Pertanggungjawaban pidana korporasi atas praktik transfer pricing bidang perpajakan di Indonesia Chapter III V

BAB III
TINDAK PIDANA KORPORASI ATAS PRAKTIK TRANSFER PRICING
BIDANG PERPAJAKAN DI INDONESIA

A. Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
Hukum pajak tergolong dalam hukum publik yaitu hukum administrasi atau
tata usaha negara.Hukum pajak sebagai bagian hukum tata usaha negara bersumber
pada peristiswa-peristiwa perdata, yang apabila dilanggar dapat diancam dengan
pelanggaran pidana. 112 Direktorat Jenderal Pajak sebagai lembaga hukum yang
bertugas mengumpulkan uang pajak, melakukan tugasnya berlandaskan pada
administrasi pemungutan pajak sesuai undang-undang pajak. Sekalipun hukum pajak
bagian dari hukum administrasi, materi pajak memang tidak lepas dari hukum perdata
maupun pidana. Hukum pajak memilik keterikatan kuat dengan hukum perdata dan
juga hukum pidana. Bahkan istilah-istilah (terminologi hukum) yang digunakan dalam
hukum pajak mengambil dari istilah yang digunakan dalam hukum perdata maupun
hukum pidana.113
Dekatnya hubungan hukum pajak dengan hukum perdata maupun hukum
pidana bisa dimaklumi karena segala macam transaksi ekonomi dalam hukum perdata
menjadi sasaran atau objek dari hukum pajak. Soal kealpaan dan kesengajaan yang
diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP pada dasarnya mengacu pada pengertian
112


Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Op. Cit., hlm. 14-15.
Misalnya soal daluwarsa utang pajak yang diatur dalam Pasal 22 UU KUP mengacu pada
daluwarsa dalam hukum perdata. Demikian juga soal pengertian hak mendahulu diatur dalam Pasal 21
UU KUP secara jelas mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 1139 KUH Perdata.Pasal 1139
KUH Perdata yang menyebutkan piutang-piutang yang diistimewakan. Pengertian diistimewakan sama
dengan pengertian didahulukan.
113

Universitas Sumatera Utara

kealpaan dan kesengajaan dalam hukum pidana. Demikian juga misalnya soal wajib
pajak yang memindahtangankan atau memindahkan hak atau merusak barang yang
telah disita karena tidak melunasi utang pajaknya akan diancam dengan Pasal 321
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Bahkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata),
khususnya Buku Ketiga tentang Perjanjian, bisa dikatakan semuanya merupakan
transaksi ekonomi yang bersifat perdata yang mempunyai aspek hukum pajak.
Berbagai macam perjanjian yang diatur dalam hukum perdata umumnya akan
berdampak pada aspek pajak, kecuali perjanjian tertentu seperti hibah tidak berdampak

pada aspek pengenaan pajaknya.114 Hubungan yang jelas tampak bahwa dalam hukum
pajak selalu mencari dasar kemungkinan pemungutan pajak berdasarkan perbuatan
hukum perdata. Perjanjian, kekayaan dan warisan adalah contoh perdata yang menjadi
dasar kemungkinan pemungutan pajak berdasarkan undang-undang pajak. Jadi, segala
kegiatan ekonomi akan dipantau dari sisi pengenaan pajak untuk kepentingan negara.
Proses administrasi pengenaan pajak (pemajakan) inilah yang diatur dalam hukum
pajak, termasuk proses penyelesaiaan hukumnya sebagai bagian dari hukum
administrasi.
Proses pemajakan itu sendiri merupakan sebagian dari kegiatan administrasi
perpajakan. Istilah administrasi perpajakan dapat diartikan secara sempit dan secara
luas. Dalam pengertian sempit, administrasi perpajakan merupakan penatausahaan dan
114

Lihat misalnya dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Lengkapnya disebutkan sebagai berikut: “Yang dikecualikan oleh objek pajak adalah harta hibaan yang
diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro
dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.


Universitas Sumatera Utara

pelayanan atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban pembayar pajak.Sedangkan dalam
arti luas, administrasi perpajakan dipandang sebagai fungsi, sistem dan lembaga.115
Sebagaimana telah diuraikan bahwa ada keterkaitan hukum pajak dengan
hukum perdata dan hukum pidana. Akibat adanya tindak pidana dalam bidang
perpajakan dapat mengakibatkan kerugian negara. Pasal 11 ayat (3) dan Penjelasan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4286) menentukan bahwa “Pendapatan Negara terdiri atas
penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak dan hibah”. Termasuk dalam pajak adalah
bea masuk dan cukai sesuai pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 133 dana Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 4778), yang menentukan bahwa: “Penerimaan
perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri dari pajak dalam negeri dan
pajak perdagangan internasional. Pajak perdagangan internasional adalah semua
penerimaan negara yang berasal dari bea masuk dan bea keluar”.
Adapun untuk penerimaan negara bukan pajak, pasal 1 ayat (1) UndangUndang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3687) menentukan bahwa: “Penerimaan negara bukan

Gunadi, “Reformasi Administrasi Perpajakan dalam Rangka Konstribusi Menuju Good
Governance”, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Ilmu Perpajakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, UI, Jakarta, 2004, hlm. 29.
115

Universitas Sumatera Utara

pajak adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan
perpajakan”.
Sedangkan mengenai kerugian negara, pasal 1 ayat (22) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 5 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4355) menentukan “Kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga
dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum
baik sengaja maupun lalai”.
Kerugian negara yang dimaksud dalam tesis ini adalah kekurangan uang yang
nyata dan pasti jumlahnya dapat dihitung akibat perbuatan melawan hukum baik
karena kelalaian maupun kesengajaan, yang berasal dari pungutan negara yang tidak

dibayar atau tidak disetor kepada kas negara oleh pelaku tindak pidana di bidang
perpajakan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Negara Republik Indonesia
Nomor 6 tahun 1983, bahwa: “Setiap orang karena kealpaannya:
1. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap,
atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar.
Bentuk pelanggaran yang lain juga diatur dalam Pasal 39 ayat (1), bahwa:
Setiap orang dengan sengaja:
1. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

Universitas Sumatera Utara

2. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
3. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
4. Menyampaikan surat pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar
atau tidak lengkap;
5. Menolak untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;

6. Memperlihatkan pembukaan pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-seolah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya;
7. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperhatikan atau tidak meminjamkan buku, catatan atau dokumen lain;
8. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan
yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
9. Tidak menyetor pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Sementara itu, Pasal 39 Ayat (3) menyatakan bahwa: “Setiap orang yang
melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau
menggunakan tanpa Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan surat
pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap

Universitas Sumatera Utara

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurud d, dalam rangka mengajukan permohonan
restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak.”

Pasal 39A huruf a dan b menentukan: “setiap orang dengan sengaja:
1. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi
yang sebenarnya; atau
2. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha kena
pajak…”.
Tindakan kelalaian dan kesengajaan tersebut mengakibatkan negara tidak dapat
memungut uang tersebut sesuai ketentuan Undang-Undang Perpajakan di atas,
sehingga berdampak negatif karena penerimaan negara menjadi berkurang, di mana
pendapatan negara bersumber dari pajak (pajak pertambahan nilai/PPn, Pajak
Penghasilan/PPh, Pajak Impor, Bea Meterai/BM, atau PPN Barang Mewah…”) dan
perekonomian negara. Pada akhirnya, pelaksanaan pembangunan nasional yang
ditujukan untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat untuk mencapai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi terhambat.
Pengertian tindak pidana pajak tidak ditemukan secara tegas dalam UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP yang telah empat kali diubah.Namun,
hanya ditemukan mengenai ketentuan pidana yang menentukan tentang kealpaan dan
kesengajaan. Berkaitan dengan hal ini Rochim menulis bahwa:
“Tindak pidana pajak yakni suatu perbuatan yang berhubungan dengan tindak
kejahatan di bidang perpajakan, yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana sesuai
ketentuan undang-undang yang berlaku. Biasanya, kejahatan perpajakan ini dilakukan


Universitas Sumatera Utara

tanpa kekerasan, sehingga kejahatan ini masuk dalam kelompok kejahatan jenis
concursus idealis, artinya memiliki basis dasar dari kejahatan tertentu seperti
penggelapan, penipuan, pemalsuan dan pencurian dan sebagainya.”116
Penjelasan tersebut dimaksudkan, bahwa untuk membuktikan seseorang, badan
hukum, pegawai/pejabat pajak atau pihak ke-3 (tiga) yang diduga melakukan tindak
pidana perpajakan, maka harus diawali dengan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan, yakni, “serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di
bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya”.117
Berdasarkan uraian mengenai pengaturan kualifikasi “Tindak Pidana Pajak”,
maka dari Pasal 38, Pasal 39, Pasal 39A dalam UU No. 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang KUP bahwa “Setiap orang
dengan sengaja…sanksi pidana penjara paling sedikit 2 (dua) dan paling lama 5
(enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur
pajak…”. Definisi tentang “Tindak Pidana Pajak” secara parsial juga ditemukan dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007Nomor 67 dan Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4724). Penjelasan Pasal 33 ayat (3) UU No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal menentukan: “Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Perpajakan
adalah informasi yang tidak benar mengenai laporan yang terkait dengan pemungutan
pajak dengan menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar atau

116

Rochim, Modus Operandi Tindak Pidana Pajak, (Jakarta: Solusi Publishing, 2010), hlm.

25.
117

http://www.pajak.go.id/dmdocuments/PENYIDIKAN.pdf.accesed: 3 Oktober 2016.

Universitas Sumatera Utara

tidak lengkap atau melampirkan keterangan-keterangan yang tidak benar, sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada negara dan kejahatan lain yang diatur dalam
undang-undang yang mengatur perpajakan.”
Sementara itu, Pasal 2 ayat (2) huruf V Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5164) menentukan: “Hasil Tindak Pidana adalah harta
kekayaan yang diperoleh dari Tindak Pidana di bidang Perpajakan”.
Dalam hal ini, pajak merupakan sumber pemasukan terbesar dalam APBN
yang dari tahun ke tahun perlu peningkatan. Akan tetapi, dalam kenyataannya, terjadi
kebocoran-kebocoran yang dilakukan oleh wajib pajak, aparat pajak, maupun pihak
ketiga, sehingga optimalisasi penerimaan tersebut tidak bisa tercapai. Untuk
menimbulkan unsur jera kepada pelaku, maka ketentuan pidana yang ada UndangUndang KUP (UU No. 16/2000 diubah UU No. 6/1983), Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan KUH Pidana perlu
diberlakukansecara selektif. Dalam praktik ketentuan-ketentuan itu tidak digunakan
oleh aparat penegak hukum, di mana Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi
lebih mendominasi, sehingga ketentuan pidana dalam UU No. 16 Tahun 2000 tidak
pernah dipakai. Berdasarkan asas Lex Specialist derogate legi genaralis, maka
ketentuan pidana dalam UU No. 16/2000 harus diberlakukan.118
Sebagaimana UU KUP yang baru, ketentuan tindak pidana pajak merupakan
tindak pidana khusus, sehingga penegakan hukum pidana pajak diberlakukan secara

118


Mokhamad Khoirul Huda, http://ejournal.ac.id, diakses 29 September 2016.

Universitas Sumatera Utara

khusus yakni dengan menggunakan UU KUP, bukan menggunakan undang-undang
lain. Sebab, apabila yang diberlakukan adalah undang-undang yang lain, maka akan
terjadi konflik perundang-undangan, di mana para pelaku potensial menggunakan
celah hukum tersebut untuk melakukan tindak pidana perpajakan berupa pengelakan,
penghindaran, penipuan, pemalsuan, bahkan dengan cara mafia perpajakan.
Heru Prabowo, seorang narapidana penggelapan pajak, menulis ada 5 (lima)
penyebab mengapa mafia pajak masih marak terjadi di Indonesia:119
Pertama, kekuasaan yang besar, di mana lingkup kekuasaan Direktorat
Jenderal Pajak (disingkat DJP) tidak hanya menetapkan pajak, tetapi juga mengadili
sengketa pajak dalam proses keberatan, menyita asset Wajib Pajak (WP), memblokir
rekening bank, menyidik tindak pidana pajak, meminta pencekalan WP sampai
menahan WP (penyanderaan). Dalam konteks ini, ungkapan “kekuasaan cenderung
korup” berlaku mutlak. Kedua, banyaknya hubungan kekerabatan antarsesama
karyawan di DJP ini tak lazim di institusi keuangan, karena kekerabatan mendorong
persekongkolan yang sulit dideteksi. Ketiga, lemahnya pengawasan di internal di
DJP.Dalam hal ini, kasus Gayus menjadi bukti. Jangankan investigasi, DJP saja baru
menskors Gayus setelah kasusnya mencuat di media massa. Padahal, sesuai Pasal 2 PP
4/1966 tentang Pemberhentian PNS sementara, Gayus seharusnya diskors sejak jadi
tersangka dalam kasus pertama saat dia divonis bebas.
Keempat, rendahnya target pajak. Misalnya, dalam RAPBN 2012, rasio pajak
ditetapkan 12,72 persen dari PDB. Angka ini jauh di bawah rata-rata ASEAN yang
berkisar 15-20 persen.
119

Heri Prabowo, Dhana, Saya dan Mafia Pajak, Harian Kompas, Kamis, 8 Maret 2012,
Kolom 2-6, hlm. 6.

Universitas Sumatera Utara

Kelima, adanya wilayah abu-abu. Sesuai dengan ketentuan Pasal 23A UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, semua pajak dan pungutan lain
yang memaksa untuk keperluan negara harus diatur dengan undang-undang. Namun,
dalam undang-undang pajak, selain objek pajak pun ditentukan.Transaksi di luar objek
dan non-objek adalah wilayah abu-abu yang berpotensi jadi sumber korupsi. Apalagi
ada seloroh bahwa undang-undang pajak di Indonesia paling tipis di dunia. Mafia
pajak seharusnya menjadi sejarah jika reformasi birokrasi DJP berhasil. Banyak pihak
berharap kinerja aparat pajak bagus agar pendapatan negara meningkat. Bayangkan,
jika nasabah pajak di Indonesia mencapai 20 persen. Kita tidak perlu bingung dengan
subsidi BBM.Semoga DJP bisa memperbaiki diri.120
Uraian di atas membuktikan bahwa telah terjadi 5 (lima) penyebab kejahatan di
bidang perpajakan yang dilakukan, baik oleh wajib pajak, fiskus/pegawai/pejabat pajak
maupun pihak ketiga. Walaupun pelanggaran pajak merupakan administrasi penal dan
penghukuman dengan hukum pidana pajak adalah hukuman sebagai sarana ultimum
remedium, tetapi di dalam sistem pemidanaan, hakim memutuskan langsung sebagai
kejahatan pajak untuk memberikan efek jera kepada pelaku pidana perpajakan tersebut
dengan perintah pidana penjara, kurungan dan/atau pidana denda. Dalam konteks ini,
Muhammad Djafar menulis, bahwa: “Tindak pidana pajak berupa kejahatan di bidang
pajak yang dapat berupa melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan yang
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pada hakikatnya,
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dikategorikan sebagai kaidah
hukum pajak yang menjadi koridor untuk berbuat atau tidak berbuat. Dengan
120

Simon Nahak, Hukum Pidana Perpajakan, Konsep Penal Policy Tindak Pidana Perpajakan
dalam Perspektif Pembaharuan Hukum, (Jakarta: Setara Press, 2014), hlm. 46.

Universitas Sumatera Utara

demikian, melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan di bidang perpajakan
tergolong sebagai kejahatan di bidang perpajakan ketika memenuhi rumusan kaidah
hukum pajak. Melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan sebagai bentuk
kejahatan di bidang perpajakan memerlukan uraian analisis yang mendasar, sehingga
mudah dipahami secara prinsipil. Pertama, melakukan perbuatan tetapi bertentangan
dengan kaidah hukum pajak, sehingga dikategorikan sebagai kejahatan di bidang
perpajakan. Misalnya wajib pajak melakukan perbuatan berupa menyampaikan surat
pemberitahuan tetapi substansi tidak benar, tidak lengkap, tidak jelas atau tidak
ditandatangani. Kedua, tidak melakukan perbuatan, tetapi memenuhi rumusan kaidah
hukum pajak, sehingga dikategorikan melakukan kejahatan di bidang perpajakan.
Misalnya wajib pajak tidak membayar pajak untuk suatu saat atau masa pajak bagi
tiap-tiap jenis pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah terutangnya pajak atau
berakhirnya masa pajak tersebut.”121
Penjelasan di atas, menegaskan bahwa tindak pidana perpajakan merupakan
tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana lainnya karena dalam tindak pidana
perpajakan menjelaskan tentang melakukan perbuatan dan tidak melakukan perbuatan
tetapi dapat melanggar ketentuan peraturan perpajakan.
Kejahatan di bidang perpajakan merupakan awal dari delik pajak yang terkait
dengan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Tidak boleh
disamakan dengan kejahatan sebagai awal dari delik korupsi yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

121

Muhammad Djafar Saidi, Eka Merdekawati Djafar, Kejahatan di Bidang Perpajakan,
(Jakarta: Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT. RajaGrafindo Persada, 2011), hlm.3.

Universitas Sumatera Utara

Korupsi (UUPTPK). Adapun jenis kejahatan di bidang perpajakan, antara lain sebagai
berikut:
l. Menghitung atau menetapkan pajak;
2. Bertindak di luar kewenangan;
3. Melakukan pemerasan dan pengancaman;
4. Penyalahgunaan kekuasaan;
5. Tidak mendaftarkan diri atau melaporkan usahanya;
6. Tidak menyampaikan surat pemberitahuan;
7. Pemalsuan surat pemberitahuan;
8. Menyalahgunakan Nomor Pokok Wajib Pajak;
9. Menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak;
10. Menyalahgunakan pengukuhan pengusaha kena pajak;
11. Menolak untuk diperiksa;
12. Pemalsuan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain;
13. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
14. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan;
15. Tidak menyetor pajak yang telah dipotong atau dipungut;
16. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak dan/atau bukti setoran pajak;
17. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak;
18. Tidak memberikan keterangan atau bukti;

Universitas Sumatera Utara

19. Menghalangi atau mempersulit penyidikan delik pajak;
20. Tidak memenuhi kewajiban memberikan data atau informasi;
21. Tidak terpenuhi kewajiban pejabat pajak dan pihak lain;
22. Tidak memberikan data dan informasi perpajakan;
23. Menyalahgunakan data dan informasi perpajakan;
24. Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak; dan
25. Tidak dipenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak.122
Gambaran tentang kejahatan di bidang perpajakan sebagaimana telah
disebutkan di atas, masih dapat dirinci lebih lanjut ke dalam jenis perbuatan yang
dilarang untuk dilakukan, tergantung pada kepentingan saat itu maupun yang
diperintahkan untuk dilakukan. Perincian itu mutlak dijabarkan lebih lanjut ke dalam
kaidah hukum pajak, sehingga menciptakan suatu kepastian hukum yang wajib ditaati.
Sekalipun telah tergambar berbagai kejahatan di bidang perpajakan tidak berarti bahwa
kejahatan itu harus dilakukan untuk memenuhi kepentingan pelaku.123
Upaya untuk menghindari agar tidak terjadi kejahatan di bidang perpajakan
tergantung pada perilaku dan kepatuhan untuk melaksanakan tugas, kewajiban, dan
larangan. Penghindaran untuk tidak melakukan kejahatan merupakan tindakan atau
perbuatan hukum yang diharapkan menjadi dasar panutan agar tidak dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.Inilah yang merupakan substansi
hukum pajak berupa terwujudnya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam
berbangsa dan bernegara.124

122

Muhammad Djafar, Eka Merdekawati Djafar, Op. Cit., hlm. 11.
Ibid.
124
Ibid.
123

Universitas Sumatera Utara

B. Tindak Pidana Korporasi atas Praktik Transfer Pricing
Terdapat kecenderungan bahwa motif penghindaran pajaklah yang menjadi
motivasi utama transfer pricing.Persepsi yang peyoratif tersebut tidak dapat
dihindarkan, namun apakah argumen tersebut dapat dibuktikan secara empiris? Untuk
membuktikan hal tersebut diperlukan suatu telaah literatur mengenai perilaku
perusahaan multinasional dan transfer pricing terutama ditinjau dari motivasi atau
tujuan serta variabel yang memiliki keterkaitan erat dengan kebijakan transfer pricing.
Pada awalnya, kajian atas transfer pricing hanya terfokus pada bagaimana
mekanisme transfer pricing dapat digunakan sebagai alat untuk memaksimalkan laba
perusahaan.125 Selain itu, sistem yang ada tersebut haruslah dapat mengukur secara
adil kontribusi masing-masing perusahaan (divisi) dalam grup. Sebagian besar literatur
tersebut membahas mengenai perspektif ekonomi dalam isu transfer pricing dengan
mencoba merumuskan model untuk mendapatkan solusi transfer pricing yang optimal
setelah membuat beberapa asumsi mengenai perusahaan, prioritas individu-individu
yang terlibat, serta faktor lain yang mempengaruhi pengalokasian.
Faktor penghindaran pajak (atau memaksimalkan laba grup perusahaan setelah
pajak) belum banyak dibahas, terutama karena dua hal: (a) asumsi dasar mengenai
model transfer pricing yang dibangun pada periode tersebut diletakkan dalam konteks
intra perusahaan (atau interaksi antardivisi dalam suatu entitas usaha) dan (b) belum
banyak negara yang mengatur upaya penghindaran pajak via transfer pricing.126
Dari beberapa studi mengenai transfer pricing tanpa variabel pajak, dapat
disimpulkan bahwa: dalam suatu kesepakatan yang wajar (arm’s lenghth), harga yang
125

Darussalam, dkk, Op. Cit., hlm. 45.
Ibid.

126

Universitas Sumatera Utara

terjadi merupakan suatu proses negoisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
efeknya tidak dapat diprediksi dengan pasti. 127 Ketidakpastian tersebut menciptakan
tingginya biaya transaksi. Padahal biaya transaksi pada dasarnya menghambat
perdagangan internasional dan juga cenderung mengakibatkan penggunaan sumber
daya yang tidak produktif.
Pada tahun 1985, Eccles membangun suatu kerangka yang memperlihatkan
keterkaitan yang erat antara praktik transfer pricing dan bermacam variabel lainnya.
Kontribusi utama dari kerangka yang dilakukan oleh Eccles tersebut adalah bahwa
secara langsung dan tidak langsung, kebijakan transfer pricing yang diterapkan oleh
suatu perusahaan multinasional akan memberikan implikasi pada berbagai hal,
termasuk juga untuk memastikan tujuan bersama yang harmonis antar unit.
Menurutnya, kebijakan atau sistem transfer pricing pada perusahaan akan
menyebabkan pada keputusan bisnis yang mendorong kinerja perusahaan dan di sisi
lain juga akan memberikan kompensasi bagi kinerja individual atau divisi secara adil
dan dapat dipertanggungjawabkan.128
Walau demikian, tidak berarti kebijakan transfer pricing yang dipilih oleh
perusahaan dapat memenuhi seluruh tujuan tersebut.Hal ini dikarenakan adanya sifat

127

Ibid.
Robert G. Eccles, The Transfer Pricing Problem: A Theory for Practice (Lexington,
Massachusetts: Lexington Books, 1985), sebagaimana dikutip dalam Roger Y. W. Tang, Current Trends
and Corporate Case in Transfer Pricing (Connecticut: Quorum Books, 2002), hlm. 21. Model yang
diajukan Eccles tersebut mengandung banyak kesamaan dengan kerangka yang dibangun oleh C.
Emmanuel dan M. Mehafdi, Transfer Pricing (London: Academic Press, 1994). Kontribusi penting dari
Emmanuel dan Mehafdi tersebut terletak pada penjelasan yang makin mendetail atas variabel yang
terkait dengan sistem transfer pricing perusahaan.
128

Universitas Sumatera Utara

yang justru saling bertolak belakang dari masing-masing tujuan tersebut. 129 Hal ini
jugadiperkuat oleh kesimpulan yang diajukan Tang:
“… a single transfer price can hardly meet all the objectives of a large
corporation. More than one transfer price is needed to accomplish the objective…’.130
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika terdapat diskusi mengenai two sets
of books dalam penentuan harga transfer, yaitu harga transfer yang ditentukan
dipisahkan untuk tujuan internal (terutama untuk mengevaluasi kinerja dan
kompensasi) serta tujuan eksternal (terutama untuk tujuan perpajakan). Hasil
penelitian empiris yang dilakukan oleh Tang mengenai tujuan transfer pricing
perusahaan multinasional pada dua periode yang berbeda, memperlihatkan hasil yang
menarik. Walau penelitian tersebut dilakukan pada saat isu pemeriksaan transfer
pricing belum semarak seperti sekarang (sebelum tahun 2000), hasil tersebut
mengindikasikan adanya pergeseran motif transfer pricing itu sendiri, dari tujuan
bisnis ke tujuan perpajakan.
Mayoritas responden survei (kurang lebih 43% untuk kedua periode penelitian)
menyatakan bahwa perusahaan mereka melakukan transfer pricing untuk tujuan
memaksimal laba setelah pajak terkonsolidasi atau secara grup perusahaan
multinasional. Jawaban terbesar berikutnya (kurang lebih 28% untuk kedua periode
penelitian) adalah mengukur kinerja perusahaan yang ada di dalam grup.Sedangkan
R.A. Leitch dan K. S. Barret, “Multinational Transfer Pricing: Objectives and Contraints,”
Journal of Accounting Literature 11, (1992), hlm. 47-92, sebagaimana dikutip dalam J. Elliot dan C.R.
Emmanuel, International Transfer Pricing: A Study of Cross-border Transactions (London: CIMA
Publishing, 2000), hlm. 2. Leitch dan Barret juga memiliki pandangan skeptis atas survei empiris
mengenai perilaku perusahaan multinasional dalam kebijakan transfer pricing. Hal ini terutama didasari
atas keunikan masing-masing situasi yang dihadapi oleh perusahaan multinasional.
130
Roger Y. W. Tang, Transfer Pricing Practices in the United and Japan (New York: Praeger
Publisher, 1979), hlm. 21. Kesimpulan yang dibangun berdasarkan kajian atas beberapa literatur studi
empiris mengenai transfer pricing pada periode 1960-1970.
129

Universitas Sumatera Utara

tujuan terbesar ketiga (kurang lebih 10% untuk kedua periode penelitian) adalah untuk
mengurangi pembayaran pajak penghasilan, cukai, dan pajak lainnya. Jika
digabungkan jawaban yang menyiratkan bahwa pajak menjadi variabel pendorong
dilakukannya transfer pricing (terbesar pertama dan ketiga), didapatkan angka kurang
lebih 55%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa motif penghindaran pajak (baik
yang dapat diterima maupun tidak) memainkan peranan besar dalam mendorong
dilakukannya transfer pricing.
Di sisi lain, jika ditinjau dari variabel yang memiliki keterkaitan dengan
kebijakan transfer pricing, terdapat dua faktor yang memengaruhi pembentukan harga
transfer, yaitu struktur organisasi dari grup perusahaan multinasional (khususnya jika
dilihat besarnya derajat sentralisasi) serta kondisi pasar di tempat perusahaan tersebut
beraktivitas.131 Pendapat senada juga diungkapkan oleh Buckley dan Casson, dengan
menambahkan variabel lainnya seperti: sifat barang yang diperdagangkan serta sistem
fiskal yang ada.132
Secara umum dapat disimpulkan bahwa perubahan lingkungan usaha sangat
memengaruhi perubahan perilaku perusahaan multinasional terkait dengan transfer
pricing.133 Pengaruhnya dapat ditelusuri melalui empat isu, yakni: (a) manajemen dan
organisasi bisnis; (b) isu ekonomi dan bisnis internasional; (c) isu hukum dan
perpajakan; dan (d) isu teknologi. Keempatnya tidak dapat dilihat secara parsial,
131

Lars Nieckels, Transfer Pricing in Multinational Firm (Stockholm: Almqvist & Wiksell
International, 1975), hlm. 45.
132
Peter J. Buckley and Mark Casson, The Future of the Multinational Enterprise (London and
Basingstoke: Macmillian Press, 1976), hlm. 44, sebagaimana dikutip dalam Lorraine Eden, “The
Internalization Benefit of Transfer Price Manipulation,” Bush School Working Paper, no. 315 (2003):
4. Menurut mereka:…the exploitation of transfer pricing depends not only on the nature of the product
and the structure of external market, but also on the characteristic of the fiscal system in the various
regions linked by the market.”
133
Roger Y. W. Tang, Op. Cit., hlm. 5-17.

Universitas Sumatera Utara

karena memiliki keterkaitan yang akan berimbas secara signifikan pada besaran
transaksi dan manajemen sistem transfer pricing pada korporasi. Misalkan,
perkembangan teknologi informasi akan memfasilitasi transaksi secara global (ecommerce) dan juga mendorong adanya perubahan organisasi. Perkembangan bisnis
internasional akan menciptakan semakin banyaknya transaksi afiliasi, membutuhkan
semakin banyak proses merger dan akuisisi atau aliansi strategis. Pada akhirnya,
seluruhnya akan menjadi variabel penentu kebijakan transfer pricing yang diambil.
Jika dicermati pada uraian-uraian terdahulu tentang transfer pricing, terdapat
cela atau melanggar undang-undang perpajakan. Sebab, transfer pricing sering
dikonotasikan sebagai sesuatu yang tidak baik dan bermakna pejorative yaitu
pengalihan atas penghasilan kena pajak dari suatu perusahaan dalam suatu grup
perusahaan multinasional ke perusahaan lain dalam grup perusahaan multinasional
yang sama di negara yang tarif pajaknya rendah. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk
mengurangi total beban pajak dari grup perusahaan multinasional tersebut.
Sebagaimana juga telah diungkapkan di muka, bahwa makna “pejorative”
tersebut sebetulnya mengacu kepada apa yang disebut manipulasi transfer
pricing,abuse of transfer pricing, transfer mispricing, dan sebagainya. Manipulasi
transfer pricing dapat didefinisikan sebagai suatu kebijakan atas harga transfer yang
berada di atas atau di bawah opportunity cost dalam rangka untuk penghindaran
kontrol pemerintah dan/atau aktivitas memanfaatkan perbedaan regulasi antarnegara,
terutama terkait dengan tarif pajak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
manipulasi transfer pricing adalah kegiatan menetapkan harga transfer menjadi

Universitas Sumatera Utara

“terlalu besar atau terlalu kecil” dengan maksud memperkecil jumlah pajak yang
terutang.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, undang-undang yang dilanggar adalah
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan yaitu tentang kesengajaan. Kesengajaan sebagaimana diatur di dalam Pasal
39 undang-undang tersebut. Menurut penulis, kegiatan menetapkan harga transfer
menjadi “terlalu besar atau terlalu kecil” dengan maksud memperkecil jumlah pajak
yang terutang, merupakan kesengajaan yang mengakibatkan negara mengalami
kerugian akibat kecilnya jumlah pajak yang diterima. Dengan sengaja memperkecil
kewajiban membayar pajak kepada negara, sehingga negara dirugikan merupakan
perbuatan pidana. Di sinilah unsur kesengajaan dalam transfer pricing yaitu
memperkecil kewajiban membayar pajak kepada negara. Padahal sebagai sebuah
korporasi, seharusnya memberikan kontribusi yang lebih besar dalam membayar pajak
kepada negara daripada orang perorangan.
Istilah tindak pidana korporasi dimaksudkan untuk mempertegas bahwa tindak
pidana itu dilakukan oleh korporasi yang pada umumnya dilakukan oleh direksi suatu
korporasi. Dalam arti umum, tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang
mengganggu ketertiban umum, masyarakat, bangsa dan negara, sebagaimana diatur di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).Tindak pidana yang dianalisis
dalam tesis ini adalah tindak pidana yang dilakukan bukan oleh orang perseorangan
tetapi oleh perusahaan yang lazim disebut korporasi. Pelakunya adalah korporasi yang
dalam hal ini direksi (para direksi) atau pengurus korporasi.

Universitas Sumatera Utara

Korporasi khususnya perseroan seharusnya merupakan salah satu sumber
penghasilan negara melalui pembayaran pajak. Namun, dalam kenyataannya korporasi
melalui direksinya justru menghindari melakukan pembayaran pajak. Suatu perbuatan
dari korporasi yang berusaha menghindari kewajiban membayar pajak itulah yang
disebut transfer pricing. Transfer pricing, khususnya international transfer pricing
dapat menjadi persoalan hukum bahkan pidana jika transfer pricing itu digunakan
untuk kepentingan menghindari pajak. Menghindari pajak jelas merupakan kejahatan
terhadap negara, sebab dengan menghindari pajak negara dirugikan.Kaitannya adalah
pemasukan negara dari sektor pajak merupakan sumber pendapatan negara
terbesar.Artinya ketergantungan negara dari sektor pajak sangat besar.Demikian
halnya negara Indonesia, masih mengandalkan sektor pajak untuk menyusun Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
MODEL PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS PRAKTIK
TRANSFER PRICING BIDANG PERPAJAKAN

A. Gambaran Umum Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme
yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas
“kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.

134

Pertanggungjawaban pidana

seseorang bergantung pada diaturnya suatu perbuatan menjadi suatu perbuatan tindak
pidana di dalam suatu perundang-undangan (asas legalitas). Dengan demikian, apabila
seseorang melakukan suatu perbuatan yang menurut undang-undang telah memenuhi
rumusan tindak pidana sebagaimana yang dimaksudkan, barulah seseorang tersebut
dapat dipertimbangkan apakah ia dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan
tersebut. Untuk mempertegas hal di atas, menurut Roeslan Saleh apabila orang yang
melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan
dipidana. Tetapi manakala dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah
melakukan perbuatan terlarang dan tercela tentu dia tidak dipidana.135 Berdasarkan hal
tersebut diaturnya sebuah perbuatan merupakan suatu perbuatan pidana dalam
peraturan pidana menjadi sangat penting, karena tanpa adanya peraturan yang
menyatakan perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana, maka dengan demikian
orang yang melakukan perbuatan tersebut tidak dapat dikenakan sanksi pidana.
134

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 68.
135
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian Dasar
dalam Hukum Pidana, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 75.

Universitas Sumatera Utara

Dapat dipertanggungjawabkannya seseorang adalah berdasarkan perbuatan
pidana yang dilakukannya, sedangkan untuk dapat dipidananya seseorang haruslah
ditemukan adalanya kesalahan dalam perbuatannya. Dalam hukum pidana dikenal
dengan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld). Asas tiada
pidana tanpa kesalahan dapat diartikan, pertanggungjawaban pidana ditentukan
berdasarkan kesalahan pembuat. Oleh karena itu, seseorang tidak dapat langsung
dipertanggungjawabkan walaupun perbuatan yang dilakukannya sudah memenuhi
unsur suatu tindak pidana.136
Dengan adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas,
“tidak ada pidana tanpa ada kesalahan”, maka untuk menentukan apakah seorang
pelaku tindak pidana dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, haruslah
dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai
kesalahan atau tidak. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan, ini berarti
bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan
dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kesalahan yang dimaksudkan adalah
keadaan jiwa seseorang yang melakukan perbuatan dan perbuatan yang dilakukan itu
sedemikian rupa, sehingga orang itu patut dicela.
Permasalahan mengenai “kesalahan” dalam hukum pidana merupakan masalah
yang sangat mendasar atau fundamental.Permasalahan mengenai “kesalahan”
dinyatakan sebagai masalah yang sangat mendasar atau fundamental adalah karena
kesalahan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk dapat memidanakan
seseorang atas perbuatan yang dilakukannya. Kesalahan dalam hukum pidana

136

Mahmud Mulyadi, Feri Anton Surbakti, Op. Cit., hlm. 36.

Universitas Sumatera Utara

merupakan inti pokok dari tindak pidana, yang isinya merupakan keadaan psikologis
pembuat ketika melakukan tindak pidana tersebut. Oleh karena demikian pentingnya
masalah “kesalahan” dalam hukum pidana perlu disampaikan secara mendalam dan
detail.137
Berkaitan dengan kesalahan menurut Simons, kesalahan adalah keadaan batin
(psychis) orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang
dilakukan yang sedemikian rupa, sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan
tadi. 138 Berdasarkan pendapat yang diberikan oleh Simons, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa Simons dalam memberikan pengertian mengenai kesalahan
memperhatikan dua hal yakni keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu
dan hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan. Menurut
Simons, dua hal tersebut harus saling berkaitan antara satu dengan yang lain baru
dapat dinyatakan sebagai kesalahan.
Sependapat dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Simons, Moelyatno
memberikan pendapat mengenai unsur-unsur untuk menentukan adanya kesalahan itu,
yaitu:
a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);
b. Di atas unsur tertentu mampu bertanggungjawab;
c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan
(culpa);

137

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang:
UMM Press, 2009), hlm. 221-222.
138
Roslan Saleh,..Op. Cit., hlm. 78.

Universitas Sumatera Utara

d. Tidak ada alasan-alasan pemaaf.139
Sifat melawan hukum yang dimaksud adalah sama dengan tindakan melanggar
hukum, walaupun dinyatakan melawan hukum, namun perbuatan yang sebenarnya
dilakukan bukan benar-benar memberikan perlawanan terhadap hukum, ini merupakan
hanya peristilahan saja karena hukum bukanlah benda hidup yang dapat dilawan atau
memberikan perlawanan.
Apabila mencari pengertian mengenai kesalahan, maka akanditemukan bahwa
banyak ahli hukum pidana yang memberikan pengertian yang berbeda-beda mengenai
kesalahan. Namun secara umum pengertian yang dikemukakan mengarah pada dua
jenis pengertian kesalahan, yaitu kesalahan dari sudut pandang psikologis dan
kesalahan dari sudut pandang normatif. Pengertian yang digunakan dalam perspektif
hukum adalah kesalahan dalam pengertian normatif, sehingga pengertian kesalahan
psikologis tidak digunakan karena kurang memberikan jawaban yang memuaskan
terutama dalam hubungannya dengan penjatuhan pidana bagi yang melakukan
perbuatan pidana.140
Pengertian kesalahan secara psikologis yang menitikberatkan pada keadaan
batin “psikis” yang tertentu dari si pembuat dan hubungan antara keadaan batin
tersebut

dengan

perbuatan

sedemikian

rupa,

sehingga

pembuat

dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. 141 Pengertian kesalahan secara psikologis
saat ini sudah tidak digunakan lagi untuk memberikan penjelasan terhadap kesalahan,
karena menimbulkan persoalan dalam praktik hukum yang dipicu oleh ketiadaan unsur

139

Moelyatno, Op. Cit., hlm. 177.
Mahrus Ali., Op. Cit., hlm. 157.
141
Tongat.,..Op. Cit., hlm. 222.
140

Universitas Sumatera Utara

“dengan sengaja” atau “karena kealpaan” dalam rumusan tindak pidana. Dalam KUHP
yang berlaku saat ini, tindak pidana pelanggaran tidak memuat unsur “dengan sengaja”
atau “karena kealpaan”. Oleh karena itu, praktik hukum sempat diliputi pertanyaan
sekitar apakah tidak dirumuskannya unsur “dengan sengaja” atau “karena kealpaan”
dalam pelanggaran, menyebabkan pembuatnya tetap dipidana, sekalipun tidak ada
salah satu dari kedua bentuk kesalahan tersebut. Persoalan ini timbul dan
menyebabkan adanya keragu-raguan atas kemampuan teori kesalahan psikologis untuk
menjelaskan masalah kesalahan.142
Permasalahan tersebut yang menyebabkan teori kesalahan normatif dijadikan
dasar untuk menentukan masalah kesalahan. Pengertian kesalahan secara normatif,
menentukan seseorang tidak hanya berdasar sikap batin antara pembuat dengan
perbuatannya, tetapi di samping itu, harus ada unsur penilaian atau unsur normatif
terhadap perbuatannya. Secara ekstrim dikatakan bahwa “kesalahan seseorang tidaklah
terdapat dalam kepala si pembuat, melainkan di dalam kepala orang lain”, ialah di
dalam kepala dari mereka yang memberi penilaian terhadap si pembuat itu.143
Dalam pengertian kesalahan normatif di atas, terdapat tiga komponen utama
yang perlu dijelaskan, yaitu dapat dicela, dilihat dari segi masyarakat, dan dapat
berbuat lain. Dapat dicela di sini mempunyai dua pengertian, yaitu:
“dapat dicela berarti dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana dan
dapat dicela berarti dapat dijatuhi pidana. Dalam pengertian pertama, kesalahan
diberi makna dalam hubungannya dengan fungsi preventif hukum pidana.Kata
dapat di sini menunjukkan bahwa celaan atau pertanggungjawban pidana itu
hilang, jika pembuat mempunyai alasan penghapusan kesalahan.Dalam arti
kedua kesalahan diberi makna dalam hubungannya dengan fungsi represif hukum
142

Chairul Huda., Op. Cit., hlm. 73.
Rudhi Prasetya., Kedudukan Mandiri Suatu Perseroan Terbatas, Disertai dengan Ulasan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 58-59.
143

Universitas Sumatera Utara

pidana.Kata “dapat” dalam hal ini menunjukkan bahwa celaan atau penjatuhan
pidana tidak harus dilakukan oleh hakim.Hakim dapat saja hanya mengenakan
tindakan sekalipun tindak pidana terbukti dan terdakwa bersalah
melakukannya”.144
Dilihat dari segi masyarakat, Roeslan Saleh menyatakan bahwa komponen
tersebut merupakan penegasan penilaian normatif terhadap kesalahan. Ada tidaknya
kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin terdakwa
tetapi tergantung pada batin itu, apakah dipernilai ada ataukah tidak ada kesalahan.145
Dapat berbuat lain, yang dimaksud dengan pernyataan tersebut adalah selalu terbuka
bagi pembuat untuk menghindari terjadinya tindak pidana, atau dengan kata lain,
apabila pembuat tidak ingin melakukan tindak pidana, maka ia dapat berbuat lain. Inti
pengertian kesalahan justru terletak pada penilaian hukum terhadap kenyataan bahwa
pembuat dapat berbuat lain. Ketiadaan kemungkinan pembuat dapat berbuat lain selain
melakukan tindak pidana, menyebabkan dapat dilepaskan dari keadaan bersalah.146
Sepanjang terhadap subjek hukum manusia, pengertian kesalahan yang
normatif berpangkal tolak pada penilaian hukum terhadap psikologis pembuat.Jadi,
bukan psikologinya yang penting, tetapi penilaian normatif terhadap keadaan
psikologis pembuat, ketika melakukan tindak pidana.Dalam pengertian kesalahan yang
normatif terkandung di dalamnya pengertian psikologis.

B. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi atas Praktik Transfer Pricing
Untuk menjelaskan mengenai kemampuan bertanggungjawab, dapat dilihat
pendapat yang diberikan Simons.Menurutnya kemampuan bertanggungjawab dapat
Chairul Huda.,…Op. Cit., hlm. 74-75.
Roeslan Saleh, Op. Cit., hlm. 77.
146
Chairul Huda, Op. Cit., hlm. 76.
144

145

Universitas Sumatera Utara

diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian yang membenar adanya penerapan
suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari unsur umum maupun dari orangnya.147
Sesuai pengertian kemampuan bertanggungjawab yang diberikan oleh Simons,
maka menurut Roeslan Saleh seseorang dianggap mampu bertanggungjawab itu
haruslah memenuhi tiga syarat, yakni:
1. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya daripada perbuatannya;
2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam
pergaulan masyarakat;
3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.148
Lain halnya seperti yang diungkapkan oleh Roeslan Saleh mengenai sehubungan
dengan syarat seseorang dianggap mampu bertanggungjawab. Moeljatno juga
mengemukakan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada:
1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk,
sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum.
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan
buruknya perbuatan tadi.149
Berdasarkan beberapa pendapat para sarjana tersebut di atas, maka dapat
ditarik kesimpulan yakni kemampuan bertanggungjawab seseorang dapat dimintakan
apabila nyata bahwa keadaan batinya normal atau sehat, dan dengan keadaan batin
yang normal dan sehat seharusnya seseorang itu dapat menyadari bahwa tindakan yang

147

Tongat, Op. Cit., hlm. 226.
Tongat, Op. Cit., hlm. 226.
149
Moeljatno, Op. Cit, hlm. 178-179.

148

Universitas Sumatera Utara

dilakukan itu adalah perbuatan yang tidak pantas atau buruk apabila dilakukan dalam
kehidupan masyarakat.
Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur (elemen) kesalahan, karena
untuk membuktikan adanya kesalahan, unsur tadi harus dibuktikan pula. 150 Pembuat
dapat dipertanggungjawabkan berarti pembuat memenuhi syarat untuk dapat
dipertanggungjawabkan. Mengingat asas “tiada pertanggungjawaban pidana tanpa
kesalahan”, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di seluruh dunia pada umumnya tidak
mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab. Yang diatur ialah kebalikannya
yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab.151 Merumuskan pertanggungjawaban pidana
secara negatif, terutama berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Demikian
pula halnya yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yakni
Pasal 40, 41, dan 44 KUHP. Pada pasal 40 KUHP menentukan bahwa tidak dapat
dipertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana ditandai oleh adanya
gangguan jiwa, penyakit jiwa danretradasi mental. Tiga hal yang sama yang menjadi
pertanda orang kurang mampu bertanggungjawab sebagaimana diatur dalam Pasal 41
KUHP. Pada Pasal 44 ayat (1) justru merumuskan tentang keadaan mengenai kapan
seseorang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dapat dipidana, artinya
merumuskan perihal kebalikan (secara negatif) dari kemampuan bertanggung jawab.
Sementara itu, kapan seseorang dapat dianggap bertanggungjawab, dapat diartikan
kebalikannya yaitu apabila tidak terdapat tentang dua keadaan jiwa sebagaimana
diterangkan dalam Pasal 44 KUHP tersebut.
150

Ibid., hlm. 181.
Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 260.

151

Universitas Sumatera Utara

Dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana.
Berarti jika seseorang ditemukan melakukan suatu kesalahan akan tetapi orang
tersebut ditemukan tidak mampu bertanggungjawab dan karenanya dipandang tidak
dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya di dalam hukum pidana, maka kepada
orang tersebut hanya diberikan tindakan, namun tidak dipidana.
Pada asasnya, setiap orang perorangan yang melakukan kejahatan atau tindak
pidana

harus dapat dipertanggungjawabkan yang

bentuknya

berupa

sanksi

pidana.Pertanggungan tersebut tentu setelah memenuhi unsur-unsur tindak pidana
yaitu kealpaan, kelalaian dan kesalahan, dan kesengajaan. Masing-masing unsur
tersebut berat atau ringan pertanggungjawabannya tergantung dari unsur mana yang
dilakukan.
Sebagaimana telah diuraikan di muka, bahwa unsur kelalaian dan kesengajaan
dapat mengakibatkan pertanggungjawaban pidana. Dalam konteks transfer pricing,
terdapat unsur kesengajaan yaitu menghindari pajak sehingga menyebabkan kerugian
negara. Adapun dalam hal kelalaian, Schaffmeister menganggap bahwa terdapat hal
yang sama dengan kesengajaan, dengan catatan bahwa melalui cara memenuhi tugas
pemeliharaan, kelalaian lebih banyak dapat dipertanggungjawabkan pada korporasi.152
Cara menghindari pajak sebagaimana dimaksud di atas yaitu dengan
Manipulasi transfer pricing dapat didefinisikan sebagai suatu kebijakan atas harga
transfer yang berada di atas atau di bawah opportunity cost dalam rangka untuk
penghindaran kontrol pemerintah dan/atau aktivitas memanfaatkan perbedaan regulasi
antarnegara, terutama terkait dengan tarif pajak. Dengan demikian, dapat disimpulkan

152

Ibid., hlm. 26.

Universitas Sumatera Utara

bahwa manipulasi transfer pricing adalah kegiatan menetapkan harga transfer menjadi
“terlalu besar atau terlalu kecil” dengan maksud memperkecil jumlah pajak yang
terutang.
Dengan demikian, kemampuan bertanggungjawab oleh orang-orang yang
berbuat untuk dan atas