Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Pastoral Gereja Terhadap Pemahaman Makna Hidup Anak Korban Broken Home T2 752014032 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
American Psychological Association (APA) mengartikan keluarga sebagai:
Suatu unit kekerabatan yang terdiri dari sekelompok individu yang
disatukan oleh darah atau perkawinan, adopsi, atau ikatan lainnya.1

Pemahaman tersebut hendak menjelaskan bahwa suatu kelompok individu yang hidup
bersama dikatakan sebagai keluarga tidak hanya sebatas pada ikatan darah saja, tetapi
juga dapat didasarkan pada ikatan yang lain seperti adopsi. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, keluarga didefinisikan sebagai:
Ibu dan bapak beserta anak-anak atau seisi rumah; orang seisi rumah
yang menjadi tanggungan.2

Menurut Horton dan Hunt dalam Tjandrarini, keluarga adalah dasar dari institusi sosial
yang terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak.3 Keluarga ialah komunitas awal dan utama
dalam lingkungan sosial. Berbeda dengan Horton dan Hunt yang memahami keluarga
dari segi anggota-anggotanya, Beavers menambahkan satu aspek lagi yang penting
dalam mendefinisikan keluarga yakni kemampuan yang bermakna.


4

Berdasarkan

pendapat para ahli di atas, penulis memahami keluarga sebagai komunitas terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari bapak, ibu dan anak-anak, yang tidak hanya menjalani
kehidupan secara bersama namun juga memiliki kemampuan untuk menemukan makna
sesuai dengan peran dan fungsinya.

1

APA (American Psychological Association) Dictionary of Psychology (Washington, DC: APA, 2007),

366.
2

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 659.
Kristiana Tjandrarini, Bimbingan Konseling Keluarga (Salatiga: Widya Sari Press, 2004), 7.
4
G. Pirooz Scholevar & Linda D. Schwoeri, Textbook of Family and Couples Therapy (Washington

DC: American Psychiatric Publishing, 2003), 318.
3

1

Beavers membagi keluarga menjadi dua yakni keluarga fungsional dan disfungsional.5
Keluarga fungsional adalah keluarga yang memiliki kemampuan untuk beradaptasi,
bernegosiasi dan menyelesaikan konflik antar anggota. Keluarga disfungsional adalah
keluarga yang tidak memiliki kemampuan untuk bernegosiasi dan menyelesaikan konflik
sehingga mengalami rasa sakit secara emosional serta frustrasi. Dengan kata lain,
keluarga disfungsional adalah keluarga yang mengalami kekerasan, perselisihan,
pertengkaran, perpisahan dan bahkan perceraian. Dari pemahaman tersebut, menurut
penulis keluarga yang baik adalah keluarga yang dapat menjalankan fungsinya secara
penuh, sedangkan keluarga disfungsi yang tidak dapat menjalankan fungsi-fungsinya
menjadi keluarga yang broken home.
Broken home dimaknai sebagai istilah yang berlaku bagi keluarga yang
pasangan suami isterinya telah berpisah atau bercerai.6

Dari pemahaman tersebut, menurut penulis keluarga yang sudah bercerai dapat terdiri
dari ayah saja beserta anak-anak dalam keluarga, ibu saja beserta anak-anak dalam

keluarga, atau hanya ada anak-anak dalam keluarga yang terpisah dari orang tua. Dengan
kata lain, keluarga yang hanya memiliki orang tua tunggal sebagai akibat dari perpisahan
atau perceraian orang tua.
Fenomena keluarga broken home adalah fenomena yang kian menjamur seiring
tumbuh-kembangnya kebiasaan kawin-cerai. Broken home adalah salah satu bukti atau
wujud dari keluarga yang gagal. Broken home dapat terjadi karena banyak faktor. Faktorfaktor tersebut dapat berupa faktor internal dan eksternal. Faktor internal misalnya
kurang atau tidak adanya perhatian dan kasih sayang dalam keluarga. 7 Isteri tidak
menghargai suami dan begitu sebaliknya, atau anak-anak yang tidak menghargai orang

5

Scholevar & Schwoeri, Textbook of Family, 318.
APA (American Psychological Association) Dictionary of Psychology, 137.
7
Tahira Jibeen, “From Home to Shelter Home: Victimization of Young Women in Pakistan,”
Canadian Journal of Behavioural Science, Vol.46, Issue 4 (October 2014): 476.
6

2


tua. Selain itu, broken home juga dapat disebabkan oleh komunikasi yang buruk dalam
keluarga. 8 Kurangnya komunikasi yang baik dapat menciptakan atmosfir rumah yang
tidak nyaman, hubungan yang semakin renggang, dan dapat berujung pada kehancuran
keluarga. Faktor berikut adalah kurangnya waktu luang (quality time) yang dihabiskan
dengan anggota keluarga. 9 Quality time di dalam keluarga adalah sangat penting.
Keluarga seharusnya mengkhususkan waktu untuk berkumpul, berbicara, berdiskusi, dan
bercengkerama bersama di tengah segala kesibukan setiap hari. Faktor internal terakhir
adalah para anggota keluarga tidak memiliki kemampuan untuk menerima krisis yang
terjadi secara positif. 10 Cara pandang yang dibangun bukanlah cara pandang yang
membangun melainkan yang destruktif. Saat menghadapi krisis, anggota keluarga tidak
saling menopang dan saling mempercayai sehingga pada akhirnya ada anggota keluarga
yang menyerah pada keadaan dan mencari jalan lain yakni perpisahan.
Sedangkan faktor eksternal yang dapat menjadi penyebab gagalnya sebuah keluarga
dan muncul fenomena broken home adalah hadirnya WIL/PIL (wanita idaman lain/pria
idaman lain). 11 Perselingkuhan adalah salah satu penyakit yang sudah sangat sering
menggerogoti hubungan banyak pasangan, khususnya di era modern seperti ini. Hal yang
paling mendasar adalah tidak adanya rasa nyaman dengan pasangan dan atau keluarga.
Ketidaknyamanan yang terjadi tidak dapat dikomunikasikan dengan baik sehingga jalan
keluarnya adalah mencari kenyamanan di luar rumah melalui wanita atau pria idaman
lain melalui hubungan perselingkuhan. Fenomena tersebut menimbulkan dampak

psikologis terhadap anak-anak korban broken home.

Jibeen, “From Home to Shelter Home...”, 478.
Jibeen, “From Home to Shelter Home...”, 478.
10
Scholevar & Schwoeri, Textbook of Family, 318.
11
Fakta tersebut berdasarkan pengamatan penulis pada beberapa keluarga broken home di GPM Jemaat
Galala-Hative Kecil.
8

9

3

Anak

korban

broken


home

akan

mengalami

mental

disorder.

Mondor

mengungkapkan bahwa kegagalan orang tua menjalankan perannya dalam keluarga
mengakibatkan anak mengalami frustrasi yang sangat hebat dan juga memungkinkan
mereka terjerat dalam pengkonsumsian narkoba. 12 Kegagalan yang dialami dalam
keluarga membuat anak tidak mengetahui bagaimana harus menjalani hidup. Mel Bartley
juga mengemukakan bahwa walaupun perceraian sudah menjadi hal yang biasa terjadi
pada zaman ini, namun dampaknya pada kesehatan mental anak korban broken home
tidak mengalami penurunan yakni mereka tetap mengalami tekanan psikologis. 13

Tekanan psikologis dan kesehatan mental itu dapat berupa stres, depresi yang
berhubungan dengan gangguan, disorientasi, kebingungan, fobia dan ketakutan. Oleh
karena itu, banyak dari mereka yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial
dan memiliki ketidakmampuan spiritual dalam menyikapi masalah-masalah kehidupan.
Fakta-fakta tersebut, yang dalam Engel disebut sebagai area ketidakmampuan
perkembangan spiritual yakni:
Ketidakmampuan berpikir (aspek berpikir negatif) untuk mengatasi
tantangan hidup dan ketidakyakinan diri (aspek nilai diri negatif)
pribadi setiap individu untuk mencapai kebahagiaan.14

Dari pemahaman tersebut, disimpulkan bahwa anak-anak korban broken home tidak
memiliki kesempatan untuk mengalami kehidupan yang lebih baik dan layak di dalam
keluarga, lingkungan sekolah, dan masyarakat sehingga cenderung kehilangan makna
hidup.
Makna hidup menurut Frankl dalam Engel, merupakan sesuatu yang unik dan khusus,
artinya manusia dapat kehilangan segala sesuatu yang dihargainya kecuali kebebasan

Colleen Mondor, “With or Without You,” Academic Search Complete, Vol. 109, Issue 12 (February
2013): 10-12.
13

Mel Bartley, “Children Suffer Effects of Divorce,” Education Journal, Issue 145 (November 2012):
5.
14
Jacob Daan Engel, Nilai Dasar Logo Konseling (Yogyakarta: Kanisius, 2014), 31-32.
12

4

untuk memilih atau keinginan untuk bermakna, yang mendorongnya untuk melakukan
berbagai kegiatan agar hidup dirasakan berarti dan berharga.15 Hidup memiliki potensi
untuk bermakna, apa pun kondisinya, bahkan dalam kondisi yang paling menyedihkan
sekalipun karena manusia mempunyai kapasitas untuk mengubah aspek-aspek hidup
yang negatif menjadi sesuatu yang positif atau konstruktif. 16 Menurut Engel, makna
hidup adalah hal-hal khusus yang dirasakan penting dan diyakini sebagai sesuatu yang
benar serta layak dijadikan tujuan hidup yang harus diraih.17 Makna hidup yang berhasil
dipenuhi menyebabkan kehidupan seseorang dirasakan penting dan berharga yang pada
gilirannya akan menimbulkan penghayatan bahagia. 18 Dari pemahaman para ahli
tersebut, penulis memahami makna hidup sebagai suatu keadaan dimana seseorang
merasakan bahwa dibalik persoalan atau penderitaan yang digumuli, hidup yang dijalani
dan


dimilikinya

berharga

serta

mempunyai

kemungkinan

untuk

menemukan

kebahagiaan.
Persoalan kehilangan makna hidup dalam diri anak-anak korban broken home, perlu
disikapi oleh gereja. Gereja harus melakukan konseling pastoral untuk menolong mereka
menemukan makna hidup dalam kondisi keluarga yang hancur. Gereja seyogianya
mengembangkan kepekaan diri dan lembaganya untuk dapat langsung meresponi

kenyataan buruk yang dialami oleh anak-anak korban broken home. Clinebell
mengemukakan bahwa gereja harus memahami panggilannya untuk melaksanakan peran
pastoral bagi jemaat yang membutuhkan pertolongan yakni menyembuhkan, menopang,
membimbing, memulihkan, dan mengasuh. 19 Menurut Howe dalam Dayringer, bahwa
pastoral dapat menyembuhkan, menopang, membimbing, dan memulihkan anggota
15

Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 4.
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 5.
17
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 5.
18
H. D. Bastaman, Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup
Bermakna (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), 45.
19
Howard John Clinebell, Basic Types of Pastoral Care and Counseling (Nashville: Abingdon Press,
1984), 43.
16

5


jemaat yang mempunyai masalah untuk menemukan lagi dan menghargai citra Ilahi
dalam diri mereka sendiri dan orang lain.20 Konseling pastoral dapat dilakukan kepada
anggota di dalam gereja atau siapa pun di luar gereja.21 Stone mengemukakan bahwa
konseling pastoral membantu orang untuk mengkonstruksi masa depan dan melakukan
tindakan di masa sekarang. 22 Konseling pastoral ini juga perlu untuk memperhatikan
pengalaman masa lalu agar membantu manusia untuk memahami tindakannya di masa
sekarang. 23 Menurut penulis, gereja mempunyai tanggung jawab yang sangat penting
terhadap para anggotanya, khususnya dalam perjuangan mereka melawan berbagai
persoalan hidup.
Permasalahan yang telah dipaparkan di atas, baik secara teoritis ataupun praktis, itu
juga dialami oleh anak-anak korban broken home di GPM Jemaat Galala-Hative Kecil
yakni mereka mengalami permasalahan dalam diri dan kehidupannya. 24 Pada banyak
kasus, anak korban broken home mengalami perubahan cara pandang dalam melihat
banyak hal. Mereka cenderung menyalahkan diri dan menganggap kegagalan yang
mereka temui dalam hidup sebagai bentuk hukuman Tuhan atas keluarga mereka yang
“sakit”.25 Mereka menghindari persoalan yang sebenarnya terjadi dengan mengkonsumsi
minuman keras dan mabuk-mabukan. 26 Mereka menganggap nasihat-nasihat yang
diberikan adalah sebagai bentuk penghakiman dari orang lain. 27 Mereka juga melihat

Richard Dayringer, “The Image of God in Pastoral Counseling,” Journal of Religion & Health, Vol.
51 Issue 1 (March 2012): 49.
21
Dayringer, “The Image of God...”, 52.
22
Howard Stone, “The Greatest Influence On My Pastoral Counseling,” American Journal of Pastoral
Counseling, Vol 6 (2002): 69.
23
Totok S. Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral (Yogyakarta: Diandara Pustaka Indonesia,
2014), 166.
24
Fakta tersebut berdasarkan pengamatan dan wawancara pra penelitian yang penulis lakukan terhadap
beberapa anak korban broken home.
25
Wawancara dengan Ella (anak korban broken home), Ambon, 9 Desember 2014. Semua informan
dalam penelitian ini menggunakan nama samaran guna melindungi informan dan memberikan mereka
keleluasaan untuk menyampaikan informasi.
26
Wawancara dengan Naldo (anak korban broken home), Ambon, 9 Desember 2014.
27
Wawancara dengan Andre (anak korban broken home) , Ambon, 12 Desember 2014.
20

6

tantangan-tantangan dalam hidup sebagai bentuk tekanan yang tidak dapat dielakkan.28
Pada kasus tertentu, anak korban broken home bahkan tidak memiliki impian untuk
kehidupan masa depannya bahkan cenderung kehilangan makna hidup.29 Oleh sebab itu
maka peran pastoral gereja sangat dibutuhkan untuk menyikapi masalah kehilangan
makna hidup yang dialami oleh para remaja 12 – 18 tahun.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis berkeinginan melakukan penelitian
tentang:
Peran Pastoral Gereja Terhadap Pemahaman Makna Hidup
Anak Korban Broken Home
1.2 Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan diteliti adalah:
Bagaimana peran pastoral gereja terhadap pemahaman makna hidup anak korban
broken home usia 12 – 18 tahun di GPM Jemaat Galala-Hative Kecil?
1.3 Tujuan Penelitian
Mendeskripsikan dan menganalisis peran pastoral gereja terhadap pemahaman makna
hidup anak korban broken home usia 12 – 18 tahun di GPM Jemaat Galala-Hative
Kecil.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi gereja
pada umumnya, dan GPM Jemaat Galala-Hative Kecil pada khususnya akan pentingnya
peran pastoral gereja terhadap pemahaman makna hidup anak korban broken home.
Penelitian ini diharapkan dapat mengingatkan gereja bahwa kehidupan anak juga menjadi

28
29

Wawancara dengan Axel (anak korbanbroken home), Ambon, 14 Desember 2014.
Wawancara dengan Naldo.

7

tanggung jawab gereja, secara khusus anak korban broken home. Oleh karena itu gereja
perlu dan harus melakukan peran pastoralnya guna menuntun anak-anak korban broken
home untuk menyikapi dan menjalani hidup dengan baik. Penulis ingin agar melalui
tulisan ini, gereja menyadari betapa pentingnya peran gereja dalam mengatasi konflik
yang pada umumnya dihadapi oleh anak-anak korban broken home dengan melakukan
peran pastoralnya, sebagai upaya untuk menolong mereka dan mempersiapkan generasi
penerus gereja yang lebih baik.
Penelitian ini penting untuk dilakukan guna memberikan pemahaman bagi gereja
akan peran pastoralnya terhadap makna hidup anak-anak, secara khusus terhadap anak
korban broken home usia remaja. Jika penelitian ini tidak dilakukan, maka gereja
terancam mengalami disfungsi dan akan kehilangan eksistensinya karena gereja
melupakan tanggung jawabnya terhadap anak-anak.
1.5 Metode Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah penelitian deskriptif-analitis
yakni penelitian yang diarahkan untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan
untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia, melakukan
interpretasi dan menganalisis secara mendalam dan memberikan rekomendasi bagi
keperluan masa yang akan datang.30 Yang dideskripsikan dan dianalisis dalam penelitian
ini adalah peran pastoral gereja terhadap pemahaman makna hidup anak korban broken
home. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yakni suatu metode untuk
menangkap dan memberikan gambaran terhadap fenomena tertentu dalam kehidupan
manusia, mengeksplorasi dan memberikan penjelasan dari fenomena yang diteliti
tersebut. 31 Teknik pengumpulan data berupa wawancara dan observasi. Informan yang

30

Moh. Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), 89.
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta: Salemba
Humanika, 2012), 8.
31

8

akan diwawancarai untuk mendukung penelitian ini adalah pendeta, majelis jemaat, orang
tua, dan anak-anak korban broken home usia 12 – 18 tahun menyangkut pelayanan
pastoral yang telah dilakukan oleh gereja. Observasi yang dilakukan ialah pengamatan
terhadap kegiatan sehari-hari anak korban broken home. Berdasarkan hal-hal tersebut, ada
beberapa teori yang menjadi kajian teoritis yaitu tentang peran dan fungsi konseling
pastoral menurut Clinebell, makna hidup menurut Frankl, dan makna hidup yang
berdimensi spiritual menurut Engel.
Tempat penelitian yang penulis pilih adalah GPM Jemaat Galala-Hative Kecil
yang berlokasi di kota Ambon. Penulis memilih lokasi tersebut karena telah melakukan
pra penelitian terkait isu anak korban broken home yang cenderung diabaikan dan tidak
diperhatikan oleh gereja. Kenyataan yang ditemukan ialah bahwa di GPM Jemaat GalalaHative Kecil pada tahun 2012 ada delapan keluarga yang bercerai, pada tahun 2013 ada
empat keluarga yang bercerai, dan pada tahun 2014 ada dua keluarga yang mengalami
perceraian.32 Secara sepintas dapat dilihat bahwa terjadi penurunan dalam angka keluarga
yang bercerai, tetapi penanganan oleh gereja hanya dilakukan sebelum keluarga-keluarga
tersebut bercerai yakni pelayanan pastoral yang dilayani dua atau tiga kali pertemuan
saja, namun tidak ada pelayanan pastoral pasca perceraian bagi anak-anak yang menjadi
korban dari keluarga yang broken home.
1.6 Sistematika Penulisan
Tulisan ini terdiri dari empat bab, antara lain: bab satu yakni pendahuluan yang berisi
tentang uraian latar belakang dari penulisan ini, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab dua tentang
keluarga broken home yang meliputi: definisi, faktor, dan dampak keluarga broken home;

32

Wawancara dengan Ibu Ita (Pegawai Luar Biasa Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota
Ambon), Ambon, 05 Februari 2015. Data tersebut tidak dimiliki oleh gereja. Penulis memperoleh data tentang
keluarga yang bercerai dari Kantor Catatan Sipil.

9

konseling pastoral yang meliputi: definisi, fungsi, serta karakteristik konseling pastoral;
serta makna hidup yang terdiri dari area ketidakmampuan perkembangan spiritual, dan
faktor penyebab ketidakmampuan perkembangan spiritual. Bab tiga berisi tentang hasil
penelitian dan pembahasan yang berisi deskripsi serta analisis peran pastoral gereja
terhadap pemahaman makna hidup anak korban broken home. Bab empat tentang penutup
meliputi kesimpulan yang berisi temuan-temuan dan saran-saran yang berupa kontribusi
dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.

10

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rambu Solo' Sebagai Tindakan Pastoral T2 752011033 BAB I

0 1 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rambu Solo' Sebagai Tindakan Pastoral T2 752011033 BAB II

0 2 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Indonesia dalam Pemahaman Pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) T2 752011022 BAB I

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dan Anak Korban Perdagangan Manusia T2 322009002 BAB I

0 0 42

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Pastoral Gereja Terhadap Pemahaman Makna Hidup Anak Korban Broken Home T2 752014032 BAB II

0 0 40

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Pastoral Gereja Terhadap Pemahaman Makna Hidup Anak Korban Broken Home T2 752014032 BAB IV

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Pastoral Gereja Terhadap Pemahaman Makna Hidup Anak Korban Broken Home

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Pastoral Gereja Terhadap Pemahaman Makna Hidup Anak Korban Broken Home

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemahaman Orang Yahudi Terhadap Penderitaan Menurut Kitab Ayub dan Elevansinya Bagi Pendampingan Pastoral Kedukaan T2 752010020 BAB I

0 0 8

T2__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Manajemen Kurikulum Pendidikan Katekisasi (Studi di Gereja Protestan Maluku) T2 BAB I

0 1 12