Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Yang Memperniagakan Satwa Yang Dilindungi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemny ( Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1513/Pid.B/2014/Pn.Md

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU YANG MEMPERNIAGAKAN SATWA YANG DILINDUNGI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI

SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

( Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1513/Pid.B/2014/PN.Mdn)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

MARGARETHA SIAHAAN NIM : 110200096

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU YANG MEMPERNIAGAKAN SATWA YANG DILINDUNGI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI

SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

( Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1513/Pid.B/2014/PN.Mdn) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh : NIM : 110200096 MARGARETHA SIAHAAN

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

(Dr. M. Hamdan, SH. MH) NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Dr. Madiasa Ablisar, SH. MS) (Dr. Mohammad Ekaputra,SH. M.Hum) NIP. 19610408198611002 NIP. 197110051998011001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena berkat Kasih dan Karunia-Nya akhrinya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “PertanggungJawaban Pidana Terhadap Pelaku Yang Memperniagakan Satwa Yang Dilindungi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1513/Pid.B/2014/Pn.Mdn)”

Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam pembuatan skripsi ini penulis tidak sendirian, ada banyak pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.Hum, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. O.K. Saidin SH, S.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Sumatera Utara.


(4)

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, MH, selaku Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana.

7. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS selaku Dosen Pembimbing I, yang membimbing, mengarahkan, serta memberikan waktu dan sarannya kepada penulis selama masa penulisan dan penyelesaian skripsi ini.

8. Bapak Dr. Mohammad Ekaputra, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang membimbing, medukung, mengarahkan, serta memberikan waktu dan sarannya selama penyelesaian skripsi ini. 9. Ibu Afrita, SH, M.Hum, selaku Dosen Wali Penulis yang telah

membimbing penulis selama menjalankan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Terkhusus kepada kedua orang tua penulis, ayah W. Siahaan, dan ibu S. Sihotang, Spd, untuk setiap doa dan dukungan, semangat dan masukan yang diberikan kepada penulis serta kakak dan adik-adik penulis, Gracia Siahaan, Yohannes Siahaan dan Angelia Siahaan, terimakasih buat setiap doa, saran dan dukungannya.

11. Seluruh keluarga besar penulis, dan sepupu terbaik, Kak Swanti, Kak Uli, Kak Nesya, Hendro, Martin, Sarah, dan Christine yang telah mendukung dan memberikan motivasinya.


(5)

12. Sahabat-sahabat selama perkuliahan rekan-rekan Bootylicious Nesya Yulya, Agnestesia Rizky Riatur Rumondang, Kiki Ayu Lestari Tambunan, Rolas Putri Febriyani, Annisa Kusumawardhani dan teman-teman Grup B lainnya yang memberikan dukungan serta semangatnya kepada penulis.

13. Sahabat-sahabat SMA penulis teman-teman BeJeMaDe, Bernadetha Sitohang, Jenita Lamria, dan Denny Hasibuan yang juga selalu mendoakan dan menyemangati penulis.

14. Sahabat-sahabat penpal penulis, Melody Lam, Mia Scott, Alisa, Tan Seok Sching dan semuanya yang tidak dapat disebutkan satu persatu terimakasih buat motivasi dan dukungan kalian.

15. Teman-teman anggota Methodist Youth Fellowship (MYF) yang telah memberikan doa dan dukungannya.

16. Rekan-rekan IMADANA FH USU yang memberikan dukungan serta semangatnya kepada penulis.

17. Seluruh rekan-rekan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) FH USU dan semua anggota yang senantiasa menyemangati dan membantu penulis.

Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iv

ABSTRAKSI vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1

B. Perumusan Masalah 9

C. Tujuan dan Mafaat Penulisan 9

D. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Pertanggung Jawaban Pidana 10

2. Pengertian Pelaku 13

3. Pengertian Satwa Yang Dilindungi 16

E. Metode penelitian 19

F. Keaslian Penulisan 22

G. Sistematika Penulisan 22

BAB II REGULASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

YANG TERKAIT DENGAN PERTANGGUNGJAWABAN

PIDANA TERHADAP PELAKU YANG

MEMPERNIAGAKAN SATWA YANG DILINDUNGI

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Lembaran


(7)

Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara

3419) 24

2. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa 38

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar

39

4. Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 Tentang Convention On International Trade In Endangered Species Of

Wild Fauna And Flora 41

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP

PELAKU YANG MEMPERNIAGAKAN SATWA YANG DILINDUNGI BERDASARKAN PERSPEKTIF

UNDANG-UNDANGNOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG

KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

A. Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Pelaku Suatu Tindak

Pidana 45

B. Kasus Posisi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor1513/ Pid.B/ 2014/ PN.Mdn)

1. Kronologi Kasus 71

2. Dakwaan 73

3. Tuntutan 74

4. Fakta Hukum 75


(8)

6. Putusan Hakim 85

C. Analisis Kasus 86

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 94

B. Saran 95


(9)

ABSTRAK

Dr. Madiasa Ablisar, SH.,M.S.* Dr. Mohammad Ekaputra, SH.,M.Hum**

Margaretha Siahaan***

Kegiatan perniagaan satwa liar yang sering dilakukan dalam bentuk perdagangan satwa liar semakin marak terjadi yang berdampak kepada kepunahan dari satwa-satwa tersebut. Tercatat antara bulan September 2010 dan April 2011sekitar 5.370 individu dari 52 spesies berhasil ditemukan untuk diperdagangkan. Setidaknya sekitar 44% adalah dilindungi atau tidak untuk ditangkarkan, hal ini menjadikan perdagangan jenis-jenis spesies ini ilegal.

Keadaan di atas yang kemudian memunculkan pertanyaan bagi penulis yang kemudian diangkat menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini yaitu bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku yang memperniagakan satwa yang dilindungi berdasarkan perspektif undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam putusan pengadilan.Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini. Bersifat normatif maksudnya adalah penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya dan penerapannya dalam praktek (studi putusan).

Kajian dalam skripsi ini dituangkan dengan membahas berbagai peraturan yang memiliki kaitan dengan kegiatan perniagaan satwa liar serta unsur-unsur pertanggung jawaban pidana dan kaitannya dengan tindak pidana perniagaan satwa yaang dilindungi. Pokok-pokok bahasan dan kajian tersebut kemudian diimplementasikan kembali dengan pertanggungjawaban pidana yang nyata di lapangan melalui analisis putusan Pengadian Negeri Medan.

Hasil pembahasan skripsi ini berfokus pada telah sesuainya putusan Hakim yang dirasakan telah mencerminkan rasa keadilan, dalam kasus perniagaan satwa yang dilindungi yang terjadi di Pengadilan Negeri Medan tersebut. Hakim memvonis terdakwa dengan 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan dan denda sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) yang telah sesuai dengan aturan dari undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.

*Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Penulis, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(10)

ABSTRAK

Dr. Madiasa Ablisar, SH.,M.S.* Dr. Mohammad Ekaputra, SH.,M.Hum**

Margaretha Siahaan***

Kegiatan perniagaan satwa liar yang sering dilakukan dalam bentuk perdagangan satwa liar semakin marak terjadi yang berdampak kepada kepunahan dari satwa-satwa tersebut. Tercatat antara bulan September 2010 dan April 2011sekitar 5.370 individu dari 52 spesies berhasil ditemukan untuk diperdagangkan. Setidaknya sekitar 44% adalah dilindungi atau tidak untuk ditangkarkan, hal ini menjadikan perdagangan jenis-jenis spesies ini ilegal.

Keadaan di atas yang kemudian memunculkan pertanyaan bagi penulis yang kemudian diangkat menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini yaitu bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku yang memperniagakan satwa yang dilindungi berdasarkan perspektif undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam putusan pengadilan.Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini. Bersifat normatif maksudnya adalah penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya dan penerapannya dalam praktek (studi putusan).

Kajian dalam skripsi ini dituangkan dengan membahas berbagai peraturan yang memiliki kaitan dengan kegiatan perniagaan satwa liar serta unsur-unsur pertanggung jawaban pidana dan kaitannya dengan tindak pidana perniagaan satwa yaang dilindungi. Pokok-pokok bahasan dan kajian tersebut kemudian diimplementasikan kembali dengan pertanggungjawaban pidana yang nyata di lapangan melalui analisis putusan Pengadian Negeri Medan.

Hasil pembahasan skripsi ini berfokus pada telah sesuainya putusan Hakim yang dirasakan telah mencerminkan rasa keadilan, dalam kasus perniagaan satwa yang dilindungi yang terjadi di Pengadilan Negeri Medan tersebut. Hakim memvonis terdakwa dengan 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan dan denda sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) yang telah sesuai dengan aturan dari undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.

*Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Penulis, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam, baik hayati maupun Nomorn hayati. Sumber daya hayati Indonesia dikenal tidak saja kaya tetapi juga mempunyai keunikan tertentu. Sumber daya alam tersebut mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan dan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa depan.1

Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, merupakan sebuah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diperuntukkan bagi bangsa Indonesia yang tidak dapat terhitung jumlahnya. Salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia adalah berbagai macam satwa, yang tersebar di seluruh pulau-pulau yang ada di Indonesia. Tidak kurang 10 persen makhluk hidup di dunia jenisnya ditemukan di Indonesia, Centre on Biological Biodiversity (CBD) mencatat bahwa 12% mamalia, dan 16% reptil di dunia berada di indonesia. Kemudian terdapat 1.592 spesies burung dan setidaknya 270 spesies ampibhi hidup di Indonesia.2

1

Bagian Menimbang Huruf a Undang-Undang No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya

Satwa yang ada di habitat wilayah Indonesia adalah cirisuatu

jam 10:08


(12)

pulau yang didiami satwa tersebut, karena ekosistem di dalamnya mendukung akan perkembangbiakan satwa tersebut di Indonesia sendiri.3

Tetapi pada kenyataannya satwa-satwa tersebut sudah sangat sulit dijumpai di habitat aslinya. Satwa-satwa yang dilindungi tersebut diantaranya yang sudah jarang ditemui di tempat aslinya, seperti harimau Sumatera, badak bercula satu, aNomora, burung cendrawasih, gajah Sumatera, harimau Jawa, dan masih banyak lagi satwa-satwa yang hidup di daratan, perairan, dan di udara yang terancam punah. Habitat dan kepunahan beberapa jenis satwa tersebut selama

Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya disebutkan :

“Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa feNomormena alam, baik secara masing-masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti.”

Pentingnya peranan setiap unsur dalam pembentukan lingkungan bersifat mutlak serta tak tergantikan. Jadi dapat dipahami jika satwa juga merupakan unsur yang bersifat mutlak serta tidak dapat digantikan dalam pembentukan lingkungan hidup. Adanya gangguan yang dialami salah satu unsur berarti terganggu seluruh ekosistem sehingga kelestarian pemanfaatan dikhawatirkan terganggu pula. Sehingga pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab bersama masyarakat serta pemerintah.

3

Muhammad Iqbal, Tinjauan Yuridis Terhadap Kepemilikan Dan Penjualan Satwa Langka Tanpa Izin Di indonesia, Jurnal Beraja NITI Volume 3 Nomor 3, Samarinda, 2014,hlm.2.


(13)

inibanyak yang telah rusak ataupun sengaja dirusak oleh berbagi ulah sekelompok manusia yang tidak bertanggung jawab.4

Ancaman terbesar terhadap kelestarian satwa-satwa tersebut adalah aktivitas manusia, terutama konversi kawasan hutan untuk tujuan pembangunan seperti perkebunan, pertambangan, perluasan pemukiman, transmigrasi dan pembangunan infrastruktur lainnya. Selain mengakibatkan fragmentasi habitat, berbagai aktivitas tersebut juga sering memicu konflik antara manusia dan satwa, sehingga menyebabkan korban di kedua belah pihak, bahkan sering berakhir dengan tersingkirnya satwa tersebut dari habitatnya. Bentuk lain aktivitas manusia yang secara langsung mengakibatkan tersingkirnya satwa tersebut dari habitat alaminya adalah perburuan serta perdagangan ilegal satwa dan produk turunannya. Tingginya permintaan komersial dari produk-produk ilegal satwa mulai dari kulit, tulang, taring, serta daging mendorong meningkatnya perburuan satwa tersebut.5

4

Departemen Kehutanan, Strategi dan Rancana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Kalimantan 2007-2017. Jakarta, 2007, hlm.3.

5

Departemen Kehutanan, Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2007-2017, Jakarta, 2007, hlm.1.

Perdagangan satwa liar beserta bagian-bagian tubuh dan produk olahannya tampaknya telah menjadi bisnis yang menguntungkan sekaligus penting di dunia internasional. Sejumlah besar spesies satwa liar secara rutin telah ditangkap dari alam dan dikirim ke seluruh penjuru dunia. Pemanen besar-besaran, terutama untuk tujuan komersial, merupakan penyebab utama langkanya berbagai spesies. Pada awalnya pemanen satwa liar hanya ditujukan untuk kebutuhan sehari-hari. Selanjutnya kegiatan pemanen ini kemudian berubah menjadi aktivitas jual beli untuk mendapatkan uang tunai dengan pihak


(14)

lain.6Perilaku masyarakat yang dapat mengancam kepunahan dari satwa langka yang mana ambisi manusia ingin memiliki tetapi tidak memperdulikan populasinya di habitat asalnya.7

Kasus demi kasus pun mencuat terkait dengan kegiatan penangkapan, perdagangan sampai pembunuhan terhadap satwa yang dilindungi. Pada Tahun 2009 Bali memunculkan isu yang kontroversial yaitu tentang pengajuan Gubernur Bali mengenai kuota 1000 ekor penyu untuk keperluan adat dan upacara agama. Pengajuan kuota pemanfaatan penyu tersebut sangat ironis sekali di tengah pencitraan Bali sebagai daerah wisata yang ramah lingkungan. Antara bulan September 2010 dan April 2011 dua peneliti bernama Daniel Natusch dan Jessica Lyons dari Universitas New South Wales Australia telah melakukan survey terhadap para pedagang reptil dan amfibi di propinsi Maluku, Papua Barat dan Papua. Para penulis menemukan beberapa jenis spesies yang banyak diperdagangkan, diantaranya: ular piton hijau (Morelia viridis), ular piton boelen (Morelia boeleni), kadal leher berumbai (Clamydosaurus kingii), Kura-kura Papua/snapping turtle (Elseya brndenhorsti), kadal lidah biru (Tiliqua Scincoides), katak pohon hijau (Litoria caerulea), dan beberapa spesies dari biawak (Varanus sp.) Menurut hasil kajian ini, sekitar 5.370 individu dari 52 spesies berhasil ditemukan untuk diperdagangkan. Setidaknya sekitar 44% adalah dilindungi atau tidak untuk ditangkarkan, hal ini menjadikan perdagangan jenis-jenis spesies ini ilegal. Sekitar setengah dari jumlah spesies yang ditemukan ini tercatat dalam

6

Tonny Soehartono dan Mardiastuti Ani, Pelaksanaan Konvensi CITES Di Indonesia, [Jakarta : Japan International Cooperation Agency (JICA), 2003], hlm.9.

7

Departemen Kehutanan, Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau...,Op.Cit., hlm.2.


(15)

CITES atau Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna.8Tidak cukup hanya itu saja, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perdagangan satwa pun dilakukan melalui internet atau via online. Para pihak yang tidak bertanggung jawab yang mencari keuntungan diri sendiri pun memperdagangkan satwa-satwa tersebut melalui iklan di media sosial. Sepanjang Tahun 2014 lalu tercatat ada sedikitnya 3.640 iklan di media sosial yang menawaarkan satwa liar berbagai jenis. Sejak Tahun 2011 hingga Maret 2013, sebanyak 18 kasus perdagangan online terungkap, 10 di antaranya adalah perdagangan harimau sumatera. Jual beli satwa langka itu bukan hanya untuk konsumsi domestik, namun juga diselundupkan ke luar negeri. Tercatat ada beberapa Negara yang jadi sasaran penyelundupan satwa asal Indonesia itu, antara lain Hongkong, Kuwait, Cina, Taiwan dan Perancis. Maraknya perdagangan satwa liar ini menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar di alam, karena sebagian besar yang diperdagangkan adalah hasil tangkapan dari alam.9

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dalam Pasal 33 ayat (3) meyebutkan bahwa “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Satwa merupakan kekayaan alam Indonesia sehingga sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) tersebut maka seharusnya satwa yang dilindungi adalah milik negara secara mutlak. Sehingga kegiatan yang berkaitan dengan berusaha


(16)

untuk memiliki, memperdagangkan, ataupun menyeludukan segala jenis satwa yang dilindungi harus diberantas. Sebagai upaya pemberantasan tersebut pemerintah Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional terkait dengan perlindungan satwa dan telah membuat berbagai peraturan yang mengatur mengenai kegiatan perlindungan satwa tersebut. Mengenai kegiatan pelarangan tersebut, Daniel J. D. Natusch dan Jessica A. Lyons dari hasil penelitian yang telah mereka lakukan tentang kegiatan perdagangan dan eksploitasi satwa jenis amphibi dan reptil di Papua Nugini, menyatakan bahwa :

“Indonesia became a party to CITES in 1979, meaning that the trade in Indonesian CITES listed wildlife is internationally monitored and regulated. Harvests of CITES-listed species are regulated by quotas set by the Nomorminated CITES Scientific Authority, the Indonesian Institute of Sciences (LIPI), and implemented by the Nomorminated CITES Management Authority, the Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation (PHKA). A small number (31) of Indonesian amphibian and reptile species are fully protected under national legislation and canNomort be harvested from the wild (Dilindungi PP Nomor 7/1999). For traded species that are Nomorn-protected, quotas are set on an annual basis via a meeting of various stakeholders including PHKA, LIPI, relevant Nomorn-government organizations and licensed wildlife traders (PP Nomor 8/1999). Hunters and traders require permits for capturing, transporting and selling wildlife within Indonesia (Decree of the Ministry of Forestry Nomor 447/Kpts-11/2003) and must be registered with regional offices of the Natural Resources Conservation Agency (BKSDA), responsible for the regulation of wildlife trade at the provincial level. Only those species that have an allotted harvest quota can be harvested from the wild for local sale or export, and these quotas only allow harvest from each designated province.”10

Terjemahan bebas :

10

Daniel J. D. Natusch dan Jessica A. Lyons, Exploited for Pets: The Harvest and Trade Of Amphibians and Reptiles From Indonesian New Guinea, Sydney, 2012, hlm.2901-2902.


(17)

Pada Tahun 1979 Indonesia telah menandatangani Perjanjian CITES (Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora) dan meratifikasinya dengan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 yang berarti bahwa segala kegiatan perdagangan satwa liar yang terdaftar di Indonesia secara internasional telah dimonitor dan diatur. Indonesia juga telah membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan satwa yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Haayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa. Sejumlah kecil yaitu 31 jenis amphibi dan reptil di Indonesia sepenuhnya dilindungi oleh undang-undang nasional dan tidak dapat di tangkap dari alam. Meskipun telah adaperaturan dan pedomandiIndonesia yang mengatur tentangperdagangansatwa liar, ada beberapa pihak yang tidakmematuhi peraturantersebut. Hal itu disebabkan karena masih banyakspesiesyangkurang dikenalolehpihak yang berwenang di Indonesia,mereka dapatdengan mudahsalah memberikan nama terhadap satwa tersebut yang seharusnya satwa tersebut dilindungi dapat diperdagangkan dengan mudah dansecara terbuka.

Bagaimanapun kegiatan perdagangan satwa yang dilindungi tersebut apabila tidak segera ditangani tetunya akan mengakibatkaan permasalahan yang cukup serius di kemudian hari, antara lain kepunahan populasi yang ada di alam, bahkan mengganggu ekosistem dan siklus rantai makanan yang ada di alam,


(18)

bahkan mengganggu keseimbangan ekosistem dan siklus rantai makanan yang ada dan pada akhirnya membawa dampak buruk yang sangat vital bagi keberlansungan hidup seluruh makhluk yang ada di bumi.

Hukum merupakan salah satu sarana untuk memberikan perlindungan kepada semua pihak, tidak terkecuali satwa dan lingkungan hidup karena fungsi hukum itu sendiri sejatinya untuk melindungi masyarakat dan mensejahterakan masyarakat. Perlindungan hukum yang nyata terhadap kelestarian lingkungan khususnya lingkungan hidup termasuk satwa-satwa liar di dalamnya diharapkan dapat berguna untuk menjaga kelestarian lingkungan dan satwa agar tidak punah dan tetap dapat bermanfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang.11

11

Tonny Soehartono dan Mardiastuti Ani, Pelaksanaan Konvensi CITES...,Op.Cit.,hlm.6.

Pedagangan dan perniagaan satwa liar atau satwa yang dilindungi telah terjadi di seluruh daaerah di Indonesia, untuk itu pelakunya haruslah di kenakan pertanggung jawaban pidana untuk memberikan efek jera kepada pelakunya sekaligus untuk mencegah terjadinya praktek perniagaan satwa yaung dilindungi. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini. Skripsi ini akan menganalisis mengenai penjatuhan pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku yang memperniagakan satwa yang dilindungi yang dikaji secara teoritis berdasarkan perspektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya serta Peraaturan Perundang-Undaangan Lainnya yang berkaitan dengan perlindungan satwa, termasuk juga penerapannya melalui putusan Pengadilan Negeri Medan, dengan kasus pelaku yang mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi


(19)

dalam keadaan hidup. Kasus tersebut dianalisis dengan Putusan Pengadilan Negeri Medan dengan register Nomor 1513/Pid.B/2014/PN.Mdn.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana regulasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaku yang memperniagakan satwa yang dilindungi?

2. Bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku yang memperniagakan satwa yang dilindungi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan yang terkait dengan Tindak Pidana Perniagaan satwa yang dilindungi menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang memperniagakan satwa yang dilindungi.

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut : 1) Manfaat Teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memberikan pengetahuan, khasanah, dan wawasan tentang kasus tindak pidana memperniagakan satwa yang dilindungi.


(20)

a. Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan tindak pidana perniagaan satwa yang dilindungi.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang pentingnya melindungi satwa yang dilindungi serta dampaknya terhadap pelestarian lingkungan.

D. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Pertanggung Jawaban Pidana

Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan membuktikan bahwa orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Dalam hal dipidananya seseorang tidaklah bergantung pada ada atau tidaknya perbuatan pidana yang dibuatnya. Persoalan seseorang dapat dipidana tergantung pada apakah orang tersebut dalam melakukan perbuatan tersebut mempunyai kesalahan atau

tidak.Sistempertanggungjawabanpidanadalamhukumpidanapositifsaatini menganut asaskesalahan sebagai salah satu asas disampingasaslegalitas. Pertanggung jawaban pidana erat kaitannya dengan unsur kesalahan yang dilakukan oleh seseorang. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentunya dia akan dipidana. Tetapi, jika ia tidak mempunyai kesalahan, walaupun dia telah melakukan


(21)

perbuatan yaang terlarang dan tercela maka ia tidak akan dipidana.12 Sebab asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah : Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; Actus Nomorn facit reum nisi mens sist rea). Asas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang tidak tertulis yang juga di Indonesia berlaku.13

“Nyatalah, bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah si terdakwa tercela atau tidak karena melakukan perbuatan pidana itu. Karena itulah maka juga dikatakan : dasar daripada adanya perbuatan pidana adalah asas legaliteit, yaitu asas yang menentukan bahwa perbuatan adalah terlarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidananya si pembuat adalah asas “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.

Unsur kesalahan sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang. Dengan demikian hukum pidana yang ada dewasa ini dapat disebut sebagai Sculdstrafrecht yang artinya bahwa penjatuhan pidana disyaratkan adanya kesalahan pada si pelaku. Mengenai hubungan pertanggungjawaban pidana dan kesalahan tersebut telah dipertegas oleh Roeslan Saleh dalam bukunya yang berjudul Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana meyatakan bahwa:

14

Seseorang tidak mungkin dapat dipidana apabila ia tidak melakukan perbuatan pidana, tetapi tidak selalu orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut dapat dipidana tergantung kepada ada atau tidaknya unsur

12

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), hlm.75.

13

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2008) hlm.59.

14


(22)

kesalahan dari orang tersebut. Dikatakan kesalahan berarti perbuatan yang dilakukan orang tersebut adalah perbuatan yang dicela atau oleh masyarakat perbuatan tersebut tidak disukai. Ia masih memiliki pilihan untuk tidak melakukan perbuatan tersebut.

Perbedaan mendasar dari delik pidana dan pertanggungjawaban pidana terletak pada unsurnya. Walaupun unsur-unsur daari tiap delik berbeda, namun pada umumnya mempunyai unsur-unsur yang sama, yaitu :

a. Perbuatan aktif/positif atau pasif/negatif b. Akibat yang ditimbulkan

c. Melawan hukum formil dan melawan hukum materil d. Tidak adanya alasan pembenar

Dapat disimpulkan bahwa batasan delik pada umumnya adalah Suatu perbuatan aktif atau pasif, yang untuk delik materil diisyaratkan terjadinya akibat yang mempunyai hubungan kausal dengan perbuatan, yang melawan hukum formil dan materil, dan tidak adanya dasar yang membenarkan perbuatan itu.

Sedangkan adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah sebagai berikut:

a. Kemampuan bertanggungjawab b. Kesalahan pembuat

c. Tak adanya dasar pemaaf15

15


(23)

2. Pengertian Pelaku

Pelaku adalah orang yang melakukan suatu perbuatan yang telah memenuhi unsur suatu perbuatan pidana, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu tidak sengajaan seperti yang diisyaratkan oleh Undang-Undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh Undang-Undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur obyektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau tidak karena gerakkan oleh pihak ketiga dan kepadanya dapat dijatuhkan sanksi atau hukuman.16Istilah pelaku merupakan terjemahan dari istilah “Dader” yaitu penanggung jawab peristiwa pidana atau dengan perkataan lain orang yang sikap tindaknya memenuhi semua unsur yang disebut dalam perumusan peristiwa tindak pidana.17

16

Barda Nawawi Arif , Sari Kuliah Hukum Pidana II. (Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1984), hlm.37.

17

Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalmia Indonesia, 1983), hlm.31.

Dalam delik formil terlihat apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Dalam delik material terlihat apabila seorang menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.

Dalam KUHP yang dapat dinyatakan sebagai pelaku suatu tindak pidana, sebagaimana diatur dalam ayat 1 Pasal 55 KUHP, bahwa pelaku tindak pidana dapat dibagi dalam 4 (empat) golongan :


(24)

1) Orang yang Melakukan Sendiri Tindak Pidana (pleger)

Dari berbagai pendapat para ahli dan dengan pendekatan praktik dapat diketahui bahwa untuk menentukan seseorang sebagai yang melakukan (pleger) atau pembuat pelaksana tindak pidana secara penyertaan adalah 2 kriteria :

1. Perbuatannya adalah perbuatan yang menentukan terwujudnya tindak pidana,

2. Perbuatannya tersebut memenuhi seluruh unsur tindak pidana

2) Orang Yang Menyuruh Orang Lain untuk Menentukan Tindak Pidana (doen pleger)

Doenpleger ialah seseorang yang menyuruh orang lain untuk melakukan suatu peristiwa pidana. Dalam bentuk yuridis, ini merupakan suatu syarat bahwa orang yang disuruh tersebut tidak mampu bertanggung jawab, jadi tidak dapat dipidana. Orang yang disuruh seolah-olah hanya menjadi alat ilmu hukum pidana disebut

manus domina dan orang yang disuruh disebut manus ministra. Tanggung jawab orang yang menyuruh itu sama dengan tanggung jawab dari pembujuk (uitlokker) yaitu :

Pertama, tanggung jawab itu tidak melebihi dari apa yang dilakukan oleh orang yang disuruh, meskipun maksud orang yang


(25)

menyuruh itu lebih jauh dari itu. Kedua, tanggung jawab tidak melebihi dari apa yang dikehendakinya.

3) Orang Yang Turut Melakukan Tindak Pidana (mendepleger)

KUHP tidak memberikan rumusan secara tegas siapa saja yang dikatakan turut melakukan tindak pidana, sehingga dalam hal ini menurut doktrin untuk dapat dikatakan turut melakukan tindak pidana harus memenuhi dua syarat :

a. Harus adanya kerjasama fisik

b. Harus ada kesadaran bahwa mereka satu sama laain bekerjasama untuk melakukan tindak pidana

Yang dimaksud dengan turut serta melakukan oleh Memorie van Toelichting (MvT) dijelaskan bahwa yang turut serta malakukan ialah setiap orang yang sengaja berbuat (meedoet) dalam melakukan suatu tindak pidana.

4) Orang Yang Membujuk (uitlokker)

Seperti halnya doenpleger maka uitlokker juga memakai seorang perantara. Orang yang membujuk orang lain supaya melakukan peristiwa pidana dinamakan perencanaan atau sering disebut “intellectueel dader” atau “uitlokker” sedang orang yang dibujuk disebut “uitgelokte”. Selain itu untuk dapat dikatakan

uitlokker, si pembujuk harus menggunakan daya upaya sebagaimana yang tercantum secara limitative dalam pasal 55 ayat


(26)

1 sub 2 KUHP. Tanggungjawab uitlokker diatur dalam Pasal 55 ayat 2 KUHP. Pasal inni mengatur bahwa uitlokker hanya bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan daripada uitgelokte

yang memang dengan sengaja digerakkan oleh uitlokker. Pada pihak lain, tanggung jawab dari uitlokker dapat diperluas, artinya ia juga bertanggungjawab terhadap akibat yang timbul dari perbuatan

uitgelokte.18

3. Pengertian Satwa Yang Dilindungi

Pengertian satwa menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah “semua jenis sumber daya alam hewani, baik yang hidup di darat maupun air”. Pasal 1 butir 7 menyebutkan bahwa pengertian “satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, daan/atau di air dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yag hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia”. Dalam Penjelasan Pasal 1 butir 7 memuat pembatasan mengenai defenisi satwa liar tersebut, sebagai berikut “ikan dan ternak tidak termasuk di dalam pengertian satwa liar, tetapi termasuk dalam pengertian satwa”. Hal yang sangat erat hubungannya dengan “satwa” adalah “habitat”. Pengertian habitat menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 1 butir 8 adalah “Lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang secara alami”.19

diakses pada tanggal 10 Februari 2015 pukul 22:44

19

Leiden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan, dan Satwa, (Jakarta : Erlangga, 1995), hlm.47.


(27)

Dahulu perlindungan terhadap jenis-jenis binatang tertentu diatur pada Dierenbeschermings Ordonantie 1931 dan Dierenbescharmings Verordening 1931 berdasarkan peraturan tersebut, Menteri Pertanian telah menentukan jenis-jenis satwa yang dilindungi berdasarkan keputusan-keputusan berikut :

a. Nomor : 421/Ktps/Um/8/1970 b. Nomor : 327/Ktps/Um/7/1972 c. Nomor : 66/Ktps/Um/2/1972

Ketiga keputusan tersebut telah menentukan perlindungan satwa yang terdiri dari :

a. Mamalia : 95 jenis b. Aves : 372 jenis c. Reptilia : 28 jenis d. Pisces : 20 jenis20

Dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa membedakan jenis tumbuhan dan satwa atas dasar golongan, sebagai berikut :

a. Tumbuhan dan satwa yang dilindungi b. Tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi

Kriteria tumbuhan dan satwa yang tergolong dilindungi haruslah memenuhi kriteria :

a. Mempunyai populasi kecil;

20


(28)

b. Adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam;

c. Daerah penyebarannya terbatas (endemik).21

Dapat disimpulkan bahwa satwa yang dilindungi adalah jenis satwa yang hanya mempunyai populasi yang sedikit atau hampir punah dan habitatnya hanya terdapat di daerah-daerah tertentu saja.

Satwa liar memiliki peran yang sangat penting terhadap tanah dan vegetasi dan memegang peran kunci dalam penyebaran, pertumbuhan tanaman, penyerbukan dan pematangan biji, penyuburan tanah, penguraian organisme mati menjadi zat organik yang lebih berguna bagi kehidupan tumbuhan, penyerbukan dan pengubah tumbuh-tumbuhan dan tanah.

Satwa liar juga berperan dalam perekoNomormian lokal dan nasional, nilai ekoNomormi satwa sebagai sumber daya alam sangat terkenal di wilayah tropik, terutama di Benua Afrika, dan hingga saat ini merupakan aset yang layak dipertimbangkan. Pemanfaatan satwa liar secara langsung ada beberapa macam, antara lain :

a. Perburuan tradisional untuk makanan yang biasa dilakukan oleh suku -suku pedalaman

b. Perburuan tradisional seperti kulit yang biasanya digunakan sebagai bahan pembuat tas, baju/hiasan lain oleh penduduk asli

c. Mengumpulkan dan menjual beberapa jenis satwa liar

21

Pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa


(29)

d. Menjual produk-produk dari satwa liar, seperti daging, kulit, ranggah, cula dan gading

e. Berburu untuk tujuan memperoleh penghargaan (trophy) atau untuk olahraga wisatawan

f. Melindungi satwa liar di taman nasional sebagai atraksi untuk wisatawan yang harus membayar bila akan melihat, meneliti, memotret atau mendekatinya.22

Mengenai jenis satwa yang dilindungi diatur secara langsung dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa.

E. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah : (1) Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum yang Yuridis Nomorrmatif dinamakan juga dengan penelitian hukum Nomorrmatif atau penelitian hukum doktrinal, yang mengacu pada Nomorrma-Nomorrma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan serta Nomorrma hukum yang ada dalam masyarakat.

(2) Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang dilakukan adalah deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan mengenai pendapat

22

Wiratno,dkk, Berkaca dicermin Retak : Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi pengelolaan taman Nasional, (Jakarta :The Gibon Foundation, 2001), hlm.106-107.


(30)

yang berkembang serta proses yang sedang berlangsung mengenai hal yang sedang diteliti yang dalam skripsi ini yang diteliti adalah pertanggung jawaban pidana erhadap pelaku yang memperniagakan satwa liar.

(3) Jenis Data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yang diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu berupa dokumen peraturan yang mengikat dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar, Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 tentang Convention On International Traade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa dokumen yang merupakan hasil kajian tentang pertanggung jawaban hukum terhadap pelaku tindak pidana memperniagakan satwa yang dilindungi meliputi Putusan Pengadilan Negeri Medan dengan Nomor Register 1513/Pid.B/2014/PN.Mdn, buku-buku karya ilmiah dan beberapa sumber ilmiah serta


(31)

sumber internet yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu berupa dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya.

(4) Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data-data yang diperlukan oleh penulis yang berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui penelitian literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam skripsi ini dan melakukan penelitian terhadap putusan yang dibuat oleh hakim di Pengadilan Negeri Medan. Tujuan penelitian kepustakaan (library research) ini adalah untuk memperoleh data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

(5) Analisis Data

Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara analisis kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui data yang diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis


(32)

sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara khusus di lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian penulis mengenai “Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Pelaku Yang Memperniagakan Satwa Yang Dilindungi Berdasarkan Perspektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1513/Pid.B/2014/PN.Mdn)” belum pernah dilakukan pada topik dan permasalahan yang sama. Obyek penelitian yang dilakukan merupakan suatu kajian ilmiah dan belum pernah dianalisis secara komperhensif dalam suatu penelitian sehingga penelitian ini merupakan suatu yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan terbuka sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan transparan maupun kritikan yang bersifat membangun sesuai dengan topik dan permasalahan.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini nantinya disusun dalam empat bab. Tiap-tiap bab di bagi menjadi beberapa sub-bab yang saling mendukung. Bab-bab yang tersusun tersebut nantinya merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :


(33)

Bab I merupakan bab Pendahuluan, yang mengemukakan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian serta sistematika penelitian

Bab II akan dibahas mengenai berbagai pengaturan yang berkaitan dengan pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana memperniagakan satwa yang dilindungi.

Bab III terdiri dari dua sub-bab yang mana sub-bab pertama akan dibahas mengenai pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana beserta unsur-unsur dari pertanggung jawaban pidana tersebut secara umum. Serta pada sub-bab kedua akan dibahas mengenai aplikasi dari pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana peniagaan satwa secara khusus.

Bab IV yaitu bab Penutup yang membaahas mengenai Kesimpulan dan Saran. Berdasarkan uraian-uraian dalam Bab II dan Bab III di atas tentang jawaban dari rumusan masalah yang dijadikan obyek penulisan, selanjutnya ditarik Kesimpulan dan Saran dalam Bab IV sebagai Penutup.


(34)

BAB II

REGULASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG TERKAIT DENGAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU

YANG MEMPERNIAGAKAN SATWA YANG DILINDUNGI

Dari uraian-uraian yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa peran satwa dalam menjaga kelestarian alam adalah sangat penting. Satwa juga merupakan unsur yang bersifat mutlak serta tidak dapat digantikan dalam pembentukan lingkungan hidup. Mengingat sifatnyayang tidak dapat diganti dan mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia, untuk itu perlu diadakan suatu usaha untuk melindungi satwa-satwa liar tersebut, salah satu perlindungan terhadap kelestarian satwa-satwa tersebut adalah dengan membuat peraturan nasional serta meratifikasi perjanjian internasional yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap satwa-satwa tersebut. Negara Indonesia telah membuat beberapa peraturan terkait dengan perlindungan terhadap satwa liar yang diperniagakan, adapun peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan satwa liar tersebut adalah :

A. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara 3419)

Pengaturan mengenai pengertian istilah satwa dan satwa liar diatur dalam Pasal 1 butir 5 dan 7. Pasal 1 butir 5 menyebutkan bahwa Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat dan/atau di air, dan/atau di


(35)

udara. Pasal 1 butir 7 menyebutkan Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan/atau di air, dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Terdapat pembatasan mengenai pengertian satwa liar yang mana diuraikan dalam Penjelasan Pasal 1 butir 7, menyebutkan bahwa ikan dan ternak tidak termasuk di dalam pengertian satwa liar, tetapi termaasuk ke dalam pengertian satwa. Ada beberapa bentuk perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 ini yang di atur dalam beberapa pasal yaitu :

Pasal 19

(1) Setiap orang dilarang melakukatn kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk

kegiatan pembinaan Habitat untuk kepentingan satwa di dalam suaka marga satwa.

(3) Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.

Pasal 21

(1) Setiap orang dilarang untuk :

a. mengambil, menebang, memiliki, merusak,

memusnahkan,memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau

bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;

b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia. (2) Setiap orang dilarang untuk :

a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;

b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan meperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di

Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh

atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau


(36)

mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.

Pasal 33

(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.

(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.

(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

Dalam uraian Pasal-Pasal tersebut seluruhnya membahas mengenai perbuatan pidana. Terkait dengan tindak pidana perlindungan satwa secara langsung tertuang dalam pasal 21 ayat 2, dimana dalam pasal ini menyebutkan ada 5 (lima) bentuk perbuatan yang dapat diketegorikan sebagai tindak pidana perlindungan satwa, diantaranya adalah :

a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup

Mengamati rumusan tersebut, seyogianya membunuh, melukai, memperniagakan memiliki kadar bahaya kepunahan yang lebih tinggi dari perbuatan lainnya. Perbuatan memperniagakan menimbulkan rangsangan untuk menangkap (memburu) dengan tujuan mendapat laba atau keuntungan. Menangkap, meyimpan, memiliki, dan memelihara hanya termasuk kategori suatu rangkaian perbuatan kecuali menangkap untuk memperniagakan yang bertujuan untuk kesenangan. Yang mana


(37)

menangkap untuk memperniagakan juga memiliki kadar bahaya akan kepunahan. Tetapi tidak semua perbuatan menangkap dapat dihukum, misalnya :

a. Seekor satwa dalam keadaan sakit atau luka ditangkap semata-mata untuk diobati dan dilindungi;

b. Mengangkut satwa yang tidak dapat terbang dengan maksud untuk menyelamatkan satwa tersebut, misalnya burung yang sayapnya tidak dapaat dipergunakan karena terkena oli/minyak yang mencemari air.

Dalam hal tersebut, perbuatan menangkap tidak dapat dipersalahkan. Penerapan pasal 21 ayat 2 ini perlu memperhatikan pengecualian yang diatur dalam pasal 22 yang mengatur bahwa23

(1) Pengecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang bersangkutan.

: Pasal 22

(2) Termasuk dalam penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan izin Pemerintah.

(3) Pengecualian dari larangan menangkap, melukai, dan membunuh satwa yang dilindungi dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan kehidupan manusia.

(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana diinaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Penjelasan pasal 22 tersebut menyatakan : Ayat (1)

Yang dimaksud dengan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa adalah suatu upaya penyelamatan yang harus dilakukan apabila

23


(38)

dalam keadaan tertentu tumbuhan dan satwa terancam hidupnya bila tetap berada dihabitatnya dalam bentuk pengembangbiakan dan pengobatan, baik di dalam maupun di luar negeri.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri adalah untuk keperluan tukar menukar antar lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan satwa dan hadiah Pemerintah.

Ayat (3)

Membahayakan di sini berarti tidak hanya mengancam jiwa manusia melainkan juga menimbulkan gangguan atau keresahan terhadap ketenteraman hidup manusia, atau kerugian materi seperti rusaknya lahan atau tanaman atau hasil pertanian.

Ayat (4)

Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain diatur cara-cara mengatasi bahaya, cara melakukan penangkapan hidup-hidup, penggiringan dan pemindahan satwa yang bersangkutan, sedangkan pemusnahan hanya dilaksanakan kalau cara lain ternyata tidak memberi hasil efektif.

Dari ketentuan pasal 22 ayat 4 tersebut, yaitu mengenai berbagai cara mengatasi bahaya, cara melakukan penangkapan hidup-hidup, penggiringan dan pemindahan satwa yang bersangkutan dan pemusnahannya apabila tidak ada jalan lain yang akan diatur daalam peraturan pemerintah, maka perlu dikembangkan keahlian khusus tentang cara-cara ini, dengan memperhatikan cara-cara yang telah digunakan dinegara-negara lain.24

b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan meperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati

Perbuatan yang diatur dirumuskan dalam pasal 2 ayat 2 huruf b ini ada 5 (lima) jenis yaitu menyimapn, memiliki, mengangkut dan memperniagakan. Jika diamati, maka pengaturan 3 jenis perbuatan lainnya yang diatur dalam pasal 22 ayat 2 huruf a tidak diatur dalam pengaturan ini

24

Koesnadi hardjasoemantri, Hukum Lingkungan : Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1991), hlm.288.


(39)

seperti menangkap, melukai, membunuh, hal ini karena satwa yang telah mati tidak mungkin lagi dilakukan perbuatan tersebut. Salah satu perbuatan yang diatur dalam pengaturan ini adalah memelihara, hal itu merupakan rumusan yang tidak tepat. Seyiogianya terhadap satwa yang dilindungi dalam keadaan mati cukup ditentukan 4 perbuatan, yaitu Menyimpan, memiliki, mengangkut, dan meperniagakan saja.25

c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia

Rumusan tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan habitat atau lingkungan tempat satwa dapat hidup dan berkembang secara alami. Kata mengeluarkan dalam rumusan ini berarti memindahkan dari suatu tempat ke tempat lain. Kata mengeluarkan dalam hal ini bisa mengandung dua arti26

1. Mengangkut atau memindahkan satwa tersebut secara langsung

, yaitu:

Dalam hal ini berarti si pelaku mengadakan kontak fisik secara lansung dengan satwa tersebut dengan cara mengangkut dan memindahkan satwa tersebut. Pada umumnya pelaku yang memindahkan atau mengangkut satwa ke luar negeri memiliki tujuan untuk memperdagangkan satwa tersebut, umumnya disebut sebagai perdagangan ekspor. Misalnya pedagang yang melakukan bisnis satwa liar dengan mengirimkan satwa liar Indonesia dalam

25

Leiden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan..., Op.Cit., hlm.52. 26


(40)

jumlah besar secara teratur ke luar negeri seperti frankfurt, Amsterdam, Brussels, Paris, Stockholm, Bangkok dan Singapura.27 2. Tanpa menangkap atau mengangkut satwa tersebut secara

langsung

Dalam hal ini kata mengeluarkan memiliki makna tanpa mengangkut ataupun menangkap satwa tersebut satwa itu berpindah atau keluar dari tempatnya dan pergi ke tempat lain misalnya dengan mengusik. Contoh perbuatan mengusik misalnya, seseorang melakukan suatu kegiatan seperti melakukan kegiatan menambang, membuka lahan perkebunan atau lahan ladang atau kegiatan lainnya yang bisa menggangu kehidupan satwa di suatu daerah tempat habitat satwa tersebut dan mengakibatkan satwa-satwa keluar dari daerah tersebut terusik dan keluar dari habitatnya dan pindah ke tempat lain.

d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia

Perbuatan yang diuraikan dalam rumusan Pasal 21 ayat 2 huruf d ini sudah sangat jelas. Ada beberapa perbuatan yang dilarang yaitu memperdagangkan, menyimpan, memiliki bahkan memindahkan atau

27

Tonny Soehartono dan Ani Mardiastuti, Pelaksanaan Konvensi CITES..., Op.Cit, hlm. 5.


(41)

mengangkut bagian tubuh dan kulit dari satwa yang dilindungi itu pun dilarang dan bagi pelakunya akan dikenai sanksi pidana. Perbuatan yang diatur dalam rumusan ini telah banyak sekali terjadi. Hal ini biasanya dilakukan karena banyaknya produk-produk yang dapat dihasilkan dari kulit dan bagian tubuh dari satwa yang dilindungi tersebut, seperti pembuatan tas dan pakaian dari kulit ular dan buaya. Atau hanya sekedar menjadi pajangan seperti gading gajah Sumatera, kepala harimau dan tubuh penyu yang telah diawetkan. Seyogianya orang yang membuat barang-barang yang menggunakan bahan baku dari kulit/tubuh/sebagian tubuh satwa yang dilindungi, diancam dengan hukuman pidana.28

e. Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi

Ada 6 jenis perbuatan yang disebutkan dalam pengaturan ini, yaitu mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan. Perbuatan mengambil dan memiliki telur satwa yang dilindungi karena kelalaian merupakan hal yang sulit diterima akal, tetapi memiliki sarang tanpa menguasai merupakan suatu hal yang mungkin seperti memiliki pohon tempat bersarang satwa yang dilindungi. Dalam hal demikian, pemilik pohon tidak dapat dipersalahkan tetpi jika pohon dipotong sedang ia mengetahui bahwa satwa yang dilindungi sedang bersarang atau bertelur pada pohon tersebut, si pemilik pohon dapat dipersalahkan. Sehingga,

28


(42)

upaya orang yang mencari telur burung maleo (Sulawesi) atau memperniagakan telur-telur penyu perlu ditindak.29

(1) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pengaturan mengenai sanksi pidana dalam undang-undang ini diatur dalam satu pasal yaitu Pasal 40.

Pasal 40

(2) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00(seratus juta rupiah).

(3) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratusjuta rupiah).

(4) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan

ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (4) adalah pelanggaran. Sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan yang berfokus pada perbuatan salah seseorang lewat pengenaan penderitaan (agar pelakunya menjadi jera). Sanksi pidana bertujuan untuk memberikan penderitaan kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya.30

29

Leiden marpaung, Ibid. 30

M. Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana : Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.32.

Von Feurbach di dalam bukunya “lehrbuch des peinlichen rechts” tahun 1808 mengemukakan suatu teori yang terkenal yakni


(43)

psychologische zwang”, yang menyatakan ancaman pidana mempunyai suatu akibat psikologis. Maksudnya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan suatu kejahatan pidana dapat menakutkan setiap orang yang melakukannya. Jadi pada seseorang ada tekanan kejiwaan yang merupakan penghalang atau pencegah agar seseorang tidak melakukan kejahatan.31

1. Hukuman pokok

Pasal 10 KUHP mengatur ada 2 (dua) jenis hukuman atau sanksi pidana, yaitu :

Sanksi pidana pokok bersifat imperatif atau merupakan suatu keharusan, dimana jika telah terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan, maka hakim harus menjatuhakan satu jenis pidana pokok, sesuai dengan jenis dan batas maksimum khusus yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Penjatuhan jenis sanksi pidana pokok ini dapat berdiri sendiri, tanpa harus dengan menjatuhkan jenis pidana tambahan.32

a. Hukuman mati;

Sanksi pidana pokok terdiri atas :

b. Hukuman penjara; c. Hukuman kurungan; d. Hukuman denda;

31

Chainur Arrasjid, Suatu Pemikiran Tentang Psikologi Kriminil, (Medan : Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1999), hlm.53.

32

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana : Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm.26.


(44)

e. Pidana tutupan (ditambahkan berdasarkan undang-undangnomor 20 Tahun 1946).

2. Hukuman Tambahan

Sesuai dengan namanya (pidana atau sanksi tambahan), penjatuhan jenis sanksi tambahan tidak dapat berdiri sendiri, lepas dari pidana pokok, melainkan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim apabila dalam putusannya itu telah menjatuhkan salah satu jenis sanksi pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Artinya, jenis pidana tambahan tidak dapat dijatuhakan sendiri secara terpisah dengan pidana pokok, melainkan harus bersama dengan pidana pokok.33

a. Pencabutan beberapa hak tertentu;

Meskipun jenis sanksi pidana tambahan mempunyai sifat yang demikian, ada juga pengecualiannya, yakni di mana jenis sanksi pidana tambahan itu dapat dijatuhkan tidak bersama sanksi pidana pokok, tetapi bersama tindakan. Sanksi pidana tambahan ini terdiri atas :

b. Perampasan barang yang tertentu; c. Pengumuman keputusan hakim.

Jenis sanksi pidana yang ada pada umumnya dicantumkan dalam perumusan delik menurut pola Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ialah pidana pokok, dengan menggunakan 9 (sembilan) bentuk perumusan, yaitu :

33


(45)

a. Diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara tertentu;

b. Diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara tertentu;

c. Diancam dengan pidana penjara (tertentu); d. Diancam dengan pidana penjara atau kurungan; e. Diancam dengan pidana penjara atau kurungan atau

denda;

f. Diancam dengan pidana penjara atau denda; g. Diancam dengan pidana kurungan;

h. Diancam dengan pidana kurungan atau denda; i. Diancam dengan pidana denda.

Dari sembilan bentuk rumusan di atas, dapat diidentifikasikan hal-hal berikut :

a. KUHP hanya menganut dua sistem perumusan, yaitu : perumusan tunggal dan alternatif;

b. Sanksi pidana yang dirumuskan secara tunggal, hanya pidana penjara, kurungan atau denda. Tidak ada pidana mati atau penjara seumur hidup yang diancam secara tunggal;

c. Perumusan alternatif dimulai dari pidana pokok terberat sampai paling ringan;


(46)

d. Pidana tambahan bersifat fakultatif, namun pada dasarnya untuk dapat dijatuhkan harus tercantum dalam perumusan delik.34

Dalam sistem sanksi pidana ada dikenal dengan double track system. Sistem ini didasari dengan pengakuan tentang kesetaraan antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan. Sistem ini tidak sepenuhnya memakai satu di antara dua jenis sanksi itu. Sistem ini juga disebut dengan sistem dua jalur, sistem dua jalur ini menempatkan dua jenis sanksi dalam kedudukan yang setara. Penekanan pada kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam kerangka double track system, sesungguhnya terkait dengan fakta bahwa unsur pencelaan atau penderitaan (lewat sanksi pidana) dan unsur pembinaan (lewat sanksi tindakan) sama-sama penting. 35

1. Sistem sanksi pidana yang digunakan adalah sistem sanksi pidana single track system karena dalam pasal tersebut yang diatur hanya sanksi pidana saja tanpa ada sanksi lainnya seperti sanksi tindakan Dapat disimpulkan bahwa rumusan sanksi pidana dalam pasal 40 tersebut adalah :

2. Pasal tersebut menyebut mengenai sanksi pidana pokok seperti sanksi pidana penjara, kurungan dan

34

M. Solehuddin,Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana..., Op.Cit., hlm.190. 35


(47)

sanksi denda, serta juga menyebutkan mengenai sanksi pidana tambahan seperti perampasan tumbuhan dan satwa liar tersebut dan dikembalikan kepada negara untuk di kembalikan ke habitatnya semula (dalam Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Hayati Dan Ekosistemnya)

3. Sanksi pidana yang dijatuhkan dirumuskan secara gabungan, yaitu pidana penjara dan pidana kurungan dijatuhakn sekaligus dengan pidana denda bagi pelaku yang melanggar aturan tersebut.

4. Tidak terdapat rumusan mengenai sanksi batas maksimum khusus dan batas minimum khusus.36 5. Subjek hukum yang dikenai sanksi hanya dilakukan

kepada orang per orang dan tidak mengatur

36

Ary Brodie, Stelsel Sanksi Dalam Hukum Pidana di Indonesia,

Menurut pola KUHP, sanksi batas maksimum khusus pidana penjarayang paling rendah adalah berkisar 3 (tiga) minggu dan 15 (lima belas)tahun yang dapat mencapai 20 (dua puluh) tahun apabila adapemberatan. Sedangkan maksimum yang di bawah 1 (satu) tahun sangatbervariasi dengan menggunakan bulan dan minggu.Konsep KUHP ancaman pidana maksimum khusus yang palingrendah untuk pidana penjara adalah 1 (satu) tahun dan 15 (lima belas)tahun yang dapat juga mencapai 20 (dua puluh) tahun apabila adapemberatan.Menurut konsep, untuk delik yang dipandang tidak perludiancam dengan pidana penjara atau bobotnya kurang dari 1 (satu)tahun penjara, digolongkan sebagai tindak pidana yang sangat ringandan hanya diancam pidana denda. Pola maksimum khusus paling rendah 1 (satu) tahun menurutkonsep dikecualikan untuk delik-delik yang selama ini dikenal sebagaikejahatan ringan. Menurut pola KUHP, maksimum penjara untukdelik-delik kejahatan ringan ini adalah 3 (tiga) bulan, sedang menurutKonsep KUHP adalah 6 (enam) bulan yang dialternatifkan denganpidana denda.


(48)

mengenai korporasi sebagai pelaku tindak pidana tersebut.

6. Penjatuhan sanksi pidana didalam undang-undang ini dirumuskan dengan penyebutan kualifikasi deliknya yaitu kejaahatan dan pelanggaran. (dalam Pasal 40 ayat (5))

B. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa

Peraturan Pemerintah ini tidak mengatur mengenai perbuatan yang dilarang dilakukan terhadap satwa yang dilindungi. Peraturan ini mengatur mengenai jenis-jenis satwa yang dilindungi serta izin dalam melakukan melakukan pengangkutan dan pengiriman satwa-satwa tersebut. Mengenai kriteria penggolongan jenis satwa yang dilindungi diatur dalam satu pasal yaitu Pasal 5.

Pasal 5

(1) Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi kriteria:

a. mempunyai populasi yang kecil;

b. adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam;

c. daerah penyebaran yang terbatas (endemik).

(2) Terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan upaya pengawetan.

Mengenai pengaturan tentang pengangkutan dan pengiriman satwa-satwa yang dilindungi diatur dalam satu pasal yaitu Pasal 25 Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 25

(1) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa dari jenis yangdilindungi dari dan ke suatu tempat di wilayah Republik Indonesia ataudari dan keluar wilayah Republik Indonesia dilakukan atas dasar ijinMenteri.


(49)

(2) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus:

a. dilengkapi dengan sertifikat kesehatan tumbuhan dan satwa dari instansi yang berwenang;

b. dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku.

C. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar

Jika dikaitkan dengan tindak pidana perlindungan terhadap satwa yang liar maka peraturan pemerintah ini tidak mengatur secara langsung tentang tindak pidana terhadap satwa liar tersebut. Tetapi peraturan pemerintah ini memiliki keterkaitan dengan tindak pidana satwa liar tersebut, peraturan pemerintah ini mengatur mengenai aturan yang diperbolehkan dalam kegiatan perdagangan satwa. Aturan mengenai perdagangan satwa tersebut diatur dalam sembilan pasaal yaitu Pasal 18 sampai dengan Pasal 23.

Pasal 18

(1) Tumbuhan dan satwa liar yang dapat diperdagangkan adalah jenis satwa liar yang tidak dilindungi.

(2) Tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan perdagangan diperoleh dari :

a. hasil penangkaran;

b. pengambilan atau penangkapan dari alam. Pasal 19

(1) Perdagangan jenis tumbuhan dan satwa liar hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan menurut hukum Indonesia setelah mendapat rekomendasi Menteri.

(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperdagangkan dalam skala terbatas dapat dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar Areal Buru dan di sekitar Taman Buru sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang perburuan satwa buru.

Pasal 20

(1) Badan usaha yang melakukan perdagangan jenis tumbuhan dan satwa liar wajib :

a. memiliki tempat dan fasilitas penampungan tumbuhan dan satwa liar yang memenuhi syarat-syarat teknis;

b. menyusun rencana kerja tahunan usaha perdagangan tumbuhan dan satwa;


(50)

c. menyampaikan laporan tiap-tiap pelaksanakan perdagangan tumbuhan dan satwa.

(2) Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 21

Badan Usaha yang melakukan perdagangan tumbuhan dan satwa liar wajib membayar pungutan yang ditetapkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 22

(1) Perdagangan tumbuhan dan satwa liar diatur berdasarkan lingkup perdagangan :

a. dalam negeri;

b. ekspor, re-ekspor atau impor.

(2) Tiap-tiap perdagangan tumbuhan dan satwa liar wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.

Pasal 23

Ketentuan mengenai perdagangan tumbuhan dan satwa liar dalam negeri diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 24

(2) Tiap-tiap perdagangan tumbuhan dan satwa liar untuk tujuan ekspor, re-ekspor, atau impordilakukan atas dasar izin Menteri. (3) Dokumen perdagangan untuk tujuan ekspor, re-ekspor, dan impor,

sah apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. memiliki dokumen pengiriman atau pengangkutan; b. izin ekspor, re-ekspor, atau impor;

c. rekomendasi otoritas keilmuan (Scientific Authority). (4) Ketentuan lebih lanjut tentang dokumen perdagangan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 25

(1) Tumbuhan dan satwa liar yang diekspor, re-ekspor, atau impor wajib dilakukan tindak karantina.

(2) Dalam melakukan tindak karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), petugas karantina wajibmemeriksa kesehatan jenis tumbuhan dan satwa liar serta kelengkapan dan kesesuaian spesimendengan dokumen.

Pasal 26

Ekspor, re-ekspor, atau impor jenis tumbuhan dan satwa liar tanpa dokumen atau memalsukan dokumen atau menyimpang dari syarat-syarat dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) termasuk dalam pengertian penyelundupan.

Dari pengaturan pasal-pasal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Kegiatan perdagangan satwa hanya dapat dilakukan jika satwa


(51)

2. Perdagangan satwa liar hanyalah dapat dilakukan oleh badan usaha yang didirikan menurut hukum dan telah memperoleh rekomendasi dari menteri.

3. Mengenai perdagangan ekspor dan impor satwa hanya dapat dilakukan atas dasar izin menteri dan telah memenuhi sayart yang ditentukan sesuai dengan Pasal 24 ayat 2.

Peraturan pemerintah ini juga mengatur tentang sanksi yang akan dijatuhkan terhadap pelaku pelanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 26. Pengaturan mengenai sanksi dalam peraturan pemerintah ini diatur dalam 14 pasal yaitu dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 63, tetapi sanksi yang dijatuhkan dalam peraturan ini hanya sebatas sanksi administratif saja yaitu berupa sanksi denda serta pencabutan izin usaha dan tidak diatur mengenai sanksi pidana.

D. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1978 Tentang Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora

Keputusan Presiden ini mengatur mengenai pengesahan "Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora", yang telah ditandatangani di Washington pada tanggal 3 Maret 1973. CITES (Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora) merupakan konvensi internasional satu-satunya yang mengatur mengenai tindakan pengendalian perdagangan satwa liar di tingkat iternasional. Hampir semua negara pengimpor dan pengekspor utama bergabung di dalamnya. Indonesia termasuk


(52)

salah satu negara anggota dari konvensi ini, yang mana pada tahun 1979 Indonesia telah menandatangani Perjanjian CITES dan meratifikasinya dengan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978. CITES dimaksudkan untuk mengembangkan konservasi spesies yng dibahayakan sambil memperkenalkan perdagangan spesies satwa liar yang dapat mengahadapi desakan perdagangan konvensi ini mempunyai tiga ketegori perlindungan.

CITES terbagi dalam tiga ketegori apendiks yaitu Apendiks I, Apendiks II, dan Apendiks III. Setiap negara anggota berhak untuk mengajukan untuk memasukkan suatu jenis satwa liar atau tumbuhan yang mungkin atau berpotensi untuk memiliki dampak negatif terhadap populasi jenis tersebut di alam. Jenis yang termasuk dalam Apendiks I adalah jenis yang jumlahnya di alam sudah sangat sedikit dan dikhawatirkan akan punah. Suatu jenis yang pada saat ini tidak termasuk ke dalam kategori terancam punah namun memiliki kemungkinan punah jika perdagangannya tidak diatur, dimasukkan ke dalam Apendiks II. Dalam Apendiks III, Apendiks III ini memiliki kriteria dasar yang tidak jauh berbeda dari Apendiks II. Perbedaannya adalah jenis yang termasuk dalam Apendiks III diberlakukan khusus oleh suatu negara tertentu. Perlu ditambahakan bahwa Apendiks I dan Apendiks II, ketentuan tersebut berlaku untuk semua range country, yaitu negara-negara dimana suatu jenis dalam Apendiks dapat ditemukan. Jika terdapat perbedaan pendapat antar range country sehingga tidak semuanya sepakat untuk memasukkan suatu jenis ke dalam Apendiks, maka jenis tersebut dimasukkan ke dalam Apendiks III dan berlaku hanya untuk negara yang menginginkan untuk memasukkan jenis tersebut ke dalam Apendiks. Dalam


(53)

apendix (Lampiran) I, perdagangan komersial spesies yang diancam dengan kepunahan pada umumnya dilarang. Tercatat lebih dari 800 jenis spesies satwa dan tumbuhan yang dilarang diperdagangkan untuk tujuan komersil.37 Jenis-jenis mamalia besar Indonesia hampir semaunya dimasukkan ke dalam Apendiks I. Spesies ini hanya boleh diperdagangkan dalam keadaan khusus (biasanya untuk penelitian ilmiah atau maksud pameran). Transaksi perdagangan spesies seperti itu memerlukan izin impor dari pejabat yang diserahi pelaksanaan CITES di negara penerima maupun izin ekspor dari pejabat negara asal. Spesies yang tercantum dalam Apendiks I meliputi semua monyet besar, badak, kura-kura laut, ikan paus besar, gajah Asia dan lebih dari 300 satwa dan tumbuhan lainnya yang menghadapi kepunahan. CITES mengizinkan perdagangan komersial tradisional (dengan persyaratan) dalam spesies yang belum dibahayakan akan tetapi perlu dipantau. Spesies ini tercantum dalam Apendiks II dan hanya boleh diperdagangkan dengan izin ekspor dari negara asalnya. Apendiks II meliputi lebih dari 2.300 spesies satwa dan lebih dari 24.000 spesies tumbuhan.38

37

Tonny Soehartono dan Ani Mardiastuti, Pelaksanaan Konvensi CITES..., Ibid., hlm.22. 38

Koesnadi Hardjasoemantri, hukum lingkungan..., Op.Cit., hlm.270.

Apendiks III dari CITES dimaksudkan untuk membantu negara-ngara tertentu memperoleh kerjasama internasional dalam melindungi spesies asli. Setiap negara boleh memasukkan tumbuhan atau satwa asli ke dalam Apendiks III dan dengan demikian spesies tersebut diperdagangkan dengan persyaratan. Spesies tersebut tidak boleh diperdagangkan tanpa izin ekspor dari negara asal atau sebuah sertifikat daerah asal (apabila datang dari negara yang tidak memasukkannya ke dalam daftar).


(54)

Meskipun CITES telah mencoba membuat ketetapan untuk membantu negara anggota dapat melaksanakan CITES secara efektif, ternyata masih terdapat kelemahan-kelemahan pada beberapa peraturan. Contohnya adalah peraturan yang berhubungan dengan pertukaran satwa antar kebun binatang. Kebun binatang memiliki kecenderungan untuk sering melakukan pertukaran satwa yang terancam punah, agar merekadapat memperoleh nilai tambah dan meningkatkan kualitas kebun binatang. Peraturan lain mengenai kepemilikan terhadap barang pribadi juga sangat riskan, karena dapat saja seseorang membawa spesimen dalam jumlah yang sangat besar dengan menggunakan hak kekebalan diplomatik. Teks mengenai konvensi CITES tidak memberikan peraturan yang jelas mengenai kriteria memasukkan suatu jenis ke Apendiks, dan jika perlu dimasukkan, CITES juga tidak memberikan panduan kriteria Apendiks mana yang cocok bagi jenis tertentu.


(55)

BAB III

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU YANG MEMPERNIAGAKAN SATWA YANG DILINDUNGI BERDASARKAN PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM

HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

A. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Suatu Tindak Pidana

Salah satu ciri dari hampir semua sistem hukum adalah bahwa pertanggungjawabanpribadi terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukan dan selalu dikaitkan pada keadaan-keadaan tertentu dari mentalnya. Dalam hukum pidana ada dikenal doktrin mens rea. Yang dimaksud dengan doktrin ini singkatnya adalah bahwa adanya unsur subyektif yaitu unsur yang terdapat dalam diri pelaku adalah mutlak pertanggungan jawab pidana.39

39

Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungan Jawab Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hlm.20.

Menurut sistem hukum Kontinental bahwa syarat-syarat subyektif dalam hukum pidana dibagi atas dua bentuk, yaitu kesalahan (kesengajaan dan kealpaan) dan mampu bertanggung jawab. Dalam sistem hukum Common Law syarat-syarat ini disatukan dalam mens rea. Doktrin mens rea ini disebutkan sebagai dasar dari hukum pidana, dan dalam prakek bahkan ditambahkna orang bahwa pertanggungan jawab pidana menjadi lenyap jika ada salah satu dari keadaan-keadaan atau kondisi-kondisi memaafkan. Telah diuraikan sebelumnya bahwa perbuatan pidana tidak termasuk ke dalam pertanggungjawaban pidana. Kesalahan, pertanggung jawaban dan pidana adalah ungkapan-ungkapan yang terdengar dan digunakan dalam percakapan sehari-hari, dalam moral, agama, dan hukum. Tiga unsur itu berkaitan satu sama lain, dan berakar dalam satu keadaan yang sama, yaitu adanya


(56)

pelanggaran terhadap suatu sistem aturan. Banyak tulisan yang membicarakan tentang syarat-syarat dari pertanggungjawaban pidana, walaupun tulisan-tulisan tersebut memeberikan pendapat yang berbeda terkait syarat pertanggungjawaban pidana ini, namun pada umumnya mempunyai unsur yang sama, yaitu :

1. Kemampuan Bertanggung Jawab

Pengertian mengenai kemampuan bertanggung jawab secara singkat diterangkan sebagai keadaan bathin orang Normal yang sehat. Dalam merumuskan pengertian tindak pidana, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, ada beberapa ahli hukum yang memasukkan perihal kemampuan bertanggung jawab ini ke dalam unsur perbuatan pidana atau tindak pidana. Dalam setiap rumusan tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai kemampuan bertanggung jawab tidak disebutkan, artinya menurut undang-udang kemampuan bertanggung jawab bukanlah merupakan unsur dari tindak pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di seluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia pun memang tidak ada rumusan yang tegas tentang kemampuan bertanggung jawab pidana, yang diatur ialah kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggung jawab.40

40

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana..., Op.Cit., hlm.145.

Seperti isi Pasal 44 KUHP, pasal ini justru merumuskan tentang keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana. Sementara itu, kapan seorang dianggap mampu bertanggung jawab dapat


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan yakni :

1. Pemerintah Indonesia telah membentuk beberapa peraturan yang mengatur mengenai perlindungan hukum terhadap tindak pidana perniagaan satwa yang dilindungi di Indonesia, yang dirumuskan dalam berbagai regulasi peraturan perundang-undangan, termasuk dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, maupun Keputusan Presiden serta telah meratifikasi konvensi internasional yang telah menjangkau segala jenis dan bentuk-bentuk tindak pidana yang diancam disertai dengan sanksi-sanksi pidananya. 2. Penerapan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya terhadap kasus tindak pidana perniagaan satwa yang dilindungi pada putusan dengan Nomor register 1513/ Pid.B/ 2014/ PN.Mdn merupakan penerapan pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana memperniagakan satwa yang dilindungi. Dalam kasus ini, hakim menjatuhkan putusan kepada terdakwa pidana penjara selama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan dan denda sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama


(2)

1 (satu) bulan dan merampas barang bukti berupa 2 (dua) ekor Kucing Emas (felis temmincki), 1 (satu) ekor Ungko Lar (Hylobates Lar), 1 (satu) ekor Siamang (Hylobates Syndaactylus) dikembalikan ke habitatnya melalui BKSDA SUMUT. Hal ini menunjukkan bahwa hakim telah menjatuhkan vonis yang tepat kepada terdakwa dengan dipertanggungjawabkannya terdakwa atas perbuatannya.

B. Saran

1. Penerapan pertanggungjawaban pidana harus dilakukan lebih optimal, terpadu dan terarah yang tidak hanya penerapan dalam landasan teori yaitu pembuatan sejumlah peraturan perundang-undangan, melainkan juga penerapan yang diwujudkan dalam praktek sebagai salah satu upaya nyata keseriusan pemerintah dalam hal mencegah dan memberantas tindak pidana pernigaan satwa liar yang dilindungi.

2. Peranan para aparat pemerintah dan aparat penegak hukum harus lebih ditingkatkan terutama bagi mereka yang bertugas langsung di lapangan terutama pengawas kehutanan, Polisi Hutan maupun aparat Departemen Kehutanan, dan Aparat bea cukai dalam hal memberantas, menindak lanjuti dan mencegah segala kegiatan seperti penyeludupan, perdagangan, perniagaan, dan kegiatan illegal lainnya yang terkait dengan satwa liar yang dilindungi.


(3)

3. Terkait dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memunculkan kegiatan perdagangan illegal satwa liar yang dilakukan melalui internet atau via online, oleh karenanya diperlukan peraturan yang baru dan aktual yang mengatur mengenai kegiatan perdagangan satwa via online tersebut. Jadi, pemerintah Indonesia harus memperbaharui peraturan-peratura yang sudah ada.

4. Pelaksanaan kegiatan edukasi yang dilakukan terhadap masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat menyangkut jenis satwa apa saja yang dilindungi oleh undang-undang, bentuk-bentuk kegiatan yang dilarang dilakukan terhadap satwa yang dilindungi tersebut serta dampak yang diakibatkan dari dilakukannya kegiatan illegal terhadap satwa yang dilindungi oleh undang-undang.

5. Membuat kebijakan yang tidak hanya semata-mata ditujukan kepada upaya penal untuk tujuan penanggulangan (represif) tindak pidana perniagaan satwa liar tetapi juga ditujukan untuk upaya Nomorn penal yang berupa kebijakan sosial dengan cara berusaha menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kegiatan illegal terhadap satwa liar baik secara langsung maupun tidak langsung yang ditujukan untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kegiatan illegal terhadap satwa lir tersebut di masa


(4)

depan seperti memperbaiki kesejahteraan sosial khususnya di kalangan masyarakat lokal.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Mustafa dan Ruben Achmad. 1983. Intisari Hukum Pidana. Jakarta :Ghalmia Indonesia

Arif, Barda Nawawi. 1984. Sari Kuliah Hukum Pidana II. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Arrasjid, Chainur. 1999. Suatu Pemikiran Tentang Psikologi Kriminil. Medan : Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum USU

Chazawi, Adami, 2011, Pelajaran Hukum Pidana : Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rancana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Kalimantan 2007-2017. Jakarta

Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2007-2017. Jakarta

Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orang Utan Indonesia 2007-2017. Jakarta

Ekaputra Mohammad. 2010. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Medan : USU Press Farid, H.A Zinal Abidin. 2007. Hukum Pidana I. Jakarta : Sinar Grafika

Hamdan, M. 2012. Alasan Penghapus Pidana : Teori dan Studi Kasus. Bandung : PT Refika Aditama

Hamzah, Andi. 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika Hamzah Andi. 2010. KUHP & KUHAP Edisi Revisi 2008. Jakarta : Rineka Cipta Hardjasoemantri, Koesnadi. 1991. Hukum Lingkungan : Konservasi Sumber Daya

Alam hayati dan Ekosistemnya.Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Iqbal, Muhammad. 2014.Tinjauan Yuridis Terhadap Kepemilikan Dan Penjualan Satwa Langka Tanpa Izin Di indonesia.Jurnal Beraja NITI Volume 3 Nomor 3.Samarinda

Lamintang, P.A.F.1997. Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang Berlaku Di Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti


(6)

Marpaung, Leiden. 1995. Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan, dan Satwa. Jakarta : Erlangga

Mirza, Rini. 2009. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Perdagangan Illegal Satwa Liar Yang Dilindungi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Register Nomor 2.640/Pid.B/2006/PN.Mdn, Register Nomor 2.641/Pid.B/2006/PN.Mdn dan Register Nomor 2.642/Pid.B/2006/PN.Mdn). Medan : Universitas Sumatera Utara

MoeljatNomor 2008. Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Muladi dan Barda Nawawi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni

Natusch, Daniel J. D dan Jessica A. Lyons. 2012. Exploited for Pets: The Harvest and Trade Of Amphibians and Reptiles From Indonesian New Guinea, Sydney

Prodjodikoro, WirjoNomor 1981. Asas-Asas Hukum Pidana. Bandung : PT. Eresco

Saleh, Roeslan. 1985. Beberapa Catatan Sekitar Perbuatan Dan Kesalahan Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Aksara Baru

Saleh, Roeslan. 1983. Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana. Jakarta : Aksara Baru Saleh, Roeslan. 1982. Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggung Jawaban Pidana.

Jakarta : Ghalia Indonesia

SoehartoNomor, Tonny dan Mardiastuti Ani. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES Di Indonesia. Jakarta : Japan International Cooperation Agency (JICA) Soesilo,R. 1988. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta

Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia

Solehuddin, M. 2004. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana : Ide Dasar Double Track System & Implementasinya.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Susanto, I.S. 2011. KrimiNomorlogi, Yogyakarta: Genta Publishing

Syahrani, Ridwan. 2013. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti


Dokumen yang terkait

Pengadaan Barang Yang Menyebabkan Kerugian Keuangan Negara Ditinjau Dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN)

6 100 148

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang yang Dengan Sengaja Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana Menguasai Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 409/Pid.B/2014/PN.Mdn.)

2 54 90

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Yang Memperniagakan Satwa Yang Dilindungi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemny ( Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1513/Pid.B/2014/Pn.Md

3 88 109

Analisis Juridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

3 59 100

Tinjauan Kriminologi Dan Hukum Pidana Tentang Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Terhadap Anak Kandungnya (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tulungagung Nomor : 179/Pid.Sus/2012/PN.Ta)

5 134 138

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Perdagangan Ilegal Satwa Liar Yang Dilindungi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Register No.2.640/Pid.B/2006/PN.Medan, Register No.2.641/Pid.B/2006/PN.Medan dan Register No.2.642/Pid.B/2006/PN.Medan)

4 83 81

Penegakan Hukum Terhadap Oknum Polri Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/Pn.Mdn)

1 50 102

Penegakan Hukum Atas Perburuan Liar Jalak Bali di Taman Nasional Bali Barat Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 Tentang Perburuan Satwa

0 2 1

BAB II REGULASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG TERKAIT DENGAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Yang Memperniagakan Satwa Yang Dilindungi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservas

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam, - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Yang Memperniagakan Satwa Yang Dilindungi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservas

0 0 23