkajian terhadapnya
untuk menemukan penyebab konflik dan budaya yang menyertai konflik tersebut.
Suami (Bapak C) : Ada empat hal utama penyebab konflik keluarga, yaitu masalah ekonomi
dan keuangan keluarga, masalah seksualitas, masalah anak dan masalah
relasi dengan orang tua. Jika dalam satu keluarga terjadi salah satu dari
keempat penyebab ini maka akan muncul konflik dalam keluarga. Bapak
C tidak mempunyai relasi yang harmonis dengan istrinya selama sepuluh
tahun terakhir, tetapi mereka tetap merupakan satu keluarga yang tinggal
bersama. Pertanyaannya adalah : Bagaimana hubungan intim suami istri
dapat terjadi ? Apakah mereka pisah ranjang ? Bagaimana relasi dan
komunikasi dengan orang tua suami atau istri ? Bagaimana mungkin
mereka mempunyai masalah ekonomi dan keuangan yang serius sebab
mereka belum memiliki anak ? Dari ungkapan bapak C ketika ia berkata
kepada penulis : “saya memiliki permasalahan batin yang tidak dapat saya
sampaikan.” Kata-kata ini mengemukakan tentang ideologi orang Balim
tentang nilai-nilai luhur dalam kehidupan. Dalam kaitan ini Simon Itlay

52

(dkk) mengungkapkan bahwa : setiap kali orang Balim terbentur pada
halangan dan rintangan dalam usaha mewujudkan hidup baiknya, ia
bertanya kepada dirinya dan kepada orang lain serta alam sekitar dan
kepada para leluhur.
Pertanyaannya adalah :
-

Henore kii ? artinya : mana yang baik ?

-

Hanogenhe kii ? artinya : mana yang lebih baik ?

-

Hanorogo logousakhe kiitogo ? artinya : bagaimana bisa hidup

-

Nelaluknen weak agaike ? artinya : mengapa menjadi buruk ?

baik ?

Bapak C sedang mengalami konflik kepribadian sebagai akibat dari
ideologi budaya terutama dalam pertanyaan : Hanorogo logousakhe kiitogo ?
artinya : bagaimana bisa hidup baik ? Nelaluknen weak agaike ? artinya :
mengapa

menjadi

buruk

?

Pertanyaan

konflik

ideologi

budaya

interpersonalnya adalah mengapa ia belum memiliki anak ? Jika ia belum
memiliki anak, bagaimana ia dapat hidup lebih baik ? Ia menghargai istrinya
sebagai manusia yang berbudaya, tetapi ia belum dapat menerima bahwa
istrinya belum dapat memberikan anak dalam keluarga mereka.
Kenyataan tentang perilaku hidupnya selama sepuluh tahun terakhir di
mana ia hidup dalam kemabukan, perselingkuhan dan foya-foya adalah
pelampiasan kelemahan dirinya yang belum dapat menempatkan diri dalam
konteks masyarakat adat Balim yang harus memberikan keturunan kepada
suku bangsanya. Kelahiran seorang anak dalam konteks manusia Balim adalah
hal yang terpenting karena anak, apalagi anak laki-laki merupakan pusaka
untuk mempertahankan kelanjutan kehidupan manusia Balim.

53

Istri (Ibu C) : Ibu C menyadari akan keberadaannya sebagai seorang perempuan Balim yang
belum dapat memberikan keturunan bagi suku bangsanya. Ia sadar bahwa ia
memiliki kekurangan dalam hal yang prinsip dari kelanjutan hidup suatu
generasi. Karena itu ia mencoba untuk tenang supaya dapat terlibat dalam
pelayanan sebagai bagian dari pergumulannya untuk memperoleh anak dari
pada Tuhan pemilik kehidupan ini.
Ada dua hal yang dilakukan ibu C ketika memasuki masa krisis
keluarganya, terutama pada kurun waktu satu dekade terakhir ini, yaitu ia
kembali menekuni pekerjaan sebagai petani sambil berdagang dan melayani
Tuhan sebagai anggota Majelis jemaat. Orang Balim hidup dari bercocok
tanam dan beternak babi. Dalam tradisi bercocok tanam, ladang atau kebun
dibuka dengan menebang pohon, membersihkan dan membakar dikerjakan
oleh kaum lelaki. Selanjutnya kaum perempuan menanam kebun dengan
tanaman, sedangkan kaum lelaki melanjutkan pekerjaan membuat pagar
sekeliling kebun dengan kayu maupun batu-batu. Waktu pemeliharaan
tanaman hingga panen dilakukan oleh kaum wanita.26 Ada pembagian kerja
dan tanggung-jawab yang harmonis antara laki-laki dan perempuan. Dalam
konteks budaya Balim, kaum wanita adalah pekerja untuk menanam,
memelihara, hingga panen. Setelah tersentuh dunia pasar, maka mereka juga
yang menjadi pedagang hasil kebun. Ini bukan hal baru, pekerjaan tersebut
adalah bagian dari kehidupan kaum perempuan Balim. Ketika suaminya tidak
memberikan gaji

26

kepada

istrinya, ia

kembali

menjalankan hakekat

Koentjaraningkat, Konfederasi Perang dan Pemimpin dalam Masyarakat Dani. Dalam : Koentjaraningrat
(dkk), Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk, p. 160-162.

54

kehidupannya dan hal itu tidak menimbulkan konflik. Masalah uang tidak
menjadi penyebab untuk melakukan konflik dari pihak istri terhadap suaminya.
Menjadi anggota Majelis Jemaat tidak terjadi berdasarkan kemauan
seseorang, tetapi hal itu terjadi berdasarkan hasil pemilihan jemaat. Dalam
pergumulan dan permasalahan keluarga, ibu C terpilih untuk menjabat Majelis
Jemaat. Tetapi kemudian hal ini telah menjadi pemicu konflik suami istri ini.
Pertanyaannya adalah apakah hal ini terkait dengan sikap kecemburuan bapak
C sebagai suami terhadap istrinya di satu pihak, atau suatu protes kepempinan
seorang perempuan dalam keluarganya ?

3. Penanganan Konseling Lintas Budaya Suami-Istri di Jemaat GKI Lachai Roi
Wamena.
Ada beberapa salah pengertian tentang pelayanan konseling dari sudut anggapan
dasar pemikiran, prinsip atau ide utama yang dipakai untuk mengarahkan praktik konseling
pastoral. Pertama, konseling pastoral merupakan suatu proses percakapan timbal balik antara
konselor dan konseli; Kedua, konseling pastoral dipahami sebagai suatu proses wawancara
dari konselor terhadap konseli; Ketiga, konseling pastoral dilihat dalam kaitan dengan hal
mengajar dan menasihati dari pihak konselor kepada konseli; Keempat, konseling pastoral
sebagai suatu bentuk konsultasi, yaitu adanya hubungan antara konselor sebagai ahli dan
klien sebagai yang membutuhkan keahlian konselor dalam memecahkan masalahnya; Kelima,
konseling pastoral sebagai proses terapi dan pengobatan ketidaknormalan emosional-mental
spiritual dari pihak konselor terhadap konseli; Keenam, konseling pastoral sama dengan
berkhotbah, berceramah atau penginjilan.27
Sejauh yang penulis amati dan wawancara dengan beberapa pendeta GKI Di Tanah

27

Toto S. Wiryasaputra & Rini Handayani, Pengantar Konseling Pastoral, p.53-59.

55

Papua, ternyata kesalahpahaman inipun masih ada dan nampak dalam praktek pelayanan
gereja khususnya dalam diri para pendeta. Dalam Peraturan Penggembalaan GKI Di Tanah
Papua, disebutkan tentang bentuk-bentuk penggembalaan yang dilakukan oleh GKI Di Tanah
Papua, salah satunya adalah melalui ibadah-ibadah jemaat dan khotbah.28 Hal ini hampir
mirip dengan kesalahpahaman yang disinyalir di atas. Implikasinya bagi GKI adalah segala
perkara yang terkait dengan konseling dapat saja dilakukan melalui khotbah maupun ceramah
dalam pembinaan-pembinaan. Akibatnya para pendeta akan mengabaikan hakekat konseling
yang sesungguhnya dan lebih memprioritaskan khotbah dan ibadah jemaat.
Konseling merupakan perjumpaan eksistensial atau perjumpaan antar individu,
perjumpaan dan percakapan dari hati ke hati, suatu perjumpaan yang terencana dan sistimatis
sehingga konselor dan konseli menantikan adanya hasil akhir yang konkret dan realistis.
Konseling merupakan proses perjumpaan pertolongan antara dua orang manusia sebagai
subyek, yaitu antara konselor dan konseli dengan tujuan untuk menolong konseli agar dapat
menghayati keberadaan dan pengalamannya secara utuh, sehingga ia dapat menggunakan
segala potensi dirinya, orang lain dan konteksnya untuk berubah, bertumbuh dan berfungsi
sebagai anggota masyarakat dan geraja secara utuh.29 Dengan demikian maka proses
perjumpaan dalam pelayanan konseling bukanlah perjumpaan biasa, bukanlah percakapan
sambil-lalu, bukan juga sebuah tradisi pertemuan antara konselor dan konseli atau antara
pendeta dengan jemaat. Perjumpaan yang dimaksudkan dalam konseling adalah perjumpaan
dan percakapan dalam rangka menolong konseli untuk mengalami pengalaman hidupnya
secara utuh, benar dan bertanggung-jawab.
Berdasarkan pemahaman tersebut diatas maka penulis hendak meneliti tentang
pelaksanaan konseling pada umumnya dan secara khusus tentang pelaksanaan konseling
28
29

BP Am Sinode GKI Di Tanah Papua, Peraturan Penggembalaan. (Jayapura: CV Anagrafika, 2007).
Toto S. Wiryasaputra & Rini Handayani, Pengantar Konseling Pastoral, p.60.

56

lintas budaya yang dilaksanakan oleh pendeta dalam suatu jemaat. Apa yang dipahaminya
tentang konseling pada umumnya maupun konseling lintas budaya pada khususnya ?
Bagaimana praktek pelayanan konseling lintas budaya dalam jemaat ? Penulis juga dalam
kaitan itu mencoba melaksanakan praktek konseling lintas budaya sebagai contoh dan
prototype pelaksanaannya dalam pelayanan jemaat-jemaat GKI.

3.1.

Pelayanan Konseling Lintas Budaya oleh Pendeta Jemaat

Pertanyaan kritis dalam penelitian ini adalah apa pemahaman pendeta jemaat tentang
konseling maupun konseling lintas budaya ? Pemahamannya akan membentuk paradikma
berpikir dan bertindaknya dalam pelayanan konseling maupun konseling lintas budaya.
Menurut Pendeta Jemaat, konseling pastoral adalah proses penggembalaan yang dilakukan
oleh konselor kepada konseli. Penggembalaan yang dimaksudkannya berakar dalam kitab
Mazmur 23:1-6 maupun dalam Yohanes 10:1-21.30 Penggembalaan dengan demikian adalah
proses membimbing, menuntun dan menyediakan yang dilakukan oleh pendeta sebagai
konselor kepada konseli terutama terkait dengan keperluan rohani warga jemaat. Di sini
konselor dipahami dan ditampilkan sebagai seorang konsultan atau seorang ahli sebagai
subyek konseling sedangkan konseli ditempatkan dan berposisi sebagai yang membutuhkan
pertolongan sebagai obyek konseling.

Menurut pendeta jemaat bahwa melalui pelayanan konseling, ia mendapatkan
informasi dan data tentang berbagai masalah yang dihadapi jemaat lalu mengunjungi mereka
dan memberi penguatan supaya mereka tabah menjalani kehidupan ini dalam iman, harap dan
kasih. Karena