Implementasi Program Pelayanan Kesehatan Pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis Dalam Rangka Penurunan Angka Kematian Ibu Dan Angka Kematian Bayi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan
Kebijakan (policy) umumnya dipahami sebagai keputusan untuk
menangani hal-hal tertentu.Namun, kebijakan bukan sekedar keputusan yang
ditetapkan.Rose (1969), dalam Hamdi (2014:36), mengartikan bahwa “kebijakan
itu adalah suatu rangkaian panjang dari kegiatan-kegiatan yang berkaitan dan
akibatnya bagi mereka yang berkepentingan”.
Pendapat lainnya dikemukan oleh Crinson (2009), dalam Ayuningtyas
(2014:8), yang memandang kebijakan sebagai sebuah konsep yang menjadi
petunjuk untuk bertindak atau keputusan yang saling berhububungan satu sama
lainnya”.
Sejalan dengan pendapat para ahli diatas, Anderson (1994), dalam Hamdi
(2014:36), mengartikan “kebijakan sebagai langkah tindakan yang secara sengaja
diambil oleh seorang aktor atau sekelompok aktor berkenaan dengan suatu
masalah atau suatu hal yang menarik perhatian”.
Versi formal yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (1975),
agaknya lebih luas dan cukup rinci ketimbang pandangan diatas, karena
Perserikatan Bangsa-Bangsa (1975), dalam Wahab (2014:9), telah memberi
makna pada kebijakan sebagai berikut:

“Kebijakan ialah pedoman untuk bertindak.Pedoman itu bisa saja amat
sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur
atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik
atau privat.Kebijakan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa suatu
deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan
tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu, atau suatu
rencana.Dewasa ini, istilah kebijakan memang lebih sering dipergunakan
dalam konteks tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
9

para aktor dan institusi-institusi pemerintah, serta perilaku negara pada
umumnya”.
Kesimpulannya, kebijakan adalah serangkaian tindakan atau konsep yang
telah dipersiapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor pengambil kebijakan
untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelum kebijakan itu
dilaksanakan sehingga nantinya serangkaian tindakan atau konsep tersebut dapat
diikuti oleh sejumlah aktor lainnya.
Secara garis besar Amara dalam Lubis (2007:7) mengungkapkan bahwa
ada 3 unsur didalam kebijakan yaitu:
1. Identifikasi tujuan yang akan dicapai

2. Strategi untuk mencapainya
3. Penyediaan berbagai input atau masukan yang memungkinkan pelaksanaannya
Selanjutnya, Lubis (2007:18) menyatakan didalam suatu kebijakan ada
beberapa faktor-yang mempengaruhinya untuk pengambilan kebijakan yaitu:
a) Tekanan dari luar
Meskipun administrator secara rasional comprehensive mempertimbangkan
berbagai alternative yang akan dipilih secara rasional, namun sering ia
mendapatkan tekanan luar sehingga mempengaruhi keputusannya. Contoh:
Joko Widodo mempertimbangkan dan memilih menaikkan harga BBM tapi
ditekan oleh kelompok penekan (Para Pengamat/Akademisi, Aktifis Buruh
dan Mahasiswa, dan LSM) dan dari DPR dengan alasan kebijakan menaikkan
harga BBM menyengsarakan dan tidak ada dasar hukum.

b) Kebiasaan lama
Menjadi kebiasaan atau kelaziman untuk meneruskan kebijakan-kebijakan
yang pernah dilakukan meskipun kebijakan itu tidak intensif dan tidak
ekonomis.
c) Sifat-sifat pribadi
Seorang atasan sangat dipengaruhi oleh karakter pribadi dalam pengangkatan
staff sehingga terjadi like and dislike (suka dan tak suka), bukan dengan

pertimbangan kapasitas
d) Pengaruh dari kelompok luar
Sering terjadi aspirasi dan saran dari kalangan orang dalam (insider) tidak
dijadikan dasar pengambilan keputusan karena lebih kuat pengaruh kelompok
dari luar (outsider group).
e) Adanya pengaruh keadaan atau sistem masa lampau
Pengalaman pada jabatan dimasa lampau (the past) mempengaruhi terhadap
pembuatan keputusan si pembuat keputusan tidak lagi melimpahkan
wewenang dan tanggung jawabnya karena pengalaman dimasa lampau sering
pelimpahan wewenang itu disalahgunakan wewenangnya.

2.2. Kebijakan Publik
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, kita tidak dapat lepas dari apa
yang disebut dengan Kebijakan Publik. Kebijakan-kebijakan tersebut kita
temukan dalam bidang kesejahteraan sosial, di bidang kesehatan, perumahan
rakyat, pembangunan ekonomi pendidikan nasional dan lain sebagainya.Namun
keberhasilan dari kebijakan-kebijakan tersebut boleh dikatakan seimbang dengan

kegagalan yang terjadi.Oleh karena luasnya dimensi yang dipengaruhi oleh
kebijakan publik.

Salah satu definisi yang diberikan Dye (1984), dalam Hamdi (2014:36)
tentang kebijakan publik adalah “secara luas” kebijakan publik dapat didefinisikan
sebagai “ pilihan mengenai apa pun yang pemerintah pilih untuk dilakukan atau
tidak dilakukan”. Selanjutnya, Lubis (2007:9) merumuskan

kebijakan publik

sebagai “serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah
dengan tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat”.
Secara lebih operasional, Anderson (1994), dalam Hamdi (2014:36)
merumuskan definisi kebijakan publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dibuat
oleh lembaga atau pejabat pemerintah. Dengan pengertian ini, Anderson juga
mengingatkan bahwa kebijakan publik adalah unik, karena berkaitan dengan
institusi pemerintah, yang oleh Easton (1969:212) dicirikan sebagai kekuatan
pemaksa yang sah”. Lebih jauh, Anderson mencatat lima implikasi dari
konsepnya mengenai kebijakan publik tersebut, yaitu:
1. Kebijakan publik adalah tindakan yang berorientasi tujuan
2. Kebijakan publik berisikan rangkaian tindakan yang diambil sepanjang waktu
3. Kebijakan publik merupakan suatu tanggapan dari kebutuhan akan adanya
suatu kebijakan mengenai hal-hal tertentu

4. Kebijakan publik merupakan gambaran dari kegiatan pemerintah senyatanya,
dan bukan sekedar keinginan yang akan dilaksanakan
5. Kebijakan pemerintah dapat merupakan kegiatan aktif atau pasif dalam
menghadapi masalah

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik
adalah setiap keputusan yang diambil oleh lembaga atau pejabat pemerintah,
sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari lembaga atau pejabat pemerintah
guna mencapai masyarakat yang dicita-citakan.

2.3. Jenis-jenis Kebijakan Publik dan Proses Kebijakan Publik
2.3.1. Jenis-jenis Kebijakan Publik
Menurut Riant Nugroho (2013:8) secara generik terdapat empat jenis
kebijakan publik, yaitu:
1. Kebijakan formal
Kebijakan formal adalah keputusan-keputusan yan dikodifikasikan secara
tertulis dan disahkan atau diformalkan agar dapat berlaku. Kebijakan formal
dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
a) Perundang-undangan
b) Hukum

c) Regulasi
2. Kebiasaan umum lembaga publik yang telah diterima (konvensi)
Kebijakan ini biasanya ditumbuhkan dari proses manajemen organisasi
publik, contohnya upacara rutin, SOP-SOP tertulis atau tidak tertulis tetapi tidak
diformalkan
3. Pernyataan pejabat publik dalam forum publik
Pernyataan pejabat publik didepan publik.Pernyataan pejabat publik harus
dan selalu mewakili lembaa publik yang diwakili atau dipimpinnya. Dengan
demikian, setiap pejabat publik harus bijaksana dalam mengemukakan

pernyataan-pernyataan yang berkenaan dengan tugas dan kewenangan dari
lembaga publik yang diwakilinya
4. Perilaku pejabat publik
Hal ini dimulai dari gaya pimpinan. Gesture pemimpin ditirukan oleh
seluruh bawahannya.
2.3.2. Proses Kebijakan Publik
Menurut Dunn (2003:24) proses kebijakan publik terdiri dari lima tahapan
yaitu sebagai berikut :
a) Penyusunan agenda (agenda seting), yakni suatu proses agar suatu
masalah bisa mendapat perhatian dari pemerintah.

b) Formulasi kebijakan (policy formulation), yakni suatu proses perumusan
pilihan-pilihan atau alternatif pemecahan masalah oleh pemerintah.
c) Penentuan kebijakan (policy adoption), yakni suatu proses dimana
pemerintah menetapkan alternatif kebijakan apakah sesuai dengan kriteria
yang harus dipenuhi, menentukan siapa pelaksana kebijakan tersebut, dan
bagaimana proses atau strategi pelaksanaan kebijakan tersebut.
d) Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu suatu proses untuk
melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil, pada tahap ini perlu
adanya dukungan sumberdaya dan penyusunan organisasi pelaksana
kebijakan.
e) Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni suatu proses untuk
memonitor dan menilai hasil atau kinerja kebijakan.

2.4. Implementasi Kebijakan Publik
Daniel A. Mazmanian dan Paul A.Sebatier (1979), dalam Wahab
(2014:135),

menjelaskan

makna


implementasi

dengan

mengatakan

bahwa.“Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program
dinyatakan berlaku atau dirumuskan dengan fokus perhatiannya ialah kejadiankejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedomanpedoman

kebijakan

publik

yang

mencakup

baik


usaha-usaha

untuk

mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan dampak nyata ada
masyarakat atau kejadian-kejadian di lapangan.
Menurut Djalil (2014:22) Implementasi kebijakan publik (publik policy
implementation) merupakan suatu pelaksanaan keputusan yang telah diambil oleh
pejabat politik (legislator) maupun pejabat publik (pemerintah). Dalam sistem
demokrasi pelaksanaan suatu kebijakan publik senantiasa melibatkan masyarakat
sebagai pemegang kedaulatan negara.
Edward III (1980), dalam Djalil (2014:23) merumuskan empat faktor yang
merupakan syarat-syarat penting guna mengkaji dan meneliti berhasil tidaknya
implementasi kebijakan. Keempat faktor itu adalah sebagai berikut:
1. Communication: komunikasi menyangkut penyampaian atau penyebaran
informasi (transmission), kejelasan (clarity) dan konsistensi (consistency) dari
informasi yang disampaikan. Dalam hal ini dituntut pihak yang bertanggung
jawab dalam pengimplementasian kebijakan untuk memahami apa yang
mereka lakukan. Kebijakan-kebijakan yang harus dilaksanakan disalurkan
melalui orang-orang yang tepat, komunikasi itu harus dinyatakan dengan jelas.


2. Resources: Sumber daya menyangkut empat komponen yaitu staf (staff) yang
cukup (jumlah dan mutu), informasi (information) yang dibutuhkan guna
mengambil keputusan, kewenangan (authority) yang cukup guna untuk
melaksanakan tugasnya serta fasilitas (facilities) yang dibutuhkan dalam
implementasikan kebijakan. Kejelasan, konsistensi dan akurasi komunikasi
tidak akan mempengaruhi efektivitas pelaksanaan kebijakan, jika sumberdaya
implementasi

kebijakan

tersebut

tidak

memadai.

Sumberdaya

implementasikan kebijakan tidak hanya mencakup sdm, tetapi juga

sumberdaya material. Dalam hal ini dituntut bagi aktor atau sejumlah aktor
pengambil kebijakan publik harus menyediakan sumberdaya yang memadai,
tanpa sumberdaya yang memadai, maka pelaksanaan kebijakan tidak akan
berjalan efektif.
3. Disposition : Disposisi atau sikap pelaksanaan (attitudes of implementers),
menyangkut

dampak

(effects)

dari

kalangan

aktor-aktor

dalam

mengimplementasikan kebijakan secara efektif bagi para pelaksana kebijakan
dan pemberian insentif (gaji, honor, dan sebagainya). Pelaksanaan kebijakan
tidak hanya dipengaruhi oleh seberapa jauh pelaksana kebijakan mengenai isi
kebijakan dan kemampuan melaksanakannya, tetapi juga ditentukan oleh
keinginan atau tekad para pelaksana dalam menerapkan kebijakan.
4. Bureaucratic structure : Struktur birokrasi, menyangkut prosedur standar
operasi dalam kebijakan (standar operating procedures) dan pengaturan tata
aliran pekerjaan dan pelaksanaan program. Struktur birokrasi merupakan
variabel terakhir yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan kebijakan.
Pelaksanaan/implementasi melibatkan banyak pihak, sehingga koordinasi dan

kerjasama dari masing-masing pihak menjadi penting. Dalam hubungan ini
setiap pihak yan terkait dalam implementasi kebijakan perlu mengembangkan
suatu prosedur standar pelaksanaan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa implementasi
kebijakan publik adalah suatu proses, serangkaian keputusan, dan tindakan yang
dilakukan pemerintah yang bertujuan melaksanakan keputusan yang diambil
untuk mengatur kepentingan publik melalui rencana atau program yang jelas dan
menguntungkan publik.

2.5. Kebijakan Kesehatan
Mengapa kebijakan kesehatan itu sangat penting? Hal itu disebabkan antara
lain sektor kesehatan merupakan bagian dari ekonomi. Jelasnya sektor kesehatan
ibarat suatu sponge yang mengabsorpsi banyak anggaran belanja negara untuk
membayar sumber daya kesehatan.Ada yang mengatakan bahwa kebijakan
kesehatan merupakan driver dari ekonomi, itu disebabkan karena adanya inovasi
dan investasi dalam bidang teknologi kesehatan, baik itu bio-medical maupun
produksi, termasuk usaha dagang yang ada pada bidang farmasi.Namun yang
lebih penting lagi adalah keputusan kebijakan kesehatan melibatkan persoalan
hidup dan mati manusia.
Kebijakan kesehatan merupakan “pedoman yang menjadi acuan bagi
semua pelaku pembangunan kesehatan, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat
dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan dengan memperhatikan kerangka
desentralisasi dan otonomi daerah (Depkes RI, 2009)”.

Selanjutnya Walt (1994), dalam Ayuningtyas (2014:10) mengatakan
kebijakan kesehatan merupakan “segala sesuatu untuk mempengaruhi faktor faktor penentu di sektor kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas kesehatan
masyarakat; dan bagi seorang dokter kebijakan merupakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan layanan kesehatan. Kebijakan kesehatan juga melingkupi
berbagai upaya dan tindakan pengambilan keputusan yang meliputi aspek teknis
medis dan pelayanan kesehatan, serta keterlibatan pelaku/aktor baik pada skala
individu maupun organisasi atau institusi dari pemerintah, swasta, LSM dan
reprensentasi masyarakat lainnya yang membawa dampak pada kesehatan.
Ayuningtyas (2014:10) menjelaskan urgensi kebijakan kesehatan sebagai
bagian dari kebijakan publik semakin menguat mengingat karakteristik unik yang
ada pada sektor kesehatan sebagai berikut:
1. Sektor kesehatan amat kompleks karena menyangkut hajat hidup orang
banyak dan kepentingan masyarakat luas. Dengan perkataan lain, kesehatan
menjadi hak dasar setiap individu yang membutuhkannya secara adil dan
setara. Artinya, setiap individu tanpa terkecuali berhak mendapatkan akses dan
pelayanan kesehatan yang layak apapun kondisi dan status finansialnya.
2. Consumer ignorance, keawaman masyarakat membuat posisi dan relasi
“masyarakat-tenaga medis” menjadi tidak sejajar dan cenderung berpola
paternalistik. Artinya masyarakat, atau dalam hal ini pasien tidak memiliki
posisi tawar yang baik, bahkan hamper tanpa daya tawar ataupun daya pilih.
3. Kesehatan memiliki sifat uncertainty atau ketidakpastian. Kebutuhan akan
pelayanan kesehatan sama sekali tidak berkait dengan kemampuan ekonomi
rakyat. Siapapun ia baik dari kalangan berpunya maupun miskin papa ketika

jatuh sakit tentu akan membutuhkan pelayanan kesehatan. Ditambah lagi,
seseorang tidak akan pernah tau kapan dia sakit dan berapa biaya yang akan
dia keluarkan. Disinilah pemerintah harus berperan untuk menjamin setiap
warga negara mendapatkan pelayanan kesehatan ketika membutuhkan,
terutama bagi masyarakat miskin. Kewajiban ini tentu bukan hal yang ringan
dengan mengingat ungkapan seorang ahli ekonomi sosial dan kesehatan
Gunnar Myrdal:
“People become sick because they are poor, and become poorer because
they are sick, and become sicker because they are poorer” (orang menjadi
sakit karena mereka miskin, dan mereka bertambah miskin karena mereka
sakit serta menjadi lebih sakit karena mereka lebih miskin).
4. Karakteristik lain dari sektor kesehatan adalah adanya eksternalitas, yaitu
keuntungan yang dinikmati atau kerugian yang diderita oleh sebagian
masyarakat karena tindakan kelompok masyarakat lainnya. Dalam hal
kesehatan, dapat berbentuk eksternalitas positif atau negatif. Sebagai contoh,
jika disuatu lingkungan rukun warga sebagian besar masyarakat tidak
menerapkan pola hidup sehat sehingga terdapat sarang nyamuk aides aigepty,
maka dampaknya kemungkinan tidak hanya mengenai sebagian masyarakat
tersebut saja melainkan diderita pula oleh kelompok masyarakat lain yang
telah menerapkan perilaku hidup bersih.
Dengan karakteristik kesehatan tersebut, pemerintah wajib berperan
membuat kebijakan mengenai sektor kesehatan dengan tujuan meningkatkan
derajat kesehatan bagi setiap warga negara. Secara lebih rinci WHO membedakan
peran negara dan pemerintah sebagai pelaksana dibidang kesehatan, yaitu sebagai
pengarah (stewardship atau oversight), regulator (yang melaksanakan kegiatan

regulas, ibaratnya fungsi sebagai wasit), dan yang dikenakan regulasi (pemain).
Fungsi stewardship atau oversight ini terdiri dari tiga aspek utama:
1. Menetapkan, melaksanakan, dan memantau aturan main dalam sistem
kesehatan
2. Menjamin keseimbangan antara berbagai pelaku utama (key player) dalam
sektor kesehatan (terutama pembayar, penyedia pelayanan, dan pasien)
3. Menetapkan perencanaan strategik bagi seluruh sistem kesehatan
Karena begitu strategis dan pentingnya sektor kesehatan, World Health
Organization (WHO), dalam Ayuningtyas (2014:12), menetapkan delapan elemen
yang harus tercakup dan menentukan kualitas dari sebuah kebijakan kesehatan,
yaitu:
1. Pendekatan Holistik, kesehatan sebaiknya didefinisikan sebagai sesuatu yang
dinamis dan lengkap dari dimensi fisik, mental, sosial, dan spiritual. Artinya,
pendekatan

dalam

mengandalkan

kebijakan

upaya

mempertimbangkan

kuratif

upaya

kesehatan

tidak

(pengobatan),

preventif

(upaya

dapat
tetapi

semata-mata
harus

pencegahan),

lebih

promotif

(peningkatan kesehatan), dan rehabilitatif (pemulihan kesehatan).
2. Partisipori, partisipasi masyarakat akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas
kebijakan, karena melalui partisipasi masyarakat dapat ibangun collective
action (aksi bersama masyarakat) yang kana menjadi kekuatan pendorong
dalam pengimplementasian kebijakan dan penyelesaian masalah.
3. Kebijakan publik yang sehat, yaitu setiap kebijakan yang harus diarahkan
untuk mendukung terciptanya pembangunan kesehatan yang kondusif dan
berorientasi kepada mayarakat.

4. Ekuitas, yaitu harus terdapat distribusi yang merata dari layanan kesehatan. Ini
berarti negara wajib menjamin pelayanan kesehatan setiap warga negara tanpa
memandang status ekonomi maupun statusnya sosialnya karena kesehatan
merupakan hak asasi manusia dan merupakan peran negara yang paling
minimal dalam melindungi warga negaranya.
5. Efisiensi, yaitu layanan kesehatan harus berorientasi pro aktif

dengan

mengoptimalkan biaya dan teknologi.
6. Kualitas, artinya pemerintah harus menyediakan pelayanan kesehatan yang
berkualitas bagi seluruh warga negara. Disamping itu, dalam menghadapi
persaingan pasar bebas dan menekan pengaruh globalisasi dalam sector
kesehatan, pemerintah perlu meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
setara dengan pelayanan kesehatan bertaraf internasional.
7. Pemberdayaan masyarakat, terutama pada daerah terpencil dan daerah
perbatasan untuk mengoptimalkan sosial kapital.
8. Self-reliant, kebijakan kesehatan yang ditetapkan sebisa mungkin dapat
memenuhi keyakinan dan kepercayaan masyarakat akan kapasitas kesehatan
diwilayah sendiri. Pengembangan teknologi dan riset bertujuan untuk
membantu memberdayakan masyarakat dan otoritas nasional dalam mencapai
standar kesehatan yang ditetapkan di masing-masing negara.

4.6.Kesehatan dan Derajat Kesehatan
Menurut UU No.36/2009 tentang Kesehatan, Kesehatan adalah keadaan
sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.Sedangkan MUI (1983)

menyatakan bahwa kesehatan adalah sebagai ketahanan ‘jasmaniah, ruhaniyah,
dan sosial’ yang dimiliki manusia sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri
dengan

mengamalkan

tuntunan-Nya,

dan

memelihara

serta

mengembangkannya.Selanjutnya WHO (1947) berpendapat bahwa kesehatan
adalah suatu keadaan sempurna fisik, jiwa, dan sosial tanpa penyakit dan
kelemahan apapun.
Menurut Hanlon (1964), sehat mencakup keadaan pada diri seseorang
secara menyeluruh untuk tetap mempunyai kemampuan melakukan tugas
fisiologis secara penuh. Sedangkan Perkin (1938) berpendapat bahwa sehat adalah
suatu keadaan seimbang yang dinamis antara bentuk dan fungsi tubuh dengan
berbagai faktor yang berusaha mempengaruhinya. Selanjutnya WHO (1957)
menyatakan bahwa sehat adalah suatu keadaan dan kualitas dari organ tubuh yang
berfungsi secara wajar dengan segala faktor keturunan dan lingkungan yang
dipunyainya.
Derajat Kesehatan Masyarakat menurut Standar Kesehatan Nasional
adalah suatu keadaan kehidupan masyarakat dimana setiap warga negara mampu
menjaga dan memelihara kesehatannya secara optimal, baik dirinya sendiri,
keluarga, masyarakat dan lingkungannya. Menurut Blum (1974), Derajat
Kesehatan ditentukan oleh empat faktor, yaitu: faktor keturunan (genetik), faktor
pelayanan kesehatan, faktor perilaku manusia dan sosial budaya,

faktor

lingkungan,fisik, kimia, biologi, ergonomi. Berdasarkan uraian diatas dapat
disimpulkan empat faktor menurut Bloom ini dapat menjadi faktor-faktor penentu
karena sangat besar pengaruhnya terhadap derajat kesehatan masyarakat.

4.7. Sistem Kesehatan Nasional
Menurut Perpres No. 72/2012 sistem kesehatan nasional adalah
pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan semua komponen bangsa Indonesia
secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Selanjutnya menurut Depkes (2009) sistem kesehatan nasional adalah bentuk
dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang memadukan berbagai
upaya bangsa Indonesia dalam satu derap langkah guna menjamin tercapainya
tujuan pembangunan kesehatan dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945.
Menurut

Depkes

(2009)

tujuan

SKN

adalah

terselenggaranya

pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik masyarakat, swasta,
maupun pemerintah secara sinergis, berhasil guna dan berdaya guna, sehingga
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Perpres No.72/2012 menyatakan untuk mencapai tujuan SKN, perlu
dilakukan (1) pengelolaan kesehatan yang mencakup kegiatan perencanaan,
pengaturan, pembinaan, dan pengawasan serta evaluasi penyelengaraan upaya
kesehatan dan sumber dayanya secara serasi dan seimbang dengan melibatkan
masyarakat. (2) penyelenggaraan kesehatan yang prorakyat, inklusif,responsif,
efektif, dan bersih. (3) penyelenggaraan kesehatan yang berkomitmen global.
SKN sebagai suatu sistem yang utuh dari penyelenggaraan upaya kesehatan
mencakup berbagai faktor yang perlu mendapat perhatian. Faktor-faktor tersebut
antara lain:

1.

Kependudukan
Jumlah kependudukan yang besar serta tingkat fertilitas yang tinggi
menyebabkan struktur penduduk yang kurang menguntungkan bagi
penyelenggaraan upaya kesehatan.

2.

Perilaku penduduk terhadap kesehatan
Faktor ini sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial budaya masyarakat
termasuk tingkat pendidikan dan berkaitan antara lain dengan pengertian
sehat, sakit, pengobatan sendiri, penggunaan sumber daya kesehatan dan adat
istiadat.

3.

Lingkungan
Hubungan antara keadaan manusia dengan faktor lingkungan seperti sosial
budaya, ekonomi, lingkungan fisik dan biologik, membentuk keseimbangan
yang dapat berubah-ubah.

4.

Sumberdaya
Suatu negara yang cukup memiliki sumber daya alam dapat dimanfaatkan
jika terdapat cukup modal, cukup manusia pembangunan, serta teknologi
yang memadai. Keberhasilan pembangunan dalam sektor ekonomi dapat
mendukung upaya kesehatan, yaitu dengan tersedianya dana.

5.

Kesepakatan kebijaksanaan politik (Political Comittment)
Perlunya dipahami dan disepakati oleh semua yang terlibat dalam
menyelenggarakan upaya kesehatan berdasarkan SKN, bahwa keberhasilan
pembangunan kesehatan akan tercapai apabila terdapat kesepakatan kebijakan
pada semua tingkat, baik dilingkungan pemerintahan maupun masyarakat.

Menurut Azwar (1998:39), Sistem Kesehatan dibangun oleh 3 unsur pokok
yaitu:
a.

Organisasi Pelayanan (Organization of Services)

b.

Organisasi Pembiayaan (Organization of Finances)

c.

Jaminan mutu pelayanan dan pembiayaan (Quality of Service and Finances
Assurance)

Ketiga unsur pokok tersebut dapat digambarkan :

Organisasi
Pembiayaan

Organisasi
Pelayanan
Sistem
Kesehatan

Jaminan Mutu
Pelayanan
Pembiayaan

Sumber : Azwar (1998:39)
Gambar 2.1 Sistem Kesehatan

MenurutKementerian Kesehatan (2012) , sebagai sistem, SKN terdiri dari 6
sub sistem yaitu:
1.

Subsistem Upaya Kesehatan
Untuk dapat mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-

tingginya perlu diselenggarakan berbagai upaya kesehatan dengan menghimpun
seluruh potensi bangsa Indonesia.Upaya kesehatan diselenggarakan dengan upaya
peningkatan, pencegahan, pengobatan, dan pemulihan.

2.

Subsistem Pembiayaan Kesehatan
Pembiayaan

kesehatan

bersumber

dari

berbagai

sumber,

yakni:

Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, organisasi masyarakat, dan masyarakat
itu sendiri. Oleh karena itu, pembiayaan kesehatan yang adekuat, terintegrasi,
stabil, dan berkesinambungan memegang peran yang amat vital untuk
penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan
pembangunan

kesehatan.

Pembiayaan

pelayanan

kesehatan

masyarakat

merupakan public good yang menjadi tanggung-jawab pemerintah, sedangkan
untuk pelayanan kesehatan perorangan pembiayaannya bersifat private, kecuali
pembiayaan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu menjadi tanggung-jawab
pemerintah. Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan diselenggarakan
melalui jaminan pemeliharaan kesehatan dengan mekanisme asuransi sosial yang
pada waktunya diharapkan akan mencapai universal coverage sesuai dengan
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN).
3.

Subsistem SDM Kesehatan
Sebagai pelaksana upaya kesehatan, diperlukan sumber daya manusia

kesehatan yang mencukupi dalam jumlah, jenis dan kualitasnya, serta terdistribusi
secara adil dan merata, sesuai tututan kebutuhan pembangunan kesehatan.Oleh
karena itu, SKN juga memberikan fokus penting pada pengembangan dan
pemberdayaan SDM Kesehatan guna menjamin ketersediaan dan pendistribusian
sumber daya manusia kesehatan. Pengembangan dan pemberdayaan SDM
Kesehatan meliputi: 1) perencanaan kebutuhan sumber daya manusia yang
diperlukan, 2) pengadaan yang meliputi pendidikan tenaga kesehatan dan

pelatihan SDM Kesehatan, 3) pendayagunaan SDM Kesehatan, termasuk
peningkatan kesejahteraannya, dan 4) pembinaan serta pengawasan SDM
Kesehatan.
4.

Subsistem Sediaan Farmasi, Alkes, dan Makanan
Subsistem kesehatan ini meliputi berbagai kegiatan untuk menjamin:

aspek keamanan, khasiat/ kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan makanan yang beredar; ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat,
terutama obat esensial; perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan
penyalahgunaan obat; penggunaan obat yang rasional; serta upaya kemandirian di
bidang kefarmasian melalui pemanfaatan sumber daya dalam negeri.
5.

Subsistem Manajemen dan Informasi Kesehatan
Subsistem ini meliputi: kebijakan kesehatan, administrasi kesehatan,

hukum kesehatan, dan informasi kesehatan. Untuk menggerakkan pembangunan
kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna, diperlukan manajemen
kesehatan.

Peranan

manajemen

kesehatan

adalah

koordinasi,

integrasi,

sinkronisasi, serta penyerasian berbagai subsistem SKN dan efektif, efisien, serta
transparansi dari penyelenggaraan SKN tersebut.
Dalam kaitan ini peranan informasi kesehatan sangat penting. Dari segi
pengadaan data dan informasi dapat dikelompokkan kegiatannya sebagai berikut:
1) Pengumpulan, validasi, analisa, dan diseminasi data dan informasi, 2)
Manajemen sistem informasi, 3) Dukungan kegiatan dan sumber daya untuk unitunit yang memerlukan, dan 4) Pengembangan untuk peningkatan mutu sistem
informasi kesehatan.

6.

Subsistem Pemberdayaan Masyarakat
Sistem Kesehatan Nasional akan berfungsi optimal apabila ditunjang oleh

pemberdayaan masyarakat. Masyarakat termasuk swasta bukan semata-mata
sebagai sasaran pembangunan kesehatan, melainkan juga sebagai subjek atau
penyelenggara

dan

pelaku

pembangunan

kesehatan.

Oleh

karenanya

pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting, agar masyarakat termasuk
swasta dapat mampu dan mau berperan sebagai pelaku pembangunan kesehatan.
Dalam pemberdayaan masyarakat meliputi pula upaya peningkatan lingkungan
sehat oleh masyarakat sendiri. Upaya pemberdayaan masyarakat akan berhasil
pada hakekatnya bila kebutuhan dasar masyarakat sudah terpenuhi. Pemberdayaan
masyarakat dan upaya kesehatan pada hakekatnya merupakan fokus dari
pembangunan kesehatan.
Menurut stiglitz (1986) dengan membandingkan negara Amerika Serikat
dan Negara-negara Eropa Barat, pemerintah

bertanggung jawab memberikan

pelayanan publik di bidang kesehatan, setidak-tidaknya untuk dua program yaitu
Medicare (perawatan kesehatan) terutama pelayanan kesehatan manusia dan
Medicaid (bantuan kesehatan) terutama untuk pelayanan kesehatan keluarga
miskin, cacat, dan anak-anak. Peranan pemeliharaan kesehatan publik pemerintah
mencapai 44,6 % dari seluruh pembiayaan kesehatan.
Alasan yang menyebabkan pemerintah harus bertanggung jawab dalam
kesehatan menurut Rexnord dan Stephen (1996) adalah adanya teori kepentingan
publik Stigler, dimana pemerintah menyediakan kebutuhan umum seluruh
masyarakat untuk efisiensi dan keadilan (equity), pemerataan (equaly) distribusi

pendapatan pemerintah yang berasal dari pajak eksternalitas dan pajak barang
publik sebagai tanggung jawab sosial pemerintah (Medicare dan Medicaid).
Dalam UUD’45 Pasal 34 ayat (3) “Negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang
layak”.Hal ini berarti, pembiayaan pelayanan dan penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan publik menjadi tanggung jawab pemerintah. Dengan adanya UU
No.36/2009 tentang kesehatan sesuai Pasal 167 dan didukung oleh UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan
Daerah serta PP No.38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota
sesuai Pasal 7 Ayat 2 poin b maka jelaslah bahwa urusan kesehatan secara
nasional telah menjadi kewenangan dan tanggung jawab oleh pemerintah daerah
baik itu perencanaan kesehatan, pelayanan dan pembiayaan kesehatan masyarakat.

4.8. Pemberdayaan Masyarakat dalam Kesehatan
Promosi kesehatan adalah suatu proses membantu individu dan masyarakat
meningkatkan kemampuan dan keterampilannya mengontrol berbagai faktor pada
kesehatan sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatannya (WHO, dalam
Notoatmodjo (2010:254)). Krianto, dalam Notoatmodjo (2010:254) menjelaskan
misi dari promosi kesehatan adalah sebagai berikut:
1. Advokasi
Upaya meyakinkan para pengambil kebijakan agar memberikan dukungan
berbentuk kebijakan terhadap suatu program.

2. Mediasi
Adalah upaya mengembangkan jaringan kemitraan lintas program, lintas
sektor, dan lintas institusi guna menggalang dukungan implementasi program.
3. Pemberdayaan
Upaya meningkatkan kemampuan kelompok sasaran sehingga kelompok
sasaran mampu mengambil tindakan yang tepat atas suatu permasalahan yang
dialami.
Konsep pemberdayaan mengemuka sejak dicanangkannya Strategi Global
(WHO) tahun 1984, yang ditindak lanjuti dengan rencana aksi dalam Piagam
Ottawa (1986). Dalam deklarasi tesebut dinyatakan tentang perlunya mendorong
terciptanya: 1. Kebijakan berwawasan kesehatan, 2. Lingkungan yang
mendukung, 3. Reorientasi dalam pelayanan kesehatan,4. Keterampilan individu,
dan 5.Gerakan masyarakat.
Tujuan pemberdayaan adalah membantu klien memperoleh kemampuan
untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang
terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial
dalam mengambil tindakan. Pemberdayaan dilakukan melalui peningkatan
kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan kemampuannya,
diantaranya melalui pendayagunaan potensi lingkungan. Menurut Suyono, dalam
Notoatmodjo (2014:255) paling tidak ada tiga syarat dalam proses pemberdayaan
masyarakat, yaitu:
1. Kesadaran, kejelasan serta pengetahuan tentang apa yang akan dilakukan
2. Pemahaman yang baik tentang keinginan berbagai pihak (termasuk
masyarakat) tentang hal-hal apa, dimana, dan siapa yang diberdayakan.

3. Adanya kemauan dan keterampilan kelompok sasaran untuk menempuh
proses pemberdayaan.
Nutbeam, dalam Notoatmodjo (2010:262) menjelaskan bahwa ada upayaupaya yang perlu dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat untuk promosi
kesehatan, yaitu:
1. Self Efficacy (Kemampuan diri mengubah situasi), merupakan upaya yang
dapat

dilakukan

untuk

memberikan

pendidikan

kesehatan

secara

berkesinambungan menggunakan metode yang cocok, kombinasi komunikasi
massa, komunikasi kelompok, serta komunikasi interpersonal dengan cara
memberikan pelatihan tentang tindakan yang diperlukan dalam kesehatan,
meliputi upaya-upaya peningkatan (promotif), upaya pencegahan (preventif),
upaya pengobatan (kuratif), maupun upaya pemulihan (rehabilitatif) sehingga
masyarakat mempunyai kemampuan dan kepercayaan diri untuk mengambil
tindakan yang rasional.
2. Health Literacy (Melek Kesehatan atau Paham Jenis-jenis Penyakit),
merupakan upaya pendidikan masyarakat tentang pengenalan tema-tema dan
isu kesehatan tertentu dan terkini, serta memberikan pelatihan sehingga
masyarakat yang sudah memahami tema-tema atau isu kesehatan tertentu dan
terkini mampu dan mau mengkomunikasikannya kepada anggota masyarakat
lainnya, contoh bahaya akibat merokok, bahaya pemakaian narkotika dan
sebagainya.

4.9. AKI dan AKB
Kematian atau mortalitas adalah salah satu komponen dari indikator derajat
kesehatan.Tinggi rendahnya tingkat mortalitas masyarakat mempengaruhi tingkat

kesehatan disuatu daerah.Dengan memperhatikan trend dari mortalitas di masa
lampau dan estimasi perkembangan di masa mendatang, maka dapatlah dibuat
suatu proyeksi kesehatan diwilayah bersangkutan.
Budi Utomo (1985), dalam Mantra (2009:91) menyatakan bahwa “mati ialah
peristiwa hilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara permanen, yang bisa
terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup. Dari definisi ini terlihat bahwa keadaan
“mati” hanya bisa terjadi kalau sudah terjadi kelahiran hidup.Dengan demikian
keadaan mati selalu didahului oleh keadaan hidup. Dengan kata lain, mati tidak
akan pernah ada kalu tidak ada kehidupan. Sedangkan hidup selalu dimulai
dengan lahir hidup (live birth).”

4.9.1.

Kematian Ibu
Kematian ibu (Maternal) menurut WHO, dalam Pujiati Cs (2011:19)

adalah “kematian seorang wanita waktu hamil atau dalam 42 hari sesudah
berakirnya kehamilan oleh sebab apapun, terlepas dari tuanya kehamilan dan
tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan.”
Pujiati cs (2011:19) menjelaskan sebab-sebab kematian ibu dibagi
menjadi 2 golongan yaitu:
1. Penyebab langsung yang disebabkan oleh komplikasi-komplikasi kehamilan,
persalinan, dan nifas
2. Penyebab tidak langsung/penyebab lain seperti penyakit jantung, kanker, dan
sebagainya (Associated cause)
Angka kematian maternal (maternal mortality rate) ialah ukuran besarnya
resiko yang dihadapi ibu-ibu selama masa hamil, bersalin, dan nifas yang

berkaitan dengan rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, kurangnya
fasilitas kesehatan, dan tingkat sosial

ekonomi

yang rendah (Dinkes

Bengkalis,2011). Pujiati cs (2011:19) menjelaskan bahwa WHO (1996)
menerapkan jumlah kematian maternal diperhitungkan 100.000 Kelahiran Hidup.
Selanjutnya Wahyuningsih (2009:88) memberikan cara mengitung angka
kematian ibu sebagai berikut:
����� ℎ �������� ��� ������ ����� ������� ����� ℎ ����� ���� ����

MMR=

4.9.2.

����� ℎ ���� ��ℎ�� ℎ���� ����� ����� ��� ������ ���� ����

�100%

Kematian Bayi
Pujiati cs (2011:21) menyatakan bahwa kematian bayi adalah kematian

yang terjadi antara saat setelah bayi lahir sampai bayi belum berusia tepat satu
tahun. Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi. Secara garis besar,
dari sisi penyebabnya, kematian bayi ada dua macam yaitu:
a. Kematian Endogen
Kematian bayi endogen atau umum disebut kematian neonatal, adalah
kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan,
penyebabnya: faktor-faktor yang dibawa sejak lahir, diwarisi orangtuanya saat
konsepsi atau didapat dari ibunya selama ibunya hamil.
b. Kematian Eksogen
Kematian bayi eksogen atau kematian post neonatal, adalah kematian bayi yan
terjdi setelah usia satu bulan sampai menjelang satu tahun yang disebabkan
oleh faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh lingkungan luar.
Faktor penyebab kematian bayi Eksogen:

a) Endogenous Causes : Perawatan kehamilan, budaya, kurang gizi selama
kehamilan, pendidikan ibu, dan pendapatan keluarga
b) Exogenous Causes

: Perawatan bayi, budaya, fasilitas kesehatan ibu

dan anak, pendapatan keluarga.
Angka kematian bayi merupakan ukuran ketersediaan dan tingkat
pemanfaatan fasilitas kesehatan serta ukuran tingkat sosial ekonomi masyarakat
(Dinkes Bengkalis,2011).
Selanjutnya Wahyuningsih (2009:87) memberikan cara menghitung angka
kematian Bayi sebagai berikut:
IMR=
����� ℎ �������� ���� ���� ������ ���� ���� ℎ�� ������ ���� �� ℎ�� ������� ����� ℎ
����� ℎ ���� ��ℎ�� ����� ����� ��� ������ ���� ����

� 100 %

4.10. Tupoksi dan Visi-Misi Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis
Menurut Perda No.13 Tahun 2008 tentang organisasi dan tata kerja dinas
daerah Kabupaten Bengkalis sesuai Pasal 5 dan 6 paragraf 1 dan 2, maka tupoksi
dan susunan organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis adalah sebagai
berikut:
Tupoksi Dinas Kesehatan Bengkalis
1.

Tugas Dinas Kesehatan adalah membantu Bupati dalam melaksanakan urusan
daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan di bidang kesehatan

2.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana, dimaksud pada ayat (1), Dinas
Kesehatan menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
a) Perumusan kebijakan teknis di bidang penyelenggaraan kesehatan

b) Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum dibidang
kesehatan
c) Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang kesehatan
d) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas
dan fungsinya (Perda No.13/2008 Pasal 5 ayat 1 dan 2).
Susunan Organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis
1.

Organisasi Dinas Kesehatan, terdiri dari :
a) Unsur Pimpinan adalah Kepala Dinas
b) Unsur Pembantu Pimpinan adalah Sekretariat
c) Unsur Pelaksana adalah Bidang

2.

Susunan Organisasi Dinas Kesehatan, terdiri dari:
a) Kepala
b) Sekretariat, terdiri dari :
1) Sub Bagian Perencanaan dan Program
2) Sub Bagian Keuangan
3) Sub Bagian Administrasi Umum
c) Bidang Pelayanan Kesehatan, terdiri dari :
1) Seksi Kesehatan Dasar
2) Seksi Kesehatan Rujukan
3) Seksi Kesehatan Khusus
d) Bidang Pengendalian Masalah Lingkungan, terdiri dari :
1) Seksi Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit
2) Seksi Wabah dan Bencana
3) Seksi Kesehatan Lingkungan
e) Bidang Pengembangan SDM, terdiri dari :
1) Seksi Pendayagunaan
2) Seksi Pendidikan dan Pelatihan

3) Seksi Registrasi dan Akreditasi
f) Bidang Jaminan dan Sarana Kesehatan, terdiri dari:
1) Seksi Jaminan Kesehatan
2) Seksi Sarana dan Peralatan Kesehatan
3) Seksi Kefarmasian
g) UPTD
h) Kelompok Jabatan Fungsional (Perda No.13/2008 Pasal 6 ayat 1 dan 2).
Visi Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis tahun 2010 – 2015 ialah
“Masyarakat Bengkalis Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan” Dalam Rencana
Strategis Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis 2010-2015 dinyatakan bahwa
untuk mencapai visi ditetapkan misi sebagai berikut:
1. Meningkatkan

derajat

kesehatan

masyarakat,

melalui

pemberdayaan

masyarakat termasuk swasta dan seluruh lapisan masyarakat.
2. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya
kesehatan yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan.
3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan.
4. Menciptakan tata kelola administrasi dan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat yang prima, akuntanbel, transparan, adil, dan berkualitas.

4.11. Kebijakan Dinas Kesehatan
Penurunan AKI, dan AKB

Kabupaten

Bengkalis

Terhadap

Berdasarkan Perda Kabupaten Bengkalis No.9 Tahun 2011 tentang
RPJMD Kabupaten Bengkalis 2010-2015 maka kebijakan dinas kesehatan
Kabupaten Bengkalis dalam penurunan AKI, dan AKB dapat dilihat dari arah
kebijakan, dan strategi yang dikeluarkan dan yang dilaksanakan oleh dinas
Kabupaten Bengkalis sebagai berikut:

4.11.1. Arah Kebijakan
Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan bidang
sosial budaya yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
yang ditandai dengan meningkatnya IPM.Kebijakan pembangunan kesehatan
2010-2015 diarahkan pada ketersediaannya akses kesehatan dasar yang murah dan
terjangkau terutama pada kelompok menengah kebawah guna mencapai MDG’s
2015.
Sesuai dengan RPJMD Kabupaten Bengkalis tahun 2010-2015 maka
sasaran pembangunan kesehatan di Kabupaten Bengkalis adalah terwujudnya
peningkatan kualitas dan dan aksesibilitas kesehatan bagi seluruh masyarakat di
Kabupaten Bengkalis Riau.
4.11.2. Sasaran Strategis
Sasaran strategis oleh dinas kesehatan di Kabupaten Bengkalis dalam
pembangunan kesehatan 2010-2015 di Kabupaten Bengkalis 2010-2015 ialah
meningkatkan status kesehatan dan gizi masyarakat, dengan langkah secara umum
sebagai berikut:
1. Meningkatkan umur harapan hidup dari 71,1 tahun menjadi 73 tahun
2. Menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan dari 28 menjadi 24 per
100.000 kelahiran hidup
3. Menurunkan Angka Kematian Bayi dari 107 menjadi 104 per 1000 kelahiran
hidup
4. Menurunkan Angka kematian Neonatal dari 19 menjadi 15 per 1000 kelahiran
hidup

5. Persentase ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih (cakupan
PN) sebesar 90 %
6. Peserntase puskesmas Rawat Inap yang mampu Poned sebesar 100 %
7. Persentase Rumah Sakit yang melaksanakan Ponek sebesar 100 %
8. Cakupan kunjungan neonatal lengkap (KN lengkap) sebesar 90 %
4.11.3. Strategi terhadap Penurunan AKI, dan AKB
1. Penggerakkan dan memberdayakan masyarakat terhadap aspek kesehatan
Mendorong kerjasama antar masyarakat antar kelompok serta antar
lembaga dalam rangka pembangunan berwawasan kesehatan; meningkatkan
upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat dan mensinergikan sistem kesehatan
modern dan asli Indonesia; menerapkan promosi kesehatan yang efektif
memanfaatkan agent of change setempat; memobilisasi sektor lain untuk
pembangunan kesehatan. Strategi ini ditempuh dengan melaksanakan program
promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat sebagai berikut:
a) Tujuan

: Meningkatnya pelaksanaan pemberdayaan dan promosi kesehatan

kepada masyarakat
b) Indikator :
1)

Persentase desa siaga aktif sebesar 40 %

2)

Persentase rumah tangga yang melaksanakan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) sebesar 75 %

c) Kegiatan :
1)

Pembentukan dan pembinaan desa siaga

2)

Pengembangan dan pembinaan desa siaga

3)

Pengembangan media promosi dan informasi sadar hidup sehat

4)

Penyebarluasan informasi kesehatan melalui media cetak dan elektronik.

2. Program peningkatan keselamatan ibu melahirkan dan anak
a) Tujuan

: meningkatkan pelayanan kesehatan ibu, bayi, dan anak balita

b) Indikator :
1)

Persentase kunjungan Posyandu (D/S)

2)

Persentase ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih
(Cakupan PN)

3)

Persentase ibu hamil mendapat pelayanan AnteNatal Care (ANC) sebesar
100 %

4)

Cakupan kunjungan neonatal pertama (KN 1) sebesar 94 %

5)

Cakupan kunjungan neonatal (KN lengkap) sebesar 93 %

6)

Persentase ibu hamil, bersalin dan nifas yang mendapatkan penanganan
komplikasi kebidanan sebesar 79 %

7)

Cakupan penanganan neonatal komplikasi sebesar 85 %

8)

Cakupan penanganan kesehatan anak balita sebesar 87%

c) Kegiatan :
1)

Optimalisasi peran dan fungsi posyandu

2)

Pertolongan persalinan bagi ibu hamil masyarakat kurang mampu

3)

Pendataan penjaringan dan rujukan ibu hamil dan bayi risiko tinggi

4)

Lomba Balita Sehat Tingkat Kecamatan dan Kabupaten

3. Program upaya kesehatan masyarakat

a) Tujuan

: Meningkatkan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan bagi

masyarakat
b) Indiktor
1)

:

Persentase RS yang melaksanakan pelayanan keperawatan sesuai
standard dan pedoman sebesar 100 %

2)

Persentase RS yang melaksanakan pelayanan gawat darurat standar dan
pedoman sebesar 100 %

3)

Persentase RS yang melaksanakan pelayanan kebidanan sesuai standar
dan pedoman sebesar 100 %

4)

Persentase RS yang melaksanakan PONEK sebesar 100 %

5)

Jumlah Posyandu Usila yang dibentuk sebanyak 50 buah

6)

Persentase RS dilaksanakannya Audit Audit Maternal Perinatal sebesar
100 %

7)

Persentase Puskesmas yang menerapkan standar pelayanan medik dasar
sebesar 100

8)

Persentase Puskesmas Rawat Inap yang mampu PONED sebesar 100 %

9)

Persentase Puskesmas dan jaringannya yang mendapatkan biaya
operasional sebesar 100 %

c) Kegiatan :
1)

Optimalisasi pelayanan medis di RSUD Bengkalis dan RSUD Mandau

2)

Peningkatan kesehatan Masyarakat

3)

Penyediaan biaya Operasional pelayanan kesehatan

4)

Peningkatan Sistem kewaspadaan DINI KLB dan Penyakit Menular
lainnya

4. Program perbaikan gizi masyarakat
a) Tujuan

: Meningkatkan kualitas penanganan masalah gii masyarakat

b) Indikator :
1)

Persentase kecamatan yang melaksanakan surveilans gizi sebesar 100 %

2)

Persentase balita ditimbang berat badannya (D/S) sebesar 90 %

3)

Persentase penyediaan bufferstock MP-ASI sebesar 100 %

4)

Persentase balita gizi buruk yang mendapat perawatan sebesar 100 %

5)

Persentase ibu hamil yang mendapat Fe 90 tablet sebesar 88 %

6)

Persentase balita 6-59 bulan dapat kapsul Vitamin A sebesar 88 %

7)

Cakupan rumah tangga yang mengkonsumsi garam beryodium sebesar
93%

c) Kegiatan :
1)

Penyusunan peta informasi masyarakat kurang gizi

2)

Pemberian tambahan makanan dan vitamin

3)

Penanggulangan KEP, anemia gizi, kekurangan vitamin A dan zat gizi
mikro lainnya.

5. Peningkatan pembiayaan kesehatan
Lebih memantapkan penataan sub sistem pembiayaan kesehatan kearah
kesiapan konsep, kelembagaan, dan dukungan terhadap penerapan jaminan
kesehatan sosial menuju universal coverage, menghimpun sumber-sumber dana
baik dari pemerintah pusat dan daerah, juga peningkatan peran masyarakat,
termasuk swasta untuk menjamin tersedianya pembiayaan kesehatan dalam
jumlah yang cukup, utamanya dalam menjalankan upaya preventif dan promotif
dan terlaksananya program –program keunggulan/prioritas nasional; merancang

dan menetapkan kebijakan pembiayaan kesehatan bagi daerah tertinggal,
terpencil, perbatasan, dan kepulauan serta daerah bermasalah kesehatan. Strategi
ini ditempuh dengan melaksanakan beberapa program sebagai berikut:
a) Program pembinaan, pengembangan pembiayaan dan jaminan pemeliharaan
kesehatan
1. Tujuan

:

Terumuskan kebijakan pembiayaan dan jaminan

pemeliharaan kesehatan
2. Indikator

:

a. Persentase penduduk yang memiliki jaminan kesehatan sebesar 100 %
b. Persentase Puskesmas dan jaringannya yang memberikan pelayanan
kesehatan pada peserta Asuransi kesehatan PNS sebesar 100 %
3. Kegiatan

:

a. Penetapan pola dan bentuk jaminan kesehatan masyarakat bagi seluruh
masyarakat di Kabupaten Bengkalis
b. Peningkatan cakupan jaminan kesehatan bagi seluruh masyarakat
Kabupaten Bengkalis
c. Menyediakan dan Mengalokasikan dana jaminan kesehatan dari APBD
bila pihak asuransi belum mentransfer dana untuk biaya obat
masyarakat
b) Program pelayanan kesehatan masyarakat miskin
1. Tujuan

: Meningkatkan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan

bagi penduduk miskin

2. Indikator

: Persentase Puskesmas dan Rumah Sakit yang memberikan

pelayanan kesehatan dasar dan rujukan bagi penduduk miskin sebesar
100%
3. Kegiatan

: Pelayanan kesehatan penduduk miskin di Puskesmas dan

jaringannya serta di Rumah Sakit.

4.12. Ekonomi Kesehatan dan Pembiayaan Kesehatan
4.12.1. Ekonomi Kesehatan
Mills dan Gillson (1999) mendefinisikan bahwa ekonomi kesehatan itu
sebagai penerapan teori, konsep dan teknik ilmu ekonomi dalam sektor kesehatan.
Ekonomi kesehatan berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Alokasi sumber daya diantara berbagai upaya kesehatan
2. Jumlah sumber daya yang dipergunakan dalam pelayanan kesehatan
3. Pengorganisasian dan pembiayaan dari berbagai pelayanan kesehatan
4. Efisiensi pengalokasian dan penggunaan berbagai sumber daya
5. Dampak upaya pencegahan, pengobatan dan pemulihan kesehatan pada
individu dan masyarakat (Mills & Gillson, 1999)
Sedangkan Perhimpunan Peminat Ekonomi Kesehatan Indonesia (1989),
menyatakan bahwa ekonomi kesehatan adalah penerapan ilmu ekonomi dalam
upaya kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan untuk mencapai
derajat kesehatan yang optimal. Perubahan mendasar terjadi pada sektor
kesehatan, ketika sektor kesehatan telah menghadapi kenyataan bahwa
sumberdaya yang tersedia (khususnya dana) semakin hari semakin jauh dari

mencukupi. Keterbatasan tersebut mendorong masuknya disiplin ilmu ekonomi
dalam perencanaan, manajemen dan evaluasi sektor kesehatan.
Ekonomi kesehatan akan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Pelayanan kesehatan apa yang perlu diproduksi
2. Berapa besar biaya produksinya?
3. Bagaimana mobilitas dana kesehatan (siapa yang mendanainya?)
4. Bagaimana utilisasi dana kesehatan (siapa penggunanya dan berapa banyak?)
5. Berapa besar manfaat (benefit) investasi pelayanan kesehatan tersebut?
Selanjutnya Rexford dan Stephen (1996) berpendapat bahwa ekonomi
kesehatan (health economy) adalah mempelajari penawaran dan permintaan
(supply and demand) dari sumber-sumber pemeliharaan kesehatan (health care
resources) dan pengaruh (impact) dari sumber-sumber pemeliharaan kesehatan
terhadap masyarakat (population).
Untuk memperjelas terminologi ekonomi kesehatan dan memperkuat
pernyataan par