Semantik Verba ‘Bawa’ Dalam Bahasa Bataktoba: Analisis Metabahasa Semantik Alami

BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep
2.1.1

Semantik
Semantik adalah studi tentang makna, pusat penyelidikan bahasa untuk

memahami hakikat bahasa dan kemampuan bahasa manusia (Goddard 1998:1).

2.1.2

Verba
Verba adalah kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan

yang disebut juga kata kerja (KBBI 2008:1546). Verba merupakan salah satu
kelas leksikal utama dalam bahasa.Verba dari segi perilaku semantisnya memiliki
makna inheren perbuatan atau tindakan yang terkandung di dalamnya.Secara
umum, verba bahasa Indonesia dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu verba
keadaan, verba proses, dan verba tindakan dimana setiap verba memiliki kategori

bawahannya (Tampubolon dkk, dalam Mulyadi 2009:57).

2.1.3

Verba BAWA
Verba BAWA pada hakikatnya mencerminkan suatu tindakan di mana

X(subjek) menyebabkan Y(objek) mengalami perubahan posisi (berpindah).Verba
BAWA adalah sebuah verba yang mengandung dua makna asali yaitu
MELAKUKAN dan TERJADI yang membentuk sintaksis makna universal ‘X
melakukan sesuatu pada sesuatu (Y) karena itu sesuatu terjadi pada Y’.

6

2.1.4

Metabahasa Semantik Alami (MSA)
Metabahasa Semantik Alami (MSA) diakui sebagai pendekatan kajian

semantik yang dianggap mampu memberi hasil analisis makna yang memadai dan

dapat diterima oleh semua penutur jati karena parafrasa maknanya dibingkai
dalam sebuah metabahasa yang bersumber dari bahasa alamiah (Mulyadi dan
Rumnasari K. Siregar 2006:69).

2.2

Landasan Teori
Kajian ini mengggunakan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA).Teori

Metabahasa Semantik Alami (MSA) merupakan kajian semantik leksikal.Asumsi
dasar teori ini adalah bahwa makna kompleks dapat dideskripsikan dengan
menggunakan konfigurasi elemen makna yang lebih sederhana hingga tidak dapat
diuraikan lagi.Teori MSA memiliki beberapa prinsip dasar untuk menghindari
terjadinya kekaburan dan keberputaran dalam analisis makna.
Ada tiga konsep teoritis dalam teori Metabahasa Semantik Alami (MSA)
yaitu

makna

asali


(semantic

primitive/semantic

prime),polisemi

takkomposisi(non-compositional polysemy),dan sintaksis universal (universal
syntax).
2.2.1

Makna Asali
Analisis makna akan diskret dan tuntas jika menggunakan perangkat yang

disebut makna asali.Makna asali adalah makna yang tidak dapat berubah dan telah
diwarisi manusia sejak lahir atau dengan kata lain , makna kata pertama dari
sebuah kata yang tidak mudah berubah meskipun terjadi perubahan kebudayaan

7


(perubahan zaman). Makna asali merupakan refleksi dan pembentukan pikiran
yang dapat dieksplikasi dari bahasa alamiah yang merupakan satu-satunya cara
dalam mempersentasikan makna (Wierzbicka 1996 dalam Purwo 2000:243).
Sebuah tanda tidak dapat dianalisis ke dalam bentuk yang bukan
merupakan tanda itu sendiri.Ini berarti bahwa tidak mungkin menganalisis makna
pada kombinasi bentuk yang bukan merupakan makna bentuk itu sendiri.Asumsi
ini berangkat dari prinsip teori semiotik, yaitu teori tentang tanda.
Asumsi teori MSA berhubungan dengan prinsip semiotik yang
menyatakan bahwa analisis makna akan menjadi diskret dan tuntas, dalam arti
makna sekompleks apapun dapat dijelaskan tanpa perlu berputar-putar
(Wierzbicka 1996 dalam Purwo 2000:241).Prinsip tersebut menyatakan bahwa
makna tidak dapat dideskripsikan tanpa perangkat makna asali.
Wierzbicka telah mengusulkan sejumlah makna asali berdasarkan
penelitian pada sejumlah bahasa di dunia seperti bahasa Cina, Jepang, Inggris,
Aceh, bahasa Aborijin di Australia.
Tabel 2.1
Perangkat makna asali oleh Wierzbicka

KOMPONEN


ELEMEN MAKNA ASALI

Substantif

AKU,

KAMU,

SESUATU/HAL, TUBUH
Substantif relasional

JENIS, BAGIAN

Pewatas

INI, SAMA, LAIN

8

SESORANG/ORANG,


Penjumlah

SATU, DUA, SEMUA, BANYAK, BEBERAPA

Evaluator

BAIK, BURUK

Predikat mental

PIKIR, TAHU, INGIN, RASA, LIHAT , DENGAR

Ujaran

UJAR, KATA, BENAR

Tindakan,

peristiwa, LAKU, TERJADI, GERAK, SENTUH


gerakan, perkenaan
Keberadaan dan milik

ADA, PUNYA

Hidup dan Mati

HIDUP, MATI

Waktu

BILA/WAKTU,
SETELAH,

SEKARANG,

LAMA,

SEKEJAP,


SEBELUM,
SEBENTAR,

SEKARANG ,SAAT
Ruang

(DI) MANA/TEMPAT, (DI) SINI, (DI) ATAS, (DI)
BAWAH, JAUH, DEKAT, SEBELAH, DALAM

Konsep logis

TIDAK, MUNGKIN, DAPAT, KARENA, JIKA

Augmentor, intensifier

SANGAT, LEBIH

Kesamaan


SEPERTI

Sumber :Goddard 2006:12 dalam Mulyadi 2009: 5)
2.2.2

Polisemi Takkomposisi
Asumsi lain yang mendasari teori ini adalah polisemi. Goddard 1996

dalam Purwo 2000:245) mengatakan bahwa polisemi takkomposisi adalah bentuk
leksikon tunggal yang dapat mengekspresikan dua makna asali yang berbeda.Hal
ini terjadi karena adanya hubungan komposisi antara satu eksponen lainnya
karena eksponen tersebut memiliki kerangka gramatikal yang berbeda. Dalam

9

verbatindakan

‘membawa’

initerjadi


polisemi

takkomposisi

antara

MELAKUKAN dan TERJADI, sehingga pengalam memiliki eksponen sebagai
berikut : ‘X melakukan sesuatu, dankarena itu sesuatu terjadi pada Y’.
Goddard juga mengatakan bahwa terdapat dua jenis hubungan yaitu:
hubungan

yang

menyerupai

(entailmeny

like


relationship),

seperti

MELAKUKAN, TERJADI, dan hubungan implikasi (implicational relationship),
seperti MERASAKAN,TERJADI. Pernyataan tersebut dapat dilihat dalam contoh
berikut.
1) X MELAKUKAN sesuatu pada Y
Sesuatu TERJADI pada Y
2) Jika X MERASAKAN sesuatu
Maka sesuatu TERJADI pada X

Berdasarkan contoh di atas, dari verba MELAKUKAN dan TERJADI
dapat diketahui perbedaan sintaksisnya yaitu bahwa MELAKUKAN memerlukan
dua argumen sedangkan TERJADI hanya membutuhkan satu argumen dan pada
verba TERJADI dan MERASAKAN terjadi hubungan implikasi dimana apabila
X MERASAKAN sesuatu, maka sesuatu TERJADI pada X.
2.2.3

Sintaksis Universal
Sintaksis universal dikembangkan Wierzbicka pada akhir tahun 1980-an

yang merupakan perluasan dari sistem makna asali. Makna memiliki struktur yang
sangat kompleks dan tidak hanya dibentuk dari elemen sederhana, seperti
seseorang ingin, tahu; tetapi dari komponen berstruktur kompleks (Wierzbicka

10

1996 dalam Purwo 2000:246).Sintaksis universal terdiri atas kombinasi butir-butir
leksikon makna asali universal yang membentuk proposisi sederhana sesuai
dengan perangkat morfosintaksis. Misalnya: INGIN akan memiliki kaidah
universal tertentu dalam konteks: Saya INGIN melakukan ini (Beratha dalam
Purwo, 2000:246).

2.2.4

Struktur Semantis
Konfigurasi makna kata disebut dengan struktur semantis.Struktur

semantis ini dapat dipahami karena adanya relasi gramatikal antara verba dan
argumen yang dimiliki oleh verba tersebut.Secara universal setiap verba memiliki
khasanah makna yang berbeda-beda sehingga sebuah verba dapat memiliki
struktur semantis yang sederhana dan kompleks.Struktur semantis adalah jaringan
relasi semantis diantara kata-kata di dalam sistem leksikal suatu bahasa.Oleh
karena itu pula dikatakan bahwa setiap bahasa pasti memiliki struktur semantik
(Lyons, 1995 dalam Mulyadi 2003:5).
Struktur semantis dapat dijelaskan dengan menggunakan teori MSA yang
selama ini dianggap berhasil mengeksplikasikan berbagai makna lintas
bahasa.Dengan alat bedah berupa pemetaan dari Metabahasa Semantik Alami
(MSA) akan diperoleh gambaran yang jelas tentang struktur semantik verba
BAWA bahasa Batak Toba.Teori MSA sangat membantu dalam mengkaji struktur
semantis verba BAWA dalam bahasa Batak Toba dengan menggunakan teknik
eksplikasi (parafrasa). Teori MSA mempunyai keunggulan yaitu MSA dapat

11

diterima oleh semua penutur jati karena parafrasa maknanya dibingkai dalam
sebuah metabahasa yang bersumber dari bahasa alamiah.
Parafrasa bisa dikatakan sebagai pengungkapan kembali konsep dengan
cara lain dalam bahasa yang sama tanpa mengubah maknanya (Wierzbickadalam
Purwo 2000: 248).Parafrasa harus mengikuti kaidah-kaidah berikut :
1. Parafrasa harus menggunakan kombinasi sejumlah makna asali yang telah
diusulkan oleh Weirzbicka. Kombinasi sejumlah makna asali diperlukan
terkait dengan klaim dari teori MAM, yaitu suatu bentuk tidak dapat diuraikan
hanya dengan memakai satu makna asali.
2. Parafrasa dapat pula dilakukan dengan memakai unsur yang merupakan
kekhasan

suatu bahasa. Hal ini dapat dilakukan dengan menggabungkan

unsur-unsur yang merupakan keunikan bahasa itu sendiri untuk menguraikan
makna.
3. Kalimat parafrasa harus mengikuti kaidah sintaksis bahasa yang dipakai untuk
memparafrasa.
4. Parafrasa selalu menggunakan bahasa yang sederhana.
5. Kalimat parafrasa kadang-kadang memerlukan indentasi dan spasi khusus.

2.2.5

Kategorisasi
Teori Metabahasa Semantik Alami (MSA) dapat digunakan untuk

menetapkan kategorisasi dan mengeksplikasi semua makna leksikal, gramatikal,
ilokusi, dan pragmatik.Kategorisasi dapat ditetapkan dengan menggunakan teori
Metabahasa Semantik Alami.Kategorisasi adalah pengelompokan butir leksikal

12

berdasarkan kesamaan komponen semantisnya.Kategorisasi ditetapkan dengan
mengelompokkan butir-butir leksikal berdasarkan komponen semantisnya.
Komponen semantis mencakup kombinasi dari perangkat makna seperti
‘seseorang’, ‘sesuatu’, ‘mengatakan’, ‘melakukan’, ‘terjadi’, ‘ini’, dan ‘baik’
(Mulyadi 2000:40 dalam Giovanni 2014:10)..

2.3 Tinjauan Pustaka
Penelitian terhadap verba sudah banyak dilakukan oleh beberapa
ahli.Selanjutnya peneliti akan menjelaskan penelitian- penelitian sebelumnya yang
mirip atau relevan dengan penelitian ini.
Beratha (2000) ‘Struktur Semantis Verba Ujaran Bahasa Bali’ dengan
menggunakan teori Metabahasa Semantik Alami yang berkombinasi dengan teori
peran umum (macro – role). Teori MSA digunakan dalam mengkaji struktur
semantik verba ujaran bahasa Bali dengan membatasinya menggunakan teknik
parafrasa sedangkan teori peran umum (macro- role) digunakan untuk
menjelaskan peran umum yang dimiliki oleh argumen - argumen verba dan peran
umum ini dapat memiliki peran - peran khusus (spesifik).Ada sejumlah verba
tindakan yang bertipe ujaran seperti: ngidih, nunas ‘meminta’, nunden, nikain
‘memerintah’, nombang ‘melarang’, majanji ‘berjanji’, ngajum ‘menyanjung’,
nyadcad ‘mengkritik’, nesek ‘mendesak’, ngancam ‘mengancam’, nuduh
‘menuduh’, matakon/mataken ‘bertanya’. Struktur semantis verba tindakan tipe
ujran ini diformulasikan ‘X mengatakan sesuatu kepada Y’.Beliau juga
mengatakan bahwa peran semantis verba ujaran bahasa Bali adalah sebagai

13

ACTOR yang dapat memiliki peran khusus seperti agen, pemengaruh atau lokatif,
serta UNDERGOER yang mempunyai peran khusus sebagai pasien, tema, atau
lokatif. Penelitian Beratha memberikan sumbangan yang sangat membantu
peneliti terutama dalam menyelesaikan masalah analisis makna yang tampak pada
penggunaan parafrasa yang bersumber dari perangkat makna asali. Penelitian
Beratha akan dikembangkan peneliti dengan kajian yang sama namun dalam
bahasa yang berbeda yaitu verba BAWA dalam bahasa Batak Toba.
Mulyadi (2003) yang berjudul ‘Struktur Semantis Verba Tindakan
BahasaIndonesia’ dengan menggunakan teori MetabahAsa Semantik Alami
(MSA). Teori MSA digunakan untuk mengetahui makna asali verba tindakan
bahasa Indonesia dan memetakan struktur semantis verba tindakan bahasa
Indonesia. Beliau membatasilingkup kajian hanya pada enam verba, yaitu
menangkap, menendang, membeli, menangis, pergi, dan bertemu.
Mulyadi menggolongkan verba bahasa Indonesia menjadi tiga kelas yaitu
tindakan, proses dan keadaaan. Dalam kajiannya Mulyadi mengemukakan bahwa
kajian semantis terhadap verba tindakan bahasa Indonesia memperlihatkan
beberapa implikasi yang menarik. Pertama, ada orelasi antara valensi verba
tindakan dan komponen yang inheren pada verba tersebut, terutama pada
eksponen pertama. Komponen untuk verba bervalensi satu ialah ‘X melakukan
sesuatu’, sedangkan komponen untuk verba bervalensi dua adalah ‘X melakukan
sesuatu pada Y’. Kedua, struktur semantis verba tindakan tidak bersesuaian
dengan tipe verbanya.Verba bervalensi dua seperti menangkap, menendang, dan
membeli dengan verba bervalensi satu seperti pergi pada kenyataannya

14

bertumpang tindih pada komponen kedua.Komponen yang dimaksud ialah
‘sesuatu terjadi karena X menginginkan sesuatu’. Ketiga, dari eksplikasi yang
dilakukan terlihat bahwa struktur semantis verba tindakan bahasa Indonesia tidak
memperlihatkan adanya keteraturan dalam jaringan elemennya. Karena kajian ini
masih dilakukan secara terbatas, yakni hanya menggunakan enam verba sebagai
sampel, kiranya diperlukan kajian yang lebih jauh pada seluruh verba tindakan
bahasa Indonesia. Penelitian Mulyadi memberikan sumbangan kepada peneliti
yang mengkaji semantik verba BAWA dalam bahasa Batak Toba sertacara
mengaplikasikan teori MSA dalam menganalisis struktur.
Gande (2012) dalam tesis yang berjudul ‘Verba Memotong dalam Bahasa
Manggarai’ memakai Matabahasa Semantik Alami sebagai teorinya. Gande
mengklasifikasikan verba yang bermakna “memotong” sesuai dengan realisasi
leksikal verba POTONG dalam bahasa Manggarai yang terdiri atas 86 leksikon
yang diklasifikasikan atas beberapa bagian, yaitu(1) memotong manusia / anggota
tubuh manusia, (2) memotong pada binatang/hewan, (3) memotong pohon, (4)
memotong rumput, (5) memotong buah, (6) memotong daun, (7) memotong tali,
dan (8) memotong kain. Selain itu, Gande juga melakukan kajian terhadap
struktur semantik verbaPOTONGdalam bahasa Manggarai dengan ‘X melakukan
sesuatu pada Y’, ‘sesuatu terjadi pada Y’. Penelitian Gande memberikan
sumbangan bagi peneliti baik dari segi teori dan cara menganalisis makna verba
dengan teknik parafrasa.
Raynold(2014) ‘Struktur Semantis Verba Memotong Bahasa Kei’dengan
menggunakan kajian Metabahasa Semantik Alami. Pada penentuan tipe semantis

15

verba ‘memotong’ bahasa Kei, teori MSA menawarkan polisemi takkomposisi
sebagai alat deskripsi.Berdasarkan analisis yang telah dilakukan adabeberapa hal
yang dapat disimpulkan dalam kajian terhadap struktur dan peran semantis verba
‘memotong’ bahasa kei sebagai berikut.
a. Struktur semantik verba ‘memotong’ bahasa Kei dapat diekspresikan dalam
beberapa leksikon, yaitu: (1) memotong ‘avat’,(2) memotong dengan mesin
‘titat’,(3) memotong dengan kecil-kecil (kek), (4) memotong dengan mesin
(kiq),(5) memotong dengan pisau ‘wur’, (6) memotong dengan pisau atau
parang ‘rouk’, (7) memotong dengan parang ‘vnge’, (8) memotong dengan
pisau ‘isin’, (9) memotong/tebang ‘itan’, dan (10) memotong/membelah ‘uvur’.
b. Penggunaan leksikon verba‘memotong’ (avat; titat, kek,kiq,wur, rouk, vnge,
isin, itan,dan uvur ) bahasa Kei disesuaikan dengan

aktivitas fisik yang

kompleks (complex physical activities) yaitu mencakup motivasi prototypical,
entitas yang diperlakukan, alat yang digunakan, cara memotong, dan hasil yang
diinginkan.
Penelitian Raynold memberikan wawasan bagi peneliti untuk mengkaji
verba BAWA dalam bahasa Batak Toba.Penelitian ini juga menjadi sumber
referensi tentang penerapan teori Metabahasa Semantik Alami dalam mengkaji
struktur semantis dengan menggunakan teknik parafrasa.
Giovanni (2014) dalam skripsinya yang berjudul ‘Verba POTONG bahasa
Batak Toba’ dengan menggunakan teori Metabahasa Semantik Alami. Beliau
menyimpulkan kategorisasi verba yang bermakna POTONG dalam bahasa Batak
Toba terdiri atas satu kategori yaitu memotong dengan alat (X melakukan sesuatu

16

dengan sesuatu) dan satu subkategori (sesuatu terjadi pada Y pada waktu yang
sama). Beliau juga menyatakan bahwa verba POTONG bahasa Batak Toba
dibentuk oleh dua makna asali MELAKUKAN dan TERJADI yang berpolisemi
membentuk sintaksis makna universal ‘X melakukan sesuatu pada sesuatu karena
ini sesuatu terjadi pada Y’.
Penelitian Giovanni memberikan wawasan bagi peneliti untuk mengkaji
verba BAWA dalam bahasa Batak Toba.Penelitian ini juga menjadi sumber
referensi tentang penerapan teori Metabahasa Semantik Alami dalam mengkaji
kategorisasi verba BAWA dalam bahasa Batak Toba.

17