Pertanggungjawaban pidana korporasi atas praktik transfer pricing bidang perpajakan di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam hidup bernegara, setiap warga negara diwajibkan untuk membayar
pajak. Pajak merupakan kewajiban kenegaraan setiap warga negara untuk memberikan
kontribusi penerimaan negara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. 9 Oleh karena itu, pajak merupakan kewajiban semua warga
masyarakat dan hukum pajak mengatur hubungan antara penguasa/negara dengan
warganya (orang atau badan) dalam pemenuhan kewajiban perpajakan kepada
negara.10 Dengan demikian, hukum pajak tergolong dalam hukum publik yaitu hukum
administrasi atau tata usaha negara. Hukum pajak sebagai bagian hukum tata usaha
negara bersumber pada peristiwa-peristiwa perdata, yang apabila dilanggar dapat
diancam dengan pelanggaran pidana.11
Direktorat

Jenderal

Pajak

sebagai


lembaga

hukum

yang

bertugas

mengumpulkan uang pajak, melakukan tugasnya berlandaskan pada administrasi
pemungutan pajak sesuai undang-undang pajak. Sekalipun hukum pajak bagian dari
hukum administrasi, materi pajak memang tidak lepas dari hukum perdata dan hukum
pidana. Hukum pajak memiliki keterikatan kuat dengan hukum perdata dan hokum
pidana. Bahkan istilah-istilah (terminologi hukum) yang digunakan hukum pajak

9

Pasal 23A Amandemen ketiga UUD 1945 menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
10

Anshari Ritonga, Pembaharuan Perpajakan dan Hukum Fiskal Formal Indonesia, (Jakarta:
Yayasan Bina Baca Aksara, 2010), hlm. 19.
11
Ibid., hlm. 20. Bandingkan dengan Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak,
Edisi 5, (Jakarta: Salemba Empat, 2010), hlm. 14-15.

Universitas Sumatera Utara

banyak mengambil dari istilah yang digunakan dalam hukum perdata dan hukum
pidana.12 Dekatnya hubungan hukum pajak dengan hukum perdata dan hukum pidana
bisa dimaklumi karena segala macam transaksi ekonomi dalam hukum perdata
menjadi sasaran atau objek hukum pajak.
Soal kealpaan dan kesengajaan yang diatur dalam Pasal 38 dan 39 UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3984) pada dasarnya mengacu pada pengertian kealpaan dan kesengajaan
dalam


hukum

pidana.

Demikian

juga

misalnya

soal

wajib

pajak

yang

memindahtangankan atau memindahkan hak atau merusak barang yang telah disita
karena tidak melunasi utang pajaknya akan diancam dengan Pasal 231 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). 13 Demikian juga dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUHPerdata), khususnya Buku Ketiga tentang Perjanjian, dapat
dikatakan semuanya merupakan transaksi ekonomi yang bersifat perdata yang
mempunyai aspek hukum pajak. Berbagai macam perjanjian yang diatur dalam hukum
perdata umumnya akan berdampak pada aspek pajak, kecuali perjanjian tertentu

12

Misalnya soal daluwarsa utang pajak yang diatur dalam Pasal 22 UU KUP mengacu pada
daluwarsa dalam hukum perdata.Demikian juga soal pengertian hak mendahului yang diatur dalam
Pasal 21 UU KUP secara jelas mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 1139 KUH
Perdata.Pasal 1339 KUH Perdata yang menyebutkan piutang-piutang yang diistimewakan. Pengertian
diistimewakan sama dengan pengertian didahulukan.
13
Anshari Ritonga, Op. Cit., hlm. 20.

Universitas Sumatera Utara

seperti hibah tidak berdampak pada aspek pengenaan pajaknya.14 Hubungan yang jelas
tampak bahwa dalam hukum pajak selalu mencari dasar kemungkinan pemungutan
pajak berdasarkan perbuatan hukum perdata. Jadi, semua kegiatan ekonomi akan

dipantau dari sisi pengenaan pajak untuk kepentingan negara. Proses administrasi
pengenaan pajak (pemajakan) inilah yang diatur dalam hukum pajak, termasuk proses
penyelesaiaan hukumnya sebagai bagian dari hukum administrasi.15
Sebagai bagian dari sekian banyaknya macam transaksi ekonomi, transfer
pricing, terutama international transfer pricing, dapat menimbulkan permasalahan
hukum apabila digunakan untuk kepentingan penghindaran pajak. Dengan
international transfer pricing, perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang
berbeda dapat mengatur harga transfer sedemikian rupa, sehingga perusahaan di
negara yang tarif pajaknya rendah mendapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya,
sedangkan perusahaan di negara yang tarif pajaknya lebih tinggi mendapatkan
keuntungan yang serendah-rendahnya. Domestic transfer pricing bisa juga digunakan
untuk menghindari pajak, meskipun dalam jumlah yang tidak signifikan, dengan cara
menetapkan harga transfer sedemikian rupa, sehingga:
1. Penghasilan kena pajak tersebar merata pada perusahaan-perusahaan terkait untuk
mengurangi kemungkinan terkena tarif pajak progresif tertinggi;
2. Laba dapat dialihkan kepada perusahaan yang masih berhak menikmati
kompensasi kerugian.16

14


Lihat dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
15
Anshari Ritonga, Op. Cit., hlm. 22.
16
Robert Feinschreiber dan Margaret Kent, Asia-Pasific Transfer PricingHandbook,
(Singapura: John Wiley and Sons Singapura Pte.Ltd, 2012), p. 247.

Universitas Sumatera Utara

Untuk mencegah penghindaran pajak melalui transfer pricing ini, OECD
merekomendasikan agar negara-negara mengadopsi transfer pricing rules yaitu
memberikan kewenangan kepada negara untuk mendistribusikan, membagikan, atau
mengalokasikan gross income, pengurangan penghasilan, credits atau allowances, atau
item lain yang mempengaruhi Penghasilan Kena Pajak di antara wajib pajak-wajib
pajak yang mempunyai hubungan istimewa untuk menentukan Penghasilan Kena
Pajak yang sebenarnya dari tiap wajib pajak tersebut. Tujuan transfer rules ini adalah
untuk menempatkan wajib pajak-wajib pajak yang independen, sehingga harga-harga
yang digunakan di antara wajib pajak–wajib pajak tersebut dapat dipastikan
kewajarannya (arm’s length).17

Melalui UU PPh, Indonesia telah mengadopsi transfer pricing rules. Dalam
Pasal 18 ayat (3) UU PPh diatur bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
1. Menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan; serta
2. Menentukan utang sebagai modal.18
Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran
dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Sesuai dengan
Pasal 18 ayat (4) UU PPh, hubungan istimewa dianggap ada apabila:
1. Wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25 % pada wajib pajak lain, atau hubungan antara wajib pajak dengan

17

Darussalam, dkk, Transfer Pricing, Ide, Strategi, dan Panduan Praktis dalam Perspektif
Pajak Internasional, (Jakarta: Danny Darussalam Tax Center, 2013), hlm. 16.
18
Tim SmarTaxes Series, Indonesian Tax Law Update, Complete Compilation, (Jakarta: Semar
Publishing, 2010), hlm. 302

Universitas Sumatera Utara


penyertaan paling rendah 25 % pada dua wajib pajak atau lebih, demikian pula
hubungan antara dua wajib pajak atau lebih yang disebut terakhir;
2. Wajib pajak menguasai wajib pajak lainnya atau dua atau lebih wajib pajak berada
di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung;
3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus dan atau ke samping satu derajat.19
Secara universal transaksi antarwajib pajak yang mempunyai hubungan
istimewa dikenal dengan istilah transfer pricing. Hubungan istimewa dimaksud dapat
mengakibatkan kekurangwajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan
dalam suatu transaski usaha. Transfer pricing dapat mengakibatkan terjadinya
pengalihan penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan/atau biaya dari satu wajib
pajak ke wajib pajak lainnya, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan
jumpah pajak terhutang atas wajib pajak-wajib pajak yang mempunyai hubungan
istimewa tersebut. Kekurangwajaran sebagaimana tersebut di atas dapat terjadi pada:
1. Harga penjualan;
2. Harga pembelian;
3. Alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost);
4. Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (stakeholder
loan);

5. Pembayaran komisi, lisensi, franschise, sewa royalty, imbalan atas jasa
manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya;

19

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

6. Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang
mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar;
7. Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak
mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company atau
reinvoicing center).20
Dengan demikian, apabila dilihat dari perspektif perpajakan internasional,
suatu perusahaan multinasional akan berusaha meminimalkan beban pajak global
mereka dengan cara memanfaatkan ketiadaan ketentuan perpajakan suatu negara yang
tidak mengatur ketentuan anti penghindaran pajak (anti tax avoidance) atau
mengaturnya tetapi tidak memadai, sehingga menimbulkan peluang yang bisa
dimanfaatkan untuk melakukan praktik penghindaran pajak. Bukan rahasia umum

untuk meminimalisasikan pajak, perusahaan sering melakukan transfer pricing guna
memaksimalkan keuntungan. Bagi kalangan pebisnis, pajak tetap saja dipandang
sebagai beban yang mengurangi keuntungan. Atas dasar itu, wajar jika mereka
merekayasa suatu transaksi untuk meminimalisasi beban pajak dengan melakukan
transfer pricing.21
Transfer pricing yang dilakukan direksi suatu korporasi yang bertujuan untuk
menghindari pajak sehingga mengakibatkan kerugian negara merupakan tindak pidana
korporasi. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dalam hukum positif sudah diakui
bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, dan dapat dijatuhkan
pidana. Bahwasanya, korporasi sebagai badan hukum, maka itu juga berarti korporasi
adalah subjek hukum. Oleh karena itu, dapat dimintai pertanggungjawabab secara
20
21

Darussalam, dkk, Op. Cit., hlm. 49.
Ibid., hlm. 67.

Universitas Sumatera Utara

pidana. Istilah tindak pidana korporasi dimaksudkan untuk mempertegas bahwa tindak

pidana itu dilakukan oleh korporasi yang pada umumnya dilakukan oleh direksi suatu
korporasi. Transfer pricing, khususnya international transfer pricing dapat menjadi
persoalan hukum bahkan pidana jika transfer pricing itu digunakan untuk kepentingan
menghindari pajak. Menghindari pajak jelas merupakan kejahatan terhadap negara,
sebab dengan menghindari pajak negara dirugikan.
Penelitian dengan judul Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Atas Praktik
Transfer Pricing Bidang Perpajakan di Indonesia, penting untuk dilakukan dengan
pertimbangan sebagai berikut:
1. Faktor penghindaran pajak (atau memaksimalkan laba grup perusahaan setelah
pajak) belum banyak dibahas, terutama karena asumsi dasar mengenai model
transfer pricing yang dibangun pada periode tertentu diletakkan dalam konteks
intra perusahaan (atau interaksi antardivisi dalam suatu entitas usaha).
2. Praktik transfer pricing dengan meminimalisasikan pembayaran pajak yang
bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan merupakan perbuatan yang
merugikan negara, khususnya dari sektor pajak.
3. Belum banyak negara yang mengatur upaya penghindaran pajak via transfer
pricing.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan
masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia?

Universitas Sumatera Utara

2. Bagaimana perlakuan tindak pidana korporasi atas praktik transfer pricing bidang
perpajakan di Indonesia?
3. Bagaimana model pertanggungjawaban korporasi atas praktik transfer pricing
bidang perpajakan berdasarkan peraturan perundang-undanganyang relevan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan jawaban atas rumusan
permasalahan yang ada yaitu:
1. Pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia;
2. Pertanggungjawaban korporasi atas praktik transfer pricing bidang perpajakan di
Indonesia;
3. Model pertanggungjawaban korporasi atas praktik transfer pricing bidang
perpajakan di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang relevan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:
1. Secara teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan kontribusi
terhadap pemikiran, konsep dan teori pada ilmu hukum pada umumnya dan hukum
pajak pada khususnya.
2. Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk diaplikasikan dalam praktik,
sehingga dapat membantu aparatur negara khususnya yang berkecimpung dalam
penegakan hukum yaitu petugas pajak, polisi, jaksa, hakim dan advokat.
E. Keaslian Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Ide awal yang menjadi judul tesis ini berasal dari penulis sendiri.Ide tersebut
muncul dari permenungan penulis yang mendalam atas pengalaman penulis sebagai
konsultan

pajak.

Namun,

untuk

memastikan

bahwa

tesis

yang

berjudul

“Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Atas Praktik Transfer Pricing Bidang
Perpajakan di Indonesia”, adalah asli, penulis melakukan penelusuran baik di
internet maupun di perpustakaan.
Hasil dari penelusuran di internet dan perpustakaan, khususnya di Perpustakaan
Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, tidak
ditemukan

satupun

judul

tesis

terdahulu

yang

membahas

tentang

“Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Atas Praktik Transfer Pricing Bidang
Perpajakan di Indonesia”. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis dapat mengatakan
bahwa tesis ini adalah asli artinya tidak merupakan tiruan dari topik-topik serupa yang
mungkin pernah ditulis oleh penulis lain di Program Magister Program Studi Ilmu
Hukum baik di Provinsi Sumatera Utara maupun di provinsi lainnya.
Judul Tesis dengan topik sejenis yang pernah ditulis oleh penulis/peneliti lain:
1. Christoforus Samp Pakadang, SE, Ak, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,
Tahun 2015, Judul: Kajian Yuridis terhadap Mekanisme Penetapan Harga Transfer
(Transfer Pricing) dalam Kerangka Persaingan Usaha di Indonesia;
2. Evawani Julita Savitri, SE, Ak, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, Tahun 2003,
Judul: Analisis Penerapan Transfer Pricing pada PT. Indonesia Power;
3. Roberth Jaba Syahansyah, S.Sos, Universitas Airlangga, Surabaya, Tahun 2013,
Judul: Tax Evasion Terkait Pajak Penghasilan Kurang Bayar Akibat Koreksi Fiskal
dalam Praktik Transfer Pricing.

Universitas Sumatera Utara

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Sebelum penulis mengemukakan kerangka teori dalam proposal penelitian ini,
terlebih dahulu dipahami tentang pengertian teori. Teori dalam penelitian ilmiah
adalah sebuah kemestian karena merupakan inti dari penelitian ilmiah dimaksud. 22
Teori secara bahasa adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan,
didukung oleh data dan argumentasi. Kata teori berasal dari kata theoria yang artinya
pandangan dan wawasan. 23 Kerangka teori dalam penulisan karya ilmiah hukum
mempunyai 4 (empat) ciri yaitu pertama; teori-teori hukum, kedua; asas-asas hukum,
ketiga; doktrin hukum, dan keempat; ulasan pakar hukum berdasarkan pertimbangan
kekhususannya.24
Adapun kerangka teori yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
pertanggungjawaban pidana korporasi. Penerapan pertanggungjawaban pidana
korporasi pada awalnya menghadapi sejumlah masalah hukum, khususnya
menyangkut asas tiada pidana tanpa kesalahan (gen strap zonder schuld). Terdapat dua
pengecualian umum yang berkenaan dengan pemberian pertanggungjawaban pidana
kepada korporasi. Pertama, korporasi tidak dapat dinyatakan bersalah pada berbagai
tindak pidana yang sanksinya hanya berupa hukuman badan. Kedua, korporasi tidak

22

Muktar Fajar & Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 92.
23
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi, Cetakan ke – VI, (Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka, 2012), hlm. 4.
24
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 79.

Universitas Sumatera Utara

dapat dibebani pertanggungjawaban pidana jika tindak pidana tersebut secara natural
tidak mungkin dilakukan oleh korporasi, seperti bigamy atau pemerkosaan.25
Terkait dengan konsep pidana tanpa kesalahan ini adalah konsep yang secara
tradisional dianut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut
KUHP). Dalam konteks ini, sama sekali tidak dapat diartikan bahwa delik yang
dilakukan oleh suatu korporasi sama sekali tidak terancam sanksi pidana, tetapi ide
dasar dari konsep ini adalah bahwa pengurus korporasi itulah yang dianggap
bertanggungjawab. Relevan dengan hal tersebut Muladi dan Priyatno mengemukakan
untuk diperhatikan bahwa dalam konteks ini, dua model alternatif pemidanaan
terhadap korporasi adalah bahwa pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah
yang bertanggungjawab.26 Selanjutnya mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat
pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat model pertanggungjawaban korporasi,
sebagai berikut:
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab;
2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab.
3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.27
Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggungjawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban-kewajiban
tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi.
Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana, sehingga dalam

25

Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994),

hlm. 29.
26

Muladi & Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Edisi Revisi, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2010), hlm. 86.
27
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Adapun dasar pemikirannya
adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu
pelanggaran, tetapi selalu penguruslah yang melakukan delik itu. Dan karenanya
penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.28
Terminologi atau istilah korporasi, yang sebenarnya belum terlalu lama
dipergunakan sebagai suatu istilah dalam hukum di Indonesia, dewasa ini dalam
kehidupan sehari-hari sudah biasa dipergunakan sebagai pengganti kata perusahaan,
badan usaha, dan atau badan hukum. Secara etimologi tentang kata korporasi
(Belanda: corporation, Inggris: corporation, Jerman: Korporation) berasal dari kata
corporatio dalam bahasa Latin. Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhir
dengan “tio”, maka corporation sebagai kata benda (substantivum), berasal dari kata
kerja corporare, yang banyak dipakai orang pada zaman abad pertengahan atau
sesudah itu. Corporare sendiri berasal dari kata “corpus” (Indonesia = badan), yang
berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian, corporation itu
berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan perkataan lain badan yang dijadikan
orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan
manusia, yang terjadi menurut alam.29
Selain badan, corpus pun berarti tubuh, raga. Pengertian lain dari corpus adalah
makhluk hidup, pribadi, diri, dan persona. Dewan, perkumpulan, badan, serta buku,

28

Roeslan Saleh, Tentang Tindak-Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta:
BPHN, 1984), hlm. 50-51.
29
Soetan K. Malikoel Adil, Pembaruan Hukum Pidana Kita, (Jakarta: PT Pembangunan,
1955), hlm. 83.

Universitas Sumatera Utara

kitab, dan buku pegangan, juga salah satu arti corpus.30Corpus berarti pula property
yang dikuasai atau the property for which a trustee is responsible.31
Istilah korporasi tidak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Namun, dalam
Pasal 8 ayat (2) Reglement op de Burgerlijke Rechtsvorderin memuat istilah
korporasi.“Indien de eischende of verwerende partij eene corporatie maatschap of
handelsvereniging is, zal hare benaming en de plaats van naam, voornamen moeten
worden uitgedrukt”. Pasal ini pada tahun 1838 diubah menjadi “Indien de eischende of
verwerede partij een rechtspersoon of venootschap is zal haar benaming dan
sebagainya. Dengan mengacu kepada ketentuan Pasal 8 ayat (2) dari Reglement op de
Burgerlijke Rechtsvordering, bahwa yang dimaksud dengan “corporatie” adalah
sesuatu yang dapat disamakan dengan person, yaitu“Rechtspersoon”.
Menurut Satjipto Rahardjo, korporasi adalah suatu badan hasil cipta hukum.
Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan ke
dalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai
kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum, maka kecuali
penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.32 Sementara itu, Utrecht
dan Moch. Soleh tentang korporasi menyatakan: “suatu gabungan orang yang dalam
pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri suatu

30

K. Prent C.M., et al, Kamus Latin, (Yogyakarta: Kanisius, 1969), hlm. 1999.
Martin Basiang, The Contemporary Law Dictionary, 1 st Ed., (tanpa kota: Red & White
Publishing, 2009), hlm. 87.
32
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 110.
31

Universitas Sumatera Utara

personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak
kewajiban sendiri terpisah dari hak kewajiban anggota masing-masing.33
Sehubungan dengan pengertian korporasi, R. Subekti dan R. Tjitrosudiro,
menyatakan corporatie atau korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan
badan.34 Berkaitan dengan korporasi, Yan Pramadya Puspa, menyatakan: “Korporasi
atau badan adalah suatu perseroan yang merupakan badan; korporasi atau perseroan di
sini yang dimaksud adalah suatu perkumpulan atau kumpulan atau organisasi yang
oleh diperlakukan seperti seorang manusia (persona) ialah sebagai pengemban (atau
pemilik) hak dan kewajiban memiliki hak menggugat atau digugat di muka
pengadilan. Contoh badan itu adalah PT (Perseroan Terbatas), N.V. (Namloze
Venootschap) dan yayasan (stichting); bahkan negara pun juga merupakan badan”.35
Relevan dengan hal tersebut Rudy Prasetyo mengemukakan bahwa korporasi
merupakan istilah yang lazim dipergunakan oleh kalangan pakar pidana untuk
menyebut apa yang biasa dalam bidang perdata sebagai badan yang dalam bahasa
Belanda disebut “rechtspersoon”, atau dalam bahasa Inggris legal entities atau
corporation. 36 Menurut Wiryono Prodjodikoro korporasi adalah suatu perkumpulan
orang, dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang
manusia yang merupakan anggota dari korporasi itu, anggota-anggota juga mempunyai
kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan
yang tertinggi dalam peraturan korporasi.37

33

Chidir Ali, Badan Hukum (Bandung: Alumni, 1987), hlm. 64.
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op. Cit., hlm. 13.
35
Yan Pramadya Puspa,Kamus Hukum,C.V. Aneka, Semarang, 1977, hlm. 256.
36
Muladi, Dwidja Priyatno, Op. Cit., hlm. 15.
37
Ibid.
34

Universitas Sumatera Utara

Korporasi sebagai badan keperdataan dapat dirinci dalam beberapa golongan,
dilihat dari cara mendirikannya dan peraturan perundang-undangan sendiri, yaitu:
1. Korporasi egoistis, yaitu korperasi yang menyelenggarakan kepentingan para
anggotanya, terutama kepentingan harta kekayaan, misalnya Perseroan Terbatas,
Serikat Pekerja;
2. Korporasi yang altruistis, yaitu korporasi yang tidak menyelenggarakan
kepentingan para anggotanya, serperti perhimpunan yang memperhatikan nasib
orang-orang tuna netra, tuna rungu, penyakit TBC, penyakit jantung, Taman Siswa,
Muhammadyah, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, ternyata dalam Perdata (Dagang) korporasi
adalah Badan Hukum (rechtspersoon). Perilaku berusaha dan semangat beraktivitas
dam memajukan usaha yang tanpa batas. Semangat yang luar biasa itulah yang
mendorong dilahirkannya usaha-usaaha baru sebagaimana yang diinginkan. Semangat
itu

pulalah

yang

disesuaikan

dengan

kondisi

masing-masing.

Perilaku

pengurus/pengurus pemilik juga sangat didorong oleh fasilitas yang rentang waktu
antara dekade tujuh puluhan sesuai akhir sembilan puluhan sangat menjanjikan.
Berdasarkan kenyataan yang dapat diperhatikan untuk dievaluasi, maka dapatlah
dikatakan bahwa perilaku korporasi ditentukan oleh perilaku para pengurus dan
pemilik, atau pihak pengendali menejemen lainnya. Bentuk korporasi yang
dikembangkan tetap pada bentuk standar Perseroan Terbatas yang berkembang adalah
aktivitas dan jaringan usahanya yang mampu berada dalam satu kelompok atau group
usaha yang dominan dihampir banyak ini produk maupun distribusi. Pada dasarnya
dapat dikatakan bahwa bentuk korporasi di Indonesia hampir tidak ada perkembangan

Universitas Sumatera Utara

yang berarti kecuali tentang pengembangan korporasi itu sendiri sebagai suatu institusi
yang mempunyai tujuan sebagai organisasi ekonomi yang mengejar keuntungan
ekonomi.38 Korporasi di Indonesia secara formal ditandai ciri sebagai badan dengan
nama Perseroan Terbatas yang merupakan sepadan dengan Naamloze Venootschap.
Yang setara dengan “Sendirian Berhad” di Malaysia dan Limited di negara-negara lain.
Menurut Brightwaite, motivasi korporasi melakukan pelanggaran yaitu secara
keseluruhan pelanggaran tidak ditujukan untuk keuntungan pribadi, tetapi lebih
ditujukan kepada tujuan dari organisasi tersebut. 39 Hal ini dikarenakan di dalam
mencari keuntungan, mempertahankan atau mengelola pasar yang tetap, menekan
pengeluaran perusahaan, atau menggeser saingan bisnis, kegiatan korporasi dapat
menyebabkan polusi terhadap lingkungan, terlibat di dalam penipuan dan manipulasi
keuangan, menetapkan harga, menciptakan dan memelihara keadaan berbahaya dalam
pekerjaan, secara sadar memproduksi produk yang tidak aman dan lain-lain.
Perseroan Terbatas tidak dapat menghindari dijatuhkannya pidana. 40 Lord
Thurlow, seorang anggota House of Lords di Inggris mengatakan, “Did you ever a
corporation to have a conscience, when it has no sould to be dammed and no body to
be kicked.41

38

Ismail Suny, Implikasi Amandemen UUD 1945, Terhadap Sistem Nasional, Makalah
disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema: Penegakan Dalam Era
Pembangunan Berkelanjutan. Diselenggarakan oleh BPHN-Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm. 14.
39
Adrian Sutedi, Hukum Perseroan Terbatas, Raih Asa Sukses (Jakarta: Penebar Swadaya
Grup, 2015), hlm. 37.
40
Setiawan,Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Cetakan Pertama, (Bandung:
Alumni, 1992), hlm. 89.
41
R.A. Torringa, Strafbaar heid van rechtspersonen, Gouda Quint, B.V.Amhem, 1984, dalam
Purwoto S. Gandasubrata, Tanggungjawab Pidana/Perdata Pengurus dan Pimpinan Bank,(Varia
Peradilan No. 58, Juli 1990), hlm. 128.

Universitas Sumatera Utara

Dalam perkembangannya, masalah tanggung jawab atas kejahatan pidana yang
dilakukan oleh perseroan sebagai badan hukum dalam ilmu hukum mengalami
perkembangan. Ajaran perihal fysieke daderschaap digeser oleh ajaran tentang
fungsionele daderschap. Ajaran perihal fysieke daderschap menitikberatkan perbuatan
pidana pada kekuatan nyata orang perseorangan belaka. Sementara itu, ajaran
fungsionele daderschap menitikberatkan pada siapa yang menentang fungsi pada
terjadinya perbuatan pidana tadi. Dalam kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi, ajaran
ini dipertegas lagi siapa saja yang memegang peranan yang bersifat memutuskan
(beschikkingsdader). Melalui rintisan yang dilakukan yang menyatakan bahwa badan
hukum dapat dipidana kini terbuka lebar.

42

Menurut ajaran corporate crime,

tanggungjawab dilimpahkan kepada pengurus Perseroan Terbatas. Sebab, menurut
Black, corporate crime adalah “Any criminal offence committed by and hence
chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees.43
Kebijakan hukum pajak selama ini adalah kebijakan preventif dan ultimum
remedium. Kebijakan hukum pajak adalah kebijakan preventif berdasarkan pendapat
Barda Nawawi Arief sebagai berikut yang dimaksud dengan kebijakan preventif
adalah kebijakan yang diberikan oleh undang-undang kepada aparat penegak hukum
untuk mencegah atau tidak mengajukan tersangka ke pengadilan. Jadi untuk mencegah
kemungkinan besar tersangka dikenakan pidana penjara sehubungan dengan adanya
sistem perumusan ancaman pidana penjara bersifat imperatif.44

42

R.A.Torringa., Op. Cit., hlm. 24.
Henry Campbell Black, Black,s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing, St. Paull,
MN, Co., hlm. 236.
44
Amir Syamsuddin, “Penerapan Delik Korupsi dan Kebijhakan Hukum Pidana di Bidang
Perpajakan”, Jurnal Keadilan Vol. 5 No. 1 Tahun 2011, hlm. 54.
43

Universitas Sumatera Utara

Sanksi pidana bersifat ultimum remedium artinya sanksi tersebut baru
diterapkan sebagai upaya terakhir apabila sebelumnya sudah diterapkan sanksi-sanksi
hukum lainnya (sanksi perdata dan/atau sanksi administrasi) dan sanksi-sanksi lainnya
tersebut ternyata tidak efektif. Hal ini juga tertuang dalam Lampiran Surat Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-272 tanggal 17 Mei 2002 sebagai berikut: “pada
dasarnya kegiatan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah upaya paling
akhir (ultimum remedium) dalam usaha penegakan ketentuan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku setelah upaya lain yang telah dilaksanakan sebelumnya”.
Transfer pricing adalah kebijakan suatu perusahaan dalam menentukan harga
transfer suatu transaksi. Transfer pricing dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu
intra-company dan inter-company transfer pricing. Intra-company transfer pricing
merupakan transfer pricing antar divisi dalam suatu perusahaan. Sedangkan intercompany transfer pricing merupakan transfer pricing antara dua perusahaan yang
mempunyai dua hubungan istimewa. Kedua perusahaan tersebut bisa berada dalam
satu negara (domestic transfer pricing), bisa juga berada di negara yang berbeda
(international transfer pricing).
Transfer pricing, terutama international transfer pricing, dapat menimbulkan
permasalahan apabila digunakan untuk kepentingan penghindaran pajak. Dengan
international transfer pricing, perusahaan-perusahaan yang berada pada negara yang
berbeda dapat mengatur harga-harga transfer sedemikian rupa, sehingga perusahaan di
negara yang tarif pajaknya rendah mendapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya,
sedangkan perusahaan di negara yang tarif pajaknya lebih tinggi mendapatkan
keuntungan yang serendah-rendahnya.

Universitas Sumatera Utara

Domestic transfer pricing bisa juga digunakan untuk menghindari pajak,
meskipun dalam jumlah yang tidak signifikan, dengan cara menetapkan harga transfer
sedemikian rupa sehingga:
a. Penghasilan kena pajak tersebar merata pada perusahaan-perusahaan terkait untuk
mengurangi kemungkinan terkena tarif pajak progresif tertinggi.
b. Laba dapat dialihkan kepada perusahaan yang masih berhak menikmati
kompensasi kerugian.
Contoh:
MBR.Ltd yang berkedudukan di Jepang mempunyai anak perusahaan di
Malaysia, Hongkong dan Indonesia. Pada suatu saat, perusahaan Indonesia mengimpor
bahan dari MBR Ltd Jepang. Namun, faktur dari Jepang dikirim ke Hongkong dan dari
Hongkong dikirim ke Singapura. Dari Singapura inilah dikeluarkan faktur ke
Indonesia. Dari Jepang barang dihitung harga US $100, dari Hongkong ke Singapura
dihitung US $200 dan dari Singapura ke Indonesia dihitung US $300. Di Indonesia
dijual dengan US $400, sehingga laba seluruhnya adalah sekurang-kurangnya US
$300.45
Dengan transfer pricing tersebut, laba tersebut dialokasikan ke Jepang,
Hongkong, Singapura dan Indonesia, padahal barang dari Jepang langsung dikirim ke
Indonesia, hanya kertasnya yang mampir-mampir. Karena dianggap, memakai jasa
broker trading house Singapura, perusahaan Indonesia harus membayar komisi
US$50. Atas modal kerja untuk melaksanakan pembelian itu dibiayai dengan pinjaman
dari grup dengan bunga 15% atau US $45. Berarti laba perusahaan Indonesia tinggal

45

Darussalam, dkk, Op. Cit., hlm. 45.

Universitas Sumatera Utara

US $5. Kalau atas bahan tersebut diperlukan jasa teknik dari induk di Jepang dengan
biaya US $30 (10%), akhirnya perusahaan Indonesia justru menderita rugi US $25.46
2. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus yang
merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti
dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah. Landasan konseptual ini dibuat untuk
menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arahan dalam
penelitian, maka dengan ini dirasa perlu untuk memberikan beberapa konsep yang
berhubungan dengan judul penelitian ini, yaitu:
a. Pertanggungjawaban Pidana.
Pertanggungjawaban

pidana,

dalam

istilah

asing

disebut

juga

teorekenbaardheid atau criminal responsibility, yang menjurus kepada pemidanaan
pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. 47 Konsep
pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk
mengenakan pidana terhadap seseorang pembuat tindak pidana.48
Ada dua pandangan pertanggungjawaban pidana yaitu pandangan yang
monistis dan dualistis. Pandangan yang monistis antara lain dikemukakan oleh Simon
yang merumuskan strafbaar feit sebagai “Eine strafbaar gestelde, onrechtmatige, met
schuld in verband staande handeling van een torekeningvatbaar person” (suatu
perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum,
46

Ibid
Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan
Korporasi, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hlm. 34.
48
Ibid., hlm. 35.
47

Universitas Sumatera Utara

dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas
perbuatannya).49
Menurut aliran monisme, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur
perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur pembuat, yang lazim
dinamakan unsur subjektif. Oleh karena itu, dicampurnya unsur perbuatan dan unsur
pembuatnya, maka dapatlah disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan
syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi
straafbaar feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana. Oleh karena itu, penganut
pandangan monistis tentang strafbaar feit atau criminal act berpendapat, bahwa unsurunsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik yang meliputi:50
1. Kemampuan bertanggungjawab;
2. Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/atau kealpaan;
3. Tidak ada alasan pemaaf.
Menurut aliran atau pandangan dualistis yang salah satu penganutnyaadalah
Herman Kontorowicz,menyatakan untuk adanya strafvoraussetzungen (syarat-syarat
penjatuhan pidana terhadap pembuat) diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya
strafbare handlung (perbuatan pidana), lalu setelah itu dibuktikan schuld atau
kesalahan subjektif pembuat.
b. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Pemahaman terhadap masalah pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai
pelaku tindak pidana, tidak dapat dilepaskan dari persoalan pertanggungjawaban
dalam hukum pidana yang senantiasa dikaitkan dengan masalah kesalahan, yakni
49
50

Ibid., hlm. 36
Ibid., hlm. 37

Universitas Sumatera Utara

kemampuan bertanggungjawab, adanya unsur kesengajaan atau kealpaan dan tidak
adanya alasan penghapusan pidana.
c. Transfer Pricing
Dalam perspektif perpajakan, transfer pricing adalah suatu kebijakan harga
dalam transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa. Secara universal transaksi antarwajib pajak yang mempunyai hubungan
istimewa dikenal dengan istilah transfer pricing. Hubungan istimewa dimaksud dapat
mengakibatkan kekurangwajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan
dalam suatu transaski usaha. Transfer pricing dapat mengakibatkan terjadinya
pengalihan penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan/atau biaya dari satu wajib
pajak ke wajib pajak lainnya, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan
jumpah pajak terhutang atas wajib pajak-wajib pajak yang mempunyai hubungan
istimewa tersebut.

d. Perpajakan
Perpajakan adalah perihal pajak. Pajak adalah pungutan wajib, biasanya berupa
uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau
pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang dan
sebagainya. Pajak menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Universitas Sumatera Utara

G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis atau tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif (yuridis normatif) atau disebut juga penelitian doktrinal yang dalam
hal ini dengan mengkaji penerapan peraturan perundang-undangan terhadap kasus
transfer pricing. Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin guna menjawab isu hukum
yang dihadapi.51 Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan
hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah
mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan
pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).52 Penelitian hukum normatif disebut juga
penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum doktrinal dikonsepkan sebagai apa yang
tertulis di dalam peraturan perundang-undangan (law in the books) atau hukum
dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia
yang dianggap pantas.
Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analitis.
Menurut Whitney, metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang
tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu. Deskriptif analitis
berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks
teori-teori hukum dan pelaksanaannya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang
penggunaan peraturan perundang-undangan.

51

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2010), hlm.

52

Mukti Fajar & Yulianto Achmad, Op. Cit., hlm. 92.

35.

Universitas Sumatera Utara

Terkait dengan sifat penelitian tersebut, maka berdasarkan topik tesis ini yaitu
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Atas Praktik Transfer Pricing Bidang
Perpajakan Di Indonesia, maka dianalisis secara deskriptif (memaparkan) berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pertanggungjawaban pidana
korporasi dengan kasus transfer pricing.
2. Sumber Data Penelitian
Berhubung penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang menggunakan
data sekunder, maka terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tertier. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas. 53 Bahan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang-undangan dan peraturan yang relevan dengan penelitian ini yaitu:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
b. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan;
c. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2007 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
d. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks
(textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), semua
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi,54 termasuk
skripsi, tesis dan disertasi hukum serta jurnal-jurnal hukum.55

53

Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hlm. 141.
Peter Mahmud Marzuki, Loc. Cit.
55
Ibid., hlm. 155.

54

Universitas Sumatera Utara

Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus
hukum, ensiklopedi dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah prosedur sistematis dan standar untuk memperoleh
data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode mengumpulkan data dengan
masalah penelitian yang ingin dipecahkan. Masalah memberi arah dan mempengaruhi
metode pengumpulan data. Banyak masalah yang dirumuskan tidak akan bisa
terpecahkan karena metode untuk memperoleh data yang digunakan tidak
memungkinkan.56 Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, oleh karena
itu, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan.
Studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang dipergunakan dalam
penelitian hukum normatif.57 Tujuan dan kegunaan studi kepustakaan pada dasarnya
adalah menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian. Apabila peneliti
mengetahui apa yang telah dilakukan oleh peneliti lain, maka peneliti akan lebih siap
dengan pengetahuan yang lebih dalam dan lengkap. Secara singkat studi kepustakaan
dapat membantu peneliti dalam berbagai keperluan misalnya:
a. Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan
berkaitan dengan permasalahan;
b. Mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan yang
digunakan;
c. Sebagai sumber data sekunder;
56

Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 174.
Ibid., hlm. 17.

57

Universitas Sumatera Utara

d. Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannya;
e. Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat
digunakan;
f. Memperkaya ide-ide baru;
g. Mengetahui siapa saja peneliti lain di bidang yang sama dengan siapa pemakai
hasilnya;
4. Analisis Data
Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih
mudah dibaca dan diinterpretasikan. 58 Pengolahan, analisis dan konstruksi data
penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap
kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasalpasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem
hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundangundangan, putusan-putusan pengadilan dan dianalisis berdasarkan kualitatif yaitu
dengan melakukan:
a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum
(konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap
bahan hukum tersebut;
b. Mengelompokan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau
berkaitan;
c. Menemukan hubungan di antara berbagai kategori atau peraturan kemudian diolah;

58

Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survai, (Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia, 2008), hlm. 263.

Universitas Sumatera Utara

d. Menjelaskan dan menguraikan berbagai hubungan di antara berbagai kategori atau
peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif,
sehingga

mengungkapkan

hasil

yang

diharapkan

dan

kesimpulan

atas

permasalahan.
Analisis data kualitatif ini adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja
dengan

data,

memilah-milahnya

menjadi

satuan

yang

dapat

dikelola,

mensistensiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan
apa yang dipelajari, dan menemukan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.59
Bahan hukum yang telah diinventarisasi dan diidentifikasi kemudian dianalisis
secara kualitatif dengan menggunakan tahapan berpikir sistematis guna menemukan
jawaban atas permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Analisis dilakukan
dengan mendasarkan pada teori-teori hukum yang pada akhirnya akan memberikan
hasil yang signifikan dan bermakna ke dalam bentuk sebuah paparan yang nyata.

59

Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006),

hlm. 248.

Universitas Sumatera Utara